induksi persalinan secara kimiawi
Post on 15-Apr-2016
70 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
INDUKSI PERSALINAN
I. PENDAHULUAN
Induksi persalinan merujuk pada tindakan perangsangan kontraksi
uterus oleh dokter sebelum tanda-tanda persalinan spontan terjadi.
Sedangkan, augmentasi persalinan merujuk pada usaha menambah
frekuensi dan intensitas kontraksi uterus yang sudah ada sebelumnya pada
pasien inpartu yang tidak mengalami kemajuan persalinan yang adekuat.(1)
Induksi persalinan adalah prosedur obstetri yang paling sering
dilakukan di Amerika Serikat. Di AS, angka kejadiannya terus meningkat
secara signifikan pada semua usia kehamilan. Data yang diambil dari
National Center for Health Statistics menunjukkan kenaikan dari tahun
1989 sebesar 9% menjadi 20,5% pada tahun 2001 dan 22,5% pada tahun
2006. Alasan peningkatan ini tidak jelas, tetapi ini mencerminkan
bertambahnya angka induksi persalinan pada kehamilan post-termdan
tingginya kecenderungan terhadap induksi persalinan elektif pada indikasi
lain, termasuk permintaan ibu.(1,2,3)
Kehamilan normal terdiri dari tiga tahapan: pra salin, pematangan
serviks, dan kelahiran. Hal ini berlangsung sebagai proses yang terus-
menerus dan tidak berdiri sendiri. Prostaglandin endogen berperan dalam
proses ini. Intervensi untuk mematangkan serviks, meningkatkan kontraksi
uterus, dan mempercepat proses persalinan mempunyai batasan yang
seringkali sulit dibedakan.(4)
Induksi mungkin saja menginisiasi intervensi selanjutnya, seperti
seksio sesaria. Namun, dengan metode modern induksi persalinan,
resikonya semakin berkurang.(4) Referat ini akan membahas tentang
induksi persalinan, indikasi dan kontraindikasi induksi persalinan, metode
yang dapat digunakan, serta komplikasinya.
1
II. DEFINISI
Induksi persalinan adalah perangsangan kontraksi uterus sebelum
persalinan spontan bermula, dengan menggunakan metode mekanik dan
atau farmakologik untuk menyebabkan dilatasi serviks progresif yang
diikuti dengan kelahiran konsepsi.Induksi persalinan adalah proses
memulai persalinan secara tidak alamiah ketika persalinan spontan belum
terjadi yakni tanda-tanda inpartu kala 1 belum muncul atau belum ada
kontraksi. (1,2,3)
III. INDIKASI INDUKSI
Induksi persalinan dilakukan jika terminasi kehamilan lebih
menguntungkan bagi ibu dan janin daripada mempertahankan kehamilan.
Berikut adalah daftar beberapa indikasi untuk induksi persalinan:(5)
Prioritas utama
a) Preeklampsia ≥ 37 minggu
b) Penyakit ibu yang signifikan yang tidak berespon terhadap
pengobatan
c) Gawat janin
d) Korioamnionitis
e) Ketuban pecah dini
Indikasi lain
a) Kehamilan lewat bulan
b) Kehamilan ganda ≥ 38 minggu
c) Pertumbuhan janin terhambat
d) Oligohidramnion
e) Hipertensi dalam kehamilan ≥ 38 minggu
f) Kematian janin dalam rahim
2
Dari indikasi induksi persalinan tersebut, hipertensi pada
kehamilan dan kehamilan serotinus adalah indikasi yang paling sering
ditemui, jumlahnya terhitung lebih dari 80% kasus dari semua kasus
induksi yang dilaporkan.(2)
Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, risiko untuk ibu dan janin
harus dipertimbangkan, untuk memastikan bahwa keuntungan
dilakukannya induksi persalinan lebih besar dari risiko yang ada untuk
mempertahankan kehamilan. Komplikasi pada ibu utamanya
adalahtingginya risiko persalinan operatif bila induksi dinilai gagal.
Sedangkan risiko untuk janin adalah prematuritas. Kapan pun ditemukan
bukti maturitas paru janin, atau usia kehamilan mencapai 39 minggu
(dikonfirmasi dengan USG), keputusan untuk induksi persalinan tidak lah
sulit.(2)
IV. KONTRAINDIKASI INDUKSI
Induksi sebaiknya dihindari jika terdapat kontraindikasi untuk
melakukan persalinan pervaginam. Berikut ada beberapa kontraindikasi
dilakukan induksi persalinan: (5)
a) Plasenta previa atau vasa previa
b) Malpresentasi
c) Riwayat operasi atau insisi pada uterus (miomektomi, SC)
d) Infeksi herpes genitalia aktif
e) Deformitas struktur anatomi pelvis
f) Karsinoma serviks yang invasif
g) Terdapat riwayat ruptur uterus
V. PEMATANGAN SERVIKS PRA INDUKSI
Pematangan serviks adalah proses dari pelunakan, pemendekan
dan pembukaan parsial pada serviks, biasanya terjadi dalam beberapa hari
hingga beberapa minggu sebelum tanda-tanda inpartu muncul. Serviks
3
yang tidak matang merupakan serviks yang tidak mengalami perubahan
dan lebih resisten terhadap induksi persalinan.(4)
Pada trimester awal persalinan, 50% dari bagian serviks terdiri
dari kolagen yang berikatan kuat, 20% adalah otot polos, dan sisanya
adalah substansi basal yang terdiri dari elastin dan glikosaminoglikan
(kondrotin, dermatan sulfat, dan hyaluronidase). Selama kehamilan,
hyaluronidase meningkat dari 6% menjadi 33%, sedangkan dermatan dan
kondritin, yang mengikat kolagen, berkurang. Enzim kolagenase dan
elastase meningkat bersama dengan vaskularitas dan substansi air.(4)
Bishop pada tahun 1964 mengembangkan sebuah sistem penilaian
untuk mengevaluasi wanita multipara yang menjalani induksi elektif pada
masa kehamilan aterm. Sistem penilaian tersebut merupakan metode
standar perhitungan semikuantitatif klinis pada serviks. Saat ini, skor
Bishop telah dimodifikasi.Skor Bishop menilai komponen-komponen
serviks seperti pembukaan, penipisan, konsistensi, posisi, serta penurunan
janin; secara klinis pada saat pemeriksaan dalam vagina.(1,4)
SkorPembukaa
n
Penipisan/
Pendataran(%)
Penurunan
(station)
Konsistens
iPosisi
0 Tertutup 0-30 -3 Tebal Posterior
1 1-2 40-50 -2 Sedang Midposition
2 3-4 60-70 -1 Lunak Anterior
3 > 5 > 80 +1, +2 - -
Tabel 1. Skor Bishop.
Terdapat hubungan antara skor Bishop dan kegagalan induksi
persalinan. Skor Bishop yang rendah terkait dengan tingginya tingkat
kegagalan induksi. Ibu dengan skor Bishop > 6 memiliki kemungkinan
yang besar untuk menjalani induksi yang berhasil. Sebaliknya, ibu dengan
skor Bishop < 4 menandakan bahwa serviks belum matang (unfavorable
4
serviks) dan merupakan indikasi untuk dilakukan pematangan serviks pra
induksi.(1,2,3)
Tidak hanya itu, menginduksi kontraksi uterus dengan serviks
yang belum terbuka,memiliki kemungkinan yang besar akan berujung
pada operasi seksio sesaria. Bahkan, jika akhirnya persalinan pervaginam
tercapai, proses persalinan memakan waktu yang lebih lama. Hal ini
merupakan masalah yang serius. Jika induksi dilakukan atas indikasi fetus,
maka pengawasan terhadap janin juga diperpanjang seiring dengan waktu
persalinan yang bertambah lama. Fetus yang terpapar lama dengan
kontraksi uterus dapat menyebabkan menurunkan aliran darah intervilli
dan dapat berakibat hipoksia dan asidosis pada janin. Sehingga sangat
berguna untuk menggunakan agen pematang serviks sebagai persiapan
sebelum induksi pesalinan.(2)
Gambar 1. Perbedaan unfavorable cervix dan favourable cervix.(6)
Idealnya, agen pematang serviks akan bekerja untuk
mematangkan serviks tanpa menginduksi aktivitas uterus, meminimalkan
masa fase aktif persalinan, dan mengurangi stres pada janin. Sayangnya,
5
memisahkan metode pematangan serviks dan induksi persalinan adalah hal
yang sangat sulit. Sebagai contoh, pasien dengan serviks yang belum
matang, menjalani pematangan serviks tanpa menginisiasi kontraksi uterus
dengan menggunakan obat dinoproston (PGE2), hasilnya kontraksi
seringkali terjadi bahkan sebelum serviks tebuka.(2)
Metode pematangan serviks dapat dibagi menjadi dua kategori
yakni mekanik dan farmakologik.(2)
Metode Mekanik Metode Farmakologi
Kateter Transservikal Prostaglandin E2
Batang Laminaria Prostaglandin E1
Hygroscopic Cervical
Dilators
Membrane stripping
Tabel 2. Metode Pematangan Serviks.
2) Metode Farmakologi
a) Prostaglandin E2
Owen dkk (1991) melakukan meta-analisis terhadap 18 penelitian
dengan jumlah sampel 1811 wanita. Mereka menemukakan bahwa
prostaglandin E2 meningkatkan skor Bishop dan jika dikombinasikan
dengan oksitosin, dapat mengurangi jangka waktu dari induksi hingga
persalinan dibandingkan dengan wanita yang hanya mendapat oksitosin.
Namun, penggunaan prostaglandin E2 dinyatakan tidak dapat mengurangi
angka seksio sesaria.(3)
Dinoproston merupakan analog sintetik dari prostaglandin E2.
Sediaannya tersedia dalam 3 bentuk: gel, insersi intravaginal, dan
supositoria 10 mg. Gel dan insersi intravaginal diindikasikan hanya untuk
pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Sedangkan supositoria 10
mg untuk terminasi kehamilan dengan usia kehamilan 12-20 minggu dan
6
untuk evakuasi janin yang mati dengan usia kehamilan di bawah 28
minggu.(3)
Preparat prostaglandin hanya boleh dimasukkan jika ibu sudah
berada di ruang bersalin serta pengawasan ketat terhadap aktivitas uterus
dan denyut jantung janin dapat dilakukan. Kontraksi uterus muncul pada 1
jam pertama pemberian prostaglandin E2 dan mencapai puncaknya pada 4
jam setelah pemberian.(3)
Perry dan Leaphart (2004) membandingkan penggunaan gel
intraservikal dan insersi intravaginal dan menemukan bahwa dengan
pemakaian insersi intravaginal, persalinan menjadi lebih cepat 11,7 jam
dibandingkan dengan gel intraservikal 16,2 jam. Chan dkk (2004)
melaporkan bahwa 59% wanita yang mendapatkan lebih dari dua kali
dosis penggunaan insersi intravaginal, harus menjalani operasi seksio
sesaria darurat. Menurut pedoman pemakaian, induksi oksitosin setelah
penggunaan prostaglandin untuk pematangan serviks, dilakukan 6-12 jam
setelah pemberian prostaglandin E2.(3)
Penggunaan PGE2 menyebabkan penipisan serviks secara langsung
dengan melalui tiga mekanisme berikut:(2)
a) Mengubah substansi basal serviks
b) Meningkatkan aktivitas otot polos serviks dan uterus
c) Merangsang kontraksi uterus
Telah dilaporkan bahwa pada 1-5% perempuan yang diberikan
PGE2 per vaginam, mengalami takisistol pada uterus. Ada banyak definisi
perihal takisistol uterus, tetapi definisi yang paling sering digunakan
adalah yang berdasarkan American College of Obstetricians and
Gynecologists, berikut ini:(3)
a) Takisistoluterus adalah kontraksi uterus >6 kali dalam 10 menit.
b) Hipertonus uterus adalah satu kontraksi uterus yang berlangsung
selama lebih dari 2 menit.
c) Hiperstimulasi uterus adalah ketika salah satu dari kondisi di atas
mengakibatkan gangguan terhadap denyut jantung janin.
7
Hiperstimulasi uterus dapat menyebabkan keadaan gawat janin,
jika prostaglandin diberikan pada ibu setelah proses persalinan spontan
telah bermula. Oleh karena itu, penggunaan dengan cara ini tidak
dianjurkan. Jika hiperstimulasi terjadi pada penggunaan insersi
intravaginal, dengan melepaskan alat insersi intravaginal akan
memulihkan kondisi tersebut. Irigasi untuk menghapus preparat gel tidak
cukup membantu.(3)
Kontraindikasi untuk penggunaan prostaglandin ialah asma,
glaukoma, atau peningkatan tekanan intraokular. Selain itu, peringatan
produsen farmasi untuk tidak memakainya pada perempuan dengan
selaput ketuban yang sudah ruptur.(3)
b) Prostaglandin E1
Misoprostol adalah prostaglandin E1 sintetik yang tersedia dalam
bentuk tablet 100 μg, digunakan untuk pencegahan ulkus lambung. Obat
ini telah lama digunakan di luar indikasi yang dianjurkan oleh produsen
obat, yakni untuk pematangan serviks pra induksi dan dapat digunakan
secara oral maupun suposutoria vagina.(3)
Walaupun, penggunaannya di luar indikasi yang dianjurkan, telah
menyebar luas, penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks pra
induksi masih kontroversial. Di tahun 2000, perusahaan obat
memperingatkan dokter bahwa misoprostol tidak diakui untuk induksi
persalinan atau aborsi. Meskipun begitu, American College of
Obstetricians and Gynecologists (2000) telah menetapkan rekomendasinya
untuk pemakaian obat ini karena keamanan dan keberhasilannya telah
terbukti untuk pematangan serviks dan induksi persalinan. Ada banyak
sekali publikasi penelitian yang menunjukkan bahwa misoprostol, baik
pemberian melalui vagina maupun oral, adalah efektif untuk tujuan
tersebut.(2,3)
Sebuah meta-analisis awal menyatakan penurunan yang signifikan
pada angka seksio sesaria pada pasien yang diinduksi dengan misoprostol.
8
Meta-analisis selanjutnya menunjukkan bahwa 84% pasien yang
mendapatkan misoprostol, memasuki fase persalinan aktif, dengan hanya
29,4% saja yang membutuhkan augmentasi oksitosin. Sekelompk pasien
dengan jumlah yang lebih besar dan mendapatkan misoprostol, melahirkan
per vaginam dalam waktu 12 jam (37,6% berbanding 23,9%). Demikian
pula, 68,1% pasien yang mendapatkan misoprostol, melahirkan per
vaginam dalam 24 jam. Penggunaan misoprostol untuk pematangan
serviks dan induksi persalinan menghasilkan pengurangan interval waktu
sekitar 5 jam dari pemberian dosis pertama hingga kelahiran anak jika
dibandingkan dengan dinoproston. Pengurangan interval waktu dari
induksi hingga melahirkan terlihat dengan penggunaan misoprostol
dibandingkan dengan penggunaan dinoproston, kateter Foley, atau
placebo. Hal ini menunjukkan bahwa selain menghasilkan aktifitas uterus
yang lebih tinggi, misoprostol juga lebih efisien untuk pematangan serviks
dibandingkan dengan metode lain. Wanita yang mendapatkan misoprostol
dua kali lebih rentan mengalami takisistol dan hiperstimulasi uterus.(2)
Pemberian prostaglandin E1 per vaginam
American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
menyimpulkan dari 19 percobaan acak yang melibatkan 1900 wanita yang
diberikan misoprostol intravaginal dengan dosis yang bervariasi dari 25
hingga 200 μg. Hasilnya, mereka merekomendasikan pemberian dengan
dosis 25 μg – seperempat bagian dari tablet misoprostol 100 μg, dengan
potongan yang sama besar.(3)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan
misoprostol per vaginam dapat menurunkan angka kebutuhan induksi
oksitosin serta mengurangi jangka waktu interval dari induksi hingga
kelahiran (Sanchez, dkk 1997). Namun, hal ini diikuti dengan risiko
hiperstimulasi uterus yang berdampak pada peningkatan denyut jantung
janin.(3)
9
Ruptur uterus telah dilaporkan terjadi pada pemberian tablet
prostaglandin E1 per vaginam pada wanita dengan riwayat seksio sesaria
sebelumnya (Wing, dkk. 1998). Sama halnya dengan Plaut, dkk (1999)
melaporkan ruptur uterus terjadi pada 5 dari 89 atau 6% wanita yang
pernah menjalani seksio sesaria dan diinduksi dengan misoprostol. Hal ini
dibandingkan dengan hanya 1 kejadian ruptur uterus dari 423 wanita
dengan riwayat seksio sesaria dan tidak mendapatkan misoprostol. Saat
ini, ketetapan yang telah disepakati adalah riwayat operasi uterus termasuk
seksio sesaria merupakan kontraindikasi pemberian misoprostol (American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2004).(3)
Pemberian Prostaglandin E1 per oral
Tablet prostaglandin E1 juga efektif jika digunakan secara oral.
Windrim, dkk (1997) melaporkan bahwa pemberian misoprostol per oral
memiliki khasiat yang sama dengan pemberian intravaginal untuk
pematangan serviks. Wing (2000) dan Hall (2002) melaporkan bahwa
pemberian misoprostol 100 μg adalah sama efektifnya dengan dosis
intravaginal 25 μg.(3)
Metode Induksi Persalinan
a) Prostaglandin E1
Pemberian misoprostol melalui vagina dan oral digunakan untuk
pematangan serviks atau digunakan untuk induksi persalinan. Hofmeyr
dkk (2010) mengemukakan mengenai agen induksi persalinan dalam
Cochrane systematic review bahwa resiko kegagalan induksi persalinan
dalam 24 jam pada pemberian misoprostol secara vagina lebih rendah
dibandingkan dengan hanya pemberian oksitosin saja.(3)
Keberhasilan yang sama tampak untuk induksi persalinan pada
pemberian misoprostol 100 μg melalui oral atau 25 μg melalui vagina
dibandingkan dengan pemberian oksitosin secara intravena pada wanita
dengan ketuban pecah dini ataupun yang memiliki favorable cerviks (Lin,
10
2005; Lo, 2003). Efek samping misoprostol adalah takisistol uterus,
terutama pada pemberian dosis yang lebih tinggi. Selain itu, induksi
dengan prostaglandin E1 dapat menurunkan kebutuhan untuk induksi
maupun augmentasi persalinan dengan menggunakan oksitosin.(3)
Untuk augmentasi persalinan, berdasarkan uji acak terkontrol
memperlihatkan pemberian misoprostol 75 μg secara oral (interval 4 jam
dengan pemberian maksimal 2 kali) aman dan efektif (Bleich, 2011).(3)
b) Oksitosin
Pematangan serviks preinduksi dan induksi persalinan merupakan
suatu rangkaian kesatuan. Jadi, pematangan serviks juga akan
menstimulasi persalinan. Jika tidak, bisa dilanjutkan dengan induksi
ataupun augmentasi dengan pemberian oksitosin.(3)
Umumnya pemberian oksitosin dihentikan ketika frekuensi
kontraksi uterus telah menetap lebih dari 5 kali dalam 10 menit atau
dengan pola denyut jantung janin yang ireguler. Penghentian pemberian
oksitosin dapat dengan cepat menurunkan frekuensi kontraksi pada uterus.
Ketika oksitosin dihentikan, konsentrasinya dalam plasma dengan cepat
menurun karena waktu paruhnya yang hanya sekitar 3 sampai 5 menit.
Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960) melaporkan bahwa respon uterus
terhadap oksitosin meningkat pada usia kehamila 20 sampai 30 minggu.(3)
Oksitosin Intravena
Oksitosin sintetik secara umum digunakan dengan pengenceran
1ml oksitosin yang mengandung 10 IU ke dalam 1000ml cairan kristaloid
sehingga konsentrasi cairan infus oksitosin ini menjadi 10 mU/ml. Cairan
ini diberikan dengan menggunakan pompa infus sehingga dosis
administrasinya terkontrol secara tepat dan terus-menerus.(1,3)
Oksitosin dikenal sebagai agen uterotonik yang paling baik
sehingga sangat efektif jika digunakan untuk menginduksi persalinan
11
dengan serviks yang telah matang atau untuk augmentasi persalinan,
sebaliknya kurang efektif jika digunakan sebagai agen pematang serviks.
Telah banyak percobaan kontrol acak yang telah dilakukan untuk
membandingkan oksitosin dengan prostaglandin dan metode pematangan
serviks lainnya. Sebuah penelitian melibatkan 200 ibu dengan serviks yang
belum matang menjalani induksi persalinan, prostaglandin E2vaginal
berbanding dengan drips oksitosin kontinyu. Hasilnya, grup dengan
PGE2memiliki interval waktu dari induksi hingga persalinan aktif yang
lebih pendek, peningkatan skor Bishop yang signifikan, angka kegagalan
induksi lebih rendah, dan angka kelahiran kurang dari 24 jam setelah
induksi yang lebih banyak.(1)
Dosis dan aturan pakai oksitosin sampai saat ini masih menjadi
perdebatan, walaupun tingkat kesuksesan untuk berbagai jenis protokol
hampir sama. Masing-masing protokol memiliki dosis awal, periode
peningkatan titrasi, dan dosis tetap yang berbeda-beda. Dosis maksimum
untuk oksitosin belum ditentukan, namun kebanyakan protokol tidak
melampaui pemberian oksitosin 42 mU/min(1). Secara umum, protokol
pemberian oksitosin terbagi dua menurut dosis pemberiannya, yakni
rejimen dosis rendah dan rejimen dosis tinggi. Berikut adalah variasi dosis
oksitosin yang digunakan untuk induksi persalinan dan direkomendasikan
oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (1999).
RegimenDosis Awal
(mU/min)
Penambahan
(mU/min)
Interval
(menit)
Dosis Rendah 0,5-1,5 1 15-40
2 4, 8, 12, 16, 20, 25,30 15
Dosis Tinggi 4 4 15
4,5 4,5 15-30
6 6a 20-40b
Tabel 3. Perbedaan regimen oksitosin dosis rendah dan dosis tinggi.(3)
Keterangan:
12
a) Jika terjadi hiperstimulasi uterus, drips oksitosin dihentikan dan dimulai lagi
dengan 1/2 dosis terakhir dinaikkan 3 mU/min setiap interval waktu.
b) Hiperstimulasi uterus lebih sering terjadi dengan waktu interval yang lebih
pendek.
Oksitosin Dosis Rendah
Protokol oksitosin dosis rendah meniru pola fisiologi maternal
oksitosin endogen dan menghasilkan angka kejadian hiperstimulasi uterus
yang lebih rendah. Oksitosin dosis rendah dimulai dari 0,5-1,5 mU/min
dan dinaikkan 1 mU/min setiap interval 15-40 menit. Selanjutnya, dosis
yang sedikit lebih tinggi dimulai dengan 2 mU/min dan dinaikkan 4, 8, 12,
16, 20, 25, 30 mU/min setiap interval 15 menit.(1)
Oksitosin Dosis Tinggi
Regimen oksitosin dosis tinggi biasanya digunakan pada protokol
manajemen aktif persalinan. Dosis oksitosin ini lebih sering digunakan
untuk augmentasi persalinan daripada untuk induksi persalinan. Protokol
oksitosin dosis tinggi dimulai dengan dosis inisial oksitosin sebesar 4
mU/min dan dinaikkan 4 mU/min setiap interval waktu 15 menit atau
dengan dosis awal 4,5 mU/min dan dinaikkan 4,5 mU/min setiap interval
waktu 15-30 menit. Selanjutnya, anjuran dosis oksitosin yang tertinggi
dimulai dengan dosis awal 6 mU/mindan dinaikkan 6 mU/min setiap
selang waktu 20-40 menit.(1,3)
c)Amniotomi
Amniotomi adalah pemecahan selaput amnion secara manual.
Amniotomi bertujun untuk menginduksi persalinan, akselerasi persalinan
dengan mempercepat penurunan kepala bayi, mempermudah proses
persalinan pervaginam yang menggunakan alat, serta memberikan akses
untuk menilai cairan ketuban dan mengestimasi kondisi bayi.(1,3,6)
13
Amniotomi dilakukan dengan prasyarat sebagai berikut:
a) Serviks ibu dinilai telah cukup matang (favorable). Amniotomi
yang dilakukan pada multipara hasilnya lebih baik dibandingkan
pada nulipara.(1,6)
b) Presentasi janin adalah bagian vertex dari kepala dan telah masuk
ke dalam pintu panggul (well engaged).(1,6)
c) Pada pemeriksaan dalam vagina, tidak teraba tali pusat atau bagian
kecil lain dari janin. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
prolapsus tali pusat yang merupakan indikasi darurat untuk
dilakukan pembedahan seksio sesaria.(1).
d) Denyut jantung janin harus dipantau dengan ketat sebelum dan
sesudah prosedur amniotomi. Cairan amnion harus dievaluasi dan
hasilnya dicatat.(1,3)
e) Sebelum melakukan amniotomi, ibu harus diberi informasi tentang
tujuan, risiko dan prosedur tindakan ini. Amniotomi harus
dilakukan dengan persetujuan ibu.(3)
Gambar 13. Amniotomi dengan klem ½ Kochler.(6)
Pemecahan selaput ketuban secara artifisial atau amniotomi
diketahui memiliki hubungan dengan peningkatan metabolit prostaglandin,
yang berperan dalam merangsang kontraksi uterus. Selain itu, pelepasan
14
cairan amnion mengurangi regangan uterus dan memperpendek ikatan
serat otot myometrium, sehingga kekuatan, durasi dan frekuensi kontraksi
uterus meningkat setelah amniotomi. Kedua hal tersebut dapat
memperpendek interval waktu dari induksi hingga kelahiran.(4)
VI. KOMPLIKASI INDUKSI
Terlepas dari metode yang digunakan dalam menginduksi
persalinan, berikut adalah beberapa komplikasi maternal yang dapat
terjadi.
a) Chorioamnionitis
Chorioamnionitis adalah peradangan pada membran fetalis. Pada
wanita yang menjalani induksi persalinan, mengalami peningkatan
insiden chorioamnionitis dibandingkan dengan wanita yang menjalani
persalinan spontan (American College of Obstetricians and
Gynecologists, 1999).(3)
b) Atonia Uteri
Perdarahan dan atoni postpartum lebih sering terjadi pada wanita yang
mengalami induksi atau augmentasi. Atoni utrerus yang tidak
tertangani adalah indikasi ke tiga terbanyak untuk histerektomi.
Indikasi ini lebih dominan pada wanita dengan induksi atau
augmentasi persalinan serta chorioamnionitis. Shellhass, dkk (2001)
melaporkan data dari sekitar 137.000 persalinan di unit maternal,
sekitar 146 histerekromi postpartum daruratdilakukan – sekitar 1 per
1000 persalinan per vaginamberbanding 1 per 200 persalinan seksio
sesaria. Sekitar 41% dari semua histerektomi, dilakukan pasca
persalinan seksio sesaria.(3)
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Gabbe Steven G, Niebyl Jennifer R, Simpson Joe Leigh. Induction and
Augmentation of Labor. In: Obstetrics Normal and Problem Pregnancies.
5th ed. Mosby Elsevier. USA. 2007.
2. James David K, Steer Philip J, Weiner Carl P, Gonik Bernard. Induction of
Labor and Pregnancy Termination for Termination for Fetal Abnormality.
In: High Risk Pregnancy Management Options. 3rd ed. Elsevier Saunders.
USA. 2006. p:2019-35.
3. Cunningham F Gary, Leveno Kenneth J, Bloom Steven L, Hauth John C,
Rouse Dwight J, Spong Catherine Y. Induction and Augmentation of Labor.
In: Williams Obstetrics. 24rd ed. McGraw-Hill. USA. 2014. p:523-32.
4. Hofmeyr G Justus. Induction and Augmentation of Labour. In: Dewhurst’s
Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 7th ed. Blackwell Publishing.
USA. 2007. p:205-12.
16
5. Leduc D, Bringer A, et al: Induction of Labour. In: SOGC Clinical Practice
Guideline. Obstetricians and Gynaecolologits of Canada. 2013;35(9)
6. Pitkin Joan, Peattie Alison B, Magowan Brian A. Induction Of Labour And
Prolonged Pergnancy. In: Obstetrics and Gynecology An Illustrated Colour
Text. Churchill Livingstone. USA. 2003p: 48-9.
17
top related