implementasi nilai-nilai pekerja sosial dalam …
Post on 21-Oct-2021
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
“IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PEKERJA SOSIAL DALAM PROSES
REHABILITASI SOSIAL KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI YAYASAN
STIGMA”
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Disusun Oleh:
Agung Prasetyo Nugroho
NIM: 1111054100050
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
i
ABSTRAK
Agung Prasetyo Nugroho
1111054100050
Implementasi Nilai-Nilai Pekerja Sosial Dalam Proses Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkoba di Yayasan STIGMA
Keyword: nilai-nilai, pekerja sosial, rehabilitasi, narkoba
Dalam proses pengembalian fungsi sosial korban penyalahgunaan
narkotika diperlukan peran serta dari banyak pihak seperti: pekerja sosial,
psikiater, psikolog, terapis, keluarga dan lain sebagainya agar di masa yang akan
datang tidak kembali lagi menyalahgunakan narkotika. Diperlukan pekerja sosial
dalam mengembalikan fungsi sosial para korban penyalahgunaan narkotika
sekaligus mengembalikan kepercayaan lingkungan sosial pada korban
penyalahgunaan narkotika.
Praktik pekerjaan sosial selalu berdasarkan pada nilai masyarakat, karena
profesi pekerjaan sosial mendapat misi untuk melaksanakan sebagian dari fungsi
masyarakat. Adapun nilai-nilai pekerjaan sosial dalam pelaksanaan praktik
kesejahteraan sosial adalah Nilai-nilai Personal (Personal Value), Nilai-nilai
Profesi (Professional Value), Nilai-nilai Pribadi (Values of Client’s), Nilai-nilai
Lembaga tempat Pekerja Sosial Bekerja, dan Nilai-nilai Masyarakat dimana
Praktik Pekerjaan Sosial dilaksanakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan bagaimana
implementasi nilai-nilai pekerja sosial dalam proses rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan narkoba. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu
observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini memberikan penjelasan mengenai implementasi nilai-
nilai pekerja sosial dalam proses rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
narkoba. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, pekerja sosial memiliki
nilai-nilai agar dapat tetap bekerja secara profesional. Sedangkan dalam
pelaksanaannya, masih banyak pekerja sosial yang bekerja di Yayasan STIGMA
yang melanggar nilai-nilai profesi tersebut.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang karena kasih sayang dan
pertolongannya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Implementasi Nilai-Nilai Pekerja Sosial dalam Proses Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkoba di Yayasan STIGMA”. Tidak lupa pula
shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Besar kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya untuk selalu bersyukur dan
ikhlas dalam menjalankan hidup.
Pada kesempatan ini penulis juga akan menyampaikan rasa terimakasih kepada
berbagai pihak yang telah berkontribusi serta berdedikasi untuk memberikan
dukungan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada.
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial, Ibu Lisma Dyawati Fuaida
M.Si dan Sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial, Ibu Hj. Nunung
Khoiriyah, MA. Terima kasih atas nasihat dan bimbingannya
3. Kepada dosen pembimbing saya, Ibu Nurkhayati Nurbus S.E, Msi yang
senantiasa bersabar dan teliti selama membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial, serta seluruh Dosen
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tidak bisa saya
iii
sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan
terimakasih saya kepada Bapak dan Ibu.
5. Yayasan STIGMA, Bang Anto, Bapak Sugeng dan kawan-kawan yang
tidak bisa disebutkan namanya satu persatu namun tanpa mengurangi rasa
terimakasih penulis. Terimakasih karena telah menerima penulis dengan
tangan terbuka dan kesempatan belajar lebih banyak mengenai hal-hal
baru.
6. Kedua orang tua penulis, Bapak Samino dan Ibu Kasni, Kalian adalah
manusia hebat yang selalu mengajarkan anak-anakmu untuk menjadi
manusia kuat dalam keadaan sulit.
7. Keluarga Besar Mahasiswa Kesejahteraan Sosial UIN Jakarta, terimakasih
atas interaksi yang berilmu dan penuh kehangatan.
8. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat Khususnya
Komisariat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, terimakasih
untuk proses yang selalu Yakin Usaha Sampai. Bahagia HMI.
9. Himpunan Mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Sosial 2013-2014,
terimakasih untuk wadah, aspirasi, dan inspirasi yang telah mengajarkan
penulis bagaimana caranya untuk bergerak Bersama Kita Maju.
10. Kepada, Herman Susanto, Tridiwa Arief S., Wati Indriani, Rizal
Wahyudha, Dhimas Suryo P., M. Baydhawi N., Reza Agustyadi, dan
Muhammad Ni’am, kalian adalah guru, saudara, dan orangtua yang
banyak mengajarkan berbagai hal selama ini.
11. Asep Azhari, M. Kahfi Ibrahim, M. Norhalim, Fanhari Nugroho, Hendri
Afriliansyah, Janos Prakoso, Abdul Rahman, M. Indra Gunawan, Afrizal
iv
Putra Arafat, Yusmar Abdillah dan Fathira Najati yang selalu
mengingatkan dan juga menemani penulis sampai proses akhir
penyusunan skripsi.
12. Terimakasih kepada teman-teman Jaitra, Aula Insan Cita, Balatentara,
Hydrant, Dakwah. Yang selalu memberikan canda tawa dan senyum pada
penulis.
13. Dan tanpa mengurangi hormat dan terimakasih kepada seluruh kawan-
kawan yang mengenal Agung Prasetyo Nugroho, atas seluruh bantuan baik
secara langsung maupun tidak langsung, dan dukungannya selama ini.
Penulis yakin bahwa jika tanpa bantuan dan dukungan kalian selama ini,
maka penulis tidak akan bisa berjalan sampai sejauh ini.
Ciputat, 14 Maret 2018
Agung Prasetyo Nugroho
v
Daftar isi
ABSTRAK...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Batasan Masalah...........................................................................................6
C. Rumusan Masalah........................................................................................7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................................7
E. Manfaat Penelitian.......................................................................................7
F. Tinjauan Pustaka..........................................................................................8
G. Metodologi Penelitian..................................................................................9
1. Metode Penelitian...................................................................................9
2. Jenis Penelitian.....................................................................................10
3. Teknik Pengumpulan Data...................................................................10
4. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………..12
5. Subjek dan Informan…………………………………………………12
6. Pedoman Penulisan..............................................................................13
7. Sistematika Penulisan...........................................................................13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pekerja Sosial.............................................................................................15
1. Pengertian Pekerja Sosial.....................................................................15
vi
2. Prinsip Umum Pekerja Sosial, Kode Etik dan Nilai-nilai Pekerjaan
Sosial....................................................................................................18
3. Nilai-nilai Pekerja Sosial......................................................................20
B. Rehabilitasi……………………………………………………………….28
1. Pengertian Rehabilitasi.........................................................................29
2. Jenis Rehabilitasi..................................................................................27
3. Perangkat Rehabilitasi..........................................................................33
C. Narkoba......................................................................................................35
1. Pengertian Narkoba..............................................................................35
2. Jenis Narkoba.......................................................................................36
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Sejarah Yayasan STIGMA.........................................................................39
B. Visi dan Misi..............................................................................................40
C. Maksud dan Tujuan....................................................................................40
D. Struktur Lembaga.......................................................................................41
E. Pendanaan..................................................................................................42
F. Sistem Klien...............................................................................................42
G. Pekerja Sosial.............................................................................................43
H. Kegiatan STIGMA.....................................................................................43
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
A. Proses Rehabilitasi.....................................................................................45
B. Nilai-Nilai Pekerja Sosial..........................................................................52
vii
C. Dilema Etik Dalam Implementasi Nilai-nilai Pekerja Sosia......................67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................,,,..73
1. Program Rehabilitasi............................................................................73
2. Nilai-Nilai Pekerja Sosial.....................................................................74
B. Saran...........................................................................................................75
1. Akademis..............................................................................................75
2. Praktis...................................................................................................76
3. Saran Kepada Peneliti Selanjutnya......................................................76
Daftar Pustaka
Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada saat ini, perkembangan dan pola pergaulan remaja menjadi
sangat bebas. Persoalan yang paling banyak ditemui adalah
penyalahgunaan narkotika. Kasus penyalahgunaan narkotika semakin lama
semakin meningkat dengan adanya penyelundupan, peredaran dan
perdagangan gelap, penyalahgunaan dan ditindaklanjuti dengan adanya
penangkapan, penahanan terhadap para pelaku penyalahgunaan maupun
para pengedar narkotika.
Penyalahgunaan Narkoba tahun anggaran 2014, jumlah
penyalahguna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta
orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun terakhir (current
users) pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia. Jadi,
ada sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10 - 59 tahun masih atau
pernah pakai narkoba pada tahun 2014. Angka tersebut terus meningkat
dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional
(BNN) dengan Puslitkes UI dan diperkirakan pengguna narkoba jumlah
pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015. Jenis narkoba
yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja, shabu dan ekstasi. Jenis
narkoba tersebut sangat terkenal bagi Pelajar/mahasiswa, pekerja, dan
rumah tangga. Sebagian besar penyalahgunaan berada pada kelompok
coba pakai terutama pada kelompok pekerja. Alasan penggunakan narkoba
2
karena pekerjaan yang berat, kemampuan sosial ekonomi, dan tekanan
lingkungan teman kerja merupakan faktor pencetus terjadinya
penyalahgunaan narkoba pada kelompok pekerja.1
Penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan dampak buruk yang
multidimensi di kalangan masyarakat. Hal ini sudah tentu akan
menimbulkan kerawanan sosial tentunya harus segera diwaspadai
keberadaannya. Bahaya dari penyalahgunaan narkoba tidak hanya
terhadap kesehatan fisik saja, tetapi juga kesehatan mental dan kehidupan.2
Oleh karena itu, untuk menjaga taraf kesehatan masyarakat kita
wajib memerangi penyalahgunaan narkotika. Karena jelas terbukti bahwa
narkotika dapat merusak kehidupan masyarakat terutama para pemuda
yang akan meneruskan tongkat estafet perjuangan negara ini. Namun,
yang terjadi di masyarakat kita pada umumnya tidak hanya memusuhi
narkotika saja namun juga menjauhi para korban-korban penyalahgunaan
narkotika tersebut, yang seharusnya dirangkul oleh masyarakat agar tidak
kembali terjerumus ke lembah hitam narkotika. Dan seharusnya
masyarakat membantu mengembalikan kepercayaan diri para korban agar
dapat kembali berfungsi sosial kembali di masyarakat.
Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Diah Setia
Utami menyebutkan sebanyak 943 ribu pengguna narkotika yang
tergolong kronis, perlu direhabilitasi. Mereka adalah para pecandu kelas
berat. Jika tak dipulihkan, praktis akan mempengaruhi jumlah peredaran
narkotika di Indonesia. Total pengguna tersebut mencapai 25 persen dari
1 http://www.kompasiana.com/phadli/jumlah-pengguna-narkoba-di-
indonesia_553ded8d6ea834b92bf39b35 diakses pada tanggal 14 januari 2016 17:45 2 A. Kadarmanta, Mencegah Narkoba di Sekolah, (Jakarta: PT. Forum Media Utama, 2010), h. 1.
3
total 4 juta pengguna narkotika di Indonesia. Mereka perlu diinapkan
dalam sebuah panti rehabilitasi. Sementara 75 persen lainnya dapat
direhabilitasi melalui rawat jalan.3
Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau
dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang Narkotika
hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang
yang dimaksud. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika telah memberi perlakuan yang berbeda bagi pelaku
penyalahgunaan narkotika, sebelum undang-undang ini berlaku tidak ada
perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen
narkotika. Pengguna atau pecandu narkotika di satu sisi merupakan pelaku
tindak pidana, namun di sisi lain merupakan korban. Pengguna atau
pecandu narkotika menurut undang-undang sebagai pelaku tindak pidana
narkotika adalah dengan adanya ketentuan Undang-Undang Narkotika
yang mengatur mengenai pidana penjara yang diberikan pada para pelaku
penyalahgunaan narkotika. Kemudian di sisi lain dapat dikatakan bahwa
menurut Undang-Undang Narkotika, pecandu narkotika tersebut
merupakan korban adalah ditunjukkan dengan adanya ketentuan bahwa
terhadap pecandu narkotika dapat dijatuhi vonis rehabilitasi.
Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan
dan status korban, yaitu:4
3 http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150909221424-12-77758/bnn-943-ribu-pengguna-
narkotika-kronis-harus-direhabilitasi/ di akses pada tanggal 14 januari 2016 17:47
4 Rena Yulia, Viktimologi, Graha ilmu,Yogyakarta,hal 53-54
4
a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan pelaku dan menjadi korban karena memang potensial.
b. Provocative victims, yaitu seseorang atau korban yang disebabkan peranan
korban untuk memicu terjadinya kejahatan.
c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang
lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena
pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari
penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa:
Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi social. Rehabilitasi terhadap pecandu
narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan
sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika
juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan
pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan
penyalahgunaan narkotika.
5
Berdasarkan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika terdapat setidaknya dua jenis rehabilitasi, yaitu
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 1 butir 16 Undang Undang
Nomor 35 tahun 2009 menyatakan bahwa: Rehabilitasi medis adalah suatu
proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika. Pasal 1 butir 17 Undang Undang Nomor 35 tahun
2009 menyatakan bahwa: Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas
pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat.
Oleh karena itu, dalam proses pengembalian fungsi sosial korban
penyalahgunaan narkotika diperlukan peran serta dari banyak pihak seperti:
pekerja sosial, psikiater, psikolog, terapis, keluarga dan lain sebagainya agar
di masa yang akan datang tidak kembali lagi menyalahgunakan narkotika. Di
sisi lain, para korban penyalahgunaan narkotika harus menghilangkan
labelling yang berkembang di masyarakat terhadap dirinya secara
berkesinambungan, agar di masa yang akan datang tidak memunculkan
masalah baru terhadap diri mereka. Contoh masalah yang akan muncul jika
hal tersebut tidak dihilangkan adalah korban penyalahgunaan narkoba tersebut
akan berubah menjadi pribadi yang tertutup, tidak percaya diri, bahkan yang
terburuk ia akan kembali menyalahgunakan narkotika tersebut.
Maka dari itu, sangat diperlukan bantuan pekerja sosial dalam
mengembalikan fungsi sosial para korban penyalahgunaan narkotika sekaligus
6
mengembalikan kepercayaan lingkungan sosial pada korban penyalahgunaan
narkotika dan di yayasan STIGMA yang berfokus pada rehabilitasi sosial
korban penyalahgunaan narkotika dengan bantuan pekerja sosial yang
kompeten dan telah menempuh jalur pendidikan ilmu kesejahteraan sosial
mencoba menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan rehabilitasi sosial
korban penyalahgunaan narkotika dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Dalam menangani rehabilitasi sosial para korban, sudah tentu perkerja sosial
memiliki nilai-nilai dan kode etik dalam melaksanakan tuganya.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas
nilai-nilai pekerja sosial dalam proses rehabilitasi sosial pada korban
penyalahgunaan narkotika. Sehingga para korban penyalahgunaan narkotika
dapat diterima oleh masyarakat sekitar dan masyarakat secara umum. Penulis
tertarik untuk meneliti tentang “IMPLEMENTASI NILAI-NILAI
PEKERJA SOSIAL DALAM PROSES REHABILITASI SOSIAL
KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI YAYASAN
STIGMA”.
B. Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang diatas dan guna mempermudah dalam
proses penulisan skripsi ini, maka penulis perlu membatasi masalah agar
skripsi ini lebih terarah, maka penulis akan memberikan pembatasan dan
perumusan masalah yang akan dibahas. Masalah akan dibatasi pada kajian
tentang bagaimana implementasi nilai-nilai pekerja sosial dalam proses
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba di yayasan STIGMA.
7
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah di jabarkan diatas maka
dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
Bagaimana implementasi nilai-nilai pekerja sosial dalam proses
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika di yayasan STIGMA?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan adanya permasalahan berdasarkan rumusan masalah yang
telah dikemukakan diatas dan tetap berpedoman pada objektifitas
penulisan suatu karya ilmiah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menggambarkan bagaimana implementasi nilai-nilai pekerja
sosial dalam proses rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
narkotika.
2. Untuk menggambarkan bagaimana dilema etik yang yang dihadapi
oleh pekerja sosial selama menjalankan proses rehabilitasi sosial
E. Manfaat Penelitian
Penelitian dalam bentuk skripsi ini tidak hanya bertujuan untuk
mendapatkan gelar sarjana pada tingkat universitas. Akan tetapi
diharapkan penulisan skripsi ini mempunyai manfaat dan nilai guna, baik
secara akademis ataupun secara praktis.
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dan berguna
baik bagi praktisi, pelajar, mahasiswa maupun tenaga pengajar atau
dosen di lembaga pendidikan sebagai bentuk sumbangan tentang
implementasi nilai-nilai pekerja sosial dalam proses rehabilitasi sosial
korban penyalahgunaan narkotika.
8
2. Secara praktis, diharapkan penulisan skripsi ini mampu memberikan
gambaran dan juga tuntunan kepada masyarakat luas dan para praktisi
yang bergerak di bidang pekerja sosial tentang nilai-nilai pekerja sosial
yang dapat dilakukan dalam proses rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan narkoba.
F. Tinjauan Pustaka
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan dalam tulisan ini,
terdapat beberapa karya tulis yang membahas tentang peran pekerja sosial.
Diantaranya yaitu:
1. Skripsi dengan judul “Peran Pekerja Sosial dalam Rehabilitasi Sosial
Penyalahguna Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Galih
Pakuan Bogor” yang ditulis oleh , Risdiyanto, NIM: , Jurusan
Kesejahteraan Sosial, tahun 2015. Pada pembahasan tulisan ini
mengkaji tentang apa saja peran pekerja sosial dalam proses
rehabilitasi sosial penyalahguna narkoba di PSPP Galih Pakuan,
Bogor.
2. Skripsi dengan judul “Peran Pekerja Sosial dalam Intervensi Terhadap
Anak Berperilaku Menyimpangdi Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP)
Antasena Magelang” yang ditulis oleh Meria Ulfa Sucihati, NIM :
09250002, Jurusan Kesejahteraan Sosial, tahun 2013. Pembahasan
pada tulisan tersebut lebih di titikberatkan pada peran pekerja sosial
dalam melakukan intervensi terhadap anak berperilaku menyimpang
dengan membandingkan intervensi yang dilakukan oleh pekerja sosial
9
yang berlatar belakang pendidikan kesejahteraan sosial maupun yang
bukan berlatar belakang kesejahteraan sosial.
Dengan penelitian yang ada diatas, penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang sudah dilakukan diatas. Karena penelitian ini
secara khusus mengkaji bagaimana implementasi nilai-nilai pekerja
sosial dalam proses rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
narkotika di YAYASAN STIGMA yang sejauh ini belum ada yang
meneliti.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini dilakukan di YAYASAN STIGMA
yang berada di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Dalam penelitian ini
diharapkan untuk mengetahui dan memahami bagaimana peran pekerja
sosial dalam proses rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
narkotika.
Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif,
dimana dalam metode pendekatan kualitatif ini berusaha memahami
dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku dalam
situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.5 Sedangkan
menurut Bogdad dan Taylor yang dikutip oleh Lexy J. Moleong,
bahwasanya pendekatan kualitatif adalah “prosedur” sebuah penelitian
5 . Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:
Bumi Aksara, 2003), cet ke XVIII h. 166
10
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.6
2. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
deskriptif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mardalis, bahwa
penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan, memaparkan, mencatat, menganalisa, dan
menginterpretasikan kondisi yang sekarang terjadi atau ada.7
Berdasarkan pemaknaan diatas, maka dalam penelitian ini
penulis berusaha untuk menggambarkan dan menganalis terkait
dengan implementasi nilai-nilai pekerja sosial dalam proses
rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika di Yayasan
STIGMA agar korban dapat berfungsi sosial seperti sedia kala.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam menemukan data data yang absah secara objektif, maka
dalam penelitian ini penulis menggunakan tehnik pengumpulan data
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia
dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya
selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit.
Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk
6 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001) cet.ke-15h. 3. 7 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002)
11
menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indra mata
serta dibantu dengan panca indra lainnya.8
Observasi dilakukan dengan memperoleh dan mengumpulkan
data dengan melakukan pengamatan langsung ke lapangan terhadap
kegiatan atau aktifitas suatu lembaga. Penelitian dilakukan dengan cara
mengumpulkan data-data di lapangan dan juga data-data yang sudah
tersedia di lembaga.
b. Wawancara
Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama.9
Wawancara dilakukan dengan tanya jawab secara lisan antara
peneliti dengan objek penelitian secara langsung. Dalam hal ini peneliti
melakukan wawancara dengan Direktur Umum, Kepala Bagian
Rehabilitasi , Pekerja Sosial dan seorang Klien.
c. Studi Dokumentasi
Studi Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data
yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya studi
8 Burhan Bungin,Penelitian Kualitatif Komunikasi,Ekonomi,Kebijakan Publik,dan Ilmu Sosial
Lainnya,(Jakarta:Kencana,2011),Edisi kedua,Cetakan ke-5,h.118. 9 Ibid,h.111.
12
dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis.10
Peneliti mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai
bentuk data, baik data yang tersimpan dan tertulis, atau dokumentasi-
dokumentasi yang sudah di publikasikan oleh Yayasan STIGMA.
4. Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dimulai pada 27 September 2016 dan
Penelitian ini berakhir pada tenggal 14 Maret 2018. Adapun tempat
penelitian ini berlangsung adalah di Yayasan Stigma yang beralamat di
Jl. Anggrek VI No.5, Rt 08/ RW 012, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta
Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12330.
5. Subjek dan Informan
Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, informan
dipilih secara sengaja, dan berdasarkan kebutuhan dari peneliti. Subjek
penelitian ini adalah implementasi nilai-nilai oleh pekerja sosial dalam
proses rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba di yayasan
STIGMA.
Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pekerja
Sosial yang merupakan pihak utama yang peneliti teliti, selain itu ada
juga Direktur Umum Yayasan Stigma yang merupakan penentu
kebijakan dalam yayasan dan Kepala Bidang Rehabilitasi yang
merupakan penanggung jawab atas semua kegiatan rehabilitasi. Secara
rinci informan yang akan menjadi sumber data adalah sebagai berikut:
10
Ibid,h.124.
13
a. Direktur Umum Yayasan STIGMA.
1) Suwanto.
b. Kepala Bagian Rehabilitasi.
1) Sugeng
c. Pekerja Sosial
1) “I” . Hasil rekomendasi dari Bapak Sugeng karena beliau
menilai “I” sangat mengerti akan tugas dan fungsi pekerja
sosial.
d. “A”. Hasil rekomendasi dari Bapak Sugeng karena beliau menilai
“A” merupakan klien yang sangat kooperatif dan dapat
diwawancara sebagai sumber data.
Tabel. 1.1
Data Informan
Informan Jumlah
Direktur Umum Yayasan STIGMA 1 Orang
Kepala Bagian Rehabilitasi Sosial 1 Orang
Pekerja Sosial 1 Orang
Klien 1 Orang
6. Pedoman Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Teknik
Penulisan Karya Ilmiah (Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang
terdapat pada Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta 2011-2012.
7. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, maka
penulisan skripsi akan dibagi menjadi beberapa bab yang didalamnya
14
terdapat sub-bab. Agar lebih sistematis dan terarah, akan dibagi
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah yang
menjadi dasar dalam penulsan skripsi ini. Selanjutnya terdapat
pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Pustaka, dimana didalamnya membahas tentang
nilai-nilai pekerja sosial, khususnya terkait dengan proses rehabilitasi
sosial.
BAB III Profil Yayasan STIGMA, terdiri dari sejarah, struktur
lembaga, program kerja, dan sebagainya .
BAB IV Temuan dan Analisis, dalam bab ini diuraikan tentang
proses rehabilitasi sosial, implementasi nilai-nilai pekerja sosial, serta
dilema etik dalam implementasi nilai-nilai pekerja sosial.
BAB V Penutup, terdiri dari kesimpulan dalam penulisan
skripsi, kritik dan saran yang diperlukan.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pekerja Sosial
1. Pengertian Pekerja Sosial
Pekerja sosial adalah orang yang memiliki dasar pengetahuan,
keterampilan dan nilai pekerjaan sosial yang mempunyai tugas pokok
memberikan pelayanan kesejahteraan sosial. Dan pekerjaan sosial yaitu suatu
pekerjaan yang berakar pada tanggung jawab sosial bertujuan untuk
kesejahteraan sosial, dengan jelas berusaha menghilangkan faktor-faktor
yang mengganggu perkembangan pribadi seseorang.11
Profesi pekerja sosial
adalah suatu profesi yang pada dasarnya merupakan profesi pertolongan
terhadap mereka yang rentan terhadap permasalahan keberfungsian sosial,
baik itu individu, kelompok, maupun masyarakat.
Pekerjaan sosial dapat dimaknai baik sebagai disiplin ilmu, maupun
profesi kemanusiaan. Sebagai disiplin ilmu, pekerjaan sosial memfokuskan
perhatiannya pada interelasi person-environment berdasarkan pendekatan
holistic yang dibangun secara eklektik dari ilmu-ilmu perilaku manusia dan
sistem sosial, terutama psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan
politik. Sementara sebagai profesi kemanusiaan, pekerjaan sosial berfokus
pada pertolongan dan keahlian profesional untuk memperbaiki atau
meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok, keluarga, dan
masyarakat sehingga memiliki kapasitas dalam menghadapi goncangan dan
tekanan yang menerpa kehidupan.
Profesi pekerjaan sosial [dikutip dari pertemuan “Federasi Pekerja
Sosial Internasional” di Montreal-Kanada, Juli 200] mempromosikan
11
Suharto, “Tanya Jawab Sosiologi”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h.93
16
terciptanya perubahan sosial, serta pemberdayaan dan pembebasan manusia
pada relasi manusia, serta pemberdayaan dan pembebasa manusia untuk
mencapai derajat kehidupan yang lebih baik. Upaya tersebut dilakukan
dengan menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem sosial.
pekerjaan mengintervensi ketika seseorang berinteraksi dengan
lingkungannya. Prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial
merupakan hal yang fundamental bagi pekerjaan sosial.12
Berikut ini adalah pengertian dan definisi pekerja sosial menurut para ahli:
Tabel 1.2 Pengertian pekerja sosial menurut para ahli
No. Nama Teori
1. Robert W.
Robert dan
Robert H. Nee
Pekerja sosial merupakan profesi yang baru
muncul pada abad ke-20. Berbeda dengan profesi
lain yang mengembangkan spesialisasi untuk
mencapai kematangannya, maka pekerja sosial
berkembang dari berbagai spesialisasi pada
lapangan kerja yang berbeda.13
2. Tara Kuther
Pekerja sosial adalah seorang profesional, yang
paling sering bekerja dengan orang dan
membantu mereka mengelola kehidupan sehari-
hari mereka, memahami dan beradaptasi dengan
penyakit, cacat, kematian, dan memberikan
pelayanan sosial, seperti perawatan kesehatan,
bantuan pemerintah, dan bantuan hukum.
3. Jack Claridge Pekerja sosial adalah seorang individu yang
bertujuan untuk membantu orang-orang dalam
masyarakat yang tidak mampu atau kesulitan
dalam menangani masalah kehidupan yang
mereka hadapi. Pekerja sosial dapat melakukan
tugas mereka di sekolah, rumah sakit, organisasi,
dan sektor publik lainnya.
4. Princeton Pekerja sosial ialah seorang yang menghabiskan
hari-hari mereka membantu orang yang
mempunyai masalah dengan kesehatan,
psikologis, sosial, atau bahkan masalah
keuangan.
12
Isbandi Rukminto, Adi, “Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, 2nd ed.,(Depok: FISIP
UI Press, 2005), h. 12 13
Isbandi Rukminto Adi, “Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial”, (Jakarta:
PT. Raja Garfindo Persada, 1994), cet. 1, h. 11
17
5. C. Walter A.
Fried Kandar
Pekerjaan sosial adalah pelayanan profesional
berdasarkan ilmu dan keterampilan dalam
hubungan kemanusiaan yang membantu
seseorang atau kelompok untuk mencapai
kebebasan pribadi.
6. Pincus dan Anne
Minahan
Pekerja sosial adalah seorang yang ahli dan
mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki
dan atau mengembangkan interaksi antara orang/
sekelompok orang dengan lingkungan sosial
mereka sehingga memiliki kemampuan untuk
melaksanakan tugas-tugas kehidupan, mengatasi
kesulitan dan mewujudkan aspirasi serta nilai-
nilai mereka.14
Sementara itu menurut Buku Panduan Pekerja Sosial adalah pegawai
negeri sipil yang diberi tugas melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan
sosial secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada lingkungan
Departemen Sosial dan Unit Pelayanan Kesejahteraan Sosial pada instalasi
lainnya berdasarkan kompetensi profesional pekerja sosial.15
Sedangkan di Indonesia, pengertian Kesejahteraan Sosial tidak dapat
dilepaskan dari apa yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat 1 yang mengatakan
bahwa, Kesejahteraan Sosial ialah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Rumusan di atas menggambarkan Kesejahteraan Sosial sebagai suatu
keadaan di mana digambarkan secara ideal adalah suatu tatanan (tata
kehidupan) yang meliputi kehidupan material maupun spiritual, dengan tidak
menempatkan satu aspek lebih penting dari yang lainnya, tetapi lebih
14
Dwi Heru Sukoco,” Profesi Pekerja Sosial dan Pertolongannya”, (Bandung: Kopma STKS,
1998), h. 75 15
Departemen Sosial RI, Panduan Pekerja Sosial di Lingkungan Departemen Sosial (Jakarta:
Sekretariat Jenderal, 1998), h. 4
18
mencoba melihat pada upaya mendapatkan titik keseimbangan. Titik
keseimbangan antara aspek sosial, material, dan spiritual.16
Dari pengertian menurut ahli diatas, maka pekerja sosial itu adalah
seorang ahli yang mempunyai tanggung jawab sosial untuk memperbaiki dan
atau mengembangkan interaksi sosial antara orang/ sekelompok orang
dengan lingkungan sosialnya, sehingga memiliki kemampuan untuk
melaksanakan tugas-tugas kehidupan, mengatasi kesulitan dan mewujudkan
aspirasi serta nilai-nilai mereka. Yang intinya adalah membantu seseorang
atau sekelompok orang yang mengalami disfungsi sosial menjadi berfungsi
sosial seperti seharusnya.
2. Prinsip Umum Pekerja Sosial, Kode Etik Pekerja Sosial dan Nilai-Nilai
Pekerjaan Sosial
Kode etik merupakan pedoman yang dijadikan sebagai standar
perilaku para pekerja sosial yang berisikan nilai-nilai, prinsip-prinsip, aturan
profesi pekerjaan sosial yang dijadikan pedoman bagi anggotanya. Penetapan
kode etik dimaksudkan untuk menjaga dan menjamin kompetensi pelayanan
profesional, meningkatkan mutu pelayanan sosial dan melindungi penerima
pelayanan sosial. prinsip-prinsip pekerja sosial dituangkan dalam kode etik
profesi, dalam bentuk petunjuk dan kewajiban. Prinsip umum pekerja sosial
adalah:
a. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
b. Pengakuan adanya persamaan kesempatan
c. Hak individu untuk menentukan jalan/cara hidupnya sendiri
d. Setiap orang mempunyai tanggung jawab sosial.
Adapun kode etik pekerja sosial adalah:
16
Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), h. 23
19
a. Pekerja sosial mengutamakan tanggung jawab melayani kesejahteraan
individu atau kelompok yang meliputi kegiatan perbaikan kondisi sosial.
b. Pekerja sosial mendahulukan atau mengutamakan tanggung jawab
profesi daripada kepentingan pribadi.
c. Pekerja sosial tidak membeda-bedakan latar belakang keturunan, warna
kulit, agama, umur, jenis kelamin, warga negara dan berusaha mencegah
serta menghapuskan diskriminasi dalam memberikan pelayanan, dalam
tugas serta praktek-praktek kerja.
d. Pekerja sosial melaksanakan tanggung jawab demi mutu dan keleluasaan
pelayanan yang diberikan.17
Pada dasarnya tujuan pekerjaan sosial yaitu ingin selalu memperbaiki
dan meningkatkan praktik pekerjaan sosial profesional. Para pekerja sosial
berupaya untuk menggabungkan pengetahuan dan keterampilan untuk
kepentingan pelayanan kepada sistem klien. Disamping itu, pekerja sosial
diharapkan cukup memahami metodologi penelitian serta hasil-hasil
penelitian yang dilaporkan dan menerapkan konsep-konsep, teori-teori, serta
pengetahuan yang dikembangkan oleh penelitian yang bersangkutan kedalam
praktik yang dilakukannya.18
Selain itu pekerjaan sosial juga dipengaruhi oleh berbagai
nilai. Pekerjaan sosial menyatakan pentingnya nilai-nilai sebagai suatu
dimensi yang besar dalam praktek profesionalnya. Oleh sebab itu pekerja
sosial menempatkan posisi yang didasarkan atas suatu nilai-nilai. Nilai-nilai
secara umum dapat diartikan sebagai pusat pandangan setiap orang tentang
bagaimana menjalani hidup ini. Artinya nilai-nilai merupakan suatu pedoman
17
Sumber Pedoman Pekerja Sosial (Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat) 18
Irawan Soehartono, “Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan
Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 6, h. 18
20
tingkah laku bagi setiap orang dalam melakukan tindakan di suatu
lingkungan tertentu guna mencapai tujuan-tujuannya.
3. Nilai-nilai Pekerja Sosial
Praktik pekerjaan sosial selalu berdasarkan pada nilai masyarakat,
karena profesi pekerjaan sosial mendapat misi untuk melaksanakan sebagian
dari fungsi masyarakat. Oleh sebab itu praktik pekerjaan sosial akan
mengambil dan dipengaruhi oleh nilai masyarakat. Jadi suatu profesi harus
selaras dengan nilai-nilai masyarakat. Praktik pekerjaan sosial di Indonesia
harus yang sesuai dan mendukung nilai masyarakat Indonesia.
Pengetahuan pekerjaan sosial dapat diambil dari mana saja, tetapi
kita perlu menyaringnya untuk disesuaikan dengan nilai masyarakatnya. Nilai
belum tentu merupakan hal yang dipraktikkan di dalam masyarakat atau
dengan kata lain apa yang dipraktikkan di dalam masyarakat belum tentu
merupakan kegiatan untuk mencapai/melaksanakan nilai. Jadi nilai
masyarakat sebagai salah satu sumber nilai profesi, karena profesi sebenarnya
lahir sebagai perwujudan dari pelaksanaan nilai masyarakat.
Konsep nilai banyak dibahas di dalam literatur pekerjaan
sosial, karena nilai mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam
pelaksanaan praktik pekerjaan sosial. Pekerja sosial dalam melaksanakan
tugas-tugasnya selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai sebagai berikut:
a. Nilai-nilai personal (personal value)
Praktik pekerjaan sosial mencakup penyatuan keunikan manusia
secara pribadi dengan perangkat tanggung jawab profesional. Pekerja sosial,
layaknya seperti klien dan orang lainnya, memiliki banyak perbedaan
dimensi. Perbedaan dimensi secara; fisik, emosional, intelektual, spiritual,
21
dan sosial. Pekerja sosial merespons dari peranan profesionalnya dan
bertanggung jawab cara-melihat klien yang utuh (whole person).
Pekerja sosial boleh saja menutup identitas peranan profesionalnya,
tetapi bukan dalam peranan dalam 24 jam per-hari. Ia mempunyai kehidupan,
relasi, dan tanggung jawab pribadi, dan itu semua merupakan bagian dari diri
seorang pekerja sosial. setiap pekerja sosial, tentu dituntut mempunyai
keseimbangan antara kehidupan diri-pribadi dan profesionalitasnya yang
sehat dan afiat.19
b. Nilai-nilai profesi (profesional value)
Pekerja sosial melihat orang, harus berdimensi menyeluruh dengan
aspek; biologis, kecerdasan, emosional, sosial, temali-keluarga, keyakinan-
agama, ekonomi, masyarakatnya dan sebagainya. Juga lebih memperhatikan;
aspek-aspek pribadi klien menghadapi situasi sosialnya, yaitu menyangkut,
1) Kapasitas individu untuk memenuhi kebutuhan dasar; seperti,
makanan, perumahan, kesehatan dan perawatan
2) Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna
mengatasi tuntutan kehidupan dan penghasilannya
3) Gagasan pribadi tentang kehidupan orang lain dan dirinya
4) Tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi individu dan sebagainya20
c. Nilai-nilai pribadi (values of client’s)
Pekerja sosial harus mengakui, menghargai, dan berusaha sebaik
mungkin melindungi kepentingan klien dalam konteks pelayanan seperti;
memberikan pelayanan sesuai dengan kompetensi profesionalnya; memberi
19
Cepi Yusrun Alamsyah, “Praktik Pekerjaan Sosial Generalis: Suatu Tuntunan Intervensi”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2010, hlm. 45 20
Ibid, hlm. 197-198
22
informasi yang akurat dan lengkap tentang keleluasaan lingkup, jenis dan
sifat pelayanan; memberitahukan hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan
dan resiko-resiko yang melekat pada dan atau timbul dari hubungan
pelayanan yang diberikan; dan seterusnya.21
d. Nilai lembaga tempat pekerja sosial bekerja
Pekerja sosial harus senantiasa berperan aktif dalam meningkatkan
kinerja pelayanan lembaga yang mempekerjakannya terhadap klien, baik
melalui hubungan kerja yang kondusif maupun dalam bentuk pelayanan yang
lebih bermutu kepada klien, dengan:
1) Melaksanakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab sebaik-baiknya
dan secara akuntabel dalam bidang, jabatan, dan kompetensinya.
2) Tidak menyalahgunakan identitas, jabatan, dan sumberdaya lembaga
untuk kepentingan pribadi.22
e. Nilai masyarakat dimana praktek pekerjaan sosial dilaksanakan.
Setiap manusia memiliki karakteristik latar belakang ragam budaya,
agama, ras, gender, intelektual, dan usia yang berbeda. Ragam keunikan
perilaku manusia itu diekspresikan dalam kehidupan individu, keluarga dan
masyarakat. Oleh karena itu, pekerja sosial harus memahami dan respek
(menghormati) terhadap keragaman dan keunikan kepribadian manusia.
21
Ibid, hlm. 193-194 22
Ibid, hlm. 198-199
23
Dengan demikian, pekerja sosial dituntut memiliki sikap
menghormati, menghargai, memahami, dan menerima keragaman dan
keunikan kepribadian manusia sebagaimana adanya.
Pekerja Sosial Profesional harus senantiasa berupaya untuk
memperkuat profesionalisme pekerjaan sosial sebagai pilar
usaha/penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan;
1) Mencegah dan mengurangi dominasi, eksploitasi, dan diskriminasi
terhadap setiap orang dan kelompok yang didasari atas ras, etnisitas,
jenis kelamin, usia, status perkawinan, keyakinan agama, politik,
atau keterbatasan fisik dan mental serta terhadap Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan mantan narapidana.
2) Menjamin agar semua orang memiliki akses terhadap sumber-sumber
pelayanan dan yang mereka butuhkan.
3) Mengembangkan pilihan dan kesempatan bagi semua orang terutama
bagi orang-orang atau kelompok-kelompok yang kurang beruntung
atau yang tertindas.
4) Menciptakan kondisi yang mendorong munculnya rasa hormat
terhadap keanekaragaman budaya bangsa.
5) Memberikan pelayanan-pelayanan profesional yang cepat terutama
dalam keadaan darurat.23
Nilai-nilai dasar pekerjaan sosial berasal dari nilai-nilai
masyarakat demokratis yang menekankan penghargaan pada martabat
dan harga diri manusia, serta antar hubungan yang saling menguntungkan
diantara individu dengan masyarakat. Kemudian di dalam praktiknya,
23
Ibid, hlm. 201
24
nilai-nilai tersebut dirumuskan menjadi prinsip-prinsip dasar pekerjaan
sosial yang akan menjadi landasan bagi praktik pekerjaan sosial
profesional.
Sedangkan Nations Assosiation of Social Work (NASW) dalam
Sheafor dkk (2000) terdapat 6 (enam) inti nilai di dalam The NASW
Code of Ethic sebagai berikut;
a. Pelayanan. Tujuan utama pelayanan pekerjaan sosial ialah
untuk membantu klien mengatasi persoalan keberfungsian
sosial. kewajiban melayani klien ditempatkan lebih utama
daripada minat-pribadi pekerja sosial.
b. Keadilan sosial.sebagai pekerja sosial terlibat dalam upaya-
upaya mengubah kondisi sosial yang tidak adil; mereka
secara khusus sensitif terhadap kerawanan sebagian besar
penduduk (seperti terhadap individu-individu dan kelompok-
kelompok yang tergolong miskin, diskriminasi,dan bentuk-
bentuk ketidakadilan lainnya).
c. Mertabat dan harga diri-pribadi. Pekerja sosial
mempertimbangkan dengan memandang bahwa setiap klien
martabat dan harga diri sebagai nilai pribadi, dan perlakuan
terhadap klien dilakukan dengan menghormatinya sekalipun
perilakunya pernah membahayakan diri atau orang lain.
d. Mengutamakan relasi manusia. Pekerja sosial memahami
bahwa relasi merupakan sentral pengembangan manusia
terutama di dalam keberhasilan proses pertolongan
menyangkut layanan individu, keluarga, kelompok,
organisasi, dan atau komunitas.
25
e. Integritas. Relasi pertolongan tidak-dapat dilakukan secara
terus menerus kecuali klien mempercayai pekerja sosial yang
memiliki integritas kejujuran dan menghormati hak-hak
privasi klien.
f. Kompetensi. Pekerja sosial berkomitmen untuk memberikan
pengetahuan dan keterampilan terbaiknya di dalam proses
pertolongan.
Sebenarnya, menurut mereka (2000) terdapat beberapa inti nilai
pekerjaan sosial lainnya seperti:
1) Pekerja sosial menghormati hak-hak dasar orang (klien)
2) Pekerja sosial memiliki rasa tanggung jawab sosial
3) Pekerja sosial berkomitmen terhadap kebebasan
4) Pekerja sosial mendukung sikap klien menentukan dirinya
sendiri
Nilai-nilai yang dilembagakan dalam suatu kode etik profesi
pekerjaan sosial sebagai profesi human services tentu memiliki
nilai-nilai keunikan tersendiri yang berbeda dengan profesi-
profesi pertolongan manusia lainnya. Seni pertolongan, tentu
bersandar pada nilai-nilai kemanusiaan dan profesional.24
Prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial tersebut meliputi:
keyakinan akan martabat dan harga diri manusia, keyakinan akan adanya
hak manusia untuk menentukan nasibnya sendiri, keyakinan akan adanya
hak yang sama bagi setiap manusia, serta keyakinan akan adanya
24
Ibid, hlm 53-55
26
tanggung jawab sosial dalam pelaksanaan tugas-tugas kehidupan setiap
manusia termasuk tugas profesionalnya.
Selanjutnya dalam praktik, pekerja sosial dituntut untuk
mengenali, memahami, serta menginternalisasikan beberapa nilai sebagai
berikut :
1. Penerimaan
Prinsip ini mengemukakan bahwa seorang pekerja sosial
menerima klien tanpa menghakimi klien tersebut terlebih dahulu.
Kemampuan pekerja sosial untuk menerima klien dengan sewajarnya
akan banyak membantu perkembangan relasi antara pekerja sosial
dengan kliennya.
2. Komunikasi
Prinsip komunikasi ini erat kaitannya dengan kemampuan
pekerja sosial untuk menangkap informasi ataupun pesan yang
dikemukakan oleh klien, baik dalam bentuk komunikasi yang
verbal,yang diungkapkan klien ataupun sistem klien, maupun bentuk
komunikasi non verbal.
3. Individualisasi
Prinsip individualisasi pada intinya menganggap setiap
individu berbeda dengan yang lainnya, sehinngga seorang pekerja
sosial haruslah menyesuaikan cara memberi bantuan dengan setiap
kliennya, guna mendapatkan hasil yang diinginkan. Dengan adanya
prinsip individualisasi ini maka seorang pekerja sosial dibekali
dengan pengetahuan bahwa setiap individu adalah unik, sehingga
27
pendekatan yang diutamakan adalah kasus per kasus dan bukannya
penggeneralisasian.
4. Partisipasi
Berdasarkan prinsip ini, seorang pekerja sosial harus
mengajak kliennya untuk berperan aktif dalam upaya mengatasi
permasalahan yang dihadapinya, sehinnga klien ataupun sistem klien
juga mempunyai rasa tanggung jawab terhadap keberhasilan proses
pemberian bantuan tersebut. Karena tanpa ada kerja sama dan peran
serta dari klien maka upaya pemberian bantuan sulit untuk mendapat
hasil optimal.
5. Kerahasiaan
Prinsip kerahasiaan ini akan memungkinkan klien ataupun
sistem klien mengungkapkan permasalahan yang ia hadapi dengan
rasa aman, karena ia yakin bahwa apa yang ia utarakan dalam
hubungan kerja sama dengan pekerja soaial akan tetap dijaga oleh
pekerja sosial agar tidak diketahui oleh orang lain.
6. Kesadaran diri pekerja social (worker self-Awarness)
Prinsip ini menuntut pekerja social untuk bersikap
professional dalam menjalin relasi dengan kliennya, dalam arri
bahwa pekerja sosial harus mampu mengendalikan dirinya sehingga
tidak terhanyut oleh permasalahan yang dihadapi oleh kliennya.
Pekerja sosial di sini haruslah tetap rasional, tetapi mmpu menyelami
perasaan kliennya secara obyektif. Dengan kata lain, pekerj sosial
28
haruslah menerapkan sikap empati dalam menjalin relasi dengan
kliennya.25
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa sikap pekerja sosial
dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar profesional, nilai-nilai masyarakat
secara umum serta nilai-nilai masyarakat tempat dilaksanakannya praktik
pekerjaan sosial. Dan pada dasarnya sikap profesional tersebut terletak
pada pengendalian diri pekerja sosial untuk tetap mampu bersikap
objektif tanpa pernah kehilangan sikap sebagai manusia biasa. Dapat pula
diartikan sikap profesional pekerja sosial terutama berarti
kemampuannya untuk mengenali dan menggunakan dirinya sendiri
dalam suatu hubungan profesional dengan kliennya. Seperti juga hal
pekerja sosial harus memilih kemampuan untuk memahami berbagai
aspek pada klien serta lingkungan. Pemilikan sikap profesional tersebut
merupakan proses dan merupakan hasil belajar dari para pekerja sosial
itu sendiri baik dari penelaahannya maupun pengalamannya secara
praktis. Pemilikan sikap tersebut tidak diragukan lagi dalam proses
pemberian bantuan, sehingga hubungan pemberian bantuan bukan
diciptakan oleh teknik-teknik pemberian bantuan melainkan oleh pemberi
bantuan itu sendiri dalam hal ini adalah pekerja sosial profesional.
B. Rehabilitasi
1. Pengertian Rehabilitasi
Pada awalnya rehabilitasi adalah sebuah istilah dan pandangan Plato
terhadap pelaku kejahatan, namun pada perkembangannya, istilah tersebut
meluas penggunaannya pada berbagai bidang. Tidak hanya pada bidang
kriminologi saja, namun sudah meluas hingga bidang medis, sosial,
25
Ibid, hlm. 7-8
29
psikologi, dan kesejahteraan sosial. rehabilitasi menawarkan optimisme dan
harapan yang terkait dengan semangat kemanusiaan yang kuat untuk
memperoleh kesembuhan dan hidup yang lebih baik lagi. Rehabilitasi
mempertemukan keahlian dan tenaga profesional, seperti dokter, psikolog,
kriminolog, pendidik, konselor dan pekerja sosial.
Rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan yang dahulu,
perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misal
pasien rumah sakit, korban bencana alam) supaya menjadi manusia yang
berguna dan memiliki tempat di masyarakat.
Menurut Departemen Sosial RI, rehabilitasi adalah proses
refungsionalisasi dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk
memungkinkan para penyandang masalah kesejahteraan sosial mampu
melaksanakan kembali fungsi sosialnya dalam tata kehidupan dan
penghidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pada dasarnya, rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan
keberfungsian sosial seseorang dengan menawarkan optimisme serta harapan
yang kuat. Rehabilitasi mempertemukan tenaga-tenaga ahli dan pelbagai
disiplin ilmu. Tenaga ahli tersebut mengupayakan rehabilitasi secara lebih
komprehensif dan segi medis, psikologis dan sosial dalam rangka
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya di masyarakat.
2. Jenis Rehabilitasi
Dalam praktiknya, rehabilitasi mempertemukan berbagai disiplin
ilmu mulai dari medis, psikologis, sosial, bahkan pendidikan multidisipliner
yang menghasilkan proses rehabilitasi yang saling terkait dan mendukung
upaya pengembalian fungsi sosial, sehingga individu dapat menjalankan
perannya sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Pada perkembangannya,
rehabilitasi terbagi menjadi empat jenis rehabilitasi sebagai berikut:
30
a. Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi medis merupakan upaya menyembuhkan atau
memulihkan kesehatan pasien melalui layanan-layanan kesehatan,
baik itu dilakukan oleh seorang dokter dalam praktek
pribadinyamaupun di rumah sakit umum. Biasanya di rumah sakit
umum dilengkapi dengan layanan psikologis yang dilakukan oleh
psikolog, dan layanan sosial atau sosial medis yang dilakukan oleh
pekerja sosial medis. Pada setting rumah sakit yang melaksanakan
kegiatan rehabilitasi medis, layanan psikologis dan pekerja sosial
merupakan layanan penunjang.
b. Rehabilitasi Pendidikan
Rehabilitasi pendidikan merupakan upaya pengembangan
potensi intelektual klien penyandang cacat yang dilaksanakan pada
setting sekolah luar biasa (SLB), misalnya di indonesia SLB A untuk
penyandang tuna netra, SLB B untuk penyandang tuna rungu dan
tuna wicara, SLB C untuk penyandang tuna laras, dan SLB D untuk
penyandang cacat tubuh. Profesi yang dominan pada setting sekolah
luar biasa ini adalah guru sekolah luar biasa, adapun profesi dokter,
psikolog, dan pekerja sosial adalah sebagai profesi penunjang.
c. Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional merupakan upaya memberikan bekal
keterampilan kerja bagi klien, sehingga dapat mandiri secara
ekonomi di masyarakat, pada setting ini, diperlukan tenaga-tenaga
yang menguasai keterampilan kekaryaan khusus. Pekerja sosial pada
setiing ini, diharapkan menguasai keterampilan kekaryaantersebut
disamping keterampilan dan keahliannya dibidang psikososial.
31
d. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang bertujuan untuk
mengintegrasikan seseorang yang mengalami masalah sosial ke
dalam kehidupan masyarakat dimana dia berada. Pengintegrasian
tersebut dilakukan melalui upaya peningkatan penyesuaian diri, baik
terhadap keluarga, komunitas maupun pekerjaannya. Dengan
demikian, rehabilitasi sosial merupakan pelayanan sosial yang utuh
dan terpadu, agar seseorang dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara optimal dalam hidup bermasyarakat. Pada jenis rehabilitasi
sosial ini, profesi pekerja sosial memegang peran utama. Profesi-
profesi lain berperan sesuai dengan kebutuhan yaitu sebagai
penunjang.
Rehabilitasi sosial merupakan suatu upaya yang
dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan
seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melakukan
fungsi sosialnya kembali secara wajar. Rehabilitasi sosial
dilaksanakan secara persuasif, motivatif, dan kohersif baik dalam
keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Dalam pelaksanaannya,
rehabilitasi sosial diberikan pada para penyandang masalah
kesejahteraan sosial dalam bentuk; pemberian motivasi dan diagnosis
psikososial,perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan
pembinaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan
sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan dan
asistensi sosial, bimbingan resosialisasi, bimbingan lanjut, dan
rujukan.
Rehabilitasi sosial dapat dilakukan dalam lembaga seperti
panti sosial maupun diluar lembaga (luar panti/berbasis masyarakat).
32
Sasaran rehabilitasi sosial adalah mereka yang mengalami hambatan
dalam melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik seperti para
penyandang cacat, anak nakal, anak bermasalah sosial (anak
terlantar, anak putus sekolah, anak jalanan, dan anak berhadapan
dengan hukum), korban penyalahgunaan narkotika, wanita tuna
susila (WTS), serta penderita HIV/AIDS atau ODHA (Orang dengan
HIV/AIDS).
Proses rehabilitasi sosial terutama dalam panti harus melalui
pendaftaran (registrasi), kontrak layanan (intake), pengungkapan dan
pemahaman masalah (assesment), menyusun rencana pemecahan
masalah (planning), pemecahan masalah (intervensi), evaluasi,
terminasi, dan pembinaan lanjut. Rehabilitasi sosial di dalam panti
tersebut menggunakan pendekatan praktik pekerjaan sosial.
Pelayanan rehabilitasi sosial dalam pelayanan kesejahteraan
sosial memiliki peranan yang cukup penting, karena proses
rehabilitasi sosial bertujuan untuk memulihkan kemampuan-
kemampuan seseorang sehingga dapat kembali berfungsi sosial
secara optimal dan dapat memberikan kontribusi yang besar dan
cukup berarti dalam mewujudkan pembangunan sosial.
Tujuan rehabilitasi sosial itu sendiri yaitu untuk memulihkan
kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial seseorang
sehingga dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara wajar di
masyarakat serta menjadi sumber daya manusia yang berguna,
produktif, dan berkualitas, berakhlak mulia serta menghilangkan
label (stigma) negatif masyarakat terhadap seseorang yang
menghambat tumbuh kembang untuk berpartisipasi dalam hidup dan
kehidupan masyarakat.
33
Fungsi rehabilitasi dalam dunia pekerjaan sosial diartikan
sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan penyandang masalah kesejahteraan sosial mampu
melakanakan fungsi sosialnya dalam hidup bermasyarakat.
Dikatakan sebagai proses refungsionalisasi, karena dalam proses
rehabilitasi ini para penyandang masalah kesejahteraan sosial
kehilangan fungsi sosialnya di masyarakat oleh sebab masalah yang
dihadapinya sehingga mereka kehilangan fungsi sosialnya.
3. Perangkat Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan kepada kondisi yang
semula, agar dapat mencapai tujuan tersebut, rehabilitasi memerlukan
serangkaian perangkat sebagai penunjang berlangsungnya proses rehabilitasi
yang integratif dan komprehensif. Perangkat tersebut meliputi sarana dan
prasarana yang menunjang proses rehabilitasi, yaitu:
a. Program Rehabilitasi
Program rehabilitasi mencakup pelaksanaan prosedur rehabilitasi
yang terencana, teroganisir, dan sistematis. Umumnya program
rehabilitasi menjadi bagian dan sebuah kegiatan organisasional lembaga,
baik lembaga yang dikelola pemerintah maupun lembaga non
pemerintah. Jangkauan program dapat meliputi lingkup lokal, regional,
bahkan nasional. Keterkaitan dan kerjasama antar lembaga-lembaga
menyelenggarakan program rehabilitasi merupakan hal penting mencapai
tujuan rehabilitasi itu sendiri. Dimana tujuan dan fokus rehabilitasi akan
tergantung pada kebijakan lembaga dan dapat bervariasi pada lembaga
lainnya. Seperti pada lembaga yang menyelenggarakan program
rehabilitasi bagi pecandu narkotika yang mengkhususkan pada program
rehabilitasinya saja.
34
b. Pelayanan
Pelayanan dalam proses rehabilitasi meliputi aktivitas-aktivitas
khusus yang dapat memberikan manfaat dan sesuai dengan kebutuhan
klien. penyelenggaraan pelayanan terhadap klien mengintegrasikan
berbagai pendekatan, disiplin ilmu dan tenaga-tenaga profesional untuk
mencapai tujuan dari proses rehabilitasi tersebut.
c. Sumber Daya Manusia (SDM)
Proses rehabilitasi tidak mungkin berjalan tanpa adanya sumber
daya manusia sebagai pelaksana proses tersebut. Pelaksana rehabilitasi
melibatkan tenaga-tenaga profesional dari berbagai latar belakang
pendidikan dan keterampilan-keterampilan khusus, seperti dokter,
pekerja sosial, psikolog, konselor, terapis, tenaga pendidikan, pengajar
vokasional, dan lain sebagainya. Sumber daya manusia memegang
peranan utama dalam pelaksanaan rehabilitasi.
d. Fasilitas Penunjang Rehabilitasi
Fasilitas yang dapat menunjang pelaksanaan rehabilitasi meliputi
fasilitas tempat sebagai wadah pelaksanaan rehabilitasi, seperti Instalasi
Rehabilitasi Medis (IRM) pada rumah sakit, panti sosial binaan
pemerintah, dan lembaga sosial yang menyelenggarakan program dan
layanan rehabilitasi. Selain tempat pelaksanaan, fasilitas penunjang
lainnya adalah peralatan rehabilitasi. Jenis dan jumlah peralatan tersebut
tergantung pada program, dan layanan rehabilitasi yang diselenggarakan.
35
C. Narkoba
1. Pengertian Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan
Adiktif lainnya. Ada tiga unsur yang tergolong sebagai narkoba yaitu
narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya.26
a. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis,
bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitaas
mental perilaku. Perubahan khas ini misalnya bersifat bersemangat,
gembira, berkhayal tinggi, percaya diri besar, dan mempunyai energi tak
terbatas. Dampak dari pemakaian zat ini adalah timbulnya
kecenderungan orang untuk bergerak atau berjoget lebih lama. Sebagai
contoh adalah ekstasi dan shabu-shabu.27
b. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Contoh narkotika ini adalah heroin, kokain, dan ganja.28
c. Bahan Adiktif Lain
Bahan adiktif lain adalah bahan lain yang tak masuk dalam
kategori narkotika maupun psikotropika. Penggunaannya dapat
26
Pengertian berdasarkan Kamus Narkoba yang dikeluarkan oleh BNN tahun 2006 27
A. Kadarmanta, “Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa”, (Jakarta: PT. Forum Media Utama,
2010), h. 41 28
A. Kadarmanta, “Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa”, (Jakarta: PT. Forum Media Utama,
2010), h. 41
36
menimbulkan ketergantungan. Unsur paling penting pada zat adiktif ini
adalah karena zat tersebut membuat pemakainya ketergantungan. Contoh
zat adiktif ini adalah minuman beralkohol, nikotin pada tembakau, cafein
pada kopi dan jamur tahi sapi. Sering juga dikenal dengan NAPZA
(Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya). 29
2. Jenis Narkoba
a. Candu
Candu adalah zat yang dihasilkan dari tanaman berbunga
papaver somniverum L, yang berisi berbagai macam zat kimia aktif.
Beberapa diantaranya mempunyai khasiat untuk pengobatan, tetapi
sebagian lagi mengandung zat yang mempunyai daya kecanduan sangat
besar, sehingga merugikan kesehatan. Narkoba yang termasuk dalam
golongan ini merupakan produk olahan dari zat opiad itu. Misalnya
heroin, kokain, morfin, dll. Jika penggunaan zat opiad itu tidak dilakukan
dibawah pengawasan ketat oleh tenaga medis, maka dikategorikan
sebagai bentuk penyalahgunaan.30
b. Heroin
Heroin adalah zat yang dihasilkan oleh pohon candu, yang
mempunyai daya adiktif sebesar 30 kali candu kasar. Heroin merupakan
narkoba jenis opiad yang paling banyak disalahgunakan. Nama lain
heroin adalah putaw, bahasa slang untuk putih, karena heroin berwarna
putih kecoklatan. Putaw memberi efek senang sesaat karena zat aktif
putaw sebenarnya secara alamiah juga ada di dalam otak manusia. Zat
aktif itu mempengaruhi paling sedikit tiga reseptor (mulut kecil) yang
29
A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta: PT. Forum Media Utama,
2010), h. 43 30
A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta: PT. Forum Media Utama,
2010), h. 43
37
sangat penting dalam mencapai kesenangan. Zat-zat tersebut dikenal
dengan nama enkaplalin dan endomorphine. Ketika seseorang berhenti
menggunakan putaw, maka kemampuan alamiah zat untuk mencapai
kesenangan akan terhenti. Akibatnya, untuk mendapat kesenangan, orang
tersebut selalu tergantung sumber dari luar yaitu putaw tersebut.
c. Depresan
Depresan adalah zat yang menekan susunan syaraf pusat dengan
akibat rasa tenang dan mengantuk. Jadi fungsi depresan berlawanan
dengan stimulant. Di dalam depresan ini termasuk kelompok obat
penenang dan minuman beralkohol.
Jenis penenang atau obat tidur yang termasuk psikotropika antara
lain obat penenang dan obat tidur. Dua obat itu banyak digunakan dokter
untuk mengobati berbagai gejala. Tetapi karena ada potensi
penyalahgunaan, maka penggunaannya diatur dalam undang-undang.
Obat jenis ini yang banyak disalahgunakan adalah kelompok
benzodiazepine seperti rohipnol, megadon, dan sebagainya.
d. Stimulan
Stimulan adalah zat yang bila digunakan menimbulkan stimulus
atau rangsangan yang bersifat bersemangat, gembira, berkhayal tinggi,
percaya diri besar, dan mempunyai energi tak terbatas. Contoh narkoba
yang masuk kelompok ini adalah shabu-shabu, ekstasi, dll.
e. Pil Ekstasi
Pil ekstasi berbentuk tablet dengan berbagai bentuk, nama dan
logo. Cara pembuatannya di laboratorium gelap sehingga tergantung
peralatan yang dipakai. Pil ekstasi dikonsumsi dengan cara ditelan. Tidak
lama setelah menggunakan stimulan terjadi perubahan persepsi sehingga
38
hati jadi gembira berlebihan, keinginan bergerak dalam musik, gerakan
berlebih, dan lainnya. Efek ini dapat berlangsung selama beberapa jam.
f. Inhalan
Inhalan adalah zat yang mudah menguap seperti campuran cat,
lem, dan sejenisnya. Penyalahgunaan inhalan adalah dengan cara
menghirup uapdari zat-zat tersebut, dikenal dengan istilah “ngelem”.
39
BAB III
GAMBARAN UMUM LEMBAGA
A. Sejarah Yayasan STIGMA
Yayasan STIGMA adalah sebuah kelompok independen yang sebagian
besar pengurusnya adalah mantan pecandu, ODHA (orang dengan HIV AIDS),
baik itu yang sudah berhenti (recovering addict), IDU’s (Pengguna jarum suntik
– current user), methadone treatment dan dibantu oleh relawan dari berbagai
kalangan seperti Mahasiswa, Siswa SMU, Psikolog, Psikiater, Dokter, Konsultan,
Ahli Hukum dll.
Berdiri pada Juni 2001, awalnya dari sebuah kelompok dukungan kecil
yang beranggotakan pecandu yang sedang menjalani masa pemulihan di RSKO
(Rumah Sakit Ketergantungan Obat) yang pada saat itu sudah selesai
detoksifikasi. Kami mengadakan diskusi ringan, support group, dll. Kegiatan
berupa diskusi, sesi, berbagi harapan, dan dukungan, dll. Kegiatan ini berhasil
dilakukan berkat ide dan fasilitas Riza Sarasvita Pramudyo dan Isrizal Hasan
serta didukung oleh RSKO. Pada akhirnya kami sepakat untuk membentuk
sebuah kelompok independen yang bernama STIGMA.
Nama STIGMA muncul dan kami pilih sebagai nama kelompok
independen ini karena kami para pecandu dengan segala label yang menempel di
diri kami secara abstrak, berkeinginan untuk mengubah stigma masyarakat
kepada pecandu. Tidak selamanya kami, pecandu, akan terus “berwarna” hitam.
Kami, pecandu, berhak untuk mendapatkan persamaan kesempatan, dukungan
dan tidak melulu stigma itu menjadi penghalang bagi kami untuk terus
melangkah maju.
40
B. Visi dan Misi
Visi
Komunitas pecandu yang produktif dan berdaya serta menurunnya prevalensi
HIV/AIDS dikalangan pecandu.
Misi
- Melakukan upaya-upaya pencegahan HIV/AIDS di komunitas pecandu.
- Memberikan dukungan kepada pecandu HIV + dan ODHA.
- Melakukan upaya-upaya pemberdayaan terhadap pecandu.
- Menanamkan nilai-nilai positif kepada pecandu.
C. Maksud dan Tujuan
- Memberdayakan teman-teman Recovering Addict guna mendapatkan
persamaan kesempatan.
- Mengubah stigma dan diskriminasi dikalangan ODHA pecandu.
- Mengumpulkan informasi terbaru mengenai gangguan yang berhubungan
dengan zat dan HIV/AIDS.
- Saling bertukar ide dan pengalaman diantara teman-teman sebaya.
- Mengembangkan persahabatan atau hubungan diantara teman-teman sesama
pecandu.
- Memberikan dukungan pada teman-teman pecandu dan berpartisipasi di
dalam kegiatan yang diadakan dengan harapan mampu membawa pada
kehidupan yang lebih baik.
- Membantu mengubah pandangan hidup pecandu terhadap masalah adiksinya.
- Memberikan informasi guna mencegah penyebaran HIV/AIDS dikalangan
IDU’s.
41
D. Struktur Lembaga
Badan Pengurus Harian
Pembina : Inang Winarso, Bongky
Ketua : Suwanto
Sekretaris : Herru Pribadi
Bendahara : Irwansyah
Pembina
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Penjangkau Lapangan Konselor
42
E. Pendanaan
Dalam menjalankan kegiatan dan program yang ada, tentu saja
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Yayasan STIGMA merupakan suatu
lembaga independen yang tidak memiliki sumber dana yang pasti. Mereka
bergantung pada donatur-donatur yang telah menandatangani kontrak kerjasama
dengan Yayasan STIGMA. Sejak lembaga ini berdiri, banyak sekali donatur-
donatur dari lembaga lain baik dalam maupun luar negeri yang mendanai
berjalannya Yayasan STIGMA. Donasi yang diterima tersebut tidak hanya
berbentuk uang namun juga berbentuk barang atau hal lain. Diantara sekian
banyak donatur yang mendanai berjalannya lembaga ini, berikut beberapa
donatur tetap semenjak tahun 2004 hingga sekarang:
- Kementerian Sosial Republik Indonesia
- KPAN
- USAID (Amerika)
- AUSID (Australia)
- HIVOS (Belanda)
- Global Fund
- OSF
- Dll
F. Sistem Klien
Yayasan STIGMA sendiri bergerak dalam rehabilitasi dan resosialisasi
pecandu narkoba dan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Sebagai lembaga
rehabilitasi, tentu saja memerlukan klien untuk ditangani. Oleh sebab itu, berikut
adalah beberapa cara dalam mendapatkan klien untuk ditangani.
1. Pecandu/ODHA yang datang sendiri dengan kesadaran sendiri ingin
segera di rehabilitasi di STIGMA.
43
2. Pecandu/ODHA yang datang dan di antar oleh keluarga/sanak
saudara agar segera di rehabilitasi di STIGMA.
3. Pihak Kepolisian (bekerja sama dengan polsek/polres setempat),
membawa pecandu yang tertangkap tangan menyalahgunakan
narkoba dan dibawa agar segera mendapatkan rehabilitasi.
Dalam proses rehabilitasi, klien dapat menjalani rawat inap selama 6
bulan di lembaga dan mengikuti seluruh program yang telah disediakan dan dapat
juga menjalani rawat jalan yang tidak harus berada di lembaga namun harus
selalu melakukan kontrol 1 minggu sekali.
G. Pekerja Sosial
Sebagai sebuah lembaga rehabilitasi, sudah semestinya memerlukan
bantuan pekerja sosial dalam menangani klien yang sedang di rehabilitasi. Di
lembaga ini pekerja sosial secara khusus menangani klien yang menjalani rawat
inap selama 6 bulan dan pekerja sosial yang berada di lembaga ini tidak tetap
namun bersifat kontrak. Dan untuk mendapatkan seorang atau lebih pekerja
sosial, lembaga ini mengajukan surat permohonan kepada Kementerian Sosial
Republik Indonesia dengan melampirkan SK Kemensos.
Saat peneliti melakukan penelitian, Pekerja Sosial yang bekerja di
Yayasan STIGMA hanya tersisa 2 orang saja, karena permohonan pekerja sosial
yang diajukan oleh yayasan kepada KEMENSOS RI belum mendapatkan
jawaban.
H. Kegiatan STIGMA
1. Hotline Service seputar Narkoba, dunia adiksi dan HIV/AIDS setiap Senin-
Jum’at jam 11.00 - 16.00 WIB.
2. Kelompok Dukungan untuk Pecandu, Pecandu yang HIV+, Perempuan
Pecandu dan Pasangan Pecandu.
44
3. Outreach (penjangkauan ke pecandu jarum suntik).
4. NSEP (pertukaran jarum suntik)
5. Sosialisasi program STIGMA ke Stakeholder.
6. Distribusi media KIE (adiksi, HIV/AIDS, VCT, Hepatitis, Infeksi menular
Seksual, dll).
7. Mobile VCT (tes HIV dengan konseling dan sukarela) di STIGMA setiap
hari Rabu jam 12.00 - 16.00 WIB bekerja sama dengan Yayasan Mitra
Indonesia.
8. Konseling HIV/AIDS, adiksi, umum setiap Senin – Jum’at jam 13.00 – 16.00
WIB di STIGMA.
9. Layanan informasi mengenai rujukan methadone, detoksifikasi, rehabilitasi,
rumah sakit, ARV, pengobatan ke Puskesmas, dll.
45
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS
Pada bab ini peneliti akan menjabarkan hasil temuan dan analisa mengenai
implementasi nilai-nilai peksos dalam proses rehabilitasi sosial korban
penyalaguna narkoba di yayasan stigma. Pembahasan ini akan dimulai dari
temuan mengenai proses rehabilitasi sosial di Yayasan STIGMA. Dimana
pembahasan mengenai proses rehabilitasi tersebut akan dilakukan tanpa terlepas
dari nilai-nilai pekerja sosial yang ada.
A. Proses Rehabilitasi Sosial
Yayasan STIGMA adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang merupakan lembaga non pemerintahan atau Non-Government
Organization (NGO) yang bernaung dibawah kementerian sosial. Dalam
proses rehabilitasi sosialnya, Yayasan STIGMA memiliki 2 acuan untuk
melakukan rehabilitasi. Yaitu, program rehabilitasi sosial Kementerian
Sosial Republik Indonesia dan juga Pedoman Pemulihan Adiksi Berbasis
Masyarakat (PABM) dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA).
1. Proses penerimaan
- Pengguna diantar oleh pihak keluarga atau datang sendiri untuk di
rehabilitasi.
- Rujukan dari polsek setempat yang telah bekerja sama dengan
yayasan stigma.
46
Gambar 1.1 Alur Rehabilitasi
Setelah klien diterima untuk menjalankan proses rehabilitasi sosial,
setelah itu ia menjalani tes urine, selanjutnya klien akan ditentukan untuk
mengikuti program rawat inap atau rawat jalan sesuai dengan tingkat
adiksi klien. Menurut Kepala Bidang Rehabilitasi, Bapak Sugeng,
penanganan Klien adiksi di Yayasan STIGMA disesuaikan berdasarkan
tingkat adiksi yang di derita oleh klien. Seperti pada kutipan sebagai
berikut,
“...iya kita lihat dari tingkat keparahan kecanduan klien, dari
keluarga apakah mau mengikuti rawat inap atau engga. Kan kita
Datang sendiri atau di antar oleh
keluarga
Tes Urine
Rawat inap
Rujukan dari pihak yang
berwajib polsek, lapas
Rawat jalan
Monitoring
47
juga ga memaksa. Kita juga ada surat pernyataan/persetujuan,
jadi kalo keluarga ga setuju ya ga bisa di rawat inap disini.”31
Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa tidak semua klien
itu dapat di rawat inap, sesuai dari tingkat kecanduan atau adiksi yang
dimiliki klien. Tingkat adiksi klien dapat ditentukan dengan cara, sudah
berapa lama klien menggunakan napza dan berapa sering ia menggunakan
napza tersebut. Namun, semua kembali lagi kepada klien dan keluarga
apakah setuju atau tidak menjalani rawat inap selama 3 bulan di Yayasan
STIGMA. Jika klien dan keluarga setuju menjalani program rawat inap
tersebut, maka klien akan menjalani program rehabilitasi selama 3 bulan
di Yayasan STIGMA. Tidak sampai disitu saja, setelah klien selesai
menjalani rawat inap, ia masih harus menjalani program rawat jalan
selama 3 bulan. Hal tersebut dilakukan selain untuk mengetahui
bagaimana perkembangan klien setelah selesai menjalani proses
rehabilitasi dan juga memudahkan dalam proses monitoring klien. Sebab
klien masih diharuskan datang kembali ke Yayasan STIGMA satu minggu
sekali untuk diberikan pembekalan dan juga melakukan controlling.
“...nah kita itu ada 2, ada yang seminggu dua kali, ada juga yang
seminggu sekali. Kalo program rehab ngikutin dari PABM itu
seminggu sekali kalo dari kemensos itu 2 minggu sekali. Kalo
31
Wawancara pribadi dengan Ketua Bidang Rehabilitasi, Bapak Sugeng, pada tanggal 6 oktober
2017
48
yang 2 minggu sekali itu palingan terapi kelompok/terapi
sosial.”32
Dalam menjalankan program rehabilitasi, Yayasan STIGMA
memiliki dua acuan. Yang pertama adalah program rehabilitasi yang
mengacu pada Kementerian Sosial RI. Yang kedua adalah sesuai dengan
Pedoman Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM) yang
diterbitkan oleh KPA. Kedua acuan tersebut tidak terlalu berbeda, yang
membedakan adalah pola penanganannya saja. Yang membedakan kedua
program rehabilitasi dari dua lembaga tersebut hanya waktu dalam
melakukan terapi kelompok/terapi sosial yang dilakukan selama proses
rehabilitasi. Dimana dalam Pedoman Pemulihan Adiksi Berbasis
Masyarakat yang diterbitkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS itu
mengharuskan melakukan terapi sosial/terapi kelompok satu minggu satu
kali. Sedangkan program rehabilitasi yang diberikan oleh Kementerian
Sosial Republik Indonesia mengharuskan dilakukannya terapi sosial/terapi
kelompok selama dua minggu satu kali.
“...kalo itu kita setiap bulannya mengadakan homevisit dan
controlling, dan setelah selesai rehab kita juga ga mungkin dilepas
gitu aja nanti takutnya dia balik make lagi.”33
Program rawat jalan dilakukan selama 3 bulan dan setiap 1 minggu
sekali diwajibkan datang ke Yayasan STIGMA untuk kontrol dan
mengikuti pemberian materi tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS. Dan
32
Ibid 33
Ibid
49
sesuai dengan hasil wawancara diatas, selama 3 bulan tersebut, pihak
yayasan stigma juga melakukan controlling dan home visit ke lingkungan
klien setiap 1 bulan sekali. Karena walaupun klien sudah menjalani proses
rawat inap di Yayasan STIGMA, hal tersebut tidak menjamin bahwa klien
itu benar-benar sudah berhenti menggunakan napza. Semua kembali lagi
kepada pribadi klien, bagaimana keinginan klien untuk berhenti dan
lingkungan klien. jika keinginan klien untuk berhenti masih mudah goyah,
maka kemungkinan besar klien akan kembali lagi menggunakan napza.
Atau jika di lingkungan klien masih banyak yang menggunakan napza,
maka kemungkinan besar klien akan kembali lagi menggunakan barang-
barang tersebut. oleh karena itu semua kembali lagi pada keinginan klien
untuk berhenti.
“...Tapi mayoritas itu tergantung sama klien lagi, gimana mereka,
cara mereka supaya ga balik lagi menggunakan narkoba. Kalo
dari dalam diri mereka masih ada keinginan buat make, ya
kemungkinan besar mereka bakalan balik lagi. Jadi tergantung
gimana lingkungan mereka sih.”34
Klien yang sudah menjalani program rehabilitasi tidak dapat
dikatakan bersih dari narkoba. Karena mereka masih memiliki potensi
untuk kembali menggunakan narkoba. Semua itu tidak terlepas dari
bagaimana lingkungan klien setelah selesai menjalani program rehabilitasi.
Jika ia kembali pada lingkungan dimana masih banyak yang menggunakan
narkoba, kemungkinan besar ia akan kembali menggunakan narkoba.
34
Ibid
50
Namun, itu semua kembali lagi kepada pribadi klien. apakah ia masih
ingin kembali terjerumus kedalam lingkaran narkoba lagi atau tidak. Dan
juga apakah klien tersebut sudah memiliki bekal yang cukup agar tidak
kembali menggunakan narkoba. Bekal yang dimaksud adalah kemauan
untuk berhenti untuk tidak kembali menggunakan narkoba, bekal ilmu
tentang bahaya narkoba, serta bekal norma-norma masyarakat bahwa
narkoba itu adalah barang haram yang dilarang untuk disalahgunakan dan
jika melanggar maka akan mendapatkan hukuman sesuai Undang-undang
yang berlaku.
“...Peksos itu membantu sosialisasi, membuat laporan 6 bulan
dan mengisi terapi sosial.”35
Selama menjalani proses rehabilitasi di yayasan stigma, klien di
dampingi oleh pekerja sosial. pekerja sosial itu sendiri melakukan
konseling setiap seminggu sekali terhadap klien dengan menggunakan
pendekatan individu. Selain itu, pekerja sosial juga membantu sosialisasi
kepada masyarakat disekitar lingkungan yang terdapat banyak pengguna
narkotika (hotspot). Pekerja sosial melakukan sosialisasi terhadap tokoh-
tokoh masyarakat yang ada, supaya jika ada pecandu agar dibawa ke
yayasan stigma dan juga melakukan penyuluhan tentang bahaya narkoba
serta HIV/AIDS. Ia juga bertugas memberikan terapi sosial dan terapi
kelompok kepada klien selama klien menjalani rawat inap.
35
Ibid
51
“...ada jadi perbulan itu 1,5juta, tapi kita lihat juga sih sesuai
sama kemampuan keluarga klien. kalo memang mereka mampu ya
bisa lebih dari 1,5juta tapi kalo sekiranya ga mampu ya kita
gratisin. Pokoknya sesuai sama kemampuan keluarganya sih.
Soalnya kan kita juga butuh uang untuk kehidupan mereka selama
disini.”36
Sesuai dengan hasil wawancara tersebut, selama menjalani
program rawat inap, klien harus membayar untuk dapat terus menjalankan
proses rehab yang ada. Karena yayasan stigma adalah LSM yang
membutuhkan dana untuk menjalankan kegiatan dan program-programnya
serta biaya untuk menghidupi klien selama di rawat inap. Namun biaya
tersebut dibebankan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga klien.
jika klien berasal dari keluarga yang mampu maka akan dibebankan biaya,
namun jika klien berasal dari keluarga yang kurang mampu makan seluruh
biaya tersebut bisa digratiskan. Jadi, kembali lagi dengan kemampuan
keluarga klien, apakah keluarga klien mampu membayar atau tidak. Jika
klien berasal dari keluarga yang tidak mampu, maka keluarga klien bisa
melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari RT atau pejabat yang
berwenang agar dibebaskan dari biaya rehabilitasi.
“...ada juga kita kalo itu, kita ada sablon, bengkel, teknik
komputer gitu”37
36
Ibid 37
Wawancara Pribadi dengan Direktur Yayasan STIGMA, Bapak Suwanto, Pada tanggal 19
September 2017
52
Selain menjalani rehabilitasi, klien juga diberikan keterampilan-
keterampilan kerja seperti otomotif, sablon, teknik komputer dan lain
sebagainya. Maksud dari pemberian keterampilan tersebut adalah agar
setelah selesai menjalani rehabilitasi, klien mendapatkan keterampilan
yang dapat digunakan sebagai bekal yang bermanfaat nantinya dan juga
agar klien dapat memperbaiki stigma masyarakat bahwa ex-pengguna
narkoba adalah sampah masyarakat. Setidaknya klien sebagai ex-pengguna
dapat menunjukkan pada masyarakat bahwa ia telah berubah sepenuhnya
dan menghilangkan stigma negatif yang ada. Dan juga klien yang telah
selesai menjalani proses rehabilitasi dapat melanjutkan membuka usaha
sesuai dengan kelas keterampilan yang ia ikuti selama menjalani
rehabilitasi. Dan tidak sedikit klien yang telah selesai menjalani proses
rehabilitasi menanyakan dan ingin kembali ke Yayasan STIGMA untuk
melanjutkan pelatihan-pelatihan keterampilan tersebut. Yayasan STIGMA
bahkan dengan senang hati membuka pintu lebar-lebar untuk para klien
yang ingin meneruskan pelatihan keterampilan tersebut.
B. Nilai-nilai Pekerja Sosial
Dalam menjalankan program rehabilitasi sosial, Yayasan STIGMA
memiliki tenaga Pekerja Sosial untuk membantu menangani klien-klien
yang ada agar dapat berfungsi sosial kembali. Pekerja sosial tentu
memiliki nilai-nilai profesi, agar selama menjalankan tugas dan fungsinya
di lembaga ia tetap bekerja secara profesional. Dan dalam nilai-nilai
pekerja sosial tersebut juga terdapat batasan-batasan yang mengatur
pekerja sosial selama bekerja. Selain itu, nilai-nilai dan kode etik profesi
53
pekerjaan sosial dapat membantu pekerja sosial dalam proses penanganan
masalah klien jika pekerja sosial menghadapi dilema etis.
Seperti yang dikatakan oleh “I”, ia adalah seorang pekerja sosial
yang bekerja sudah cukup lama di Yayasan Stigma dan telah menangani
banyak klien yang melakukan rehabilitasi di sana.
“...saya paling mencoba untuk menangani masalah secara
profesional tanpa membawa urusan pribadi saya sendiri.
Misalnya, saya tidak memilih-milih klien yang saya tangani
berdasarkan ras, suku, agama manapun. Karena, saya merasa
mereka itu semua sama, sama-sama butuh pertolongan.”38
Sebagai pekerja sosial sudah pasti tidak boleh memilih-milih klien
yang akan ditangani. Karena semua manusia pada dasarnya adalah sama
dan setiap individu itu memiliki keunikan masing-masing. Jadi, sebagai
pekerja sosial sebaiknya tidak memandang klien dari sudut pandang
pribadi, pekerja sosial tidak bisa mendiskriminasi klien menurut fisik,
suku, ras, agama, dan lain sebagainya. Pekerja sosial juga tidak bisa
mencampur adukan urusan pribadi pekerja sosial kedalam kasus yang
ditangani. Seperti contohnya, memiliki perasaan cinta terhadap klien.
Bapak Sugeng juga mengatakan bahwa tidak sedikit pekerja sosial yang
dikeluarkan atau dipecat dari Yayasan STIGMA karena penyimpangan
nilai-nilai dan kode etik yang dilakukan oleh pekerja sosial.
38
Wawancara pribadi dengan pekerja Sosial, Bapak “I” pada tanggal 21 Oktober 2017
54
“...ada yang beberapa peksos yang ga punya latar belakang ilmu
tentang menangani pecandu.”39
Hal tersebut terjadi karena, tidak sedikit pekerja sosial yang tidak
dapat menghadapi dilema etis dalam pekerjaannya. Banyak dari mereka
tidak biasa atau belum terbiasa untuk bekerja secara profesional. Karena
keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Karena kebanyakan
pekerja sosial yang bekerja di Yayasan STIGMA adalah fresh graduate
dari berbagai perguruan tinggi ilmu kesejahteraan sosial. Jadi mereka
masih minim pengalaman dalam hal menangani korban-korban
penyalahgunaan narkotika. Kebanyakan pekerja sosial yang bekerja di
Yayasan STIGMA, tidak mengetahui secara mendalam tentang adiksi atau
narkoba. Jadi, mereka tidak mengerti bagaimana cara untuk menangani
kasus narkoba yang beragam.
”...karakter pecandu itu kan beda-beda jadi penanganganannya
juga berbeda.” 40
Karakter pecandu narkoba itu tergantung pada narkoba apa yang ia
gunakan dan tingkat adiksi yang ia miliki. Maka penanganannya pun akan
berbeda juga. Semakin parah tingkat adiksi maka akan lebih sulit
menanganinya. Karena semakin tinggi tingkat adiksi yang dimiliki oleh
klien maka akan semakin sulit untuk menanganinya. Ia akan lebih sulit
untuk direhabilitasi karena ia sudah lama dan sudah terbiasa menggunakan
39
Wawancara pribadi dengan Ketua Bidang Rehabilitasi, Bapak Sugeng, pada tanggal 6 oktober
2017
40
Ibid
55
narkoba dengan dosis yang tinggi dalam waktu yang lama. Maka dari itu,
pekerja sosial harus bekerja ekstra dalam menangani kasus seperti itu.
Pekerja sosial harus melakukan tahap pendekatan yang lebih dalam agar
klien sadar dan mau untuk direhabilitasi serta klien sadar akan bahaya
narkoba. Sehingga klien akan sadar bahwa penyalahgunaan narkoba itu
tidak baik bagi kesehatan fisik dan mentalnya apalagi dalam dosis yang
tinggi dan dalam waktu yang lama. Dan juga pekerja sosial harus belajar
memahami karakter individu pecandu narkoba agar pekerja sosial mampu
dengan mudah melakukan pendekatan personal dengn klien. oleh karena
itu, pekerja sosial harus memahami pola pergaulan para pecandu narkoba,
mulai dari bahasa, istilah-istilah dalam lingkungan mereka agar ia tidak
bingung dan salah mengartikan maksud klien saat melakukan pendekatan
personal.
Dalam menangani klien, pekerja sosial sudah seharusnya
melakukan 7 tahapan intervensi. Dimulai dari intake sampai pada proses
terminasi. Para pekerja sosial yang ada di Yayasan STIGMA juga
menjalankan tahapan-tahapan tersebut, sesuai dengan ucapan “I”.
“...Kalo penerimaan itu kita nerima klien dari mana aja, ada yang
dari polsek maupun datang sendiri diantar oleh keluarganya.
Setelah melewati tes-tes tertentu, ia diterima di lembaga dan
menjalani rehabilitasi. Jadi ga boleh milih milih klien karena
semua sama saja, sama-sama orang yang perlu bantuan.”41
41
Wawancara pribadi dengan pekerja Sosial, Bapak “I” pada tanggal 21 Oktober 2017
56
Seperti yang dikatakan oleh “I”, bahwa pekerja sosial adalah
profesi pertolongan bagi individu yang memerlukan bantuan agar bisa
kembali berfungsi sosial seperti semula. Pekerja sosial juga tidak boleh
memilih-milih siapa yang akan ditangani olehnya, karena pada dasarnya
setiap orang atau individu itu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pertolongan. Namun jika setelah ditangani ternyata klien tersebut tetap
tidak bisa berubah maka pekerja sosial boleh merujuk klien tersebut untuk
ditangani oleh pekerja sosial lain yang lebih berkompeten atau ditangani
oleh profesi lain terlebih dahulu.
“...Setelah itu ada intake, dan selanjutnya ada konseling supaya
kita tahu nih dia itu perkembangannya selama disini gimana
sekaligus tau permasalahannya apa sehingga dia bisa sampe
seperti ini. Sehingga kita bisa bantu klien mengatasi masalah-
masalahnya.”
Setelah mendapatkan klien, pekerja sosial diharuskan melakukan
intake pada klien, agar antara pekerja sosial dan klien memiliki ikatan
hubungan kerja dan pekerja sosial memiliki tanggung jawab penuh untuk
membantu klien dapat mengatasi masalahnya. Setelah itu, pekerja sosial
wajib melakukan assesment terhadap klien, untuk menganalisis aspek bio-
psiko-sosial-spriritual klien,agar mengetahuhi kenapa klien melakukan
penyalahgunaan narkoba. Dan juga agar pekerja sosial lebih mudah dalam
menangani masalah yang dihadapi oleh klien. Dalam hal ini klien juga
dituntut agar mau memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh
pekerja sosial. Namun jika tetap dengan persetujuan klien, dan pekerja
57
sosial wajib merahasiakan kasus serta identitas klien agar dikemudian hari
data-data yang telah didapatkan tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya pekerja sosial
melakukan rencana intervensi dibantu oleh klien agar proses intervensi
nantinya dapat dilakukan dengan lancar dan klien merasa nyaman
melakukannya tanpa merasa tertekan.
“...Setelah ia selesai di rehabilitasi disini, masih ada monitoring
selama 3 bulan dari lembaga supaya kita tahu gimana dia setelah
kembali lagi ke masyarakat dan saya biasanya bertemu ke tokoh-
tokoh masyarakat sekitar agar mereka mau membantu klien
menjadi individu yang lebih baik lagi dan membimbing klien agar
perlahan-lahan stigma negatif klien yang seorang pecandu bisa
hilang. Setelah dirasa cukup selanjutnya saya melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan klien serta keluarganya.”42
Seperti yang dikatakan oleh “I”, pekerja sosial selalu menemani
klien selama menalankan proses rehabilitasi hingga ia benar-benar bisa
dilepas kembali di masyarakat. Dari mulai proses penerimaan sebagai
klien Yayasan STIGMA hingga ia kembali kepada keluarganya. Tidak
hanya klien saja, namun pekerja sosial juga memiliki tanggung jawab
untuk meng-edukasi masyarakat sekitar tentang bahaya narkoba dan
HIV/AIDS. Serta memberikan informasi bahwa ex-pecandu narkoba
maupun orang dengan HIV/AIDS itu bukan sampah masyarakat, namun
mereka juga manusia yang harus dibimbing dan diterima kembali di
42
Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial, Bapak “I”, 21 Oktober 2017
58
masyarakat. Mereka hanya khilaf melakukan kesalahan dan mereka sudah
mendapatkan akibat dari perbuatan mereka. Dan yang mereka butuhkan
adalah support dan dukungan masyarakat agar mereka tidak kembali lagi
melakukan hal tersebut. Sebab, sampai saat ini kebanyakan masyarakat
masih memandang ex-pecandu narkoba atau ODHA sebagai sampah
masyarakat yang dapat merusak masa depan keluarga mereka. Padahal
mereka telah mengakui dengan sadar kesalahan mereka dan perlu diberi
kesempatan untuk berubah menjadi individu yang lebih baik lagi serta
mereka tetap memiliki hak-hak sebagaimana masyarakat pada umumnya.
Selama melakukan rehabilitasi sosial, pekerja sosial juga
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Dari sekian banyak tugas pokok
dan fungsi pekerja sosial, hanya beberapa saja yang digunakan, tergantung
dari setting lembaga dan jenis klien yang dihadapi.
“..saya bagian konseling, terapi kelompok sama melakukan
pendekatan personal sama klien. selebihnya saya berperan sebagai
edukator,konselor, mediator dan fasilitator.”43
“I” menjelaskan tentang tugas pokok sehari-hari selama bekerja di
Yayasan STIGMA. Ia bertanggung jawab untuk melakukan konseling
kepada klien yang ia tangani setiap hari agar ia mengetahui perkembangan
kliennya serta keluh kesah klien selama menjalani proses rehabilitasi. Ia
juga melakukan terapi kelompok setiap satu minggu sekali kepada klien-
kliennya. Lalu “I” juga menjelaskan bahwa ia melakukan bimbingan sosial
43
Ibid
59
kepada kliennya tentang bahaya narkoba dan penanggulangannya agar
setelah selesai menjalani proses rehabilitasi kliennya tersebut tidak
kembali menyalahgunakan narkoba. Ia juga menjadi mediator klien
dengan masyarakat agar saat klien kembali ke masyarakat setelah
menjalani proses rehabilitasi klien dapat diterima kembali dengan baik di
masyarakat. Selain pekerjaannya sehari-hari seperti yang disebutkan
diatas, “I” juga memiliki tugas lain seperti, membuat laporan setiap 6
bulan sekali mengenai klien yang ia tangani untuk dilaporkan ke
Kementerian Sosial Republik Indonesia, karena ia merupakan pekerja
sosial yang ditugaskan oleh Kementerian Sosial RI untuk bekerja di
Yayasan STIGMA. Selain itu, ia juga bertugas untuk membantu sosialisasi
tentang bahaya dan penanggulangan narkoba dan HIV/AIDS di
masyarakat. Dan juga mengisi kelas terapi sosial di Yayasan STIGMA
selama proses rehabilitasi berlangsung. Seperti kutipan wawancara
berikut:
“...peksos itu membantu sosialisasi, membuat laporan 6 bulan dan
mengisi terapi sosial.”44
Pekerja sosial memiliki peranan penting dalam proses rehabilitasi
ini, tidak hanya berfokus pada klien saja, namun juga berfokus pada
lingkungan dimana klien berada. Pekerja sosial harus menyesuaikan diri
dengan keadaan klien dan bukan sebaliknya. Karena pekerja sosial dituntut
untuk bekerja pada setting apapun dan keadaan apapun. Dan setiap
44
Wawancara ibadi dengan Ketua Bidang Rehabilitasi, Bapak Sugeng, pada tanggal 6 Oktober
2017
60
manusia itu memiliki karakteristik yang berbeda-beda jadi tidak bisa di
sama ratakan. Setiap klien yang ditangani memiliki tingkat kesulitan yang
berbeda-beda, jadi penanganan dan proses pendekatan yang dilakukan itu
berbeda-beda.
Selama menangani klien pun “I” tidak jarang menemui dilema etis,
namun ia sadar bahwa ia harus belajar untuk menjadi pekerja sosial
profesional dan ia harus meng-implementasikan nilai-nilai dan kode etik
pekerja sosial. Karena nilai dan kode etik profesi pekerjaan sosial itu
adalah kunci dalam menangani klien dan juga hal tersebut merupakan
kunci untuk menghadapi dilema etis yang terjadi selama penanganan
masalah klien. Maka ia pun sadar akan nilai-nilai dan kode etik profesi
serta secara langsung menerapkannya dalam setiap kegiatannya sebagai
pekerja sosial.
“...Kalo dilema etis itu paling kalo lagi rehab tuh kita harus
menangani klien dengan tegas agar klien menjadi disiplin, namun
di sisi lain kita ga bisa terlalu keras karena keadaan mental para
pecandu itu sangat labil.”45
Dilema etis yang sering dihadapi “I” saat menjalankan tugasnya
sebagai pekerja sosial adalah bagaimana menghadapi klien yang keras
kepala dan sulit diajak bekerjasama. Ia sadar bahwa ia harus bersikap tegas
kepada klien semacam itu agar ia mau disiplin dan mau diajak
bekerjasama. Namun, kebanyakan kondisi mental klien yang ia tangani itu
45
Wawancara pribadi dengan pekerja Sosial, Bapak “I” pada tanggal 21 Oktober 2017
61
masih sangat labil, jadi ia harus melakukan pendekatan emosional yang
lebih dan berulang kali secara perlahan-lahan agar klien mau diajak
bekerjasama. Karena jika ia bersikap keras maka klien tidak akan mau
diajak bekerjasama dan merasa tidak nyaman. Jika hal tersebut terjadi
maka akan lebih sulit lagi dalam menangani kasus klien. Dan pada
akhirnya klien akan sulit mengikuti proses rehabilitasi lalu penanganan
yang dilakukan tidak menghasilkan kemajuan.
“Terus kadang kita merasa jijik gitu kan ke klien, tapi mau gimana
lagi udah resiko pekerjaan dan juga memang kita ga boleh
membeda-bedakan klien kan.”46
“I” juga menjelaskan bahwa kondisi fisik dan mental klien yang
mengikuti program rehabilitasi itu bermacam-macam. Tidak sedikit ia
menemui klien yang memiliki bekas sayatan di lengannya. Kadang ia
merasa takut dan juga jijik dalam menangani klien yang seperti itu, namun
ia sadar bahwa itu merupakan resiko pekerjaan yang harus dihadapinya
dan ia tidak bisa menolak untuk membantu klien. Karena setiap manusia
memiliki hak untuk dibantu dan tidak bisa dibeda-bedakan berdasarkan
penampilan ataupun atau keadaan tubuhnya. Yang ia tahu hanya ia harus
menjalankan tugasnya menjadi pekerja sosial yaitu membantu orang untuk
mengembalikan fungsi sosialnya seperti semula. Dan setiap manusia itu
memiliki kesempatan yang sama untuk berubah menjadi lebih baik lagi.
46
Wawancara pribadi dengan Pekerja Sosial, Bapak “I”, pada tanggal 21 Oktober 2017
62
Disaat klien merasa nyaman saat ditangani oleh seorang pekerja
sosial maka, ia akan lebih mudah untuk di intervensi dan mulai
mengubahnya menjadi pribadi yang berfungsi sosial kembali. Selain itu,
dalam menjalankan pekerjaan di setting manapun, pekerja sosial
diwajibkan untuk mejalankan beberapa prinsip pekerjaan sosial. salah
satunya adalah prinsip kerahasiaan. Karena kerahasiaan klien disini
sangatlah penting, sebab jika data-data pribadi ataupun informasi tentang
klien tersebar kepada orang lain. Jika dikemudian hari informasi dan data-
data tentang klien bocor kepada orang yang tidak bertanggungjawab maka
hal tersebut dapat menjadi hal buruk bagi klien, sebab semua data yang
seharusnya bukanlah konsumsi publik menjadi tersebar. “I” pun
menjelaskan bagaimana menjaga kerahasiaan klien.
“...Kalo kerahasiaan klien itu dari yayasan pun sudah ada
peraturannya untuk dirahasiakan kecuali untuk orang-orang yang
bersangkutan dengan klien saja. Dan diluar bagian rehabilitasi,
klien itu benar-benar disamarkan dari dunia luar.”47
Karena jika tidak merahasiakan data-data atau informasi tentang
klien. Maka, klien akan hilang kepercayaan kepada pekerja sosial dan
menolak untuk di tangani lagi oleh pekerja sosial. Dan yang paling
ditakutkan adalah data-data tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab. Hal tersebut sangatlah berbahaya jika
terjadi. Oleh karena itu, kerahasiaan klien merupakan salah satu prinsip
dasar pekerja sosial dalam menjalankan tugasnya.
47
Ibid
63
Klien yang sudah nyaman dengan keadaannya dan sadar bahwa
dirinya harus berubah lebih baik akan lebih mudah ditangani. Klien pun
akan dengan sukarela dan senang hati menjalankan proses rehabilitasi
yang ada. Dan jika klien sudah nyaman, seperti yang dikatakan oleh “A”
yang sudah 2 bulan menjalani proses rehabilitasi di Yayasan STIGMA .
”...Disini sih enak ya. Disini itu ada terapi kelompok gitu, terus
ada kelas keterampilan juga sih, saya ikut kelas teknik komputer.
Terus ada penyuluhan gitu bahaya narkoba dan hiv/aids serta
disini kita diperlakukan seperti keluarga.”48
Bahkan “A” sudah merasa diperlakukan seperti keluarga, bukan
sebagai klien yang sedang di rehabilitasi. Hal ini menunjukkan bahwa
pendekatan yang dilakukan oleh pekerja sosial bisa dikatakan berhasil.
Sebab klien yang sudah merasa seperti itu, akan lebih mudah ditangani dan
secara tidak langsung sadar akan masalah yang dihadapinya. “A” pun
merasakan perubahan yang dirasakan olehnya selama 2 bulan menjalani
proses rehabilitasi. Secara tidak langsung klien yang seperti ini dapat
membantu pekerja sosial dalam mencari solusi yang sesuai dengan
kebutuhannya. Serta ia tidak merasa tertekan saat dilakukan intervensi
oleh pekerja sosial. Ia juga membantu pekerja sosial untuk menemukan
metode yang tepat untuk program-program yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan masalahnya.
48
Wawancara pribadi dengan Klien, Bapak “A”, pada tanggal 24 Oktober 2017
64
“...Yang pasti sih saya jadi lebih stabil, kalo sebelumnya saya itu
gampang banget emosian dan agak tertutup dengan orang lain.”49
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap klien yang
direhabilitasi mempunyai karakter yang berbeda-beda. Oleh karena itu
proses penanganannya pun berbeda-beda, tidak bisa disama-ratakan. “A”
merupakan tipe yang sangat mudah terpancing emosinya dan ia juga
pribadi yang tertutup dengan orang yang baru ia kenal.
“...Tapi pelan-pelan saya bisa ngendaliin itu. Dan juga saya
pelan-pelan udah bisa lepas dari barang-barang itu walaupun
memang susah lepasnya karena kita udah kecanduan hehe.”50
Dengan penanganan yang tepat, klien “A” yang pada awalnya
merupakan pribadi yang tertutup perlahan-lahan berubah menjadi pribadi
yang cukup terbuka. Ia juga sadar akan kesalahannya sendiri
menyalahgunakan narkoba bahwa hal tersebut dapat merusak dirinya
secara fisik dan mental jika dilakukan terus menerus dalam jangka waktu
yang lama. Ia juga kapok untuk mengulangi kesalahannya tersebut karena
hal tersebut juga melanggar undang-undang yang berlaku di negara ini dan
dapat dikenakan hukuman penjara. Ia merasa beruntung, karena ia masih
diberi kesempatan untuk di rehabilitasi dan bukan di masukan kedalam
penjara. Setidaknya ia sadar bahwa memang sangat sulit untuk lepas dari
adiksi yang dimilikinya, namun ia mau mencoba untuk lepas walaupun
tidak bisa langsung terlepas dari adiksinya. Ia juga sadar, bahwa ia
49
Ibid 50
Ibid
65
membutuhkan bantuan untuk terlepas dari adiksinya tersebut dan ia
merasa senang di rehabilitasi di Yayasan STIGMA karena ia tidak
diperlakukan seperti penjahat namun diperlakukan selayaknya keluarga
yang membutuhkan bantuan untuk bisa terlepas dari adiksi narkoba.
Bapak Suwanto selaku Direktur Yayasan STIGMA pun berharap
bahwa kedepannya pekerja sosial dapat lebih memahami bagaimana cara
untuk menangani kasus-kasus adiksi seperti ini. Karena seperti yang
sudah-sudah tidak sedikit pekerja sosial yang kurang memahami
bagaimana berhadapan dengan pecandu. Karena menurutnya masih
banyak pekerja sosial yang tidak bekerja secara profesional dalam
menangani kasus-kasus yang ada di Yayasan STIGMA. Ia sangat
menyayangkan sikap pekerja sosial yang tidak mematuhi peraturan yang
ada di Yayasan STIGMA. Bahkan ada beberapa pekerja sosial yang
meninggalkan tanggungjawabnya dalam membantu merehabilitasi klien
yang ada, mereka lebih memilih mengundurkan diri dari Yayasan
STIGMA karena tidak siap menangani klien yang bermasalah dengan
penyalahgunaan narkoba dan HIV/AIDS. Jika ada pekerja sosial yang
tidak siap melakukan penanganan kepada penyalahguna narkoba atau
menyalahi aturan yang ada, ia tidak segan-segan menegur dan melakukan
PHK jika pekerja sosial tersebut tidak bisa diajak bekerja sama. Hal
tersebut ia dilakukan demi kebaikan lembaga dan juga agar tidak
mengganggu proses rehabilitasi yang sedang berjalan.
Selain itu, bapak Sugeng selaku Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial
mengatakan bahwa Yayasan STIGMA juga memberikan edukasi kepada
66
para pekerja sosial sebelum mulai menangani pecandu. Jadi, sebelum
mulai menjalankan tugasnya di Yayasan STIGMA, para pekerja sosial
diberikan pembekalan tentang dan pelatihan tentang penanganan
HIV/AIDS dan penyalahguna narkoba. Agar para pekerja sosial yang ada
tidak bingung dan dapat menangani kasus-kasus yang ada dengan baik.
Namun walaupun sudah diberikan pelatihan seperti itu, masih banyak
pekerja sosial yang menyalahi aturan dan bersikap semaunya selama
bekerja.
“...kadang mereka ga ngerti tentang penanganan hiv/aids atau
penanganan pengguna narkoba. Tapi kita disini ngasih materi
juga sih ke mereka biar mereka semua paham. Dan juga ada
beberapa peksos yang kurang bisa berbaur, mungkin mereka baru
ngerasain kondisi lapangan yang seperti ini. Dan pernah beberapa
pergi ngilang gitu aja dari sini.”51
Namun beberapa dari pekerja sosial banyak yang tidak siap untuk
menangani pecandu dan memilih untuk pergi begitu saja sebelum
menangani satu pun klien. Beberapa pekerja sosial yang melakukan hal
tersebut kemungkinan besar tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan
lembaga rehabilitasi semacam ini atau masih kurang pengalaman dalam
menangani kasus-kasus semacam ini. Alhasil mereka lebih memilih kabur
atau pergi meninggalkan Yayasan STIGMA begitu saja. Jika hal tersebut
sudah terjadi maka Yayasan STIGMA segera melakukan pengaduan ke
51
Wawancara Pribadi dengan Ketua Bidang Rehabilitasi, Bapak Sugeng, pada tanggal 6 Oktober
2017
67
Kementerian Sosial Republik Indonesia. Karena para pekerja sosial yang
bekerja disana merupakan hasil rekomendasi dari Kementerian Sosial
Republik Indonesia.
C. Dilema Etik Dalam Implementasi Nilai-Nilai Pekerja Sosial
Dalam pelaksanaannya, tidak jarang ditemui pekerja sosial yang
melanggar kode etik dan nilai-nilai pekerja sosial. Ada beberapa pekerja
sosial yang tidak mau melepas nilai-nilai dirinya. Padahal seharusnya
seorang pekerja sosial itu harus bebas nilai agar dapat bekerja secara
profesional. Banyak faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi, antara
lain seperti kurangnya pengalaman pekerja sosial yang ada, kurangnya
pengetahuan pekerja sosial mengenai nilai dan kode etik pekerja sosial
serta kurang pahamnya pekerja sosial dalam menangani kasus-kasus adiksi
terlebih Yayasan STIGMA merupakan lembaga yang khusus menangani
kasus-kasus adiksi.
”...Ada peksos yang memilih-milih dalam menangani kasus
pecandu disini. Malahan ada yang berhubungan asmara sama
pecandu yang direhab disini.”52
Ada juga beberapa pekerja sosial di Yayasan STIGMA yang tidak
menjalankan atau mengaplikasikan nilai-nilai pekerja sosial. Mereka tidak
menjalankan pekerjaannya secara profesional. Bahkan ada yang sampai
memiliki perasaan pada klien, padahal itu sudah jelas-jelas melanggar
kode etik profesi. Oleh karena itu, yayasan STIGMA memiliki prosedur-
52
Ibid
68
prosedur untuk mencegah dan menangani kasus-kasus tersebut. Yayasan
STIGMA memberikan 3 kali surat peringatan namun jika pekerja sosial
tetap melakukan hal-hal tersebut maka ia akan mendapatkan sanksi
pemecatan dari pihak yayasan.
Selain itu, tidak sedikit para klien yang direhabilitasi di Yayasan
STIGMA merasa tidak nyaman dengan perlakuan yang mereka terima dari
oknum-oknum pekerja sosial semacam tadi, dan “S” pun menambahkan.
“...ya kebanyakan dari temen-temen rehab kaya gitu bahkan ga
sedikit yang dikeluarin. Ada yang cuek yang penting dia dapet
gaji”53
Ada pula pekerja sosial yang masih terlihat santai-santai bermain
handphone pada saat jam kerja padahal ia harus memberikan bimbingan
sosial kepada klien . Penulis melihat langsung kejadian tersebut saat
sedang melakukan observasi lembaga. Hal tersebut sangat disayangkan,
sebab tidak seharusnya pekerja sosial melakukan perbuatan seperti itu.
Secara tidak langsung ia telah melanggar kode etik profesi bahwa pekerja
sosial harus senantiasa berperan aktif dalam meningkatkan kinerja
pelayanan lembaga yang mempekerjakannya terhadap klien, baik melalui
hubungan kerja yang kondusif maupun dalam bentuk pelayanan yang lebih
bermutu kepada klien, dengan: Melaksanakan tugas, kewajiban, dan
tanggung jawab sebaik-baiknya dan secara akuntabel dalam bidang,
jabatan, dan kompetensinya. Dalam kode etik sudah jelas bahwa pekerja
53
Ibid
69
sosial wajib berperan aktif dalam setiap kegiatan lembaga guna
meningkatkan pelayanan lembaga namun jika hal-hal seperti yang
disebutkan diatas masih dilakukan oleh seorang pekerja sosial maka ia
telah jelas menyalahi nilai-nilai sebagai pekerja sosial. Sebab ia lebih
mementingkan kepentingan pribadinya yaitu bermain handphone disaat
jam kerja masih berlangsung, kecuali ia melakukan hal tersebut disaat jam
istirahat atau saat jam kerja telah usai.
“...Makanya ga sedikit temen-temen pecandu yang balik lagi kesini
terus bilang “gua gasuka bang ditanganin sama dia mendingan
sama abang aja deh” karena kebanyakan peksos yang ada disini
itu kurang rasa simpati dan empatinya dengan para pecandu.”54
Pekerja sosial yang baik akan menjalankan tugasnya dengan
profesional, dan selalu mengikuti nilai-nilai profesi serta kode etik profesi
yang ada. Bukan bekerja semaunya seperti yang dijabarkan diatas. Pekerja
sosial adalah pekerjaan kemanusiaan, sebuah profesi pertolongan kepada
manusia agar berfungsi seperti seharusnya dan sebuah profesi yang
memanusiakan manusia. Tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan
apapun, dan hanya melihat apakah manusia tersebut berfungsi sosial sesuai
dengan porsinya atau tidak. Jika terjadi hal seperti hasil wawancara diatas
maka penanganan yang dilakukan oleh pekerja sosial terhadap klien bisa
dikatakan gagal, sebab klien lebih percaya dan lebih memilih ditangani
oleh orang lain yang bukan pekerja sosial untuk membantunya lepas dari
penyalahgunaan narkoba dibanding ditangani oleh pekerja sosial itu
54
Ibid
70
sendiri. Lalu apa gunanya penanganan yang dilakukan oleh pekerja sosial
semacam tadi jika klien sendiri merasa tidak nyaman ditangani oleh
pekerja sosial. Hal tersebut bisa terjadi karena minimnya kemampuan
pekerja sosial dalam meng-implementasikan nilai-nilai dan kode etik
pekerja sosial itu sendiri. Oleh karena itu, pekerja sosial yang telah bekerja
diharapkan agar bekerja secara profesional dan meng-implementasikan
nilai-nilai dan kode etik pekerja sosial yang telah dipelajarinya.
Setelah di uraikan hasil wawancara diatas, implementasi nilai-nilai
pekerja sosial dalam proses rehabilitasi sosial, sangat berperan penting
dalam keberhasilan proses rehabilitasi sosial. Nilai-nilai pekerja sosial
merupakan acuan dan pembatas dalam profesi pekerjaan sosial. Ia
membatasi pekerja sosial agar dalam proses penanganan klien ia tidak
melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal dan berakibat buruk bagi
profesi pekerjaan sosial. Dan juga membantu pekerja sosial agar tidak
salah mengambil keputusan saat menghadapi dilema etis dalam proses
penganganan kasus klien. Karena jika salah mengambil keputusan maka
dapat berakibat fatal dalam proses rehabilitasi klien.
Pekerja sosial juga harus mengetahui dan memahami sifat dan
karakter serta pola penanganan adiksi, karena setiap orang berbeda cara
penanganannya. Pekerja sosial juga harus memisahkan antara hal pribadi
dan profesi saat menangani klien. Sebab pekerja sosial tidak boleh
bersikap egois dan bekerja hanya untuk mendapatkan gaji semata. Namun
pekerja sosial harus meng-implementasikan ilmu-ilmu yang ia dapat
selama ia menempuh pendidikan sebagai pekerja sosial.
71
Jika pekerja sosial mampu memisahkan antara hal pribadi dan hal
profesi maka proses intervensi yang dilakukan akan lebih mudah dan
berjalan lancar. Seperti contoh klien diatas yang merasa sangat nyaman di
intervensi dan tidak merasa sedang di rehabilitasi. Namun, ia sadar bahwa
ia memiliki masalah dan sedikit demi sedikit telah berubah kearah yang
lebih baik. Contoh klien yang seperti ini dapat dengan mudah diajak
bekerjasama untuk mengikuti proses rehabilitasi.
Pekerja sosial di Yayasan STIGMA dalam proses rehabilitasi klien
melakukan pendekatan personal kepada klien agar mau diajak bekerjasama
dan melakukan konseling. Pekerja sosial juga melakukan terapi
kelompok/terapi sosial kepada klien dan juga melakukan penyuluhan
setiap minggu kepada klien tentang bahaya narkoba dan
penanggulangannya.
Tidak sampai disitu, pekerja sosial bertanggung jawab agar klien
dapat diterima kembali di masyarakat. Agar stigma negatif ataupun
labelling yang sudah melekat pada diri klien dapat hilang. Pekerja sosial
melakukan pendekatan kepada para tokoh masyarakat agar dapat
membimbing klien supaya ia tidak kembali lagi menggunakan narkoba
dan menjadi seseorang yang dapat berfungsi sosial kembali serta diterima
oleh masyarakat.
Pekerja sosial juga melakukan penyuluhan tentang bahaya narkoba
dan HIV/AIDS kepada masyarakat sekitar tempat tinggal klien. Hal ini
dilakukan agar masyarakat lebih paham akan bahaya narkoba dan
72
HIV/AIDS serta masyarakat lebih mau membuka mata bahwa para ex-
pecandu narkoba bukanlah sampah masyarakat melainkan seorang
individu yang sedang dalam proses memperbaiki diri. Dan masyarakat
pada akhirnya diharapkan tidak memberikan labelling kepada klien namun
mendukung dan membimbing klien agar dapat menjadi pribadi yang lebih
baik lagi.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka
kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah sebagai berikut :
1. Program Rehabilitasi
Yayasan STIGMA memiliki dua buah landasan atau pedoman
dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi korban penyalahgunaan
narkoba, yang pertama adalah pedoman rehabilitasi yang dikeluarkan
oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia dan yang kedua adalah
Pedoman Penanganan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM) yang
dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).
Kedua pedoman tersebut tidak jauh berbeda dalam proses dan
jenis kegiatan rehabilitasi yang diberikan kepada korban
penyalahgunaan narkoba. Perbedaan antara kedua pedoman diatas
hanya waktu untuk melaksanakan kontrol terhadap klien yang
melaksanakan rawat jalan, dalam pedoman yang diberikan oleh
Kemensos RI waktu untuk melakukan controlling adalah 2 minggu
sekali dan dalam pelaksanaannya klien diberikan terapi kelompok dan
bimbingan sosial. Sedangkan pedoman yang diberikan oleh KPA,
mewajibkan untuk melakukan controlling 1 minggu sekali dan dalam
pelaksanaannya klien diberikan terapi sosial dan bimbingan sosial serta
74
penyuluhan mengenai bahaya narkoba dan HIV/AIDS serta cara
penanggulangan dan penanganannya.
Sebelum menjalankan proses rehabilitasi, klien diharuskan
melakukan beberapa tahapan sebelum akhirnya dapat menjalani proses
rehabilitasi, antara lain, tes urine, pendekatan personal, konseling lalu
melakukan asessment. Setelah itu proses rehabilitasi dapat dilanjutkan
dengan pemberian terapi kelompok dan bimbingan sosial serta
penyuluhan tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS. Selain itu klien
juga diberikan kelas-kelas keterampilan seperti sablon, bengkel, teknik
komputer. Agar pada saat selesai menjalani proses rehabilitasi klien
dapat mengaplikasikan keterampilan yang di dapat di masyarakat.
Setelah selesai menjalani rawat inap klien juga diwajibkan
mengikuti rawat jalan selama 3 bulan guna melihat perkembangan
klien setelah menjalani proses rehabilitasi. Dan setelah 3 bulan tersebut
klien di kontrol oleh pekerja sosial dan penjangkau yang ada di
Yayasan STIGMA.
2. Implementasi Nilai-Nilai Pekerja Sosial
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, pekerja sosial
memiliki nilai-nilai agar dapat tetap bekerja secara profesional. Dalam
pelaksanaannya, masih banyak pekerja sosial yang bekerja di Yayasan
STIGMA yang melanggar nilai-nilai profesi tersebut. Para pekerja
sosial tersebut masih banyak yang merasa jijik atau memilih-milih
dalam menangani kasus klien yang ada. Bahkan ada pekerja sosial
75
yang menjalin hubungan asmara dengan kliennya sendiri. Tidak jarang
juga ada pekerja sosial yang bekerja memilih bermain handphone
daripada mengikuti dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
yang ada di Yayasan STIGMA. oleh karena itu, tidak sedikit pekerja
sosial yang bekerja di Yayasan STIGMA yang dipecat karena hal
tersebut.
Menurut pihak yayasan, masih banyak pekerja sosial yang
kurang atau belum bisa menerapkan nilai-nilai profesi dan bekerja
secara profesional serta masih awam dalam penanganan adiksi. Hal
tersebut dikarenakan para pekerja sosial yang ada masih minim
pengalaman bekerja pada setting lembaga rehabilitasi pecandu
narkoba.
Yayasan STIGMA pun sebelum mempekerjakan para pekerja
sosial tersebut, memberikan pelatihan-pelatihan mengenai penanganan
adiksi dan Orang Dengan HIV/AIDS. Namun pada pelaksanaannya,
tidak sedikit pekerja sosial yang merasa canggung dan jijik ketika
dihadapkan pada klien.
B. Saran
1. Akademis
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merasa sedikit kesulitan
dalam mencari referensi tentang nilai-nilai pekerja sosial. Penulis
berharap Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dapat memberikan pengetahuan yang lebih mengenai nilai-nilai
profesi pekerja sosial. Karena tidak sedikit yang masih merasa buta
76
akan nilai-nilai pekerja sosial yang ada. Dan untuk bekerja secara
profesional sebagai pekerja sosial diperlukan pemahaman tentang
bagaimana penerapan nilai-nilai pekerja sosial tersebut pada setiap
setting lembaga yang akan ditempati oleh para calon pekerja sosial
kelak.
2. Praktis
Sebagai lembaga non pemerintahan yang memberikan
pelayanan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkoba,
diharapkan Yayasan STIGMA bisa memilih untuk mempekerjakan
pekerja sosial profesional. Karena selama ini, pekerja sosial yang
bekerja di Yayasan STIGMA selain dari seleksi pihak yayasan, pekerja
sosial yang ada juga merupakan para pekerja sosial hasil rekomendasi
dari Kementerian Sosial Republik Indonesia yang kebanyakan baru
saja menyelesaikan studi tentang ilmu pekerjaan sosial atau
kesejahteraan sosial yang masih minim dalam hal pengalaman bekerja
pada setting lembaga rehabilitasi korban penyalahguna narkoba.
3. Saran Kepada Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini berhasil menemukan bahwa implementasi nilai-
nilai pekerja sosial masih belum terlaksanakan dengan baik pada
pekerja sosial yang bekerja di Yayasan STIGMA yang merupakan Non
Government Organisation (NGO), sehingga penulis merasa pentingnya
peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian tentang
pengimplementasian nilai-nilai pekerja sosial di lembaga-lembaga
77
pemerintahan agar kemudian dapat digunakan sebagai pembanding
dan pelengkap skripsi-skripsi yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
A. Kadarmanta, Mencegah Narkoba di Sekolah, Jakarta. PT. Forum Media Utama, 2010
A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, Jakarta. PT. Forum Media Utama,
2010
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi,Ekonomi,Kebijakan Publik,dan Ilmu Sosial
Lainnya, Edisi kedua Cetakan ke-3, Jakarta. Kencana, 2011
Cepi Yusrun Alamsyah, Praktik Pekerjaan Sosial Generalis: Suatu Tuntunan Intervensi,
Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2010
Departemen Sosial RI, Panduan Pekerja Sosial di Lingkungan Departemen Sosial, Jakarta.
Sekretariat Jenderal, 1998
Drs. Suharto, Tanya Jawab Sosiologi , Jakarta. PT. Rineka Cipta, 1991
Dwi Heru Sukoco, Profesi Pekerja Sosial dan Pertolongannya, Bandung. Kopma STKS,
1998
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Cetakan ke-3.
Jakarta. Bumi Aksara, 2003
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung. PT. Remaja Rosdakarya,
2004
Isbandi Rukminto, Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, 2nd
ed., Depok.
FISIP UI Press, 2005
Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Cetakan
pertama, Jakarta. PT. Raja Garfindo Persada, 1994
Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung. PT. Remaja Rosda Karya, 2001
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta. Bumi Aksara, 2002
Rena Yulia, Viktimologi, Yogyakarta. Graha ilmu, 2010
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga,
Jakarta. Balai Pustaka, 2007
Sumber Web dan Artikel :
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150909221424-12-77758/bnn-943-ribu-pengguna-
narkotika-kronis-harus-direhabilitasi/
http://www.kompasiana.com/phadli/jumlah-pengguna-narkoba-di-
indonesia_553ded8d6ea834b92bf39b35
Pengertian berdasarkan Kamus Narkoba yang dikeluarkan oleh BNN tahun 2006
HASIL OBSERVASI
Di YAYASAN STIGMA, PONDOK PINANG, JAKARTA SELATAN, DKI
JAKARTA
Hari dan tanggal : 9 Agustus 2017
Tempat : Yayasan STIGMA
Hari ini peneliti untuk pertama kalinya datang kembali ke Yayasan
STIGMA setelah mendapatkan izin untuk melakukan penelitian. Saat itu peneliti
pertama kalinya bertemu dan diperkenalkan dengan Direktur Yayasan STIGMA
yaitu Bapak Suwanto atau biasa dipanggil Bang Anto. Selama pertemuan tersebut
Bang Anto menjelaskan tentang Yayasan STIGMA pada peneliti tentang apa itu
Yayasan STIGMA. Peneliti dijelaskan bahwa Yayasan STIGMA merupakan
lembaga Non Government Organisation (NGO) yang telah diakui dan berada
dibawah naungan Kementerian Sosial Republik Indonesia yang bergerak pada
bidang rehabilitasi Narkoba dan HIV/AIDS serta Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) bagi para pecandu narkoba agar mendapatkan hak untuk di rehabilitasi
bukan dijatuhi hukuman penjara. Peneliti berbincang-bincang di ruangan beliau
yang banyak berisi tentang buku-buku rehabilitasi narkoba, HIV/AIDS dan
penanggulangannya. Setelah itu peneliti diajak berkenalan dengan seluruh staff
yang hadir pada saat itu dan memperkenalkan diri serta menjelaskan tentang
tujuan peneliti berada di Yayasan STIGMA. Kemudian peneliti diajak ke teras
depan kantor untuk melanjutkan perbincangan dengan Bang Anto. Bentuk kantor
Yayasan STIGMA itu seperti rumah tidak terlalu besar namun cukup untuk
melakukan kegiatan administratif yang bersangkutan dengan proses rehabilitasi.
Orang-orang yang bekerja pun bisa dibilang asik dalam menjalakan tugasnya,
karena mereka menjalankan tugas dan kewajiban mereka dengan senang hati,
untuk membantu orang yang memiliki niatan baik untuk berhenti menggunakan
narkoba. Selain itu, Bang Anto juga menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang
dibangun di Yayasan STIGMA sendiri dibuat seperti keluarga, jadi dari setiap
pekerja yang ada merasa nyaman bekerja namun tetap menjalankan tugasnya
secara profesional. Kantor Yayasan STIGMA juga terdiri dari beberapa ruangan,
terdapat parkiran motor + 3x4m, teras tempat berkumpul untuk sekedar melepas
penat selesai bekerja atau untuk istirahat, 1 ruang kantor tempat segala urusan
administratif dilaksanakan sekaligus ruang Direktur, 1 ruang kerja tempat bagian
Kepala Bidang Rehabilitasi, ruang tamu, 1 buah ruang rapat, dapur, 2 buah kamar
mandi dan 1 buah taman kecil berukuran 3x3m.
Hari dan Tanggal : 6 Oktober 2017
Tempat : Yayasan STIGMA
Hari ini, selain ingin melakukan wawancara dengan Kepala Bagian
Rehabilitasi yaitu Bapak Sugeng, peneliti juga diajak oleh Bapak Sugeng untuk
melihat ke asrama tempat rawat inap klien penyalahguna narkoba yang menjalani
proses rehabilitasi sosial. Jarak antara asrama rehabilitasi dengan kantor tidak
terlalu jauh + 200m dan masih dalam 1 perumahan yang sama hanya berbeda 2
blok dari kantor. Namun karena program rawat inap baru saja selesai pada bulan
agustus maka tidak ada klien yang menempati asrama tersebut. Asrama tersebut
kosong dan tak ada seorang pun disana. Kondisi asrama tersebut sangat terawat,
dengan bentuk dan kondisi asrama seperti rumah yang tidak jauh berbeda dengan
kantor Yayasan STIGMA. terdapat 3 kamar dengan fungsi memisahkan klien
sesuai dengan tingkat keparahan adiksi. Karena jika tidak dipisahkan
dikhawatirkan akan mengganggu proses rehabilitasi setiap klien. Sebab, klien
yang sangat parah tingkat adiksinya emosinya sangatlah labil dan dapat dengan
mudah mengamuk sehingga mengganggu jalannya proses rehabilitasi. Setelah
dirasa kondisi klien tersebut membaik maka klien dapat dipindahkan ke kamar
dengan tingkat adiksi yang lebih rendah. Lalu terdapat 1 ruangan konseling,
tempat pekerja sosial melakukan proses konseling dengan klien, 1 buah ruang
tamu yang cukup lebar yang digunakan sebagai tempat pertemuan klien yang
menjalani proses rawat jalan sekaligus tempat melakukan controlling dan
penyuluhan terkait bahaya narkoba dan HIV/AIDS serta pencegahannya. Lalu
terdapat ruang jaga tempat petugas lembaga mengawasi perkembangan klien
setiap harinya, beberapa papan tulis yang berisikan nama-nama klien yang
menjalankan rawat inap, jadwal makan dan menu serta jadwal kegiatan setiap
harinya. Dan 1 buah televisi untuk hiburan para klien yang dirawat. Setelah itu
peneliti diajak berjalan lagi ke kantor Yayasan STIGMA oleh Bapak Sugeng,
setelah sampai di kantor, peneliti melihat ada seorang pekerja sosial yang sejak
peneliti datang hingga peneliti selesai melakukan observasi rumah rehabilitasi
hanya duduk sambil bermain handphone. Kemudian Bapak Sugeng menegurnya
agar kembali mengerjakan laporan, namun pekerja sosial terlihat malas
mengerjakan laporannya dan melanjutkan bermain handphone.
Pedoman Wawancara.
I. Pekerja Sosial
1. Apa tugas pokok dan fungsi pekerja sosial dalam proses rehabilitasi?
2. Apa tujuan yang ingin dicapai dalam proses rehabilitasi sosial ini?
3. Bagaimana penerapan nilai-nilai pekerja sosial selama menangani klien?
4. Bagaimana cara menerapkan nilai pekerja sosial selama mengangani klien?
5. Apakah ada nilai peksos baru yang diterapkan selama menangani klien?
6. Dilema etis apa saja yang anda hadapi?
7. Kendala atau hambatan yang hadapi?
8. Bagiamana proses penerimaan klien, kontrak klien sampai dengan terminasi?
9. Bagaimana cara menjaga kerahasiaan klien?
II. Klien
1. Sudah berapa lama anda berapa dan menjalani proses rehabilitasi sosial disini?
2. Apa yang menyebabkan anda menggunakan narkotika?
3. Bagaimana anda bisa berada disini?
4. Apakah anda tahu alasan kenapa anda berada disini?
5. Program rehabilitasi sosial dan pembinaan apa saja yang anda terima di lembaga?
6. Apa saja dampak yang anda rasakan sebelum dan sesudah anda menjalani
rehabilitasi sosial disini?
7. Apakah berpengaruh terhadap kehidupan anda?
8. Kegiatan apa saja yang anda lakukan selama berada disini?
9. Apakah ada hambatan selama menjalani proses rehabilitasi?
10. Apa harapan anda setelah selesai menjalani program rehabilitasi sosial ini?
III. Ketua Lembaga
1. Program dan kegiatan apa saja yang ada di lembaga?
2. Bagaimana proses program atau kegiatan tersebut berlangsung?
3. Hambatan apa saja yang bapak hadapi dalam menjalankan program-program yang
ada?
4. Tujuan apa yang ingin dicapai dalam program rehabilitasi sosial ini?
5. Apakah ada monitoring setelah program rehabilitasi sosial selesai?
6. Bagaimana bapak mengembangkan program yang sudah ada?
7. Bagaimana tanggapan bapak mengenai kinerja peksos yang ada?
8. Menurut bapak apa dampak atau manfaat yang dirasakan klien yang telah
menjalani rehabilitasi sosial?
9. Apa harapan bapak kedepannya?
IV. Kepala Bagian Rehabilitasi
1. Bagaimana proses penerimaan klien?
2. Bagaimana proses rehabilitasi? Apakah ada perbedaan antara rawat inap dan rawat
jalan?
3. Bagaimana proses pengembalian klien ke masyarakat?
4. Bagaimana hambatan selama proses rehabilitasi berjalan?
5. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pekerja sosial yang bekerja disini?
6. Bagaimana kinerja pekerja sosial yang ada?
7. Apa harapan bapak kedepannya?
TRANKRIP WAWANCARA
Nama Informan : Suwanto
Jabatan : Direktur Umum Yayasan STIGMA
Tanggal Wawancara : 19 September 2017
1. Program dan kegiatan yang ada di Yayasan STIGMA?
Program itu ada banyak yg pertama penjangkauan. Penjangkauan itu meliputi, Diskusi
Interaktif Kelompok (DIK), pendampingan terfokus pada pengguna jarum suntik
(penasun) tujuannya agar para pengguna jarum suntik dapat mengakses pelayanan
kesehatan sebaik baiknya. Karena kita pengennya langsung memutus rantai penularan
HIV. Yang ketiga ada Mobile Voluntary Conseling Test (VCT) atau lebih mudahnya
tes HIV sukarela. Mereka datang dengan sukarela ke puskesmas buat di tes. Lalu yang
keempat ada pertemuan pasangan penasun, jadi istri atau pasangan yang
menggunakan zat, tapi ada yang istrinya pamakai lakinya engga, atau juga ada yang
dua duanya pemakai. Kelima, ada pertemuan kelompok dukungan sebaya, oh kelima
itu tadi kegiatan ya, kalo program itu ada 2. Harm reduction, pengurangan dampak
buruk jarum suntik. Program rehabilitasi, dari KPAP Provinsi dan kemensos.
Kegiatan rehabilitasi ada rawat jalan dan rawat inap, rawat inap 3bulan dan sisanya
rawat jalan. Keseluruhan itu 6bulan. Rawat jalan itu ketemu setiap seminggu sekali
selama hampir 3 bulan. Konseling seminggu sekali selama 3 bulan. Setelah melewati
tahap 3 bulan kemudian ada urine test.
2. Tahapan rehabilitasinya itu gimana bang?
Assesment, tes urin, konseling dan pendekatan personal.
3. Bagaimana hambatan saat menjalani proses rehabilitasi?
Hambatannya itu dualisme klien maksudnya kepribadian klien yang mudah berubah
ubah karena pengunaan zat yang terlalu lama jadi karakternya berubah ubah jadi dual.
Lalu keinginan untuk berhenti masih setengah setengah, karena takut ditangkap
(target operasi) polisi bukan karena dorongan diri pribadi. Kebanyakan dianter
keluarga atau kena masalah hukum.
4. Kalau itu tadi dari pengguna, kalau dari lembaga sendiri atau peksos itu ada
hambatan ga?
Kalo gua pribadi sih kebijakan yang ada di negara ini ga mendukung, sekarang orang
bisa di rehabilitasi tapi malah banyak yang dipenjara, bukan hanya rehab disini tapi
semua. Kalo semua pecandu itu di rehab mungkin bisa bener. Tapi masih ada yang di
olah seperti artis yang ketangkep tangan pake napza, masih bisa bebas kemana aja
karena mereka punya uang . Sekarang buat sidang itu biayanya ga murah, harus
datengin saksi ahli, tim ahli itu mahal. Saat ini polisi menangkap pengguna itu selalu
menggunakan pasal pengedar dan kepemilikan narkoba, jarang yang memang
ditangkap dan langsung dibawa untuk di rehab. Jadi yang saya lihat, polisi
menjadikan pengguna itu sebagai objek untuk mendapatkan uang, makanya ga sedikit
orang yang kena kasus narkoba tapi ga dipenjara atau di rehab. Kadang polisi juga
malah jadiin penguna itu sebagai objek pemasukan, jadi pengguna itu banyak juga
yang dilepas lagi asal bisa bayar dengan nominal tertentu. Nah makanya, banyak juga
kasus-kasus yang ngambang ga ada penyelesaian dari pihak kepolisian karena yang
ditangkep bisa bayar.
5. Setelah rehab biasanya ada proses monitoring ga bang?
Ada, biasanya kita ada outing atau penjangkauan dan pertemuan family spot group ke
keluarga pengguna. Tapi cuma daerah jakarta selatan dan jakarta barat.
6. Ada pengembangan program ga bang untuk selanjutnya?
Ada, niatnya itu mau buat aplikasi berbasis android buat pencegahan menggunakan
narkoba. Jadi nanti remaja-remaja bisa akses tentang informasi mengenai narkoba dan
bahayanya serta lokasi-lokasi tempat rehab tentang konsultasi dan bantuan hukum,
itupun kalo ada donaturnya hehe.
7. Kalo kursus keterampilan gitu ada bang buat yang rehab?
Ada juga kita kalo itu, kita ada sablon, bengkel, teknik komputer gitu
8. Bagaimana tanggapan abang mengenai peksos?
Peksosnya itu ditunjuk langsung oleh kemensos. Kebanyakan dari peksos itu ga tau
basic atu latar belakang pecandu, kurikulum peksos pun belum sampai ke karakter
kecanduan tuh seperti apa, adiksi itu seperti apa.
9. Peksos itu kan punya nilai-nilai profesi bang, kalo disini gimana?
Ada yang beberapa peksos yang ga punya latar belakang ilmu tentang menangani
pecandu, karakter pecandu itu kan beda-beda jadi penanganganannya juga berbeda.
Ada peksos yang memilih-milih dalam menangani kasus pecandu disini. Malahan ada
yang berhubungan asmara sama pecandu yang direhab disini.
10. Itu tanggapan abang tentang peksos yang ada disini bang?
Engga, itu buat peksos yang bekerja dibidang rehab
11. Di semua tempat rehab berarti gitu dong bang?
Ya kebanyakan dari temen temen rehab kaya gitu bahkan ga sedikit yang dikeluarin.
Ada yang cuek yang penting dia dapet gaji. Makanya ga sedikit temen-temen pecandu
yang balik lagi kesini terus bilang “gua gasuka bang ditanganin sama dia mendingan
sama abang aja deh” karena kebanyakan peksos yang ada disini itu kurang rasa
simpati sama empatinya sama pecandu.
12. Peksos itu nanganinnya disini juga atau ikut penjangkauan?
Kalo peksos itu khusus buat rawat inap di rumah rehab.
13. Harapan abang kedepannya gimana bang?
Semoga hasil skripsinya bisa bermanfaat kedepannya dan pemerintah itu bisa
merubah kebijakan tentang narkoba itu sendiri tentang pecandu/pengguna dan
pengedar. Supaya ada aturan jelas bahwa pecandu/pengguna itu harus direhabilitasi
bukan dipenjara. Kalo semuanya dipenjara kapan mau berhenti dan ilang kasus
narkoba di indonesia. Orang dipenjara aja masih banyak kok yang ngedarin narkoba.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : Sugeng
Jabatan : Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial
Tanggal wawancara : 6 Oktober 2017
1. Proses awal rehab itu gimana bang?
Kita ada screening, . PABM itu dari KPA dan kementerian sosial, semua tahap rehab
itu sama cuma beda cara penangannya aja paling. Itu ada theraphy comunity (TC)
sama
2. Bedanya rawat jalan sama rawat inap itu apa bang?
Kalo rawat jalan itu bisa pulang, paling kesini itu 1 minggu sekali. Kalo rawat inap itu
disini selama 3 bulan, kita ada rumah rehabnya kok disini, di deket sini maksudnya.
3. Kalo rawat jalan itu kontrolnya gimana bang?
Nah kita itu ada 2, ada yang seminggu dua kali, ada juga yang seminggu sekali. Kalo
program rehab ngikutin dari PABM itu seminggu sekali kalo dari kemensos itu 2
minggu sekali. Kalo yang 2 minggu sekali itu palingan terapi kelompok/terapi sosial.
4. Untuk rawat inap itu ada biaya yang harus ditanggung ga sih bang sama klien?
Ada jadi perbulan itu 1,5juta, tapi kita lihat juga sih sesuai sama kemampuan keluarga
klien. kalo memang mereka mampu ya bisa lebih dari 1,5juta tapi kalo sekiranya ga
mampu ya kita gratisin. Pokoknya sesuai sama kemampuan keluarganya sih. Soalnya
kan kita jug butuh uang untuk kehidupan mereka selama disini.
5. Itu tempatnya disini bang?
Engga dirumah yang 1 lagi, yang khusus buat rehab. Soalnya gini kalo misalnya
disini, itu bisa mengganggu proses rehab. Dan juga disini supaya fokus semua jadi
ibaratnya disini itu kantor lah.
6. Nah rehab itu kan ada metode persuasif ya bang supaya pengguna itu mau
berhenti menggunakan narkoba, itu gimana bang penerapannya?
Kita pake pendekatan individu dan materi-materi tentang adiksi.
7. Setelah itu misalnya si pengguna itu mau untuk di rehab, langkah selanjutnya
itu apa bang?
Nah itu balik lg kita sesuai sama PABM, selama 2-3 bulan disini dan itu keluarga juga
bisa bebas buat ngunjungin. Kita ngasih jarak waktu yang singkat supaya ga
mengganggu jalannya rehab.
8. Kan disini itu ada yang di rehab karena kasus narkoba dan aids tuh bang, itu gimana
apakah ada perbedaan cara rehabnya?
Kita ga membeda-bedakan yang di rehab disini baik itu hanya karena narkoba ataupun
ODHA. Karena kita disetiap sesi itu memberikan materi tentang hiv/aids, cara
penularan biar semua paham dan setelah rehab mereka bisa kembali ke lingkungan
sosialnya.
9. Maksudnya itu kalo pengguna narkoba itu kan ga cuma penasun aja kan bang
yang di rehab, itu ada perbedaan ga bang cara penanganannya?
Ohh kalo itu tergantung, tingkat keparahan/kecanduan. Tergantung sama tingkat
kecanduannya sih kan makin parah dia ketergantungan makin hancur susunan syaraf
yg ada di otaknya, makin hancur syarafnya itu makin susah buat di rehab. Paling kalo
buat yg parah itu kita ada detoksifikasi, dan itu kita bekerja sama dengan puskesmas
atau rumah sakit terdekat.
10. Rumah sakit atau puskesmas yang di dekat rumah klien bang?
Ohh engga, kalo itu kita kerjasama sama rumah sakit yang sudah MoU sama kita.
11. Setelah di rehab itu kan klien dikembalikan ke masyarakat, itu gimana tahap
pengembaliannya bang?
Kalo itu kita setiap bulannya mengadakan homevisit dan controlling, dan setelah
selesai rehab kita juga ga mungkin dilepas gitu aja nanti takutnya dia balik make lagi.
Tapi mayoritas itu tergantung sama klien lagi, gimana mereka, cara mereka supaya ga
balik lagi menggunakan narkoba. Kalo dari dalam diri mereka masih ada keinginan
buat make, ya kemungkinan besar mereka bakalan balik lagi. Jadi tergantung gimana
lingkungan mereka sih.
12. Kalo pandangan masyarakat sendiri buat klien yang selesai di rehab itu gimana
bang?
Kita ada sosialisasi juga ke masyarakat, yang pertama ke tokoh tokoh masyarakat
seperti rt/rwnya, terus dari tokoh agama dan ormas setempat untuk membantu mencari
pengguna untuk diajak ke stigma agar mau di rehab. Dan dikasih penyuluhan-
penyuluhan.
13. Maksudnya pandangan masyarakat kepada pengguna setelah selesai di rehab itu
gimana bang? Apakah ada labelling/cap kepada pengguna?
Kita juga sosialisasi ke masyarakat sekitarnya kalo si pengguna ini sudah
memperbaiki kesalahannya, menerangkan bahwa si A itu sudah benar benar berubah
menjadi yang lebih baik. Dan selama ini disambut baik oleh warga.
14. Kalo hambatannya itu apa aja bang selama rehab?
Selama rehab, kalo yang rawat inap sih ga ada yang bermasalah ya. Kalo yang rawat
jalan mungkin agak sulit, karena tidak terlalu terikat seperti rawat inap. Kita juga ga
tau klien sehari hari diluar apakah dia make lagi atau engga, tapi bisa keliatan sih dari
muka kalo agak segeran berarti dia udah mulai berhenti. Ya kita juga harus mengenali
ciri-ciri pengguna sih. Dan dilingkungan mereka juga masih banyak yang kita ga tau,
apakah lingkungan dia itu banyak yang make juga apa engga.
15. Nah berarti ada kriteria dong bang untuk rawat jalan dan rawat inap?
Iya kita lihat dari tingkat keparahan kecanduan klien, dari keluarga apakah mau
mengikuti rawat inap atau engga. Kan kita juga ga memaksa. Kita juga ada surat
pernyataan/persetujuan, jadi kalo keluarga ga setuju ya ga bisa di rawat inap disini.
16. Disini kan ada peksos ya bang, tugas peksos disini itu apa bang?
Peksos itu membantu sosialisasi, membuat laporan 6 bulan dan mengisi terapi sosial.
17. Peksos itu wajib ada bang?
Ya wajib soalnya berperan penting juga selama proses rehab, dan juga kewajiban
karena itu program kemensos juga kan.
18. Kalo kinerjanya bang gimana?
Penerapan nilai-nilai peksosnya gitu bangKadang mereka ga ngerti tentang
penanganan hiv/aids atau penanganan pengguna narkoba. Tapi kita disini ngasih
materi juga sih ke mereka biar mereka semua paham. Dan juga ada beberapa peksos
yang kurang bisa berbaur, mungkin mereka baru ngerasain kondisi lapangan yang
seperti ini. Dan pernah beberapa pergi ngilang gitu aja dari sini.
19. Peksos itu punya nilai-nilai bang dalam profesinya, nah selama ini ada masalah
seperti itu ga bang?
Ga ada sih aman aman aja, tapi pernah ada yang jadian sama klien. kliennya itu rawat
jalan dan kemungkinan adiksinya masih tinggi. Dan kita udah menyarankan kepada
klien supaya tidak ada hati antara klien dan peksos tapi tetep ngeyel anaknya.
20. Selain itu ada lagi bang peksos yang bermasalah?
Ada sih peksos yang mementingkan urusan pribadinya saat bekerja sampe ditegur
sama pembina, jadi dia sesukanya deh tuh kerja disini ga mau ikutin aturn yang ada.
21. Harapan abang untuk peksos yang ada gimana bang?
Tetap ya jalanin yang udah udah, kerjasamanya ditingkatkan lagi sama kalo bisa
peksos tolong bekerja secara profesional.
22. Kalo penerimaan peksosnya itu ada kriteria khusus ga bang?
Engga sih soalnya kita online sih pendaftarannya, dan paling rekomendasi dari
lembaga lain.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : “I”
Jabatan : Pekerja Sosial
Tanggal Wawancara : 21 Oktober 2017
1. Bagaimana proses penerimaan klien, kontrak klien sampai dengan
terminasi?
Kalo penerimaan itu kita nerima klien dari mana aja, ada yang dari polsek maupun
datang sendiri diantar oleh keluarganya. Setelah melewati tes-tes tertentu, ia
diterima di lembaga dan menjalani rehabilitasi. Jadi ga boleh milih milih klien
karena semua sama saja, sama-sama orang yang perlu bantuan. Setelah itu ada
intake, dan selanjutnya ada konseling supaya kita tahu nih dia itu
perkembangannya selama disini gimana sekaligus tau permasalahannya apa
sehingga dia bisa sampe seperti ini. Sehingga kita bisa bantu klien mengatasi
masalah-masalahnya. Setelah ia selesai di rehabilitasi disini, masih ada monitoring
selama 3 bulan dari lembaga supaya kita tahu gimana dia setelah kembali lagi ke
masyarakat dan saya biasanya bertemu ke tokoh-tokoh masyarakat sekitar agar
mereka mau membantu klien menjadi individu yang lebih baik lagi dan
membimbing klien agar perlahan-lahan stigma negatif klien yang seorang pecandu
bisa hilang. Setelah dirasa cukup selanjutnya saya melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan klien serta keluarganya.
2. Bagaimana cara menjaga kerahasiaan klien?
Kalo kerahasiaan klien itu dari yayasan pun sudah ada peraturannya untuk
dirahasiakan kecuali untuk orang-orang yang bersangkutan dengan klien saja. Dan
diluar bagian rehabilitasi, klien itu benar-benar disamarkan dari dunia luar.
3. Apa tugas pokok dan fungsi pekerja sosial dalam proses rehabilitasi?
Seperti biasa sih paling saya bagian konseling, terapi kelompok sama melakukan
pendekatan personal sama klien. selebihnya saya berperan sebagai
edukator,konselor, mediator dan fasilitator.
4. Apa tujuan yang ingin dicapai dalam proses rehabilitasi sosial ini?
Kalo ditanya tujuan ya sudah jelas lah ya, supaya yang direhab ini tidak kembali
lagi menggunakan narkoba dan dapat hidup lagi seperti semula, istilahnya
berfungsi kembali lah.
5. Bagaimana penerapan nilai-nilai pekerja sosial selama menangani klien?
Nilai-nilai peksos ya, kalo saya pribadi sih masih mencoba untuk profesional
karena saya juga itungannya masih baru ya jadi peksos hehe. Ya selama ini sih
saya mencoba menerapkan semua yang saya dapat selama kuliah.
6. Bagaimana cara menerapkan nilai pekerja sosial selama mengangani klien?
Ya itu tadi, saya paling mencoba untuk menangani masalah secara profesional
tanpa membawa urusan pribadi saya sendiri. Misalnya, saya tidak memilih-milih
klien yang saya tangani berdasarkan ras, suku, agama manapun. Karena, saya
merasa mereka itu semua sama, sama-sama butuh pertolongan.
7. Apakah ada nilai peksos baru yang diterapkan selama menangani klien?
Saya rasa engga ya, kalo menurut saya sih nilai-nilai peksos yang ada itu sudah
mencakup keseluruhan jadi ga ada hal yang baru.
8. Dilema etis apa saja yang anda hadapi?
Kalo dilema etis itu paling kalo lagi rehab tuh kita harus menangani klien dengan
tegas agar klien menjadi disiplin, namun di sisi lain kita ga bisa terlalu keras
karena keadaan mental para pecandu itu sangat labil. Terus kadang kita merasa
jijik gitu kan ke klien, tapi mau gimana lagi udah resiko pekerjaan dan juga
memang kita ga boleh membeda-bedakan klien kan.
9. Kendala atau hambatan yang hadapi?
Kalo hambatan sih biasanya klien yang masih susah untuk diajak bekerja sama,
mungkin karena adiksi yang sudah parah. Selebihnya sih ga ada ya.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : ”A”
Jabatan : Klien
Tanggal Wawancara : 24 Oktober 2017
1. Sudah berapa lama abang menjalani proses rehabilitasi sosial disini?
Kira-kira sudah ada 2 bulan ya disini
2. Apa yang menyebabkan abang menggunakan narkotika?
Saya sih awalnya coba-coba di ajak temen, awalnya saya nolak tapi karena
penasaran akhirnya saya coba deh
3. Program rehabilitasi sosial dan pembinaan apa saja yang abang terima di
lembaga?
Disini sih enak ya. Disini itu ada terapi kelompok gitu, terus ada kelas
keterampilan juga sih, saya ikut kelas teknik komputer. Terus ada penyuluhan gitu
bahaya narkoba dan hiv/aids serta disini kita diperlakukan seperti keluarga.
4. Apa saja dampak yang anda rasakan sebelum dan sesudah abang menjalani
rehabilitasi sosial disini?
Yang pasti sih saya jadi lebih stabil, kalo sebelumnya saya itu gampang banget
emosian dan agak tertutup dengan orang lain. Tapi pelan-pelan saya bisa
ngendaliin itu. Dan juga saya pelan-pelan udah bisa lepas dari barang-barang itu
walaupun memang susah lepasnya karena kita udah kecanduan hehe.
5. Apakah berpengaruh terhadap kehidupan abang?
Kalo dibilang berpengaruh sih iya. Ya saya merasa menjadi orang yang lebih baik
lah.
6. Kegiatan apa saja yang abang lakukan selama berada disini?
Saya sih sehari-hari selain ikut kegiatan yayasan seperti kelas, konseling dan lain-
lain, saya ngumpul-ngumpul aja sama temen-temen yang ada disini ngobrol-
ngobrol sama petugas juga.
7. Apakah ada hambatan selama menjalani proses rehabilitasi?
Ga ada sih ya, paling dari diri saya sendiri yang masih ngerasa belum bisa lepas
dari narkoba itu aja.
TRANKRIP WAWANCARA
Nama Informan : Suwanto
Jabatan : Direktur Umum Yayasan STIGMA
Tanggal Wawancara : 19 September 2017
1. Program dan kegiatan yang ada di Yayasan STIGMA?
Program itu ada banyak yg pertama penjangkauan. Penjangkauan itu meliputi, Diskusi
Interaktif Kelompok (DIK), pendampingan terfokus pada pengguna jarum suntik
(penasun) tujuannya agar para pengguna jarum suntik dapat mengakses pelayanan
kesehatan sebaik baiknya. Karena kita pengennya langsung memutus rantai penularan
HIV. Yang ketiga ada Mobile Voluntary Conseling Test (VCT) atau lebih mudahnya
tes HIV sukarela. Mereka datang dengan sukarela ke puskesmas buat di tes. Lalu yang
keempat ada pertemuan pasangan penasun, jadi istri atau pasangan yang
menggunakan zat, tapi ada yang istrinya pamakai lakinya engga, atau juga ada yang
dua duanya pemakai. Kelima, ada pertemuan kelompok dukungan sebaya, oh kelima
itu tadi kegiatan ya, kalo program itu ada 2. Harm reduction, pengurangan dampak
buruk jarum suntik. Program rehabilitasi, dari KPAP Provinsi dan kemensos.
Kegiatan rehabilitasi ada rawat jalan dan rawat inap, rawat inap 3bulan dan sisanya
rawat jalan. Keseluruhan itu 6bulan. Rawat jalan itu ketemu setiap seminggu sekali
selama hampir 3 bulan. Konseling seminggu sekali selama 3 bulan. Setelah melewati
tahap 3 bulan kemudian ada urine test.
2. Tahapan rehabilitasinya itu gimana bang?
Assesment, tes urin, konseling dan pendekatan personal.
3. Bagaimana hambatan saat menjalani proses rehabilitasi?
Hambatannya itu dualisme klien maksudnya kepribadian klien yang mudah berubah
ubah karena pengunaan zat yang terlalu lama jadi karakternya berubah ubah jadi dual.
Lalu keinginan untuk berhenti masih setengah setengah, karena takut ditangkap
(target operasi) polisi bukan karena dorongan diri pribadi. Kebanyakan dianter
keluarga atau kena masalah hukum.
4. Kalau itu tadi dari pengguna, kalau dari lembaga sendiri atau peksos itu ada
hambatan ga?
Kalo gua pribadi sih kebijakan yang ada di negara ini ga mendukung, sekarang orang
bisa di rehabilitasi tapi malah banyak yang dipenjara, bukan hanya rehab disini tapi
semua. Kalo semua pecandu itu di rehab mungkin bisa bener. Tapi masih ada yang di
olah seperti artis yang ketangkep tangan pake napza, masih bisa bebas kemana aja
karena mereka punya uang . Sekarang buat sidang itu biayanya ga murah, harus
datengin saksi ahli, tim ahli itu mahal. Saat ini polisi menangkap pengguna itu selalu
menggunakan pasal pengedar dan kepemilikan narkoba, jarang yang memang
ditangkap dan langsung dibawa untuk di rehab. Jadi yang saya lihat, polisi
menjadikan pengguna itu sebagai objek untuk mendapatkan uang, makanya ga sedikit
orang yang kena kasus narkoba tapi ga dipenjara atau di rehab. Kadang polisi juga
malah jadiin penguna itu sebagai objek pemasukan, jadi pengguna itu banyak juga
yang dilepas lagi asal bisa bayar dengan nominal tertentu. Nah makanya, banyak juga
kasus-kasus yang ngambang ga ada penyelesaian dari pihak kepolisian karena yang
ditangkep bisa bayar.
5. Setelah rehab biasanya ada proses monitoring ga bang?
Ada, biasanya kita ada outing atau penjangkauan dan pertemuan family spot group ke
keluarga pengguna. Tapi cuma daerah jakarta selatan dan jakarta barat.
6. Ada pengembangan program ga bang untuk selanjutnya?
Ada, niatnya itu mau buat aplikasi berbasis android buat pencegahan menggunakan
narkoba. Jadi nanti remaja-remaja bisa akses tentang informasi mengenai narkoba dan
bahayanya serta lokasi-lokasi tempat rehab tentang konsultasi dan bantuan hukum,
itupun kalo ada donaturnya hehe.
7. Kalo kursus keterampilan gitu ada bang buat yang rehab?
Ada juga kita kalo itu, kita ada sablon, bengkel, teknik komputer gitu
8. Bagaimana tanggapan abang mengenai peksos?
Peksosnya itu ditunjuk langsung oleh kemensos. Kebanyakan dari peksos itu ga tau
basic atu latar belakang pecandu, kurikulum peksos pun belum sampai ke karakter
kecanduan tuh seperti apa, adiksi itu seperti apa.
9. Peksos itu kan punya nilai-nilai profesi bang, kalo disini gimana?
Ada yang beberapa peksos yang ga punya latar belakang ilmu tentang menangani
pecandu, karakter pecandu itu kan beda-beda jadi penanganganannya juga berbeda.
Ada peksos yang memilih-milih dalam menangani kasus pecandu disini. Malahan ada
yang berhubungan asmara sama pecandu yang direhab disini.
10. Itu tanggapan abang tentang peksos yang ada disini bang?
Engga, itu buat peksos yang bekerja dibidang rehab
11. Di semua tempat rehab berarti gitu dong bang?
Ya kebanyakan dari temen temen rehab kaya gitu bahkan ga sedikit yang dikeluarin.
Ada yang cuek yang penting dia dapet gaji. Makanya ga sedikit temen-temen pecandu
yang balik lagi kesini terus bilang “gua gasuka bang ditanganin sama dia mendingan
sama abang aja deh” karena kebanyakan peksos yang ada disini itu kurang rasa
simpati sama empatinya sama pecandu.
12. Peksos itu nanganinnya disini juga atau ikut penjangkauan?
Kalo peksos itu khusus buat rawat inap di rumah rehab.
13. Harapan abang kedepannya gimana bang?
Semoga hasil skripsinya bisa bermanfaat kedepannya dan pemerintah itu bisa
merubah kebijakan tentang narkoba itu sendiri tentang pecandu/pengguna dan
pengedar. Supaya ada aturan jelas bahwa pecandu/pengguna itu harus direhabilitasi
bukan dipenjara. Kalo semuanya dipenjara kapan mau berhenti dan ilang kasus
narkoba di indonesia. Orang dipenjara aja masih banyak kok yang ngedarin narkoba.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : Sugeng
Jabatan : Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial
Tanggal wawancara : 6 Oktober 2017
1. Proses awal rehab itu gimana bang?
Kita ada screening, . PABM itu dari KPA dan kementerian sosial, semua tahap rehab
itu sama cuma beda cara penangannya aja paling. Itu ada theraphy comunity (TC)
sama
2. Bedanya rawat jalan sama rawat inap itu apa bang?
Kalo rawat jalan itu bisa pulang, paling kesini itu 1 minggu sekali. Kalo rawat inap itu
disini selama 3 bulan, kita ada rumah rehabnya kok disini, di deket sini maksudnya.
3. Kalo rawat jalan itu kontrolnya gimana bang?
Nah kita itu ada 2, ada yang seminggu dua kali, ada juga yang seminggu sekali. Kalo
program rehab ngikutin dari PABM itu seminggu sekali kalo dari kemensos itu 2
minggu sekali. Kalo yang 2 minggu sekali itu palingan terapi kelompok/terapi sosial.
4. Untuk rawat inap itu ada biaya yang harus ditanggung ga sih bang sama klien?
Ada jadi perbulan itu 1,5juta, tapi kita lihat juga sih sesuai sama kemampuan keluarga
klien. kalo memang mereka mampu ya bisa lebih dari 1,5juta tapi kalo sekiranya ga
mampu ya kita gratisin. Pokoknya sesuai sama kemampuan keluarganya sih. Soalnya
kan kita jug butuh uang untuk kehidupan mereka selama disini.
5. Itu tempatnya disini bang?
Engga dirumah yang 1 lagi, yang khusus buat rehab. Soalnya gini kalo misalnya
disini, itu bisa mengganggu proses rehab. Dan juga disini supaya fokus semua jadi
ibaratnya disini itu kantor lah.
6. Nah rehab itu kan ada metode persuasif ya bang supaya pengguna itu mau
berhenti menggunakan narkoba, itu gimana bang penerapannya?
Kita pake pendekatan individu dan materi-materi tentang adiksi.
7. Setelah itu misalnya si pengguna itu mau untuk di rehab, langkah selanjutnya
itu apa bang?
Nah itu balik lg kita sesuai sama PABM, selama 2-3 bulan disini dan itu keluarga juga
bisa bebas buat ngunjungin. Kita ngasih jarak waktu yang singkat supaya ga
mengganggu jalannya rehab.
8. Kan disini itu ada yang di rehab karena kasus narkoba dan aids tuh bang, itu gimana
apakah ada perbedaan cara rehabnya?
Kita ga membeda-bedakan yang di rehab disini baik itu hanya karena narkoba ataupun
ODHA. Karena kita disetiap sesi itu memberikan materi tentang hiv/aids, cara
penularan biar semua paham dan setelah rehab mereka bisa kembali ke lingkungan
sosialnya.
9. Maksudnya itu kalo pengguna narkoba itu kan ga cuma penasun aja kan bang
yang di rehab, itu ada perbedaan ga bang cara penanganannya?
Ohh kalo itu tergantung, tingkat keparahan/kecanduan. Tergantung sama tingkat
kecanduannya sih kan makin parah dia ketergantungan makin hancur susunan syaraf
yg ada di otaknya, makin hancur syarafnya itu makin susah buat di rehab. Paling kalo
buat yg parah itu kita ada detoksifikasi, dan itu kita bekerja sama dengan puskesmas
atau rumah sakit terdekat.
10. Rumah sakit atau puskesmas yang di dekat rumah klien bang?
Ohh engga, kalo itu kita kerjasama sama rumah sakit yang sudah MoU sama kita.
11. Setelah di rehab itu kan klien dikembalikan ke masyarakat, itu gimana tahap
pengembaliannya bang?
Kalo itu kita setiap bulannya mengadakan homevisit dan controlling, dan setelah
selesai rehab kita juga ga mungkin dilepas gitu aja nanti takutnya dia balik make lagi.
Tapi mayoritas itu tergantung sama klien lagi, gimana mereka, cara mereka supaya ga
balik lagi menggunakan narkoba. Kalo dari dalam diri mereka masih ada keinginan
buat make, ya kemungkinan besar mereka bakalan balik lagi. Jadi tergantung gimana
lingkungan mereka sih.
12. Kalo pandangan masyarakat sendiri buat klien yang selesai di rehab itu gimana
bang?
Kita ada sosialisasi juga ke masyarakat, yang pertama ke tokoh tokoh masyarakat
seperti rt/rwnya, terus dari tokoh agama dan ormas setempat untuk membantu mencari
pengguna untuk diajak ke stigma agar mau di rehab. Dan dikasih penyuluhan-
penyuluhan.
13. Maksudnya pandangan masyarakat kepada pengguna setelah selesai di rehab itu
gimana bang? Apakah ada labelling/cap kepada pengguna?
Kita juga sosialisasi ke masyarakat sekitarnya kalo si pengguna ini sudah
memperbaiki kesalahannya, menerangkan bahwa si A itu sudah benar benar berubah
menjadi yang lebih baik. Dan selama ini disambut baik oleh warga.
14. Kalo hambatannya itu apa aja bang selama rehab?
Selama rehab, kalo yang rawat inap sih ga ada yang bermasalah ya. Kalo yang rawat
jalan mungkin agak sulit, karena tidak terlalu terikat seperti rawat inap. Kita juga ga
tau klien sehari hari diluar apakah dia make lagi atau engga, tapi bisa keliatan sih dari
muka kalo agak segeran berarti dia udah mulai berhenti. Ya kita juga harus mengenali
ciri-ciri pengguna sih. Dan dilingkungan mereka juga masih banyak yang kita ga tau,
apakah lingkungan dia itu banyak yang make juga apa engga.
15. Nah berarti ada kriteria dong bang untuk rawat jalan dan rawat inap?
Iya kita lihat dari tingkat keparahan kecanduan klien, dari keluarga apakah mau
mengikuti rawat inap atau engga. Kan kita juga ga memaksa. Kita juga ada surat
pernyataan/persetujuan, jadi kalo keluarga ga setuju ya ga bisa di rawat inap disini.
16. Disini kan ada peksos ya bang, tugas peksos disini itu apa bang?
Peksos itu membantu sosialisasi, membuat laporan 6 bulan dan mengisi terapi sosial.
17. Peksos itu wajib ada bang?
Ya wajib soalnya berperan penting juga selama proses rehab, dan juga kewajiban
karena itu program kemensos juga kan.
18. Kalo kinerjanya bang gimana?
Penerapan nilai-nilai peksosnya gitu bangKadang mereka ga ngerti tentang
penanganan hiv/aids atau penanganan pengguna narkoba. Tapi kita disini ngasih
materi juga sih ke mereka biar mereka semua paham. Dan juga ada beberapa peksos
yang kurang bisa berbaur, mungkin mereka baru ngerasain kondisi lapangan yang
seperti ini. Dan pernah beberapa pergi ngilang gitu aja dari sini.
19. Peksos itu punya nilai-nilai bang dalam profesinya, nah selama ini ada masalah
seperti itu ga bang?
Ga ada sih aman aman aja, tapi pernah ada yang jadian sama klien. kliennya itu rawat
jalan dan kemungkinan adiksinya masih tinggi. Dan kita udah menyarankan kepada
klien supaya tidak ada hati antara klien dan peksos tapi tetep ngeyel anaknya.
20. Selain itu ada lagi bang peksos yang bermasalah?
Ada sih peksos yang mementingkan urusan pribadinya saat bekerja sampe ditegur
sama pembina, jadi dia sesukanya deh tuh kerja disini ga mau ikutin aturn yang ada.
21. Harapan abang untuk peksos yang ada gimana bang?
Tetap ya jalanin yang udah udah, kerjasamanya ditingkatkan lagi sama kalo bisa
peksos tolong bekerja secara profesional.
22. Kalo penerimaan peksosnya itu ada kriteria khusus ga bang?
Engga sih soalnya kita online sih pendaftarannya, dan paling rekomendasi dari
lembaga lain.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : “I”
Jabatan : Pekerja Sosial
Tanggal Wawancara : 21 Oktober 2017
1. Bagaimana proses penerimaan klien, kontrak klien sampai dengan
terminasi?
Kalo penerimaan itu kita nerima klien dari mana aja, ada yang dari polsek maupun
datang sendiri diantar oleh keluarganya. Setelah melewati tes-tes tertentu, ia
diterima di lembaga dan menjalani rehabilitasi. Jadi ga boleh milih milih klien
karena semua sama saja, sama-sama orang yang perlu bantuan. Setelah itu ada
intake, dan selanjutnya ada konseling supaya kita tahu nih dia itu
perkembangannya selama disini gimana sekaligus tau permasalahannya apa
sehingga dia bisa sampe seperti ini. Sehingga kita bisa bantu klien mengatasi
masalah-masalahnya. Setelah ia selesai di rehabilitasi disini, masih ada monitoring
selama 3 bulan dari lembaga supaya kita tahu gimana dia setelah kembali lagi ke
masyarakat dan saya biasanya bertemu ke tokoh-tokoh masyarakat sekitar agar
mereka mau membantu klien menjadi individu yang lebih baik lagi dan
membimbing klien agar perlahan-lahan stigma negatif klien yang seorang pecandu
bisa hilang. Setelah dirasa cukup selanjutnya saya melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan klien serta keluarganya.
2. Bagaimana cara menjaga kerahasiaan klien?
Kalo kerahasiaan klien itu dari yayasan pun sudah ada peraturannya untuk
dirahasiakan kecuali untuk orang-orang yang bersangkutan dengan klien saja. Dan
diluar bagian rehabilitasi, klien itu benar-benar disamarkan dari dunia luar.
3. Apa tugas pokok dan fungsi pekerja sosial dalam proses rehabilitasi?
Seperti biasa sih paling saya bagian konseling, terapi kelompok sama melakukan
pendekatan personal sama klien. selebihnya saya berperan sebagai
edukator,konselor, mediator dan fasilitator.
4. Apa tujuan yang ingin dicapai dalam proses rehabilitasi sosial ini?
Kalo ditanya tujuan ya sudah jelas lah ya, supaya yang direhab ini tidak kembali
lagi menggunakan narkoba dan dapat hidup lagi seperti semula, istilahnya
berfungsi kembali lah.
5. Bagaimana penerapan nilai-nilai pekerja sosial selama menangani klien?
Nilai-nilai peksos ya, kalo saya pribadi sih masih mencoba untuk profesional
karena saya juga itungannya masih baru ya jadi peksos hehe. Ya selama ini sih
saya mencoba menerapkan semua yang saya dapat selama kuliah.
6. Bagaimana cara menerapkan nilai pekerja sosial selama mengangani klien?
Ya itu tadi, saya paling mencoba untuk menangani masalah secara profesional
tanpa membawa urusan pribadi saya sendiri. Misalnya, saya tidak memilih-milih
klien yang saya tangani berdasarkan ras, suku, agama manapun. Karena, saya
merasa mereka itu semua sama, sama-sama butuh pertolongan.
7. Apakah ada nilai peksos baru yang diterapkan selama menangani klien?
Saya rasa engga ya, kalo menurut saya sih nilai-nilai peksos yang ada itu sudah
mencakup keseluruhan jadi ga ada hal yang baru.
8. Dilema etis apa saja yang anda hadapi?
Kalo dilema etis itu paling kalo lagi rehab tuh kita harus menangani klien dengan
tegas agar klien menjadi disiplin, namun di sisi lain kita ga bisa terlalu keras
karena keadaan mental para pecandu itu sangat labil. Terus kadang kita merasa
jijik gitu kan ke klien, tapi mau gimana lagi udah resiko pekerjaan dan juga
memang kita ga boleh membeda-bedakan klien kan.
9. Kendala atau hambatan yang hadapi?
Kalo hambatan sih biasanya klien yang masih susah untuk diajak bekerja sama,
mungkin karena adiksi yang sudah parah. Selebihnya sih ga ada ya.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : ”A”
Jabatan : Klien
Tanggal Wawancara : 24 Oktober 2017
1. Sudah berapa lama abang menjalani proses rehabilitasi sosial disini?
Kira-kira sudah ada 2 bulan ya disini
2. Apa yang menyebabkan abang menggunakan narkotika?
Saya sih awalnya coba-coba di ajak temen, awalnya saya nolak tapi karena
penasaran akhirnya saya coba deh
3. Program rehabilitasi sosial dan pembinaan apa saja yang abang terima di
lembaga?
Disini sih enak ya. Disini itu ada terapi kelompok gitu, terus ada kelas
keterampilan juga sih, saya ikut kelas teknik komputer. Terus ada penyuluhan gitu
bahaya narkoba dan hiv/aids serta disini kita diperlakukan seperti keluarga.
4. Apa saja dampak yang anda rasakan sebelum dan sesudah abang menjalani
rehabilitasi sosial disini?
Yang pasti sih saya jadi lebih stabil, kalo sebelumnya saya itu gampang banget
emosian dan agak tertutup dengan orang lain. Tapi pelan-pelan saya bisa
ngendaliin itu. Dan juga saya pelan-pelan udah bisa lepas dari barang-barang itu
walaupun memang susah lepasnya karena kita udah kecanduan hehe.
5. Apakah berpengaruh terhadap kehidupan abang?
Kalo dibilang berpengaruh sih iya. Ya saya merasa menjadi orang yang lebih baik
lah.
6. Kegiatan apa saja yang abang lakukan selama berada disini?
Saya sih sehari-hari selain ikut kegiatan yayasan seperti kelas, konseling dan lain-
lain, saya ngumpul-ngumpul aja sama temen-temen yang ada disini ngobrol-
ngobrol sama petugas juga.
7. Apakah ada hambatan selama menjalani proses rehabilitasi?
Ga ada sih ya, paling dari diri saya sendiri yang masih ngerasa belum bisa lepas
dari narkoba itu aja.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : Sugeng
Jabatan : Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial
Tanggal wawancara : 6 Oktober 2017
1. Proses awal rehab itu gimana bang?
Kita ada screening, . PABM itu dari KPA dan kementerian sosial, semua tahap rehab
itu sama cuma beda cara penangannya aja paling. Itu ada theraphy comunity (TC)
sama
2. Bedanya rawat jalan sama rawat inap itu apa bang?
Kalo rawat jalan itu bisa pulang, paling kesini itu 1 minggu sekali. Kalo rawat inap itu
disini selama 3 bulan, kita ada rumah rehabnya kok disini, di deket sini maksudnya.
3. Kalo rawat jalan itu kontrolnya gimana bang?
Nah kita itu ada 2, ada yang seminggu dua kali, ada juga yang seminggu sekali. Kalo
program rehab ngikutin dari PABM itu seminggu sekali kalo dari kemensos itu 2
minggu sekali. Kalo yang 2 minggu sekali itu palingan terapi kelompok/terapi sosial.
4. Untuk rawat inap itu ada biaya yang harus ditanggung ga sih bang sama klien?
Ada jadi perbulan itu 1,5juta, tapi kita lihat juga sih sesuai sama kemampuan keluarga
klien. kalo memang mereka mampu ya bisa lebih dari 1,5juta tapi kalo sekiranya ga
mampu ya kita gratisin. Pokoknya sesuai sama kemampuan keluarganya sih. Soalnya
kan kita jug butuh uang untuk kehidupan mereka selama disini.
5. Itu tempatnya disini bang?
Engga dirumah yang 1 lagi, yang khusus buat rehab. Soalnya gini kalo misalnya
disini, itu bisa mengganggu proses rehab. Dan juga disini supaya fokus semua jadi
ibaratnya disini itu kantor lah.
6. Nah rehab itu kan ada metode persuasif ya bang supaya pengguna itu mau
berhenti menggunakan narkoba, itu gimana bang penerapannya?
Kita pake pendekatan individu dan materi-materi tentang adiksi.
7. Setelah itu misalnya si pengguna itu mau untuk di rehab, langkah selanjutnya
itu apa bang?
Nah itu balik lg kita sesuai sama PABM, selama 2-3 bulan disini dan itu keluarga juga
bisa bebas buat ngunjungin. Kita ngasih jarak waktu yang singkat supaya ga
mengganggu jalannya rehab.
8. Kan disini itu ada yang di rehab karena kasus narkoba dan aids tuh bang, itu gimana
apakah ada perbedaan cara rehabnya?
Kita ga membeda-bedakan yang di rehab disini baik itu hanya karena narkoba ataupun
ODHA. Karena kita disetiap sesi itu memberikan materi tentang hiv/aids, cara
penularan biar semua paham dan setelah rehab mereka bisa kembali ke lingkungan
sosialnya.
9. Maksudnya itu kalo pengguna narkoba itu kan ga cuma penasun aja kan bang
yang di rehab, itu ada perbedaan ga bang cara penanganannya?
Ohh kalo itu tergantung, tingkat keparahan/kecanduan. Tergantung sama tingkat
kecanduannya sih kan makin parah dia ketergantungan makin hancur susunan syaraf
yg ada di otaknya, makin hancur syarafnya itu makin susah buat di rehab. Paling kalo
buat yg parah itu kita ada detoksifikasi, dan itu kita bekerja sama dengan puskesmas
atau rumah sakit terdekat.
10. Rumah sakit atau puskesmas yang di dekat rumah klien bang?
Ohh engga, kalo itu kita kerjasama sama rumah sakit yang sudah MoU sama kita.
11. Setelah di rehab itu kan klien dikembalikan ke masyarakat, itu gimana tahap
pengembaliannya bang?
Kalo itu kita setiap bulannya mengadakan homevisit dan controlling, dan setelah
selesai rehab kita juga ga mungkin dilepas gitu aja nanti takutnya dia balik make lagi.
Tapi mayoritas itu tergantung sama klien lagi, gimana mereka, cara mereka supaya ga
balik lagi menggunakan narkoba. Kalo dari dalam diri mereka masih ada keinginan
buat make, ya kemungkinan besar mereka bakalan balik lagi. Jadi tergantung gimana
lingkungan mereka sih.
12. Kalo pandangan masyarakat sendiri buat klien yang selesai di rehab itu gimana
bang?
Kita ada sosialisasi juga ke masyarakat, yang pertama ke tokoh tokoh masyarakat
seperti rt/rwnya, terus dari tokoh agama dan ormas setempat untuk membantu mencari
pengguna untuk diajak ke stigma agar mau di rehab. Dan dikasih penyuluhan-
penyuluhan.
13. Maksudnya pandangan masyarakat kepada pengguna setelah selesai di rehab itu
gimana bang? Apakah ada labelling/cap kepada pengguna?
Kita juga sosialisasi ke masyarakat sekitarnya kalo si pengguna ini sudah
memperbaiki kesalahannya, menerangkan bahwa si A itu sudah benar benar berubah
menjadi yang lebih baik. Dan selama ini disambut baik oleh warga.
14. Kalo hambatannya itu apa aja bang selama rehab?
Selama rehab, kalo yang rawat inap sih ga ada yang bermasalah ya. Kalo yang rawat
jalan mungkin agak sulit, karena tidak terlalu terikat seperti rawat inap. Kita juga ga
tau klien sehari hari diluar apakah dia make lagi atau engga, tapi bisa keliatan sih dari
muka kalo agak segeran berarti dia udah mulai berhenti. Ya kita juga harus mengenali
ciri-ciri pengguna sih. Dan dilingkungan mereka juga masih banyak yang kita ga tau,
apakah lingkungan dia itu banyak yang make juga apa engga.
15. Nah berarti ada kriteria dong bang untuk rawat jalan dan rawat inap?
Iya kita lihat dari tingkat keparahan kecanduan klien, dari keluarga apakah mau
mengikuti rawat inap atau engga. Kan kita juga ga memaksa. Kita juga ada surat
pernyataan/persetujuan, jadi kalo keluarga ga setuju ya ga bisa di rawat inap disini.
16. Disini kan ada peksos ya bang, tugas peksos disini itu apa bang?
Peksos itu membantu sosialisasi, membuat laporan 6 bulan dan mengisi terapi sosial.
17. Peksos itu wajib ada bang?
Ya wajib soalnya berperan penting juga selama proses rehab, dan juga kewajiban
karena itu program kemensos juga kan.
18. Kalo kinerjanya bang gimana?
Penerapan nilai-nilai peksosnya gitu bangKadang mereka ga ngerti tentang
penanganan hiv/aids atau penanganan pengguna narkoba. Tapi kita disini ngasih
materi juga sih ke mereka biar mereka semua paham. Dan juga ada beberapa peksos
yang kurang bisa berbaur, mungkin mereka baru ngerasain kondisi lapangan yang
seperti ini. Dan pernah beberapa pergi ngilang gitu aja dari sini.
19. Peksos itu punya nilai-nilai bang dalam profesinya, nah selama ini ada masalah
seperti itu ga bang?
Ga ada sih aman aman aja, tapi pernah ada yang jadian sama klien. kliennya itu rawat
jalan dan kemungkinan adiksinya masih tinggi. Dan kita udah menyarankan kepada
klien supaya tidak ada hati antara klien dan peksos tapi tetep ngeyel anaknya.
20. Selain itu ada lagi bang peksos yang bermasalah?
Ada sih peksos yang mementingkan urusan pribadinya saat bekerja sampe ditegur
sama pembina, jadi dia sesukanya deh tuh kerja disini ga mau ikutin aturn yang ada.
21. Harapan abang untuk peksos yang ada gimana bang?
Tetap ya jalanin yang udah udah, kerjasamanya ditingkatkan lagi sama kalo bisa
peksos tolong bekerja secara profesional.
22. Kalo penerimaan peksosnya itu ada kriteria khusus ga bang?
Engga sih soalnya kita online sih pendaftarannya, dan paling rekomendasi dari
lembaga lain.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : “I”
Jabatan : Pekerja Sosial
Tanggal Wawancara : 21 Oktober 2017
1. Bagaimana proses penerimaan klien, kontrak klien sampai dengan
terminasi?
Kalo penerimaan itu kita nerima klien dari mana aja, ada yang dari polsek maupun
datang sendiri diantar oleh keluarganya. Setelah melewati tes-tes tertentu, ia
diterima di lembaga dan menjalani rehabilitasi. Jadi ga boleh milih milih klien
karena semua sama saja, sama-sama orang yang perlu bantuan. Setelah itu ada
intake, dan selanjutnya ada konseling supaya kita tahu nih dia itu
perkembangannya selama disini gimana sekaligus tau permasalahannya apa
sehingga dia bisa sampe seperti ini. Sehingga kita bisa bantu klien mengatasi
masalah-masalahnya. Setelah ia selesai di rehabilitasi disini, masih ada monitoring
selama 3 bulan dari lembaga supaya kita tahu gimana dia setelah kembali lagi ke
masyarakat dan saya biasanya bertemu ke tokoh-tokoh masyarakat sekitar agar
mereka mau membantu klien menjadi individu yang lebih baik lagi dan
membimbing klien agar perlahan-lahan stigma negatif klien yang seorang pecandu
bisa hilang. Setelah dirasa cukup selanjutnya saya melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan klien serta keluarganya.
2. Bagaimana cara menjaga kerahasiaan klien?
Kalo kerahasiaan klien itu dari yayasan pun sudah ada peraturannya untuk
dirahasiakan kecuali untuk orang-orang yang bersangkutan dengan klien saja. Dan
diluar bagian rehabilitasi, klien itu benar-benar disamarkan dari dunia luar.
3. Apa tugas pokok dan fungsi pekerja sosial dalam proses rehabilitasi?
Seperti biasa sih paling saya bagian konseling, terapi kelompok sama melakukan
pendekatan personal sama klien. selebihnya saya berperan sebagai
edukator,konselor, mediator dan fasilitator.
4. Apa tujuan yang ingin dicapai dalam proses rehabilitasi sosial ini?
Kalo ditanya tujuan ya sudah jelas lah ya, supaya yang direhab ini tidak kembali
lagi menggunakan narkoba dan dapat hidup lagi seperti semula, istilahnya
berfungsi kembali lah.
5. Bagaimana penerapan nilai-nilai pekerja sosial selama menangani klien?
Nilai-nilai peksos ya, kalo saya pribadi sih masih mencoba untuk profesional
karena saya juga itungannya masih baru ya jadi peksos hehe. Ya selama ini sih
saya mencoba menerapkan semua yang saya dapat selama kuliah.
6. Bagaimana cara menerapkan nilai pekerja sosial selama mengangani klien?
Ya itu tadi, saya paling mencoba untuk menangani masalah secara profesional
tanpa membawa urusan pribadi saya sendiri. Misalnya, saya tidak memilih-milih
klien yang saya tangani berdasarkan ras, suku, agama manapun. Karena, saya
merasa mereka itu semua sama, sama-sama butuh pertolongan.
7. Apakah ada nilai peksos baru yang diterapkan selama menangani klien?
Saya rasa engga ya, kalo menurut saya sih nilai-nilai peksos yang ada itu sudah
mencakup keseluruhan jadi ga ada hal yang baru.
8. Dilema etis apa saja yang anda hadapi?
Kalo dilema etis itu paling kalo lagi rehab tuh kita harus menangani klien dengan
tegas agar klien menjadi disiplin, namun di sisi lain kita ga bisa terlalu keras
karena keadaan mental para pecandu itu sangat labil. Terus kadang kita merasa
jijik gitu kan ke klien, tapi mau gimana lagi udah resiko pekerjaan dan juga
memang kita ga boleh membeda-bedakan klien kan.
9. Kendala atau hambatan yang hadapi?
Kalo hambatan sih biasanya klien yang masih susah untuk diajak bekerja sama,
mungkin karena adiksi yang sudah parah. Selebihnya sih ga ada ya.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Informan : ”A”
Jabatan : Klien
Tanggal Wawancara : 24 Oktober 2017
1. Sudah berapa lama abang menjalani proses rehabilitasi sosial disini?
Kira-kira sudah ada 2 bulan ya disini
2. Apa yang menyebabkan abang menggunakan narkotika?
Saya sih awalnya coba-coba di ajak temen, awalnya saya nolak tapi karena
penasaran akhirnya saya coba deh
3. Program rehabilitasi sosial dan pembinaan apa saja yang abang terima di
lembaga?
Disini sih enak ya. Disini itu ada terapi kelompok gitu, terus ada kelas
keterampilan juga sih, saya ikut kelas teknik komputer. Terus ada penyuluhan gitu
bahaya narkoba dan hiv/aids serta disini kita diperlakukan seperti keluarga.
4. Apa saja dampak yang anda rasakan sebelum dan sesudah abang menjalani
rehabilitasi sosial disini?
Yang pasti sih saya jadi lebih stabil, kalo sebelumnya saya itu gampang banget
emosian dan agak tertutup dengan orang lain. Tapi pelan-pelan saya bisa
ngendaliin itu. Dan juga saya pelan-pelan udah bisa lepas dari barang-barang itu
walaupun memang susah lepasnya karena kita udah kecanduan hehe.
5. Apakah berpengaruh terhadap kehidupan abang?
Kalo dibilang berpengaruh sih iya. Ya saya merasa menjadi orang yang lebih baik
lah.
6. Kegiatan apa saja yang abang lakukan selama berada disini?
Saya sih sehari-hari selain ikut kegiatan yayasan seperti kelas, konseling dan lain-
lain, saya ngumpul-ngumpul aja sama temen-temen yang ada disini ngobrol-
ngobrol sama petugas juga.
7. Apakah ada hambatan selama menjalani proses rehabilitasi?
Ga ada sih ya, paling dari diri saya sendiri yang masih ngerasa belum bisa lepas
dari narkoba itu aja.
Dokumentasi
Proses pendidikan keterampilan
Kegiatan keterampilan Sablon
Kegiatan Kelas Terapi Sosial
Proses Konseling Klien
top related