iii swt, karena berkat rahmat dan petunjuknya yang telah
Post on 03-Oct-2021
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak terhingga senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena berkat rahmat dan petunjukNYA yang telah memberikan hamba akal
dan pikiran sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.
Salam dan salawat, senantiasa kita curahkan kepada junjungan nabi besar
kita Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah dalam segala aspek kehidupan kita
di permukaan bumi ini.
Tugas Akhir ini disusun merupakan salah satu persyaratan akademik
yang harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan program studi pada
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Adapun judul tugas akhir ini adalah “Studi Perencanaan Hidroulis
Bendung Gerak Tempe Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan “
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini tentu masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan
referensi yang kami peroleh, sehingga dengan keikhlasan dan kerendahan hati
kami mengharapkan masukan-masukan yang bersifat konstruktif demi lebih
sempurnanya tulisan ini.
Proposal ini dapat terwujud berkat adanya bantuan, arahan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. H. Lawalenna Samang, M.Sc., M. Eng.
selaku pembimbing I dan Bapak Ir. H. Abd. Rakhim Nanda, MT. selaku
iv
pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktunya, memberikan
bimbingan dan pengarahan sehingga terwujudnya tugas akhir ini.
Ucapan terima kasih pula kepada :
1. Bapak Dr. Irwan Akib, Mpd. sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar.
2. Bapak Hamzah Al Imran, ST.,MT. sebagai Dekan Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Bapak Muh. Syafaat S. Kuba, ST. sebagai Ketua Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
4. Bapak dan ibu dosen serta para staf pegawai pada Fakultas Teknik atas segala
waktunya yang telah mendidik dan melayani penulis selama mengikuti proses
belajar mengajar di Universitas Muhammadiyah Makassar.
5. Ayahanda, Ibunda serta saudara-saudaraku tercinta yang telah ikhlas
memberikan dukungan, kasih saying, do’a serta pengorbanan yang tak
terhingga.
6. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Teknik, terkhusus
Saudaraku Angkatan 2009 yang dengan keakraban dan persaudaraannya
banyak membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Semoga semua pihak tersebut di atasmendapat pahala yang berlipat ganda
di sisi Allah SWT dan skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis,
rekan-rekan, masyarakat serta bangsa dan Negara. Amin.
Makassar, April 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN JUDUL .................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................... viii
DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 3
C. Batasan Masalah .................................................................. 3
D. Maksud Dan Tujuan .............................................................. 3
E. Sistematika Penulisan ........................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Bendung ................................................................................ 6
1. Pengertian Bendung .......................................................... 6
2. Klasifikasi Bendung ........................................................... 7
3. Bagian-Bagian Bendung .................................................... 9
4. Pemilihan Lokasi Bendung ................................................ 9
5. Syarat-Syarat Konstruksi Bendung .................................... 11
B. Analisa Hidrologi ................................................................... 11
vi
1. Pengertian Hidrologi .......................................................... 11
2. Curah Hujan Wilayah ......................................................... 12
3. Curah Hujan Rencana ....................................................... 15
4. Uji Keselarasan Distribusi .................................................. 21
C. Intensitas Curah Hujan .......................................................... 23
D. Debit Banjir Rencana ............................................................ 25
E. PMF (Probable Maximum Flood) ........................................... 31
F. Perencanaan Bendung Gerak ............................................... 32
1. Umum ................................................................................ 32
2. komponen Utama Bendung ............................................... 32
3. Perencanaan Hidroulis Bendung gerak ............................. 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................... 52
B. Tempat Dan Waktu Penelitian ............................................... 53
C. Prosedur Penelitian ............................................................... 53
D. Persiapan Penelitian ............................................................. 54
E. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 54
F. Analisa Data .......................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Harga-Harga Koefisien Konstruksi. 35
2. Harga-Harga Minimum Angka Rembesan Lane (CL). 51
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Hidrograf satuan sintetik gama I. 25
2. Sketsa penempatan WF. 26
3. Sketsa penempatan RUA. 27
4. Lebar Efektif Bendung. 34
5. Kondisi Aliran di Atas Mercu Bendung. 37
6. Hubungan Kedalaman Air Hulu dan Hilir. 38
7. Kolam Olak Tipe USBR I. 41
8. Kolam Olak Tipe USBR II. 42
9. Kolam Olak Tipe USBR IV. 42
10. Kolam Olak Tipe Vlugter. 43
11. Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam. 44
12. Macam-Macam Tipe Pintu Bendung Gerak. 47
13. Gambar Aliran Diatas Mercu Pintu. 47
14. Gambar Aliran Undersluice Untuk Menstabilkan
Muka Air Akibat Overflow. 48
15. Lokasi Penelitian. 52
16. Bendung Gerak Tempe. 53
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan utama akan air baik dalam segi pertanian maupun untuk air
bersih merupakan masalah utama dalam lingkungan masyarakat saat ini.
Tetapi dengan cuaca serta iklim yang berubah-ubah seiring dengan
pemanasan global menyebabkan ketersediaan air menjadi hal yang sangat
diutamakan, sehingga dibutuhkan beberapa bangunan hidrolik air baik
berupa bendung, waduk, serta bangunan-bangunan pelengkap bendung.
Bendung adalah suatu bangunan yang di buat dari pasangan batu kali,
bronjong, atau beton, yang terletak melintang pada sebuah sungai, yang
berfungsi untuk meninggikan muka air agar dapat di alirkan ke tempat-tempat
yang memerlukan. Tentu saja bangunan ini dapat digunakan pula untuk
keperluan lain selain irigasi, seperti untuk keperluan air minum, pembangkit
listrik atau untuk penggelontoran suatu kota.
Bendung gerak tempe merupakan bendung yang terletak di tiga
kabupaten, yaitu : Sidrap, Soppeng, dan Wajo. Selama musim kering dimana
ketinggian muka air danau kurang dari +6 m akan terbagi menjadi 3 danau
yaitu : Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya, yang terhubung
melalui beberapa alur. Dari sebelah utara Danau Tempe mendapat masukan
air dari sungai Bila ( CA 1,610 km² ), dari sebelah barat mendapat masukan
air dari beberapa sungai termasuk sungai Batu-Batu, Bilokka, Panincong,
Lawo, dll ( CA 927 km² ), dan dari sebelah selatan mengalir sungai Walanae (
2
3,170 km² ). Alur pengeluaran dari Danau Tempe hanyalah melalui sungai
Cenranae. Dasar danau Tempe yang paling rendah mempunyai elevasi +3
m, pada musim hujan yaitu dari bulan Mei sampai Agustus biasanya tinggi
muka air danau naik mencapai elevasi +7 m sampai +9 m, dan luasan
permukaan airnya biasa mencapai 28,000 ha sampai 43,000 ha. Adapun
fungsi dari Bendung Gerak yakni untuk mengatur ketinggian muka air danau.
Pada musim kemarau, bendung gerak dioperasikan untuk mengatur muka air
sungai Cenranae sehingga kebutuhan air dihilir terpenuhi, dan
mempertahankan muka air Danau Tempe pada elevasi +5.0 m, sehingga
kegiatan ekonomi masyarakat dibidang perikanan, pertanian,
perhubungan/navigasi sungai bisa berjalan. Pada musim penghujan pintu
bendung dibuka total.
Konstruksi Bendung gerak yang menjadi objek penelitian, sebelum
dibangun tentu telah dianalisa perhitungan hidrologi dan analisa hidrolika
untuk pengoperasian pintu pada bendung gerak, perencanaan hidrolis
bendung dan stabilitas. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh desain
konstruksi yang aman dari segi hidrolik secara menyeluruh sebagaimana
hasil desain terdahulu. Sehingga judul yang kami tulis adalah “STUDI
PERENCANAAN HIDRAULIS BENDUNG GERAK TEMPE KABUPATEN
WAJO SULAWESI SELATAN “
3
B. Rumusan Masalah
Masalah yang kami angkat dalam tulisan ini adalah :
1. Bagaimana menganalisis perencanaan bendung gerak tempe.?
C. Batasan Masalah
Sebagaimana judul tulisan ini “STUDI PERENCANAAN HIDRAULIS
BENDUNG GERAK TEMPE KABUPATEN WAJO SULAWESI SELATAN “
maka penulisan ini meliputi lingkup pembahasan pada perencanaan Bendung
Gerak Tempe. Adapun batasan masalah dalam penulisan ini yang terkait
dalam perencanaan suatu bendung meliputi :
a. Analisis hidrologi untuk perencanaan hidraulis bendung gerak.
b. Bagaimana menganalisis perencanaan bendung gerak.
D. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan ini adalah :
Untuk meninjau hasil perencanaan Bendung gerak tempe yang berada
di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan.
Sedangkan tujuan penulisan ini adalah :
a. Untuk melakukan analisa Hidrologi pada perencanaan hidraulis bendung
gerak.
b. Untuk melakukan studi tentang perencanaan bendung gerak berdasarkan
perinsip perencanaan desain terdahulu.
4
E. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan merupakan gambaran umum dari keseluruhan
penulisan secara sistematis diuraikan sebagai berikut :
Bab I PENDAHULUAN
Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang, alasan pemilihan
judul, rumusan masalah, maksud dan tujuan penulisan, batasan
masalah serta sistematika penulisan.
Bab II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini Membahas tentang pengertian bendung, analisa hidrologi
yang meliputi analisa distribusi curah hujan wilayah, analisa frekuensi
curah hujan rencana, analisa debit banjir rencana, kemudian
dilanjutkan dengan analisa perencanaan bendung yang meliputi tata
letak bendung dan perlengkapannya, kelengkapan bendung, analisa
hidrolis bendung, perencanaan hidro mekanik yang meliputi pintu
bendung, peredam energi dan analisis stabilitas bendung.
Bab III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini menguraikan kondisi daerah perencanaan dan data yang
mendukung dalam perencanaan.
Bab IV ANALISA DAN HASIL PEMBAHASAN
Pada bab ini menjelaskan tentang analisa hidrologi, desain hidrolis
bendung, desain bangunan penangkap sedimen dan analisis stabilitas
bendung.
5
Bab V PENUTUP
Bab ini merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dari hasil
penelitian ini, serta saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan
faktor pendukung dan faktor penghambat yang dialami selama
penelitian berlangsung, sehingga diharapkan penelitian ini berguna
untuk seluruh mahasiswa Fakultas Teknik Universitas muhammadiyah
Makassar.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bendung
1. Pengertian Bendung
Bendung adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi
meninggikan muka air sungai agar bisa di sadap. Bendung merupakan salah
satu dari bagian bangunan utama. Bangunan utama adalah bangunan air
(hydraulic structure) yang terdiri dari bagian-bagian yakni, bendung (weir
structure), bangunan pengelak (deversion structure), bangunan pengambilan
(intake structure), dan bangunan kantong lumpur (sediment trapstructure).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia 03-2401-1991 tentang
pedoman perencanaan hidrologi dan hidraulik untuk bangunan di sungai
adalah bangunan ini dapat didesain dan dibangun sebagai bangunan tetap,
bendung gerak, atau kombinasinya, dan harus dapat berfungsi
mengendalikan aliran dan angkutan muatan di sungai sedemikian sehingga
dengan menaikkan muka airnya, air dapat dimanfaatkan secara efisien
sesuai dengan kebutuhannya.
Sedangkan menurut Standar Perencanaan Irigasi KP 02 Bangunan
Utama, bendung adalah bangunan pelimpah melintang sungai yang
memberikan tinggi muka air minimum kepada bangunan pengambilan untuk
keperluan irigasi. Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
7
bendung adalah suatu bangunan air yang melintang sungai yang dibuat
untuk meninggikan muka air minimum untuk berbagai keperluan.
Fungsi utama dari bendung adalah untuk meninggikan elevasi muka
air dari sungai yang dibendung sehingga air bisa disadap dan dialirkan ke
saluran lewat bangunan pengambilan (intake structure), dan untuk
mengendalikan aliran, angkutan sedimen dan geometri sungai sehingga air
dapat dimanfaatkan secara aman, efisien dan optimal, (Mawardi Dan
Memet,2010).
2. Klasifikasi Bendung
Klasifikasi bendung berdasarkan sifatnya, fungsinya dan berdasarkan
tipe strukturnya, (Mawardi Dan Memet, 2010).
Ditinjau dari segi sifatnya bendung dapat pula dibedakan :
a. Bendung permanen seperti bendung pasangan batu, beton dan
kombinasi beton dan pasangan batu.
b. Bendung semi permanen seperti bendung bronjong, cerucuk kayu dan
sebagainya.
c. Bendung darurat, yang dibuat oleh masyarakat pedesaan seperti
bendung tumpukan batu dan sebagainya.
Bendung berdasarkan fungsinya dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Bendung pembagi banjir
Bendung ini dibangun di percabangan sungai untuk mengatur muka air
sungai, sehingga terjadi pemisahan antara debit banjir dan debit rendah
sesuai dengan kapasitasnya.
8
b. Bendung penyadap
Bendung ini digunakan sebagai penyadap aliran sungai untuk berbagai
keperluan seperti untuk irigasi, air baku dan sebagainya.
c. Bendung penahan pasang
Bendung ini dibangun di bagian sungai yang dipengaruhi pasang surut air
laut antara lain untuk mencegah masuknya air asin.
Berdasarkan tipe strukturnya bendung dapat dibedakan atas :
a. Bendung tetap
Bendung tetap yaitu bendung yang terdiri dari ambang tetap, sehingga
muka air banjir tidak dapat di atur elevasinya. Pada umumnya dibangun
pada ruas sungai di hulu dan di tengah.
b. Bendung gerak.
Bendung ini dapat dipergunakan untuk mengatur tinggi dan debit air
sungai dengan pembukaan pintu-pintu yang terdapat pada bendung tersebut.
c. Bendung kombinasi
Bendung ini berfungsi ganda, yaitu sebagai bendung tetap maupun
sebagai bendung gerak.
d. Bendung kembang kempis (karet).
Bendung ini memiliki fungsi yang sama dengan bendung karet yang
mana berfungsi untuk mengatur tinggi muka air, pada musim kemarau,
bendung karet dapat dikembangkan sehingga air yang masih berlebih di awal
musim kemarau dapat ditampung, sedangkan pada musim hujan, bendung
karet dikempiskan untuk menghindari muka air banjir.
9
3. Bagian – Bagian Bendung
Adapun Bagian-bagian dari Bendung menurut Mawardi Dan Memet, 2010 :
a. Tubuh bendung antara lain terdiri dari ambang tetap dan mercu bendung
dengan bangunan peredam energinya.
b. Bangunan intake antara lain terdiri dari lantai/ambang dasar, pintu,
dinding banjir, pilar penempatan pintu, saringan sampah, jembatan
pelayan, rumah pintu dan perlengkapan lainnya.
c. Bangunan pembilas dengan undersluice atau tanpa undersluice, pilar
penempatan pintu, pintu bilas, jembatan pelayan, rumah pintu, saringan
batu dan perlengkapan lainnya.
d. Bangunan pelengkap lain yang harus ada pada bendung antara lain yaitu
tembok pangkal, sayap bendung, lantai udik dan dinding tirai, pengarah
arus tanggul banjir dan tanggul penutup atau tanpa tanggul, penangkap
sedimen atau tanpa penangkap sedimen, tangga, penduga muka air dan
sebagainya.
4. Pemilihan Lokasi Bendung
Menurut Mawardi Dan Memet, 2010 penentuan lokasi bendung dipilih atas
pertimbangan beberapa sudut pandang yaitu:
a. Keadaan Topografi
1. Dalam hal ini semua rencana daerah irigasi dapat terairi, sehingga
harus dilihat elevasi sawah tertinggi yang akan diairi.
2. Bila elevasi sawah tertinggi yang akan diairi telah diketahui maka
elevasi mercu bendung dapat ditetapkan.
10
3. Dari kedua hal diatas, lokasi bendung dilihat dari topografi dapat
diseleksi.
b. Keadaan Hidrologi.
1. Faktor-faktor hidrologinya, karena menentukan lebar dan panjang
bendung serta tinggi bendung tergantung pada debit rencana.
2. Faktor yang diperhitungkan, yaitu masalah banjir rencana,
perhitungan debit rencana, curah hujan efektif, distribusi curah hujan,
unit hidrograf, dan banjir di site atau bendung.
1. Kondisi Topografi.
a. Ketinggian bendung tidak terlalu tinggi.
b. Trase saluran induk terletak di tempat yang baik.
2. Kondisi Hidrologi dan Morfologi.
a. Pola aliran sungai meliputi kecepatan dan arahnya pada waktu debit
banjir.
b. Kedalaman dan lebar muka air pada waktu debit banjir.
c. Tinggi muka air pada debit banjir rencana.
d. Potensi dan distribusi angkutan sedimen.
3. Kondisi Tanah Pondasi
Bendung harus ditempatkan di lokasi dimana tanah pondasinya cukup
baik sehingga bangunan akan stabil. Faktor lain yang harus
dipertimbangkan pula yaitu potensi kegempaan dan potensi gerusan
karena arus dan sebagainya.
11
4. Biaya pelaksanaan
Biaya pelaksanaan bangunan bendung juga menjadi salah satu faktor
penentuan pemilihan lokasi pembangunan bendung. Dari beberapa
alternatif lokasi ditinjau pula dari segi biaya yang paling murah dan
pelaksanaan yang tidak terlalu sulit.
5. Syarat – Syarat Konstruksi Bendung.
Menurut Mawardi Dan Memet, 2010 Syarat bendung harus memenuhi
beberapa faktor yaitu :
a. Bendung harus stabil dan mampu menahan tekanan air pada waktu
banjir.
b. Pembuatan bendung harus memperhitungkan kekuatan daya dukung
tanah di bawahnya.
c. Bendung harus dapat menahan bocoran (seepage) yang disebabkan oleh
aliran air sungai dan aliran air yang meresap ke dalam tanah.
d. Tinggi ambang bendung harus dapat memenuhi tinggi muka air minimum
yang diperlukan untuk seluruh daerah irigasi.
e. Bentuk peluap harus diperhitungkan, sehingga air dapat membawa pasir,
kerikil dan batu-batu dari sebelah hulu dan tidak menimbulkan kerusakan
pada tubuh bendung, (Mawardi Dan Memet, 2010).
B. Analisis Hidrologi
1. Pengertian Hidrologi
Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik
mengenai terjadinya, peredaran dan penyebaranya, sifat-sifatnya dan
12
hubungan dengan lingkungannya terutama dengan makhluk hidup. Ini
meliputi berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya
antara keadaan cair, padat dan gas dalam atmosfer, di atas dan di bawah
permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan
sumber dan penyimpanan air yang mengaktifkan penghidupan di planet bumi
ini.
Syarat-syarat yang diperlukannya adalah data-data hasil pengamatan
dalam semua aspek presipitasi, limpasan (runoff), debit sungai, infiltrasi,
perkolasi, evaporasi dan lain-lain. Dengan data-data tersebut dan ditunjang
oleh pengalaman-pengalaman dalam banyak ilmu yang berkaitan dengan
hidrologi, maka seorang ahli hidrologi akan dapat memberikan penyelesaian
dalam persoalan yang menyangkut keperluan dan penggunaan air dalam
hubungannya dengan perencanaan teknis bangunan-bangunan air.
2. Curah Hujan Wilayah
Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan
pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-
rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada titik
tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau daerah dan
dinyatakan dalam millimeter. Curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari
beberapa titik pengamatan curah hujan. Metode perhitungan curah hujan
areal dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut:
(Loebis, 1987).
13
1. Metode Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap
bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat,
sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut.
Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang
ditinjau tidak merata, pada metode ini stasiun hujan minimal yang digunakan
untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan. Hitungan curah hujan rata-rata
dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun.
Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan
rata-rata kawasan. Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan
stasiun hujan tertentu. Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan
seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi
poligon yang baru, (Triatmodjo, 2008).
Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan berikut,
(Sosrodarsono dan Takeda, 1993)
= 1 1 + 2 2 + 3 3 +⋯+1 + 2 +⋯+= 1 1 + 2 2 +⋯ += 1 1 + 2 2 + ……………………………………….. (2.1)
Dimana :
R = Curah hujan daerah
R1,R2,…..Rn = Curah hujan di tiap titik pengamatan dan n
14
adalah jumlah titik Pengamatan
A1,A2,…..An = Bagian daerah yang mewakili tiap titip
Pengamatan
W1,W2,…Wn =AAn
AA
AA .......,,2,1
2. Metode Isohyet
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan
kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan
pada suatu daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama
dengan nilai rata-rata dari kedua garis isohyet tertentu, (Triatmodjo, 2008).
Adapun rumus yang digunakan pada metode Isohyet manurut
(Sosrodarsono dan Takeda, 1993).
R = (A1R1+A2R2+AnRn) / (A1+A2+An) .............................. (2.2)
Dimana :
R = Curah Hujan Rata-rata Daerah (mm)
R1, R2,..Rn = Curah Hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah
jumlah titik-titik pengamatan (mm)
A1, A2,….An = Luas Daerah antara ishoyet (Km²)
Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung
kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun hujan
harus banyak dan tersebar merata, metode isohyet membutuhkan pekerjaan
dan perhatian yang lebih banyak dibanding dua metode lainnya.
15
3. Metode Rata-Rata Aljabar
Metode ini paling sederhana, pengukuran yang dilakukan di beberapa
stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi
jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan adalah yang
berada dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS tangkapan yang masih
berdekatan juga bisa diperhitungkan. Metode Rata-Rata Aljabar memberikan
hasil yang baik apabila :
a. Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS.
b. Distribusi hujan relatif merata pada saluran DAS.
(Triatmodjo, 2008).
Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di
dalam dan disekitar daerah yang bersangkutan (Sosrodarsono dan Takeda,
1993). = ( 1 + 2 +⋯+ )……………………………………….. (2.3)
Dimana :
R = Curah hujan daerah (mm)
N = Jumlah titik-titik (pos-pos) pegamatan
R1,R2,..,Rn = Curah hujan ditiap pegamatan
3. Curah Hujan Rencana
Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya
hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana
tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit
banjir rencana.
16
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan
empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu
distribusi Normal, distribusi Log-Normal, distribusi Log-Person III , dan
distribusi Gumbel. Sebelum menghitung curah hujan wilayah dengan
distribusi yang ada dilakukan terlebih dahulu pengukungan dispersi untuk
mendapatkan parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan curah
hujan rencana.
1. Pengukuran Dispersi
Suatu kenyataan bahwa tidak semua variat dari suatu variable
hidrologi terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya, kemungkinan ada nilai
variat yang lebih besar atau lebih kecil dari pada nilai rata-ratanya. Besarnya
derajat dari sebaran variat disekitar nilai rata-ratanya disebut dengan variasi (
variation ) atau disperse ( dispersion ) dari pada suatu data sembarang
variable hidrologi. Cara mengukur besarnya variasi atau dispersi disebut
pengukuran dispersi, pengukuran dispersi meliputi standar deviasi, koefisien
kemencengan, koefisian variasi, dan pengukuran kurtosis.
(Soewarno, 1995).
a. = ∑ = ( − ) 0.5̇ ............................................... (2.4)
n-1
dimana :
S : Standar deviasi
Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm)
Xrt : Rata – rata hitungan (mm)
n : Jumlah kelas
17
b. = ............................................................... (2.5)
dimana :
Cv : Koefisien variasi
S : Standar deviasi
Xrt : Rata – rata hitungan (mm)
c. = ∑ ( )( )( ) ³ ............................................... (2.6)
dimana :
Cs : Koefisien kemencengan
S : Standar deviasi
Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm)
Xrt : Rata – rata hitungan (mm)
n : Jumlah kelas
d. = ²∑ .{ ( ) }( )( )( ) .................................... (2.7)
dimana :
Ck : Koefisien kurtosis
S : Standar deviasi
Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm)
Xrt : Rata – rata hitungan (mm)
n : Jumlah kelas
18
2. Metode Gumbel
Rumus rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan rencana
menurut metode gumbel adalah sebagai berikut := + . ............................................................ (2.8)
dimana :
Xi : Hujan rencana dengan periode ulang T tahun (mm)
Xrt : Nilai tengah sampel (mm)
s : Standar deviasi sampel
k : Factor frekuensi
(Soemarto, 1999).
3. Metode Log Person III
Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkitakan mengikuti
distribusi sudah dikonversi kedalam bentuk logarotmis, ternyata kedekatan
antara data dan teori tidak cukup kuat menyimpulkan pemakaian distribusi
Log-Normal, (Suripin, 2004).
Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang
dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tidak
seperti konsep yang melatar belakangi pemakaian distribusi Log-Normal
untuk banjir puncak, maka distribusi probabilitas ini hampir tidak berbasis
teori, distribusi ini masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya, (Suripin, 2004).
Ada tiga parameter penting dalam Log-Person III, yaitu harga rata-rata,
simpangan baku, dan koefisien kemencengan. Yang menarik, jika koefisien
kemencengan sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi Log-Normal.
19
Berikut ini langkah-langkah penggunaan distribusi Log-Person III
menurut Suripin, 2004 :
a. Ubah data ke dalam bentuk logaritmis dari X menjadi Log Xb. Hitung harga rata – rata :
Log = ∑ . ...................................................... (2.9)
dimana :
Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm)
Xrt : rata-rata hitungan (mm)
n : Jumlah kelas
c. Hitung harga simpangan baku :
S = ∑ . ( − )² 0.5̇ ...................................... (2.10)
n-1
dimana :
S : Standar deviasi
Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm)
Xrt : rata – rata hitungan (mm)
n : Jumlah kelas
d. Hitung koefisien kemencengan ( ) := ∑ ( )( )( ) ³ ................................ (2.11)
dimana :
: Koefisien kemencengan
20
S : Standar deviasi
Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm)
Xrt : rata – rata hitungan (mm)
n : Jumlah kelas
e. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T := + . ....................................................... (2.12)
dimana :
S : Standar deviasi
Xi : Titik tengah tiap interval kelas (mm)
Xrt : rata – rata hitungan (mm)
k : variable standar ( standarized variable ), tergantung
4. Metode Log-Normal
Rumus yang digunakan dalam perhitungan dengan metode ini
menurut Soewarno, 1995 adalah sebagai berikut :
= + . .................................................................. (2.13)
dimana :
Xi : Besarnya curah hujan yang mungkin terjadi pada periode ulang
X Tahun (mm).
S : Standar deviasi data hujan maksimum tahunan.
Xrt : Curah hujan rata – rata (mm).
K : Nilai karakteristik dari distribusi Log-Normal, yang nilainya
tergantung dari koefisien variasi.
21
4. Uji Keselarasan Distribusi
Uji keselarasan dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan yang nyata antara besarnya debit maksimum tahunan hasil
pengamatan lapangan dengan hasil perhitungan. Uji keselarasan dapat
dilaksanakan dengan uji chi-kuadrat dan smirnov-kolmogorov, (Soewarno,
1991).
a. Uji Chi – Kuadrat
Uji Chi – Kuadrat menggunakan rumus sebagai berikut :X = ( )²............................................................... (2.14)
dimana :X : Harga chi-kuadrat terhitung.
Oi : Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-1.
Ei : Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-1.
N : Jumlah data.
(Suripin, 2004).
Suatu distribusi dikatakan selaras jika nilai X hitung < dari X kritis.
Nilai X kritis dapat dilihat di tabel 2-6. Dari hasil pengamatan yang didapat
dicari penyimpanannya dengan chi-kuadrat kritis paling kecil. Untuk suatu
nilai nyata tertentu yang sering diambil adalah 5 %. Derajat kebebasan ini
secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut :
DK = K – (α + 1) .................................................................... (2.15)
22
K = 1 + 3.322 log=dimana :
DK : Derajat kebebasan.
K : Jumlah kelas.
α : Banyaknya keterikatan (banyaknya parameter), untuk uji chi-
kuadrat adalah 2.
N : Jumlah data.
Ni : Nilai yang diharapkan.
(Triatmodjo, 2008).
b. Uji Smirnov – Kolmogorov
Uji keselarasan Smirnov-Kolmogorov, sering juga disebut juga uji
keselarasan (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan
fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
Rumus yang dipakai :
Urutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besarnya
nilai masing-masing peluang dari hasil penggambaran grafis data
(persamaan distribusinya), menurut Suripin, 2004.= ( )= ( )= ( )= ( )
23
Periode ulang untuk perhitungan debit minimum tidak menyatakan
suatu nilai sama atau lebih dari besaran tertentu, akan tetapi menyatakan
suatu nilai sama atau kurang dari besaran tertentu. Oleh karena itu apabila :
P =[ X ≥ ( + k.2 ) ] – α ......................................................... (2.16)
P =[ X ≤ ( + k.3 ) ] = 1 – α ................................................... (2.17)
Rumus – rumus yang dipakai untuk menghitung D (selisih terbesarnya
antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis) adalah sebagai berikut :
P(X)= m/(n+1) ........................................................................... (2.18)
P(X<)= 1-P(X) ........................................................................... (2.19)
P’(X) = m/(n-1) .......................................................................... (2.20)
P’(X<)= 1-P’(X) ......................................................................... (2.21)
D = maksimum |P’(X<)-P(X<)| .................................................. (2.22)
(Soewarno, 1995).
C. Intensitas Curah Hujan.
Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood), perlu
didapatkan harga suatu intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah
ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air
tersebut berkonsentrasi. Analisa intensitas curah hujan ini dapat diproses dari
data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau, (Loebis, 1987).
Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan beberapa
macam metode, antara lain metode Dr.Mononobe, metode Talbot dan
metode Tadashi Tanimoto.
24
1. Metode Dr. Mononobe.
Digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan apabila yang
tersedia adalah data curah hujan harian, (Loebis, 1987).
2. Metode Talbot.
Digunakan apabila data curah hujan yang tersedia adalah data curah
hujan jangka pendek, (Loebis, 1987).
3. Metode Tadashi Tanimoto.
Tadashi Tanimoto mengembangkan distribusi hujan jam-jaman yang
dapat digunakan di Pulau Jawa, (Triatmodjo, 2008).
Dalam perhitungan metode yang digunakan adalah metode
Dr.Mononobe karena data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan
harian. Rumus yang digunakan untuk metode ini adalah :
= ∗ . / ............................................................. (2.23)
dimana :
r : Intensitas curah hujan (mm/jam).
: Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t : Lamanya curah hujan (jam).
(Loebis, 1987).
25
D. Debit Banjir Rencana.
1. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I
Hidrograf satuan sintetik Gama I dikembangkan oleh Sri Harto(1993,
2000) berdasar prilaku hidrologi 30 DAS di Pulau Jawa. Meskipun diturunkan
dari data DAS di Pulau Jawa, ternyata hidrograf satuan sintetik gama I juga
berfungsi baik untuk berbagai daerah yang lain di Indonesia, (Triatmodjo,
2008).
HSS Gama I terdiri dari tiga bagian pokok yaitu sisi naik (rising limb),
puncak (crest) dan sisi turun/resesi (recession limb). Gambar 2.1 menunjukan
HSS Gama I, dalam gambar tersebut tampak ada patahan dalam sisi resesi.
Hal ini disebabkan sisi resesi mengikuti persamaan eksponensial yang tidak
memungkinkan debit sama dengan nol. Meskipun pengaruhnya sangat kecil
namun harus diperhitungkan bahwa volume hidrograf satuan harus tetap
satu.
Gambar 2.1. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I. (Triatmodjo, 2008).
26
HSS Gama I terdiri dari empat variabel pokok, yaitu waktu naik (time of
rise-TR), debit puncak ( ), waktu dasar (TB), dan sisi resesi yang ditentukan
oleh nilai koefisien tampungan (K), (Triatmodjo, 2008).
a. Waktu Mencapai Puncak
= 0,43 . 3 + 1,06665. + 1.2775 .............................. (2.24)
Dimana :
TR : Waktu naik (jam).
L : Panjang sungai (km).
SF : Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah semua
panjang sungai tingkat I dengan jumlah semua panjang
sungai semua tingkat
(Triatmodjo, 2008).
Gambar 2.2. Sketsa Penempatan WF. (Triatmodjo, 2008).
27
Gambar 2-1. Sketsa Penetapan WF
Gambar 2.3. Sketsa Penempatan RUA. (Triatmodjo, 2008).
= Lebar DTA pada 0,75 L. ................................................ (2.25)
= Lebar DTA pada 0,25 L. ................................................ (2.26)= ................................................................................ (2.27)
SIM = Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar
(WF) dengan luas relatif DTA sebelah hulu (RUA).
SIM = WF * RUA .................................................................... (2.28)
(Triatmodjo, 2008).
b. Debit Puncak= 0,1836 . , . , . , ................................. (2.29)
Dimana :
: Debit puncak (m³/det).
JN : Jumlah pertemuan sungai.
28
A : Luas DTA (km²).
: Waktu naik (jam).
(Triatmodjo, 2008).
c. Waktu Dasar.= 27,4132 . , . , . , . , ............. (2.30)
Dimana :
: Waktu dasar (jam).
S : Landai sungai rata-rata = . ( ) . ( )( ) ......... (2.31)
SN : Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen
sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai semua
tingkat.
RUA : Perbandingan antara luas DTA yang diukur di hulu garis yang
ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun pengukuran
dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DTA melewati
titik tersebut dengan luas DTA total.
RUA = ............................................................................. (2.32)
(Triatmodjo, 2008).
d. Indeks.
Ф = 10,4903 – 3,859x10 . A² + 1,6986x10 [ ] 4 .................... (2.33)
Dimana :
Ф : Indeks infiltrasi (mm/jam).
29
A : Luas DTA (km²).
SN : Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen
sungai-sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai semua
tingkat.
(Triatmodjo, 2008).
e. Aliran Dasar
Qb = 0,4751 . , . , ..................................................... (2.34)
Dimana :
Qb : Aliran dasar (m³/det).
D : Kerapatan jaringan kuras (drainage density) atau indeks kerapatan
sungai yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua tingkat
dibagi dengan luas DTA.
(Triatmodjo, 2008).
f. Waktu Konsentrasi
= ( , ) . , .................................................................... (2.35)
Dimana :
: Waktu konsentrasi (jam).
L : Panjang saluran utama (km).
S : Kemiringan rata – rata saluran utama.
(Triatmodjo, 2008).
g. Faktor Tampungan
k = 0,5617 . , . , . , . , ........................ (2.36)
30
Dimana :
k : Koefisien tampungan.
A : Luas DTA (km²).
S : Landai sungai rata-rata.
SF : Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah semua panjang
sungai tingkat 1 dengan jumlah semua panjang sungai semua
tingkat.
D : Kerapatan jaringan kuras (drainage density) atau indeks kerapatan
sungai yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua tingkat
dibagi dengan luas DTA.
(Triatmodjo, 2008).
h. Debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak dalam.= . ............................................................................. (2.37)
Dimana :
: Debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak dalam
(m³/det).
: Debit puncak dalam (m³/det).
t : Waktu yang diukur dari saat terjadinya debit puncak (jam).
k : Koefisien tampungan.
(Triatmodjo, 2008).
i. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I
Analisa hidrograf banjir untuk kala ulang dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :
31
= . + . + ……. + . ( ) + ....... (2.38)
Dimana :
: debit banjir rencana untuk periode ulang T tahun.
: Ordinat unit HSS Gama I.
: Hujan efektif pada jam ke i.
: Aliran dasar (base flow).
(Triatmodjo, 2008).
E. PMF (Probable Maximum Flood)
Pada waktu terjadi curah hujan terbesar (curah hujan maksimal) akan
terjadi debit banjir terbesar (debit banjir maksimum) di suatu daerah aliran
sungai tertentu. Jadi dengan menghitung kemungkinan terjadinya curah hujan
terbesar PMP (probable Maximum Precipitation) dapat dihitung besarnya
kemungkinan debit banjir terbesar pula. Secara teoritis dalam perhitungan
PMF didapat dari perhitungan curah hujan maksimum yang menggunakan
metode PMP dikalikan perhitungan debit banjir dengan metode analisa
hidrograf satuan sintetik (HSS), dalam perhitungan HSS digunakan metode
HSS Gamma I, (Soemarto, 1995).
PMF = PMP x HSS ............................................................... (2.39)
Dimana :
PMF = Probable Maximum Flood (banjir maksimum yang mungkin
terjadi) (m³/det).
PMP = Probable Maximum Precipitation (curah hujan maksimum yang
mungkin terjadi) (mm).
32
HSS = Hidrograf satuan sintetik (m³/det).
(Soemarto, 1995).
Besarnya hujan maksimum boleh jadi atau PMP (probable Maximum
Precipitation) dihitung dengan metode Statistik Hershfield. (Soemarto, 1995).
F. Perencanaan Bendung Gerak.
1. Umum.
Konstruksi bending gerak memiliki fungsi untuk mengatur muka air
sungai Cenranae sehingga kebutuhan air dihilir dapat terpenuhi, dan
memperhatikan muka air danau Tempe pada elevasi +5.0 m, sehingga
kegiatan ekonomi masyarakat dibidang perikanan, pertanian, perhubungan
/navigasi sungai bias berjalan.
2. Komponen Utama Bendung.
Menurut Mawardi Dan Memet, 2010 komponen-komponen utama dari
bendung dapat diurai sebagai berikut :
a. Tubuh Bendung.
Antara lain terdiri dari ambang tetap dan mercu bendung dengan
bangunan peredam energinya. Terletak kurang lebih tegak lurus arah aliran
sungai saat banjir dan sedang. Maksudnya agar arah aliran utama menuju
bending dan yang keluar dari bendung terbagi merata, sehingga tidak
menimbulkan pusaran-pusaran aliran di udik bangunan pembilas dan intake.
33
b. Bangunan Pengambilan (Intake).
Antara lain terdiri dari lantai/ambang dasar, pintu, dinding banjir, pilar
penempatan pintu, saringan sampah, jembatan pelayan, rumah pintu dan
perlengkapan lainnya. Bangunan ini terletak tegak lurus (90⁰) atau menyudut
(45⁰-60⁰) terhadap sumbu bangunan bilas. Diupayakan berada di tikungan
luar aliran sungai, sehingga dapat mengurangi sedimen yang akan masuk ke
intake.
c. Bangunan Penguras/Pembilas.
Antara lain terdiri dari indersluice atau tanpa indersluice, pilar
penempatan pintu, saringan sampah, pintu bilas, jembatan pelayan, rumah
pintu, saringan batu dan perlengkapan lainnya. Terletak berdampingan dan
satu kesatuan dengan intake, di sisi bentang sungai dan bagian luar tembok
pangkal bending, dan bersama-sama dengan intake, dan tembok pangkal
udik yang diletakkan sedemikian rupa dapat membentuk suatu tikungan luar
aliran (coidal flow). Aliran ini akan melemparkan angkutan sedimen kearah
luar intake/bangunan pembilas menuju tubuh bendung, sehingga akan
mengurangi jumlah angkutan sedimen dasar masuk ke intake.
d. Bangunan Pelengkap.
Antara lain terdiri dari tembok pangkal, sayap bendung, lantai udik dan
dinding tirai, pengarah arus tanggul banjir dan tanggul penutup atau tanpa
tanggul, penangkap sedimen atau tanpa penangkap sedimen, tangga,
penduga muka air dan sebagainya.
34
3. Perencanaan Hidrolis Bendung Gerak.
a. Bentang Bendung.
Yaitu jarak antara pankal-pangkalnya (abutment), harus sama dengan
atau tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil.
Adapun persamaanya sebagai berikut :
Be = B – 2 ( n . Kp + Ka ) ................................................... (2.40)
Di mana :
N = Jumlah pilar.
Kp = Koefisien konstruksi pilar.
Ka = Koefisien konstruksi pangkal bending.
= Tinggi energy (m).
B = Lebar mercu yang sebenarnya.
Be = Lebar efektif mercu.
Gambar 2.4. Lebar Efektif Bendung. (KP 02).
35
Tabel 2.1. Harga-Harga Koefisien Konstruksi.
Uraian Kp
Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut – sudut yang
dibulatkan pada jari – jari yang hampir sama dengan 0,1 dari
tebal pilar.
0,02
Untuk pilar berujung bulat 0,01
Untuk pilar berujung runcing 0
Ka
Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90⁰
ke arah aliran0,02
Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 90⁰ ke
arah aliran dengan 0,5 > r > 0,150,10
Untuk pangkal tembok bulat di mana r > 0,5 dan tembok hulu
tidak lebih dari 45⁰ ke arah aliran0
( Sumber, Kp 02 Standar Perencanaan Irigasi )
b. Lantai Depan.
Perhitungan panjang lantai depan dilakukan dengan cara seperti
berikut:
1. Panjang rayapan (creep lenght) harus cukup panjang untuk memperkecil
aliran bawah (see page).
2. Tentukan dengan cara perkiraan awal bentuk fundasi bendung dan
panjang lantai udik.
36
3. Hitung panjang lantai udik yang dibutuhkan
4. Jika panjang lantai udik hasil perhitungan lebih panjang daripada yang
dibutuhkan maka hasil perhitungan sudah memadai.
5. Jika diperoleh sebaiknya maka ulangi perhitungan.
Rumus-rumus yang digunakan := − ................................................................... (2.41)= ∆∆ =
= −Dimana :
= Panjang lantai depan (m)
= Panjang rayapan total (m)
= Panjang rayapan yang ada (m)
C = Koefisien rayapan Blight (C = 12)
L = Panjang rayapan (m)∆ = kehilangan tekanan
= Panjang rayapan vertikal (m)
= Panjang rayapan horizontal (m)
c. Peredam Energi.
Aliran di atas mercu bendung dapat menunjukkan berbagai perilaku di
sebelah hilir bendung, akibat kedalaman air yang ada. Adapun kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi dari pola aliran di atas bendung akan ditunjukan
37
oleh gambar 2.5 yang terdiri dari, gambar 2.5A menunjukkan aliran
tenggelam, yang menimbulkan gangguan di permukaan berupa timbulnya
gelombang, gambar 2.5B menunjukkan keadaan loncatan tenggelam
diakibatkan oleh keadaan air di hilir besar, gambar 2.5C menunjukkan
keadaan loncat air, di mana kedalaman air di hilir sama dengan kedalaman
konjungsi loncat air, gambar 2.5D terjadi apabila kedalaman air di hilir kurang
dari kedalaman konjungsi, sehingga loncatan akan bergerak ke hilir. Semua
tahap ini biasa terjadi di hilir bendung yang dibangun di sungai. Kasus D
keadaan yang tidak boleh terjadi, karena loncatan air akan menghempas
bagian sungai yang tidak terlindungi dan menyebabkan penggerusan yang
luas.
Gambar 2.5. Kondisi Aliran di Atas Mercu Bendung.
Cara menentukan debit untuk peredaman energi, semua debit dicek
dengan muka air di hilir. Apabila terjadi degradasi dibuat perhitungan dengan
muka air hilir terendah yang mungkin terjadi degradasi. Cara mengecek
degradasi adalah sebagai berikut :
38
1. Bendung dibangun pada sudetan.
2. Sungai alluvial dan bahan tanah yang dilalui rawan terhadap erosi.
3. Terdapat waduk di hulu bangunan.
d. Kolam Olak.
Tipe kolam olak yang akan direncanakan disebelah hilir bangunan
tergantung pada energi masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude,
dan pada bahan konstruksi kolam olak.
Gambar 2.6. Hubungan Kedalaman Air Hulu dan Hilir.
Rumus : = [−1 + 1 + 8 ]= 2 [−1 + 1 + 8 ]
Di mana : Fr = √ .Di mana : = Kedalaman air di atas ambang ujung (m).
= Kedalaman air di awal loncat air (m).
= Bilangan Froude.
39
= Kecepatan awal loncatan (m/dt).
= Percepatan gravitasi (9,8 m/dt²).
Berdasarkan bilangan froude, dapat dibuat pengelompokkan-
pengelompokkan dalam perencanaan kolam olak sebagai berikut :
1. Untuk Fru < 1,7 tidak diperlukan kolam olak pada saluran tanah, bagian
hilir harus dilindungi dari bahaya erosi dan saluran pasangan batu atau
beton tidak memerlukan perlindungan khusus.
2. Jika 2,5 < Fru < 4,5 maka akan timbul situasi paling sulit dalam memilih
kolam olak yang tepat.
3. Jika 2,5 < Fru < 4,5 maka akan timbul situasi yang palig sulit dalam
memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik,
dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Cara
mengatasinya adalah mengusahakan agar kolam olak dengan froude ini
mampu menimbulkan olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok
halangnya atau menambah intensitas pusaran dengan pemasangan blok
depan kolam.
4. Jika Fr 4,5 merupakan kolam yang paling ekonomis karena kolam ini
pendek. Dengan loncatan air sama, tangga di bagian ujungnya akan jauh
lebih panjang dan mungkin harus digunakan dengan pasangan batu.
Terlepas dari kondisi hidrolis, bilangan froude dan kedalaman air hilir,
berdasarkan kondisi dasar sungai dan tipe sedimen, maka kolam olak bisa
ditentukan sebagai berikut :
40
a. Bendung di sungai yang mengangkut bongkah atau batu-batu besar
dengan dasar relatif tahan gerusan, biasanya cocok dengan kolam
olak tipe bak tenggelam (sub merged bucket).
b. Bendung di sungai yang mengangkut batu-batu besar, tetapi sungai itu
mengandung bahan alluvial, dengan dasar tahan gerusan, akan
menggunakan kolam loncat air tanpa blok-blok halang atau tipe bak
tenggelam.
c. Bendung di sungai yang hanya mengangkut bahan-bahan sedimen
halus dapat direncanakan dengan kolam loncat air yang diperpendek
dengan menggunakan blok-blok halang.
Adapun tipe-tipe dari kolam olak yakni sebagai berikut :
1. Kolam Olak Tipe USBR.
Beberapa kolam olak tipe ini telah dikembangkan oleh USBR. Pinggir
dari tipe ini adalah vertikal dan pada umumnya mempunyai lantai yang
panjang, blok-blok dan ambang hilir biasa maupun ambang hilir bergigi.
Ruang olak dengan blok-blok dan ambang tidak baik untuk sungai yang
mengangkut batu.
Macam-macam kolam olak tipe USBR sebagai berikut :
a. Kolam olak USBR I, kolam yang terbentuk oleh loncatan hidraulik yang
terjadi pada lantai dasar. Tipe ini biasanya tidak praktis karena
panjang dan dipakai untuk bilangan froude 1 (Fr = 2,5 – 4,5).
41
Gambar 2.7. Kolam Olak Tipe USBR I.
b. Kolam olak USBR II, dikembangkan untuk kolam olak yang banyak
digunakan pada bendungan tinggi, bendungan urug tanah dan
struktur-struktur saluran besar. Kolam olak dilengkapi dengan blok-blok
di ujung hulu dan ambang bergigi di ujung hilir. Panjang kolam olak
dapat diperoleh dari kurva yang dibuat oleh biro tersebut. Kolam olak
USBR II dapat dipakai pada bilangan froude lebih besar atau sama
dengan 4,5 (Fr≥4,5), dengan catatan percepatan V1 16 m/dt untuk
menghindari kavitasi.
42
Gambar 2.8. Kolam Olak Tipe USBR II.
c. Kolam olak tipe USBR III, digunakan pada bangunan drainase kecil
dengan panjang ruang olak :, , , tetapi mempunyai faktor
keamanan yang lebih tinggi. Kolam olak USBR III dapat dipakai untuk
bilangan froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr≥4,5), tetapi bila
kecepatan V1 ≥ 16 m/dt.
d. Kolam olak USBR IV, dirancang untuk mengatasi persoalan pada
loncatan hidrolis yang berisolasi. Kolam olak ini hanya dapat
digunakan untuk penampang persegi panjang. Kolam olak USBR IV
dipakai untuk bilangan froude 2,5 sampai 4,5.
Gambar 2.9. Kolam Olak Tipe USBR IV.
2. Kolam Olak Tipe Vlugter.
Kolam ini tidak bisa digunakan pada tinggi air hilir di atas dan di bawah
tinggi muka air yang telah diuji di laboratorium. Penyelidikan ini menunjukkan
bahwa tipe bak tenggelam, yang perencanaannya hampir sama dengan
kolam Vlugter lebih kuat. Karena kolam Vlugter tidak bisa digunakan pada
43
bendung yang debitnya selalu mengalami fluktuasi. Kolam olak untuk
bangunan terjun di saluran irigasi mempunyai batas-batas yang diberikan
untuk z/ℎ 0,5:2,0 dan 1,5 dihubungkan dengan bilangan froude yaitu 1,0:2,8
dan 12,8 bilangan-bilangan froude diambil pada kedalaman z di bawah tinggi
energi hulu, bukan pada lantai kolam untuk kolam loncat air.
Rumus : ℎ =Jika 0,5 < < 2,0 maka t = 2,4 ℎ +0,4 Z
Jika 2,0 < < 15,0 maka t = 3,0 ℎ +0,1 Z
Α = 0,28 ℎD = R = L (ukuran dalam meter)
Gambar 2.10. Kolam Olak Tipe Vlugter.
3. Kolam Olak Bak Tenggelam.
Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan pada bendung-
bendung rendah dan untuk bilangan-bilangan froude rendah. Kriteria yang
digunakan untuk perencanaan diambil dari bahan-bahan oleh peterka dan
44
hasil-hasil penyelidikan dengan model. Bahan ini diolah untuk menghasilkan
serangkaian perencanaan untuk kolam dengan tinggi energi rendah.
Rumus : ℎ =Dimana : ℎ = Kedalaman air kritis (m).
q = Debit perlebar satuan (m³/dt).
g = Percepatan gravitasi (9,8m/dt²).
Gambar 2.11. Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam.
e. Pintu Bendung.
Ada beberapa tipe pintu menurut Standar Perencanaan Irigasi KP-02:
1. Pintu sorong, dipakai dengan tinggi maksimum sampai 3 m dan lebar
tidak lebih dari 3 m. Pintu tipe ini hanya digunakan untuk bukaan kecil, karena
untuk bukaan yang lebih besar alat-alat angkatnya akan terlalu berat untuk
menanggulangi gaya gesekan pada sponeng. Untuk bukaan yang lebih besar
dapat dipakai pintu rol, yang mempunyai keuntungan tambahan karena
dibagian atas terdapat lebih sedikit gesekan, dan pintu dapat diangkat
dengan kabel baja. Ada dua tipe pintu rol yang dapat dipertimbangkan, yaitu
45
pintu stoney dengan roda yang tidak dipasang pada pintu, tetapi pada
kerangka yang terpisah, dan pintu rol biasa yang dipasang langsung pada
pintu.
2. Pintu rangkap (dua pintu), adalah pintu sorong/rol yang terdiri dari dua
pintu, yang tidak saling berhubungan, yang tidak dapat diangkat atau
diturunkan. Oleh sebab itu, pintu-pintu ini dapat mempunyai debit melimpah
(overflowing discharge) dan debit dasar (bottom discharger). Keuntungan dari
pemakaian pintu ini adalah dapat dioperasikan dengan alat angkat yang lebih
ringan. Contoh khas dari tipe ini adalah tipe pintu segmen ganda (hook type
gate). Pintu ini dipakai dengan tinggi sampai 20m dan lebar sampai 50 m.
3. Pintu segmen atau radial, memiliki keuntungan bahwa tidak ada gaya
gesekan yang harus dipertimbangkan. Oleh karena itu, alat-alat angkatnya
bisa dibuat kecil dan ringan. Sudah biasa untuk memberi pintu radial
kemungkinan mengalirkan air melalui puncak pintu, dengan jalan
menurunkan pintu atau memasang katup/tingkap gerak pada puncak pintu.
Debit diatas ini bermanfaat untuk menggelontor benda-benda hanyut di atas
bendung.
4. Dalam memilih dan merencanakan pintu untuk bendung gerak harus
memperhatikan tiga hal penting yaitu:
a). Jastifikasi teknis, sosial dan ekonomi dalam menentukan kombinasi
tinggi tubuh bendung dan tinggi pintu air. Tinggi pembendungan air
sungai dibagi menjadi dua yaitu bagian tiggi pembendungan atas
yang ditahan oleh pintu air. Kombinasi keduanya dibutuhkan oleh
46
pertimbangan teknis, sosial, ekonomi. Tubuh bendung yang tinggi
menyebabkan volume tubuh bendung yang besar, pondasi yang kuat,
kolam olak yang mahal, elevasi muka air banjir dan tanggul penutup
lebih tinggi, kemungkinan timbulnya permasalahan resetlement
penduduk akibat elevasi muka air banjir yang tinggi, relatif biaya
pembangunan tubuh bendung dan kolam olak lebih mahal. Sebagai
kombinasinya pintu air yang rendah menyebabkan volume tubuh
bendung yang kecil, pondasi lebih ringan, kolam olak relatif murah,
elevasi muka air banjir dan tanggul penutup lebih rendah, tidak ada
permasalahan resetlement penduduk akibat elevasi muka air banjir,
relatif biaya pembangunan tubuh bendung dan kolam olak lebih
murah. Sebaliknya kombinasinya pintu air yang tinggi mengakibatkan
pintu berat, diperlukan alat penggerak pintu berkapasitas tinggi, biaya
operasional pintu lebih mahal.
b). Kemudahan dan keamanan operasional pintu.
Pintu yang ringan tetapi memiliki kekuatan cukup sangat diperlukan
agar pintu tidak mudah melendut dan bergetar bila terkena tekanan
dan arus air, sehingga memudahkan pengoperasian dan pintu tidak
cepat rusak.
c). Biaya operasional dan pemeliharaan (O-P) yang rendah.
Pintu yang berat memerlukan pasokan daya listrik besar untuk
mengubah tenaga listrik menjadi tenaga mekanik yang kuat pada
saat mengangkat pintu, dan mengingat mahalnya harga listrik maka
47
akan berdampak pada peningkatan biaya operasional. Disamping itu
pintu yang terlalu besar memerlukan biaya pelumasan dan
pengecetan pintu yang relatif lebih besar.
Gambar 2.12. Macam-Macam Tipe Pintu Bendung Gerak.
f. Prencanaan Pintu/Mercu Pada Bendung Gerak.
Gambar 2.13. Gambar Aliran Diatas Mercu Pintu.
Adapun rumus yang digunakan yakni :
Q = (2/3) C B (2g). . H. .
48
Dimana : Q = Debit yang melewati di atas pintu (m³/s).
B = Lebar 1 Pintu.
C = Koefisien debit.
Pw = Tinggi pintu (m).
H = Tinggi muka air hulu di atas crest (m).
G = Percepatan gravitasi (m/s²).
Gambar 2.14. Gambar Aliran Undersluice Untuk Menstabilkan Muka Air
Akibat Overflow.
Adapun rumus yang digunakan yakni :
Q = C W B (2gH). .Dimana : Q = Debit yang melewati bukaan pintu (m³/s).
B = Lebar 1 Pintu.
W = Tinggi bukaan pintu (m).
C = Koefisien debit.
H = Tinggi muka air hulu (m).
G = Percepatan gravitasi (m/s²).
49
g. Stabilitas Bendung.
1. Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah.
Perhitungan daya dukung ini dipakai rumus daya dukung Terzaghi.
Rumus : q = c. + . . + . . . .................................. (2.42)
Di mana : q = Daya dukung keseimbangan (t/m²).
B = Lebar pondasi (m).
D = Kedalaman pondasi (m).
c = Kohesi.
y = Berat isi tanah (t/m³)., , = Faktor daya dukung yang tergantung dari
besarnya sudut geser dalam (Ф).
(Sumber, DPU Pengairan, Standar Perencanaan Irigasi KP-02).
2. Stabilitas Terhadap Guling.
Rumus : = ∑∑ ≥ 1,5 ............................................................ (2.43)
Di mana : = Faktor keamanan.∑ = Besarnya momen tahan (KNm).∑ = Besarnya momen guling (KNm).
(Sumber, Teknik Bendung, Ir. Soedibyo).
3. Stabilitas Terhadap Geser.= +Rumus : = ∑∑ ≥ 1,2 ............................................................ (2.44)
Di mana : = Faktor keamanan.
50
∑ = Besarnya gaya vertikal (KN).∑ = Besarnya gaya horisontal (KN).
(Sumber, DPU Pengairan, Standar Perencanaan Irigasi KP-02).
4. Stabilitas Terhadap Eksentrisitas.
Rumus : e < 1/6 . B ................................................................. (2.45)
= 12 − ( − )Di mana : B = Lebar dasar bendung yang ditinjau (m).
(Sumber, DPU Pengairan, Standar Perencanaan Irigasi KP-02).
5. Stabilitas Terhadap Piping (Erosi Bawah Tanah).
Rumus : CL = ∑ + ∑ .................................................... (2.46)
Di mana : CL = Angka rembesan lane (lihat Tabel 2.3)∑ = Jumlah panjang vertikal (m).∑ = Jumlah panjang horisontal (m).
H = Beda tinggi muka air (m).
51
Tabel 2.2, Harga-Harga Minimum Angka Rembesan Lane (CL).
Uraian Angka Rembesan LanePasir sangat halus atau lanau 8,5Pasir halus 7,0Pasir sedang 6,0Pasir kasar 5,0Krikil halis 4,0Krikil sedang 3,5Krikil kasar termasuk berangkal 3,0Bongkah dengan sedikit berangkal dankerikil 2,5
Lempung lunak 3,0lempung sedang 2,0Lempung keras 1,8Lempung sangat keras 1,6
(Sumber, DPU Pengairan, Standar Perencanaan Irigasi KP-06).
6. Stabilitas Terhadap Gempa.
Rumus : K = α *∑ ................................................................. (2.47)
Di mana : α = Koefisien gempa.
∑G = Berat konstruksi total.
52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Gambaran umum lokasi penelitian.
Lokasi bendung Gerak Tempe secara administrasi terletak di
Kecamatan Tempe sekitar 7 km dari kota Sengkang Kabupaten Wajo
Propinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis danau Tempe berada pada
koordinat 4⁰ 9’ 10.80” S dan 120⁰ 1’ 55.77” E dengan luas area sekitar 14.406
ha. Transportasi menuju lokasi bendung Gerak Tempe dari kota Makassar
menuju Kota Sengkang dapat menggunakan kendaraan roda empat maupun
roda dua selama 5 jam dengan jarak tempuh ± 242 km dengan kondisi jalan
beraspal.
Gambar 3.1, Lokasi Penelitian.
53
Gambar 3.2, Bendung Gerak Tempe.
B. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bendung Gerak Tempe Kabupaten Wajo
Provinsi Sulawesi Selatan, dengan masa waktu penelitian selama tiga bulan.
C. Prosedur penelitian
Objek dari penelitian ini adalah Bendung Gerak Tempe Kabupaten
Wajo. Cara pengambilan data dapat dilakukan dengan cara memperoleh data
dari Instansi terkait, atau pengambilan data secara langsung dilapangan.
Adapun langkah - langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengambil data di Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi
Sulawesi Selatan dan Instansi yang terkait.
2. Data kemudian diolah dengan menggunakan alat satu set komputer.
3. Data perencanaan yang sudah ada di jadikan sebagai bahan
perbandingan dalam perhitungan.
54
4. Bahan dalam penelitian ini itu tidak ada karena menggunakan data yang
sudah ada.
D. Persiapan penelitian
Persiapan dalam penelitian ini tidak ada, karena persiapan untuk
melakukan penelitian yakni pengumpulan data yang mengambil secara
langusung di instansi-instansi terkait mengenai data-data yang di butuhkan
dalam penelitian.
E. Teknik pengumpulan data
1. Data Primer.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
pengamatan dilapangan. Dari pengamatan ini dapat diketahui keadaan
bendung saat ini, lokasi bendung yang akan dibangun.
2. Data Sekunder.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung atau
dari catatan-catatan terdahulu. Data ini diperoleh dari instansi-instansi terkait
seperti Dinas Balai Besar Pompengan Wilayah Sungai jeneberang serta
Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air propinsi Sulawesi Selatan dan lain-lain.
Adapun data sekunder yang digunakan antara lain :
a. Peta lokasi pekerjaan, untuk mengetahui lokasi pekerjaan dimana
bendung tersebut dibangun.
b. Peta topografi, untuk menentukan elevasi bangunan sehingga dapat
berfungsi sesuai yang direncanakan.
55
c. Peta situasi, untuk menentukan bentang dan potongan bendung.
d. Data hidrologi, untuk mengetahui karakteristik aliran sungai, debit air
banjir sehingga dapat menentukan dimensi konstruksi.
e. Data tanah, untuk mengetahui sifat-sifat tanah dan menghitung daya
dukung tanah serta kestabilan bangunan.
3. Analisa data
Data yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisa sesuai dengan
kebutuhannya. Masing-masing data berbeda dalam pengelolaan dan
analisanya. Dengan pengelolaan dan analisa yang sesuai maka akan
diperoleh variable-variable yang akan digunakan dalam perencanaan
konstruksi.
56
TIDAK
YA
Flow Chart
MULAI
Studi Literatur
Survey Lapangan danPengumpulan Data
SELESAI
AnalisaStabilitasBendung
Desain Struktur
Penggambaran
Kesimpulan
1. Peta Topografi2. Data Geologi3. Data Curah Hujan4. Data Debit5. Mekanika Tanah
Analisa Hidrologi
Perencanaan BendungGerak
ix
DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN
Notasi Definisi dan Keterangan
R Curah hujan daerah
S Standar deviasi
Cv Koefisien variasi
Cs Koefisien kemencengan
Ck Koefisien kurtosis
Xi Hujan rencana dengan periode ulang T tahun
Xrt Hitungan harga rata-rata
X² Harga chi-kuadrat
DK Derajat kebebasan
r Intensitas curah hujan
PMF Probable Maximum Flood
Be Lebar efektif mercu
Ldp Panjang Lantai depan
Q Debit
Q Daya dukung keseimbangan
Sf Faktor keamanan terhadap guling dan geser
K Stabilitas terhadap gempa
57
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jendral Departemen Pekerjaan Umum, Standar Pekerjaan Irigasi,
Kriteria Perencanaa 02, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum,
Jakarta, 2010.
Loebis Joesron. Ir. M.Eng, Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Badan
Penerbit Pekerjaan Umum, Cetakan Ke-1, Jakarta, 1987.
Soemarto. CD. Ir.B.E.I. Dipl H, Hidrologi Teknik, Usaha Nasional, Surabaya
1999.
Soewarno, Hidrologi Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data, Nova,
Bandung, 1995.
Sosrodarsono Suyono. Ir, Takeda Kensaku, Hidrologi Untuk Pengairan, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.
Suripil, Buku Ajar Hidrolika, Jurusan Teknik Sipil FT Undip, Semarang, 2004.
Triatmodjo Bambang. Prof. Dr. Ir., Hidrologi Terapan, Beta Offset Yogyakarta,
Yogyakarta, 2008.
58
top related