identification of risk factors at first seizure in
Post on 14-Nov-2021
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA KEJANG PERTAMA DALAM MEMPREDIKSI TIMBULNYA KEJANG
BERULANG PADA ANAK
IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN PREDICTING RECURRENT SEIZURE IN CHILDREN
YANUAR SAPUTRA WIDJAJA
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA KEJANG PERTAMA DALAM MEMPREDIKSI TIMBULNYA KEJANG
BERULANG PADA ANAK
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Biomedik
Disusun dan diajukan oleh
YANUAR SAPUTRA WIDJAJA
kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
TESIS
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA KEJANG PERTAMA DALAM MEMPREDIKSI TIMBULNYA KEJANG
BERULANG PADA ANAK
Disusun dan diajukan oleh :
YANUAR SAPUTRA WIDJAJA
Nomor Pokok : P1507209028
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 3 September 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,
dr. Hadia Angriani M, SpA(K) Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, SpA(K) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Biomedik Direktur Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
Prof. dr. Rosdiana Natzir, Ph.D Prof. Dr. Ir. Mursalim
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Identifikasi Faktor-faktor Risiko pada Kejang
Pertama dalam Memprediksi Timbulnya
Kejang Berulang pada Anak
Nama : dr. Yanuar Saputra Widjaja
Nomor Pokok : P1507209028
Program Studi : Biomedik
Konsentrasi : Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Makassar, 4 September 2013
Menyetujui,
Komisi Penasihat
dr. Hadia Angriani M, SpA(K) Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, SpA(K)
Menyetujui,
Ketua Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Prof. Dr. dr. H. Dasril Daud, SpA(K) NIP. 19520923 197903 1 003
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Yanuar Saputra Widjaja
No.Stambuk : P1507209028
Program Studi : Biomedik
Konsentrasi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
FK.UNHAS
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, September 2013
Yang menyatakan
Yanuar Saputra Widjaja
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan
hasil penelitian ini.
Penulisan hasil penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Institusi
Pendidikan Dokter Spesialis Anak (IPDSA) pada Konsentrasi Pendidikan
Dokter Spesialis Terpadu Program Studi Biomedik, Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, Makassar. Perkenankan penulis menghaturkan
terima kasih yang tulus kepada ibunda The Siok King dan ayahanda Auw
Yang Sau Hin atas doa, dukungan dan kasih sayang yang tak pernah
putus hingga pada tingkatan seperti sekarang ini.
Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan rasa
terima kasih kepada dr. Hadia Angriani M, SpA(K) sebagai pembimbing
yang secara tulus bersedia menjadi pembimbing dengan arif dan
bijaksana, menerima konsultasi dan memberikan bimbingan, serta saran
mulai dari pemilihan judul, penelitian dan penyusunan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih, rasa hormat, dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada Ketua Departemen Prof. Dr. dr. H.
Dasril Daud, SpA(K) yang juga selaku pembimbing statistik, yang telah
banyak memberikan arahan, saran, kritikan, dan bimbingan dalam bidang
statistik dan pengolahan data di tengah kesibukan beliau, serta kesabaran
beliau dalam memberikan diskusi. Penulis juga mengucapkan banyak
terima kasih kepada para penguji yang telah memberikan banyak
masukan dan perbaikan untuk hasil penelitian ini, yaitu: Prof. Dr. dr.
Syarifuddin Rauf, SpA(K), Prof. dr. Husein Albar, SpA(K), dan Dr. dr.
Idham Jaya Ganda, SpA(K). Dan juga kepada seluruh staf pengajar
Departemen Ilmu Kesehatan Anak (DIKA) yang telah banyak membantu.
Teman-teman angkatan saya, Kwari J. Satriono, M. Ikhsan Nurkholis, Sri
Hadzriati, Maryana, Mahirina Marjani, dan Yulianty Mochtar, yang selama
ini memberikan dukungan, bantuan serta kerjasama yang baik selama
masa pendidikan saya. Semua teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan
Anak dan teman sejawat peserta Combined Degree atas bantuan dan
kerjasamanya selama ini.
Terima kasih kepada seluruh pegawai di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak UNHAS serta paramedis di seluruh rumah sakit jejaring
Departemen Ilmu Kesehatan Anak UNHAS, atas bantuan dan
kerjasamanya selama ini.
Terima kasih kepada Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi
Biomedik, beserta seluruh staf pengajar pada Konsentrasi Pendidikan
Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) Program Biomedik
Pascasarjana UNHAS atas bimbingannya selama saya menjalani
pendidikan.
Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada
mertua, Bapak Allex Indradjaja Tunardy dan Ibu Connie Halim atas doa
dan dukungan yang tiada terputus untuk saya. Untuk istriku, dr. Evelyn
Indradjaja Tunardy, M. Kes, Sp.OG, pendamping hidup dan ibu yang
sempurna untuk buah hati saya, tiada pernah cukup ungkapan terima
kasih atas keikhlasan, pengertian yang sangat luar biasa dan
kesabarannya mendukung serta membangkitkan semangat saya untuk
melewati masa-masa sulit dalam pendidikan ini. Teruntuk belahan jiwa
saya, William Ekaputra Wijaya yang membuat saya terpicu menyelesaikan
hasil penelitian ini. Saudaraku tersayang Henny Puspa Widjaja, Hani
Puspa Widjaja, dan Nofianti Puspa Widjaja, tiada pernah cukup ungkapan
terima kasih atas doa, pengertian, dan kasih sayang selama ini.
Terima kasih kepada seluruh pasien yang sudah bersedia ikut
dalam penelitian ini dan masih banyak lagi nama yang telah berjasa bagi
saya dalam penyelesaian hasil penelitian ini yang tidak dapat saya
sebutkan satu per satu, terima kasih yang tulus saya haturkan.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan Ilmu Kesehatan Anak di masa mendatang. Tak lupa
penulis memohon maaf untuk hal-hal yang tidak berkenan dalam
penulisan ini karena penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini
masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritikan yang
membangun sangat saya harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Makassar, Agustus 2013
Yanuar Saputra Widjaja
ABSTRAK
PENDAHULUAN. Kejang merupakan kelainan neurologi yang sering
ditemukan pada anak, 4-10% anak menderita setidaknya satu kali
bangkitan kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Kejang menunjukkan
suatu gejala klinik yang mendasari suatu proses yang dapat disebabkan
oleh berbagai macam dan dianggap sebagai kasus kedaruratan neurologi
yang perlu penanganan segera. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
faktor-faktor risiko pada kejang pertama dalam memprediksi timbulnya
kejang berulang pada anak.
METODE. Penelitian menggunakan metode kasus kontrol. Sampel
penelitian sebanyak 40 anak dengan kejang berulang dan 40 anak
dengan kejang tidak berulang yang diambil secara consecutive sampling
dari kuesioner dan juga data rekam medik di BLU RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas dari Januari
hingga Juni 2013.
HASIL. Dari 80 anak dengan kejang, anak berumur < 18 bulan saat
kejang pertama lebih berisiko mengalami kejang berulang (p=0,000;
OR=2,9). Tidak ada perbedaan bermakna faktor-faktor risiko jenis
kelamin, riwayat kejang dalam keluarga, riwayat trauma kepala, suhu,
kadar Natrium, dan gula darah sewaktu saat kejang pertama, masing-
masing dengan nilai p=0,82; 0,491; 1,0; 0,793; 0,359; dan 1,0.
KESIMPULAN. Anak berumur < 18 bulan saat kejang pertama lebih
berisiko mengalami kejang berulang. Jenis kelamin, riwayat kejang dalam
keluarga, riwayat trauma kepala, suhu, kadar Natrium, dan gula darah
sewaktu saat kejang pertama bukan merupakan faktor risiko pada kejang
pertama dalam memprediksi timbulnya KB.
Kata kunci: faktor risiko, kejang pertama, kejang berulang, anak
ABSTRACT
INTRODUCTION. Seizure is the most neurological abnormality found in
children, about 4-10% children have seizure at least once in 16 years of
their first live. The research aimed at identificating risk factors at first
seizure in predicting recurrent seizure in children.
METHODS. This was case control study. There were 40 children with
recurrent seizure and 40 children with non-recurrent seizure who were
taken by the consecutive sampling technique from questionnaire and
medical record at BLU Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital in the
Department of Child Health, Medical Faculty, Hasanuddin University from
January to June 2013.
RESULTS. Eighty children with seizure, children aged < 18 months at first
seizure have greater risk to have recurrent seizure (p=0.000; OR=2.9).
There is no significant difference of risk factors between gender, history of
seizure in family, history of head trauma, temperature, level of sodium, and
blood glucose at first seizure with p=0.82; 0.491; 1.0; 0.793; 0.359; and
1.0 respectively.
CONCLUSIONS. Children aged < 18 months at first seizure have greater
risk to have recurrent seizure. Gender, history of seizure in family, history
of head trauma, temperature, level of sodium, and blood glucose at first
seizure are not risk factors at first seizure in predicting recurrent seizure.
Key words: risk factor, first seizure, recurrent seizure, children
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
ABSTRAK vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR SINGKATAN xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
BAB I. PENDAHULUAN
I. 1. Latar belakang masalah 1
I. 2. Rumusan masalah 4
I. 3. Tujuan penelitian 4
I. 3. 1. Tujuan umum 4
I. 3. 2. Tujuan khusus 5
I. 4. Hipotesis penelitian 5
I. 5. Manfaat penelitian 6
I. 5. 1. Aspek teori / ilmu pengetahuan 6
I. 5. 2. Aspek aplikasi 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Definisi 8
II. 2. Epidemiologi 8
II. 3. Klasifikasi 9
II. 4. Patofisiologi 9
II. 4. 1. Fisiologi bangkitan kejang 9
II. 4. 2. Patomekanisme kejang berulang 12
II. 5. Faktor-faktor risiko kejang 14
II. 5. 1. Predisposisi genetik (faktor genetik) 15
II. 5. 2. Perubahan metabolisme neuron
(faktor biokimia) 17
II. 5. 2. 1. Hiponatremia 18
II. 5. 2. 2. Hipernatremia 19
II. 5. 2. 3. Hipoglikemia 20
II. 5. 3. Perubahan-perubahan neuropatologi
(faktor neuropatologi) 21
II. 6. Diagnosis 22
II. 7. Diagnosis banding 23
II. 8. Pemeriksaan penunjang 26
II. 9. Tatalaksana 27
II. 9. 1. Tatalaksana kejang pada fase akut 27
II. 9. 2. Profilaksis terus-menerus dengan
antikonvulsan tiap hari 28
II. 10. Prognosis 28
KERANGKA TEORI 30
BAB III. KERANGKA KONSEP 31
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN
IV. 1. Desain penelitian 32
IV. 2. Tempat dan waktu penelitian 32
IV. 3. Populasi penelitian 32
IV. 4. Sampel dan cara pemilihan sampel 33
IV. 5. Perkiraan besar sampel 33
IV. 6. Kriteria inklusi dan eksklusi 34
IV. 6. 1. Kriteria inklusi 34
IV. 6. 2. Kriteria eksklusi 35
IV. 7. Izin penelitian dan ethical clearence 35
IV. 8. Cara kerja 35
IV. 8. 1. Alokasi subyek 35
IV. 8. 2. Cara penelitian 36
IV. 8. 2. 1. Prosedur penelitian 36
IV. 8. 2. 2. Skema alur penelitian 37
IV. 8. 2. 3. Prosedur pemeriksaan 38
IV. 9. Identifikasi dan klasifikasi variabel 39
IV. 9. 1. Identifikasi variabel 39
IV. 9. 2. Klasifikasi variabel 39
IV. 10. Definisi operasional dan kriteria obyektif 40
IV.10.1 Definisi operasional 40
IV.10.2 Kriteria obyektif 41
IV. 11. Pengolahan dan analisis data 42
IV. 11. 1. Analisis univariat 42
IV. 11. 2. Analisis bivariat 42
BAB V. HASIL PENELITIAN
V. 1. Jumlah sampel 44
V. 2. Karakteristik sampel 44
V. 3. Penjaringan faktor risiko KB 46
V. 4. Identifikasi faktor-faktor risiko KB 51
BAB VI. PEMBAHASAN 52
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
VII. 1. Kesimpulan 60
VII. 2. Saran 60
VII. 2. 1. Saran penelitian 60
VII. 2. 2. Saran pelayanan 60
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 65
DAFTAR TABEL
nomor halaman
1. Risiko relatif berulangnya kejang 16
2. Penyebab kejang 24
3. Kondisi pada anak yang sering salah untuk kejang 25
4. Karakteristik kelompok KB dan KTB 45
5. Hubungan umur saat kejang pertama kali antara KB
dan KTB 47
6. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian antara KB
dan KTB 48
7. Hubungan suhu saat kejang pertama antara KB
dan KTB 48
8. Hubungan riwayat kejang dalam keluarga antara KB
dan KTB 49
9. Hubungan riwayat trauma kepala saat kejang pertama
antara KB dan KTB 49
10. Hubungan kadar Natrium saat kejang pertama antara
KB dan KTB 50
11. Hubungan kadar gula darah sewaktu saat kejang
pertama antara KB dan KTB 51
DAFTAR SINGKATAN
Lambang/singkatan
AOR
ATP
CT-Scan
CI
COR
df
EEG
GABA
HIE
IPSIs
KB
KTB
MRI
mg/dl
mmol/l
NaCl
OR
SD
STARCH
X2
Arti dan keterangan
Adjusted odds ratio
Adenosine triphosphate
Computed tomography scan
Confidence interval
Crude odd ratio
Degree of freedom
Electroencephalography
Gamma amino butyric acid
Hypoxic-ischemic encephalopathy
Inhibitory post synaptic potentials
Kejang berulang
Kejang tidak berulang
Magnetic resonance imaging
Miligram/desiliter
Milimol/liter
Natrium klorida
Odds ratio
Standar deviasi
Syphillis toxoplasmosis aids rubella cytomegalovirus
herpes simplex
Chi-square
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1. Permohonan izin penelitian 65
2. Persetujuan izin penelitian 66
3. Rekomendasi persetujuan etik 67
4. Kuesioner 68
5. Tabel induk 70
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar belakang masalah
Kejang merupakan kelainan neurologi yang sering ditemukan pada
anak, 4-10% anak menderita setidaknya satu kali bangkitan kejang pada
16 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi pada anak kurang dari 3
tahun, dan frekuensi menurun pada anak yang lebih tua. Penelitian
epidemiologi menunjukkan diperkirakan 150.000 anak akan mengalami
kejang pertama yang tidak terprovokasi setiap tahun, dan 30.000 anak
tersebut akan berkembang menjadi epilepsi (McAbee dan Wark, 2000;
Vining, 1994).
Yang dimaksud dengan kejang adalah gangguan pelepasan
muatan listrik yang berlebihan dari sekelompok neuron otak yang
menyebabkan perubahan kesadaran yang tidak disadari, berlangsung
singkat, dan mengganggu perilaku, aktivitas motorik, sensasi, serta fungsi
otonom. Periode penurunan respon postictal biasanya mengikuti beberapa
kejang, dan durasi postictal sesuai dengan lamanya aktivitas kejang.
Epilepsi digambarkan sebagai suatu kondisi kejang berulang. Definisi
klasik status epileptikus mengacu pada aktivitas kejang yang berlangsung
terus-menerus atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa sadar
(Friedman dan Sharieff, 2006).
Selama kejang, aliran darah ke otak, konsumsi oksigen dan
glukosa, dan produksi karbon dioksida serta asam laktat semua
meningkat. Perubahan sistemik awal termasuk takikardia, hipertensi,
hiperglikemia, dan hipoksemia. Kejang yang singkat jarang memberikan
efek langsung pada otak. Pada kejang yang berlangsung lama,
menimbulkan asidosis laktat, rhabdomyolosis, hiperkalemia, hipertermia,
dan hipoglikemia, yang kesemuanya dihubungkan dengan kerusakan
neurologi yang menetap. Jaminan jalan napas yang baik, dan terminasi
kejang merupakan prioritas utama pada pasien yang sedang mengalami
kejang (Friedman dan Sharieff, 2006).
Kejang menunjukkan suatu gejala klinik yang mendasari suatu
proses yang dapat disebabkan oleh berbagai macam. Ketika seorang
anak datang dengan keluhan kejang, harus diusahakan mencari
penyebabnya. Gambaran yang detail dari seorang saksi mata merupakan
faktor yang paling penting untuk mendiagnosis secara tepat. Bila riwayat
penyakit tampaknya tidak sesuai dengan kejang, diagnosis alternatif harus
dipikirkan (Friedman dan Sharieff, 2006).
Kejang pada anak dianggap sebagai kasus kedaruratan neurologi
yang perlu penanganan segera (Ridha, 2008). Suatu penelitian
retrospektif melaporkan bahwa kelainan berupa hemiparesis, disusul
diplegia dan koreoatetosis, dapat terjadi pada pasien yang mengalami
kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal (Berg, dkk.,
1992)
Anak yang datang dengan keluhan kejang yang pertama kali,
terbersit pertanyaan: “Apakah kejangnya akan berulang?” Pada penelitian
metaanalisis oleh Berg dan Shinnar, risiko terjadinya kejang berulang
setelah kejang pertama sebesar 40% akan mengalami kejang kedua
(Berg dan Shinnar, 1991; Shinnar, dkk., 1996). Data terakhir menunjukkan
bahwa kejang yang ketiga kalinya setelah yang kedua menjadi 80%
(Camfield, dkk., 1985).
Pemahaman mengenai kejang berulang pada anak masih sangat
terbatas bagi tenaga kesehatan kita. Dalam menentukan penyebab dasar
timbulnya kejang memerlukan suatu pemeriksaan yang khusus, sehingga
terkadang penderita terlambat dalam penanganan. Atas dasar ini, maka
penting untuk mengetahui faktor risiko sebagai diagnosis dini kejang
berulang pada anak.
Penelitian berbagai faktor risiko kejang berulang pada anak, setahu
penulis, belum pernah dilakukan, terutama di Sulawesi Selatan. Untuk
menekan morbiditas maupun mortalitas pada anak dengan risiko kejang
berulang, maka menurut penulis perlu untuk diteliti faktor risiko apa saja
yang berperan pada kejang berulang.
Beberapa penelitian mendeskripsikan bahwa faktor umur penderita,
jenis kelamin, suhu saat kejang, riwayat kejang dalam keluarga, riwayat
trauma kepala, gangguan metabolik, dan gangguan elektrolit darah
berperan terhadap terjadinya kejang berulang. Literatur lain mengatakan
bahwa infeksi, kelainan serebrovaskuler, dan keganasan juga
berpengaruh terhadap terjadinya kejang berulang. Namun, tidak diketahui
seberapa besarkah pengaruh dari masing-masing faktor risiko kejang
berulang tersebut saat kejang pertama terjadi.
Penilaian terhadap faktor risiko terhadap terjadinya kejang
berulang pada anak diharapkan dapat membantu sebagai deteksi awal
dalam memudahkan diagnosis dan mempercepat dalam penanganan
penyakit yang mendasarinya.
I. 2. Rumusan masalah :
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat
dirumuskan pertanyaan peneliti sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap terjadinya kejang
berulang pada anak?
2. Seberapa besar pengaruh faktor risiko terhadap terjadinya kejang
berulang pada anak?
I. 3. Tujuan penelitian
I. 3. 1. Tujuan umum
Mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan terhadap terjadinya
kejang berulang pada anak.
I. 3. 2. Tujuan khusus
1. Menentukan hubungan umur penderita saat kejang pertama
dengan kejang berulang pada anak.
2. Menentukan hubungan jenis kelamin dengan kejang berulang
pada anak.
3. Menentukan hubungan suhu saat kejang pertama dengan kejang
berulang pada anak.
4. Menentukan hubungan riwayat kejang dalam keluarga dengan
kejang berulang pada anak.
5. Menentukan hubungan riwayat trauma kepala saat kejang
pertama dengan kejang berulang pada anak.
6. Menentukan hubungan hipernatremia saat kejang pertama
dengan kejang berulang pada anak.
7. Menentukan hubungan hipoglikemia saat kejang pertama dengan
kejang berulang pada anak.
8. Menentukan besarnya pengaruh masing-masing faktor tersebut
dengan terjadinya kejang berulang pada anak.
I. 4. Hipotesis penelitian
1. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak usia < 18 bulan
daripada anak usia ≥ 18 bulan saat kejang pertama.
2. Kejadian kejang berulang pada anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan anak perempuan saat kejang pertama.
3. Kejadian kejang berulang pada anak dengan kejang tanpa
demam lebih tinggi daripada kejang dengan demam saat kejang
pertama.
4. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak dengan riwayat
kejang dalam keluarga dibandingkan dengan anak tanpa
riwayat kejang dalam keluarga saat kejang pertama.
5. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak dengan
riwayat trauma kepala dibandingkan dengan anak tanpa riwayat
trauma kepala saat kejang pertama.
6. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak yang
mengalami hipernatremia dibandingkan dengan hiponatremia
saat kejang pertama.
7. Kejadian kejang berulang lebih tinggi pada anak yang
mengalami hipoglikemia dibandingkan hiperglikemia saat kejang
pertama.
I. 5. Manfaat penelitian
I. 5. 1. Aspek teori / ilmu pengetahuan
1. Memberikan informasi ilmiah tentang faktor risiko terjadinya
kejang berulang pada anak.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian
lebih lanjut terutama dalam bidang patomekanisme genetik,
manifestasi klinik, laboratorium, radiologik penderita kejang
pada anak.
I. 5. 2. Aspek Aplikasi
Sebagai bahan pertimbangan terhadap kasus-kasus anak yang
dicurigai menderita kejang berulang agar mendapat penanganan secara
komprehensif, sehingga dapat menurunkan angka morbiditas pada pasien
kejang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Definisi
Kejang adalah gangguan pelepasan muatan listrik yang berlebihan
dari sekelompok neuron otak yang menyebabkan perubahan kesadaran
yang tidak disadari, berlangsung singkat, dan mengganggu perilaku,
aktivitas motorik, sensasi, serta fungsi otonom (Friedman dan Sharieff,
2006; Johnston, 2007).
Kejang berulang adalah dua episode kejang terpisah > 24 jam yang
menunjukkan adanya kelainan epileptik pada otak yang menimbulkan
rekurensi pada masa depan (Johnston, 2007).
II. 2. Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi tersering dijumpai, 3-5 %
terjadi pada anak, 4-10% anak menderita setidaknya satu kali bangkitan
kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Epilepsi terjadi 0,5-1 % dari
populasi dan 60 % kasus dimulai pada masa anak (Haslan, 2000; McAbee
dan Wark, 2000; Vining, 1994).
Insiden tertinggi pada anak kurang dari 3 tahun, dan frekuensi
menurun pada anak yang lebih tua. Penelitian epidemiologi menunjukkan
diperkirakan 150.000 anak akan mengalami kejang pertama yang tidak
terprovokasi setiap tahun, dan 30.000 anak tersebut akan berkembang
menjadi epilepsi (McAbee dan Wark, 2000; Vining, 1994).
II. 3. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kejang/konvulsi (Baird, 1992; Poerwadi, 1978):
1. Kejang pada bayi baru lahir (neonatal seizure) 0 – 28 hari
2. Kejang dengan demam
Tetanus
Kejang demam sederhana
Kejang demam komplikata
Kejang sebab radang intrakranial : ensefalitis, meningitis, abses
otak
3. Epilepsi
4. Lain – lain : trauma kepala, tumor, kelainan metabolik, gangguan
elektrolit, gangguan peredaran darah, obat – obatan.
II. 4. Patofisiologi
II. 4. 1. Fisiologi bangkitan kejang
Bangkitan kejang merupakan gejala lepasnya muatan listrik yang
berlebihan pada sekelompok sel-sel neuron di otak. Lepas muatan ini
dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis anatomis ke daerah di
sekitarnya atau ke daerah yang lebih jauh.
Bila terjadi aktivitas listrik yang berlebihan pada sekelompok
neuron, maka terdapat 3 hal yang mungkin terjadi, yaitu:
1. Aktivitas listrik tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan
terlokalisasi pada kelompok neuron tersebut.
2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan
seluruh otak.
3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak.
Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan kejang parsial,
sedangkan pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan
kejang tergantung pada letak sel neuron yang melepaskan muatan listrik
berlebihan serta penjalarannya (Verity, 1998; Johnston, 2007).
Sampai saat ini belum terungkapkan dengan jelas mekanisme apa
yang memulai atau yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepaskan
muatan secara sinkron dan berlebihan, dengan kata lain, sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti mekanisme terjadinya bangkitan kejang.
Untuk menerangkan proses yang mendahului bangkitan kejang dan
yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi yang berlebihan pada
sekelompok sel-sel neuron, ada beberapa mekanisme yang telah
dikemukakan, yaitu:
1. Gangguan pada mekanisme inhibisi pra dan pascasinaps
Sel-sel neuron saling berhubungan melalui sinaps-sinaps. Aksi
potensial yang terjadi pada satu neuron dihantarkan melalui
neuroakson yang kemudian melepaskan zat transmiter pada sinaps
yang dapat mengeksitasi dan menginhibisi membran pascasinaps.
Transmiter eksitasi (asetilkolin dan asam glutamat) mengakibatkan
depolarisasi. Zat transmiter inhibisi (glisin, GABA) menyebabkan
hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi, satu impuls dapat
mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinaps (Johnston,
2007).
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron
lainnya melalui sinaps eksitasi dan inhibisi, sehingga otak merupakan
struktur yang terdiri dari sel-sel neuron yang aktivitasnya saling
berhubungan dan saling mempengaruhi.
Pada keadaan normal terjadi keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan
bangkitan kejang. Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi dari
membran sel. Kegagalan dari mekanisme inhibisi mengakibatkan
terjadinya pelepasan muatan listrik berlebihan.
2. Meningkatnya eksitasi akibat gangguan pada mekanisme biokimiawi
yang mendasari potensial sinaps eksitasi. Pada binatang percobaan,
bangkitan kejang dapat ditimbulkan dengan asetilkolin pada korteks.
3. Gangguan pada membran sel neuron. Stabilisasi dan polarisasi
membran neuron berhubungan erat dengan keseimbangan ion pada
membran sel serta metabolisme oksidasi (Johnston, 2007).
II. 4. 2. Patomekanisme kejang berulang
Banyak penyelidikan yang telah dilakukan untuk menerangkan
tentang masalah kelistrikan kejang berulang/epilepsi, antara lain oleh
Herbert Jasper (Kanada), Lennox dan Gibbs (Amerika) antara tahun 1935
– 1945. Dari penyelidikan tersebut terungkap bahwa bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen, yang biasanya diketahui lokasinya, tetapi tidak selalu
diketahui sifatnya (Kari dan Nara, 1984).
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya
saling berhubungan. Pada umumnya hubungan antarneuron terjalin
dengan denyut listrik dan dengan bantuan zat kimia yang secara umum
disebut neurotransmiter. Hasil akhir dari komunikasi antarneuron ini
tergantung pada fungsi dasar dari neuron tersebut. Dalam keadaan
normal, lalu lintas denyut antarneuron berlangsung dengan baik dan
lancar. Namun demikian, bisa juga terjadi bahwa sebagian dari neuron
bereaksi secara abnormal. Hal ini misalnya terjadi apabila mekanisme
yang mengatur lalu lintas denyut antarneuron kacau bila breaking system
dari otak mengalami gangguan. Yang berperan dalam mekanisme
pengaturan ini adalah neurotransmiter kelompok glutamat (yang
mendorong ke arah aktivitas berlebihan (excitatory) dan kelompok GABA
(= gamma-aminobutyric acid, yang bersifat menghambat: inhibitory)
(Budiarto, dkk., 1998).
Kejang epileptik, apapun jenisnya, selalu disebabkan transmisi
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola normal
disebut sinkronisasi impuls. Sinkronisasi bisa terjadi hanya pada
sekelompok kecil neuron saja, atau kelompok yang lebih besar, atau
meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari
kelompok neuron yang ikut dalam proses sinkronisasi ini menimbulkan
manifestasi yang berbeda dari serangan epileptiknya: serangan epileptik
yang ditimbulkan juga menjadi sangat beragam. Bagaimana cara
terjadinya sinkronisasi tidak diketahui secara tepat (Budiarto, dkk., 1998).
Secara teoritis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini:
a. Keadaan fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal, sehingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila
konsentrasi Gamma amino butyric acid (GABA) tidak normal. Otak pasien
yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi
GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial
postsinaptik (IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat
reseptor GABA.
Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan
oleh hilang atau berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini merupakan
neurotransmiter inhibitorik utama di otak. Ternyata sistem GABA ini sama
sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa
menghasilkan inhibisi tidak lengkap yang akan menambah rangsangan.
Ada kesan bahwa peran GABA pada absence dan pada epilepsi konvulsif
tidak sama. Kini belum ada kesepakatan tentang peran GABA pada
epilepsi kronis.
b. Keadaan fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan, sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi jaringan neuron
penghambat normal, tetapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang
terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi
glutamat di otak. Sampai berapa jauh peran peningkatan glutamat ini pada
orang yang menderita epilepsi belum diketahui secara pasti.
Glutamat sejak lama diakui sebagai zat yang berperan pada sinaps
perangsang di korteks dan hipokampus. Hayashi pada tahun 1954
menemukan bahwa aplikasi glutamat topikal akan menimbulkan bangkitan
paroksimal seperti pada epilepsi. Kini diketahui bahwa sistem glutamat ini
juga terdiri dari beberapa subtipe reseptor lagi. Glisin diperlukan untuk
fungsi glutamat, sedangkan zink memblokir pengaruhnya bila diberikan
sebelum serangan dimulai (Budiarto, dkk., 1998).
II. 5. Faktor-faktor risiko kejang
Faktor-faktor risiko utama timbulnya kejang dapat ditinjau dari
beberapa aspek (Haslan, 2000; Menkes, 1995):
II. 5. 1. Predisposisi genetik (faktor genetik)
Berperanan antara lain pada kejang demam, insiden meningkat
jika ada riwayat keluarga kejang demam bervariasi antara 17-31%.
Sebagian besar studi menunjukkan transmisi pola autosomal dominan
(Aicardi, 1992). Dua penelitian MRI yang dilakukan terhadap dua keluarga
dengan seorang individu epilepsi lobus temporalis dan kejang
demam yang dipresentasikan akhir-akhir ini untuk mendukung
hipotesis kemungkinan faktor genetik terhadap sklerosis bagian mesial
lobus temporalis dilaporkan adanya asimetri hipokampal yang bahkan
juga ditemukan pada beberapa anggota keluarga yang lain, ini
menunjukkan adanya suatu kecenderungan genetik yang berperan
(Schulz dan Ebner, 2001).
Kejang akibat suatu genetik dapat tersembunyi atau dapat terjadi
sebagai bagian dari komplikasi medis dari kelainan genetik. Terdapat lebih
dari 149 sindrom genetik jarang berupa kejang, misalnya: sklerosis
tuberose, penyakit mitokondrial, dan kelainan metabolik. Risiko
berulangnya kejang dapat bervariasi tergantung diagnosis, sehingga
pemeriksaan genetik direkomendasikan untuk mengidentifikasi secara
tepat diagnosis suatu sindrom (Department of Human Genetics Division of
Medical Genetics, 2008).
Kebanyakan kelainan kejang tidak disebabkan oleh sindrom
genetik, tetapi masih dapat disebabkan oleh mutasi dari genetik.
Penelitian kelainan genetik kejang telah ditemukan mutasi yang
mempengaruhi aktivitas normal jalur saraf otak. Beberapa mutasi dapat
diturunkan atau baru ke dalam suatu keluarga, sehingga perlu suatu
pemeriksaan genetik untuk menemukan penyebab kelainan kejang
(Department of Human Genetics Division of Medical Genetics, 2008).
Interaksi yang rumit antara kemungkinan keterlibatan genetik dan
faktor lingkungan masih sulit dijelaskan. Untuk itu sebaiknya kelainan
kejang yang tidak dapat dijelaskan merupakan prediktor dari risiko
berulangnya masih bergantung kepada riwayat keluarga. Risiko kejang
meningkat pada derajat kekerabatan pertama keluarga (orang tua,
saudara kandung, dan anak) yang mempengaruhi suatu individu dan lebih
rendah pada hubungan kekerabatan yang jauh. Risiko berulang
diperkirakan lebih besar jika terdapat dua atau lebih kerabat dengan
kelainan kejang dan mungkin dipengaruhi oleh jenis kejang, usia saat
kejang, dan keterlibatan orang tua (Department of Human Genetics
Division of Medical Genetics, 2008).
Tabel 1. Risiko relatif berulangnya kejang (Department of Human Genetics
Division of Medical Genetics, 2008)
Saudara kandung 2,5%
Saudara kandung < 10 tahun 6%
Saudara kandung > 25 tahun 1-2%
Salah satu orang tua 4%
Kedua orang tua ~ 15%
Satu orang tua dan satu saudara kandung ~10%
Selain itu, penting untuk diingat > 90% orang dengan kelainan
kejang tidak dipengaruhi oleh kekerabatan dan banyak orang tua dengan
kejang tidak memiliki anak dengan kelainan kejang.
II. 5. 2. Perubahan metabolisme neuron (faktor biokimia)
Kelainan biokimia bertanggung jawab terhadap lepasnya
muatan listrik tidak terkontrol pada neuron, tetapi belum diketahui.
Suatu kejang dapat dihasilkan dari berbagai perubahan metabolik dan
sebaliknya menyebabkan perubahan-perubahan biokimia. Berbagai
perubahan metabolisme sel dapat menghasilkan depolarisasi parsial
neuron (Haslan, 2000; Menkes, 1995; Snodgrass, 2006):
1. Perubahan rasio dari konsentrasi asam glutamat terhadap gamma
amino butyric acid (GABA).
2. Anoksia menurunkan produksi ATP pada suatu kadar yang tak
cukup untuk memelihara potensial membran istirahat yang normal.
3. Hiponatremia dan hipernatremia mengganggu fungsi sistem saraf
pusat dengan mengubah osmolalitas sel otak.
4. Hipokalsemia dan hiperkalsemia menimbulkan gejala neurologi
dengan mengganggu potensial aksi (impuls saraf).
5. Hipoglikemia menurunkan fungsi normal siklus Krebs dan
menggantinya dengan pemanfaatan GABA sebagai substrat untuk
menghasilkan energi.
6. Kelainan metabolisme asetilkolin, juga bertanggung jawab terhadap
terjadinya kejang.
II. 5. 2. 1. Hiponatremia
Natrium klorida (NaCl) bertanggung jawab untuk fraksi osmolaritas
cairan tubuh yang terbesar, kecuali endolimfe koklear. Perubahan dalam
konsentrasi natrium plasma gejala yang sering dan pertama dalam
intoksikasi air atau kekurangan air. Cairan ekstraseluler otak secara
normal isotonus dengan plasma. Jika osmolaritas plasma berubah dengan
cepat, otak bertindak sebagai osmometer – otak bengkak ketika
osmolaritas plasma menurun dan mengkerut ketika osmolaritas plasma
meningkat karena kehilangan air.
Hiponatremia dapat diakibatkan oleh peningkatan cairan tubuh
dengan retensi dari cadangan natrium normal. Hal ini paling sering terjadi
pada gangguan elektrolit, terjadi sekitar 2,5% dari pasien yang dirawat,
dan lebih sering pada pasien neurologi dan bedah neurologi (Anderson,
dkk., 1985). Hiponatremia seringkali dikaitkan dengan edema serebri dan
meningkatkan angka mortalitas (Arieff, dkk., 1992).
Pasien dengan hiponatremia memiliki gejala neurologi (58%) dan
kematian (19%). Gejala neurologi hiponatremia termasuk sakit kepala,
mual, gangguan koordinasi, delirium, dan seringkali kejang umum atau
fokal disertai apnea, dan opistotonus. (Mangos dan Lobeck, 1964;
Editorial, 1992; Snodgrass, 2006).
II. 5. 2. 2. Hipernatremia
Peningkatan konsentrasi natrium dalam cairan tubuh meningkatkan
osmolalitas cairan dan menyebabkan manifestasi serebri yang berat
(Snodgrass, 2006). Luttrell dan Finberg telah mengungkapkan dengan
terperinci faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk gejala neurologi,
yaitu: subdural hematom, kongesti kapiler dan vena, dan pendarahan
yang diakibatkan dari mengkerutnya otak selama dehidrasi (Luttrell dan
Finberg, 1959).
Hipernatremia sering terjadi pada bayi muda usia < 6 bulan.
Gangguan natrium lebih dari separuhnya yang terjadi setelah perawatan
merupakan petanda dari kegagalan terapi. Pasien dengan hipernatremia
lebih sering menunjukkan gejala neurologis (79%) dan kematian (37%)
daripada anak dengan hiponatremia. Pasien mengalami gangguan
kesadaran yang bervariasi dan hiperpireksia. Diperkirakan sepertiga
pasien mengalami kejang umum dan spastik. Kelainan neurologis fokal,
terutama hemiparesis, tampak pada 10% pasien. Finberg menemukan
pendarahan subdural pada bayi dengan hipernatremia. Pada beberapa
gejala neurologis, terutama kejang, tidak tampak sampai 24-48 jam
setelah terapi cairan dimulai. Gejala ini sama digambarkan pada edema
serebri dan penurunan ambang kejang saat rehidrasi otak (Hogan, dkk.,
1969; Finberg, 1959; Dunn dan Butt, 1997; Snodgrass, 2006).
II. 5. 2. 3. Hipoglikemia
Beberapa penulis mengatakan bahwa hipoglikemia menyebabkan
topografi lesi serebri yang berbeda dengan hypoxic-ischemic
encephalopathy (HIE), pada keterlibatan substansia abu-abu (grey matter)
(Auer dan Sutherland, 2002). Ada banyak pengecualian pada pernyataan
ini, dan penelitian gambaran otak selalu menunjukkan lesi talamus dan
substansia putih (white matter) berhubungan dengan hipoglikemia pada
neonatus (Barkovich, dkk., 1998).
Pendarahan atau infark biasanya tidak ada, meskipun setelah
terjadi hipoglikemia yang berat. Sama seperti pada hipoksia, akumulasi
neurotransmiter berperanan penting dalam patogenesis kerusakan saraf
dan kematian (Auer, 1986).
Manifestasi klinik hipoglikemia pada neonatus berbeda dari yang
lain. Gejala yang ditimbulkan juga nonspesifik, seperti: tremor, apnea,
sianosis, takipnea, kejang, dan kesadaran menurun. Gejala hipoglikemia
dapat terlihat segera 1 jam setelah lahir, terutama pada bayi prematur,
tetapi biasanya muncul setelah 3-24 jam. Diperkirakan 25%, hipoglikemia
tidak menimbulkan gejala setelah 24 jam (Raivio, 1968).
Saat bayi yang lebih tua dan anak-anak menunjukkan gejala
hipoglikemia, kondisi ini timbul bersamaan dengan gejala otonom yang
memperberat gangguan fungsi neurologis. Kadar glukosa serum yang
menimbulkan gejala kejang bervariasi, tetapi setiap anak dengan kadar
glukosa darah ≤ 46 mg/dl dicurigai mengalami hipoglikemia. Gejala
otonom timbul akibat peningkatan sekresi adrenalin, berupa palpitasi,
cemas, pucat, berkeringat, iritabel, dan tremor (Gregory dan Aynsley-
Green, 1993).
Hampir semua anak menderita kejang umum atau fokal saat
mengalami hipoglikemia berat. Pemberian glukosa intravena segera pada
pasien tidak melibatkan gangguan batang otak. Pada anak dengan
kesadaran menurun yang lama atau terjadi serangan hipoglikemia yang
berulang, prognosis untuk sembuh sempurna sangat jelek, dan
diperkirakan setengah dari pasien ini mengalami retardasi mental
(Haworth dan Coodin, 1960).
Tidak jarang, para klinikus menemukan anak yang mengalami
kejang pertama akibat hipoglikemia, tetapi berlanjut mengalami kejang
berulang tanpa hipoglikemia. Meskipun lamanya hipoglikemia dapat
memicu kerusakan hipokampus dan menimbulkan kejang fokal,
tampaknya kerusakan hipokampus yang tersembunyi meskipun sangat
jarang, merupakan penyebab kejang berulang dan tidak dihubungkan
dengan kejadian hipoglikemia (Wayne, dkk., 1990).
II. 5. 3. Perubahan-perubahan neuropatologi (faktor neuropatologi)
Semua jaringan otak yang patologik, apakah atrofi,
malformasi, atau neoplasma, secara elektrik menjadi lemah,
sehingga neuron epileptogenik ini akan menyebabkan fungsi metabolisme
sel menjadi abnormal bahkan pada lokasi di sekitar dari berbagai lesi ini
(Poerwadi, 1978).
II. 6. Diagnosis
Penegakan diagnosis tidak selalu mudah dan merupakan analisis
dari berbagai aspek. Diagnosis kejang pada anak membutuhkan riwayat
penyakit yang lengkap karena banyak kemungkinan penyebab kejang
atau kondisi yang dapat menimbulkan kejang. Riwayat harus difokuskan
baik saat sebelum episode kejang maupun segera setelah kejang.
Informasi yang diperlukan termasuk durasi, gerakan, mata, biru,
kehilangan kesadaran, aura, inkontinensia, lama periode postiktal, dan
kelainan neurologis fokal setelah kejang. Informasi lebih lanjut yang perlu
didapat termasuk faktor pemicu penting seperti trauma, terpapar zat
beracun, riwayat imunisasi, demam, atau tanda lain sistemik penyakit.
Riwayat pengobatan di rumah juga penting ditanyakan. Jika diketahui
seorang anak memiliki kelainan kejang, maka penting untuk memastikan
apakah saat kejang yang terakhir berbeda dengan kejang sebelumnya,
frekuensi kejang dengan tipe yang sama pada pasien, obat-obatan yang
dipakai pasien dan keteraturan minum obat atau adanya perubahan
pengobatan akhir-akhir ini. Riwayat tambahan penting lainnya termasuk
masalah medis penting (kelainan neurologis, VP-shunt, atau
keterlambatan perkembangan), riwayat bepergian akhir-akhir ini, dan
riwayat kejang dalam keluarga (Shneker dan Fountain, 2003; Friedman
dan Sharieff, 2006).
Pemeriksaan fisik dan neurologis harus dilakukan. Tanda-tanda
vital, termasuk suhu, nadi, dan tekanan darah harus diperiksa. Demam
merupakan penyebab tersering kejang pada anak. Pada pemeriksaan
kepala harus diperiksa mikrosefali, dismorfik, tanda-tanda trauma, dan
keberadaan VP-shunt. Pada bayi, pengukuran lingkar kepala dapat
menolong. Fontanela yang menonjol mengindikasikan adanya tekanan
intrakranial yang meningkat. Pemeriksaan mata dilakukan untuk melihat
adanya edema papil dan perdarahan retina. Pemeriksaan rangsang
meningeal pada leher. Pembesaran hati dan limpa menunjukkan adanya
penyakit metabolik. Penilaian kulit untuk lesi seperti bercak cafe’ au lait
(neurofibromatosis), adenoma sebasea atau bercak ash leaf (sklerosis
tuberosa), dan bercak port wine (sindrom Sturge-Weber). Lebam yang
tidak dapat dijelaskan juga meningkatkan kecurigaan adanya kelainan
pendarahan atau kekerasan pada anak (Shneker dan Fountain, 2003;
Friedman dan Sharieff, 2006).
II. 7. Diagnosis banding
Kejang merupakan gejala klinis suatu proses patologis yang
mendasari dengan berbagai kemungkinan penyebab (Tabel 2). Saat anak
datang dengan kejang, setiap usaha perlu dilakukan untuk menentukan
penyebabnya. Perlu juga dibedakan kejang dan kondisi nonepileptik lain
yang menyerupai aktivitas kejang (Tabel 3). Deskripsi yang lengkap saat
terjadi kejang dari seorang saksi mata merupakan faktor paling penting
dalam keakuratan diagnosis. Jika riwayat penyakit tampaknya tidak sesuai
dengan kejang, maka diagnosis alternatif harus dipikirkan (Friedman dan
Sharieff, 2006).
Tabel 2. Penyebab kejang
Infeksi
Abses otak
Ensefalitis
Kejang demam
Meningitis
Neurosistiserkosis
Neurologi atau perkembangan
Trauma lahir
Anomali kongenital
Penyakit degeneratif serebri
Ensefalopati hipoksik-iskemik
Sindroma neurokutaneus
Malfungsi Ventrikuloperitoneal
shunt
Metabolik
Hiperkarbia
Hipokalsemia
Hipoglikemia
Traumatik atau vaskular
Kontusio serebri
Cerebrovascular accident
Kekerasan pada anak
Trauma kepala
Pendarahan intrakranial
Toksikologi
Alkohol, amfetamin, antihistamin,
antikolinergik
Kokain, karbon monoksida
Isoniazid
Timbal, lithium, lindan
Hipoglikemia oral, organofosfat
Fensiklidin, fenotiazin
Salisilat, simpatomimetik
Antidepresan trisiklik, teofilin,
anestesi topikal
Withdrawals (alkohol,
Hipomagnesemia
Hipoksia
Metabolisme inborn errors
Defisiensi piridoksin
antikonvulsan)
Idiopatik atau epilepsi
Obstetri (eklampsia)
Onkologi
Tabel 3. Kondisi pada anak yang sering salah untuk kejang
Kelainan dengan gangguan
perubahan kesadaran
Apnea and sinkop
Breath-holding spells
Disaritmia kardiak
Migrain
Kelainan gerakan paroksismal
Distonia akut
Mioklonus benigna
Pseudoseizures
Shuddering attacks
Spasmus mutans
Tiks
Gangguan tidur
Narkolepsi
Night terrors
Sleepwalking
Kelainan psikologis
Attention deficit hyperactivity
disorder
Hiperventilasi
Histeria
Serangan panik
Refluks gastroesofageal (sindrom
Sandifer)
II. 8. Pemeriksaan penunjang
Kadar gula darah puasa sebaiknya diambil untuk evaluasi awal,
begitu pula kalsium, fosfor, natrium dan magnesium hendaknya diperiksa
pula. Pemeriksaan-pemeriksaan metabolik khusus juga dapat dilakukan
pada kejang neonatal. Pemeriksaan cairan serebrospinalis diindikasikan
jika kejang diduga berhubungan dengan suatu proses infeksi, pendarahan
subaraknoid atau gangguan demielinisasi (Haslan, 2000, Baird, 1992).
Titer Syphillis Toxoplasmosis AIDS Rubella Cytomegalovirus Herpes
Simplex (STARCH) seharusnya diperoleh untuk pelacakan kemungkinan
adanya infeksi kongenital (Brown dan Snead, 1993).
Pemeriksaan Electroencephalography (EEG) dianjurkan sebagai
pemeriksaan tambahan yang dapat dikerjakan pada anak dengan kejang
(Haslan, 2000). Pemeriksaan penunjang lain, foto polos kepala hanya
berguna untuk kejang post trauma untuk mengetahui ada tidaknya fraktur
(Poerwadi, 1978).
Peranan Computed Tomography Scan (CT-Scan) kepala atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada pelacakan penyebab kejang
masih kontroversial. Prosedur pemeriksaan ini rutin digunakan pada
pasien dengan kejang fokal tanpa demam pertama kali. CT-Scan
seharusnya direncanakan pula pada pasien dengan lesi intrakranial yang
diduga mendasari adanya kelainan neurologi. Indikasi MRI termasuk
kejang parsial kompleks, frekuensi kejang meningkat atau bertambah
berat, pola kejang yang berubah-ubah, adanya bukti peninggian tekanan
intrakranial atau trauma dan kejang pertama kali pada masa remaja
(Haslan, 2000).
II. 9. Tatalaksana
Pengobatan kejang pada anak terdiri dari (Aicardi, 1992; Aicardi,
1986):
II. 9. 1. Tatalaksana kejang pada fase akut
Pada fase akut kejang, anak ditempatkan pada posisi semiprone
lateral untuk membatasi bahaya aspirasi dan memelihara jalan napas
tetap adekuat (Aicardi, J., 1986). Diazepam adalah obat pilihan pertama
secara intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3 mg-0,5
mg/kgBB dengan kecepatan 0,5 ml/menit. Intrarektal 0,5-0,75 mg/kgBB
atau 5 mg pada anak BB kurang 10 kg dan 10 mg pada anak lebih 10 kg.
Bila terdapat panas, ditekankan pentingnya menurunkan suhu tubuh.
Panas berlebihan pada anak dihindari, selimut yang tebal segera
dikeluarkan. Suhu dikurangi dengan kompres hangat biasanya
disarankan. Penggunaan antipiretik masih kontroversial (Aicardi, 1986).
Penyelidikan terpenting pada fase akut adalah mencari dan
mengobati penyebab. Pemeriksaan cairan serebrospinal umumnya
disarankan pada semua bayi-bayi dengan kejang pertama kali. Namun,
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus tertentu
terutama pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan cepat atau pada
kasus yang dicurigai meningitis. Pada bayi kecil sering gejala meningitis
tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada penderita yang berumur kurang
dari 18 bulan (Aicardi, 1986).
II. 9. 2. Profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dengan kadar darah
sebesar 16 µg/ml. Efek samping utama terhadap perilaku berupa kelainan
watak seperti iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada
30% - 50% anak. Efek samping ini dapat dikurangi dengan menurunkan
dosis sampai diperoleh kadar darah sebesar 11 µg/ml atau kurang
(Ismael, dkk., 1999; Aicardi, 1986).
Pengobatan pencegahan terhadap rekurensi kejang dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara risiko dan keuntungan
pengobatan tersebut. Pengobatan profilaksis terus-menerus terhadap
berulangnya kejang secara umum tidak disarankan (Aicardi, 1992).
II. 10. Prognosis
Faktor-faktor risiko untuk berkembang menjadi epilepsi sebagai
suatu komplikasi dari kejang, termasuk riwayat epilepsi pada keluarga
positif, kejang pertama sebelum usia 9 bulan, kejang lama atau atipik,
temuan-temuan kelainan neurologi dan gangguan perkembangan. Insiden
epilepsi 9% jika beberapa faktor risiko ada, dibandingkan anak kejang
tanpa faktor risiko insidennya hanya 1%. Prognosis dari kejang secara
umum baik. Kira-kira 65%-75% dari anak hanya satu episode kejang dan
sebagian 2 atau 3 episode. Hanya 9% lebih dari 3 episode. Prognosis
perkembangan neurologi dari kejang adalah baik, kecuali pasien-pasien
yang berkembang menjadi epilepsi beberapa diantaranya menjadi
retardasi (Haslan, 2000).
KERANGKA TEORI
Gangguan mekanisme inhibisi
Gangguan membran neuron
Umur Jenis Kelamin Suhu Riwayat Kejang dalam Keluarga
Riwayat Trauma Kepala
Hilang/berkurangnya GABA
- Bertambahnya kadar asam glutamat
- Gangguan metabolisme asetilkolin
Meningkatnya eksitasi
Ketidakseimbangan Elektrolit
Hipoglikemia
Epileptogenesis Kejang Berulang
- Perubahan osmolalitas intraseluler
- Akumulasi agen toksik intraseluler
Imaturitas otak
Genetik
BAB III
KERANGKA KONSEP
Bagan ini menerangkan berbagai kedudukan dan peran variabel yang menjelaskan hubungan berbagai faktor risiko pada kejang
pertama terhadap kejadian kejang berulang
Keterangan:
Variabel bebas Hubungan variabel bebas
Variabel tergantung
Hubungan variabel tergantung
Variabel antara Hubungan variabel antara
Variabel kendali Hubungan variabel kendali
Umar saat kejang pertama
Jenis kelamin
Suhu saat kejang pertama
Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat trauma kepala saat kejang
pertama
Gangguan elektrolit saat kejang pertama
Gula darah sewaktu saat
kejang pertama
Kejang berulang
Tetanus Kelainan intrakranial
Hipertensi Ensefalopati
Gangguan mekanisme
inhibisi
Meningkatnya eksitasi
Gangguan membran
neuron
Hilang/berkurangnya GABA
- Bertambahnya kadar asam glutamat
- Gangguan metabolisme asetilkolin
Epileptogenesis
- Perubahan osmolalitas intraseluler
- Akumulasi agen toksik intraseluler
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
IV. 1. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol mengenai identifikasi
faktor risiko penderita kejang berulang dengan menentukan kejang
berulang (KB) sebagai kasus dan kejang tidak berulang (KTB) sebagai
kontrol, kemudian menelusuri faktor risiko umur, jenis kelamin, suhu saat
kejang, riwayat kejang dalam keluarga, riwayat trauma kepala, kadar
elektrolit darah, dan metabolik pada saat kejang pertama.
IV. 2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di instalasi rawat inap/catatan medis Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK-UNHAS/RS Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar mulai bulan Januari sampai Juni 2013.
IV. 3. Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah semua penderita yang mengalami
kejang berulang yang berumur > 1 bulan sampai 15 tahun, sedangkan
populasi kontrol adalah semua penderita yang mengalami kejang satu kali
sampai umur 15 tahun.
IV. 4. Sampel dan cara pengambilan sampel
Sampel diambil dari populasi dengan cara sebagai berikut:
1. Sampel berasal dari populasi terjangkau dan diperoleh berdasarkan
urutan masuknya di rumah sakit (consecutive sampling).
2. Menyeleksi sesuai kriteria inklusi untuk kasus, yaitu yang mengalami
KB dan KTB sebagai kontrol.
3. Menetapkan responden penelitian, yaitu ibu atau ayah kandung atau
wali penderita untuk mengkonfirmasi ada tidaknya kejang dalam
keluarga.
IV. 5. Perkiraan besar sampel
Dengan desain kasus kontrol, diperkirakan odds ratio (OR) = 2,
proporsi efek pada kelompok kontrol sebesar 0,2 dengan nilai kemaknaan
sebesar 0,05 dan power sebesar 80% maka perkiraan besar sampel
dapat dihitung sebagai berikut :
2P - P
QP QPz PQ2z n
21
2
2 21 1βα
20,006 - 0,2
(0,2x0,99 x0,8)006,0(0,842 )2(0,1x0,9996,1 n
2
n = 40
Keterangan :
P2 = 0,2
z = 1,96
z = 0,84
OR = 2
P1 = 0,006
P = ½ (P1+P2) = 0,1
Q = 1 – P = 0,99
Q1 = 1 – P1 = 0,8
Q2 = 1 – P2 = 0,99
Hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel adalah 40 orang untuk anak
dengan kejang berulang.
IV. 6. Kriteria inklusi dan eksklusi
IV. 6. 1. Kriteria inklusi
Semua penderita yang mengalami kejang satu kali yang berumur
> 1 bulan sampai umur 15 tahun.
Semua penderita yang mengalami kejang berulang yang berumur
> 1 bulan sampai umur 15 tahun.
Memiliki data lengkap dalam catatan medik rumah sakit bagi
subyek yang mengalami kejang saat pertama kali maupun kejang
berulang.
IV. 6. 2. Kriteria eksklusi
Anak dengan tetanus.
Anak dengan hipertensi ensefalopati.
Anak dengan kejang yang disebabkan oleh kelainan intrakranial:
meningitis, ensefalitis, abses otak, tumor otak, hidrosefalus,
hiperbilirubinemia.
IV. 7. Izin penelitian dan ethical clearance
Dalam melaksanakan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan
setelah izin dari direktur rumah sakit (lampiran 1) dan atas seizin bagian
catatan medik sebagai tembusan. Penelitian ini dinyatakan memenuhi
persyaratan etik untuk dilaksanakan oleh Komisi Etik Penelitian Biomedis
pada Manusia, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (lampiran 2).
IV. 8. Cara kerja
IV. 8. 1. Alokasi subyek
1. Subyek penelitian adalah penderita kejang yang memenuhi
syarat inklusi dan eksklusi.
2. Subyek penelitian terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
a. Kelompok penderita KB
b. Kelompok penderita KTB.
3. Kedua kelompok ditelusuri melalui catatan medik mengenai
umur, jenis kelamin, suhu saat kejang, riwayat kejang dalam
keluarga, riwayat trauma kepala, kadar elektrolit darah, dan
metabolik.
IV. 8. 2. Cara penelitian
IV. 8. 2. 1. Prosedur penelitian
Pada setiap sampel dilakukan pencatatan data :
1. Umur, jenis kelamin, suhu saat kejang, riwayat kejang dalam
keluarga, riwayat trauma kepala, kadar elektrolit darah, dan
glukosa darah sewaktu (GDS) saat kejang pertama.
2. Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya yang
mendukung diagnosis kejang berulang pada anak.
3. Pengumpulan data diperoleh dari rekam medik, kemudian
dianalisis.
IV. 8. 2. 2. Skema alur penelitian
Populasi anak dengan kejang
Seleksi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi
Kasus 40 KB
Kontrol 40 KTB
Faktor risiko (+)
- Umur saat kejang pertama kali
- Jenis kelamin - Suhu badan saat kejang
pertama kali - Riwayat kejang dalam
keluarga - Riwayat trauma kepala
saat kejang pertama kali - Kadar natrium saat kejang
pertama kali - Kadar glukosa darah
sewaktu saat kejang pertama kali
- Umur saat kejang pertama kali
- Jenis kelamin - Suhu badan saat kejang
pertama kali - Riwayat kejang dalam
keluarga - Riwayat trauma kepala
saat kejang pertama kali - Kadar natrium saat kejang
pertama kali - Kadar glukosa darah
sewaktu saat kejang pertama kali
Faktor risiko (-)
Faktor risiko (+)
Faktor risiko (-)
IV. 8. 2. 3. Prosedur Pemeriksaan
Pada setiap sampel dilakukan pencatatan data:
a. Pengambilan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik:
o Umur
o Jenis kelamin
o Tanda-tanda vital: suhu tubuh, nadi, pernapasan,
tekanan darah, tingkat kesadaran.
o Manifestasi klinik sebagai penyebab kejang.
b. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya
o Pemeriksaan rutin darah, elektrolit darah, GDS, urin dan
tinja
o Konsul antardivisi atau bagian lain jika penyebab kejang
tidak jelas
o Dilakukan pungsi lumbal jika ada indikasi.
c. Pengumpulan data riwayat kejang dalam keluarga
menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan.
Kuesioner ini diisi oleh responden dengan penjelasan dan
didampingi oleh peneliti. Pengisian oleh responden adalah
sukarela dan diberitahu bahwa kerahasiaannya akan terjamin.
d. Pengumpulan data umur, riwayat kejang dalam keluarga, suhu
badan, kadar natrium, dan GDS diperoleh dari catatan medik
pada saat pasien dirawat ketika mengalami kejang pertama.
IV. 9. Identifikasi dan klasifikasi variabel
IV. 9. 1. Identifikasi variabel
1. Kejang berulang
2. Faktor-faktor risiko:
Faktor umur
Faktor jenis kelamin
Faktor suhu badan saat kejang pertama
Faktor riwayat kejang dalam keluarga
Faktor riwayat trauma kepala saat kejang pertama
Faktor kadar natrium dalam darah saat kejang pertama
Faktor kadar glukosa sewaktu dalam darah saat kejang
pertama
3. Mekanisme terjadinya kejang berulang
4. Tetanus
5. Hipertensi ensefalopati
6. Kelainan intrakranial
IV. 9. 2. Klasifikasi Variabel
Dalam penelitian ini beberapa variabel dapat diidentifikasi
berdasarkan peran dan skalanya :
1. Variabel bebas adalah faktor-faktor risiko: umur, suhu saat kejang
merupakan variabel numerik. Jenis kelamin, riwayat kejang dalam
keluarga, riwayat trauma kepala, hipernatremia, hiponatremia, dan
hipoglikemia merupakan variabel kategorikal.
2. Variabel tergantung adalah kejang berulang pada anak yang
merupakan variabel kategorikal.
3. Variabel antara adalah pato-mekanisme kejang yang menyebabkan
terjadinya kejang berulang yang tidak diamati dan diukur.
4. Variabel kendali adalah penderita tetanus dan kelainan intrakranial
yang juga memiliki hubungan terhadap terjadinya kejang berulang
yang dikendalikan, yang merupakan variabel kategorikal.
IV. 10. Definisi operasional dan kriteria obyektif
IV. 10. 1. Definisi operasional
Kejang berulang adalah kejang lebih dari satu kali dalam episode
kejang yang berbeda dalam waktu > 24 jam dari kejang pertama.
Umur saat kejang pertama adalah lama hidup anak sejak dilahirkan
hingga mengalami kejang pertama yang dinyatakan dalam tahun,
bulan dan hari.
Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan yang ditentukan
berdasarkan catatan medik.
Suhu saat kejang pertama adalah panas badan yang diukur secara
aksila dengan menggunakan termometer air raksa segera setelah
terjadinya kejang pertama.
Ada riwayat kejang dalam keluarga adalah jika salah satu atau lebih
dari anggota keluarga pernah menderita kejang, yaitu:
a. Saudara kandung penderita
b. Ayah kandung
c. Ibu kandung
d. Saudara kandung ayah
e. Saudara kandung ibu
f. Kakek dari pihak ayah
g. Kakek dari pihak ibu
h. Nenek dari pihak ayah
i. Nenek dari pihak ibu
Ada riwayat trauma kepala saat kejang pertama adalah jika kejang
timbul segera, awal, atau lambat dalam waktu kurang dari 7 hari
setelah trauma kepala saat kejang pertama.
IV. 10. 2. Kriteria obyektif
Suhu badan:
≥ 37, 8oC : Demam
36 – 37,7oC : Normal
Umur:
< 18 bulan : faktor risiko KB
≥ 18 bulan : bukan faktor risiko KB
Ketidakseimbangan elektrolit:
Hiponatremia: kadar Natrium darah < 130 mmol/l
Hipernatremia: kadar Natrium dalam darah > 145 mmol/l
Hipoglikemia: kadar glukosa sewaktu dalam darah <60 mg/dl
IV. 11. Pengolahan dan analisis data
Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis
data ke dalam kelompok kejang berulang dan kejang tidak berulang
kemudian dianalisis secara masing-masing dengan metode statistik yang
sesuai.
IV. 11. 1. Analisis univariat
Digunakan untuk deskripsi karakteristik data dasar penelitian
berupa rentangan, rerata, standar deviasi dan frekuensi.
IV. 11. 2. Analisis bivariat
a. Uji Student t: digunakan untuk menganalisis data dengan variabel
bebas berskala numerik dan variabel tergantung berskala nominal
yang datanya terdistribusi normal dan mempunyai varians yang sama,
dalam hal menilai kemaknaan faktor risiko terhadap penderita yang
mengalami KB dan KTB
b. Uji Mann-Whitney: digunakan untuk menganalisis data dengan variabel
bebas berskala numerik dan variabel tergantung berskala nominal
yang datanya tidak terdistribusi normal dan mempunyai varians
berbeda. Untuk uji normalitas digunakan uji Kolmogorov-
Smirnov/Shapiro-Wilk. Untuk uji kesamaan varians digunakan uji
Levene.
c. Uji X2 (Chi-square) atau Fisher’s Exact test: untuk membandingkan 2
variabel yang berskala nominal antara 2 kelompok atau lebih yang
tidak berpasangan, dalam hal menilai kemaknaan faktor risiko
terhadap penderita KB dan KTB.
d. Menghitung crude odds ratio dengan confidence interval (CI) 95%
untuk menentukan besarnya peluang terjadinya kejang berulang.
Hasil uji hipotesis ditetapkan sebagai berikut :
1. Tidak bermakna, bila p > 0,05
2. Bermakna, bila p 0,05
3. Sangat bermakna, bila p < 0,01
4. Odds ratio dengan CI 95% > 1 menunjukkan bahwa faktor yang
diteliti memang merupakan faktor risiko.
5. Odds ratio dengan CI 95% -1 sampai 1 menunjukkan bahwa
faktor yang diteliti bukan merupakan faktor risiko.
6. Odds ratio dengan CI 95% < 1 menunjukkan bahwa faktor yang
diteliti merupakan faktor protektif.
BAB V
HASIL PENELITIAN
V.1. Jumlah Sampel
Selama jangka waktu penelitian mulai bulan Januari sampai Juni
2013 telah dilakukan identifikasi faktor risiko KB terhadap 80 anak yang
memenuhi kriteria untuk diteliti.
V.2. Karakterisitik Sampel
Karakteristik sampel pada kelompok KB dan KTB dapat dilihat pada
tabel 4.
Dari seluruh sampel yang ada (80) anak, pada kelompok KB
terdapat 23 (57,5%) laki-laki dan 17 (42,5%) perempuan, sedangkan pada
kelompok KTB laki-laki 24 (60%) dan perempuan 16 (40%). Pada
kelompok KB terdapat 14 (35%) yang mempunyai riwayat kejang dalam
keluarga dan 26 (65%) tidak ada, sedangkan pada kelompok KTB
terdapat 17 (42,5%) yang mempunyai riwayat kejang dalam keluarga dan
23 (57,5%) tidak ada. Pada kelompok KB terdapat 4 (10%) yang
mempunyai riwayat trauma kepala saat kejang pertama kali dan 36 (90%)
tidak ada, sedangkan pada kelompok KTB terdapat 5 (12,5%) yang
mempunyai riwayat trauma kepala saat kejang pertama kali dan 35
(87,5%) tidak ada. Rerata umur saat kejang pertama kali pada KB 2,9
tahun (rentangan 0,08-14,58) dan rerata pada KTB 11,8 tahun (rentangan
8,41-13,75).
Tabel 4. Karakteristik kelompok KB dan
KTB
Nilai p
0,000
2. Jenis Kelamin L : P 0,820
0,243
0,491
0,723
0,466
0,809
85,9
88
11,8
12
38,45
38,55
38,57
6. Kadar Natrium Saat Kejang Pertama Kali (mmol/l)
Rentangan
Standar deviasi
120-153
6,23
0,90
5. Riwayat Trauma Kepala Saat Kejang Pertama
137
2,9
1,83
136,5
136
7. Kadar Glukosa Darah Saat Kejang Pertama (mg/dl)
Rentangan
1,12
0,08 - 14,58
Rerata
Median
Standar deviasi
20-136
Ada
Tidak Ada
4 (10)
36 (90)
Median
Rerata
Median
Rerata
64-126
22,37 14,66
5 (12,5)
35 (87,5)
130-146
3,84
137,35
86,95
85
8,41 - 13,75
3,26 1,28
3. Suhu Saat Kejang Pertama kali (oC)
Rentangan 36,5 - 40,5 36,8 - 40
Rerata
Median
Rentangan
24 : 16 (60:40)
4. Riwayat Kejang Dalam Keluarga
Ada
Tidak Ada
14 (35) 17 (42,5)
26 (65) 23 (57,5)
39
Standar deviasi
Standar deviasi
Kelompok
KBVariabel
N (%) = 40 (50%)
KTB
N (%) = 40 (50%)
1. Umur Saat Kejang Pertama Kali (tahun)
23 : 17 (57,5 :42,5)
L: Laki-laki P: Perempuan ( ) : Nilai persentase
Rerata suhu pada KB 38,450C dengan rentangan 36,5-40,50C dan rerata
pada KTB 38,570C dengan rentangan 36,8-400C. Rerata kadar natrium
saat kejang pertama kali pada KB 136,5 mmol/l dengan rentangan 120-
153 mmol/l dan rerata pada KTB 137,35 mmol/l dengan rentangan 130-
146 mmol/l. Rerata kadar glukosa darah sewaktu saat kejangg pertama
kali pada KB 86,93 mg/dl dengan rentangan 20-136 mg/dl dan rerata pada
KTB 85,9 mg/dl dengan rentangan 64-126 mg/dl.
V.3. Penjaringan Faktor Risiko KB
Dalam penjaringan faktor risiko digunakan analisis bivariat.
Analisis hubungan antara umur saat kejang pertama kali antara KB
dan KTB dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hubungan umur saat kejang pertama kali antara KB dan KTB
19 (100%)
21 (34,5%)
Umur Saat KelompokTotal
Kejang Pertama KB KTB
Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)
0 (0%)
40 (65,5%)
19 (100%)
61 (100%)
< 18 bln
≥ 18 bln
X2=24,918 df=1 p = 0,000 (p<0,01) COR = 2,905 (CI 95%:2,05 – 4,10)
Frekuensi kejadian KB pada kelompok umur < 18 bln saat kejang
pertama kali (100%) lebih tinggi daripada frekuensi kejadian KB pada
kelompok umur ≥ 18 bln (34,5%). Analisis statistik memperlihatkan
terdapat perbedaan yang sangat bermakna umur saat kejang pertama
antara KB dan KTB, dengan nilai p=0,000 (p<0,01). Nilai crude odds ratio
(COR) = 2,905 dengan interval kepercayaan 95% (2,05 – 4,10) yang
berarti bahwa kejadian KB pada kelompok umur muda lebih tinggi 2,9 kali
dibandingkan dengan yang lebih tua.
Analisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian antara KB dan
KTB dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian antara KB dan KTB
Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)
Perempuan
23(49%)
17(51,5%)
24(51%)
16(48,5%)
47(100%)
33(100%)
Jenis KelaminKB KTB
TOTALKelompok
Laki - Laki
X2 = 0,052 df = 1 p = 0,820 (p>0,05)
Frekuensi kejadian KB pada anak laki-laki 49% dan anak
perempuan 51,5% sedangkan pada KTB laki-laki 51% dan perempuan
48,5%. Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p=0,820) dalam
hal kejadian KB dengan KTB berdasarkan jenis kelamin.
Analisis hubungan suhu saat kejang pertama antara KB dan KTB
dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Hubungan suhu saat kejang pertama antara KB dan KTB
30 (49,2%)
10 (52,6%)
Suhu Saat KelompokTotal
Kejang Pertama KB KTB
Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)
31 (50,8%)
9 (47,4%)
61 (100%)
19 (100%)
Demam (≥ 37,8oC)
Tidak Demam (< 37,8oC)
X2=0,069 df=1 p = 0,793 (p>0,05)
Frekuensi kejadian KB dengan demam saat kejang pertama 49,2%
dan tidak demam 52,6%, sedangkan pada KTB dengan demam saat
kejang pertama 50,8% dan tidak demam 47,4%. Analisis statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna suhu saat kejang pertama
antara kelompok KB dengan KTB dengan nilai p =0,793 (p>0,05).
Analisis hubungan riwayat kejang dalam keluarga antara KB dan
KTB dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Hubungan riwayat kejang dalam keluarga antara KB dan KTB
31 (100%)
49 (100%)
Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)
Ada
Tidak Ada
14 (45%)
26 (53%)
17 (55%)
23 (47%)
Riwayat Kejang KelompokTotal
Dalam keluarga KB KTB
X2=0,474 df=1 p = 0,491 (p>0,005)
Frekuensi kejadian KB pada kelompok subyek yang mempunyai
riwayat kejang dalam keluarga sebesar 45% dan 53% tidak ada,
sedangkan pada kelompok KTB yang mempunyai riwayat kejang dalam
keluarga sebesar 55% dan 47% tidak ada. Tidak ada perbedaan
bermakna (p=0,491) dalam hal kejadian KB dengan KTB berdasarkan
riwayat kejang dalam keluarga.
Analisis hubungan riwayat trauma kepala saat kejang pertama
antara KB dan KTB dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Hubungan riwayat trauma kepala saat kejang pertama antara
KB dan KTB
Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)
Ada
Tidak Ada
4 (44,5%)
36 (50,7%)
5 (55,5%)
35 (49,3%)
Riwayat Trauma Kepala KelompokTotal
Saat Kejang Pertama KB KTB
9 (100%)
71 (100%)
Fisher’s exact test p = 1,00 (p>0,05)
Frekuensi kejadian KB pada kelompok subyek yang mempunyai
riwayat trauma kepala saat kejang pertama sebesar 44,5% dan 55,5%
tidak ada, sedangkan pada kelompok KTB yang mempunyai riwayat
trauma kepala saat kejang pertama sebesar 50,7% dan 49,3% tidak ada.
Tidak ada perbedaan bermakna (p=1,00) dalam hal kejadian KB dengan
KTB berdasarkan riwayat trauma kepala saat kejang pertama.
Analisis hubungan kadar Natrium saat kejang pertama antara KB
dan KTB dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Hubungan kadar Natrium saat kejang pertama antara KB dan
KTB
Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)
1 (20%)
39 (52%)
5 (100%)
75 (100%)
Tidak Normal
Normal
4 (80%)
36 (48%)
Kadar Natrium Saat KelompokTotal
Kejang Pertama KB KTB
Fisher’s exact test p= 0,359 (p>0,05)
Frekuensi kejadian KB dengan kadar Natrium saat kejang pertama
tidak normal sebesar 80% dan 48% normal, sedangkan kejadian KTB
dengan kadar Natrium saat kejang pertama tidak normal sebesar 20% dan
52% normal. Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna kadar
Natrium saat kejang pertama antara kelompok KB dengan KTB dengan
nilai p =0,359 (p>0,05).
Analisis hubungan kadar gula darah sewaktu saat kejang pertama
antara KB dan KTB dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Hubungan kadar gula darah sewaktu saat kejang pertama
antara KB dan KTB
1 (100%)
39 (49,4%)
Kadar Gula Darah Sewaktu KelompokTotal
Saat Kejang Pertama KB KTB
Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)
0 (0%)
40 (50,6%)
1 (100%)
79 (100%)
Tidak Normal
Normal
Fisher’s exact test p= 1,00 (p>0,05)
Frekuensi kejadian KB dengan kadar gula darah sewaktu tidak
normal sebesar 100% dan 49,4% normal, sedangkan kejadian KTB
dengan kadar gula darah sewaktu tidak normal sebesar 0% dan 50,6%
normal. Secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna kadar gula
darah sewaktu saat kejang pertama antara kelompok KB dan KTB dengan
nilai p=1,00 (p>0,05).
V.4. Identifikasi Faktor-faktor Risiko KB
Pada analisis bivariat didapatkan ada satu variabel, yaitu umur saat
kejang pertama kali yang teridentifikasi mempunyai hubungan bermakna
dengan kejadian KB.
Frekuensi kejadian KB pada kelompok umur < 18 bln saat kejang
pertama kali (100%) lebih tinggi daripada frekuensi kejadian KB pada
kelompok umur ≥ 18 bln (34,5%). Nilai crude odds ratio (COR) = 2,905
dengan interval kepercayaan 95% (2,05 – 4,10) yang berarti bahwa
kejadian KB pada kelompok umur muda lebih tinggi 2,9 kali dibandingkan
dengan yang lebih tua.
BAB VI
PEMBAHASAN
Kejang merupakan kelainan neurologi yang sering ditemukan pada
anak, 4-10% anak menderita setidaknya satu kali bangkitan kejang pada
16 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi pada anak kurang dari 3
tahun, dan frekuensi menurun pada anak yang lebih tua. Kejang
menunjukkan suatu gejala klinik yang mendasari suatu proses yang dapat
disebabkan oleh berbagai macam. Ketika seorang anak datang dengan
keluhan kejang, harus diusahakan mencari penyebabnya (McAbee dan
Wark, 2000; Friedman dan Sharieff, 2006).
Kejang pada anak dianggap sebagai kasus kedaruratan neurologi
yang perlu penanganan segera. Anak yang datang dengan keluhan
kejang yang pertama kali, terbersit pertanyaan: “Apakah kejangnya akan
berulang?” (Berg dan Shinnar, 1991; Ridha, 2008)
Pemahaman mengenai kejang berulang pada anak masih sangat
terbatas bagi tenaga kesehatan kita, sedangkan penelitian berbagai faktor
risiko kejang berulang pada anak sampai saat ini masih belum jelas.
Penilaian terhadap faktor risiko terhadap terjadinya kejang berulang pada
anak diharapkan dapat membantu sebagai deteksi awal dalam
memudahkan diagnosis dan mempercepat dalam penanganan penyakit
yang mendasarinya.
Pada penelitian ini, dengan menggunakan desain kasus kontrol
tentang identifikasi faktor risiko pada kejang pertama terhadap penderita
KB yang dilaksanakan selama periode Januari sampai Juni 2013, telah
diperoleh 80 sampel yang dikelompokkan masing-masing 40 sampel
sesuai dengan kriteria inklusi kasus dan kontrol.
Frekuensi kejadian KB pada kelompok umur < 18 bln saat kejang
pertama (100%) lebih tinggi daripada frekuensi kejadian KB pada
kelompok umur ≥ 18 bln (34,5%). Ada perbedaan yang sangat bermakna
dengan nilai p=0,000 (p<0,01) antara kelompok KB dengan KTB.
Meskipun tampak umur anak < 18 bulan saat kejang pertama
hampir keseluruhannya mengalami kejang berulang, namun nilai crude
odds ratio (COR) = 2,905 dengan interval kepercayaan 95% (2,05 – 4,10)
yang berarti bahwa kejadian KB pada kelompok umur muda lebih tinggi
2,9 kali dibandingkan dengan yang lebih tua.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Daoud AS,
dkk. (2004) yang memperoleh hasil tidak adanya perbedaan yang
bermakna risiko kejadian KB terhadap umur saat kejang pertama
(p=0,28). Perbedaan ini disebabkan karena desain penelitian yang kohort
prospektif.
Pada dua penelitian random besar, risiko usia saat kejang pertama
ditemukan memiliki risiko terhadap terjadinya KB pada anak (First Seizure
Trial Group, 1993). Ini dihubungkan dengan tingkat maturasi otak dengan
mielinisasi yang belum sempurna, mekanisme inhibisi yang kurang,
permeabilitas dinding sel yang terganggu, dan adanya faktor lain yang
dapat mencetuskan timbulnya KB, seperti jarak antara kejang pertama
dengan kejang berulang dan pemberian terapi setelah kejang pertama.
Pada penelitian ini sampel penelitian tidak dianalisis faktor lain yang
mempengaruhi seperti anak umur < 18 bulan dengan suhu yang tinggi,
riwayat trauma kepala, dan lain-lain, faktor jarak kejang pertama dengan
kejang berulang, dan pemberian terapi setelah kejang pertama tidak
dieksklusi.
Frekuensi KB pada anak laki-laki 49% dan anak perempuan 51,5%
sedangkan pada KTB pada anak laki-laki 51% dan perempuan 48,5%.
Tidak ada perbedaan bermakna p=0,82 (p>0,05) dalam hal kejadian KB
dan KTB berdasarkan jenis kelamin. Hasil yang sama juga diperoleh
penelitian lain yang dilakukan oleh Daoud AS, dkk (2004) yang
memperoleh hasil yang tidak berbeda bermakna kejadian KB menurut
jenis kelamin (p=0,51). Hasil penelitian berbeda didapatkan dari India oleh
Das CP, dkk (2000) yang mengatakan bahwa kejadian kejang berulang
lebih tinggi pada anak laki-laki. Hal ini dikarenakan sampel penelitian yang
kami peroleh sedikit atau adanya faktor lain yang tidak diketahui, sehingga
menyebabkan anak perempuan juga memiliki risiko yang sama dengan
anak laki-laki, misalnya anak perempuan yang kejang pertama kali
dengan suhu yang tinggi sekali atau dengan riwayat trauma kepala berat.
Analisis statistik mengenai hubungan suhu saat kejang pertama
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna p=0,793 (p>0,05) antara
kelompok KB dengan demam saat kejang pertama 49,2% dan tidak
demam 52,6%, sedangkan kelompok KTB dengan demam saat kejang
pertama 50,8% dan 47,4% tidak demam. Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Berg AT, dkk. yang mengatakan bahwa
kejadian KB lebih tinggi saat demam (48%) pada suhu 38,3°C yang
berulang 35% dan pada suhu 40°C sekitar 13%. Tsuboi dan
Lumbantobing menyatakan bahwa suhu yang dapat mencetuskan
serangan kejang adalah suhu sebelum terjadinya serangan kejang. Pada
penelitian ini, suhu demikian sangat sulit diperoleh sebab pada umumnya
orang tua membawa anaknya ke rumah sakit setelah anak mengalami
serangan kejang. Mereka mengetahui anaknya demam hanya melalui
rabaan saja. Oleh karena itu, nilai rata-rata tinggi suhu tubuh yang
diperoleh pada penelitian ini adalah suhu saat masuk rumah sakit, dengan
pemikiran bahwa itulah suhu yang maksimal dapat diperoleh segera
setelah terjadinya serangan kejang. Pengobatan dengan antipiretik atau
kompres sesaat sebelum dibawa ke rumah sakit juga mungkin
mempengaruhi suhu saat kejang pertama.
Frekuensi kejadian KB pada kelompok subyek yang mempunyai
riwayat kejang dalam keluarga sebesar 45% dan 53% tidak ada,
sedangkan pada kelompok KTB yang mempunyai riwayat kejang dalam
keluarga sebesar 55% dan 47% tidak ada. Tidak ada perbedaan
bermakna p=0,491 (p>0,05) antara kelompok KB dan KTB berdasarkan
riwayat kejang dalam keluarga. Hal ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Daoud AS, dkk (2004) yang memperoleh hasil adanya
perbedaan yang bermakna kejadian KB dengan riwayat kejang dalam
keluarga (p=0,000). Hal ini dihubungkan dengan adanya keterkaitan
genetik pada anak dengan kejang berulang. Penelitian lain (Shinnar
dkk.,1996; Stroink dkk., 1998; Ramos Lizana dkk., 2000) menunjukkan
sedikit atau tidak adanya peningkatan risiko KB pada anak dengan riwayat
kejang dalam keluarga. Perbedaan ini mungkin disebabkan kurang
akuratnya informasi yang didapatkan saat memperoleh data akibat
ketidaktahuan keluarga akan riwayat kejang dalam keluarga.
Frekuensi kejadian KB pada kelompok subyek yang mempunyai
riwayat trauma kepala saat kejang pertama sebesar 44,5% dan 55,5%
tidak ada, sedangkan pada kelompok KTB yang mempunyai riwayat
trauma kepala saat kejang pertama sebesar 50,7% dan 49,3% tidak ada.
Tidak ada perbedaan yang bermakna p=0,723 (p>0,05) antara KB dan
KTB berdasarkan riwayat trauma kepala saat kejang pertama. Hal ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Frey (2003) yang
memperoleh hasil adanya perbedaan yang bermakna kejadian KB dengan
riwayat trauma kepala saat kejang pertama. Perbedaan ini disebabkan
berbedanya derajat trauma kepala. Semakin berat trauma kepala, risiko
terjadinya kejang berulang makin besar. Selain itu, adanya recall bias
pada pengambilan sampel karena perbedaan persepsi intensitas dan
waktu terjadinya trauma kepala.
Analisis statistik mengenai hubungan kadar Natrium saat kejang
pertama menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok
KB dengan kadar Natrium tidak normal 80% dan normal 48%, sedangkan
kelompok KTB dengan kadar Natrium tidak normal 20% dan normal 52%
dengan p=0,359 (p>0,05). Demikian juga pada kadar gula darah sewaktu
saat kejang pertama antara KB dan KTB menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna antara kelompok KB dengan kadar gula darah
sewaktu tidak normal 100% dan normal 49,4%, sedangkan pada KTB
dengan kadar gula darah sewaktu tidak normal 0% dan normal 50,6%
dengan p=1,00 (p>0,05). Hal ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Turnbull, dkk. (1990) dan Singh, dkk (1973) yang meneliti
sebanyak 70% dan 20% gangguan elektrolit dan metabolik Natrium dan
glukosa saat kejang pertama dalam memprediksi timbulnya kejang
berulang. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan waktu
pemeriksaan kadar elektrolit dan gula darah sewaktu dan terapi intravena
yang sudah didapatkan oleh pasien sebelum datang ke rumah sakit.
Faktor-faktor risiko pada kejang pertama dalam memprediksi
timbulnya kejang berulang berpengaruh pada pembentukan fokus
epileptogen (epileptogenesis) yang didefinisikan sebagai berkembangnya
suatu proses epilepsi yang dikarakteristik sebagai berulangnya kejang
setelah kejang pertama. Pencegahan terhadap pembentukan
epileptogenesis dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas seorang
anak untuk mengalami kejang berulang setelah kejang pertama.
Pemberian obat antiepileptik dapat dipertimbangkan untuk mencegah
proses pembentukan epileptogenesis.
Pada analisis bivariat, hanya ada satu variabel sebagai faktor risiko
yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian KB, yaitu umur
saat kejang pertama, maka tidak dilanjutkan ke analisis multivariat. Pada
penelitian ini sampel kontrol umur rentangan yang diambil adalah
penderita yang masuk rumah sakit umur 8,41 sampai 13,75 tahun. Hal ini
dilakukan untuk meniadakan bias seleksi yang akan terjadi jika kontrol
diambil karena tidak ada jaminan bahwa seorang anak tidak mengalami
KB setelah umur tersebut. Asumsinya bahwa anak umur lebih 8 tahun
secara umum maturasi serebral anak sudah optimal, sehingga
kemungkinan untuk mengalami KB seperti pada kelompok kasus
dianggap minimal. Hal ini memungkinkan terpenuhinya persyaratan
kriteria inklusi kontrol, yaitu penderita yang tidak mengalami KB, tetapi
pernah mengalami kejang satu kali.
Penelitian desain kasus kontrol ini, pengumpulan data riwayat
kejang dalam keluarga, dan riwayat trauma kepala dengan cara
anamnesis dan data sekunder. Penulis menyadari bahwa informasi yang
diberikan atau validasi data yang dikumpulkan dengan menggunakan
anamnesis dan data rekam medik sering menimbulkan bias informasi atau
recall bias. Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya recall bias, penulis
telah melakukan upaya, yaitu: 1. responden orang tua/pengasuh
penderita. 2. Perlangsungan kejang singkat/akut, tetapi bagi orang
tua/pengasuh penderita kejang (responden), serangan kejang dapat
menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran, sehingga penulis dapat
menggali informasi penelusuran anggota keluarga yang mungkin pernah
menderita kejang, penulis mendapat informasi yang terbuka dan kesan
tanpa rekayasa, sebab mereka beranggapan bahwa informasi yang
diberikan tersebut adalah dalam rangka penanganan yang terbaik untuk
anak-anak mereka. Kekurangan lain dari penelitian ini adalah kurangnya
informasi pengobatan yang telah diberikan kepada penderita, sehingga
mempengaruhi hasil penelitian. Kekuatan penelitian ini adalah desain
kasus kontrol yang dipakai karena lamanya mendapatkan pasien yang
mengalami kejang berulang maupun yang mengalami kejang satu kali
selama hidupnya.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor risiko pada
kejang pertama dalam memprediksi timbulnya KB yang teridentifikasi
adalah umur kurang dari 18 bulan saat mengalami kejang pertama.
VII.2. Saran
VII. 2. 1. Saran penelitian
Penelitian lanjut KB dihubungkan dengan tipe kejang, interval
kejang pertama dan kedua, pemeriksaan EEG, pengaruh pengobatan
rumatan, dan aspek genetiknya.
VII. 2. 2. Saran pelayanan
Besarnya pengaruh faktor umur saat kejang pertama sebagai faktor
risiko timbulnya KB perlu dipertimbangkan pemberian pengobatan
antikejang rumatan pada anak usia < 18 bulan untuk pencegahan
kemungkinan serangan kejang berulang.
DAFTAR PUSTAKA
Aicardi, J. 1992. Febrile Convulsions and Other Occasional Seizures. Dalam: Bax
M., Gilberg C., Ogier H., Eds. Disease of the Nervous System in Childhood ; 1st Ed. New York : Mc Keith Press, 958 – 81.
Aicardi, J. 1986. Febrile Convulsions. Dalam: Aicardi J., Ed. Epilepsy in children,
New York: Raven Press, 212 – 32. Anderson, R., J., Chung, H. M., Kluge, R., dkk. 1985. Hyponatremia: A
Prospective Analysis of Its Epidemiology and the Pathogenetic Role of Vasopressin. Ann Intern Med 102:164-168.
Arieff, A. I. Ayus, J. C., Fraser, C. L. 1992. Hyponatremia and Death or
Permanent Brain Damage in Healthy Children. BMJ 304:1218-1222. Auer, R. N. 1986. Progress Review: Hypoglycemic Brain Damage. Stroke
17:699-708. Auer, R. N., Sutherland, G. R., 2002. Hypoxic Brain Damage. Dalam: Graham, D.
I., Lantos, P. L., Eds. Greenfield’s Neuropathology; 7th Ed. London: Arnold, 33-280.
Baird, H. W. 1992. Penyakit Konvulsi. Dalam: Behrman R. E., Kliegman R. M.,
Jenson H. B., Ed. Nelson Ilmu Kesehatan Anak; Edisi ke 12. Jakarta: EGC, 335 – 51.
Barkovich, A. J., Ali, F. A. Rowley, H. A., dkk. 1998. Imaging Patterns of Neonatal
Hypoglycemia. AJNR Am J Neuroradiol 19:523-528. Berg, A. T. 2008. Risk of recurrence after a first unprovoked seizure Suplement -
Management of a first seizure. Epilepsia 49:13-18. Berg, A. T., Shinnar, S. 1991. The Risk of Seizure Recurrence Following a First
Unprovoked Seizure: A Meta Analysis. Neurology 41: 965. Berg, A.T., Shinnar, S., Hauser, W.A., Alemany, M., Shapiro, E.D., Crain, E.F.
1992. A Prospective Study of Recurrent Febrile Seizure. NIJM 327: 1122-7.
Brown, W. D., Snead, O. C. 1993. Seizures Disorders. Dalam: Johnson R.T.,
Griffin J. W., Eds. Current Therapy in Neurologic Disease ; 4th ed. Baltimore : BC Decker, 27 – 50.
Budiarto, G., dkk. 1998. Epilepsi. Volume 3. Surabaya : Perhimpunan
Penanggulangan Epilepsi Indonesia; Hal. 7-10;47.
Camfield, C. S., Camfield, P. R., Gordon, K., dkk. 1996. Does Number of Seizures Before Treatment Influence Ease of Control or Remission of Childhood Epilepsy? Not if the Number is 10 or Less. Neurology 46: 41.
Cockburn, F., Brown, J. K., Belton, N. R., dkk. 1973. Neonatal Convulsions
Associated with Primary Disturbance of Calcium, Phosphorus, and Magnesium Metabolism. Arch Dis Child 48:99-108.
Daoud, AS, Ajloni, S, El-Salem, K, Horani, K, Otoom, S, Daradkeh, T. 2004. Risk
of seizure recurrence after a first unprovoked seizure: a prospective study among Jordanian children. Seizure 13:99-103.
Das, CP, Sawhney, IM, Lal, V, Prabhakar, S. 2000. Risk of recurrence of
seizures following single unprovoked idiopathic seizure. Neurology India 48:357-360.
Department of Human Genetics Division of Medical Genetics. 2008. Seizure
Disorders,(Online),(http://genetics.emory.edu/pdf/Emory_Human_Genetics_Seizure_Disorders.pdf, diakses 10 Maret 2012).
Dunn, K., Butt, W. 1997. Extreme Sodium Derangement in a Paediatric Inpatient
Population. J Paediatr Child Health 33:26-30. Editorial. 1992. Excess Water Administration and Hyponatremic Convulsions in
Infancy. Lancet 339:153-155. Finberg, L. 1959. Pathogenesis of Lesions in the Nervous System in
Hypernatremic States. I. Clinical Observation of Infants. Pediatrics 23:40-45.
First Seizure Trial Group. 1993. Randomized clinical trial on the efficacy of
antiepileptic drugs in reducing the risk of relapse after a first unprovoked tonic-clonic seizure. First Seizure Trial Group (FIR.S.T. Group). Neurology 43(3 Pt 1):478-83.
Frey, L.C. 2003. Epidemiology of Posttraumatic Epilepsy: A Critical Review.
Epilepsia 44:11-17. Friedman, M. J., Sharieff, G. Q. 2006. Seizures in Children. Pediatr Clin N Am 53:
257– 277. Gregory, J. W., Aynsley-Green, A Hypoglycemia in the Infant and Child. Ba llière
Clin Endocrinol Metab 7:683-704. Haslan, R. H. 2000. The Nervous System. Dalam: Nelson W. E., Behrman R. E.,
Kliegman R. M., Jenson H. B., Eds. Nelson Text Book of Pediatrics; 16th Ed. Philadelphia : WB Saunders Co, 1813 – 26.
Haworth, J. C., Coodin, F. J. 1960. Idiopathic Spontaneous Hypoglycemia in Children: Report of Seven Cases and Review of the Literature. Pediatrics 25: 748-765.
Hogan, G. R., Dodge, P. R., Gill, S. R., dkk. 1969. Pathogenesis of Seizures
Occuring During Restoration of Plasma Tonicity to Normal in Animals Previously Chronically Hypernatremic. Pediatrics 43:54-64.
Hsu, S. C., Levine, M. A. 2004. Perinatal Calcium Metabolism: Physiology and
Pathophysiology. Semin Neonatol 9:23-36. Ismael, S., Soetomenggolo, T. S., Lazuardi, S., Pusponegoro, H. D. 1999.
Kelainan Paroksismal. Dalam: Soetomenggolo T. S., Ismael S., Ed. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP Idai, 204 – 73.
Johnston, M. V. 2007. Seizures in Childhood. Dalam Behrman R. E., Kliegman R.
M., Jenson H. B., Stanton B. F., Eds. Nelson Text Book of Pediatrics; 18th Ed. Philadelphia : WB Saunders Co, 461 – 69.
Kari, K., Nara, P. 1984. Epilepsi Anak, (Online), (http://www.portalkalbe.co.id/,
diakses 20 Februari 2009). Lumbantobing. 2007. Kejang demam (febrile convulsions). Balai Penerbit FKUI.
Jakarta, 1-21. Luttrell, C. N., Finberg, L. 1959. Hemorrhagic Encephalopathy Induced by
Hypernatremia. Arch Neurol Psychiatr 81:424-432. Lynch, B. J., Rust, R. S. 1994. Natural History and Outcome of Neonatal
Hypocalcemic and Hypomagnesemic Seizures. Pediatr Neurol 11:23-27. Mangos, J. A., Lobeck, C. C. 1964. Studies of Sustained Hyponatremia due to
Central Nervous System Infection. Pediatrics 34:503-510.
McAbee, G. N., Wark, J. E. 2000. A Practical Approach to Uncomplicated Seizures in Children. Am Fam Physician 62(5):1109– 16.
Menkes, J. H. 1995. Paroxysmal Disorders. Dalam: Menkes J.H., Ed. Textbook of
Child Neurology; 5th Ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 422-25. Muenter, M. D., Whisnant, J. P.1968. Basal Ganglia Calsification,
Hypoparathyroidism, and Extrapyramidal Motor Manifestations. Neurology 18:1075-1083.
Poerwadi, T. 1978. Kejang pada Anak dan Penatalaksanaannya. Makalah
disajikan pada Konas I Perdosi Makassar, 65 – 82. Raivio, K. O. 1968. Neonatal Hypoglycemia. Acta Paediatr Scand 57:540-546.
Ridha, N. R. 2008. Identifikasi Faktor Risiko Terhadap Kejang Demam Berulang. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu Bidang Ilmu Kesehatan Anak Program Studi Biomedik Program Pascasarjana – UNHAS.
Schulz, R, Ebner, A. 2001. Prolonged Febrile Convulsions and Mesial Temporal
Lobe Epilepsy in an Identical Twin. J. Neurol 57 : 318 – 20. Shinnar, S., Berg, A. T., Mosche, S. L, dkk. 1996. The Risk of Seizure
Recurrence After a First Unprovoked Afebrile Seizure in Childhood: An Extended Follow-up. Pediatrics 98: 216.
Shneker, B. F., Fountain, N. B. 2003. Epilepsy. Dis Mon 49:426–78. Snodgrass, S. R. 2006. Neurologic Manifestations of Systemic Illness. Dalam:
Menkes, J. H., Sarnat, H. B., Maria, B. L. eds. Child Neurology; 7th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 1025-1095.
Tsang, R. C., Steichen, J. J., Chan, G. M. 1977. Neonatal Hypoglycemia
Mechanism of Occurrence and Management. Crit Care Med 5:56-61. Tsuboi T, Okada S. 1985. The genetics of epilepsy. Dalam: Sakai T, Tsuboi T,
penyunting. Genetic aspects of human behavious. Tokyo: Igaku-Shoin, 113-27.
Turnbull T.L, Vanden Hoek T.L, Howes D.S, Eisner R.F. 1990. Utility of
laboratory studies in the emergency department patient with a new-onset seizure. Ann Emerg Med 19:373–377.
Verity, C.M. 1998. Do Seizure Damage the Brain? The Epidemiological Evidence,
BMJ 18: 78-84. Vining, E. P. 1994. Pediatric Seizures. Emerg Med Clin North Am 12(4):973– 88. Wayne, E. A., Dean, H. J., Booth, F., dkk. 1990. Focal Neurologic Deficits
Associated with Hypoglycemia in Children with Diabetes. J Pediatr 117:575-577.
top related