dongeng digital: bacaan anak dalam...
Post on 24-Apr-2018
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
¹Dipresesentasikan dalam Seminar Nasional Sosiologi Sastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, pada 11 Oktober 2016 sebagai pengembangan dari makalah “Sastra Anak dan Media Publikasi: Tinjauan Terhadap Bacaan Anak Usia Dini” yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra Anak, 27 Juli 2016 di Yogyakarta.
DONGENG DIGITAL:
BACAAN ANAK DALAM MASYARAKAT KONSUMSI ¹
Ratna Djumala
Universitas Indonesia
ratnadjumala@gmail.com
Abstrak
Perkembangan teknologi yang sedemikian cepat sejak terjadinya revolusi
industri, telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Perubahan ini
terjadi pula dalam bacaan untuk anak-anak. Tidak hanya menggeser muatan nilai
dalam tema bacaan, tetapi juga turut mengubah bentuk bacaan yang disajikan. Hal
ini terjadi sebagai implikasi dari berubahnya bentuk perilaku membaca
masyarakat global. Bacaan digital kini juga dapat dinikmati oleh anak-anak.
Tulisan ini membahas mengenai dongeng digital dalam bacaan anak. Dengan
menggunakan pendekatan sosiologis, dapat ditunjukan bahwa dongeng digital
umumnya mengabaikan anak dalam pemenuhan kebutuhan untuk berimajinasi,
berinteraksi, dan menginternalisasikan nilai dari bacaan tersebut sebagai bagian
proses sosialisasi yang dilaluinya.
Kata kunci: anak, bacaan anak, dongeng digital, masyarakat konsumsi
Pendahuluan
Keberadaan masyarakat menjadi perlu dan penting dalam pertumbuhan suatu
kaum, bangsa, bahkan sebuah negara. Masyarakat sebagai peletak norma, nilai,
dan pengetahuan terus berkembang mengikuti kemajuan jamannya. Sifat
masyarakat yang dinamis ini- yang terus bergerak, berkembang, dan berubah,
seringkali ditandai sebagai capaian ataskemajuan suatu peradaban.
Sejak terjadinya revolusi industri pada pertengahan abad ke-19, maka terjadi
pula perubahan sosial dan budaya atas nilai dan norma.Revolusi industri telah
mengubah cara hidup dan cara kerja manusia, dari yang menggunakan tangan ke
mesin. Begitu pula yang terjadi dalam budaya tulis dan membaca. Ketika mesin
cetak ciptaan Johannes Gutenberg hadir, maka tradisi masyarakat dalam bercerita
secara lisan dan penulisan catatan dengan menggunakan tinta dan pena
tergantikan pula. Produksi atas bacaan cetak pun meningkat.
Di masa kini, saat kemajuan teknologi tidak dapat dibendung lagi, teknologi
juga mengubah bentuk bacaan yang pernah ada sebelumnya. Bacaan tidak hanya
berevolusi sejak penemuan mesin cetak, bacaan yang ada kini juga berkembang
sebagai hasil perkembangan dari penemuan alat komunikasi jarak jauh dan alat
pemancar gambar- telepon dan televisi oleh Alexander Graham Bell dan John
Logie Baird. Bacaan dalam bentuk digital yang ditawarkan oleh gadget saat ini
dianggap sebagai sebuah kemajuan.
Sebagai salah satu produk dari kemajuan teknologi, gadget atau gawai tidak
hanya berfungsi sebagai alat komunikasi. Kini, beragam inovasi dan spesifikasi
terbaru ditawarkan oleh gawai. Semakin canggih produk suatu gawai, maka
semakin beragam pula yang dapat dinikmati oleh konsumennya.Teknologi,
nyatanya tidak hanya mempermudah cara hidup manusia, teknologi juga
mengubah sikap hidup manusia. Mereka yang gagap teknologi, akan dicap oleh
sebagian anggota masyarakatnya sebagai orang yang kuper, kudet kurang up date,
kuno, dan ketinggalan jaman. Untuk memenuhi kebutuhan penggunanya tersebut,
maka bermunculanlah istilahe-book, buku digital, koran online, hingga
cybersastra- yang kesemuanya merujuk pada betapa sempurna dan lengkapnya
gawai dalam memanjakan penggunanya.
Hal tersebut terjadi pula pada bacaan anak. Ketika gawai diberikanoleh
orangtua kepada anak, maka produsen seolah tidak ingin kehilangan pasarnya.
Bermunculanlah berbagai bentuk media yang dapat dibaca oleh anak- video,
bermacamgames, hingga bukudigital yang berubah bentuknya (baca: tidak lagi
tercetak).
Tulisan ini berfokus pada bacaan anak-anak, yang mulai bergeser bentuk dan
fungsinya. Pembahasan tentu saja tidak hanya berfokus pada bentuknya, tetapi
juga pada isi dan fungsinya dengan mempertimbangkan pembacanya- yaitu anak.
Dongeng Digital: Bentuk Baru dalam Bacaan untuk Anak
Istilah bacaan anak (children’s reading) barangkali lebih luas pengertiannya
daripada sastra anak (children’s literature). Sastra anak- seperti yang dikemukakan
oleh Davis dalam Sarumpaet (2009), merujuk pada bacaan yang dibaca oleh anak-
anak dengan bimbingan dan pengarahan orang dewasa dalam suatu masyarakat,
yang penulisannya juga dilakukan oleh orang dewasa. Namun, seiring dengan
berkembangnya kondisi sosial masyarakat, pengertian sastra anak pun bergeser.
Sastra anak kini mengacu pula pada bacaan yang ditulis oleh anak-anak.
Meskipun demikian, perlu adanya peninjuan ulang atas nilai kesastraan-nya.
Pengertian atas bacaan anak kini meluas pada apapun yang dibaca, dilihat,
dan didengar oleh anak-anak. Saat ini bacaan untuk anak-anak tidak hanya hadir
dalam bentuk buku yang tercetak (melalui proses printing). Bacaan anak juga
hadir dalam bentuk digital. Bacaan digital untuk anak tersebut hadir dalam bentuk
e-book, games online, aplikasi (seperti Apps Store, kiddlefire, Windows phone,
dan Google play), serta tayangan yang diunggah di youtube.
Bacaan anak yang ditawarkan toko aplikasi umumnya berupagames online,
lagu anak-anak, dongeng (cerita), kuis edukatif, serta film animasi. Sebagian besar
aplikasiini ditawarkan dengan gratis.Berdasarkan hasil penelusuran pada Apps
Store, kiddlefire, Windows phone, dan Google play, umumnya bacaan anak digital
ini berlabel dongeng dalam bentuk cerita bergambar. Ada yang memakai istilah
dongeng, kisah, dan cerita. Sebut saja misalnyaMarbel Dongeng, Buku Dongeng,
Kumpulan Dongeng, Kumpulan Cerita dan Dongeng, Dongeng Anak, Dongeng
Anak Islami, Cerita Rakyat Indonesia, atau pun 100 Dongeng Anak Populer
merupakan beberapa contoh aplikasi dongeng yang dapat ditemukan dalam Apps
Store, kiddlefire, Windows phone,dan Google play.
Bacaan dongeng berbentuk digital ini umumnya mengangkat kisah mengenai
cerita rakyat dunia, cerita rakyat tradisional Indonesia, cerita binatang, fabel,
cerita para nabi, juga cerita mengenai keseharian dalam kehidupan anak-
anak.Pada aplikasinya tertera bahwa dongeng tersebutditujukan bagi anak usia 0-8
tahun.
Sebuah bacaan digital yang di-download biasanya hanya memuat satu cerita
saja. Namun, ada juga yang memuat lebih dari satu cerita, yang terhimpun dalam
kumpulan dongeng. Bacaan digital ini ada yang disajikan layaknya bacaan
bergambar yang tercetak- dilengkapi gambar dan teks cerita di setiap halaman.
Ada pula yang tidak hanya bergambar dan berisi teks cerita, tetapi juga
memunculkan efek suara. Suara yang dimunculkan inidatang dari narator cerita
dan sesekali tokoh yang ada di dalam cerita.Ilustrasi gambar dalam cerita ada
yang bersifat statis- hanya gambar, ada pula yang bergerak. Gambar yang
bergerak tersebut ada yang bersifat otomatis, ada juga yang digerakan secara
manual.Gambar yang digerakan secara manual ini dapat mengeluarkan suara,
misalnya gambar bebek mengeluarkan suara bebek atau gambar barisan bunga
mengeluarkan barisan nada dasardo, re, mi, dan seterusnya.
Beberapa dongeng aplikasi menyediakan pula aktivitas lain selain
mendongeng. Di dalamnya terdapat permainan yang oleh pembuatnya dinyatakan
bersifat edukatif seperti menghubungkan titik dan angka untuk membentuk
gambar, mencocokan gambar, dan mencari perbedaan dalam gambar.
Membaca dongeng digital dan membaca buku yang dicetak secara
konvensional, sekilas tidak ada bedanya. Keduanya berfungsi untuk dibaca.
Bahkan, pengaturan suara dalam dongeng digitaldapat menghadirkan efek suara
saat halaman berganti. Yang membedakannya hanya adanya efek suara yang
memungkinkan cerita dibacakan secara otomatis oleh mesin aplikasi.Sementara
pada buku biasa, teks cerita dibacakan oleh orang dewasa yang mendampingi
anak-anak.
Aplikasi dongeng digital ini memang praktis. Orangtua tidak perlu bersusah
payah mencarikan dongeng untuk mengantarkan anaknya tidur. Bagi orangtua
yang kurang percaya diri untuk mendongeng di hadapan anak pun, dapat diatasi
lewat dongeng digital. Yang pasti, orangtua masa kini berhemat dengan waktu.
Tugas mendongengkan anak dialihkan kepada mesin pendongeng. Dikarenakan
berbentuk aplikasi, tentu saja dongeng digital tidak hanya mendongeng saat akan
berangkat tidur. Dongeng digital ini dapat dinikmati anak kapan dan di mana pun
mereka inginkan, bahkan berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang.
Namun demikian, betulkah aplikasi buku dongeng ini dapat memenuhi
kebutahan anak, terutama anak usia dini terhadap bacaannya. Berikut adalah
contoh aplikasi buku dongeng Kisah Kancil & Siput-Adu Pintar, Mumu Ikan
Mujair Kecil, dan Kisah Malin Kundang.
Dongeng Digital Kisah Kancil & Siput- Adu Pintar
Kisah Kancil & Siput-Adu Pintaradalah salah satu dongeng digital yang
diproduksi oleh www.educastudio.com.Educa Studio merupakan salah satu rumah
produksi yang banyak membuat aplikasi edukatif untuk anak-anak dalam bentuk
musik, dongeng, dan permainan (games) dalam bentuk digital. Marbel-Edu
games, Riri Story Books, Kabi- Islamic Books, Kolak- Kids Songs, Marbel &
Friends- Kids Games, Keong- Casual Gamesadalah
(https://www.educastudio.com/about-us/, diunduh 7 Oktober 2016).
Pada seri Riri Story Books, terdapat kurang lebih 50 aplikasi buku dongeng
dengan berbagai jenis cerita seperti legenda, fabel, dan cerita realistik.Kisah
Kancil & Siput-Adu Pintaradalah salah satu dongeng yang ditawarkan dalam
aplikasi Riri Story Books. Dongeng tersebut tidak berbeda versinya dengan cerita
mengenai kancil yang berlomba adu cepat dengan siput yang telah ada dalam
bentuk tercetak selama ini. Kancil dikisahkan mengajak siput untuk lomba lari.
Kancil bersikap sombong, ia merasa bahwa dirinya pasti akan mengalahkan siput
karena ia dapat berlari dengan cepat, sementara siput sangat lambat. Namun,
dengan kecerdikannya, justeru siputlah yang akhirnya memenangkan
pertandingan.
Di halaman pertama, pembaca diberi pilihan, apakah akan membaca sendiri
atau dibacakan secara otomatis oleh mesin. Jika dipilih membaca sendiri, teks
akan diberikan. Jika memilih yang otomatis dibacakan, maka diberikan pilihan,
apakah teks disertakan atau disembunyikan.
Cerita kancil dan siput ini terdiri dari 9 gambar (9 caption). Kesembilan
gambar tersebut semuanya bergerak, meskipun pergerakan tidak seperti dalam
film animasi. Gambar-gambar hanya bergerak di tempatnya- menggoyang kepala,
kaki, atau badannya saja. Yang disayangkan adalah pergerakan gambar justru
membuat perhatian anak terhadap cerita terganggu.
Misalnya pada gambar halaman, pertama yang menceritakan mengenai
kancilsebagai hewan tercerdas di hutan, merasa bosan karena hutan sangat
tenang. Saat teks dibacakan, benda-banda yang ada di gambar itu bergerak dan
bersuara- jeruk yang jatuh, induk dan anak bebek yang sedang berenang, buaya
yang sedang mengintai di sungai, gemericik air sungai, juga suara kepik yang
melompat-lompat di pohon.
Hal lain yang mengganggu dalam aplikasi ini adalah suara narator cerita yang
membawakan cerita dengan intonasi suara yang datar, sehingga tidak terbangun
ekspresi emosi yang seharusnya muncul dari cerita. Datarnya intonasi dan
minimnya ekspresi si narator terjadi di seluruh cerita seri Riri- Story Books.
Seperti halnya pada ciri khas dalam cerita fabel, cerita pun ditutup dengan pesan
moral.
Dongeng Digital Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil
Kisah Mumu Ikan Mujair Kecildiproduksi oleh Kastari Sentra Medika-
sebuah rumah produksi animasi untuk anak-anak. Dongeng digital ini
mengisahkan Mumu- seekor ikan mujair kecil yang berbibir tebal dan berwarna
kusam. Teman-teman sekolah mumu mengejek kondisi fisik Mumu yang seperti
itu. Pada awalnya, Mumu merasa sedih dengan ejekan teman-temannya. Atas
nasihat dari ayah dan ibunya, Mumu tidak lagi memusingkan perkataan teman.
Apalagi, di kelas Mumu adalah siswa yang terpandai dalam hal membaca. Teman-
teman yang semula menjauhinya, menyesal dan meminta Mumu untuk mengajari
mereka membaca.
Dalam Dongeng digital Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil ini gambar tidak
bergerak. Gambar bersifat statis, layaknya membaca buku yang dicetak seperti
biasa. Kisah sebanyak 18 halaman ini dapat dibaca sendiri oleh anak, atau
dibacakan oleh mesin narator. Sesekali tokoh di dalam cerita juga mengeluarkan
suara- hanya suara, tanpa memperlihatkan gerakan mulut saat berbicara. Dari segi
ilustrasi, sebenarnya dongeng Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil, tidak terlalu buruk.
Dongeng Digital Kisah Malin Kundang
Kisah Malin Kundang bercerita mengenai seorang anak laki-laki yang
dikutuk menjadi batu karena durhaka kepada ibu kandungnya. Sebenarnya kisah
Malin Kundang ini pun tidak jauh berbeda dengan Kisah Malin Kundang yang
ada pada umumnya. Hanya variasi cerita yang membedakannya satu dengan yang
lain.
Dongeng digital Kisah Malin Kundang diproduksi pula oleh Kastari Sentra
Medika di tahun 2014. Berbeda dari Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil, pada Kisah
Malin Kundangini buku digital dikemas seperti buku tercetak; ada lembar sampul,
lembar judul, juga lembar pengesahan secara hukumnya.
Pada dongeng digital Kisah Malin Kundang, ilustrasi gambar sepertinya
digarap seadanya. Penggambaran wajah si Malin, isteri Malin, ataupun ibu Malin
terkesan kaku dan menyeramkan.
Dalam dongeng ini, seperti juga karakteristik dongeng digital lainnya, ada
narator yang menyuarakan isi cerita. Ilustrasi gambar bersifat statis. Yang berbeda
dari Kisah Kancil & Siput-Adu Pintar adalah munculnya teks dalam cerita yang
tidak dapat dihilangkan. Sementara dalam Kisah Kancil & Siput-Adu Pintar,
kemunculan teks cerita dapat ditampilkan danditiadakan. Hal ini berarti anak yang
sudah dapat membaca akan tetap dapat melihat teksnya. Sedangkan pada dongeng
digital Kisah Kancil & Siput-Adu Pintar, pembaca anak cenderung menjadi malas
membaca teks dan memilih untuk dibacakan oleh mesin.
Dari ketiga contoh dongeng digital di atas, dapat terlihat bahwa pemilihan
cerita dalam dongeng digital lebih banyak mengadopsi cerita yang sudah ada
seperti cerita rakyat dan fabel dalam bentuk tercetak selama ini. Untuk cerita
binatang seperti dongeng digital Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil yang bertema
pada keseharian hidup anak-anak, memang tidaklah banyak.
Jika ditilisik dari dari segi isi, ilustrasi, tampilan, bahkan kemasannya,
sekilas dongeng digital ini terkesan seru, penuh warna, dan menyenangkan bagi
anak. Namun, sebagai bacaan untuk memperkaya kebutuhan atas nilai dalam
pertumbuhan anak, bacaan ini digarap tanpa pemikiran yang matang bahwa
bacaan ini ditujukan untuk anak-anak dengan kebutuhan yang khusus. Kesalahan
ejaan, kalimat yang tidak logis, nilai yang seharusnya tidak ada dalam bacaan
untuk anak seperti labelling- seharusnya tidak ditemukan dalam bacaan untuk
anak-anak.
Popularitas gawai sebagai bentuk kemajuan dari suatu peradaban, mampu
menyentuh seluruh lapisan sosial-ekonomi suatu masyarakat tanpa sekat secara
geografis. Hal ini sepertinya dipandang oleh produsen sebagai peluang besar.
Mereka melihat pasar yang besar dan menguntungkan dari reproduksi dongeng,
cerita, lagu-lagu, hingga permainan (games) anak-anak ke dalam bentuk digital.
Padahal, suatu bacaan untuk anak seharusnya memenuhi kriteria dan
kententuan yang khusus. Bagaimana pun, anak tentu berbeda dari orang dewasa.
Bacaan untuk anak, berbeda dengan bacaan untuk orang dewasa. Oleh karena itu,
pembaca anak memiliki kebutuhan tersendiri atas bacaannya. Bacaan anak, harus
mempertimbangkan seluruh unsur pembangun teks. Temanya, tokoh dan
penokohannya, alurnya, latarnya, bahkan konfliknya- khas dunia kanak-kanak.
Bacaan anak sekiranya haruslah dapat membuat anak merasa gembira,
mengembangkan imajinasinya, sekaligus berkontribusi bagi pengembangan diri
mereka yang sedang bertumbuh.
Bacaan Anak dalam Masyarakat Konsumsi
Bergesernya bacaan tercetak menjadi digital untuk anak-anaktidak terlepas
dari kondisi sosial masyarakat yang ada pada saat ini. Perkembangan teknologi-
dalam hal ini gawai, telah membawa pengaruh dan perubahan ke seluruh sendi
kehidupan masyarakat. Gawai kini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi,
tetapi juga menyediakan berbagai sarana untuk memudahkan dan memanjakan
manusia dalam banyak hal, bahkan hingga sarana hiburan.
Kehidupan masyarakat saatini mengarah pada suatu kondisi yang disebut
oleh Jean Baudrillard sebagai masyarakat konsumsi (2004). Dalam masyarakat
konsumsi, Baudrillard menggambarkan suatu masyarakat yang terjebak dalam
konsumsi simbol, drugstore, simulacra (simulakrum), sampah visual, dan ditingsi.
Perubahan pola konsumsi pada masyarakat modern ini ditandai dengan
bergesernya orientasi konsumsi, yang semula untuk memenuhi kebutuhan bagi
keberlangsungan hidup, kini menjadi gaya hidup. Kepemilikan teknologi- dalam
hal ini gawai sepertismartphone- menjadi tanda atau simbol atas status sosial
seseorang dalam masyarakatnya.Banyaknya sampah visual yang menjadikan
seseorang merasa “harus” memiliki barang seperti para model yang mengiklankan
suatu produk, menjadikan masyarakat secara tak sadar membeli status untuk
barang yang dimilikinya. Jika mereka berusaha menghindar dari apa yang menjadi
tren di masyarakatnya, mereka takut dengan distingsi (jarak sosial) yang akan
tercipta. Dengan kata lain, mereka mengonsumsi simbol dan menyesuaikan diri
dengan selera “pasar kebanyakan”.Hal ini dikarenakan mereka takut jika
dikucilkan dari lingkungan sosialnya, dianggap kuno, ketinggalan jaman,
kampungan, dan sebaginya.
Dengan mengacu pada apa yang dikemukakan oleh Baudrillard, maka
gawai- dalam hal ini smartphone diibaratkan sebagai sebuah toko obat
(drugstore). Saat ini toko obat muncul dengan konsep sebagai toko yang melayani
kebutuhan konsumennya selama 24 jam. Toko obat ini tidak hanya menyediakan
obat, namun menyediakan pula barang lainnya. Konsumen yang semula akan
membeli obat, akhirnya sangat dimungkinkan membeli juga barang lain yang
tidak ada hubungannya dengan obat, namun kedua jenis barang tersebut
didapatkan sekaligus di toko obat.Smartphone tidak hanya memenuhi kebutuhan
untuk berkomunikasi. Komunikasi yang terjadi melalui smartphonepun tidak
hanya bersifat audio- videodan surat elektromagnetik pun dimungkinkan. Dengan
kemampuan mengolah data, smartphone juga menyediakan beragam fitur;
aplikasi perkantoran, edukasi, permainan, hingga hiburan. Bagai sebuah toko obat
24 jam yang serba ada, begitulah smartphone adanya- menyediakan berbagai rupa
kebutuhan konsumennya, kapanpun membutuhkannya.
Kebutuhan para konsumennya tersebut terlihat seolah nyata. Sesuatu yang
hanya dapat dibayangkan, gambar yang tidak bergerak, bahkan konsep yang
hanya ada dalam benak, dapat diwujudkan. Smartphonemerupakan hasil
darisimulakrumyang dapat mengubah sesuatu yang abstrak menjadi
konkretataupun yang kongkret menjadi abstrak. Dalam simulakrum pula sifat-sifat
manusia seolah tergantikan.Simulakrumyang memungkinkan smartphone untuk
menyediakan segalanya ini sesungguhnya memunculkan pula hipperrealitas yang
terlalu berlebihan dalam memaknai sesuatu, hingga makna tersebut seolah hanya
bersifat kebohongan semata.
Smartphone kini dimiliki oleh sebagian besar masyarakat, dari berbagai
kalangan dan status sosial. Yang tidak memilikinya, dianggap aneh dan
ketinggalan jaman. Sebagian orangtua saat ini seringkali memberikan
smartphone-nya sebagai bagian dalam aktivitas pengasuhan anak-anak mereka. Di
rumah, di restoran, bahkan di atas kereta, saat anak rewel dan tak mau diam,
smartphone menjadi senjata pamungkas untuk mendiamkan dan membuat mereka
duduk manis. Di sinilah, smartphone yang awalnya hanya untuk memenuhi fungsi
komunikasi dan memudahkan pekerjaan kantor, kini menyediakan pula beragam
fitur yang dapat memuaskan ibu rumah tangga hingga anak-anak. Beragam resep
masakan, cara memasak, berbagai aktivitas untuk memudahkan pengasuhan anak,
tersedia semuanya. Melalui smartphone, seolah fungsi dan peran manusia pun
dapat digantikan.
Berkaitan dengan bacaan anak, keberadaan dongeng digital sesungguhnya
menggantikan fungsi dari agen-agen sosialisasi yang selama ini ada. Padahal,
dalam pertumbuhannya, anak-anak membutukan keterlibatan agen-agen
sosialisasi dalam hidupnya. Fuller dan Jacobs dalam Sunarto (1993)
mengidentifikasikan adanya lima agen sosialisasi utama yaitu keluarga, kelompok
bermain, media massa, dan sistem pendidikan. Keluarga menjadi agen sosialisasi
pertama dan terpenting bagi anak-anak dalam mengembangkan kemampuan
berinteraksi dan berkomunikasi dalam bentuk verbal maupun nonverbal (Gertrude
Jaeger dalam Sunarto, 1993).
Sosok ibu yang mendongeng di kala anak akan berangkat tidur, kini
digantikan fungsinya oleh dongeng digital. Hanya dengan satu “klik” saja,
dongeng digital tesedia dalam smartphone, suara pendongeng pun menggantikan
suara ibu. Smartphone menyediakan pula fungsi dan peran ibu dalam pengasuhan
anak, dengan ini seolah ibu telah menjalankan perannya. Padahal, dalam
pengasuhan anak, sosialisasi dan internalisasi nilai secara langsung kepada anak-
anak tetaplah dibutuhkan, terutama jika itu berkaitan dengan pertumbuhan anak di
usia awal. Saat peran ibu tergeser oleh dongeng digital, dan interaksi antara ibu
dan anak berkurang bakan tidak ada, maka akan ada nilai-nilai kehidupan yang
berkurang pula yang akan diterima bahkan dipahami oleh sang anak.
Jika diperiksa komentar para pengguna aplikasi dongeng digital ini,
sebagian besar memang menyatakan bahwa dongeng digital untuk anak ini
menyenangkan, bagus, memudahkan orangtua dalam mendongeng, tidak susah
memikirkandogeng apa yang akan diberikan- tinggal menyalakan aplikasinya
saja, anak-anak sudah dapat mendengarkan dongengnya. Begitu pula yang
dicantumkan oleh pembuat salah satu dongen digital “Buku ini merupakan
sumber pendidikan karakter dan hiburan bagi anak-anak.Anda dapat memberikan
perangkat Android Anda untuk anak-anak Anda dan mereka dapat sendiri
membaca seluruh cerita. Ini membuat mereka sibuk!”
(https://play.google.com/store/apps/details?id=air.air.com.ksm.visualBook.
mumuikanmujahir).
Dari komentar di atas, tertangkap kesan bahwa anak dibiarkan dengan
bacaannya. Tanpa pendampingan dari orangtuanya. Membiarkan mereka sibuk
dan berinteraksi sendiri dengan bacaannya, sangat mungkin akan memakan waktu
berjam-jam. Dapatlah dibayangkan jika anak berjam-jam berinteraksi dengan
smartphone-nya tanpa mengembangkan kecakapan sosialnya, anak-anak pun
menjadi gagap dengan lingungan sosialnya. Inilah yang digambarkan oleh
baudrillard (2004), bahwa mereka yang terjebak dalam sampah visual, konsumsi
simbol, distingsi, drugstore, dan hiperrealitas, maka berakhirlah kehidupan sosial
mereka seperti yang dikatakan oleh Baudrillard (2004).
Penutup
Seiring dengan perkembagan teknologi, bacaan kini tidak hanya dalam
bentuk tercetak. Kemunculan buku digital ditengarai sebagai suatu bentuk baru
dalam penyajian bacaan bagi khalayak. Dongeng digital pun bermunculan sebagai
alternatif dalam bacaan anak. Dongeng digital dengan mesin pendongengnya,
bahkan dapat menggantikan peran orangtua dalam pengasuhan dan pengenalan
nilai pada proses sosialisasi yang dilalui oleh anak-anak.
Namun demikian, keberadaan dongeng digital saat ini dalam khazanah
bacaan anak di Indonesia, sekiranya masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut
terhadap materinya berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, motorik, dan sosial
yang diperlukan anak dalam pertumbuhannya, terutama jika bacaan tersebut
menyangkut pembaca anak di usia awal.
Kesadaran masyarakat untuk memberikan bacaan yang sesuai kepada anak
tanpa mengurangi bahkan meniadakan kedekatan antara orangtua dengan anak
pun masih perlu ditingkatkan. Bagaimanapun, anak-anak, terutama anak-anak di
usia awal tetap membutuhkan pendampingan dari orangtua dalam bacaannya.
Daftar Pustaka
Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Christantiowati.1996. Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode
1908—1945. Jakarta: Balai Pustaka
Damono, Sapardi. 2014. (Edisi Revisi). Sosiologi Sastra Pengantar Ringkas.
Jakarta: Editum
Huck, Charlotte S, Susan Hepler, dan Janet Hickman. 1987. Children’s Literature
in The
Elementary School. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Laurenson, Diana & Swingewood, Alan. 1972. The Sociology of Literature.
London: Paladin.
Santosa, Elizabeth T. 205. Raising Children in Digital Era. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo
Sarumpaet. Riris K. 1976. Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan
Pendahuluan ke dalam Hakekat, Sifat, dan Corak Bacaan Anak Serta
Minat Anak pada Bacaannya. Jakarta: Pustaka Jaya.
____________________. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak: Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor.
top related