dikwar
Post on 04-Jul-2015
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
A. Kelompok Pejuang
Pemberontakan Peta
Perlawanan PETA di Blitar (29 Februari 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Perlawanan PETA di Meureudu, Aceh (November 1944)
Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun T. Hamid. Latar belakang perlawanan ini karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya.
Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu (Bundanco) Kusaeri bersama rekan-rekannya. Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu.
Perlawanan Pang Suma
Perlawanan Rakyat yg dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan Selatan. Pang Suma adalah pemimpin suku Dayak yg besar pengaruhnya dikalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.
Perlawanan Koreri di Biak
Perlawanan ini dipimpin oleh L. Rumkorem, pimpinan Gerakan “Koreri” yang berpusat di Biak. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sebagai budak belian, dipukuli, dan dianiaya. Dalam perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh korban, tetapi rakyat melawan dengan gigih. Akhirnya Jepang meninggalkan Pulau Biak.
Perlawanan di Pulau Yapen Selatan
Perlawanan ini dipimpin oleh Nimrod. Ketika Sekutu sudah mendekat maka memberi bantuan senjata kepada pejuang sehingga perlawanan semakin seru. Nimrod dihukum pancung oleh Jepang untuk menakut-nakuti rakyat. Tetapi rakyat tidak takut dan muncullah seorang pemimpin gerilya yakni S. Papare.
Perlawanan di Tanah Besar Papua
Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Dalam perlawanan rakyat di Papua, terjadi hubungan kerja sama antara gerilyawan dengan pasukan penyusup Sekutu sehingga rakyat mendapatkan modal senjata dari Sekutu.
Gerakan bawah tanah
Sebenarnya bentuk perlawanan terhadap pemerintah Jepang yang dilakukan rakyat Indonesia tidak hanya terbatas pada bentuk perlawanan fisik saja tetapi Anda dapat pula melihat betnuk perlawanan lain/gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh:
Kelompok Sutan Syahrir di daerah Jakarta dan Jawa Barat dengan cara menyamar sebagai pedagang nanas di Sindanglaya.
Kelompok Sukarni, Adam Malik dan Pandu Wiguna. Mereka berhasil menyusup sebagai pegawai kantor pusat propaganda Jepang Sendenbu (sekarang kantor berita Antara).
Kelompok Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah kelompok mahasiswa dan pelajar.
Kelompok Mr. Achmad Subardjo, Sudiro dan Wikana. Mereka adalah kelompok gerakan Kaigun (AL) Jepang.
Mereka yang tergabung dalam kelompok di bawah tanah, berusaha untuk mencari informasi dan peluang untuk bisa melihat kelemahan pasukan militer Jepang dan usaha mereka akan dapat Anda lihat hasilnya pada saat Jepang telah kalah dari Sekutu, kelompok pemudalah yang lebih cepat dapat informasi tersebut serta merekalah yang akhirnya mendesak golongan tua untuk secepatnya melakukn proklamasi.Demikianlah gambaran tentang aktifitas pergerakan Nasional yang dilakukan oleh kelompok organisasi maupun gerakan sosial pada masa pemerintah pendudukan Jepang, tentu Anda dapat memahami sebab-sebab kegagalan dan mengapa para tokoh pergerakan lebih memilih sikap kooperatif menghadapi pemerintahan militer Jepang yang sangat ganas/kejam.
B. 10 november 1945
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara
Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di
kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan
pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan
terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas
perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Kronologi penyebab peristiwa
Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia
secara resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi
pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di
banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15
September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25
Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk
melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta
memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga
membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut
membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak
rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana
melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang
menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke
segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada
insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel
Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65
Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-
Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel
Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera
Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang
dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih
diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik
dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya
dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam
perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk
mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan
pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik,
yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol
Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian
pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula
bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan
bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan
mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil
tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa
di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu
tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.
Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar
pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan
sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman
menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui
identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah
Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak
Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh
untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia
menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi
NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour
Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan
bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota
pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa
gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut
kutipan dari Tom Driberg:
“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain
alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata.
Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi
(gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak
kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin
setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik
tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan
tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah
pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah
untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya
secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas
dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang
Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya
(Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya
dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat
kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan … “
Ultimatum 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal
Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang
Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan
dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut
ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri,
dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu,
banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan
pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar,
yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut
dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan
bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan
ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun
terluka.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa
ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo
yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-
pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan
santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat
tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai)
shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke
minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga
minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi
korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik
Indonesia hingga sekarang.
Cerita Lain Yang belum pernah Terungkap Versi Soemarsono (Wawancara oleh
Dahlan Iskan)
Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (1)
Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda
Saya tidak menyangka kalau tokoh ini masih hidup. Bahkan, masih segar bugar. Dia
lahir pada 22 September 1921 yang berarti kini sudah berusia 88 tahun. Bicaranya masih sangat
bersemangat dan ingatannya masih luar biasa tajam. Dia tidak pernah diwawancarai wartawan,
setidaknya karena dua hal. Pertama, selama 35 tahun masa Orde Baru tentu tidak ada wartawan
yang berani mewawancarainya. Kedua, dia memang jarang bergaul di depan umum. Ini karena
sepanjang hidupnya dulu dia hampir selalu berada di penjara. Kalau toh waktu itu sedang di luar
penjara, dia tidak berani menggunakan nama aslinya.
Dan, 22 tahun terakhir, setelah keluar dari penjara, dia memilih tinggal di Sydney,
yang membuatnya semakin jauh dari ingatan orang Indonesia. Apalagi, dia juga lantas menjadi
warna negara Australia. Tinggal dialah tokoh utama pertempuran Surabaya pada 1945 yang
masih hidup. Yang menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan itu. Selama ini kita hanya
menyanjung-nyanjung tokoh seperti Bung Tomo atau Roeslan Abdoelgani. Padahal, yang satu
ini adalah ketuanya dua orang itu. Bahkan, Bung Tomo pernah minta kepada dia agar
diselamatkan nyawanya. Yakni, ketika Bung Tomo ditangkap para pemuda karena dianggap
melanggar disiplin perjuangan.
Dia yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal kala itu. Namun, namanya
tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi disebut-sebut orang, entah sudah berapa
puluh tahun. Namanya pendek: Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son
saja. Dia juga pernah punya banyak nama samaran: Samio dengan pangkat sersan atau Setia
dengan pekerjaan guru. Bergantung pada siapa yang sedang menangkapnya. Dia sendiri secara
resmi pernah punya pangkat mayor jenderal (tituler) yang diberikan oleh Bung Karno.
Begitu mendengar bahwa orang ini masih hidup, saya langsung berusaha mencari dan
menemuinya. Awalnya tentu saya harus mencari orang yang tahu alamat lengkapnya di Sydney.
Saya bertekad ingin ke sana khusus untuk menemuinya. Tapi, ketika saya sedang menelusuri
alamatnya itu, saya mendengar selentingan bahwa dia lagi di Jakarta. Lagi menengok anaknya.
Saya pun bergegas ke Jakarta pekan lalu. Sebelum Marsono keburu balik ke Sydney. Pagi itu
juga saya bisa diterima di rumah anaknya di bilangan Bintaro. Salah satu dari enam anaknya
memang tinggal di perumahan kelas menengah itu. Putrinya ini seorang dokter gigi yang kawin
dengan seorang fund manager. Dialah anak yang praktis dibesarkan hanya oleh ibunya, karena
sang ayah lebih banyak ‘’sibuk” masuk penjara.
Hampir lima jam saya bicara dengan Soemarsono. Tentu, saya menanyakan banyak
hal. Mulai pertempuran Surabaya sampai ke soal Peristiwa Madiun yang menewaskan banyak
sekali keluarga saya. Ya! Soemarsono juga tokoh utama dalam Peristiwa Madiun 1948 yang
amat terkenal itu. Jabatannya dalam struktur pemerintahan yang dipimpin Musso dan Amir
Syarifudin itu sangat tinggi: gubernur militer. Dalam kesempatan lain saya akan menulis khusus
mengenai bagaimana Soemarsono memimpin peristiwa Madiun kala itu. Soal pertempuran
Surabaya sendiri dia masih ingat sampai ke soal detail-detailnya. Penjelasannya sangat rinci,
dengan warna-warna yang kaya dan tanpa pretensi agar dia diakui sebagai pahlawan utama
pertempuran Surabaya. ”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan dalam pertempuran
Surabaya itu,” kata Soemarsono ketika saya tanya mengapa dia tidak mau menonjolkan diri.
”Pahlawan sebenarnya adalah rakyat,” tambahnya.
Tapi, mengapa Bung Tomo begitu populer sebagai tokoh pertempuran Surabaya?
Soemarsono ternyata memiliki jawaban yang belum pernah saya dengar selama ini. Jawabannya
ini juga tidak pernah diucapkan oleh siapa pun selama ini. ”Itu karena dia terus mengobarkan
semangat rakyat lewat radio,” ujar Soemarsono. ”Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia
memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” tambahnya.
PRI adalah singkatan Pemuda Republik Indonesia, sebuah organisasi yang
menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya. Soemarsonolah ketua PRI itu.
Ketika Bung Tomo membakar semangat kepahlawanan arek-arek Soroboyo melalui radio,
Soemarsono sebagai ketua PRI terus menggerakkan rakyat di lapangan. Membakar semangat
yang sama dari kampung ke kampung. Kalau istilah sekarang, Bung Tomo yang melakukan
serangan udara dan Soemarsono yang menggelar serangan darat.
Selama ini, sesuai dengan yang ditulis di buku-buku, kita mengenal Bung Tomo
sebagai ketua BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia). Bukan sebagai bagian penerangan
PRI. ”Benar,” kata Soemarsono. ”Tapi, itu belakangan. Setelah dia semakin terkenal, kemudian
dia mendirikan BPRI. BPRI itu berdiri belakangan,” ujarnya. Bahkan, menurut Soemarsono,
tindakannya mendirikan BPRI itu sempat menjadi masalah. Membuat tokoh-tokoh pemuda
Surabaya marah. Bung Tomo dianggap berusaha memecah belah kekuatan pemuda Surabaya.
Bung Tomo, kata Soemarsono, lantas ditangkap oleh pemuda-pemuda beringas itu.
”Lalu dibawa ke saya dengan maksud agar saya menjatuhkan hukuman kepadanya,” kata
Soemarsono. ”Begitu tiba di rumah saya, Bung Tomo langsung duduk jongkok di depan saya.
Minta nyawanya diselamatkan,” tambah Soemarsono. Kisah ini benar-benar baru bagi saya.
Saat itulah Soemarsono berusaha menenangkan para pemuda itu. Dia menjelaskan
bahwa Bung Tomo tidak menyalahi aturan. Pendirian BPRI justru bisa menampung pemuda-
pemuda yang masih di luar PRI, seperti tukang-tukang becak. Para pemuda beringas tersebut
ternyata bisa menerima penjelasan Soemarsono. Bahkan, Soemarsono menyatakan bahwa Bung
Tomo tetap sebagai ketua bidang penerangan PRI dan sekaligus diperbolehkan menjadi ketua
BPRI. Maka, tidak ada lagi yang mencurigai Bung Tomo sebagai orang yang bergerak sendiri.
PRI sendiri didirikan pada 21 September 1945. Kurang dari dua bulan sebelum
pertempuran 10 November Surabaya. Yakni, ketika hampir semua organisasi pemuda saat itu
menyatakan meleburkan diri ke dalam PRI. Beberapa tokoh, seperti Soemarsono, Roeslan
Widjajasastra, dan Bambang Kaslan menjadi pimpinannya, namun belum ada ketuanya.
Dua hari kemudian ada rapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) yang diketuai Roeslan
Abdoelgani di gedung GNI, Jalan Bubutan. Dalam rapat yang juga dihadiri seluruh eksponen
pemuda Surabaya inilah Roeslan Abdoelgani mengundurkan diri. Dan, yang lebih penting, dia
minta forum itu memilih Soemarsono sebagai ketua PRI. Maka, hari itu Soemarsono terpilih
secara aklamasi. ”Saya sudah terlalu tua untuk memimpin organisasi pemuda ini,” ujar Roeslan
Abdoelgani seperti ditirukan Soemarsono.
PRI memilih bermarkas di sebuah bangunan kecil di Jalan Wilhelminalaan. Hari itu
juga papan nama jalan tersebut langsung mereka ganti dengan Jalan Merdeka (sekarang dikenal
dengan nama Jalan Widodaren). Belakangan markas PRI pindah ke Hotel Simpang yang jauh
lebih besar.
”Roeslan Abdoelgani itu, menurut saya, mundur bukan karena merasa terlalu tua.
Tapi, dia itu orangnya memang agak penakut,” ujar Soemarsono seraya tersenyum. ”Kalau saya
ini sudah sering bilang kepada istri bahwa saya bisa sewaktu-waktu mati. Harus diikhlaskan,”
tambahnya.
Hari itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke rumahnya di Jalan Peneleh.
Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda Surabaya. Dia sudah jadi ketua
Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya jadi ketua Pemuda Republik Indonesia –organisasi
yang menghimpun perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang
menjadi kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis pergerakan. Para pemuda
umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono adalah tokoh PKI ilegal –sejak pemberontakan
1926 PKI dilarang hidup di Indonesia dan kelak baru hidup lagi pada 1950.
Tiba di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan adanya bendera Belanda yang
berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan pemuda yang ke rumah Soemarsono itu
berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut agar Soemarsono mau bertindak. “Waktu itu di
rumah saya juga lagi ada beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,” kata
Soemarsono mengenang.
Maka, dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono mengajak mereka berjalan ke
arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang perjalanana dari Peneleh ke Jalan
Tunjungan mereka terus berteriak. Intinya mengajak orang-orang yang mereka lewati untuk
bergabung bersama-sama ke Jalan Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama jumlah
yang bergabung kian banyak. Sampai di depan hotel jumlahnya sudah ratusan orang.
Menurut Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman hotel. Mereka melihat ada
seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia adalah tentara Inggris yang ditugaskan
menjaga hotel. Kepada si sersan mereka berteriak-teriak sambil menudingkan tangan ke atas
atap, ke arah bendera berkibar. Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.
Si sersan tidak mau beranjak. “Dia hanya melongo saja. Rupanya dia tidak mengerti
bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan turunkan bendera itu…,” ujar
Soemarsono.
Sesaat kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang Belanda yang badannya seperti
petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui bahwa dia adalah W.V.Ch. Ploegman, orang
yang oleh Belanda ditugaskan kembali sebagai wali kota Surabaya. Sebagai wali kota
sebenarnya dia sudah tidak berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar
dari hotel, Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam. Maksudnya
menakut-nakuti massa.
Melihat itu para pemuda mundur beberapa puluh meter. Mereka tertegun ketika tiba-
tiba ada orang yang berani menghadapi dengan senjata yang diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama
para pemuda itu tertegun. Dalam suasana diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang
di bagian belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.
“Turunkan bendera itu,” teriaknya dari belakang. Pemuda yang lain juga mulai ada
yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan tersebut semakin ramai. Ribut. Gaduh.
Kian berani. Bahkan ada yang mulai berani melempar batu dan pecahan genteng ke arah
Ploegman. Kian lama semakin banyak batu yang dilempar. Keberanian kolektif mereka
meningkat. Mereka menyerbu lagi ke depan hotel.
Tiba-tiba, Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya itu terkapar. Perutnya
ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh seorang tukang becak yang bisa saja
sebenarnya dia tidak tahu siapa Ploegman sebenarnya –kecuali bahwa orang itu hanyalah orang
yang menyebalkan.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus
meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai
menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka
naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah
seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah
dan putih.
Cerita pendaratan sekutu
Saya juga baru tahu dari Soemarsono tentang latar belakang sebenarnya mengapa
pertempuran Surabaya dulu terjadi. Selama ini saya hanya tahu bahwa hari itu tentara Sekutu
mendarat kembali di Surabaya, lalu disangka bahwa Belanda akan menjajah kembali Indonesia.
Pemuda Surabaya tidak senang atas kenyataan itu, lalu terjadilah pertempuran dahsyat yang
membuat Surabaya menjadi Kota Pahlawan itu.
Ternyata tentara Sekutu itu mendarat di Surabaya dengan cara baik-baik. Menurut
Soemarsono -tokoh utama pertempuran Surabaya yang ternyata masih hidup dan berusia 88
tahun ini-, tentara Sekutu waktu itu mendarat dengan izin resmi dari pemerintah Indonesia. Juga
diterima secara baik-baik oleh kekuatan pemuda Surabaya, yang di dalamnya Soemarsono
menjadi ketua.
Sebelum tentara Sekutu mendarat, tiga utusan dari pemerintah pusat datang menemui
Soemarsono. Salah seorang di antara mereka adalah pejabat Menteri Keamanan Salyo
Hadikusumo (menteri keamanan yang sebenarnya adalah Suprijadi. Namun, sejak sebelum
diangkat pun tidak ada yang tahu di mana pejuang dari Blitar itu berada). Ada juga Menteri
Negara Sartono. Utusan Jakarta ini memberi tahu bahwa dalam waktu dekat tentara Sekutu akan
mendarat di Surabaya.
Tujuan pendaratan itu baik: mereka akan mengurus tahanan-tahanan perang di masa
lalu yang masih ada di penjara-penjara Surabaya. Yakni, ketika terjadi perang antara Jepang dan
tentara Sekutu dengan kekalahan telak di pihak Jepang di seluruh Asia. Urusan ini, menurut ilmu
hubungan internasional, disebut RAPWI -Repatriation of Allied Prisoners of War and Internees.
Maka, ketika tentara Sekutu mendarat, para pemuda Surabaya pun membantu. Mereka
menyiapkan di mana saja Komisi Pengurusan Tawanan Perang Sekutu itu akan bermarkas. Salah
satunya di Gedung Internatio -bangunan dua lantai yang kini berada di bagian barat Jembatan
Merah Plaza itu. Di sinilah Brigjen Mallaby, komandan komisi itu, berkantor.
Menurut Soemarsono, kecurigaan mulai muncul setelah tiga hari tentara Sekutu berada
di Surabaya. Lalu mulailah muncul rumor dan desas-desus: jangan-jangan Sekutu juga akan
melucuti senjata yang secara luas kini berada di tangan mereka. Sebab, senjata-senjata itu dulu
memang milik Jepang atau Belanda. Baik yang didapat dengan cara direbut maupun hasil dari
tentara Sekutu yang ditembak. Dalam tiga hari itu, berita dari mulut ke mulut kian luas: kok
tentara Sekutu berada di sudut-sudut Surabaya yang strategis.
Berdasarkan kecurigaan itulah pemuda Surabaya membuat keputusan untuk
mendahului daripada didahului. Kekuatan pemuda Surabaya mulai menyerang pusat-pusat
konsentrasi tentara Sekutu. Terjadilah perang selama tiga hari. Yakni 28, 29, dan 30 Oktober
1945.
”Perang ini perang besar. Ini perang melawan tentara Sekutu yang gagah berani, yang
persenjataannya modern, yang baru saja memenangkan perang besar di seluruh Asia
Timur/Tenggara,” ujar Soemarsono.
Dalam pertempuran itu, menurut Soemarsono, kekuatan pemuda Surabaya di atas
angin. ”Saya yakin, dalam beberapa jam lagi kemenangan mutlak sudah bisa didapat,” ujar
Soemarsono mengenang peristiwa 64 tahun lalu itu.
Sekutu sudah kewalahan. Buktinya, Mallaby menghubungi markas pusat Sekutu se-
Asia Tenggara di Singapura. Mallaby minta atasannya itu mengusahakan genjatan senjata.
”Karena itu, kami sempat jengkel ketika Bung Karno minta pertempuran dihentikan,” ujar
Soemarsono yang dalam usia 88 tahun ini semangatnya masih luar biasa.
Setelah menerima laporan dari Mallaby, komandan tertinggi tentara Sekutu di
Singapura, D.C. Hawthorn, langsung terbang ke Jakarta. Yakni, untuk menemui Bung Karno dan
Bung Hatta. Hawthorn minta diberlakukan gencatan senjata. Waktu itu Bung Karno belum genap
tiga bulan menjadi presiden pertama Indonesia. Soemarsono tidak tahu apa kompensasi yang
diberikan tentara Sekutu untuk tawaran gencatan senjata di Surabaya ini. Yang jelas, hari itu juga
Bung Karno dan Bung Hatta langsung terbang ke Surabaya dengan pesawat dari Singapura
tersebut.
Tiba di Surabaya Bung Karno langsung melakukan konvoi keliling kota. Bung Karno
menyerukan agar tembak-menembak dihentikan. Bung Karno keliling kota seperti itu karena
tidak tahu bagaimana cara mencari para pimpinan pemuda Surabaya. Mereka semua sedang
berada di front yang berbeda-beda. Soemarsono, misalnya, lagi memimpin pasukan di
Wonokromo, bagian selatan Kota Surabaya.
Soemarsono kaget ketika tiba-tiba mendengar seruan Bung Karno itu. ”Saya nyumpah-
nyumpah dan marah-marah. Bagaimana ini? Perang sudah hampir menang, kok disuruh
berhenti,” kisahnya.
Dari siaran itu Soemarsono juga tahu bahwa mobil konvoi presiden akan melewati
Jalan Ngagel yang tidak jauh dari Wonokromo. Karena itu, dia pamit kepada pasukannya untuk
mencegat konvoi Bung Karno di Ngagel. ”Saya berdiri di tengah jalan. Saya hentikan mobil
yang membawa Bung Karno dan Bung Hatta. Konvoi itu berhenti. Mallaby juga ada dalam
konvoi itu. Saya marah-marah kepada Bung Karno. Saya beri tahu Bung Karno bahwa sebentar
lagi Inggris pasti kalah. Mengapa dihentikan begitu. Bung Karno diam saja sambil menunduk,”
kenang Soemarsono.
Tidak lama kemudian, Soemarsono melihat Bung Karno menjawil Mr Amir
Syarifuddin. Jabatan Amir kala itu adalah menteri keamanan rakyat. Jawilan Bung Karno itu
maksudnya sebagai kode agar Amir turun dari mobil untuk menemui Soemarsono.
”Amir langsung merangkul pundak saya dan membisikkan kata-kata yang membuat
saya lemas menyerah,” kata Soemarsono sambil memeragakan bagaimana Amir merangkul
dirinya dengan cara dia merangkul Don Kardono, pemred harian INDOPOS Jakarta (Jawa Pos
Group) yang bersama saya menemui Soemarsono pekan lalu.
Sambil merangkul Don Kardono, Soemarsono membisikkan kata-kata seperti gaya
waktu Amir membisikkan kata-kata sakti itu kepadanya. Apa isi bisikan ”maut” itu? ”Marsono,
ini sudah dirundingkan dengan kita-kita di Jakarta,” ujar Soemarsono menirukan bisikan Amir
Syarifuddin. Melihat Soemarsono belum bisa menerima alasan itu, Amir menambahkan
bisikannya dengan mengutip pepatah dalam bahasa Inggris. ”Not the battle. We have to win the
war,” bisik Amir.
Dalam kamus militer, memenangkan pertempuran (battle) memang belum berarti
memenangkan perang (war). Padahal, tujuan serangan yang sebenarnya adalah memenangkan
perang dan bukan hanya untuk memenangkan pertempuran. Menurut teori ini, kalau perlu sebuah
pasukan bisa memenangkan perang tanpa harus melakukan pertempuran.
Dalam setiap revolusi, kapan pun dan di mana pun, memang selalu ada konflik intern
menyangkut strategi memenangkan perang. Para politisi sering lebih memilih jalan perundingan.
Para pejuang di lapangan sering memilih jalan perang. Dua kelompok ini sering saling
mengklaim dirinyalah yang benar. Jangankan dalam sebuah perang kemerdekaan sebuah negara.
Dalam sebuah partai kecil pun perbedaan seperti itu tidak bisa dihindarkan. Di Partai Golkar saat
ini, misalnya, pertentangan antara kelompok yang mau oposisi dan yang mau bergabung ke SBY
saja serunya bukan main. ”Mendengar kata-kata Amir itu, saya langsung seperti Gatotkaca ilang
gapite, lemes,” ujarnya. Maksudnya, Soemarsono kehilangan daya. Soemarsono memang sangat
tunduk kepada Amir Syarifuddin. ”Kalau saja hari itu hanya Bung Karno yang meminta saya
untuk menghentikan perang, saya tidak akan tunduk,” ujarnya. ”Tapi, Bung Karno juga tahu
kelemahan saya. Karena itu, Bung Karno mengajak serta Amir Syarifuddin ke Surabaya,”
tambahnya.
Soemarsono akhirnya tidak berdaya ketika justru diajak Amir untuk naik mobil ikut
konvoi. Juga harus ikut menyerukan gencatan senjata. ”Mati aku ini,” katanya dalam hati ketika
itu. Hari itu juga, 30 Oktober 1945, perundingan diadakan di kantor gubernur Jatim. ”Dalam
perundingan itu Mallaby mengatakan ada sekitar 5.000 tentaranya yang hilang. Minta
dikembalikan,” ujar Soemarsono mengenang. ”Saya langsung jawab. Kami kehilangan 20.000
orang. Apa bisa minta kembali?” imbuh Soemarsono.
Perundingan itu memang tidak memuaskan pihak Sekutu. Karena itu, 10 hari
kemudian, 10 November 1945, ketika sudah berhasil konsolidasi, tentara Sekutu melakukan
serangan hebat. Sekutu memborbardir Surabaya. ”Serangan 10 November itu pada dasarnya
adalah serangan pembalasan. Luar biasa banyaknya korban jatuh. Karena itu, saya usul ke Bung
Karno untuk menjadikan hari itu sebagai Hari Pahlawan. Bung Karno langsung setuju,” ujar
Soemarsono.
Dengan mengusulkan penentuan Hari Pahlawan itu, Soemarsono bermaksud agar tidak
ada satu tokoh pun yang ditetapkan jadi pahlawan dalam kaitan dengan perang Surabaya ini.
Tidak juga dirinya. ”Ini perang rakyat Surabaya. Bukan perangnya satu orang,” ujar Soemarsono
yang kini menjadi warga negara Australia itu.
Memangnya Dia Bisa Merobek Bendera Itu Sendirian
Setelah hampir 25 tahun tinggal di Sydney, Australia, Soemarsono sempat ke
Surabaya. Tujuh tahun yang lalu. Yakni ketika dia ke Jakarta untuk menengok anak-anaknya.
Kali ini dia ke Indonesia sebagai orang asing. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Kota Surabaya.
Kota yang pada 1945 melakukan pertempuran besar dan dialah salah seorang tokoh utamanya.
Dia juga sempat ke Jalan Peneleh untuk melihat rumahnya yang bersejarah itu.
Rumah itu, tentu sudah berubah. Penghuninya sudah tidak dia kenal lagi. “Tapi pemilik rumah
yang sekarang sangat baik. Saya diperbolehkan masuk. Dia juga merasa bangga bahwa
rumahnya itu ternyata rumah yang bersejarah,” ujar Soemarsono menceritakan perjalanannya ke
Surabaya itu.
Karena memang tidak ingin menonjolkan diri, waktu ke Surabaya itu Soemarsono tidak ingin
menemui tokoh siapa pun. Dia hanya ingin mengenang pengalaman pribadinya sebagai orang
biasa saat ini. Bahkan sebagai orang asing pula.
Dia ingin konsekuen pada pendirian lamanya agar jangan sampai ada satu atau dua
orang saja yang mengklaim dirinya sebagai yang paling berjasa dalam pertempuran Surabaya
yang bersejarah itu.
Karena itu, Soemarsono juga gelo ketika mengetahui ada orang yang ngotot minta
diakui sebagai yang paling berjasa dalam peristiwa penyobekan bendera tiga warna di atas Hotel
Oranye (kini Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan) itu. Yakni peristiwa kemarahan pemuda
Surabaya ketika melihat bendera Belanda (merah-putih-biru) berkibar kembali di tiang bendera
di atas atap lobby hotel tersebut.
“Memangnya dia bisa merobek bendara itu sendirian. Kalau tidak ada orang-orang
yang mau pundaknya dia injak, apakah dia bisa mencapai bendera itu” Kalau tidak ada orang
yang ramai-ramai naik ke gedung itu, apakah dia bisa naik” Kalau tidak ada puluhan pemuda
yang memenuhi halaman hotel itu sambil berteriak-teriak memaki Belanda, apakah mereka
berani naik” Semua orang itu, ratusan orang itu, semua berjasa,” kata Soemarsono.
Hari itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke rumahnya di Jalan Peneleh.
Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda Surabaya. Dia sudah jadi ketua
Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya jadi ketua Pemuda Republik Indonesia –organisasi
yang menghimpun perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang
menjadi kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis pergerakan. Para pemuda
umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono adalah tokoh PKI ilegal –sejak pemberontakan
1926 PKI dilarang hidup di Indonesia dan kelak baru hidup lagi pada 1950.
Tiba di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan adanya bendera Belanda yang
berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan pemuda yang ke rumah Soemarsono itu
berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut agar Soemarsono mau bertindak. “Waktu itu di
rumah saya juga lagi ada beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,” kata
Soemarsono mengenang.
Maka, dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono mengajak mereka berjalan ke
arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang perjalanana dari Peneleh ke Jalan
Tunjungan mereka terus berteriak. Intinya mengajak orang-orang yang mereka lewati untuk
bergabung bersama-sama ke Jalan Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama jumlah
yang bergabung kian banyak. Sampai di depan hotel jumlahnya sudah ratusan orang.
Menurut Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman hotel. Mereka melihat ada
seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia adalah tentara Inggris yang ditugaskan
menjaga hotel. Kepada si sersan mereka berteriak-teriak sambil menudingkan tangan ke atas
atap, ke arah bendera berkibar. Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.
Si sersan tidak mau beranjak. “Dia hanya melongo saja. Rupanya dia tidak mengerti
bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan turunkan bendera itu…,” ujar
Soemarsono.
Sesaat kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang Belanda yang badannya seperti
petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui bahwa dia adalah W.V.Ch. Ploegman, orang
yang oleh Belanda ditugaskan kembali sebagai wali kota Surabaya. Sebagai wali kota
sebenarnya dia sudah tidak berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar
dari hotel, Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam. Maksudnya
menakut-nakuti massa.
Melihat itu para pemuda mundur beberapa puluh meter. Mereka tertegun ketika tiba-
tiba ada orang yang berani menghadapi dengan senjata yang diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama
para pemuda itu tertegun. Dalam suasana diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang
di bagian belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.
“Turunkan bendera itu,” teriaknya dari belakang. Pemuda yang lain juga mulai ada
yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan tersebut semakin ramai. Ribut. Gaduh.
Kian berani. Bahkan ada yang mulai berani melempar batu dan pecahan genteng ke arah
Ploegman. Kian lama semakin banyak batu yang dilempar. Keberanian kolektif mereka
meningkat. Mereka menyerbu lagi ke depan hotel.
Tiba-tiba, Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya itu terkapar. Perutnya
ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh seorang tukang becak yang bisa saja
sebenarnya dia tidak tahu siapa Ploegman sebenarnya –kecuali bahwa orang itu hanyalah orang
yang menyebalkan.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus
meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai
menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka
naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah
seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah
dan putih.
Banyak bagian dari kisah itu yang juga baru bagi saya. Saya beruntung sempat
bertemu tokoh yang merasa tidak jadi tokoh ini. Apalagi Soemarsono masih bisa menceritakan
apa saja peranannya sebelum kemerdekaan dan setelah proklamasi kemerdekaan. Juga
bagaimana dia kemudian memimpin peristiwa Madiun 1948 bersama Musso dan Amir
Syarifuddin –yang antara lain membuat banyak keluarga saya dibunuh PKI.
Dalam perbincangan selama lebih dari empat jam itu saya juga bisa bertanya banyak
hal mengenai bagaimana dia melawan pemberontak Simbolon di Sumut. Lalu, pada 1965
ditangkap dan dipenjarakan selama 9 tahun karena dituduh terlibat G 30 S/PKI. Juga, bagaimana
dia memutuskan untuk pindah ke Australia dan menjadi warga negara asing. Saya akan
menuliskannya dalam serial yang lain beberapa hari mendatang.
Bung Tomo, Tokoh Pakawan 10 November
MESKIPUN tidak menyelesaikan pendidikan formal. Bung Tomo sukses di organisasi
kepanduan, sehingga dia meraih peringkat Pandu Garuda.
Bung Tomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara
dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan.
Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO.
Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang
melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi,
namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia).
Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran
nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang
baik untuk pendidikan formalnya.
Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda
yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini
hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia. Sayang, dalam catatan Wikipedia atau pelacakan data
lainnya, sulit ditemukan siapa dua sosok lainnya peraih Pandu Garuda itu.
Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober 1945, pimpinan sipil
dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan
iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris,
6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan
Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-
Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah.
Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan
pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di
depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada
massa, supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke
gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil
perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di
depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan
bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah
gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung
sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan
Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan
oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan
alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal
9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah
melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai
menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru datangnya dari pihak Inggris.
Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak.
Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang
Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam
perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I
have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been
told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his
House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns
the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we
accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact
details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably
killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took
place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in
the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in
a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic
communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob.
Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great
courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later,
the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the
proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and
the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent
that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at
any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car
–although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were
approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely
at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides
I have no reason to question…..”
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia
menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his
car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara
licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk
membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian
seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –
tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah
Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di
Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had
already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were
able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly
tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see
Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the
building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender
and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian
officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out
of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire.
The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-
pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung
Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi
kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa
perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan
kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom
Driberg.
Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan
fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had
been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan
kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan
tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu
terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat,
bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but
thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent
into the building to give the necessary orders…..”
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw
dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan
persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi
Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and
marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier
flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was
well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable
strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier
at once countemanded this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya
keterangannya diperoleh dari Kapten Shaw.
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”,
perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa dialah yang
menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang
yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku
sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan besar yang
disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.)
Dul Arnowo mencatat laporan seorang saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke
Presiden Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan
diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan
pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat
memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk
dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada
waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan
laporannya yang pertama, kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom
Driberg di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya,
Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were ordered
by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde., to proceed to the Government
offices, where we were each to collect an Indonesian representative. From there one of us was to
go north, and the other south, through the town, and try to persuade the mobs to go back to their
barracks. Brigadier Mallaby was at this time in conference with the Governor in the Government
Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with
anyone except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security
Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of
which was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas
River, which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been
having a very stiff fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in
considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made
speeches to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were
at first quite well received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards
when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the
situation rapidly deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders
gradually lost control. The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us,
became distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with
very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and
marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier
flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was
well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a
considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility.
The Brigadier at once countemanded this: on further consideration, he decided that the company
had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped
out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least
of the company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the
necessary orders. The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland
managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and
myself on the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the
entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would
lead to a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as
far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four
shots at three of us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went
on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of
that time, the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the
Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it
away. That failed and one of them opened the back door on the Brigadier’s side. The Brigadier
moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke to them and asked to be taken
to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came
back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him again, the Indonesian
answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the
Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the
noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot:
This was the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been
made public. In this second report Smith offered the following explanation:”In the report made
by Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier was killed
instantly. This was done in order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until
after the Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had
previously passed to me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot
which grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two
seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by Brigadier’s body.
As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car,
waited for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas. As the two
Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is presumed that they
were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in the
Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak
Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan keterangan Abdul Azis;
dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan
terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973, Smith menulis
antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from
the left (the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not
ashamed to say at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive
afterwards!”
Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam
mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang mengena. Hal ini
menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan itu baru pertama kali menembak,
sehingga menembak tiga orang dengan jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan
meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari
1974, Smith menulis:“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or
17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The
weapon was an automatic pistol …”
Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara
lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I
certainly could not state that I heard everything that happenned, I think I should have
remembered this, if not now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report.
However, in all fairness, I must say that there were moments when my attention was distracted
from the Brigadier myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince
a very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that
there was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was
certainly able to hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he
was able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that
some of the men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that
the troops in the building should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-
conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain
length of time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my
memory is that the orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas sebagai
akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam tulisannya, dia mengatakan bahwa pada
saat itu sekitar pukul 20.30 dan keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah
diputus oleh pihak Indonesia. Dia hanya mengatakan:“…berdasarkan suara yang didengar dari
arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan
pistol…”
Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh
Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka, artinya tempat Mallaby
duduk.
Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali, karena
hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di kedua lengannya, karena
Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi
wajah atau ciri-ciri tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W.
Hutagalung.
Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah untuk
memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw untuk
memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka meletakkan senjata dan ke
luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu perintah
dari komandan kompi, Mayor Gopal, untuk memulai menembak. Dilihat dari sudut mana pun,
timbulnya tembak-menembak yang berakibat tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara
Inggris.
Mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan.
Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu bahwa Mallaby telah
tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian justru membakar bagian belakang
mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi. Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan
bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat tersebut sehingga dengan demikian, boleh
dikatakan Mallaby tewas karena kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian
dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh
Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo, seorang pemuda berpangkat
kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka
penyebarluasan hasil kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang
melemparkan granat yang mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar,
diakui oleh Smith sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa Smith tidak berada di
dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland di luar mobil ketika terjadi
penembakan terhadap Mallaby. Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat gedung dan
melemparkan granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di sebelah
mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, Captain Smith melempar granat tidak dari
dalam mobil, melainkan dari luar mobil. Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi
Mallaby setelah penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang telah
tewas seperti penuturan Smith.
Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi
sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan pistol ke arah Mallaby
melalui jendela depan di sisi kiri mobil, sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok
belakang, di sisi paling kiri. Dari posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia menggunakan
tangan kiri, kemungkinan besar bagian tubuh Mallaby sebelah kanan yang akan terkena
tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan. Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian
kiri, di bagian jantung.
Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda
tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith- ketika bertiga masih
duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak ke arah mereka dengan senapan sebanyak
empat kali, namun tak satu peluru pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan,
bahwa pemuda yang menembak dengan pistol, juga baru pertama kali memegang pistol,
sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo
menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh anak
buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan
Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan (Sir Laurens van der Post,
The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is
interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being
premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and
nervous excitement of everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer
Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to
draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact
with population, the story of Sourabaya may well have been different.
BANDUNG LAUTAN API
SUATU hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk
mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota
Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung"
ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang
telah menjadi lautan api.
Insiden Perobekan Bendera
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya
merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela
mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara
Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk
menjajah kembali Indonesia.
Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui
Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945,
cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di
Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna
biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia.
Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama
Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.
Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh
terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah
anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan
perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain
menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung.
Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini
dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5
Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada
tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi
buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.
Bandoeng Laoetan Api
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat,
melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh.
Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan
Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan
semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah
tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga,
rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat
menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua
listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang
paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu
yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu
diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan
gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua
pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan
tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar
kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan
TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan
api.
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan
rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI
bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini
melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat
Indonesia.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu.
Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H
Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika),
setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan
apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret
1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan
pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu
Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan
memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.
c. Aksi Belanda
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci
tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi
kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah
dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan warga negara
Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi
dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan
merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh
wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-
sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam
Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi
PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang
pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik
tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar
itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam
segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi yaitu: "mau
mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan
Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian Jawa
dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak
dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali
pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook,
menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali.
Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van
Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada
pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui federasi
Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan
hanya Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal
ini dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal
ini.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van
Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni
1946, van Mook mengirim kawat ke Den Haag: "menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya,
usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu
dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu
yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia
menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Penculikan terhadap PM Sjahrir
Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW,
Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama
Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam
pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Sjahrir, akan tetapi menurut sebuah analisis,
publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan
terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, yang
sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Sjahrir diculik di
Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke
Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana
dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia
mengumumkan, "Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan
negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan
persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih
semua kekuasaan pemerintah". Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan
yang luas yang dipegangnya. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun
baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.
Kembali menjadi PM
Tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri, Sjahrir kemudian
berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabinet
kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi dengan Partai Nasional
Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat
Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet."
Konferensi Malino - Terbentuknya "negara" baru
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan
ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam
bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook
dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa,
Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
1946-1947
Peristiwa Westerling
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat
sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen
pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi
militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan
dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam
perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan
di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris,
Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -
terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang
pokok pokoknya sebagai berikut :
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan
yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling
lambat 1 Januari 1949,
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah
Republik Indonesia
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia -
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis
Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-
bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda
bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama
dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan.
Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang
timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari
kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan
secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan
yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan
rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan Linggarjati
Parade Tentara Republik Indonesia (TRI) di Purwakarta, Jawa Barat, pada tanggal 17
Januari 1947.
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M Kartosuwiryo ditunjuk sebagai
salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota
untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut
membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan
Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo ini
dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan
ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili
melalui partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan
PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak
Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati
benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M
Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang
kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang
tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, *28
ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat
Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani di
Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik
Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di
seluruh Indonesia 29 Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian
tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil
membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara
Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar
sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan
kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara
Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara
langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik
dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik
dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung
untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian
besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak
mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh
karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari
Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).
Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus
dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang
diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah
Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda
selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi
keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan
ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21
Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah
menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta
dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk
menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan
wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di
Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan
batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak
mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli
1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena
sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara
pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur
dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi
Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan
aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut
Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak
Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta
menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah
Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya
sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya.
Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya
menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya
kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat
dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya
kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari
gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi
Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di
samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian.
Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional
dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa
Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
1948
Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan
Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera
setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia,
Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat,
Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah
pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone
demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan
Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di
pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang
direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia
Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama
masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang
persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan
Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan
diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi
militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar
Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah
perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville,
Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup
lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti
sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan
persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung
bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.
Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Hatta sebagai Perdana Menteri
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville
menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang
terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville
ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri
pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan
tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu
menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin
suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya
dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya
mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang
tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan
mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas
perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu
Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan
dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan
lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai
Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah
Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh
kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari
1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir sesudah
Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di
awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi
Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi,
Sumatra Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting
selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan
hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak
bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa
bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan
dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak
berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato.
Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum".
Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika
gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan
mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya
pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang
menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah
pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda
mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa
Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa
Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.
d. PKI Muso
Musso atau Paul Mussotte bernama lengkap Muso Manowar atau Munawar Muso
lahir: Kediri, Jawa Timur Tahun 1897, Ia adalah seorang tokoh komunis Indonesia yang
memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an dan dilanjutkan pada
Pemberontakan Madiun 1948.
Musso adalah salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah pengikut Stalin
dan anggota dari Internasional Komunis di Moskwa Pada tahun 1925 beberapa orang pemimpin
PKI membuat rencana untuk menghidupkan kembali partai ini pada tahun 1926, meskipun ini
ditentang oleh beberapa pemimpin PKI yang lain seperti Tan Malaka,. Pada tahun 1926 Musso
menuju Singapura dimana dia menerima instruksi langsung dari Moskow untuk melakukan
pemberontakan kepada penjajahan Belanda. Musso dan pemimpin PKI lainnya, Alimin,
kemudian berkunjung ke Moskow, bertemu dengan Stalin, dan menerima pemerintah untuk
membatalkan pemberontakan dan membatasi kegiatan partai menjadi dalam bentuk agitasi dan
propaganda dalam perlawananan nasional. Musso akan tetapi berpikiran lain. Pada bulan
November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota termasuk Batavia
(sekarang Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Musso dan
Alimin ditangkap. Musso lsetelah keluar dari penjara pergi ke Moskow, tetapi kembali ke
Indonesia pada tahun 1935 untuk memaksakan “barisan popular” yang dipimpin oleh 7 anggota
Kongres Comintern. Akan tetapi dia dipaksa untuk meninggalkan Indonesia dan kembali ke Uni
Sovyet pada tahun 1936.
Pada 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia melalui Yogyakarta. Pada tanggal
5 September 1948 dia memberikan pidato yang menganjurkan agar Indonesia merapat kepada
uni Soviet. Pemberontakan terjadi di madiun, jawa timur ketika beberapa militer PKI menolak
untuk dilucuti. Pihak meliter menyebutkan bahwa PKI memproklamasikan “Republik Soviet
Indonesia” pada tanggal 18 September 1948 dan mengangkat Musso sebagai prsiden dan Amir
Sjarifuddin sebagai perdana menteri. Akan tetapi pemberontakan dapat dipadamkan oleh pihak
militer. Pada tanggal 30 September 1948, Madiun diambil oleh pasukan republik dari Divisi
Silwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan sejumlah 36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang
terbunuh adalah Musso pada tanggal 31 Oktober dengan tuduhan hendak melarikan diri dari
penjara.
“Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun. Di zaman Revolusi memang
kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan
Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria. Tapi dibelakang tabir poltik berjalan
pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain anggotanya GRR dan
barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari
PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain). Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti
imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan
antara pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan
Banteng yang berbunyi : “Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh
membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng.
Pamflet lain berisi, Siapakah pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan
Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap
kiri penguasa pemerintah 1946-1947 dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan
kekuatan politik yang menyelenggarakan perundingan Indonesia-Belanda antara lain dalam
perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi adalah pimpinan barisan Banteng yang
diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang). Maka terjadilah kegiatan culik menculik
dan pembunuhan. Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara simpatisan masing-masing
kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang muncul misalnya : Tentara hijrah
Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru
ketika Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan
jelas dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para
pemimpin mereka merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana,
Maruto Darusman, Alimin, Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid. Sebenarnya
pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu
konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari
kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir
cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan. Agitasi poitik
sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan
bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa
Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”. Rupanya
bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya didalam
pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam
pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya
beragitasi. Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk
melawan pemerintah Hatta. Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-
reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta. Ketika
pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam. Presiden Soekarno berpidato pada
tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara.
Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan
untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu
tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang
menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha
hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah
daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah”
didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun
pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera
pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan untuk
memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan
penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak
menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi
melawan pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi
serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih dan
ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih
Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat
bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari
Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut
kembali oleh TNI. Para pemberontak banyak yang tertangkap. Sejumlah pengacau langsung
dapat diadili ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati,
Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-
minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya mereka tertangkap juga.
Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah desa dekat
Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-korban yang telah jatuh
karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya
selaku pembela negara. (diambil dari tulisan pada buku “LUKISAN REVOLUSI RAKYAT
INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia
pada bulan Desember 1949).
e. RIS
Berbicara konflik Indonesia-Belanda 1945-1949, sebenarnya kan berkaitan dengan proses
dekolonisasi. Sejak tahun 1945, ketika Belanda kembali ke Indonesia, targetnya kan jelas. Yaitu Belanda
angkat kaki, tapi dengan legowo dan tidak meninggalkan permusuhan. Waktu awalnya perundingan
tawar-menawar tidak jauh dari pidato Ratu Wilhelmina 7 Desember 1942, yaitu Belanda berkuasa lagi
sebagai kolonialis tapi bukan dengan gaya sebelum perang dan yang penting janji kemerdekaan itu ada.
Tapi kapan ?. Kepastian ini amat sumir. Makanya rakyat bersenjata tidak bisa terima. Meskipun kedua
pemerintah berusaha agar tidak saling bunuh, tapi suasananya sudah bersifat konflik bersenjata.
Pokoknya "No War no Peace"lah. Karena ditekan Inggris, Indonesia-Belanda ahirnya berunding dan
berunding lagi. Ketika Hoge Veluwe, pada bulan April 1946 itu kenyataan yang engga bisa dihindari
bahwa undang-undang dasar Belanda tidak mungkin memberikan konsesi lebih jauh dari itu, disamping
Belanda akan menyelenggarakan pemilihan umum pada bulan Mei 1946. Perimbangan politik yang
mendukung Kolonial jalan terus atau bubar amat tipis.(PvdA tidak keberatan Kolonial angkat kaki dari
Indonesia, sedangkan KVP ditambah kaum liberal yang tidak mau rugi mengharapkan bisa bertahan
terus). Cilakanya kaum pro Kolonial menang tipis sehingga Beel naik jadi Perana Menteri. Makanya
Belanda terus mendatangkan pasukan ke Indonesia. Gencatan senjata yang terjadi pada bulan
September-Oktober 1946 itu bukan Armitice tetapi Truce atau sekedar penghentian permusuhan
semata. Untungnya atas persetujuan parlemen Belanda, dibentuk komisi jenderal yang ketuanya adalah
mantan Perdana menteri Schermerhorn (dari PvdA). Komisi Jenderal itu tugasnya sebagai delegasi
Belanda untuk berunding dengan delegasi Indonesia, kalau perlu dengan Presiden Soekarno. Sebagai
penengah Inggris mengirim diplomat kawakannya, Lord Killearn. Maka pada bulan Oktober dan
November 1946, diadakanlah perundingan Indonesia Belanda di Jakarta dengan puncaknya di Linggajati
Kuningan Jawa Barat. Hasilnya Belanda mengakui R.I (yang diproklamir tanggal 17 Agustus 1945) secara
defakto meliputi Jawa dan Sumatera. Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat yang akan mengambil
oper seluruh bekas jajahan Hindia Belanda dan dibentuknya suatu Uni Indonesia-Belanda dimana
ketuanya adalah Ratu Belanda. Hasil perundingan ini yang berbentuk persetujuan, diparaf pada tanggal
15 November 1946. Pihak Indonesia tidak mendapat halangan berat untuk meratifikasi dalam sidang
KNIP (februari 1947), tapi di Belanda perundingan parlemen cukup alot. Makanya yang muncul hasil
perundingan November 1946 yang ditambah dengan penjelasan-penjelasan akibat interpretasi sepihak.
Sampai saat ini para sejarawan Indonesia dan Belanda menganggap adanya dua macam hasil
perundingan Linggajati. Yang pertama yang telah diparaf tahun 1946 dan yang kedua setelah diolah oleh
parlemen Belanda itu yang dikenal sebagai "Linggajati yang disandangi".Tapi ahirnya pada 25 Maret
1947 Persetujuan Linggajati jadi juga ditanda tangani. Tapi suasana ini sudah tidak sebaik tahun 1946.
Bau mesiu sudah menyengat sekali. Aksi Polisionil Belanda yang pertama yang dimulai tgl 21 Juli 1947,
tidak mendatangkan kemajuan berarti, makanya Indonesia-Belanda berunding lagi. Sekarang ditengahi
PBB yaitu yang namanya Komisi Tiga Negara (KTN terdiri dari Australia, belgia dan Amerika Serikat).
Tempat perundingan diatas kapal Amerika USS Renville. Perundingan dilanjutkan di Kaliurang
Yogyakarta. Beel mantan Perdana Menteri Belanda diangkat menjadi Wakil Mahkota Belanda. Meskipun
pangkatnya lebih tinggi, tapi resminya kan menggantikan van Mook sebagai penguasa Hindia Belanda.
Konsep tokoh KVP ini adalah Pemerintahan Interim dimana Belanda masih berkuasa. Kapan itu
berahir ?. Karena dianggap pihak R.I, sudah tidak mungkin diajak berunding lagi, maka diadakanlah Aksi
Polisionil Belanda ke II yang tujuannya meniadakan R.I. Ibukota Yogya diserbu pada tanggal 19
Desember 1948. Sekarang dunia yang memprotes dan menganggap Belanda melakukan agresinya.
Resolusi dikeluarkan sehingga tercapai gencatan senjata lagi. Ada 4 tempat Belanda-Indonesia berkonflik
secara diplomatik dan Militer. Pertama dalam perdebatan diplomasi dalam sidang PBB antara Palar dan
Dr Coa Sek In dengan van Roijen. Yang kedua secara militer di Jawa dan Sumatera pada basis-basis
gerilya antara Soedirman dan Spoor. Yang ketiga di Bangka antara Hatta sebagai pimpinan bangsa
mantan Peradana menteri dengan pihak Belanda (tentu saja Beel) termasuk dengan kedatangan
Perdana menteri Drees pada bulan Januari 1949. Ini ditengahi KTN dengan Tokohnya Cocran (Amerika
Serikat), Heremans (Belgia) dan Critchly (Australia). Dalam hal Bangka BFO (permusyawaratan negara
Federal) dengan ketuanya Anak Agung Gde Agung bermain sangat manis. Seyogyanya mereka
merupakan alat Beel untuk menggolkan sistim pemerintahan interim, tapi justru berhasil berunding
dengan para pemimpin RI di Bangka yang memunculkan rencana menyelenggarakan Konperensi Inter
Indonesia. Beel gagal total sehingga minta mundur. Sedangkan Jenderal Spoor mati misterius. Yang
keempat adalah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dengan ketuanya Sjafroedin
Prawiranegara. Dengan adanya PDRI yang menerima mandat saat Yogya diserang, maka pemeritah RI
tetap eksis sehingga, Soedirman punya dasar untuk terus bergerilya. Demikian pula Palar dan Coa Sek In
tetap bisa berdebat dengan van Roijen di New York sehingga PBB yang kini merubah KTN menjadi UNCI
(United Nation Comission for Indonesia) dapat terus mendesak kedua pihak untuk berunding. Atas
tekanan Amerikalah, Belanda (antara lain berkaitan dengan Marshal Plan) harus menerima resolusi PBB
guna memulai perundingan Meja Bundar di Den Haag. Tapi sebelum itu Pemerintahan R.I harus
dikembalikan lagi ke Yogya. Mengawali Konperensi Inter Indonesia, diadakan pernyataan Bersama
Roem-Roijen sebagai wakil Soekarno-Hatta dan Pemerintah Belanda. Ketika Sjafroedin Prawiranegara
mengembalikan mandatnya dengan lebih dahulu tentara Belanda ditarik dari wilayah Republi kemudian
Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Yogya. Maka Pemerintahan R.I pun berlaku kembali. Setelah
Konperensi Meja Bundar yang berlangsung pada Agustus 1949, maka terbentuklah Negara Republik
Indonesia Serikat. Soekarno diangkat sebagai Presiden RIS dan Hatta sebagai Wakil Presidennya
merangkap Perdana menteri. Mereka dilantik pada Bulan Desember 1949 sebelum berlangsungnya
Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Republik
Indonesia ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, Tetapi RIS baru ada sejak Desember 1949 atau resmi
sebagai negara berdaulat pada tanggal 27 desember 1949 itu. Demikianlah kenyataan sejarah R.I dalam
struktur yang kita kenal sampai sekarang. Tanpa mau menutupi, umur RIS tidak lama karena secara
sepihak RI telah meniadakannya dengan kembali kepada negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus
1950.
g. DI/TII
emberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terjadi di empat daerah, yaitu :
1. DI/TII Jawa Barat
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.
2. DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai komandan pertemburan Jawa Tengah dengan � �pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia . Untuk menghancurkan gerakan � �ini, Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders.
3. DI/TII Aceh
Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh. Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang pada tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII di Aceh diselesaikan dengan kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari musyawarah tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh.
4. DI/TII Sulawesi Selatan
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari
DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.
top related