diatesis hemoragik aini
Post on 02-Dec-2015
1.441 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi yang timbul karena kelainan faal
hemostasis. Gangguan ini secara klinis ditandai dengan perdarahan abnormal yang mungkin
spontan atau terjadi setelah suatu kejadian pemicu (misal, trauma atau pembedahan). Dilihat
dari patogenesisnya, diathesis hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik
karena faktor vaskuler atau kelainan di pembuluh darah, karena faktor defisiensi atau
disfungsi trombosit, dan diathesis hemoragik karena faktor koagulasi.(1,2)
Manifestasi diatesis hemoragik secara umum menunjukan manifestasi perdarahan
seperti purpura, ekimosis, mimisan, perdarahan yang sulit berhenti. Hal ini dapat
menyebabkan suatu kondisi yang berakhir dengan syok jika bersifat masif.(2)
Hemostasis mendasari terjadinya diatesis hemoragik. Hemostasis yang normal
tergantung dari keseimbangan yang baik dan nteraksi yang kompleks antar komponennya,
yaitu endotelium, trombosit, dan rangkaian koagulasi. Sel endotel mengatur beberapa aspek
hemostasis yang acapkali saling bertentangan. Sel-sel endotel dalam keadaan normal
memperlihatkan sifat antitombosit, antikoagulan, dan fibrinolitik. Namun sesudah jejas atau
aktivasi, sel-sel endotel memperlihatkan fungsi prokoagulan. Keseimbangan antara aktivitas
anti dan protrombosis yang dimiliki oleh sel-sel endotel akan menentukan apakah akan terjadi
pembentukan trombus, peningkatan pembentukan trombus, ataukah disolusi trombus.(3)
Fokus anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah menentukan apakah defek yang
dicurigai akuisita atau kongenital (diwariskan) dan mekanisme mana yang tampaknya
berperan (mekanisme primer atau sekunder). Anamnesis harus menentukan letak terjadinya
perdarahan, keparahan, dan lamanya perdarahan, umur awitan, apa saja yang telah dikerjakan
untuk mengendalikan perdarahan, apakah perdarahan spontan atau diimbas, riwayat keluarga,
anamnesis obat, pengalaman pasien dengan trauma terdahulu (misalnya, tindakan bedah,
biopsi, ekstraksi gigi). Pemeriksaan fisik menentukan sifat perdarahan (misalnya petekie,
ekimosis, hematoma, hemartrosis, perdarahan selaput lendir) dan mengidentifikasi tanda-
tanda penyakit primer sistemik. Manifestasi perdarahan khas pada pasien dengan defek
mekanisme hemostasis primer (interaksi trombosit dan pembuluh darah) adalah perdarahan
selaput lendir (misalnya epistaksis, hematuria, menoragia, gastrointestinal), petekie di kulit
dan selaput lendir, dan lesi ekimosis kecil-kecil yang multipel. Tanda perdarahan khas pada
1
pasien dengan defek mekanisme hemostasis sekunder (sistem koagulasi) adalah perdarahan-
dalam ke dalam sendi dan otot, lesis ekimosis yang luas dan hematoma.(4)
2
BAB II
HEMOSTASIS
Hemostasis adalah istilah kolektif untuk semua mekanisme fisiologi yang digunakan
oleh tubuh untuk melindungi diri dari kehilangan darah. Hemostasis adalah proses tubuh
yang secara simultan menghentikan perdarahan dari tempat cedera, sekaligus
mempertahankan darah dalam keadaan cair di dalam komponen vaskular. (1) Sistem
hemostasis berfungsi memulai pembekuan darah dan menghentikan perdarahan.Koagulasi
merupakan proses merubah darah menjadi bekuan darah seperti agar.Sistem hemostasis juga
mencegah pembekuan yang tidak diinginkan dan trombosis. Kelainan pada hemostasis dapat
menimbulkan perdarahan atau trombosis.(3)
Hemostasis yang normal tergantung dari keseimbangan yang baik dan nteraksi yang
kompleks antar komponennya, yaitu endotelium, trombosit, dan rangkaian koagulasi. Sel
endotel mengatur beberapa aspek hemostasis yang acapkali saling bertentangan. Sel-sel
endotel dalam keadaan normal memperlihatkan sifat antitombosit, antikoagulan, dan
fibrinolitik. Namun sesudah jejas atau aktivasi, sel-sel endotel memperlihatkan fungsi
prokoagulan. Keseimbangan antara aktivitas anti dan protrombosis yang dimiliki oleh sel-sel
endotel akan menentukan apakah akan terjadi pembentukan trombus, peningkatan
pembentukan trombus, ataukah disolusi trombus.(3)
Rangkaian peristiwa pada hemostasis pada lokasi jejas vaskular secara umum,yaitu: (3,5)
Setelah jejas awal terjadi terdapat periode vasokonstriksi arteriol yang singkat,
yang sebagian besar disebabkan oleh mekanisme refleks neurogenik dan
diperkuat oleh sekresi faktor lokal, seperti endotelin (vasokontriktor kuat yang
berasal dari endotel). Namun efeknya berlangsung sesaat, dan perdarahan akan
terjadi kembali karena efek ini tidak dimaksudkan untuk mengatasi trombosit
dan sistem pembekuan. (gambar 1.A)
Jejas endotel juga membongkar matriks ekstraseluler (ECM) subendotel yang
sangat trombogenik., yang memungkinkan trombosit menempel dan menjadi
aktif, yaitu mengalami suatu perubahan bentuk dan melepaskan granula
sekretoris. Dalam beberapa menit, produk yang disekresikan telah merekrut
3
trombosit tambahan (agregasi) untuk membentuk sumbat hemostatik. Kejadian
ini merupakan proses hemostasis primer. (gambar 1.B)
Faktor jaringan, suatu faktor prokoagulan dilapisi membran yang disintesis oleh
endotel, juga dilepaskan pada lokasi jejas. Faktor ini bekerja bersama dengan
faktor trombosit yang disekresikan untuk mengaktifkan kaskade koagulasi, dan
berpuncak pada aktivitas trombin. Selanjutnya trombin akan memecah
fibrinogen dalam sirkulasi menjadi fibrin tidak terlarut, menghasilkan suatu
deposisi anyaman fibrin. Trombin juga menginduksi rekruitmen trombosit dan
pelepasan granula lebih lanjut. Rangkaian hemostasis sekunder ini memerlukan
waktu lebih lama dibandingkan dengan pembentukan trombosit awal. (gambar
1.C)
Fibrin terpolimerisasi dan agregat trombosit membentuk suatu sumbat
permanen yang keras untuk mencegah perdarahan lebih lanjut. Pada tahapan ini,
mekanisme kontraregulasi (misalnya aktivator plasminogen jaringan (t-PA)
digerakan untuk membatasi sumbat hemostatik pada lokasi jejas. (Gambar 1.D)
Gambar 1.(3)
Endotel
Sel endotel mengatur beberapa aspek (dan seringkali berlawanan) hemostasis normal.
Di satu sisi, pada tingkatan dasar sel ini menunjukan adanya perangkat antitrombosit,
4
antikoagulan, dan fibrinolisis; di sisi lain, sel ini mampu menunjukan fungsi prokoagulan
setelah mengalami cedera atau aktivasi Endotel dapat diaktifkan oleh agen infeksi, faktor
hemodinamik, mediator plasma, dan oleh sitokin. Keseimbangan antara aktivitas anti
trombosis dan protrombosis endotel menentukan terjadinya pembentukan, perbanyakan, atau
penghancuran trombus (Gambar 2.).(3)
Suatu endotel utuh mencegah trombosit bertemu dengan ECM endotel yang sangat
trombogenik. Trombosit nonaktif tidak menempel pada endotel. Selain itu jika diaktifkan,
trombosit tersebut dihambat oleh prostasiklin endotel (PGI2) dan nitrit oksida agar tidak
menempel pada endotel di sekelilingnya yang tidak cedera. Kedua mediator ini merupakan
vasodilator kuat dan inhibitoragregasi trombosit . Sintesisnya oleh sel endotel dirangsang
oleh sejumlah faktor (misalnya, trombin dan sitokin) yang dihasilkan selama pembekuan. Sel
endotel juga menghasilkan adenosine difosfatase, yang memecah adenosin difosfat (ADP)
dan selanjutnya menghambat agregasi trombosit (sifat anti trombosis endotel).(3,6)
Sifat antikoagulan endotel diperantarai oleh molekul mirip heparin yang mempunyai
membran dan trombomodulin, yaitu reseptor trombin spesifik. Molekul menyerupai heparin
bekerja secara tidak langsung, molekul menyerupai heparin bekerja secara tidak langsung,
molekul tersebut merupakan kofaktor yang memungkinkan antitrombin III untuk
menginaktivasi trombin, faktor Xa, dan beberapa faktor pembekuan lainnya. Trombomodulin
juga bekerja secara tidak langsung, reseptor ini berikatan dengan trombin, mengubahnya dari
prokoagulan menjadi antikoagulan yang mampu mengaktivasi protein C antikoagulan.
Selanjutnya protein C aktif menghambat pembekuan melalui pemecahan proteolitik faktor Va
danVIIIa. Selain sifat anti trombosis dan anti koagulan, endotel juga mempunyai sifat
fibrinolisis. Sel endotel menyintesis t-PA, yang meningkatkan aktivitas fibrinolisis untuk
membersihkan deposit fibrin dari endotel.(3,6)
Gambar 2.(3)
5
Sementara sel endotel menunjukan sifat yang dapat membatasi pembekuan darah, sel
tersebut juga bersifat protrombosis, yang memengaruhi trombosit, protein pembekuan, dan
sistem fibrinolisis. Jejas endotel menimbulkan adhesi trombosit pada kolagen subendotel, hal
ini dipermudah oleh faktor vonWillebrand (vWF), suatu kofaktor penting untuk mengikatkan
trombosit pada kolagen dan permukaan lain. Faktor Von Willebrand merupakan produk
endotel normal yang ditemukan dalam plasma, faktor ini tidak disintesis secara khusus
setelah terjadi jejas endotel. Sel endotel diinduksi pula oleh sitokin (misal TNF dan IL-1)
untuk menyekresi faktor jaringan, yang mengaktivasi jalur pembekuan eksterinsik. Dengan
berikatan pada faktor pembekuan Ixa dan Xa aktif, sel endotel lebih lanjut meningkatkan
aktivitas katalitik protein ini. Akhirnya, sel endotel juga menyekresi inhibitor aktivator
plasminogen (PAI) yang menekan fibrinolisis. (3,5,6)
Sebagai simpulan dari sifat-sifat endotel, sel endotel yang utuh terutama berfungsi
menghambat perlekatan trombosit dan pembekuan darah. Namun, jejas atau aktivasi sel
endotel menghasilkan suatu fenotipe prokoagulan yang berperan dalam pembentukan bekuan
terlokalisasi.(3)
Trombosit
6
Trombosit berperan penting dalam hemostasis normal. Pada saat dalam darah,
trombosit merupakan cakram halus dilapisi membran yang mengeluarkan sejumlah reseptor
glikoprotein kelompok integrin. Trombosit mengandung tipe granula yang spesifik. Granula-
α mengeluarkan molekul adhesi selektin-P pada membrannya dan mengandung fibrinogen,
fibronektin, faktor V dan VII, faktor 4 trombosit (kemokin pengikat heparin), aktor
pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF), serta transforming growth factor-α (TGF-
α). Granula lain merupakan benda padat (dense bodies), atau granula δ, yang mengandung
adenin nukleotida (ADP dan ATP), kalsium terionisasi, histamin, serotonin, dan epinefrin.(3)
Setelah terjadi jejas vaskular, trombosit bertemu dengan unsur ECM yang biasanya
tersimpan di bawah endotel yang utuh, unsur ini meliputi kolagen, proteoglikan, fibronektin,
dan glikoprotein adhesif lain. Saat bertemu dengan ECM, trombosit memiliki tiga reaksi
umum, yaitu adhesi dan perubahan bentuk, sekresi, dan agregasi. (Gambar 1.B)(3)
Adhesi trombosit pada ECM terutama diperentarai oleh interaksi dengan faktor Von
Willebrand, yang bertindak sebagai jembatan antara reseptor permukaan trombosit (misalnya,
glikoprotein Ib dan kolagen yang terpajan (Gambar 3.). Meskipun trombosit dapat melekat
langsung pada ECM, hubungan vWF-glikoprotein1b merupakan satu-satunya interaksi yang
cukup kuat untuk mengatasi daya gusur yang kuat dari darah yang sedang mengalir.(3)
Gambar 3.(3)
Sekresi kandungan kedua tipe granula terjadi setelah perlekatan.Proses tersebut dimulai
dengan pengikatan agonis pada reseptor permukaan trombosit yang diikuti dengan kaskade
7
fosforilasi intrasel. Pelepasan kandungan benda padat tersebut sangat penting karena kalsium
diperlukan dalam kaskade pembekuan, dan ADP merupakan suatu mediator agregasi
trombosit yang poten. ADP juga meningkatkan pelepasan ADP lebih lanjut dari trombosit
lain, yang mengakibatkan pengerasan agregasi. Akhirnya, aktivasi trombosit menghasilkan
pengeluaran kompleks fosfolipid permukaan yang menyediakan suatu tempat yang penting
untuk nukleasi serta tempat pengikatan kalsium dan menghasilkan faktor pembekuan pada
jalur pembekuan interinsik.(3,5)
Agregasi trombosit terjadi setelah adhesi dan sekresi. Selain ADP, vasokonstriktor
tromboksan A2 (TXA2) yang disekresi oleh trombosit, juga merupakan rangsang penting
untuk agregasi trombosit. ADP dan TXA2 memulai suatu reaksi autokatalitik yang
mengakibatkan pembentukan agregat trombosit yang semakin membesar, yaitu sumbat
hemostatik primer. Agregasi primer ini bersifat reversibel., tetapi dengan mengaktifkan
kaskade pembekuan, trombin akan dihasilkan. Trombin berikatan pada reseptor permukaan
trombosit, dan bersama dengan ADP serta TXA2 akan menyebabkan agregasi yang lebih
lanjut. Kejadian ini diikuti dengan penyusutan trombosit, yang menghasilkan masa trombosit
yang menyatu secara ireversibel membentuk sumbat hemostatik sekunder definitif. Pada saat
yang sama, trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin di dalam dan di sekitar sumbat
trombosit, terutama untuk memperkuat trombosit pada tempatnya.(3)
Fibrinogen juga penting dalam agregasi trombosit. Aktivasi ADP trombosit
menginduksi perubahan konformasional reseptor GpIIb-IIIa pada permukaan trombosit
sehingga dapat mengikat fibribogen. Fibrinogen kemudian bekerja dengan menggabungkan
trombosit untuk membuat agregat besar.(3)
Perlu ditekankan bahwa prostaglandin PGI2 (disintesis oleh endotel) merupakan
vasodialtor dan menghambat agregasi trombosit, sedangkan TXA2 merupakan prostaglandin
yang berasal dari trombosit dan merupakan vasokonstriktor kuat. Saling memengaruhi antara
PGI2 dan TXA2 menghasilkan suatu mekanisme seimbang untuk mengatur fungsi trombosit
pada manusia. Dalam keadaan normal, mekanisme ini mencegah agregasi trombosit
intravaskular, tetapi setelah terjadi jejas endotel, mekanisme ini membantu pembentukan
sumbat hemostatik.(3,5)
Baik eritrosit maupun leukosit ditemukan pula pada sumbat hemostatik. Leukosit
melekat pada trombosit dan endotel melauli molekul adhesi dan turut berperan pada proses
peradangan yang menyebabkan trombosis. Trombin juga berperan melalui perangsangan
8
adhesi netrofil dan monosit secara langsung, dan menghasilkan produk pecahan fibrin yang
berasal dari fibrinogen.(6)
Kaskade Pembekuan
Kaskade pembekuan merupakan komponen ketiga dari proses hemostasis (Gambar. 4.)(3)
Gambar 4.(3)
Kaskade pembekuan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian perubahan enzimatik,
yang mengubah proenzim inaktif menjadi enzim aktif dan memuncak pada pembentukan
trombin. Trombin kemudian mengubah fibrinogen protein plasma yang dapat larut menjadi
fibrin protein fibrosa yang tidak dapat larut.(3,6)
9
Setiap reaksi dalam jalur pembekuan berasal dari perakitan kompleks yang tersusun
atas enzim (faktor koagulasi teraktivasi), substrat (bentuk proenzim faktor koagulasi), dan
kofaktor (pemercepat reaksi). Komponen ini terpasang pada kompleks fosfolipid dan
dipersatukan oleh ion kalsium. Oleh karena itu, pembekuan cenderung terlokalisasi pada
tempat terjadinya perakitan semacam itu, misalnya pada permukaan trombosit aktif.(3,5)
Selain mengatalisis tahap akhir dalam kaskade pembekuan, trombin juga menunjukkan
berbagai macam efek terhadap pembuluh darah dan peradangan lokal, trombin secara aktif
bahkan turut berperan dalam membatasi luasnya proses hemostasis. Sebagian besar efek yang
diperentarai oleh trombin ini terjadi melalui reseptor trombin-tujuh protein pengikat
transmembran yang berpasangan dengan protein G. Mekanisme aktivasi reseptor melibatkan
pemotongan ujung reseptor trombin melalui aksi proteolisis trombin. Hal ini menghasilkan
suatu peptida tertambat yang berikatan pada sisa reseptor dan menyebabkan perubahan
konformasional yang diperlukan untuk mengaktivasi protein G yang menyertai. Oleh karena
itu, interaksi antara trombin dan reseptornya pada dasarnya merupakan proses katalis, yang
menjelaskan potensi yang mengesankan molekul trombin aktif walaupun dalam jumlah yang
relatif kecil dalam menghasilkan berbagai efek pada rangkaian berikutnya.(3)
Sekali diaktivasi, kaskade pembekuan harus terbatas pada tempat lokal cedera vaskular
untuk mencegah penggumpalan pada seluruh pembuluh darah. Selain membatasi aktivasi
faktor pada tempat fosfolipid yang terpajan, penggumpalan juga dikendalikan oleh
antikoagulan alami, yaitu antitrombin (misalnya, antitrombin III) menghambat aktivitas
trombin dan protease serum lainnya (faktor IXa, Xa, Xia, XIIa). Antitrombin III diaktivasi
melalui pengikatan terhadap molekul serupa heparin pada sel endotel. Selain antitrombin,
terdapat protein C dan S yang bergantung pada vitamin K yang menginaktifkan kofaktor Va
dan VIIIa.(3,5)
Selain menginduksi pembekuan, aktivasi kaskade pembekuan juga menggerakkan
kaskade fibrinolisis yang akan membatasi ukuran bekuan akhir. Hal ini terutama dilakukan
melalui aktivasi plasmin. Plasmin berasal dari penguraian enzimatik plasminogen
prekursornya yang inaktif di dalam darah., baik melalui jalur yang bergantung faktor XII
maupun melalui aktivator plasminogen. Plasminogen jaringan (t-PA) terutama disintesis oleh
sel endotel dan menjadi paling aktif jika melekat pada fibrin. Plasmin memecah fibrin dan
mengganggu polimerasinya (Gambar 5.). Produk pecahan fibrin (FSP) yang dihasilkan dapat
pula bertindak sebagai antikoagulan lemah. Setiap plasmin bebas segera membentuk
10
kompleks dengan antiplasmin-α2 yang beredar dalam darah dan diinaktifkan sehingga
plasmin yang berlebih tidak melisiskan bekuan darah di mana pun di dalam tubuh.(3)
Gambar 5.(3)
Sel endotel mengatur lebih lanjut keseimbangan pembekuan dan antipembekuan
dengan melepaskan inhibitor aktivator plasminogen (PAI) yang dapat memblokade
fibrinolisis dan menghasilkan suatu efek propembekuan secara keseluruhan (Gambar 5.). PAI
tersebut ditingkatkan oleh sitokin tertentu dan mungkin berperan dalam trombosis
intravaskular yang menyertai inflamasi berat.(3)
BAB III
DIATESIS HEMORAGIK
11
Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi yang timbul karena kelainan faal
hemostasis. Keadaan ini menyebabkan peningkatan resiko terjadinya perdarahan. Dilihat dari
patogenesisnya maka diathesis hemostatis hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis
hemoragik karena faktor vaskuler, karena faktor trombosit, dan diathesis hemoragik karena
faktor koagulasi.(1,2)
Berbagai pemeriksaan yang digunakan dalam evaluasi awal pasien dengan gangguan
perdarahan adalah (1) waktu perdarahan/bleeding time mencermikan watu yang diperlukan
pada pungsi kulit untuk menghentikan perdarahan, (2) hitung trombosit, (3) waktu
protrombin atau PT yang diukur dalam detik guna menguji keadekuatan jalur pembekuan
eksterinsik dan umum yang mencerminkan waktu yang dibutuhkan plasma untuk membeku,
(4) waktu tromboplastin parsial atau PTT guna menguji pembekuan interinsik dan umum.(1,7)
Bagan 1.(4)
Kelainan pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan melalui berbagai cara.
Meningkatnya fragilitas pembuluh disebabkan oleh defisiensi berat vitamin C (scurvy),
amiloidosis sistemik, pemakaian glukokortikoid jangka panjang, penyakit herediter yang
jarang mengenai jaringan ikat, dan sejumlah besar vaskulitis, dan infeksiosa. Selain itu,
12
peningkatkan kerapuhan pembuluh darah terdapat pada meningokoksemia, endokarditis
infektif, penyakit riketsia, tifoid, dan purpura Henoch Schonlein. Diatesis hemoragik yang
murni disebabkan oleh fragilitas vaskular ditandai oleh (1) petekie dan ekimosis yang
tampaknya muncul spontan di kulit dan selaput lendir (mungkin akibat trauma ringan), (2)
hitung trombosit dan uji koagulasi (PT,APTT) yang normal, dan (3) waktu perdarahan yang
biasanya normal. Selain itu, seperti yang akan dibahas selanjutnya, koagulopati konsumtif
kadang-kadang berakar pada penyakit sistemik yang menyebabkan permukaan sel endotel
memudahkan terjadinya trombosis.(1,2,7)
Defisiensi trombosit (trombositopenia) merupakan penyebab penting perdarahan.
Defisiensi trombosit dapat terjadi pada berbagai kondisi klinis yang akan dibahas kemudian.
Terdapat gangguan dengan fungsi trombosit terganggu walaupun jumlahnya normal. Cacat
kualitatif tersebut mungkin didapat, seperti pada uremia, konsumsi aspirin, atau diwarisi
seperti penyakit Von Willebrand. Trombositopenia dan disfungsi trombosit serupa dengan
peningkatan fragilitas pembuluh darah, yaitu terdapat petekie dan ekimosis, serta mudah
memar, mimisan, perdarahan berlebihan akibat trauma ringan, dan menoragia. Demikian juga
PT dan APTT normal, tetapi berbeda dengan gangguan vaskular, waktu perdarahan selalu
memanjang. (1,2,7)
Diatesis perdarahan yang semata-mata disebabkan oleh gangguan pembekuan darah
berbeda dalam beberapa aspek yang disebabkan oleh kelainan dinding pembuluh darah atau
trombosit. PT, APTT, atau keduanya memanjang, sedang waktu perdarahan normal. Petekie
dan tanda lain perdarahan akibat trauma ringan biasanya tidak ditemukan. Namun dapat
terjadi perdarahan masif setelah prosedur operatif atau trauma berat. Selain itu, yang khas
adalah perdarahan pada bagian tubuh yang terkena trauma, seperti sendi ekstremitas bawah.(1,2,7)
A. Purpura Henoch Schonlein
Purpura Henoch Schonlein (HSP) merupakan kelainan inflamasi yang ditandai oleh
vaskulitis generalisata pada pembuluh darah kecil di kulit, saluran cerna, ginjal, sendi, dan
meskipun jarang dapat di paru dan susunan saraf pusat. Purpura Henoch Schonlein
merupakan vaskulitis yang sering terjadi pada anak-anak. Etiologinya belum diketahui,
diperkirakan beberapa faktor berperan, yaitu genetik, lingkungan, dan diperkirakan reaksi
autoimun yang diperantarai imunoglobulin A.(8)
a. Epidemiologi
13
Penyakit ini ditemukan di temukan pada usia beberapa bulan hingga usia belasan tahun.
Sebesar 50% anak-anak yang terkena adalah di bawah usia 5 tahun dan sekitar 75%
berusia di bawah 10 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa 10-20,4 per 1000 anak
menderita HSP. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan yang menderita
HSP adalah 2:1(8,9)
b. Manifestasi klinis
Penyakit ini dapat dimulai dengan gejala prodromal demam, nyeri kepala, dan
anoreksia. Kemudian muncul lesi kulit, nyeri perut, edema perifer, muntah, dan atau tanpa
disertai artritis. Erupsi kulit akan berlangsung kira-kira 3 minggu. Gejala saluran cerna
dialami oleh 85% kasus, umumnya berupa nyeri perut kolik. Artritis ditemukan pada 75%
kasus. Keterlibatan ginjal ditemukan pada 30-35% kasus dan dapat menetap hingga 6 bulan
kemudian. Gejala yang muncul adalah hematuria ringan, proteinuri, oligouri, hingga gagal
ginjal.(8,9)
Gambar 6.(8)
c. Kriteria Diagnosis
14
Menurut American College of Rheumatology, diagnosis Purpura Henoch Schonlein
dapat ditegakkan bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala berikut, yaitu :(10)
Onset pertama terjadi pada usia ≤ 20 tahun
Purpura non trombositopenia yang dapat dipalpasi
Angina abdominal
Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula
Menurut European League Against Rheumatism, diagnosis Purpura Henoch dapat
ditegakkan bila terdapat :(8)
Purpura yang dapat dipalpasi
Diikuti minimal satu gejala berikut : nyeri perut difus, deposisi IgA yang
predominan pada biopsi kulit, artritis akut dan kelainan ginjal (hematuri dan
atau proteinuria)
d. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk purpura Henoch Schonlein.
Pada pemeriksaan darah tepi lengkap dapat menunjukkan leukositosis dengan eosinofilia dan
pergeseran hitung jenis ke kiri. Trombositosis dijumpai pada 67% pasien. Laju endap darah
tidak selalu meningkat.Urinalisa menunjukkan hematuria, kadang-kadang dapat dijumpai
proteinuria. Pada pemeriksaan fungsi ginjal, ureum kreatinin mungkin meningkat.(4,8)
e. Tatalaksana
Pada dasarnya tidak ada pengobatan yang spesifik untuk PHS. Tindakan suportif
diberikan sesuai dengan kondisi klinis saat itu. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat
golongan NSAIDs seperti ibuprofen atau parasetamol 10 mg/kgBB. Jika terjadi edema
tungkai, dilakukan elevasi tungkai. Beri diet lunak selama terdapat keluhan perut seperti
muntah dan nyeri perut.(4,8)
Pertimbangkan pemberian kortikosteroid pada kondisi yang sangat berat seperti
sindrom nefrotik menetap, edema, perdarahan saluran cerna, nyeri abdomen berat,
keterlibatan susunan saraf pusat dan paru. Lama pemberian berbeda-beda. Faeda memakai
metilprednisolon 250-750 mg intravena per hari selama 3-7 hari dikombinasikan dengan
siklofosfamid 100-200 mg per hari untuk fase akut pada PHS yang berat. Dilanjutkan dengan
pemberian kortikosteroid dan siklofosfamid selama 30-75 hari selang sehari; sebelum
akhirnya siklofosfamid dihentikan langsung, dan tappering off steroid hingga 6 bulan.(4,8)
B. Trombositopenia
15
Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x 103/μL. Risiko
perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah trombosit yang signifikan hingga
dibawah 100 x 103/ μL. Jumlah trombosit lebih besar dari 50 x 103/ μL cukup untuk
kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi. Pasien dengan trombositopenia
sedang, dengan jumlah trombosit antara 30 sampai 50 x 103/ μL jarang mengalami gejala
(seperti mudah lecet atau berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang
secara persisten hitung trombositnya antara 10 - 30 x 103/ μL kadangkala juga tanpa gejala
dengan aktivitas keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada
trauma yang signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya
kurang dari 10 x 103/ μL. Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan lecet, namun
bahkan kadangkala juga asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah
trombosit harus kurang dari 5 x 103/ μL untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan
(seperti perdarahan intracranial tanpa disebabkan trauma).(1,11)
Trombositopenia terjadi karena satu atu lebih dari tiga proses berikut, 1) penuruan
produksi oleh sumsum tulang, 2) sekuestrasi, biasa terjadi pada pembesaran limpa, 3)
peningkatan destruksi trombosit.(2,11)
C. Purpura Trombositopenia Imun (PTI)
a. Definisi
Purpura Trombositopenia Imun (PTI) atau morbus Wirholf dahulu dikenal dengan
Purpura Trombositopenia Idiopatik merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan
autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit
secara dini dalam sistem retikuloendotelial akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit
yang biasanya berasal dari Immunoglobulin G. Kata trombositopenia menunjukan bahwa
terdapat angka trombosit yang rendah, sedangkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi
akan kulit yang berwarnalebam karena gejala penyakit ini, warna ungu pada kulit disebabkan
oleh merembesnya darah di bawah kulit. Oleh karena itu penyakit ini merupakan suatu
sindrom klinis berupa manifestasi perdarahan (purpura, petekie, perdarahan retina, atau
perdarahan nyata lain) disertai trombositopenia menetap (angka trombosit darah perifer
kurang dari 150.000/mL). Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi
memendek pada ITP menjadi berkisar 2-3 hari sampai beberapa menit.(2,11)
b. Epidemiologi
16
Berdasarkan onset penyakit, PTI dibedakan menjadi tipe akut bila kejadiaanya kurang
atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan kronik bila lebih dari 6
bulan (umumnya terjadi pada orang dewasa). Insidensi PTI pada anak antara 4,0-5,3 per
100.000. PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak usia 2-6 tahun.Sebesar 7-28% anak-anak
dengan PTI akut berkembang menjadi kronik. Ratio antara perempuan dan laki-laki adalah
1:1 pada penderita PTI akut, sedang pada penderita PTI kronik adalah 2:1.(2,8,11)
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak-anak, jarang pada dewasa, onset penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering
dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang
disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia imunologik.
Virus yang paling banyak diidentifikasikan adalah varicella zooster dan eibsten barr.
Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi
kurang dari 1% pasien. PTI akut pada anak biasnaya self limiting, remisi spontan terjadi pada
90% penderita, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.(2,8,11)
c. Manifestasi Klinis
Pada umumnya berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit.
Secara umum hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan
trombosit > 50.000/mL maka biasanya asimtomatik, trombosit 30.000-50.000 /mL terdapat
luka memar/hematom, trombosit 10.000-30.000 /mL terdapat perdarahan spontan, menoragi,
dan perdarahan memanjang bila luka, trombosit < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa
(epistaksis, perdarahan gastrointestinal, dan genitourinaria) dan resiko perdarahan sistem
saraf pusat.(2,11)
d. Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya pasien ITP tampak sehat, namun tiba-tiba mengalami perdarahan pada
kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa hidung (epistaksis). Perlu juga dicari riwayat
tentang penggunaan obat atau bahan lain yang dapat menyebabkan trombositopenia (Tabel
1.). Riwayat keluarga umumnya tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya
didapatkan bukti adanya perdarahan tipe trombosit (platelet-type bleeding), yaitu petekie,
purpura, perdarahan konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan
kemungkinan suatu penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa,
meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP.(2,11)
Gambar 7.(12)
17
Tabel 1.(11)
e. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah lengkap, selain trombositopenia, hitung darah lain normal.
Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk menyngkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan
hematologi lain. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan
sumsum tulang hanya dianjurkan pada kasus-kasus yang tidak khas, yaitu pada riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum (misalnya demam, penurunan berat badan,
kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa), kelainan eritrosit dan leukosit
pada pemeriksaan darah tepi, kasus yang akan diobati dengan steroid, baik sebagai
pengobatan awal atau yang gagal diterapi dengan imunoglobulin intravena.(11)
f. Tatalaksana
18
Tata laksana ITP pada anak meliputi tindakan suportif dan terapi farmakologis.
Tindakan suportif merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan ITP pada anak,
diantaranya membatasi aktifitas fisik, mencegah perdarahan akibat trauma, menghindari obat
yang dapat menekan produksi trombosit atau merubah fungsinya (tabel 1.), dan yang tidak
kalah pentingnya adalah memberi pengertian pada pasien dan atau orang tua tentang
penyakitnya.(12,13)
Sebagian besar kasus ITP pada anak tidak perlu dirawat di rumah sakit, oleh karena
dapat sembuh sempurna secara spontan dalam waktu kurang dari 6 bulan. Pada beberapa
kasus ITP pada anak didapatkan perdarahan kulit yang menetap, perdarahan mukosa, atau
perdarahan internal yang mengancam jiwa yang memerlukan tindakan atau pengobatan
segera. Transfusi trombosit jarang dilakukan dan biasanya tidak efektif, karena trombosit
yang ditransfusikan langsung dirusak.(14,15,16,17)
Pada divisi Hematologi IKA FKUI/RSCM semua pasien ITP dirawat karena
dikuatirkan timbulnya perdarahan intrakranial. Jika saat masuk disertai perdarahan
(epistaksis, perdarahan gusi, melena, perdarahan kulit yang luas), maka pengobatan diberikan
seperti pasien ITP kronis yaitu prednison 2 mg/kgbb selama 3-6 bulan dan suspensi trombosit
bila diperlukan. Bila belum sembuh selama 3-6 bulan, maka pengobatan prednison diberikan
bersama azathiophrine (imuran) 1-2 mg/kgbb. Bila belum sembuh juga, maka
dipertimbangkan tindakan splenektomi.(18)
D. Penyakit Von Willebrand
a. Definisi
Penyakit Von Willebrand (PVW) adalah kelainan perdarahan herediter disebabkan oleh
defisiensi faktor Von Willebrand (FVW). FVW adalah suatu glikoprotein yang memiliki
fungsi memudahkan adhesi trombosit dengan menghubungkan reseptor membran trombosit
ke subendotel pembuluh darah dan sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII. Penyakit Von
Willebrand merupakan kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi trombosit
maupun pembentukan pembekuan tidak terjadi. Penyakit ini diturunkan secara autosomal
dominan.(1,4)
b. Klasifikasi
Terdapat 3 varian utama PVW, masing-masing berbeda dalam beratnya gejala. PVW
juga disebut sebagai pseudohemofilia atau hemofilia vaskular. PVW disebabkan oleh
kelainan kuantitatif dan atau kualitatif FVW (Tabel 2.).(19,20)
Tabel 2.(20)
19
Revised Classification of vWD tahun 1994 (Tabel 2.) membagi PVW menjadi dua
kategori utama yaitu kelainan kuantitas (tipe 1 dan tipe 3) atau kualitas FVW (tipe 2). PVW
tipe 1 ditandai defisiensi parsial FVW di plasma dan atau trombosit. PVW tipe 3 tidak
didapatkan FVW di plasma dan atau trombosit. PVW tipe 1 dan tipe 3 dibedakan menurut
derajat defisiensi FVW plasma (tipe 1 derajat defisiensi lebih ringan, antara 20–40 U/dl), pola
pewarisan otosomal dominan dan gejala perdarahan lebih ringan.(4)
c. Manifestasi Klinis
Gejala paling sering terjadi meliputi perdarahan gusi, hematuri, epistaksis, perdarahan
saluran kemih, darah dalam feses, mudah memar, menoragia. Pasien dengan kadar faktor VIII
yang sangat rendah bahkan dapat menunjukan hemartrosis dan perdarahan jaringan dalam
tubuh. Seringkali gambaran kelainan itu tidak nyata sampai terdapat faktor pemberat seperti
trauma atau pembedahan.(2,4)
d. Diagnosis
Diagnosis PVW memerlukan kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat tinggi dan
kecakapan pemanfaatan laboratorium. Bila pasien dalam keadaan kritis, sulit menetapkan
diagnosis yang tepat. Bila PVW dianggap merupakan faktor penunjang pada perdarahan
pasien, lebih dahulu harus diobati secara empiris dan penelusuran laboratoris yang rumit
ditunda sampai pasien secara klinis stabil dan tidak mendapat produk darah dan obat selama
beberapa minggu.(2)
Untuk evaluasi terdapatnya PVW harus mencakup pemeriksaan Bleeding Time (BT),
hitung trombosit, PT, APTT. PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila
penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30 menit sedang hitung trombosit normal.
Pasien dengan defisiensi berat FWV atau kelainan faktor VIII mengikat FWV berakibat
pemanjangan APTT sekunder akibat menurunnya kadar faktor VIII dalam plasma. Untuk
menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW dan fungsinya.(4)
20
e. Tatalaksana
Secara umum terapi PVW meliputi pemberian obat, transfusi darah, dan menghindari
keadaan yang dapat menyebabkan rudapaksa. Terapi terdiri dari penggantian FVW dengan
menggunakan plasma beku segar (PBS) atau kriopresipitat. Kriopresipitat adalah terapi yang
lebih dipilih untuk perdarahan berat. Dosis yang dianjurkan adalah 2-4 kantong
kriopresipitat/10 kg, yang dapat diulangi tiap 12-24 jam, tergantung pada episode perdarahan
yang diterapi atau dicegah.(4)
E. Hemofilia
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang
diturunkan secara sex-linked recessive pada kromosom X. Gen yang mengkode hemofilia
terletak pada ujung lengan panjang kromosom X. Meskipun hemofilia merupakan penyakit
herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan
pembekuan darah, sehingga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun
eksogen.(4,9)
a. Epidemiologi
Hampir semua penderita hemofilia adalah laki-laki, tetapi hemofilia juga dapat terjadi
pada perempuan namun jarang. Angka kejadian hemofilia A diperkirakan berkisar 1:10.000
kelahiran bayi, sedangkan angka kejadian hemofilia B 1:30.000-50.000 kelahiran bayi laki-
laki. Sekitar 80-85% kasus merupakan hemofilia A.(9)
Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked
recessive, yaitu Hemofilia A (hemofilia klasik) yang terjadi akibat defisiensi atau disfungsi
faktor pembekuan VIII; Hemofilia B yang terjadi akibat defisiensi faktor IX.(9)
b. Manifestasi klinis
Secara klinis perdarahan pada hemofilia A dan B tidak dapat dibedakan. Terdapat
riwayat perdarahan abnormal yang bersifat terlamabat (delayed bleeding) dan letaknya dalam
misalanya hemartosis, hematoma, perdarahan intrakranial yang terjadi spontan atau akibat
trauma. Manifestasi perdarahan lain misalnya berupa epistaksis atau hematuria. Seorang bayi
harus dicurigai menderita hemofilia jika ditemukan bengkak atau hematoma pada saat anak
mulai berjalan atau merangkak. Pada anak yang lebih besar dapat timbul hemartrosis di sendi
lutut, siku , atau pergelangan tangan.(9)
c. Pemeriksaan penunjang
21
Darah tepi rutin, terutama jumlah trombosit. Pemeriksaan masa perdarahan, masa
protrombin, masa trombin, masa tromboplastin parsial. Pemeriksaan hemostasis khusus ,
pemeriksaan faktor VII dan XII.(9)
F. Koagulasi Intravaskular Diseminata
a. Etiologi
Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan kelainan trombohemoragik yang
bisa bersifat akut, subakut, atau kronik dan terjadi sebagai komplikasi sekunder pada berbagai
penyakit (Tabel 3.). DIC ditandai oleh rangkaian koagulasi yang menimbulkan pembentukan
mikrotrombus di seluruh mikrosirkulasi. Sebagai akibat dari kelainan trombosis ini, terjadi
konsumsi trombosit, fibrin, serta faktor koagulasi, dan secara sekunder terdapat aktivasi
mekanisme fibrinolitik. Dengan demikian, KID dapat ditemukan bersama gejala atau tanda-
tanda yang berhubungan dengan infark akibat mikrotrombus dan terjadi diatesis hemoragik
yang terjadi karena aktivasi mekanisme fibrinolitik dan deplesi unsur-unsur yang diperlukan
bagi hemostasis.(11)
Tabel 3.(11)
b. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis KID dapat berkaitan dengan peristiwa KID itu sendiri, dengan
penyakit yang mendasari, atau keduanya. Perdarahan pada kulit, seperti petekie, ekimosis,
dari bekas suntikan atau tempat infus pada mukosa, sering ditemukan pada KID akut.
Perdarahan ini jugabisa masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal,
22
paru, susunan saraf pusat atau mata. Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi
organ yang luas. Pada kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral dan gangren.(11)
Gambar 8.(12)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium dasar,leukositosis sering ditemukan. Granulositopenia
juga dapat terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang untuk mengimbangi kerusakan
netrofil yang cepat. Pemeriksaan hemostasis yang secara rutin dapat dilakukan adalah masa
protrombin, masa protrombin parsial teraktivasi, D-dimer, antitrombin III, fibrinogen, dan
masa trombin. Pemeriksaan koagulasi serial umumnya lebih menolong daripada satu kali
pemeriksaan dalam mendiagnosis KID.(4,11)
d. Tatalaksana
Penatalaksanaan KID terdiri dari 2 bagian, yaitu segera mengatasi penyakit yang
mendasari dan terapi suportif yang agresif, termasuk hipovolemia dan hipoksemia. Jika kadar
fibrinogen, trombosit, atau faktor pembekuan rendah dan pasien mengalami perdarahan atau
akan menjalani prosedur invasif, pemberian faktor pembekuan seperti kreopresipitat, plasma
beku segar, atau trombosit konsentrat mungkin diperlukan. (11)
G. Defisiensi Vitamin K
Vitamin K merupakan naftoquinon yang berperan serta pada fosforilasi oksidatif. Tidak
adanya atau kegagalan dalam absorbsi vitamin K berakibat pada hipoprotrombinemia dan
menurunnya sintesis prokonvertin hati. Protrombin (faktor II) dan prokonvertin (faktor VII)
penting untuk proses koagulasi.(2)
23
Vitamin K terdiri atas cincin kuinon yang terikat pada rantai samping dan bervariasi
menurut sumber vitamin tersebut. Vitamin K1 (filokuinon) ditemukan di dalam sebagian
besar sayuran yang dapat dimakan, khususnya sayuran daun hijau. Vitamin K2 (menadion)
diproduksi oleh bakteri usus. Setelah penyerapan, menadion dikonversi dalam tubuh menjadi
menadion yang aktif. Penekanan bakteri usus oleh berbagai antibiotik dapat menyebabkan
defisiensi vitamin K. Susu sapi lebih banyak mengandung vitamin K daripada air susu ibu.(2)
Defisiensi vitamin K atau hipoprotrombinemia harus dipikirkan pada semua penderita
dengan gangguan perdarahan. Insiden penyakit perdarahan neonatus telah sangat menurun
dengan pemberian vitamin K.(2,4)
Pemberian vitamin K oral dapat memperbaiki defisiensi protrombin ringan. Pemberian
untuk bayi 1-2 mg/hari biasanya cukup. Jika defisiensi protrombin berat dan manifestasi
perdarahan telah tampak, harus diberikan 5 mg/hari secara parenteral.(4)
24
BAB IV
Daftar Pustaka
1. Cotran, Ramzi, dkk. Robbins Buku Ajar Patologi. Ed. 7. Vol. 1. Jakarta : EGC.
2007.
2. Fauci, Longo, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Ed. USA :
McGraw-Hill Companies. 2008.
3. Cotran, Ramzi, dkk. Robbins Buku Ajar Patologi. Ed. 7. Vol. 2. Jakarta : EGC.
2007.
4. M. Kliegman, Robert. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th Ed. Philadelphia : W. B.
Saunders Company.
5. A. Price, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. 6.
Jakarta : EGC. 2005.
6. Siegenthaler, Walter. Differential Diagnosis in Internal Medicine from Symptoms
to Diagnosis. Germany : George Thieme Verlag. 2007.
7. Sacher, A. Ronald. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta :
EGC. 2002.
8. Clasidy, Petty, Laxer. Textbook of Pediatric Rheumathology. Philadelphia :
Saunders. 2005.
9. Sastroasmono, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Anak. Jakarta : FKUI. 2007.
10. Mills JA, Michel BA, Bloch DA, Calabrese LH, Hunder GG, Arend WP, et al. The
American College of Rheumatology, Criteria for the Classification of Henoch-
Schonlein purpura. 1990.
11. Sudoyo, Aru w.,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Internal Publishing.
2009
12. Lanzkowsky P. Manual of pediatric haematology and oncology, 2nd Ed. New York:
Churchill Livingstone, 1995.
13. Corrigan JJ. Platelet and Vascular Disorders. Dalam : Miller DR, Baehner RL,
penyunting. Blood Disease of Infancy and Childhood, 6th Ed. Philadelphia: Mosby.
1990.
14. Yu WC, Korb J, Sakamoto KM. Idiopathic Trombocytopenic Purpura. Pediatr Rev
2000.
25
15. Medeiros D, Buchanan GR. Current Controversies in the Management of Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura During Childhood. Pediatr Clin North Am.1996.
16. Douglas B, Cines MD, Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med. 2002.
17. Imbach P. Immune Thrombocytopenic Purpura. Dalam: Lilleyman JS, Hann IM,
Blanchette VS, penyunting. Pediatric Hematology, edisi ke 2. New York: Churchill
Livingstone. 1998.
18. Munthe BG. Purpura Trombositopenik Idiopatik. Dalam : Wahidiyat I, Gatot D,
Mangunatmadja I, penyunting naskah lengkap pendidikan tambahan berkala ilmu
kesehatan anak ke XXIV. Jakarta. 1996.
19. Castaman G, Federici AB, Rodeghiero F, Mannucci PM. Von Willebrand’s Disease
in the year 2003: towards the complete identification of gene defects for correct
diagnosis and treatment haematologica. 2003.
20. Federici AB. Clinical Diagnosis of Von Willebrand disease. 2004.
26
top related