dermatitis atopik infantil
Post on 05-Jan-2016
217 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
DERMATITS ATOPIK INFANTIL
Pendahuluan
Dermatitis atopik infantil mencangkup suatu subkategori dermatitis atopik yang,
sesuai namanya, mengenai bayi. Kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik menunjukkan
onset yang awal, dengan kira-kira 60% yang terkena menunjukkan manifestasi-manifestasi
klinis tipikal selama tahun pertama kahidupan (Kay dkk. 1994). Banyak yang menganggap
dermatitis atopik secara prinsipal merupakan kelainan pediatrik karena 85% dari seluruh
pasien menunjukkan temuan klinis pada usia 5 tahun.
Kotak 4.1 Kriteria American Academy of Dermatology 2003 untuk diagnosis dermatitis
atopik
Ciri-ciri utama / esensial :
- Riwayat relaps kronik
- Pruritus
- Dermatitis eksematosa dengan morfologi tipikal dan distribusi yang spesifik sesuai
usia
- Tidak melibatkan area lipatan
- Infansi : wajah, leher, area ekstensor
- Usia lainnya : keterlibatan area lipatan/fleksura
Ciri Penting : onset pada usia-usia awal, riwayat atopi, riwayat keluarga atopi , reaktivitas
IgE
Ciri-ciri pendukung : asentuasi perifolikuler, hiperlinearitas palmar, keratosis pilaris,
iktiosis vulgaris, likenifikasi, prurigo, fenomena vaskuler atipikal (dermografisme putih,
delayed blach, facial pallor) 9diadaptasi dari Eichenfield dkk. 2003. Dicetak ulang dengan
ijin)
Seperti pada varian dermatitis atopik yang mengenai anak-anak dan dewasa, bentuk
infantil merupakan suatu sindrom yang ditandari oleh pruritus, predileksi pada lokasi
anatomik tertentu, bekambuhan, dan perjalanan yang mengalami remisi (Eichenfield dkk.
2003). Diagnosis dermatitis atopik infantil dibuat terutama berdasarkan pada landasan klinis
dan berdasarkan pada evolusi karakteristik riwayat dan temuan fisik yang berhubungan
dengan usia untuk menegakkan diagnosis (kotak 4.1). Lebih jarang, data laboratorium yang
mendukung digunakan untuk memetapkan diagnosis.
Komplikasi dermatitis atopik dapat mempengaruhi seorang bayi dengan bermakna.
Infeksi sekunder pada neonatus dapat menyebabkan hospitalisasi dan pemberian antibiotik
atau antiviral untuk membantu sistem imunitas bayi yang relatif imatur, dan terdapat
kecenderungan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi pada infeksi onset awal pada
kelompok usia ini.
Gambar 4.1. Perjalanan atopik / atopic march : insidensi dari berbagai tipe atopi.
Dermatitis atopik mengalami puncak pada tahun pertama kehidupan dan menurun setelah
waktu tersebut. Asma dan rinitis alergi meningkat seiring waktu seiring
perkembangan/munculnya sensitisasi.(Dicetak ulang dari Spergel dan Paller 2003. Dengan
ijin dari Elsevier)
Dermatitis atopik infantil mungkin dapat berperan sebagai ‘pintu masuk penyakit’
yang disebut sebagai atopic march (perjalanan atopik) (Spergel dan Paller 2003). (gambar
4.1) Pada bayi dengan dermatitis atopik , kerusakan barrier kulit dapat merupakan jalan
untuk sensitisasi epikutan dan mengakibatkan asma serta rhinitis alergik onset-masa kanak-
kanak, sebagaimana juga alergi makanan dan lingkungan.
Pada kasus-kasus yang jarang, dermatitis atopik infantil atau erupsi seperti dermatitis
atopik juga dapat menunjukkan suatu manifestasi klinis awal yang dapat menunjukkan suatu
variasi sindroma-sindroma kongenital, metabolik, dan defisiensi imun. (kotak 4.2).
Kotak 4.2 Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan dermatitis atopik dan diagnosis
banding dermatitis eksematosa
Kelainan-kelainana dimana deramtitis atopik merupakan gambaran penyerta
- Sindroma delesi kromosom 18q
- Sindroma hiper IgE
- Iktiosis vulgaris
- Sindroma Wiskott-Aldrich
Kelainan dengan temuan kulit eksematosa yang menggambarkan dermatitis atopik
- Akrodermatitis enteropatika dan eritema nekrolitik lainnya
- Ataksia – sindroma teleangiektasis
- Iktiosis kongenital (termasuk sindroma Netherton)
- Dermatitis kontak (iritan, alergik)
- Limfoma sel-T kutaneus
- Dermatofitosis
- Enteropati sensitif gluten
- Sindroma imunodefisiensi (termasuk IgA selektif, agammaglobulinemia X-linked,
imunodefisiensi kombinasi berat, sindroma Omenn)
- Dermatitis numular
- Histiositosis sel langerhans
- Liken simplek kronikus
- Sindroma defisiensi nutrisional (seperti kwasiokor, hipervitaminosis A)
- Psoriasis (khususnya yang diterapi secara parsial atau varian infantil)
- Skabies
- Dermatitis seboroik
- Sifilis sekunder
- Tinea kapitis
- Kelainan-kelainan metabolik (seperti defisiensi biotin, penyakit Hartnup,
histidemia, fenilketonuria)
- Sindroma sener (displasia frontonasal dan ruang Virchow-Robin yang mengalami
dilatasi
- Sindroma Smith-Lemli-Opitz
Pertimbangan khusus harus dipertimbnagkan saat menangani bayi dengan dermatitis
atopik karena perbedaan area luas permukaan tubuh : rasio berat badan, variasi-variasi
metabolik yang mungkin mempengaruhi respon terhadap pengobatan, dan pertimbnagan
mengenai pertumbuhan dan perkembangan yang harus diketahui tiap pembuat keputusan
terapi. Karena dermatitis atopik akhirnya mengalami remisi pada kebanyakan pasien,
penggunan agen-agen terapeutik pada pasien-pasien usia muda harus diseimbangkan dengan
potensi komplikasi yang mungkin muncul.
Epidemiologi
Prevalensi dermatitis atopik tampaknya meningkat sejak tahun 1970-an. Berdasarkan
studi pada anak-anak sekolah dasar di Oregon, prevalensi dermatitis atopik pada anak-anak di
Amerika Serikat kira-kira 17% (Laughter dkk. 2000). Berlawanan dengan hal tersebut, studi
yang bmelibatkan anak-anak yang lahir sebelum tahun 1970-an angka prevalensi dermatitis
atopik memiliki rentang antara 1,4% - 3,1% (Turner dkk. 1974). Meskipun desain studi dan
definisi yang lebih terstandar dari dermatitis atopik mungkin menjadi salah satu alasan dari
peningkatan prevalensi yang bermakna ini (Wuthrich 1999), survey prevalensi diseluruh
dunia baru-baru ini menguatkan angka prevalensi dermatitis atopik yang tinggi pada
sepanjang hidup, 12 bulan dan sewaktu. Pada mereka yang diobservasi di Amerika Serikat.
Angka prevalensi sepanjang hidup memiliki rentang dari 10,5% (Werner et al. 2002) di
Jerman hingga 21,3% di Denmark. (Mortz et al. 2001).
Faktor resiko yang paling umum berhubungan dengan dermatitis atopik termsauk
jenis kelamin, geografi, status sosioekonomik, faktor-faktor lingkungan, pengaruh-pengaruh
perinatal, dan genetik. Meskipun beberapa studi menunjukkan adanya predominasi wanita
pada dermatitis atopik, studi-dtudi lainnya tidak mendukung temuan ini (Schultz Larsen
1993). Prevalensi dermatitits atopik bervariasi berdasarkan geografi. Prevalensi titik
memperkirakan pada anak-anak Tanzania yang hidup di daerah pedesaan/rural yang berusia
antara 7 sampai 18 tahum prevalensianya cukup rendah (0,73%) jika dibandingkan dengan
perkiraan estimasi pada negara-negara maju Barat (Henderson 1995). Bahkan pada suatu
kota kecil di Australia (Wagga Wagga), angka prevalensi sebesar 31,9% pernah dilaporkan
(Peat et al. 1994). Faktor-faktor geografis ini tampaknya dipengaruhi oleh gabungan
faktor-faktor lainnya seperti variasi etnis, praktik-praktik perinatal, perbedaan lingkungan
(seperti iklim dan derajat urbanisasi), faktor sosioekonomik dan genetik. Terdapat data yang
saling bertentangan mengenai variasi etnis sebagai suatu faktor yang mempengaruhi
prevalensi dermatitis atopik. Tidak ada variasi signifikan, sebagai contoh, seperti yang
diamati pada kelompok etnis yang tinggal di Leicester, Inggris (Neame et al. 1995).
Studi-0studi lainnya menunjukkan bahwa mereka yang diklasifikasikan sebagai hispanik,
kulit hitam, atau Asia memiliki tingkat kejadian yang lebih tinggi pada anak-anak yang
dievaluasi terhadap dermatitis atopik pada lingkup rawat jalan (Horii et al. 2007).
Demikian pula, ketika dibandingkan dengan orang kulit putih lokal, anak-anak Afrika-
Karibia dan Indian Barat yang lahir di London memiliki prevalensi yang lebih tinggi terhadap
dermatitis atopik (Davis et al. 1961, Williams et al. 1995).
Praktik-praktik perinatal seperti pemberian ASI dapat menurunkan resiko dermatitis
atopik. Akan tetapi, data masih tetap membingungkan meski telah ada studi besar dengan
disain yang baik. Meskipun terdapat cukup data untuk mendukung keuntungan pemberian
ASI pada anak-anak dengan riwayat keluarga yang positif untuk atopi, hasil dari studi
KOALA baru-baru ini mengindikasikan bahwa durasi pemberian ASI yang lebih panjang
berhubungan dengan resiko dermatitis atopik yang lebih rendah pada anak-anak yang tidak
memiliki riwayat keluarga atopik, tetapi tidak pada mereka yang keluarganya memiliki latar
belakang atopik (Gdalevich et al. 2001, Kerkhof et al. 2003, Snijders et al. 2007).. KOALA
adalah kependekan/singkatan dari (dalam bahasa Belanda) Anak, Orangtua dan Kesehatan :
Gaya Hidup dan Konstitusi Genetik.
Lebih lanjut, studi-studi lainnya seperti studi kohort program kelahiran GINI
(German Infant Nutritional Intervention) tidak mendukung adanya amnfaat pemberian ASI
ketika dibandingkan dengan formula susu sapi konvensional (lauberau dkk. 2004). Data yang
saling bertentangan ini mungkin berasal dari variasi definisi dermatitis atopik yang
digunakan dalam studi, komposisi ASI, durasi pemberian ASI, dan bias seleksi (Flohr dan
Williams 2006). Meskipun merokok mungkin bukan merupakan predisposisi, mereka yang
menrokok cenderung untuk mendapatkan dermatitis atopik, ibu hamil yang merokok
meningkatkan resiko dermatitis atopik pada anaknya (Mills dkk. 1994, Schaffer dkk. 1997).
Faktor-faktor perinatal lainnya yang mungkin menjadi predisposisi seorang anak terhadap
dermatitis atopik mencangkup faktor-faktor maternal (seperti penggunaan kontrasepsi oral
sebelum kehamilan, atau usia ibu yang tua saat kehamilan pertama) dan faktor infan/bayi
(berat badan lahir bayi yang lebih tinggi). (Golding dan Peters 1987, Peters dan
Golding 1987, Olesen dkk. 1997, Braae Olesen dan Thestrup- Pedersen
2000).
Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan dermatitis atopik.
Urbanisasi dan industrialisasi dan asosiasi-asosiasinya yang banyak sekali – paparan polusi,
alergen, diversitas nutrisi, perumahan moderen – mungkin berkontribusi terhadap
peningkatan prevalensi dermatitis atopik dan kelainan-kelaianan lain yang berhubungan
(Diepgen 2000). Meskipun banyak faktor-faktor yang tampaknya merupakan predisposisi
dari dermatitis atopik,ukuran keluarga yang lebih besarberhubungan dengan penurunan resiko
dermatitis atopik, mungkin sebagai akibat dari peningkatan paparan terhadap infeksi masa
kanak-kanak awal (Strachan 1989). Penduduk pedesaan/rural tampaknya lebih memiliki
proteksi terhadap penyakit atopik (Braback dkk. 2004). Peningkatan prevalensi gangguan-
gangguan alergik, penurunan relatif pada masa paparan awal terhadap infeksi masa kanak-
kanak, dan obrservasi yang telah disebutkan sebelumnya membentuk dasar dari apa yang
sekarang disebut sebagai hipotesis higienisitas (Bach 2002). (gambar 4.2)
Gambar 4.2 Hipotesis higienisitas: (A) hubungan terbalik antara insidensi penyakit infeksi
prototipikal dan (B) insidensi gangguan imunitas dari 1950 hingga 2000. (Dicetak dengan
ijin dari Bach 2002)
Kelas sosioekonimik yang lwbih tinggi itu sendiri merupakan kontributor yang
potensial terhadap ukuran keluarga yang lebih kecil, peningkatan paparan terhadap layanan
medis, peningkatan imunisasi, lingkungan rumah yang lebih alergenik, dan variasi nutrisional
yang lebih luas. – juga berkorelasi dengan predisposisi dermatitis atopik (Williams dkk.
1994, Mc Nally dan Phillips 2000).
Harga/nilai sosioekonomik dalam menangani dermatitis atopik juga signifikan. Data
dari bank data National Ambulatory Medical Care Survey and National Hospital Ambulatory
medical Care Survey mengindikasikan bahwa, setelah periode 8 tahun, dermatitis atopik
merupakan gangguan/kelainan yang sangat umum pada akak-akak dan menyebabkan 7,4 juta
kunjungan ke klinik rawat jalan setiap tahunnya. Kira-kira 1,1 juta atau 15% kunjungan
dermatitis atopik melibatkan manajemen yang spesifik untuk dermetitis atopik infantil (Horii
dkk, 2007). Beban nasional untuk pengasuransi nasional untuk pelayanan pasien-pasien
dengan dermatitis topik diperkirakan berkisar 3,8 milyar US dolar tiap tahunnya (Ellis dkk.
2002).
Patogenesis
Bukti-bukti terbaru mengindikasikan bahwa dermatitis atopik adalah suatu kelainan
multifaktorial yang ditandai oleh disfungsi barrier kulit secara genetis, dan respon
imunologikal abnormal yang berhubungan. Terdapat suatu profil inflamasi yang didominasi
oleh sel T-helper 2 (Th2) pada dermatitis atopik akut dan profil inflamasi yang didominasi
Th1 pada dermatitis atopik kronik.
Mutasi pada filaggrin, penurunan produksi faktor-faktor pelembab alami, defisiensi
relatif ceramide, dan peningkatan aktivitas enzim chymotryptik stratum kormneum termasuk
diantara patomekanisme yang berkontribusi terhadap gangguan barrier kulit pada pasien-
pasien dengan dermatitis atopik (higuchi dkk 2000, Cork dkk 2006, Palmer dkk 2006, kezic
dkk 2008). Adanya disfungsi barrier kulit diduga berujung pada peningkatan sensitisasi
epikutan, juga menjadi predisposisi pasien terhadap reaksi-reaksi imunologikal terhadap
alergen-alergen lingkungan (spergel dan Paller 2003). (lihat gambar 4.1).
Karena bayi-bayi prematur memiliki barrier kulit yang imatur yang berhubungan
dengan peningkatan permeabilitas dan kehilangan air transepidermal, maka dapat
diasumsikan bahwa bayi-bayi prematur dapat, secara umum, memiliki peningkatan resiko
terkena dermatitis atopik. Data pada subjek ini masih saling bertentangan. Dalam suatu
ulasan terhadap 443 anak-anak dengan dermatitis atopik , sangat jarang yang tercatat lahir
preterm (David dan Ewing 1988). Suatu studi pada seorang anak-anak skandinavia berusia 10
tahun yang lahir prematur dengan berat badan lahir <1500g dan dibandingkan dengan kontrol
yakni akan-anak yang lahir cukup bulan dengan berat badan lahir >2500g menunjukkan
bahwa prematuritas sesungguhnya berhubungan dengan reduksi/penurunan yang signifikan
secara statistik pada resiko sensitisasi atopik (Schultz Larsen 1993). Bayi cukup bulan secara
umum memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan angka atopi yang lebih tinggi (31% vs 15%
pada kelompok prematur).
Suatu studi skandinavia lainnya menemukan korelasi antara usia gestasi yang tinggi,
berat badan lahir tinggi, dan peningkatan resiko dermatitis atopik (Olesen dkk 1997).
Temuan-temuan ini bertentangan dengan suatu studi di Denmark yang menunjukkan bahwa
berat badan lahir rendah dan persalinan prematur merupakan faktor resiko korelasi yang
merupakan predisposisi seorang bayi terhadap dermatitis atopik dan asma (Steffensen dkk,
2000). Studi-studi ini, sebagaimana yang telah diduga, dipenuhi oleh hal-hal pembias
potensial, dan faktor-faktor pemengaruh lainnya, seperti paparan maternal prenatal, regimen
nutrisi preterm, regimen preawatan kulit neonatus, proses memastikan bias pada seleksi
pasien-pasien atau kontrol, dan juga ukuran keluarga dan faktor-faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi keluaran / hasil.
Kesimpulan
Dermatitis atopik sering muncul pada masa bayi dengan temuan-temuan yang
menonjol : xerosis, eritema, perubahan-perubahan kulit papular dan vesikular, lepuh, krusta,
dan terkadang likenifikasi dan pada lokasi anatomis yang lebih tergeneralisata dibandingkan
pada anak-anak yang berusia lebih besar dan orang dewasa. Meskipun diagnosa
terutama/secara tipikal dibuat berdasarkan landasan klinis, data laboratorium dan biopsi kulit
terkadang membantu pada saaat dimana superinfeksi atau kondisi komorbid yang
mendasarinya dicurigai. Seperti pada pasien yang lebih besar, bayi dengan dermatitis atopik
sering terkolonisasi oleh S. Aureus , yang dapat menjadi predisposisi mereka terhadap infeksi
bakteri sekunder; mereka juga terkadang dapat terinfeksi oleh organisme lainnya seperti virus
herpes simpleks. Terapi farmakologi pada bayi harus mempertimbangkan sifat perjalanan
alamiah penyakit yang kronik tetapi sering self-limiting, peningkatan relatif rasio luas
permukaan tubuh terhadap berat badan, dan perbedaan antara bayi dan anak yang lebih besar
dalam absorbsi dan metabolisme obat-obat yang diberikan secaratopikal dan sistemik.
Perawatan kulit yang sesuai dapat mengurangi ketergantungan terhadap peresepan obat dan
membatasi frekuensi dan keparahan kekambuhan (flare) secara signifikan. Pada akhirnya,
penanganan dermatitis atopik infantil harus mengingatkan pedoman doter yang pertama dan
terutama: pertama, jangan memperparah (primum non nocere).
Saran-saran Klinis
1. Pertama dan terutama, bayi tidak boleh dianggap sebagai miniatur orang dewasa.
Rasio Area permukaan : berat badan mereka yang tinggi, barrier kulit yang imatur,
dan perbedaan metabolisme dibandingkan dengan anak yang lebih besar dan orang
dewasa menempatkan mereka pada resiko efek samping sistemik dan lokal akibat
kortikosteroid dan agen-agen lainnya. Asam salisilat topikal, amonium laktat, dan
urea harus dihindari dan antihistamin sistemik sebaiknya tidak digunakan sebelum
usia 6 bulan untuk menghindari agitasi paradoksikal atau apneu.
2. Pada kunjungan awal dan kunjungan selanjutnya, faktor-faktor tertentu harus
dicatat dalam riwayat penyakit seperti yang dijabarkan berikut. Yang terutama
penting adalah lokasi anatomis, perluasan dan keparahan daerah yang terlibat, cara
mandi, riwayat penggunaan terapi topikal, faktor-faktor pengeksaserbasi, riwayat
infeksi sekunder, dan terapi antibiotik sebelumnya. Orang tua yang
mengatribusikaneksim anak mereka akibat diet atau alergi makanan harus
dikonselingkan untuk tidak mengubah formula atau mengurangi makanana kecuali
diin struksikan oleh ahli kulit, ahli anak, atau seorang ahli alergi yang
berpengalaman di bidang alergi makanan. Terdapat kasus-kasus malnutrisi yang
terdokumentasi pada anak-anak yang merupakan subjek dari diet eliminasi.
3. Saran dalam hal mandi haruslah diberikan secara individual. Mandi singkat yang
frekuen memfasilitasi ikatan antara pasien dan orangtua dan harus diikuti dengan
aplikasi/pemakaianemolien pada lesi kulit untuk memelihara hidrasi.
Pembersihringan seperti Cetaphil atau Aveeno atau sabun pH seimbang tanpa
parfum (Dove, Oil of Olay) lebih disukai dibandingkan sabun yang alkali. Mandi
pemutih (bleach bath) efektif pada anak yang lebih besar, harus dihindari pada
bayi. Jika mandi tidak nyaman dan sulit, hal tersebut dapat dilakukan lebih jarang,
penekanan pada penggunaan pelembab.
4. Penggunaan emolien sehari dua kali, atau lebih bersifat terapeutik dan harus
dilakukan jangka panjang. Sejumlah preparat yang efektif dan terjangkau tersedia
seperti petrolatum, akuafor, eucerin, cetaphil, dan aveeno. Sebagai tambahan, krim
berbasis ceramide dan agen yang memperbaiki barrier kulit dapat dipertimbangkan,
tetapi mereka lebih mahal. Jika medikasi topikal seperti kortikosteroid digunakan,
emolien harus diaplikasikan 30-60 menit setelah medikasi.
5. Pakaian katun merupakan pakaian yang ideal. Untuk menghindari keringat dan
panas berlebihan, keduanya dapat mengeksaserbasi pruritu, perawatan harus
dilajukan i=untuk menghindari berlebihannya pemberian pakaian (overdressing)
pada bayi
6. Vehikulum salep/ointment direkomendasikan pada bayi untuk menghindari
sengatan, terbakar, dan sensitisasi kontak. Agen-agen berikut membawa indikasi
untuk bayi yang disetujui oleh FDA dibawah usia 3 bulan: krim flutikason
propionat 0,05%, hidrogel desonide 0,05%; busa emulsidesonide 0,05%; dan lotion
hidrokortison butirat 0,1%. Secara umum penggunaan steroid topikal harus
dihentikan atau dibatasi begitu kontrol terhadap dermatitis tercapai. Perbaikan dapat
dipelihara oleh emolien dan ‘perawatan kulit atopik’
7. Suatu pemberian antibiotik terkadang berguna untuk mengendalikan flare yang
disenabkan oleh kuman infeksi stafilokus. Kultur kulit harus dilakukan dan terapi
antibiotik inisial harus diberikan dengan berdasarkan pola sensitivitas stafilokokus
lokal.
top related