definisi dasar harga pokok penjualan.doc
Post on 07-Feb-2016
66 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Difinisi Dasar Harga Pokok Penjualan
Pada dasarnya Harga Pokok Penjualan (istilah yang dipakai IAI) adalah segala cost yang timbul
dalam rangka membuat suatu produk menjadi siap untuk dijual. Atau dengan kalimat lain, Harga
Pokok penjualan adalah cost yang terlibat dalam proses pembuatan barang atau yang bisa
dihubungkan langsung dengan proses yang membawa barang dagangan siap untuk dijual.
Struktur Harga Pokok Penjualan
Dengan difinisi di atas, dapat kita peroleh struktur dasar harga pokok penjualan. Harga pokok
Penjualan pada dasarnya terdiri dari dari 3 (tiga) element besar saja:
[-]. Persediaan (Inventory)
[-]. Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost)
[-]. Overhead Cost
Persediaan
Untuk peruhaan dagang, elemen persediaan hanya terdiri dari “Persediaan Barang Jadi” saja,
atau yang dikenal dengan “Inventory”.
Sedangkan perusahaan manufaktur persediaannya terdiri dari:
[-]. Persediaan Bahan Baku (Raw Materials)
[-]. Persediaan Barang Dalam Proses (WIP = Work In Pocess)
[-]. Persediaan Barang Jadi (Inventory)
Elemen “Persediaan” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah besarnya “Persediaan Terjual”.
Dan untuk mengetahui nilai persediaan yang terjual maka perlu mengetahui unsur-unsur dibawah
ini terlebih dahulu :
[-]. Persediaan Awal
[-]. Pembelian (Untuk perusahaan dagang)
[-]. Harga Pokok Produksi (Untuk perusahaan manufaktur)
[-]. Persediaan Akhir
[-]. Persediaan digunakan (IAI menyebutnya “Barang Tersedia Untuk Dijual”)
Persediaan Awal:
Adalah besarnya (nilai) persediaan yang sudah kita miliki sebelum proses di periode ini dimulai.
Artinya, persediaan tersebut telah ada sebelum aktivitas periode ini dimulai.
Pembeliaan:
Jangan lupa yang kita akui adalah “cost yang terjadi”, sehingga besarnya nilai pembelian yang
kita akui hanya sebesar cost yang timbul saja, yang diwujudkan dengan “Pengeluaran Kas (cash
disbursement)” atau pengakuan “Utang Dagang”. Sehingga nilai pembelian yang kita akui adalah
sebesar nilai bersihnya (net purchase) saja. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam praktek bisnis,
seringkali sebagai perusahaan sebagai pembeli, baik itu pembelian barang jadi (untuk perusahaan
dagang) maupun pembelian bahan baku (perusahaan manufaktur) memperoleh potongan harga
(discount), bisa juga terjadi pengembalian barang kepada pihak penjual (Return). Untuk
memperoleh nilai net purchase, maka kita perlu struktur menjadi:
[-]. Gross Purchase (biasa ditulis “Purchase” saja)
[-]. Discount
[-]. Return
[-]. Net Purchase
Persediaan Akhir:
Adalah besarnya persediaan yang kita bukukan sebagai “persediaan” diakhir periode.
Persediaan Digunakan/Terjual (Persediaaan Tersedia Untuk Dijual):
Adalah besarnya persediaan:
[-]. Barang dagangan yang terjual (untuk perusahaan dagang)
[-]. Besarnya Bahan Baku yang digunakan & barang dagangan yang terjual (untuk
perusahaan manufaktur).
Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost)
Direct Labor Cost adalah upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja yang langsung terlibat pada
proses pengolahan barang dagangan. Dikatakan Direct Labor Cost hanya jika besarnya upah
yang dibayarkan tergantung pada jumlah output product yang dihasilkan.
Yang termasuk ke dalam kelompok tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang dibayar
berdasarkan: “Upah Satuan” atau “Upah Harian/Jam”.
Dalam hal tenaga kerja dibayar dengan upah satuan, tentu dengan jelas bisa kita lihat bahwa
upah tenaga kerja tersebut dapat dibebankan langsung pada product yang dihasilkan.
Jika upah yang dibayarkan berdasarkan jumlah jam kerja, maka biasanya perusahaan telah
menentukan jumlah (satuan) yang harus dihasilkan untuk tengang waktu tertentu (per jam atau
perhari). Sehingga pada akhir perhitungan, dapat diketahui berapa direct labor cost yang akan di
bebankan untuk 1 satu unit product, dan total direct labor cost untuk akumulasi product yang
dihasilkan.
Pada perusahaan pedagang kecil (small wholesaler atau retailer), direct labor cost sulit untuk bisa
di alokasikan dengan semestinya. Sehingga Direct Labor Cost hanya bisa kita temukan pada
perusahaan-perusahaan manufaktur atau pertambangan.
Overhead Cost
Adalah cost yang timbul selain dari ketiga kedua elemen tersebut diatas, yang biasanya disebut
dengan indirect cost, jenisnya tentu saja bervariasi, tergantung jenis usaha, sekala usaha dan jenis
sumberdaya yang dipakai oleh perusahaan. Yang jamak kita temui pada usaha manufaktur atau
dagang adalah :
[-]. Sewa (Rental Cost)
[-]. Penyusutan Mesin & Peralatan (Depreciation on Machineries & Equipment)
[-]. Penyusutan Bangunan Pabrik (Factory’s Building Depreciation)
[-]. Listrik, Air untuk pabrik (Factory’s Utilities)
[-]. Pemeliharaan Pabrik & mesin (Factory & Machineries Maintenance)
[-]. Pengemasan (Packaging/Bottling & labor cost-nya)
[-]. Gudang (Warehousing Cost)
[-]. Sample produksi (Pre-production sampling)
[-]. Ongkos kirim (Inbound & Outbound deliveries)
[-]. Container (Continer)
Siklus dan Alur Jurnal Harga Pokok Penjualan
Inventory
Inventory (yang tercantum di dalam neraca pada periode sebelumnya), akan menjadi persediaan
awal pada periode sekarang (current period). Jika persediaan tersebut terjual pada periode ini,
maka persediaan tersebut di biayakan (expensed) dan diakui sebagai Harga Pokok Penjualan.
Proses pembebanan inventory dilakukan pada saat barang terjual (diserahkan) dengan
jurnal:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan (Inventory terjual)
[Credit]. Inventory
Catatan: untuk membebankan inventory terjual ke dalam harga pokok penjualan, jurnal di atas:
Sisi debit akan menambah harga pokok penjualan pada laporan laba rugi
Sisi kredit akan mengurangi nilai inventory pada neraca di akhir periode nanti
Jurnal tersebut berpasangan dengan:
[Debit]. Kas (atau piutang)
[Credit]. Penjualan
Catatan: untuk mengakui penjualan dan piutang (penerimaan kas) di periode tersebut
Jika pada periode yang sama terjadi penambahan inventory akibat pembelian barang dagangan,
maka pembelian tersebut akan menambah nilai persediaan barang dagangan (inventory), atas
pembelian tersebut di jurnal dengan:
[Debit]. Inventory
[Credit]. Cash (atau Utang Dagang)
Catatan: Jurnal diatas:
Sisi debit akan menambah nilai inventory pada neraca
Sisi kredit akan mengurangi kas atau menambah utang dagang pada neraca
Selanjutnya jika sebagaian dari barang tersebut laku terjual maka bagian yang laku terjual
tersebut akan dibebankan ke dalam harga pokok penjualan seperti pada alur pertama tadi, dengan
jurnal yang sama (tentu saja dengan nilai yang sesuai)
Work In Process & Raw Material
Untuk perusahaan manufaktur, disamping persediaan barang jadi, juga terdapat persediaan
barang dalam proses (work in process) dan persediaan bahan baku.
Persediaan barang dalam proses & bahan baku pada neraca periode sebelumnya akan menjadi
persediaan awal pada periode berjalan. Jika terpakai dalam proses produksi periode berjalan
maka persediaan yang terpakai dibebankan ke dalam harga pokok penjualan dengan jurnal :
Untuk Bahan Baku:
[Debit]. Persediaan Barang Dalam Proses (WIP-Raw Material)
[Credit]. Persediaan Bahan Baku (Raw Material)
Untuk Barang dalam proses:
[Debit]. Inventory
[Credit]. Persediaan Barang Dalam Proses
Jika terjadi pembelian bahan baku, maka nilai pembelian tersebut akan menambah persediaan
bahan baku pada neraca, atas pembelian bahan baku tersebut di jurnal:
[Debit]. Bahan Baku (Raw Material)
[Credit]. Cash (Utang Dagang)
Selanjutnya jika sebagian dari bahan baku yang dibeli tersebut dipakai, maka dilakukan
penjurnalan seperti saat pembebanan persediaan bahan baku ke dalam Persediaan Work In
Process di atas.
Direct Labor Cost & Over Head Cost
Direct Labor Cost aiakumulasikan dengan Raw Material Usage dan Work In Process Usage akan
menghasilkan HARGA POKOK PRODUKSI, selanjutnya Harga Pokok Produksi dan
Inventory akan membentuk Harga Pokok Penjualan.
Perhitungan Dasar Harga Pokok Penjualan
Jika kita buatkan formulasi dasar maka perhitungan Harga Pokok Penjualan dapat dirumuskan
dengan:
HPP = Inventory Usage + Direct Labour Cost + Overhead Cost
Inventory Usage dapat kita turunkan menjadi :
Saldo Awal(+)Pembelian atau Penambahan(–)Saldo Akhir
Pembelian itu sendiri dapat kita turunkan menjadi:
Purchase atau invoice (-) Discount (-) Return
Format Pelaporan Harga Pokok Penjualan
Dengan Struktur, Alur dan perhitungan Harga Pokok Penjualan seperti di atas, maka format
laporan harga pokok penjualan dapat kita construct.
Struktur Harga Pokok Penjualan (COGS) Usaha Dagang
Harga Pokok Penjualan usaha dagang terdiri dari 2 kelompok besar yaitu: Persediaan Barang
(Inventory ) dan Overhead saja.
A. Inventory :
Adalah persediaan barang dagangan yang diperoleh dari sisa persediaan periode sebelumnya
yang dalam akuntansi kita sebut sebagai saldo awal persediaan (opening balance) ditambah
dengan pembelian pada periode yang sama, dikurangi dengan sisa persediaan di akhir periode
(Saldo Akhir = Closing Balance), itulah inventory Cost yang dibebankan sebagai Harga Pokok
Penjualan.
Jika kita konstruksi,maka struktur lengkap inventory-nya akan seperti dibawah ini:
A.1. Opening Balance
A.2. Purchase:
A.2.a. Purchase
A.2.b. Freight In
A.2.c. Discount
A.2.d. Return
A.3. Sales
A.4. Closing Balance
B. Overhead:
Elemen HPP (COGS) usaha dagang yang kedua adalah overhead, yaitu cost yang berpengaruh
secara tidak langsung terhadap harga pokok penjualan, berikut adalah overhead cost yang biasa
muncul pada usaha dagang:
B.1. Packing
B.2. Warehousing
B.3. Freight Out
Akumulasi semua element cost diatas itulah Total Harga Pokok Penjualan usaha dagang.
Detail dari masing-masing elemen di atas akan kita bahas pada sub-topic berikut ini.
Alur, Siklus Transaksi dan Jurnalnya
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa elemen COGS perusahaan dagang terdiri dari
kelompok besar yaitu: Inventory dan Overhead Cost.
Alur dan siklus Transaksi Inventory Cost:
Setiap proses akuntansi yang terkait dengan Neraca selalu berawal dari: Neraca berupa saldo
awal (Opening Balance), dilanjutkan dengan Current Activities (Transaksi Debit [minus]
Transaksi Credit), yang pada akhirnya akan bermuara ke Neraca kembali berupa saldo akhir
(Closing Balance).
Demikian halnya dengan Inventory, Inventory adalah bagian dari Neraca. Maka alur inventory
juga berawal dari saldo awal inventory, selanjutnya:
Jika terjadi pembelian barang dagangan, maka saldo inventory akan bertambah juga.
Jurnalnya:
[Debit]. Inventory à Menambah saldo inventory di Neraca
[Credit]. Cash / Utang à Mengurangi saldo Kas di Neraca
Dan jika terjadi penjualan barang dagangan , maka saldo inventory akan berkurang. Pada saat
terjadi penjualan inilah Inventory Cost diakui:
Jurnalnya:
[Debit]. Cost of Goods Sold à Menambah Saldo COGS di Laba Rugi
[Credit]. Inventory à Mengurangi saldo Inventory di Neraca
Catatan: COGS adalah cost yang akan menjadi faktor pengurang Laba, seperti kita ketahui Laba
adalah element Neraca. Berkurangnya inventory pada aktiva di seimbangkan oleh berkurangnya
laba pada pasiva. Sehingga Neraca akan tetap dalam kondisi balance.
Karena ini transaksi penjualan, maka penjualan diakui di saat yang sama
Jurnalnya:
[Debit]. Cash/Piutang à Menambah Saldo Cash atau Piutang di Neraca
[Credit]. Sales à Menambah saldo penjualan di Laba Rugi
Catatan: Sales adalah revenue yang akan menjadi faktor penambah Laba, Laba adalah element
Neraca. Berkurangnya Cash/Piutang pada aktiva di seimbangkan oleh bertambahnya laba pada
pasiva.
Jika kita gambarkan dalam bentuk diagram, maka alur transaksi harga pokok penjualan akan
menjadi seperti dibawah ini:
Perhitungan COGS Usaha Dagang
Perhitungan Harga Pokok Penjualan usaha dagang sederhana saja :
HPP (COGS) = Inventory Cost + Overhead
Inventory Cost :
Opening Balance + Purchase - Closing Balance
Purchase:
Purchase + Freight In – Discount - Return
Case:
UD. Sinar Kasih, pedagang kain di Pasar Tanah Abang , pada tanggal 01 Maret memiliki
persediaan kain dengan nilai Rp 1,000,000,- Selama bulan Maret UD. Sinar Kasih, untuk bisa
melayani semua pesanan dan penjualan, UD Sinar Kasih membeli kain dari Bandung senilai Rp
48,000,000 ditambah ongkos kirim sebanyak Rp 1,000,000. Selama bulan Maret UD Sinar kasih
berhasil melakukan penjualan sebesar Rp 65,000,000. pada tanggal 31 Maret UD. Sinar Kasih
membayar Listrik Rp 350,000, PAM Rp 50,000, Sewa toko Rp 10,000,000, Gaji pegawai toko
Rp 800,000 dan ongkos kirim barang ke pelanggan sebesar Rp 500,000. Setelah dihitung fisik
kainnya, diketahui saldo akhir persediaan kain adalah Rp 300,000 saja.
Problems:
[1]. Berapa Harga Pokok Penjualan UD Sinar Kasih untuk periode Maret?
[2]. Berapa Laba Kotor UD. Sinar Kasih untuk Maret?
Solving:
[1]. Harga Pokok Penjualan:
HPP = Inventory Cost + Overhead
Inventory Cost = Opening Balance + Purchase – Closing Balance
Inventory Cost = 1,000,000 + (48,000,000+1,000,000) – 300,000
Inventory Cost = 49,700,000
Overhead Cost :
Apakah listrik termasuk? Tidak karena berapapun jumlah transaksi biaya listrik tetap
Apakah PAM termasuk? Tidak
Sewa Toko termasuk? Tidak
Gaji pegawai toko termasuk? Tidak
Ongkos kirim kain ke pelanggan? Termasuk, Rp 500,000
Overhead Cost = Rp 500,000
Harga Pokok Penjualan = Rp 49,700,000 + 500,000 = Rp 50,200,000
[2]. Laba Kotor : Sales – Harga Pokok Penjualan
Laba Kotor = Rp 65,000,000 – 50,200,000 = Rp 14,800,000,-
Mudah bukan?
Begitulah typically contoh kasus yang biasa kita jumpai, semudah itu.
Pernahkah berpikir: Darimana Saldo Akhir persediaan sebesar Rp 300,000 ribu di atas
diperoleh?. Ini kuncinya!
Inventory Valuation & Penentuan COGS
Menilai persediaan barang gampang-gampang susah.
Gampangnya?
Kalau barang tersebut sifatnya unique (berbeda antara barang yang satu dengan yang lainnya,
dari: harganya, ukuran, kwalitas, warna, unit price) tentu mudah untuk kita manage, apalagi jika
barangnya sedikit. Tinggal pasang sticker/hanging tag pada masing-masing barang (per batch),
isi specification & unit price di masing-masing sticker. Trus di akhir periode lakukan
PHYSICAL COUNT…. Bang ! dapat sudah. Itu namanya menggunakan PHYSICAL COUNT
METHOD.
Susahnya?
Bagaimana jika barangnya tunggal, dan tidak unique, fisiknya semua sama, warna sama, bentuk
sama, ukuran sama, kwalitas juga sama atau relative sama, yang dijual barang itu-itu saja dari
periode ke periode, tetapi harga belinya variatif, beda-beda, harga jualpun beda-beda tentunya.
Bagaimana menghitungnya? Begaimana menentukan Inventory-nya, Bagaimana menentukan
Inventory Cost-nya?. Bukankah harga beli diketahui, seharusnya bisa menentukan berapa
inventory costnya. Tetapi kadang-kadang sisa barang 2 hari yang lalu harganya Rp 5/biji
sebanyak 5 biji, trus tadi beli sebanyak 10 biji harganya Rp 6, sementara tadi laku 11 biji. Trus
harga pokoknya dihitung berapa? Rp 5/biji atau Rp 6 per biji?.
Okay, kita punya 3 pilihan methode untuk menentukan Harga Pokok sekaligus nilai
persediaan di akhir periode nanti, yaitu:
[1]. Average Method
[2]. FIFO Method
[3]. LIFO Method
Case:
UD. Cahaya Murni adalah toko yang menjual gula tebu. Pada tanggal 01 Maret diketahui Jumlah
persediaan sebanyak 100 Kg, dengan nilai Rp 300,000. Dan dari buku catatan nampak transaksi
seperti dibawah ini:
Jika kita summarize maka menjadi:
Problem:
Berapa Inventory Cost UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Nilai Persediaan UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Laba Kotor UD. Cahaya Murni jika tidak ada Overhead Cost?
Seperti saya sebutkan di atas, bahwa persediaan type ini dapat kita ukur hitung dengan
menggunakan 3 methode. Kita akan coba hitung dengan menggunakan masing-masing methode
di atas:
[1]. Metode Rata-rata (Average Method)
Harga Pokok (Inventory Cost) Barang yang terjual per unit-nya ditentukan dengan
menjumlahkan saldo awal dengan nilai pembelian, lalu dibagi dengan Quantity saldo akhir
ditambah dengan Quantity barang yang dibeli. Formulasinya:
HPP/Unit = (Rp Saldo awal + Rp Pembelian) : (Qty Saldo Awal + Qty pembelian)
Total HPP terjual = HPP/Unit x Qty terjual
Saldo Akhir = Saldo Awal + Pembelian - Penjualan
Pada contoh kasus di atas:
HPP/Unit penjualan 01-Mar:
HPP/Unit = (Rp 300,000+0) : (100+0)
HPP/Unit = Rp 300,000 : 100 = Rp 3,000,-
Total HPP terjual = Rp 3,000 x 40 = Rp 120,000
Saldo Akhir = Rp 300,000 + 0 – 120,000 = Rp 180,000
Demikian setrusnya hingga akhir periode.
Jika saya teruskan semua transaksi maka tabelnya akan seperti dibawah ini:
Catatan : Perhatikan summary
COGS = Rp 396,565
Closing Balance = Rp 206,435
Kita uji dengan rumus:
Closing Balance = Opening Balance + Purchase - COGS
Closing Balance = 300,000 + 303,000 - 396,565
Closing Balance = Rp 206,435,-
[2]. FIFO Method
FIFO acronym dari “First In First Out” maksudnya, barang yang masuk duluanlah yang dijual
terlebih dahulu.
Transaksi 1 Maret:
Karena barang yang ada hanya saldo awal 100 kg, maka yang dijual sebanyak 40 kg
menggunakan unit cost saldo awalnya = 300,000 : 100 = Rp 3,000
Total HPP 1 Maret = Rp 3,000 x 40 kg = Rp 120,000
Closing Balance = Rp 300,000 – 120,000 = Rp 180,000
Transaksi 10 Mar:
Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-
Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?
Karena tanggal 1 Mar sudah laku 40 kg, maka sisa barang yang menggunakan unit price
sebelumnya tinggal 60 kg, tidak cukup untuk menutup penjualan yang 65 kg, maka:
60 kg menggunakan unit price Rp 3,000
5 kg menggunakan unit price Rp 3,100
Total HPP 10 Maret:
60 x 3,000 = 180,000
5 x 3,100 = 15,500
----------------------- (+)
Total HPP = 195,500,-
Jika dimasukkan ke dalam table maka akan menjadi seperti dibawah ini:
Catatan : Perhatikan juga summary
Jika mau uji, silahkan gunakan formula COGS seperti yang saya lakukan di average method.
[3]. LIFO Method
LIFO stand for “Last In First Out”. Maksudnya “Barang yang masuk belakangan dijual terlebih
dahulu”. Kedengarannya aneh. Memang aneh karena cara ini akan membuat HPP menjadi tidak
realistic. Pikirkan, cost yang dibebankan menggunakan cost dari pembelian terakhir, tanpa
memperhitungkan adanya kemungkinan barang yang terjual tercampur antara persediaan yang
menggunakan harga lama ditambah dengan barang baru dengan harga baru. Di negara luar
(misalnya USA) methode ini sangat tidak dianjurkan, bahkan dianggap praktek illegal, jikapun
ada yang mengguanakan methode ini, maka akan diawasi sangat ketat oleh pemerintahnya.
Ok, kita coba hitung dengan methode ini seperti apa hasilnya?
Transaksi tanggal 01 maret bisa kita ketahui hasilnya akan sama dengan methode yang lainnya,
so tidak perlu kita coba.
Langsung ke transaksi tanggal 10 Maret:
Saldo awal 60 kg dengan unit cost 3,000
Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-
Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?
Sesuai konsepnya: Last In First Out, maka:
30 kg x Rp 3,100 = 93,000
35 kg x Rp 3,000 = 105,000
---------------------------- (+)
Total HPP = 198,000,-
Tabelnya menjadi seperti ini:
Catatan: Perhatikan juga summary-nya
Kesimpulan :
Menggunakan masing-masing method di atas hasilnya (perhatikan summary di masing-masing
tabel):
Opening Balance tetap sama :
Qty = 100 kg, Rp 300,000
Purchase tetap sama :
Qty = 95 kg, Rp 303,000
COGS quantity sama 135 kg, tapi value-nya berbeda:
Average = 396,565
FIFO = 393,000
LIFO = 398,000
Closing Balance, Qty sama 65 kg, tetapi value berbeda-beda:
Average = 206,435
FIFO = 210,000
LIFO = 205,000
Kajian Perpajakan
COGS atau Harga Pokok Penjualan adalah vital dalam perhitungan pajak, tinggi rendahnya PPh
sangat dipengaruhi oleh Harga Pokok Penjualan. Untuk nilai penjualan yang sama, semakin
tinggi Harga Pokok Penjualannya, maka semakin rendahlah labanya, sudah tentu pajaknya juga
akan makin rendah, and vice versa.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
[1]. Freight: freight adalah elemen COGS, pengakuan biaya freight harus sesuai.
[2]. Discount & Return atas pembelian :
Perhitungkanlah discount dengan semestinya. Lupa memperhitungkan discount akan
mengakibatkan pembebanan COGS menjadi lebih besar dari yang seharusnya, jika tidak
ketahuan oleh Ditjend pajak, tentu itu bagus, artinya COGS lebih tinggi, artinya laba lebih
rendah, pajak lebih rendah. Tetapi jika ketahuan, maka ini akan menjadi koreksi saat
pemeriksaan.
[3]. Metode Penentuan HPP & Inventory Valuation.
Jika kita perhatikan dari kesimpulan di atas, jelas bisa kita lihat bahwa menggunakan LIFO
method akan menghasilkan COGS paling tinggi. Mengapa? Karena trend harga pembelian
terus meningkat. Ingat konsep LIFO, unit cost yang dipakai sebagai dasar penghitung HPP
adalah harga pembelian yang the most recent (terkini?). Kita tahu di negara kita tercinta ini
Inflasi cenderung meningkat dari bulan ke bulan and tahun ke tahun. Kejadian harga turun
adalah langka. Menggunakan LIFO method akan menghasilkan PPh paling rendah!
COGS tertinggi berikutnya adalah “Average Method”, hampir mendekati LIFO, hanya saja
value yang diambil adalah nilai tengahnya.
FIFO, adalah yang paling rendah COGS-nya. Sekaligus yang paling realistic.
Harga Pokok Produksi (Manufacturing/Production Cost)
Ada 3 (tiga) hal yang obviously membedakan HPP (COGS) manufaktur dengan bentuk-bentuk
usaha lainnya, antara lain:
[-]. Adanya “Bahan Baku” (Raw Material) yang di dalamnya termasuk juga bahan penolong
atau bahan pembantu atau apalah istilahnya lagi.
[-]. Adanya “Barang Dalam Proses” (Work In Process).
[-]. "Tenaga Kerja Langsung" (Direct Labor) biasanya dapat dibebankan dengan sempurna
[-]. Adanya Depreciation Cost atas penggunaan mesin dan peralatan produksi lainnya yang
masuk dalam kelompok Overhead Cost/Indirect Cost.
Akumulasi dari ke-empat elemen cost tadi disebut dengan harga pokok produksi
(Manufacturing Cost/Production Cost).
A question: “Mengapa Inventory tidak termasuk ke dalam harga pokok produksi?”
Inventory atau persediaan barang jadi (merchandize) adalah persediaan yang sudah tidak
melalui proses produksi lagi, tidak melalui pengolahan lagi. Artinya, pada saat persediaan diakui
sebagai persediaan barang jadi (inventory), maka sudah tidak diperlukan penglohan lagi Jikapun
barang masih harus melalui proses pengemasan (packaging), proses tersebut tidaklah membuat
barang jadi menjadi bertambah (meningkat) fungsionalnya. Artinya, tanpa dikemaspun
sesungguhnya barang tersebut sudah dapat berfungsi sebagaimana yang seharusnya.
Misalnya: Barang jadi sepatu, tanpa di masukkan ke delam carton box, sepatu sudah befungsi
sebagmana layaknya fungsi sepatu.
“Bagaimana dengan bottling & pengalengan?”
Bottling ataupun pengelengan dan proses-proses pengemasan lain untuk barang yang tidak wajar
dijual dalam keadaan tidak terbungkus, maka proses packaging maupun bahan packing-nya
digolongankan kedalam bahan baku.
Misalnya: Beer.
Botol maupun proses memasukkan cairan beer ke dalam botolnya hingga botolnya di tutup,
adalah direct cost bukan indirect cost. Sedangkan carton box dan proses memasukkan botol beer
ke dalam carton box hingga carton box di seal-tape, adalah indirect cost.
Dari penjelasan di atas maka production cost dapat dihitung dengan menjumlahkan ke-empat
unsur cost diatas:
Harga Pokok Produksi (Production/Manufacturing Cost):
Raw Material Usage+Work In Process Usage+ Direct Labour Cost+Overhead Cost
dimana :
* Raw Material Usage dihitung dengan :
Opening Balance + Purchase – Closing Balance
* Work In Process dihitung dengan:
Opening Balance – Closing Balance
* Direct Labor Cost = Upah buruh dan tenaga kerja harian di produksi
*Over Head Cost : Indirect cost yang terkait dengan production activity.
Kaitan Harga Pokok Produksi dengan Harga Pokok Penjualan
Harga Pokok Penjualan :
Inventory Usage + Production Cost
So, production cost adalah salah satu elemen dari Harga Pokok Penjualan usaha manufaktur.
Catatan :
Proses pembentukan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan pada perusahaan
manufactur mengalami transformasi seiring dengan proses pembentukan barang (product), ada
siklusnya. Disinilah biasanya cost accounting menjadi bagian yang sulit untuk dipahami. Nanti
akan kita bahas di posting-posting berikutnya.
top related