death involving buprenorphine french cases
Post on 31-Dec-2015
56 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TUGAS
ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN KLINIK
DEATH INVOLVING BUPRENORPHINE: A COMPENDIUM OF
FRENCH CASES
OLEH:
KELOMPOK VI
M. Ifan Iswandi (1008505042)
Ni Kadek Santika Dewi (1008505049)
Ni Made Lis Dwi Marni (1008505085)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2013
1
DEATH INVOLVING BUPRENORPHINE: A COMPENDIUM OF
FRENCH CASES
I. Kasus
Buprenorfin dalam dosis tinggi telah digunakan sebagai pengganti terapi
ketergantungan heroin pada tahun 1996 di Perancis. Senyawa ini merupakan
hasil semisintesis derivat opiat yang berhubungan dekat dengan morfin, dan
memiliki potensi efek 25-40 kali lebih baik pada reseptor sentral. Aktifitas
analgesic pada dosis rendah diberikan secara intravena atau intramuscular
dengan dosis 0,3-0,6 mg, setelah administrasi menunjukkan disosiasi yang
sangat lambat dari reseptor opiate dan mengakibatkan durasi efek sekurang-
kurangnya 24 jam. Beberapa produk yang memberikan obat ini diantaranya
Tamgesic dengan dosis rendah 0.2 mg dan Subutex pada dosis tinggi 0,4-8 mg,
keduanya digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada menanganan
premedikasi dan atau anastesi.
Saat ini buprenorfin digunakan secara luas di Perancis sebagai obat terapi
ketercanduan Heroin dan telah sukses menurunkan jumlah overdosis heroin
sebanyak 20% pada tahun 1999. Namun obat ini juga dapat ditemukan dengan
mudah di pasar gelap (Black market), tercatat kejadian kematian pertama pada
tahun 1996, dan meningkat menjadi 20 jumlah kematian pada tahun 1998,
semua angka kejadian ditemukan adanya konsumsi obat-obat psikotropika
seperti golongan benzodiazepin dan obat neuroleptik. Informasi epidemiologi
yang terkumpul sangat berguna sebagai data pendukung untuk mengetahui
perkembangan kasus kematian yang diakibatkan obat-obatan terlarang seiring
berjalannya waktu bagi seorang toksikologis.
II. Tujuan Analisis
Tujuan analisis adalah melakukan penelitian baru pada kasus kematian
akibat buprenorfin serta melengkapi data kadar buprenorfin yang mampu
2
memberikan efek letal di daerah Strasbourg dan beberapa daerah berbeda di
Perancis.
III. Tujuan Aspek Forensik
Aspek forensik bertujuan untuk membuktikan dan mengetahui kadar senyawa
buprenorfin yang mampu memberikan efek letal serta mengetahui pengaruh
obat-obatan lain pada kasus kematian akibat penyalahgunaan obat-obat
terlarang.
IV. Aspek Forensik
Perkembangan yang terjadi pada bidang forensik saat ini menjadikan
peran seorang toksikolog forensik menjadi lebih kompleks. Ahli toksikolog
forensik saat ini tidak hanya sekedar melakukan pemeriksaan terhadap adanya
penggunaan substansi terlarang atau mengkonfirmasi adanya konstituen
tersebut pada berbagai barang sitaan. Tuntutan terhadap pekerjaan seorang ahli
toksikolog forensik mengharuskan seorang ahli dapat memecahkan “teka-teki”
dalam kasus forensik khususnya pada berbagai kasus kematian yang
melibatnya substansi kimia.
Dalam bidang forensik, terutama pada penanganan kasus yang melibatkan
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, penting bagi seorang ahli forensik
untuk dapat menentukan senyawa apa saja yang dikonsumsi, jumlah
penggunaannya, kapan penggunaannya hingga lamanya obat-obatan tersebut
telah dikonsumsi, mengingat bahwa ahli forensik akan dimintai keterangan atas
interpretasi data analisis yang telah dilakukan guna membuktikan kebenaran
penggunaan senyawa-senyawa tersebut.
Dengan melakukan analisis konsentrasi substansi kimia dari berbagai
sampel biologis, ahli farmasi forensik dapat memperkirakan efek yang dapat
ditimbulkan dari penggunaan substansi tersebut yang berkaitan dengan
kejadian di tempat perkara. Dengan ditemukannya barang bukti berupa obat-
obatan atau alat yang digunakan seperti sendok, pipet, syringe, dan alat lainnya
dapat menjadi sebuah petunjuk bagi ahli farmasi forensik untuk mengetahui
3
penyebab kematian korban, apakah korban meninggal akibat overdosis atau
penyalahgunaan narkotika, serta memberikan penjelasan apakah substansi
tersebut secara sepenuhnya yang bertanggung jawab terhadap kematian korban.
Seperti halnya pada banyak kasus kematian yang terjadi di Perancis pada tahun
1996-2000, tercatat bahwa 117 kasus kematian terjadi akibat keracunan
buprenorfin dengan ditemukkannya senyawa buprenorfin atau metabolitnya
seperti norbuprenorfin di dalam sampel biologis yang dikumpulkan.
Buprenorfin merupakan salah satu senyawa narkotika golongan III yang
telah digunakan secara luas sebagai alternatif terapi bagi seseorang pecandu
narkoba seperti heroin atau morfin. Buprenorfin tergolong ke dalam senyawa
opioid semisintetik yang memiliki potensi efek 25-40 kali lebih baik pada
reseptor sentral. Buprenorfin menghasilkan aktivitas agonis terhadap reseptor
mu dan antagonis untuk reseptor kappa. Senyawa ini akan terdisosiasi sangat
lambat setelah pemberian intravena dengan reseptor opiat dan mengakibatkan
durasi efek yang dihasilkan paling tidak sekitar 24 jam. Bukti bahwa seseorang
telah mengkonsumsi senyawa ini salah satunya dengan ditemukan metabolit
utamanya yakni desalkil-buprenorfin dan norbuprenorfin dalam bentuk
konjugasi dengan glukuronat.
Di Perancis, buprenorfin digunakan secara luas sebagai obat terapi
kecanduan heroin. Akan tetapi senyawa ini mudah diperoleh di pasar gelap dan
bebas dibeli oleh siapa saja, sehingga buprenorfin sering disalahgunakan oleh
para pecandu narkotika. Bukti ditemukannya buprenorfin dari hasil
pemeriksaan toksikologi tidak bisa begitu saja dianggap sebagai penyebab
kematian dari kasus tersebut. Hal ini terkait dengan konsentrasi buprenorfin di
dalam sampel yang masih berada dalam rentang efek terapeutik sehingga
senyawa ini tidak memiliki potensi untuk menimbulkan toksisitas hingga
menyebabkan kematian. Disisi lain penyebab kematian lebih sulit dipastikan
karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban. Bukti
lain yang umumnya ditemukan di tempat kejadian perkara berupa peralatan
yang sering digunakan dalam penyalahgunaan narkoba, seperti sendok, pipet,
syringe, botol, serta sisa-sisa serbuk atau tablet. Berdasarkan hasil penelusuran
4
lebih lanjut terhadap sampel dan alat bukti di TKP, ditemukan keterlibatan
substansi lain, seperti obat-obatan psikotropika (golongan benzodiazepin dan
neuroleptik), golongan narkotika (kokain dan cannabis) serta konsumsi
alkohol.
Berdasarkan data analisis dan kumpulan bukti yang diperoleh, seorang ahli
farmasi forensik dituntut untuk mampu menjelaskan kaitan antara buprenorfin
ataupun interaksinya dengan senyawa lain dalam kasus kematian dalam upaya
menyimpulkan penyebab kematian secara pasti.
V. Uraian Masalah
5.1 Masalah Forensik
Masalah forensik pada penelitian ini adalah:
a. Membuktikan adanya penyalahgunaan buprenorfin dalam kasus
kematian.
b. Mengetahui kadar senyawa buprenorfin dan substansi lainnya yang
terkandung dalam sampel.
c. Mengetahui adanya interaksi buprenorfin dengan senyawa lain yang
berpotensi menyebabkan toksisitas dan kematian.
5.2 Masalah Analisis
Masalah analisis dalam kasus ini diantaranya:
a. Sampel yang digunakan harus mengandung senyawa buprenorfin untuk
membuktikan adanya penyalahgunaan obat-obatan terlarang dari kasus
kematian
b. Metode ekstraksi dan metode analisis harus cukup sensitive dan selektif
memisahkan dan mengidentifikasi senyawa Buprenorfin dalam sampel.
c. Mengetahui adanya interaksi obat-obatan psikotropika dalam kasus
penyalahgunaan Buprenorfin dalam kasus kematian.
5
VI. Penelusuran Pustaka
6.1 Senyawa Opiat
Opiat merupakan golongan senyawa yang memiliki kemampuan
untuk berikatan dengan reseptor opiat di dalam tubuh. Senyawa ini mampu
dpt menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, sehingga dapat
menghasilkan efek analgesia yang cukup kuat untuk mengurangi rasa sakit
dan nyeri yg cukup berat seperti nyeri akibat kanker, serangan jantung dan
juga pramedikasi anestesi. Berdasarkan sumbernya, senyawa golongan ini
dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni opiate yang berasal dari bahan
alam berupa alkaloid seperti morfin, semisintetik seperti morfin dan
buprenorfin serta senyawa sintetik seperti metadon dan petidin (Sweetman,
2009; McEvoy et al., 2002).
A. Buprenorfin
Buprenorfin merupakan salah satu senyawa narkotika golongan
III yang telah digunakan secara luas sebagai alternatif terapi bagi
seseorang pecandu narkoba seperti heroin atau morfin. Buprenorfin
tergolong ke dalam senyawa opioid semisintetik yang memiliki potensi
efek 25-40 kali lebih baik pada reseptor sentral. Buprenorfin
menghasilkan aktivitas agonis terhadap reseptor mu dan antagonis
untuk reseptor kappa (Sweetman, 2009; Kintz, 2001). Buprenorfin
berupa serbuk kritalin berwarna putih dengan bobot molekul 467,6
gr/mol. Senyawa ini larut dalam alkohol, bersifat mudah larut dalam
metanol dan aseton, praktis larut dalam sikloheksan, sangat sukar larut
dalam air (Sweetman, 2009; Moffat et al., 2005).
6
Gambar 6.1 Struktur molekul Buprenorfin (Moffat et al., 2005)
Berdasarkan uji klinis yang dilakukan, diketahui konsentrasi
terapeutik terbaik untuk buprenorfin adalah 2-20 ng/mL. Buprenorfin
dapat diberikan melalui intravena dengan dosis rendah 0,3-0,6 mg
ataupun sublingual dengan dosis lebih tinggi yakni 0,4, 2 dan 8 mg.
Buprenorfin memiliki aktivitas analgesic dengan dosis 0,2-0,8 mg,
euphoria 0,2-2 mg subkutan dan depresi pernafasan dengan dosis 0,3 –
0,6 mg intravena (Huestis, 2000). Senyawa yang 96% berikatan
dengan protein plasma ini memiliki waktu paruh 1,2 hingga 7,2 jam.
Belum terdapat data yang pasti mengenai konsentrasi buprenorfin yang
dapat menyebabkan toksisitas ataupun kematian (Kintz, 2001; Moffat
et al., 2005).
Buprenorfin yang diberikan melalui intramuskular inkeksi akan
dengan cepat mencapai kosentrasi maksimal di plasma. Absorbsi
umumnya melalui mukosa bukal melalui rute sublingual. Senyawa ini
dimetabolisme melalui N-dealkilasi pada sitrokorom p450 CYP3A4
menjadi N-dealkilbuprenorfin (norbuprenorfin) dan bentuk
konjugasinya (Moffat et al., 2005; Huestis, 2000)
Jalur eliminasi melalui feses dengan sebagian kecil diekskresi
bersama urin sebagai metabolitnya. Buprenorfin mengalami first pass
metablolism bila diberikan melalui oral dengan bioavailabilitas kurang
dari 15%. Eliminasi buprenorfin ditemukan lebih dari 11 hari setelah
konsumsi dalam urin (30%) dan feses (69%), hampir semua ditemukan
dalam bentuk asli dan dalam betnuk metabolitnya. Dalam urin
senyawa aktif dan metabolitnya berada dalam bentuk terkonjugasi,
7
sedangkan dalam feses berbentuk senyawa bebas (Moffat et al., 2005;
Huestis, 2000)
Gambar 6.2 Spektrum Buprenorfin (Moffat et al., 2005)
Analisis buprenorfin dalam kasus forensik seperti penyidikan
dalam kasus penyalahgunaan narkoba ataupun kasus kematian akibat
overdosis telah banyak dilakukan pada berbagai laboratorium.
Berbagai metode analisis telah dilaporkan dalam analisis dan
penetapan kadar senyawa ini dalam berbagai jenis sampel biologis
antara lain Fluorescence Polarization I mmunoassay (FPI),
spetrofotometri UV, GC/FID, GC/NPD, GC/MS, LC/DAD hingga
LC/MS (Hoja et al., 1997; Huestis, 2000; Kintz, 2000).
Gambar 6.3 Spektra Masaa Buprenorfin (Moffat et al., 2005)
8
6.2 Sampel Biologis
A. Rambut
Untuk mengetahui suatu kasus penyalahgunaan narkoba,
ketergantungan narkoba, overdosis dalam pengobatan atau
penyalahgunaan serta paparan suatu xenobiotika secara kronik tentunya
dibutuhkan suatu analisis yang spesifik dan akurat untuk menghidarkan
hasil positif atau negatif palsu. Berbagai komponen matrik dari tubuh
seseorang telah banyak diteliti untuk dapat digunakan dalam analisis
toksikologi-forensik untuk mengungkap kasus-kasus tersebut meliputi
saliva, darah, urin, keringat, serta cairan jaringan. Berdasarkan berbagai
penelitian, tidak diragukan lagi bahwa sampel darah dan urine
merupakan sampel yang paling banyak digunakan dalam analisis rutin.
Akan tetapi saat ini selain kedua sampel tersebut, sampel rambut telah
dikembangkan dan banyak digunakan sebagai alternatif dalam analisis
toksikologi forensik khususnya penyalahgunaan narkoba (Gjerde et al.,
2011; Balikova, 2005; Vassiliki et al., 2006)
Rambut dipilih sebagai sampel tidak terlepas dari keuntungan yang
dapat diberikan oleh jenis sampel ini untuk analisis rutin antara lain
rentang deteksi yang lebih luas (dapat digunakan untuk analisis paparan
yang telah terjadi dari hitungan hari hingga puluhan tahun) dibandingkan
dengan sampel darah atau urin (hanya dalam hitungan hari hingga
minggu), proses pengkoleksian sampel yang mudah, tidak menyakitkan
dan tidak rumit (penampungan urin dan pengambilan darah), serta
mampu membedakan antara chronic use atau single exposure. Dalam
analisis dengan menggunakan sampel rambut juga kita dapat menemui
zat aktif utama serta metabolitnya yang telah terdeposisi pada jaringan
dibawah kulit pada akar rambut. Sampel biologis berupa rambut lebih
stabil pada penyimpanan dalam temperatur kamar pada waktu yang
cukup lama, tidak harus dianalisis langsung dan memiliki komponen
matrik yang tidak komplek. Setiap pertumbuhan 1 cm rambut
9
mempresentasikan paparan obat selama satu bulan (Gjerde et al., 2011;
Balikova, 2005; Musshoff et al., 2004; Vassiliki et al., 2006).
Rambut memiliki struktur yang cukup seragam dan terbagi menjadi
dua bagian utama yaitu bagian eksternal dengan bentuk silindris yang
kompak. Bagian ini akan tumbuh mulai dari bagian folikel atau bagian
internal yang merupakan sebuah organ seperti kantung dibawah kulit.
Folikel rambut tertanam pada lapisan epitelium epidermis kulit dan
berasosiasi dengan kelenjar sebaseus. Pada daerah axillari dan pubis dari
rambut akan berasosiasi dengan kelenjar apokrin. Proses deposisi zat
kimia ke dalam folikel rambut dapat terjadi melalui dua proses yakni
adsopsi dari lingkungan luar dan incorporasidari asupan darah ke folikel
rambut atau sekresi dari kalenjar keringat dan sebasea (Gjerde et al., 2011;
Chiarotti dan Rossi, 1996; Vassiliki et al., 2006).
Gambar 6.4 Struktur dan Komponen Rambut (Gjerde et al., 2011)
Dalam analisis penyalahgunaan narkoba dengan menggunakan
sampel rambut terdapat beberapa hal dan tahapan yang perlu diperhatikan
untuk dapat mencapai tujuan analisis yang diharapkan, antara lain :
a. Sampling
Metode sampling sampel rambut terbukti lebih mudah dan tidak
intrunsif dibandingkan sampling sampel biologis lainnya. Pada
sampling rambut sebaiknya digunakan sebanyak 50 mg-200 mg sampel
pada bagian kepala belakang. Sampel yang ditampung harus dilapisi
10
dengan aluminium foil untuk mencegah terjadinya kontaminasi dan
disimpan dalam temperatur kamar. Selama proses pengambilan sampel
terdapat potensi yang sangat besar untuk terjadinya kontaminasi
sehingga nantinya sampel perlu dipreparasi dengan proses pencucian
pengotor dan kontaminan yang menempel.
b. Metode Analisis
Segmen rambut yakni rambut dengan panjang yang tepat dipotong
dari sampel rambut yang diambil. Semakin pendek sampel rambut yang
digunakan menggambarkan semakin singkat interval waktu sejak
paparan zat yang dianalisis. Sampel harus dicuci menggunakan pelarut
yang dapat menghilangkan kontaminan eksternal yang menempel.
Pemilihan solven yang tepat pada proses ini juga dapat mempengaruhi
efisiensi dalam ektraksi dan interpretasi hasil kuantitatif nantinya. Tahap
pretreatment wajib dilakukan untuk dapat mengekstraksi zat yang
diinginkan dari rambut yang memiliki struktur yang kuat dan adanya
ikatan dengan komponen lain seperti protein, lipid dan melanin. Sampel
selanjutnya harus dipotong menjadi potongan-potongan kecil atau
dilakukan pulverisasi menggunakan grinder. Sampel ini selanjutnya di
ekstraksi dengan pelarut seperti misalnya metanol dalam waktu yang
cukup untuk melarutkan zat (5-18 jam). Pada proses ini, tipe dan sifat zat
yang diinginkan sangat berpengaruh. Untuk beberapa tipe ektraksi dapat
dilakukan dengan menggunakan buffer, penambahan enzim, asam, basa
atau dengan inkubasi. Adapun beberapa teknik preparasi yang dapat
dilakukan antara lain inkubasi dalam larutan buffer dan analisis dengan
metode RIA; inkubasi dalam larutan asam atau basa disertai dengan
ekstraksi cair- cair atau ekstraksi fase padat (SPE) dan analisis dengan
kromatografi, paling banyak digunakan GC-MS; inkubasi dalam pelarut
organic (umumnya methanol dengan atau tanpa HCl), ekstraksi cair- cair
atau ekstraksi fase padat (SPE) dan analisis dengan kromatografi, paling
banyak digunakan GC-MS; digesti dalam larutan enzimatik, ekstraksi
11
cair- cair atau ekstraksi fase padat (SPE) dan analisis dengan
kromatografi, paling banyak digunakan GC-MS.
c. Interpretasi Hasil
Interpretasi dari hasil analisis yang diperoleh merupakan tahap
yang paling serius untuk analisis dengan sampel rambut. Hal ini
dikarenakan terdapat berbagai variasi kandungan obat yang berbeda
untuk setiap individu yang diuji. Pada beberapa kasus, penggunaan
terapi kosmetik tertentu dapat mempengaruhi hasil analisis secara
signifikan. Apabila pada analisis sampel rambut diperoleh hasil postif
mengenai kandungan suatu zat atau narkotika dengan metode yang
berbasis spetroskopi massa maka dapat dipastikan bahwa orang
tersebut pernah terpajan zat yang dimaksud. Akan tetapi bila hasil yang
diperoleh menyatakan negatif atau tidak ditemukan zat tersebut, tidak
dapat dipastikan bahwa seseorang tidak pernah terpajan zat yang
dimaksud. Apabila segmen dari rambut juga diikutkan dalam analisis,
variasi pertumbuhan rambut dari setiap individu akan menyebabkan
bias dan ketidakakuratan interpretasi dalam menduga waktu
pengkonsumsian/waktu terpapar zat tersebut.
d. Aplikasi
Analisis dengan sampel rambut sesuai untuk deteksi suatu zat
atau obat yang telah digunakan dalam kurun waktu 1 bulan terakhir.
Penggunaan sampel dapat diaplikasikan pada analisis seperti uji suatu
obat pada populasi umum, pasien, dan pecandu narkotika. Analisis
yang mengkonsusmsi banyak waktu “time consuming” dan mahal dapat
menggunakan sampel ini untuk meningkatkan efisiensi analisis
terutama pada screening sejumlah besar jenis obat sekaligus
(Gjerde et al., 2011; Balikova, 2005; Vassiliki et al., 2006).
B. Sampel Darah
Darah merupakan sampel yang paling baik untuk identifikasi
senyawa obat atau zat aktif lainnya baik untuk tujuan kualitatif ataupun
12
kuantitatif. Sampel darah harus diambil oleh petugas yang terampil
untuk memastikan kebenaran sampel tersebut. Plasma darah adalah
cairan berwarna kuning yang dalam reaksi bersifat sedikit alkali.
Komposisi dari plasma darah adalah air, protein (albumin, globulin,
fibrinogen dan protrombin), ion – ion (Na, K, Ca, Mg, Cl, HCO3),
nutrien (glukosa, asam amino dan asam lemah), hormon dan nitrogen
(Pearce, 2006). Plasma lebih sering digunakan daripada serum pada
analisis obat, karena dapat disentrifugasi dengan segera, sedangkan
pembentukan serum membutuhkan lebih banyak waktu (Smyth, 1992).
Plasma biasanya digunakan untuk analisis klinis ataupun deteksi
kandungan analit tertentu karena kandungan komponen darahnya lebih
sedikit dibandingkan darah utuh yang memiliki matriks biologi yang
sangat komplek, sehingga lebih menguntungkan untuk analisis dan
meminimalisir kegagalan ataupun kesalahan dalam analisis (Pearce,
2006). Serum darah adalah cairan bening yang memisah setelah darah
membeku. Plasma darah berbeda dengan serum darah terutama pada
serum tidak terdapat faktor pembentukan fibrinogen. Jika darah tetap
dibiarkan selama 15 menit pada suhu-kamar dalam suatu tabung tanpa
antikoagulan maka serum dan komponen darah lainnya akan memisah
(Flanagan et al., 2007).
Pada kasus postmortem, darah jantung diambil dengan jarum dan
syringe yang sesuai. Untuk mendapatkan spesimen jantung, pertama-
tama pericardial harus dibuka, pericardium dipisahkan, jantung
dikeringkan dan spesimen darah disingkirkan dengan syringe dari
bagian jantung kanan atau kiri. Kurang lebih 50 ml spesimen harus
dikumpulkan jika memungkinkan. Sedangkan spesimen darah perifer
harus diambil menggunakan syringe hipodermik dengan ukuran 10-20
ml yang bersih atau baru. Volume darah yang diambil setidaknya 10
mL dan sebaiknya tidak dilakukan pemerasan pada kaki untuk
meningkatkan volume darah (Karch, 1998).
13
Sebagai wadah untuk menampung spesimen, biasanya digunakan
tabung gelas atau plastik Beberapa analit basa dan senyawa ammonium
kuartener seperti tricyclic antidepressants, paraquat, dan aluminium
dapat berikatan dengan gelas sehingga lebih baik digunakan tabung
plastik. Sedangkan spesimen yang mengandung senyawa volatil, maka
gelas menjadi pilihan pertama (Flanagan et al., 2007).
Spesimen darah sebaiknya diawetkan dengan 2% b/v sodium
fluoride pada wadah specimen. Sodium fluoride ditambahkan untuk
menghambat aktivitas mikroorganisme yang mengkonversi glukosa
menjadi ethanol dan mengoksidasi etanol, serta mencegah hilangnya
ester, seperti asam 6-acetylmorphine. Ester berperan penting dalam
reaksi hidrolisis (menghasilkan basa), sehingga keasaman dari darah
tidak ditunjukkan karena pH darah menurun pada kasus postmortem
(Karch, 1998). Beberapa laboratorium dapat menggunakan
antikoagulan seperti potassium oxalate, EDTA atau sodium citrate dan
digabungkan dengan 5 mg/mL fluoride. Tapi bila jumlah darah yang
dikumpulkan sedikit, kelebihan fluoride dapat mempengaruhi pengujian
headspace zat yang volatile dengan merubah tekanan uap dari analit
(Flanagan et al., 2007). Beberapa contoh antikoagulan yang dapat
digunakan sebagai pengawet spesimen adalah sebagai berikut :
(Flanagan et al.,, 2007).
14
Pada umumnya sampel biologi sebaiknya disimpan pada suhu 2-
4oC sebelum di bawa ke laboratorium. Suhu yang rendah dapat
menghambat pertumbuhan bakteri dan memperlambat reaksi kinetik
seperti konversi etanol menjadi asetaldehid. Setiap botol spesimen
ditutup dengan rapat untuk menghindari kebocoran dan ditempat
terpisah dengan specimen lainnya pada tas plastik. Berbagai residu
spesimen harus disimpan pada suhu −20 ◦C sampai investigasi dari
kejadian telah disimpulkan. Ruang di atas tabung penyimpan darah
harus diminimalisir untuk mencegah masuknya kontaminan seperti CO,
pelarut atau zat volatile lainnya. Jika sampel telah disimpan dengan
benar, maka tidak akan ada perbedaan konsentrasi analit yang
signifikan di dalam plasma dan serum (Flanagan et al., 2007).
Untuk memaksimalkan pengukuran yang sebenarnya dengan darah
postmortem, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dalam interval waktu
yang sempit antara kematian dan pemeriksaan. Jika sampel darah yang
didapatkan cukup banyak, maka sampel dipisahkan menjadi 2, satu
untuk diawetkan dan satunya lagi tidak. Tetapi sebaliknya, jika sampel
darah yang diperoleh sedikit, maka semua harus diawetkan walaupun
ada kemungkinan sampel akan rusak oleh pengawet (fluoride).
Spesimen yang diperoleh memiliki nilai yang berarti karena dapat
diketahui keadaan korban secara klinis, gambaran kejadian sebelum
terjadinya kematian, dan lain-lain (Karch, 1998).
Pengambilan sampel dari kasus postmortem dalam investigasi
toksikologi akan tergantung dari masing-masing kasus. Darah yang
diambil harus bersifat representatif dari keseluruhan sampel darah. Jika
dalam darah mengandung senyawa-senyawa tertentu yang memiliki
kestabilan dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah kematian,
penyimpanan spesimen sangat direkomendasikan (Skoop, et al., 2004).
Jumlah dan kecepatan migrasi obat di dalam darah dan jaringan
pada postmortem bervariasi tergantung pada obat dan jarak waktu
antara kematian dan pengumpulan spesimen postmortem. Organ torso
15
merupakan organ mayor yang umumnya mengandung obat dalam
jumlah banyak sedangkan saluran gastrointestinal kemungkinan
mengandung obat yang belum diabsorpsi. Darah sentral merupakan
darah yang diperoleh dari organ-organ tersebut. Darah perifer, seperti
darah femoral diperoleh dari jaringan lokal, seperti jaringan otot dan
lemak. Secara umum, darah yang didistribusikan ke pembuluh sentral
lebih banyak daripada yang didistribusikan ke pembuluh perifer.
Perbedaan antara dua situs tersebut dikenal sebagai rasio sentral perifer
(C/P). Berdasarkan hal tersebut, spesimen darah yang sebaiknya dipilih
untuk analisis toksikologi adalah sampel darah vena femoralis (Cook et
al., 2000). Adapun jenis spesimen tubuh dan perkiraan jumlah yang
diambil dari spesimen tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
16
(Skoop, et al., 2004)
6.3 Kromatografi Cair – Spektrometri Massa (Liquid Chromatography –
Mass Spectrometry)
A. Pengertian LC/MS
Kombinasi kromatografi cair (LC) dengan spektrofotometri massa
(MS) merupakan kombinasi metode analisis yang ideal untuk keperluan
laboratorium. HPLC sudah menjadi metode pilihan dalam pemisahan,
17
analisis, dan pemurnian campuran. Kolom HPLC mampu memisahkan
hampir semua campuran yang dapat dilarutkan. Spektrofotometri massa
dapat mengionisasi puncak yang terpisah dari larutan dan menghasilkan
bobot molekul untuk komponen setiap puncaknya (McMaster, 2005).
Untuk sebagian besar senyawa, spektrometer massa lebih sensitif dan
jauh lebih spesifik daripada semua detektor LC lainnya. Detektor ini
dapat menganalisis senyawa yang tidak memiliki kromofor yang cocok.
Selain itu, juga dapat mengidentifikasi komponen dalam puncak
kromatografi yang belum terselesaikan, dan tidak memerlukan
pemisahan yang sempurna (Agilent, 2001). Spektrofotometer massa
bekerja melalui ionisasi molekul dan kemudian menyeleksi dan
mengidentifikasi ion tersebut berdasarkan rasio massa per muatan
(m/z). Kunci utama proses ini adalah sumber ion (ion source) yang
menghasilkan ion dan mass analyzer yang menyeleksi ion.
Gambar 6.5 LC/MS Sistem
B. Kolom
Umumnya, analisis HPLC dewasa ini menggunakan sistem fase
terbalik (Reversed Phase-High Performance Liquid Chromatography).
Hal ini berdasarkan waktu yang lebih singkat, baik yang diperlukan
untuk equilibrasi kolom maupun waktu analisis dan luasnya jenis
sampel yang dapat dianalisis dengan menggunakan RP-HPLC (Ahuja
and Dong, 2005). RP-HPLC lebih banyak digunakan karena kekuatan
elusi fase gerak yang lebih mudah diatur; equilibrasi antara kolom dan
fase diam lebih cepat daripada NP-HPLC (Normal Phase High
18
Performance Liquid Chromatography), jarang menggunakan elusi
gradient, kolom RP-HPLC jika dikombinasikan dengan elusi gradien
dapat memisahkan analit dengan rentang yang luas.
(Gunzler and Williams, 2001).
Kolom silika yang paling banyak digunakan adalah kolom C18 atau
ODS (octyldecyl-silica). Sekitar 80% pemisahan dengan HPLC
dilakukan dengan kolom C18. Fase diam yang terikat secara kimiawi
umumnya dibuat melalui derivatisasi gugus silanol dari silika. Gugus
silanol yang belum bereaksi kemudian dihilangkan dengan end –
capping zat pelapis. End – capping dari fase diam yang digunakan
menyebabkan fase diam menjadi lebih stabil, menghasilkan puncak –
puncak dengan keterpisahan yang baik dan memperpanjang masa. Fase
diam C18 merupakan salah satu fase diam yang termasuk ke dalam fase
diam derivat silika yang bersifat nonpolar. Senyawa akan tertambat
lebih lama di dalam kolom C18, sehingga pemisahan menjadi lebih
optimal (Gunzler and Williams, 2001).
Tabel 6.2 Silica Bonded-Phase Coloumn
C. Fase Gerak
Fase gerak yang umum digunakan dalam LC fase balik,
diantaranya adalah air, acetonitril, dan methanol yang ideal untuk
LC/MS. Semua solven harus di degass sebelum analisis dengan
LC/MS untuk menjaga stabilitas sinyal ion. Degass dapat dilakukan
dengan sonifikasi, helium sparging, atau membrane vakum. Jika
19
menggunakan solven yang banyak mengandung fase air, maka perlu
temperature perlu dinaikkan untuk membantu desolvasi dalam
sumber ion. Solven pada kromatografi cair dengan fase normal
seperti diklorometan, toluena, heksan, dan pelarut organik
hodrokarbon lainnya tidak dianjurkan penggunaannya pada sistem
ESI-MS. Hal ini karena pada sistem ESI-MS membutuhkan solven
yang bersifat polar untuk proses ionisasi.
D. Ion Source
Sumber ionisasi yang ideal untuk MS harus memberikan efisiensi
ioniasi dan stabilits ion yang tinggi untuk selanjutnya dianalisis dengan
mass analyzer. Tersedia berbagai metode ionisasi, yaitu EI, CI, APCI,
DI, ESI, DESI, dan MALDI (McMaster, 2005).
Tabel 6.1 Metode-Metode ionisasi
Pada metode Atmospheric Pressure Ionization (API), molekul
analit mula-mula diionisasi terlebih dahulu pada tekanan atmosfer,
selanjutnya ion-ion analit dipisahkan dari molekul netral secara
mekanik dan elektrostatik. Teknik Atmospheric Pressure Ionization
(API) ini umumnya digunakan untuk mengionisasikan molekul sampel
yang thermolabil seperti peptida, protein, dan polimer (Bramer, 1997).
20
Teknik Atmospheric Pressure Ionization (API) yang umum
digunakan antara lain Electrospray Ionization (ESI), atmospheric
pressure chemical ionization (APCI), dan atmospheric pressure
photoionization (APPI).
Ionisasi electrospray bergantung pada pelarut yang digunakan
untuk memungkinkan analit mampu mengion dengan baik sebelum
mencapai spektrofotometer massa. Eluen LC disemprotkan bersamaan
dengan gas nebulizer ke dalam bidang elektrostatik pada tekanan
atmosfer yang akan menyebabkan disosiasi lebih lanjut molekul analit.
Pada saat yang bersamaan gas yang dipanaskan menyebabkan
menguapnya pelarut sehingga tetesan analit menyusut, konsentrasi
muatan dalam tetesan meningkat. Keadaan akan memaksa ion untuk
bermuatan melebihi kekuatan kohesif atau ion dikeluarkan ke dalam
fase gas. Ion-ion yang tertarik akan melewati pipa kapiler, pengambilan
sampel yang akan diteruskan ke dalam mass analyzer (Ginting, 2012).
Proses ionisasi dengan electrospray meliputi tiga tahap utama yaitu
Nebulization dan pemberian muatan; Desolvation dan Ion evaporation
(McMaster, 2005).
Gambar 6.6 API Electrospray Ionization (Ginting, 2012).
21
Gambar 6.7 Prinsip umum ESI (Baynham, 2006)
E. Voltase Ionisasi
Salah satu parameter instrument yang penting adalah high voltage
yang digunakan baik dalam ESI maupun APCI, termasuk capillary
voltage dan corona discharge voltage. Dalam LC/ESI-MS, medan
listrik kuat dihasilkan dengan mensuplai voltase kapiler (capillary
voltage), umumnya 4 – 5 kV. Dalam LC/APCI-MS, voltage yang lebih
rendah digunakan pada corona pin, umumnya 2,5 – 3 kV. Voltase yang
tinggi ini dapat disesuaikan untuk memaksimalkan sensitivitas.Selain
itu, posisi kapiler ESI atau penyelidikan APCI mungkin memiliki
dampak pada sinyal ion dan harus dioptimalkan (McMaster, 2005).
F. Pompa vakum
Vakum dalam spektrometer massa berfungsi untuk
mempertahankan ion hingga mencapai detektor tanpa mengalami
perubahan menjadi molekul gas lainnya. Perubahan ini dapat
menurunkan resolusi dan sensitivitas dari instrumen karena
meningkatnya energi kinetik yang menginduksi fragmentasi ion atau
mencegah ion untuk mencapai detektor (Siuzdak, 1996).
Terdapat tiga jenis pompa vakum dalam spektrometer massa, yaitu
pompa vakum dengan baling-baling berputar yang dilapisi minyak
(pompa mekanik), pompa vakum difusi minyak dan pompa molekul
turbo. Prinsip pompa mekanik dapat mencapai tekanan 10-3 torr. Pompa
22
mekanik biasanya menunjukkan kapasitas pemompaan 50 sampai 150
L/min. Pompa difusi minyak harus memiliki tekanan di bawah 10-2 torr.
Pompa vakum difusi mencapai tekanan 10-9 torr ketika didinginkan
dengan nitrogen cair (McMaster, 2005).
G. Mode Ionisasi
Pengaturan ionisasi diawali dengan pemilihan mode ionisasi, yaitu
mode ion positif atau negative. Pemilihan mode ini tergantung pada
struktur analit. Untuk senyawa dasar (misalnya amine), dapat digunakan
mode ion positif untuk membentuk molekul terprotonasi (protonized
atau cationized). Untuk senyawa asam, molekul terdeprotonasi dibentuk
dengan mode ion negative.
H. Interface
Sistem interface berfungsi menghubungkan sistem HPLC dengan
MS. Kebutuhan dasar interface adalah mampu menjaga performance
kromaografi (pelebaran pita minum), efisiensi transfer yang tinggi dari
LC ke MS, dan tidak menyebabkan degradasi dalam MS. Berbagai jenis
interface adalah : Direct Liquid Introduction, Moving Belt System,
Thermospay, Continuous-Flow FAB, Atmospherric Pressure
Photoionization, Particle Beam, dan API. Interface yang paling banyak
digunakan adalah API, yaitu ESI dan APCI. Proses ESI pada dasarnya
adalah elektroforetik. ESI melibatkan pembentukan mikro-droplet
bermuatan dengan pemberian medan listrik kuat, kemudian evaporasi
droplet dengan menggunakan gas pengering (N2) atau desolvasi termal.
Proses APCI mirip dengan ESI, namun proses pembentukan ion
terpisah dari proses evaporasi solven.
I. Mass Analyzer
Instrumen memiliki variasi dalam kemampuannya yang tergantung
pada desain dan tujuan yang diinginkan. Hal ini juga berlaku untuk
23
spektrometer massa, (mass analyzers) penganalisis massa berkontribusi
terhadap akurasi, range, dan sensitivitas instrumen. Terdapat enam jenis
umum dari mass analyzers yaitu : quadrupole, quadrupole ion traps,
magnetic sector, time-of-flight, dan time-of-flifht reflectron (Siuzdak,
1996).
Inti dari spektrometer massa adalah penganalisis massa (mass
analyzers), yang mampu memisahkan ion berdasarkan massa dengan
muatan (m/z). Ion yang dipisahkan dapat berupa ion bermuatan positif
yang merupakan hasil kombinasi dari molekul ion dan komponen
pelarut pada fase gerak. Fragmentasi ion dari adanya tumbukan pada
ruang chamber, atau ion bermuatan negative yang dihasilkan akibat
perubahan polaritas pada ruang ionisasi dan dalam pengaturan fokus
lensa. Tujuan analyzer adalah untuk menahan ion, pemilihan ion massa
tertentu sebagai frekuensi radio dipindai, dan memindahkan ion yang
terpilih ke detektor untuk dilakukan perhitungan (McMaster, 2005).
Tabel 6.3 Karakteristik Mass Analyzer
J. Mode Kuantitasi
Dua pendekatan yang sering digunakan untuk meningkatkan limit
deteksi adalah SIM dan MRM. Dalam studi LC/MS, umumnya
sensitivias deteksi ditingkatkan dengan membatasi scan mass analyzer
24
hanya untuk 1 ion, yaitu SIM. Pada studi MS/MS yang sering
menggunakan triple quadrupole MS, umumnya digunakan teknik
MRM. Q1 diatur untuk melewatkan ion induk. Q2 digunakan sebagai
collision cell untuk memfragmentasikan ion induk. Q3 berperaan dalam
mentrasmisikan hanya produk ion terpilih dari ion induk.
VII. Metode
7.1 Alat dan Bahan
A. Alat
- Liquid chromatograph (LC sistem Alliance)
- Kolom : NovaPak (C18, ukuran 150 mm x 2.0 mm i.d)
- Detektor : Perkin Elmer Sciex API 100 Mass Spectrometer.
- Sentrifuge
- Peralatan penunjang laboratorium lainnya
B. Bahan
- Sampel plasma
- Sampel rambut
- kloroform
- 2-propanol
- N-heptane
- Standar Buprenorfin-d4
- Standar Norbuprenorfin-d3
- Metilen klorida
- Metanol
- Asetonitril
- Amonium asetat
7.2 Prosedur Kerja
A. Preparasi Sampel Darah
Sebanyak 3 mL sampel darah ditambahkan sebanyak 15 ng
Buprenorfin-d4 dan Norbuprenorfin-d3 diekstraksi dengan 5 mL
kloroform:2-propanol:N-heptana (25:10:65 v/v) pada pH 8,4.
25
Selanjutnya di campur dan disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm
selama 5 menit. Fase organik dihilangkan dan ektrak yang diperoleh
setelah penguapan direkonstitusi dengan 25 µL metanol.
B. Preparasi Sampel Rambut
Sebanyak 100 mg sampel rambut dicuci sebanyak dua kali masing-
masing dengan menggunakan metilen klorida sebanyak 5 mL pada
suhu ruangan. Helai rambut dikecilkan ukuran partikelnya (hingga
menyerupai serbuk) dan sebanyak 50 mg rambut yang telah diserbukan
ditambahkan 15ng Buprenorfin-d4 dan Norbuprenorfin-d3. Selanjutnya
diinkubasi dalam 1 mL HCL 0,1N selama semalam pada suhu 56°C.
Campuran dinetralkan dengan NaOH, kemudian fase yang terlarut
diektraki dengan 5 mL kloroform:2-propanol:N-heptana (25:10:65 v/v)
pada pH 8,4. Selanjutnya di campur dan disentrifugasi pada kecepatan
3000 rpm selama 5 menit. Fase organik dihilangkan dan ektrak yang
diperoleh setelah penguapan direkonstitusi dengan 25 µL metanol.
C. Analisis Dengan LC-MS
Kolom dikondisikan dengan fase gerak campuran
asetonitril:ammonium asetat (50:85 %v/v) selama 2 menit dengan laju
alir 0,1 ml/menit. Sampel dari rambut atau darah yang telah dipreparasi
masing-masing diinjeksikan sebanyak 5 µL ke dalam kolom dan analit
dielusi dengan menggunakan eluen asetonitril:ammonium asetat (50:85
%v/v) selama 10 menit di dalam kolom C18. Deteksi analit dilakukan
dengan API 100 Mass Spetrometer. Data spektra massa dari detector
dikumpulkan dengan mode scanning single ion monitoring yakni m/z
414 dan 417 untuk Norbuprenorfin dan Norbuprenorfin-d3 serta pada
m/z 468 dan 472 untuk identifikasi spektra massa Buprenorfin dan
Buprenorfin-d4.
26
VIII. Hasil dan Pembahasan
Umumnya interpretasi konsentrasi suatu senyawa dari kasus
postmortem atau setelah kematian mampu memberikan informasi yang
sangat membantu toksikologis untuk dapat menunjukkan dan menjelaskan
dosis farmakologi, dosis toksis, dan dosis letal senyawa tersebut. Meskipun
dalam kasus Buprenorfin ini tidak didapatkan literature atau pendukung
informasi yang cukup untuk digunakan sebagai sumber referensi.
Huestis (2000) menyebutkan bahwa buprenorfin dalam studi klinis
memiliki efek terapetik dengan dosis 2-20 ng/mL, dan tidak terdapat data
dosis toksik maupun dosis letal, sehingga akan mengakibatkan masalah
dalam pengobatan. Publikasi Tracqui et al (tahun) mengaitkan 20 kejadian
kematian akibat paparan buprenorfin, meskipun kadarnya berada dalam
konsentrasi terapetik, dan tidak adanya petunjuk penyebab kematian yang
jelas. Oleh sebab itu muncul dugaan bahwa buprenorfin mampu
memberikan efek letal tanpa terjadi overdosis ketika terdapat interaksi
dengan obat-obatan lain seperti obat psikotropika.
Hasil penelitian terbaru yang dihimpun dari Strasbourg dan beberapa
kota tempat lainnya didapatkan penemuan pendahuluan berupa data
toksikologis seperti pada tabel dibawah ini:
27
Berdasarkan data toksikologi di atas, konsentari buprenorfin pada
darah berada dalam rentang 0,5 – 51 ng/mL dengan rata-rata konsentrasi
12.2 ng/mL; metabolit norbuprenorfin berada pada rentang 0,2 ng/mL
sampai 47,1 ng/mL dengan rata-rata 8,2 ng/mL untuk daerah Strasbourg.
Sedangkan pada daerah lain, buprenorfin berada dalam rentang 0,1 ng/mL
sampai 76 ng/mL dengan rata-rata konsentrasi 12,6 ng/mL; metabolit
norbuprenorfin berada dalam rentang <0,1 sampai 65 ng/mL dengan rata-
rata 10,6 ng/mL.
96 subyek yang diidentifikasi adalah pria (82%) dari 117 keseluruhan
subjek, hampir semuanya memiliki status social yang rendah. Keadaan
dimana didapati 2/3 kejadian kematian dari subjek diakibatkan oleh obat-
obatan. Hal ini didukung ditemukannya kemasan kososng Subutex®
dan/atau tersisanya burpenorphine (pada sendok, sedotan, dll.), dan obat-
obatan psikotropika berikut alat suntik dan bekas suntikan pada tubuh. Hasil
autopsy tidak menunjukkan adanya tindak kekerasan pada tubuh, namun
dari semua mayat yang diidentifikasi, ditemukan adanya asfiksiasi dengan
tanda-tanda sianosis dalam, udema paru-paru dan kongesti multiviseral.
Tanda-tanda ini merupakan petunjuk yang lazim terdapat pada kasus
kematian akibat obat-obat depresan saraf pusat, khususnya golongan opiate.
Buprenorfin dapat ditemukan dari 24 dari 26 sampel rambut yang
dilakukan di Strasbourg. Hal ini merupakan indikasi penggunaan kronis dari
obat-obatan terlarang untuk individu terkait. Buprenorfin ditemukan pada
rentang kadar 10 sampai 1080 ng/mg dan metabolit norbuprenorfin
ditemukan pada rentang kadar tak terdeteksi sampai 1020 pg/mg. Berikut
adalah 5 contoh kasus kejadian kematian buprenorfin yang ditemukan di
Strasbourg:
28
Disamping itu, dari 117 kasus, terdapat 2 kasus bunuh diri dan kadar
buprenorfin dalam darah adalah 144 dan 3276 ng/mL. Kematian yang
diakibatkan oleh buprenorfin sendiri terllihat tidak biasa dikarenakan dari
semua kasus terdapat bukti konsumsi obat-obat psikotropika lainnya, seperti
golongan benzodiazepam. Penggunaan bersama-sama dengan benzodiazepin
telah dilaporkan dari beberapa pengobatan sebelumnya, dimana tidak terjadi
adanya depresi pernafasan yang fatal ketika buprenorfin diberikan bersama
pasien yang dianastesi. Hal ini menunjukkan bahwan efek penekan saraf
pusat buprenorfin diakibatkan oleh potensial efek sinergis dari beberapa obat
benzodiazepin. Interaksi yang sama juga terdapat pada buprenorfin dan obat
psikotropika lainnya seperti obat neuroleptik dan antidepresan.
37 kasus melibatkan obat neuroleptik, terdapat 26 kasus ditemukan
cyamemazine. Sedangkan 18 kasus terdapat obat antidepresan, terdapat 8
kasus ditemukan golongan trisiklik dan 10 kasus terdapat serotonin reuptake
inhibitors. Pada kasus yang melibatkan konsumsi obat narkotika seperti
morfin (12 kasus, 8 kasus diantaranya didapati konsentrasi toksik pada
darah), kodein (2 kasus), metadon (4 kasus), petidin (1 kasus) dan
propoxphene (4 kasus). Kejadian fatal lainya melibatkan konsumsi alcohol
(etanol) dan buprenorfin (4 kasus).
Interaksi buprenorfin dan benzodiazepin mampu menghasilkan efek
yang terlihat pada fase farmakokinetik maupun farmakodinamik. Dalan uji
coba in vitro diketahui terdapat interaksi buprenorfin dan benzodiazepin
dengan enzim CYP3A yang terdapat pada tikus dan manusia. (Ibrahim et al,
29
2000). Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa terdapat inhibisi enzim
yang pada konsentrasi benzociazepin tertentu dalam plasma yang
mengakibatkan efek penekan system saraf pusat (CNS) yang berlebihan.
Penambahan efek sinergis berhubungan dengan interaksi farmakokinetika
yang juga mengakibatkan penurunan fungsi system pernafasan.
Interaksi buprenorfin dan obat-obat antidepresan juga telah diketahui;
obat-obat antidepresan dapat diberikan bersamaan dengan obat analgesic
khususnya ketika terdapat sakit kronis bersamaan dengan adanya depresi
(Saarialho et al., 1987). Buprenorfin sendiri mampu memberikan efek
depresi sistem pernafasan, namun peningkatan secara signifikan dalam end-
tidal karbon dioksida akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah administrasi
obat antidepresan dan buprenorfin. Sedangkan administrasi bersama
serotonin reuptake inhibitor akan meningkatkan bioavailabilitas buprenorfin
(Iribarne et al., 1998).
Konsentrasi tinggi dari metabolit norbuprenorfin juga memberikan
kontribusi toksisitas buprenorfin. Konsentrasi norbuprenorfin berada
dibawah konsentrasi buprenorfin setelah administrasi dosis tunggal, namun
akan ekivalen setelah administrasi dosis perhari. Norbuprenorfin memiliki
potensial yang kurang untuk menimbulkan efek analgesic, namun memiliki
potensi yang lebih besar untuk menimbulkan efek depresi system pernafasan
(10 kali lebih poten) (55). Norbuprenorfin mampu terikat pada reseptor µ
pada paru-paru akan memberikan efek depresan tambahan pada system
pernafasan atau melipatgandakan subtype µ reseptor yang terkait dengan
efek analgesic atau depresan pernafasan akan terikat dengan afinitas yang
berbeda pada buprenorfin dan norbuprenorfin (Ohtani et al., 1997)
Meninjeksikan buprenorfin sublingual tablet yang dihancurkan
melalui intravena akan mengakibatkan meningkatkan potensial overdosis.
Administrasi buprenorfin dalam klinis secara intravena mampu memberikan
efek yang cepat karena jumlah dan kecepatan distribusi obat
(bioavailabilitas) untuk sampai pada reseptor sangat baik dengan cara
intravena (sumber intravena). Sehingga administrasi Subutex® dalam dosis
30
tinggi bersama-sama dengan obat linnya akan memberikan faktor yang
penting dalam berbagai kasus toksisitas buprenorfin, meskipun buprenorfin
mampu memberikan “ceiling effect” atau efek agonis/antagonis yang
mampu mengurangi resiko overdosis buprenorfin tunggal (Walsh et al.,
1994).
IX. Kajian Forensik
Masalah Forensik:
a. Membuktikan adanya penyalahgunaan buprenorfin dalam kasus
kematian.
b. Mengetahui kadar senyawa buprenorfin dan substansi lainnya yang
terkandung dalam sampel.
c. Mengetahui adanya interaksi buprenorfin dengan senyawa lain yang
berpotensi menyebabkan toksisitas dan kematian.
Kasus kematian akibat buprenorfin yang terjadi di daerah Strasbourg dan
beberapa kasus membuktikan adanya drug abuse, hal ini didukung data
toksikologi yang menunjukkan adanya administrasi buprenorfin secara
bersama-sama dengan obat-obat lainnya sehingga mampu memberikan efek
toksik yang membahayakan penggunanya. Meskipun buprenorfin dapat
diberikan atas kepada pasien, namun data konsentrasi toksik dan letal belum
ditemukan. Sehingga penggunaan obat yang melebihi dosis terapetiknya dapat
membahayakan kesehatan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Jawaban kasus:
1. Penyalahgunaan buprenorfin pada kasus kematian dibuktikan karena
didapatkannya buprenorfin dan atau metabolitnya bersama dengan
obat-obatan terlarang lainnya pada uji darah dan rambut.
Penyalahgunaan buprenorfin kronis dibuktikan oleh adanya sejumlah
metabolit senyawa induk yang ditemukan pada rambut mayat. Serta
bukti-bukti di TKP yang menunjukkan adanya obat/sisa/bungkus obat
dan peralatan penyalahgunaan obat seperti alat suntik.
31
2. Kadar buprenorfin yang ditemukan pada kasus kematian akibat
buprenorfin didapati berada pada kadar terapetiknya.
3. Adanya interaksi buprenorfin dengan obat-obatan lainnya dapat
meningkatkan potensi toksisitas buprenorfin terhadap penggunanya.
Ditemukannya tanda-tanda ini merupakan petunjuk yang lazim
terdapat pada kasus kematian akibat obat-obat depresan saraf pusat,
khususnya golongan opiat seperti ditemukan adanya asfiksiasi dengan
tanda-tanda sianosis dalam, udema paru-paru dan kongesti
multiviseral, dan tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan
menunjukkan bahwa kasus kematian diakibatkan karena keracunan
senyawa tertentu.
X. Kesimpulan
Tujuan analisis adalah melakukan penelitian baru pada kasus kematian
akibat buprenorphine serta melengkapi data kadar buprenorphine yang mampu
memberikan efek letal di daerah Strasbourg dan beberapa daerah berbeda di
Perancis.
Metode analisis yang digunakan untuk identifikasi buprenorfin baik
secara kualitatif maupun kuantitatif adalah LC-MS, dimana metode ini mampu
mengkuantitasi konsentrasi buprenorfin dan metabolt norbuprenorfin yang
ditemukan dalam sampel darah dan rambut meskipun dalam kadar yang tidak
terlalu tinggi atau berada dalam kadar terapetik (ng/mL). Namun dengan
adanya administrasi bersama-sama dengan obat-obatan lainnya, ditemukan
bahwa hal tersebut berpotensi meningkatan potensi toksisitas pada
pengguna/pecandu sehingga dapat mengakibatkan kematian (efek letal).
32
DAFTAR PUSTAKA
Agilent. 2001. Basic of LC/MS. USA: Agilent Technology.
Balikova, M. 2005. Hair Analysis For Drugs of Abuse. Plausibility of
Interpretation. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub,
Vol. 149, No. 2. Page 199–207.
Chiarotti M. dan S. Rossi. 1996. Preparation of hair samples for drug analysis.
Forensic Sci Rev, Vol. 8. Hal. 111–128
Cook, D. S., R. A. Braithwaite, K. A. Hale. 2000. Estimating Antemortem Drug
Concentrations From Postmortem Blood Samples: The Influence Of
Postmortem Redistribution. J. Clin. Pathol, Vol. 53. p. 282-285
Flanagan, R. J., A. Taylor, I. D. Watson, R. Whelpton. 2007. Fundamentals of
Analytical Toxicology. John Wiley and Sons Ltd: West Sussex
Ginting, M. K. 2012. Validasi Metode LC-MS/MS Untuk Penentuan Senyawa Asam
Trans, Trans-Mukonat, Asam Hippurat, Asam 2-Metil Hippurat, Asam 3-
Metil Hippurat, Asam 4-Metil Hippurat dalam Urin Sebagai Biomarker
Paparan Benzena, Toluena, dan Xilena (Skripsi). Depok: Universitas
Indonesia.
Gjerde, H., E. L. Øiestad dan A. S. Christophersen. 2011. Using biological samples
in epidemiological research on drugs of abuse. Norsk Epidemiologi, Vol. 21,
No. 1. Page. 5-14
Gunzler, H. and A. Williams. 2001. Handbook of Analytical Techniques. Weinheim
: Wiley-VCH
Huestis, M., 2000. Controlled Buprenorphine Administration Studies, Workshop on
Pharmacology and Toxicology Buprenorphine in: Proceedings 52nd annual
Meeting American Academy Forensic Science. NV.Ibrahim, R.B., et al.
2000. Effect ib Buprenorphine on CYP3A Activity in Rat and Human Liver
Microsomes. Life Sci. Vol. 66: 1293-1298
Iribarne C, et al., 1998. In vitro Interactions Between Fluoxetine or Fluoxamine and
Methadone or Buprenorphine. Fundam Clin Pharmacol. Vol. 12: 194-199
Karch, Steven B. 1998. Drugs Abuse Handbook. CRC Press LLC. USA
33
McEvoy, G. K., J. L. Miller, J. Shick and E. D. Millikan. 2002. AHFS : Drug
Information. USA : American Society of Health-System Pharmacists, Inc. P.
2043-2084
McMaster, M. C. 2005. LC/MS a Practical User’s Guide. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc.
Moffat, A. C., M. D. Osselton and B. Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drug and
Poisons. 3rd Editions. London : Pharmaceutical Press.
Musshoff, F. Dan B. Madea. 2006. Review of Biologic Matrices (Urine, Blood,
Hair) as Indicators of Recent or Ongoing Cannabis Use. Ther Drug Monit,
Vol. 28
Ohtani, M., 1997. Kinetics of Respiratory Depression in rats induced by
buprenorphine and its metabolite, norbuprenorphine. J Pharmacol Exp Ther.
Vol 281: 428-433
Pearce, E. C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia.
Saarialho, et al., 1987. Respiratory and Neuroendocrinological Effects of
Buprenorphine and Amitriptyline in Healthy Volunteers. Eur J. Clin.
Pharmacol. Vol. 33: 139-146
Siuzdak, G. 1996. Mass Sepctrometry for Biotechnology. London: Academic Press.
Skoop, G., et al., 2004. Preanalytic Aspects in Postmortem Toxicology. Forensic
Sci Int. Vol. 142: 75-100
Smyth, Malcolm R. 1992. Chemical Analysis in Complex Matrices. England : Ellis
Horword PTR Prentice Hall.
Vassiliki, A. B., k. S. Ziavrou dan Theodore Vougiouklakis. 2006. Hair as a
Biological Indicator of Drug Use, Drug Abuse or Chronic Exposure to
Environmental Toxicants. International Journal of Toxicology, Vol. 25. Hal.
143–163
Walsh, S.L., et al., 1994. Clinical pharmacology of buprenorphine: Ceiling effect at
high doses. CLin Pharmacol ther. Vol 55: 569-580
34
top related