case dewi sasmita kumala sari
Post on 09-Dec-2015
258 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell
Holmes pada tahun 1846, berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata
Yunani: An berarti tidak, dan Aesthesis berarti persepsi, kemampuan untuk
merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan
menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan
dengan pembedahan.1
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversibel. Anestesi umum yang
sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi oto tanpa
menimbulkan risiko yang tidak diinginkan dari pasien.1 Anestesi umum
merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan
diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi
yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya
ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan
hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran
(unconsciousness).2
Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu
Anestetik Inhalasi dan Anestetik Intravena. Terlepas dari cara
penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3
efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesi”, yaitu efek
hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih
baik lagi kalau terjadi juga penekanan refleks otonom dan sensoris, seperti
yang diperlihatkan oleh eter.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel).1,2,3
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan
hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui
penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau
penekanan sensori pada syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara
menekan sistem syaraf pusat (SSP) secara reversibel.3
2.2 Tujuan Anestesi Umum4
Tujuan anestesi umum yang ideal adalah trias anestesi yang terdiri dari :
Hipnotik, Hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran).
Analgesia, Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID
tertentu.
Relaksasi otot, Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya
tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan
2.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum4
Keuntungan :
Membuat pasien lebih tenang
Untuk operasi yang lama
Dilakukan pada kasus-kasus yang memiliki alergi terhadap agen anestesia
lokal
Dapat dilakukan tanpa memindahkan pasien dari posisi supine
(terlentang)
Dapat dilakukan prosedur penanganan (pertolongan) dengan cepat dan
mudah pada waktu-waktu yang tidak terprediksi
2
Kerugian :
Membutuhkan pemantauan ekstra selama anestesi berlangsung
Membutuhkan mesin-mesin yang lengkap
Dapat menimbulkan komplikasi yang berat, seperti: kematian, infark
miokard, dan stroke
Dapat menimbulkan komplikasi ringan seperti: mual, muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala. Risiko terjadinya komplikasi pada pasien
dengan anestesi umum adalah kecil, bergantung beratnya komorbit
penyakit pasiennya
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum5
a. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial
tertentu. Kemudian zat anestesi akan berdifusi melalui membran alveolus.
Berikut hal-hal yang mempengaruhi nya antara lain adalah:
Konsentrasi zat anestesi yang dihirup/ diinhalasi, makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
b. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena, faktor-faktor yang
mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesi yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap jaringan dan
sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesi dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
3
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesi yang diambil
dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan
makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anestesi
yang adekuat.
c. Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-
organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial
zat anestesika meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah : relatif tidak ada aliran darah :
ligament dan tendon.
d. Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda-beda.
Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC (Minimal
Alveolar Concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu
konsentrasi terendah zat anestesi dalam udara alveolus yang mampu
mencegah terjadinya respon terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah
nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesi tersebut.
2.5 Penilaian dan Persiapan Pra Bedah1,3,6,7
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk
4
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
2.5.1 Penilaian Prabedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya
jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam
waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan
juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya
untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi system kardiosirkulasi,
dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan
dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum
alkohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat
untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa
5
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas
50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi
sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko
anestesia, karena efek samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan.
a. Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya: pasien
batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septikemia, atau
pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat. Contohnya: Pasien dengan syok atau
dekompensasi kordis.
e. Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Contohnya: pasien
tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur
hepatik.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
6
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3
jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
2.5.2 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesia diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestesi
Mengurangi mual-muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien
dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam waktu 1 jam,
sedangkan secara intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit.
7
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan
yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena.
Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua
obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan
sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi
dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Adapun obat pereda kecemasan yang bisa digunakan yaitu:
Gol. Transquilizer
Diazepam (Valium) : Merupakan golongan benzodiazepine.
Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar
hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM. Dosis peroral
10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia.
Gol. Analgetik narkotik
Morfin : Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan
menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10–20 mg. Kerugian
penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan
bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.
Pethidin : Dosis premedikasi dewasa 25–100 mg IV, 50 mg IM.
Diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta
merangsang otot polos. Pethidin juga berguna mencegah dan
mengobati menggigil pasca bedah.
Gol. Antagonis reseptor H2 histamin
Simetidin oral 600 mg atau ranitidin (zantac) oral 150 mg 1-2 jam
sebelum jadwal operasi. Untuk meminimalkan kejadian aspirasi
cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 yang dapat menyebabkan
pneumonitis asam.
Gol. Antikolinergik
Atropin : Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah,
antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ–organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja
setelah 10–15 menit.
8
Droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg (zofran, narfoz) IM.
Gol. Hipnotik – sedatif
Barbiturat (Penobarbital dan Sekobarbital): Diberikan untuk efek
sedasi dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat
diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100–200 mg, pada bayi
dan anak 3–5 mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan
tidak diperpanjang dan efek depresannya yang lemah terhadap
pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan
muntah.
2.6 Stadium Anestesi Umum4,5
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama
berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi
teratur, stadium 3 dan stadium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
1. Stadium I : Stadium I (St. Analgesia/ St. Disorientasi) dimulai dari
saat pemberian zat anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini
pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya
rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan
biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir
dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata (untuk mengecek
refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
2. Stadium II : Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir
stadium I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar
dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi
(+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan
dan kelopak mata.
3. Stadium III : Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi
pernapasan hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai
oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan
dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
4. Stadium IV : Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang
kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan
9
akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini
karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.
2.7 Induksi dan Rumatan Anestesi Umum1,2,6
A. Induksi Anestesia
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau
rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S= Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T= Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A= Airway Pipa mulut faring (Guedel, oropharyngeal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-pharyngeal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya
lidah tidak menyumbat jalan napas.
T= Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I= Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C= Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
S= Suction penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
a. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
10
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien
yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena:
Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg)
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% (1ml= 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Efek thiopental bergantung dosis dan
kecepatan suntikan yang akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hipnosis, anestesi atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor dan tekanan
intrakranial.
Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonik dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). suntikan intravena
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesi dapat menimbulkan mual-
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi
salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg
dan untuk intramuskular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml
= 100 mg).
11
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.
Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
N2O
Gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida, tak
berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali
berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat
anastesi lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anastesi lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.
Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif di banding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
12
dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung
dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi
teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simptomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan
napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping
halotan.
d. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
e. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka yang tidak kita tempelkan pada muka
pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien
tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.
13
B. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi
dengan cara mengatur konsentrasi obat anestesi dalan tubuh pasien. Jika
konsentrasi obat tinggi, maka akan dihasilkan anestesi yang dalam.
Sebaliknya, jika konsentrasi obat rendah, maka didapatkan anestesi yang
dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu
perlu dipantau secara ketat indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan secara intravena atau
dengan inhalasi atau campuran keduanya. Rumatan anestesi mengacu
pada tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan selama pasien dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi
otot lurik yang cukup.1,3,4
Rumatan intravena misalnya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena juga dapat menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/KgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.1,3
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O + O2 3 :1
ditambah halotan 0,5-2vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol
% atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).1,3
2.8 Jenis-Jenis Anestesi
1. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestesi yang mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik
melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran
gas (dengan oksigen) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan
14
kekuatan daya anestesi, zat anestetik disebut kuat bila dengan tekanan
parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat.
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan
aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi
digunakan gas dan cairan terbang yang masing-masing sangat berbeda
dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan otot maupun
menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-
cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang
kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan
antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi
dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat
lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi
dari gas / uap yang diinhalasi.3,4 Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran,
desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan yang mudah menguap.
Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran napas. Cara pemberian
anestesi inhalasi:
Open drop method: zat anestesi diteteskan pada kapas yang diletakkan
di depan hidung penderita sehingga kadar zat anestesi yang dihisap tidak
diketahui dan pemakaiannya boros karena zat anestesi menguap ke udara
terbuka.
Semiopen drop method: cara ini hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestesi maka digunakan masker.
Semiclosed method: udara yang dihisap diberikan bersamaan oksigen
yang dapat ditentukan kadarnya. Keuntungan cara ini adalah dalamnya
anestesi dapat diatur dengan memberikan zat anestesi dalam kadar
tertentu dan hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.
Closed method: hampir sama seperti semiclosed, hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui NaOH yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang
mengandung anestesi dapat digunakan lagi. Cara ini lebih hemat, aman,
dan lebih mudah, tetapi harga alatnya cukup mahal.
Jenis-jenis anestesi inhalasi generasi pertama seperti ether,
cyclopropane, dan chloroform sudah tidak digunakan lagi di negara-negara
15
maju karena sifatnya yang mudah terbakar (misalnya ether dan
cyclopropane) dan toksisitasnya terhadap organ (chloroform).1
2. Anestesi Intravena
Beberapa obat digunakan secara intravena ( baik sendiri atau
dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anestesi, atau
sebagai komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia), atau untuk
menggunakan propofol. Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus
tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang
lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain. Pemakaian obat
anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anestesi, induksi dan
pemeliharaan anestesi bedah singkat, suplementasi hipnosis pada anestesia
atau tambahan pada analgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan
medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental,
ketamin dan propofol.3
Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol
mempunyai mula kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap
senyawa gas inhalasi yang terbaru, misalnya desflurance dan sevoflurance.
Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk induksi anestesi.
Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa intravena juga sangat
cepat.1,4
2.9 Tatalaksana jalan nafas1,2,8
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung : Menuju nasofaring
2. Mulut : Menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan
palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring
menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea.
Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang
aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
Manuver tripel jalan napas, Terdiri dari:
16
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas
bebas, sehingga gas atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung
atau mulut.
Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas
lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak
bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA
dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk
menjaga supaya tetap paten. Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus.
Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui
mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
17
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara
garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal
dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4
gradasi.
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
Indikasi intubasi trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi
sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun.
18
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
19
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.
2.10 Obat pelumpuh otot6
Fungsi obat pelumpuh otot adalah memudahkan cedera pada tindakan
laringoskop dan intubasi trakea, membuat relaksasi otot selama pembedahan,
serta menghilangkan spasme laring dan refleks jalan nafas.
Atrakurium
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Keunggulan obat ini
adalah metabolisme terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan
ginjal. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna, Dosis intubasi yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dosis relaksasi otot
yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dan dosis pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB/iv.
Suksametonium (succinyl choline)
Indikasi dari suksametonium adalah sebagai pelumpuh otot jangka pendek,
dosis untuk intubasi ialah 1-2 mg/kgBB/iv.
2.11 Tatalaksana nyeri1,6
Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik
golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid
(NSAID) untuk nyeri sedang atau ringan.
Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB
dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2 mg
intravena dan diulang sesuai keperluan.
Petidin
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4 jam.
Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. petidin menyebabkan kekeringan
mulut, kekaburan pandangan dan takikardi.
20
Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek
analgesianya. Dosis 1-3 µg/kgBB efek analgesianya hanya berlangsung
30 menit.
Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya digunakan
untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosisi 1-2
µg/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit.
2.12 Mempertahankan Anestesi dan Pengakhiran Anestesi
1. Mempertahankan anestesi9
Pemantauan minimal harus dilakukan saat operasi : EKG, tekanan
darah, oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas
anestesi
Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan
opioid (misalnya remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi
(misalnya 0,5 MAC defluran) atau sebagai anestesi intravena total
(TIVA) dengan opioid dan propofol.
Segera rencanakan terapi nyeri pasca operasi, bila perlu pemberian
analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kgmetamizol) dan pemberian
opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritamid)
Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
Peningkatan tekanan darah
Peningkatan frekuensi denyut jantung
Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai
Terdapat pergerakan
Berkeringat
2. Pengakhiran anestesi9
Pengakhiran anestesi dilakukan sesaat sebelum operasi berakhir (pada
penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit)
FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana
ekstubasi.
21
Penyedotan sekret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dan relaksasi otot)
Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca bedah
2.13 Skor Pemulihan Pasca Anestesi6
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di Recovery room
(RR).
Aldrete Score, dinilai dari :
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
22
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Steward Score (anak-anak), dinilai dari :
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
2.14 Fibroadenoma Mammae3
Fibroadenoma adalah suatu tumor jinak yang merupakan pertumbuhan yang
meliputi kelenjar dan stroma jaringan ikat.
2.15 Tanda & Gejala3
1. Secara makroskopik : tumor bersimpai, berwarna putih keabu-abuan,
pada penampang tampak jaringan ikat berwarna putih, kenyal
2. Ada bagian yang menonjol kepermukaan
3. Ada penekanan pada jaringan sekitar
4. Ada batas yang tegas
5. Bila diameter mencapai 10 – 15 cm muncul Fibroadenoma raksasa
( Giant Fibroadenoma )
6. Memiliki kapsul dan soliter
7. Benjolan dapat digerakkan
8. Pertumbuhannya lambat
23
9. Mudah diangkat dengan lokal surgery
10. Bila segera ditangani tidak menyebabkan kematian
2.16 Diagnosa3
Fibroadenoma dapat didiagnosis dengan tiga cara, yaitu dengan
pemeriksaan fisik (phisycal examination), dengan mammography atau
ultrasound, dengan Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC).
a. Pada pemeriksaan fisik dokter akan memeriksa benjolan yang ada
dengan palpasi pada daerah tersebut, dari palpasi itu dapat diketahui
apakah mobil atau tidak, kenyal atau keras,dll.
b. Mammography digunakan untuk membantu diagnosis, mammography
sangat berguna untuk mendiagnosis wanita dengan usia tua sekitar 60
atau 70 tahun, sedangkan pada wanita usia muda tidak digunakan
mammography, sebagai gantinya digunakan ultrasound, hal ini karena
fibroadenoma pada wanita muda tebal, sehingga tidak terlihat dengan
baik bila menggunakan mammography.
c. Pada FNAC kita akan mengambil sel dari fibroadenoma dengan
menggunakan penghisap berupa sebuah jarum yang dimasukkan pada
suntikan.
Dari alat tersebut kita dapat memperoleh sel yang terdapat pada
fibroadenoma, lalu hasil pengambilan tersebut dikirim ke laboratorium
patologi untuk diperiksa di bawah mikroskop. Dibawah mikroskop tumpor
tersebut tampak seperti berikut :
1. Tampak jaringan tumor yang berasal dari mesenkim (jaringan ikat
fibrosa) dan berasal dari epitel (epitel kelenjar) yang berbentuk lobus-
lobus
2. Lobuli terdiri atas jaringan ikat kolagen dan saluran kelenjar yang
berbentuk bular (perikanalikuler) atau bercabang (intrakanalikuler)
3. Saluran tersebut dibatasi sel-sel yang berbentuk kuboid atau kolumnar
pendek uniform
2.17 Penatalaksanaan
24
Terapi untuk fibroadenoma tergantung dari beberapa hal sebagai berikut:
1. Ukuran
2. Terdapat rasa nyeri atau tidak
3. Usia pasien
4. Hasil biopsy
Terapi dari fibroadenoma mammae dapat dilakukan dengan operasi
pengangkatan tumor tersebut, biasanya dilakukan general anaesthetic pada
operasi ini. Operasi ini tidak akan merubah bentuk dari payudara, tetapi hanya
akan meninggalkan luka atau jaringan parut yang nanti akan diganti oleh
jaringan normal secara perlahan.
2.18 Pencegahan Dan Deteksi Dini
1. Faktor-faktor resiko
2. Pemerikasaan payudara sendiri (sadari)
3. Pemeriksaan klinik
4. Mammografi
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : LS
Umur : 23 tahun
25
Berat badan : 60 Kg
Tinggi badan : 160 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Tanjung Alai
Agama : Kristen
Tanggal masuk RS : 8 Desember 2014
No.RM : 11-09-36
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Benjolan di payudara kanan sejak 1 tahun terakhir.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Benjolan di payudara kanan sejak 1 tahun terakhir. Awalnya benjolan
kecil seperti kelerang tapi lama-kelamaan benjolan semakin membesar
berukuran sebesar telur bebek. Nyeri yang dirasakan hilang timbul.
Ketika diraba benjolan di payudara kanan, benjolan menetap,
permukaan licin, teraba lunak, dan nyeri tekan (+). Keluhan pasien
pernah di periksa di Rumah Sakit Pekanbaru. Riwayat alergi obat dan
makanan disangkal. Riwayat memakai gigi palsu disangkal. Riwayat
asma disangkal. Pasien tidak demam.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Tidak ada riwayat alergi obat
- Tidak ada riwayat alergi makanan
- Tidak ada riwayat penyakit asthma
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Tidak ada
e. Riwayat penggunaan obat-obatan :
- Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya
f. Riwayat Anastesi/Operasi sebelumnya :
- Tidak ada riwayat anestesi atau operasi sebelumnya
26
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Vital sign
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
GCS :15
E : 4
M: 5
V: 6
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Respirasi : 18x/menit
Nadi : 60x/menit
Suhu : 36,70C
b. Status Generalis :
Kepala : Normochepal, simestris, tanda trauma (-),tumor (-)
Mata : Status lokalis
Telinga : Discharge (-), deformitas (-)
Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir kering(-), hiperemis(-), pembesaran tonsil (-)
Gigi : Gigi palsu (-), gigi goyang (-)
Leher :
Inspeksi : Simestris, trakea ditengah
Palpasi : Pembesaran tiroid dan limfe (-)
Thorax :
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : BJ I-II reguler, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas luka
Auskultai : Bunyi usus + normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Abdomen supel, Tidak ada nyeri tekan, tidak ada
masa
Vertebrae : Tidak ada kelainan
27
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
c. Status Lokalis
Regio Mammae Dextra
Inpeksi : Payudara kanan tampak membesar daripada payudara
kiri tetapi tidak ada kemerahan. Discharge (-)
Nipple inverted (-), peau d’orange (-)
Palpasi : Pada saat diraba benjolan di payudara kanan menetap,
permukaan licin, mobile (+), teraba lunak, ukuran sebesar
telur bebek, tidak tampak menonjol, dan nyeri tekan (+).
Auskultasi thorak : SD : vesikuler (+/+) normal
ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : BJ I-II reguler, bising (-)
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 15 Februari 2015
Pemeriksaan darah lengkap :
Hb : 13,3 g/dl
Leukosit : 6900 ul
Ht : 39,0 %
Eritrosit : -
Trombosit : 307000/ul
LED : 15
Eusinofil : 0
Basofil : 0
Neutrofil Stab : 8
Neutrofil Seg : 55
Limfosit : 30
Monosit : 7
Selmuda : -
V. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis praoperasi : FAM Dextra
28
Diagnosis post operasi : Post Operasi Mastektomi Subkutan FAM
Dextra
VI. STATUS ANASTESI
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
VII. TINDAKAN
Dilakukan : Mastektomi Subkutan FAM Dextra
Tanggal : 17 Februari 2015
VIII. LAPORAN ANESTESI PREOPERATIF
Persiapan Anestesi
Informed concent :Ada
Surat izin operasi : Ada
Puasa : Pasien puasa sejak 00.00 WIB
Pemasangan IV line : Sudah terpasang
Pemeriksaan penunjang : Terlampir
Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi
O2
Pemeriksaan pasien di ruangan operasi :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 83 x/menit
Suhu : 36,70C
Pernafasan : 18 x/ menit
IX. LAPORAN ANESTESI INTRAOPERATIF
Penatalaksanaan Anestesi
- Tanggal operasi : 17 Februari 2015
- Jam rencana operasi : 08.00 WIB
- Mulai operasi : 10.15 WIB
29
- Selesai operasi : 11.15 WIB
- Lama operasi : 1 jam
- Diagnosa pra bedah : FAM Dextra
- Diagnosa pasca bedah : Post Operasi Mastektomi Subkutan
FAM Dextra
- Macam operasi : Mastektomi
- Ahli bedah : Dr. Amdasmar Sp.B
- Ahli anestesi : Dr. Lasmaria Flora Sp.An
- Teknik anestesi : General Anestesi
- Ekstubasi : Oro-pharyngeal airway (OPA)
- Mulai induksi : 10.15 WIB
- Obat induksi : Sedacum IV 10 mg, fentanyl IV
0,25 mg, recofol IV 70 mg
Premedikasi :
Dexamethason IV 10 mg
Medikasi Intra Operatif:
Kombinasi N20 7 vol % dan O2 2 vol %, Isoflurance 2 L/menit
Medikasi Post Operatif:
Ketorolac 30 mg
Tramadol 200 mg
Teknik anestesi :
Pasien dalam posisi berbaring, dilakukan menyuntikan obat induksi
anestesi secara bolus melalui IV line yang sebelumnya tempat
penyuntikan telah di desinfeksi dengan kapas alkohol. Beberapa menit
kemudian, pasien mulai tidak sadar, pada pasien dilakukan triple
airway maneuver untuk memudahkan melakukan ekstubasi dengan
pemasangan oropharingeal airway untuk membantu pembebasan jalan
nafas pasien dan diberikan anastesi inhalasi dengan sungkup muka (
face mask) ukuran 4, anastesi inhalasi menggunakan kombinasi N20 7
vol %, O2 2 vol % dan Isoflurance 2 L/menit .Selain itu dipasang juga
tensimeter dan oksimetri untuk memantau tekanan darah dan
pernafasan.
30
Jumlah cairan yang masuk :
Kristaloid = 1500 cc
Cairan keluar selama operasi : ± 50 cc
Pemantauan selama anestesi :
Waktu Tekanan darah Saturasi oksigen Nadi
10.15 120/80 mmHg 100% 83 x / Menit
10.30 122/70 mmHg 100% 70 x / Menit
10.45
11.00
11.15
119/60 mmHg
125/66 mmHg
120/80 mmHg
100%
100%
100%
75 x / Menit
80x/ Menit
89x/ Menit
LAPORAN ANESTESI POST OPERATIF
Pasien Sadar :11.25 WIB
Aldrete Score : 9 (merah muda, dapat bernapas dalam dan batuk,
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, Bangun namun
cepat kembali tertidur, Seluruh ekstremitas dapat digerakkan)
Pasien diantar keruangan : 11.40 WIB
Terapi cairan post operatif : Analgetik drip 20 tpm ( Ketorolac 30
mg + Tramadol 200 mg dalam RL 500 cc)
Saturasi oksigen post operatif : 100%
X. PROGNOSA
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PRE OPERATIF
Persiapan anestesi dan pembedahan harus lengkap karena dalam
pemberian anastesi dan operasi selalu ada risiko. Persiapan yang dilakukan
31
meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien, dan persiapan obat
anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan penderita diantaranya
meliputi :
informasi penyakit
anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
riwayat alergi, riwayat sesak napas atau asthma, diabetes mellitus,
riwayat trauma, dan riwayat operasi sebelumnya.
riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia)
makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat anestesi)
Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent,
suatu persetujuan medis untuk mendapatkan izin dari pasien sendiri
dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan anestesi dan operasi,
sebelumnya pasien dan keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai
risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post operasi. Setelah
dilakukan pemeriksaan pada pasien, maka pasien termasuk dalam
klasifikasi ASA I
B. INTRA OPERATIF
Anastesi pada pasein dengan usia 23 tahun ini menggunakan
anastesi inhalasi sungkup muka yaitu anastesi menggunakan kombinasi
obat berupa gas melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan.
Komponen trias anastesi yang dicapai adalah hipnotik, analgesi, dan
relaksasi otot ringan.
Anastesi menggunakan anastesi inhalasi dengan sungkup muka
karena durasi operasi tidak lama. Pasien dalam posisi berbaring, dilakukan
menyuntikan obat induksi anestesi secara bolus melalui IV line yang
sebelumnya tempat penyuntikan telah di desinfeksi dengan kapas alkohol.
Beberapa menit kemudian, pasien mulai tidak sadar, pada pasien dilakukan
triple airway maneuver untuk memudahkan melakukan ekstubasi dengan
pemasangan oropharingeal airway untuk membantu pembebasan jalan
nafas pasien dan diberikan anastesi inhalasi dengan sungkup muka ( face
32
mask), anastesi inhalasi menggunakan kombinasi N20 7 vol %, O2 2 vol
% dan Isoflurance 2 L/menit .Selain itu dipasang juga tensimeter dan
oksimetri untuk memantau tekanan darah dan pernafasan.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis
untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah tidak
makan dan minum ± 8 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien dengan
BB = 60 kg:
• Pemeliharaan cairan per jam:
(4 X 10) + (2 X 10) + (1 X 24) = 84 mL/jam
• Pengganti defisit cairan puasa:
7 X 84 mL = 588 mL
• Kebutuhan kehilangan cairan saat pembedahan:
6 X 60 = 360 mL
• Jumlah terapi cairan:
84 + 588 + 360 = 1,032 mL 2 kolf RL (kristaloid)
C. POST OPERATIF
Setelah operasi selesai, pasien di bawa ke ruang observasi. Pasien
berbaring dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan
tungkai tetap lurus untuk menghindari edema. Observasi post operasi
dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 30 menit. Oksigen tetap
diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien
dibawa ke ruangan bedah untuk dilakukan tindakan perawatan lanjutan.
BAB V
KESIMPULAN
Wanita usia 23 tahun dengan diagnosis pra operasi FAM dextra dan
diagnosis post operasi Post Operasi Mastektomi Subkutan FAM Dextra, dilakukan
33
Mastektomi Tanggal 17 Februari 2015 mulai anestesi 10.15, mulai operasi 10.25,
selesai operasi 11.15 dengan durasi anastesi 1 jam.
Pasien dalam posisi berbaring, dilakukan menyuntikan obat induksi anestesi
secara bolus melalui IV line yang sebelumnya tempat penyuntikan telah di
desinfeksi dengan kapas alkohol. Beberapa menit kemudian, pasien mulai tidak
sadar, pada pasien dilakukan triple airway maneuver untuk memudahkan
melakukan ekstubasi dengan pemasangan oropharingeal airway untuk membantu
pembebasan jalan nafas pasien dan diberikan anastesi inhalasi dengan sungkup
muka ( face mask) , anastesi inhalasi menggunakan kombinasi N20 7 vol %, O2 2
vol % dan Isoflurance 2 L/menit .Selain itu dipasang juga tensimeter dan
oksimetri untuk memantau tekanan darah dan pernafasan., danalgetik post operasi
menggunakan ketololac 30 mg IV dan drip Tramadol 200 mg dalam RL. Evaluasi
post operatif dilakukan di ruangan bedah, puasa post operasi selama 2 jam dan
boleh makan minum selama tidak ada mual dan muntah dengan mengawasi tanda-
tanda vital setiap 30 menit selama 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Ed.2.Cet.V.Jakarta:Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2010.
2. Dobson MB. editor: Dharma A.Penuntun Praktis Anestesi.Jakarta: EGC.2011.
34
3. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1.Jakarta:EGC.2009.
4. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC.2010.
5. Nugroho dkk, 2012 Perkembangan Sirkuit Anestesi . Jurnal Anestesiologi
Indonesia. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr.
Kariadi, Semarang
6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Jakarta:Bagian Farmakologi FKUI.2006.
7. Soerasdi E.Satriyanto MD.Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia
Sehari-hari. Bandung.2010.
8. Redjeki, Ike Sri. 2013. Perbandingan lnsidensi Post Dural Puncture Headache
(PDPH) Pascaseksio Sesarea Anestesi Spinal antara Tirah Baring 24jam
dengan Mobilisasi Dini. Jurnal Anestesi Perioperatif. Unpad.
9. Miller RD, Pardo M.C. 2011. Basic of Anestesia. Ed 6. Philadelpia. Elsevier.
35
top related