bioavailabilitas karotenoid ekstrak buah merah (pandanus … · dan hanya 20 karotenoid yang dapat...
Post on 12-Mar-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.)
Tanaman buah merah (Pandanus conoideus Lam.) berasal dari famili
Pandanaceae, genus Pandanus dan spesies Conoideus. Pandanus adalah genus
kompleks palaetropical yang terdiri atas sekitar 600-700 spesies dan umumnya
tumbuh pada daerah tropis, terutama di pulau Pasifik, Malaysia dan Australia
(Lechat et al. 1996; Jong & Chau 1998; Sadsoeitoeboen 1999).
Tanaman buah merah banyak tersebar di Papua terutama di daerah
pegunungan. Pada habitat aslinya, tanaman buah merah tumbuh baik di dataran
rendah (40 m dpl) sampai dataran tinggi (2000 m dpl). Tanaman ini tumbuh
bergerombol dan tumbuh dengan baik pada suhu di bawah 17 oC, curah hujan
rata-rata 186 mm per bulan, penyinaran matahari 75% serta tekanan udara rata-
rata 896 milibar (mb). Tanaman buah merah tumbuh secara kompetitif di
lingkungan dengan kondisi tanah lembab dengan pH netral, suhu 23-33 o
Tanaman buah merah termasuk tanaman berbentuk semak, perdu, atau
pohon. Daunnya tunggal berbentuk lanset sungsang, berwarna hijau tua dan
letaknya berseling. Batangnya bercabang banyak, tegak, bergetah, dan berwarna
coklat bercak putih. Tinggi tanaman ini mencapai 16 m. Akar tanamannya
berfungsi sebagai penyokong tegaknya tanaman dan tergolong akar serabut
dengan tipe perakaran dangkal. Buahnya panjang dan memiliki bentuk silindris,
ujung tumpul, dan pangkal menggantung (Gambar 1). Panjang buahnya antara 96-
102 cm dengan diameter 15-20 cm. Bobot buah mencapai 7-8 kg. Buah berwarna
merah bata saat muda dan merah terang saat matang. Perkembangbiakkan buah
merah melalui pertunasan dan biji. Tanaman buah merah yang tumbuh dan
berbuah akan mengeluarkan tunas-tunas di sekitar tanaman induk (Budi & Paimin
2004). Tanaman buah merah mulai menghasilkan buah pada umur 3-5 tahun
tergantung jenisnya. Kultivar-kultivar buah pandan yang telah diketahui dan
dibudidayakan oleh masyarakat memiliki waktu berbunga yang berbeda-beda
dalam satu tahun. Mulai dari berbunga hingga panen membutuhkan waktu sekitar
enam bulan (Orocomna 2003).
C, dan
kelembaban udara antara 73-98% (Sadsoeitoeboen 1999).
Gambar 1 Tanaman buah merah (Lisangan 2005)
Ciri morfologi buah merah dalam populasi P. conoideus dapat dibedakan
menjadi empat kultivar, yaitu kultivar merah pendek, merah coklat, merah
panjang dan kuning (Sadsoeitoeboen 1999). Komposisi kimia buah merah
bervariasi pada berbagai kultivar dan dipengaruhi oleh tempat tumbuh (Sarungallo
et al. 2008). Hasil eksplorasi dari 16 kultivar buah merah yang berasal dari
dataran rendah, dataran sedang dan dataran tinggi di Papua menunjukkan bahwa
kadar total karoten tertinggi adalah pada daerah dataran rendah dengan total
karoten sebesar 594.15-3309.42 ppm. Total karoten buah merah dari dataran
sedang berkisar 603,16-857,9 ppm dan dataran tinggi berkisar 332,65-749,06
ppm. Dijelaskan pula bahwa kandungan total tokoferol tertinggi adalah pada buah
merah yang berasal dari dataran rendah berkisar 2.294,12-11.917,81 ppm.
Sedangkan pada dataran sedang berkisar 964,52-2.853,23 ppm dan pada dataran
tinggi berkisar 1848.96-6780.49 ppm.
Gambar 2 Beberapa kultivar buah merah (Orocomna 2003)
Buah merah di daerah Papua umumnya dikonsumsi dalam bentuk minyak
buah merah. Masyarakat mengolah buah merah dengan cara bakar batu (cara esasi
atau esasouk) dimana buah akan masak setelah lebih dari satu jam pembakaran.
Cara memasak ini dilakukan bersama-sama dengan ubi jalar dan sayuran lainnya.
Setelah itu buah merah diperas dan hasil perasan ditampung untuk memasak sayur
tumis. Buah ini juga dimanfaatkan sebagai saus untuk penggurih nasi, ubi dan
sagu serta digunakan sebagai bahan pewarna makanan (Wiriadinata 1995;
Sadsoitoeboen 1999).
Ekstraksi Minyak Buah Merah
Ekstraksi minyak adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak
dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Setiap jenis sumber
minyak memerlukan cara ekstraksi yang berbeda antara satu sumber dengan
sumber lainnya, dimana dapat dilakukan dengan cara rendering, pengepresan
mekanik dan ekstraksi pelarut ( Ketaren 1986).
Cara ekstraksi dengan rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak
atau lemak dari bahan yang mengandung minyak atau lemak dengan kadar air
tinggi. Cara ekstraksi ini membutuhkan panas untuk menggumpalkan protein
sehingga air akan menguap dan lemak dapat dipisahkan. Rendering dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu cara wet rendering dan dry rendering. Wet
rendering dilakukan dengan menambahkan sejumlah air selama proses pemanasan
dalam ketel terbuka atau tertutup pada temperatur sekitar 50 oC selama 4-6 jam.
Pada proses dry rendering selama pemanasan berlangsung tidak ditambahkan air
dalam ketel terbuka yang dilengkapi steam jacket serta alat pengaduk. Pemanasan
dilakukan pada suhu 105-110 o
Kandungan minyak pada beberapa kultivar buah merah asal Manokwari
bervariasi dimana kandungan minyak buah merah kultivar merah panjang 22.47%
(bk), kultivar merah pendek 23.80% (bk), kultivar merah coklat 10.31% (bk) dan
kultivar kuning 8.18% (bk) (Sherly 1999). Buah merah mengandung 35.93%
minyak (bk) dengan komposisi asam palmitoleat 19.58%, asam stearat 0.38% dan
asam oleat 79.92% (Murningsih 1992).
C, dimana sisa bahan yang diambil minyaknya
akan mengendap pada dasar ketel dan minyak pada bagian atasnya (Ketaren
1986).
Susanti (2006) melaporkan bahwa metode ekstraksi akan berpengaruh
terhadap sifat fisikokimia ekstrak buah merah. Data selengkapnya pada Tabel 1.
Tabel 1 Sifat fisikokimia ekstrak buah merah
Parameter Satuan Buah segar Metode tradisional
Metode modifikasi suhu
Metode pengepresan
Viskositas Cst 2.85 3.50 3.22 2.97
Indeks bias o 1.48 C 1.34 1.42 1.47
Berat jenis ml/g 0.65 0.60 0.62 0.66
Kadar air % 0.03 0.03 0.04 0.03
Titik asap o 192.75 C 181.30 188.50 190.50
Asam lemak bebas
% 0.09 21.96 0.57 0.09
Bilangan peroksida
g/ek 0.15 4.46 2.31 0.16
Bilangan penyabunan
mg KOH/
g
265.44 255.66 257.48 262.62
Bilangan iod g/ek 68.19 42.61 55.40 67.77
Titik cair o 12.35 C 16.00 15.00 12.50
Sumber: Susanti (2006).
Metode ekstraksi juga sangat berpengaruh terhadap komponen kandungan
bioaktif dari ekstrak buah merah yang dihasilkan. Perbandingan data dari
beberapa penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan senyawa bioaktif buah merah pada beberapa metode ekstraksi
Metode ekstraksi
Total karoten (ppm)
β-karoten (ppm)
Total tokoferol (ppm)
α-tokoferol (ppm)
Rendemen (%)
Metode tradisional
10000 a
300 10000 - -
Metode wet rendering
- b
123 - - 15.92
Metode modifikasi suhu
12427
c
2000 9200 800 20
Metode pengepresan
21430 c
4583 10832 1368 18
Ket. aBudi (2001), bMurtiningrum (2004), cAndarwulan et al. (2006).
Khasiat Buah Merah
Buah merah secara empiris diketahui bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
Hal ini telah dibuktikan oleh beberapa penelitian. Susanti (2006) melaporkan
bahwa ekstrak buah merah yang diperoleh dengan metode pengepresan mampu
meningkatkan proliferasi sel limfosit limpa (splenosit) mencit secara in vivo dan
in vitro. Pada pengujian secara in vivo jumlah sel limfosit awal adalah 7.9 x 105
(sel/ml kultur sel). Setelah pemberian ekstrak buah merah selama 8 minggu dosis
1.0 ml/ekor/hari, jumlah sel limfosit meningkat menjadi 2.9 x 107 (sel/ml kultur
sel). Pada pengujian in vitro jumlah sel limfosit awal pada kultur adalah 2.9 x 106
Ekstrak buah merah juga berpotensi sebagai antikanker. Pengujian
aktivitas antikanker ini dilaporkan oleh Mun‘im et al. (2006). Histologi paru-paru
hewan uji menunjukkan bahwa pemberian sari buah merah secara statistik tidak
menyebabkan perbedaan yang bermakna, tetapi pada dosis 0.21 ml/200 g berat
badan mampu menghambat pertumbuhan kanker pada paru-paru tikus hasil
induksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA). Dilaporkan pula bahwa fraksi
minyak maupun fraksi air yang diperoleh dengan metode pengepresan mempunyai
aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker HeLa dan K-562. Aktivitas
antiproliferasi kedua fraksi dapat mendekati bahkan melebihi aktivitas yang
dimiliki oleh kontrol positif (doxorubicin) pada konsentrasi yang semakin tinggi.
Pada pengujian terhadap sel HeLa, aktivitas antiproliferasi fraksi ekstrak buah
merah memiliki hasil yang sedikit lebih rendah dari pada kontrol positif (53%)
yaitu sebesar 52% pada dosis 20 µl/ml kultur sel (dosis standar). Namun pada
fraksi air menunjukkan hasil yang lebih tinggi 62% pada konsentrasi 40 µl/ml
kultur sel. Selanjutnya untuk pengujian aktivitas antiproliferasi pada sel K-562
diperoleh hasil bahwa fraksi ekstrak buah merah mempunyai aktivitas
antiproliferasi yang lebih rendah dari kontrol positif (66%) yaitu 61% untuk
konsentrasi 40 µl/ml kultur sel. Sebaliknya fraksi air menunjukkan aktivitas
antiproliferasi yang lebih baik yaitu 77% untuk konsentrasi 40 µl/ml kultur sel
(Selly 2008).
sel/ml kultur sel. Setelah pemberian dosis in vitro 3 mg/ml kultur sel diperoleh
nilai IS (Indeks Stimulasi) sebesar 3.4 (peningkatan 239.9%).
Ekstrak buah merah juga dilaporkan berpengaruh terhadap pertumbuhan
tikus dan fungsi hati (Sari 2008). Pada pengujian secara in vivo dilaporkan bahwa
pemberian fraksi ekstrak buah merah dan fraksi air buah merah (metode
pengepresan) dengan konsentrasi masing-masing 300 mg/kg BB, 600 mg/kg BB
dan 1200 mg/kg BB memiliki nilai tertinggi NPR (Net Protein Ratio), NPU (Net
Protein Utilization) dan BV (Biological Value) pada kelompok tikus yang
diberikan fraksi ekstrak sebesar 1200 mg/kg BB. Pengujian fungsi hati
menggunakan fraksi air dan ekstrak buah merah dengan konsentrasi 500 mg/kg
BB, 1000 mg/kg BB dan 1500 mg/kg BB menunjukkan hasil terbaik profil darah,
kadar MDA dan SGPT/SGOT pada kelompok tikus yang diberikan fraksi ekstrak
buah merah dengan konsentrasi 1000 mg/kg BB.
Hasil berbeda mengenai khasiat ekstrak buah merah dilaporkan oleh
Djuartina (2006) yang melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian
minyak buah merah (MBM) pada hati tikus yang cedera akibat D-galaktosamin.
Setelah perlakuan selama 4 minggu, hasil pengukuran malondialdehid (MDA)
plasma menunjukan D-galaktosamin ini dapat meningkatkan MDA plasma setiap
minggunya. Efek protektif MBM terhadap D-galaktosamin masih ada pada
minggu pertama. Hal ini diduga disebabkan oleh antioksidan yang terdapat dalam
MBM pada minggu pertama masih dapat menetralisir stres oksidatif yang
ditimbulkan oleh D-galaktosamin. Disamping itu, diduga D-galaktosamin belum
bekerja maksimal merusak pada minggu pertama. Namun pada akhir penelitian,
MDA plasma kelompok MBM + D-galaktosamin lebih tinggi (0.67 µ/ml)
dibandingkan kelompok D-galaktosamin (0.62 µ/ml). Diduga karena stres
oksidatif yang ditimbulkan MBM+D-galaktosamin lebih tinggi dibandingkan D-
galaktosamin itu sendiri. Hasil analisis MDA jaringan hati, menunjukkan
kandungan MDA hati kelompok kontrol posisitif sebesar 2.71 nmol/g. Pada
kelompok MBM terjadi stres oksidatif dengan kandungan MDA 7.14 nmol/g,
sehingga bila diberikan bersamaan dengan D-galaktosamin kerusakan yang
diakibatkannya menjadi lebih tinggi (7.61 nmol/g), dibandingkan dengan hanya
diberi D-galaktosamin (6.89 nmol/g). Hasil pengukuran MDA jaringan hati pada
penelitian ini menunjukkan bahwa minyak buah merah bersifat toksik terhadap
hati tikus, sehingga menyebabkan peroksidasi lipid.
Karotenoid
Sifat Fisik dan Kimia Karotenoid
Karotenoid merupakan pigmen alami yang tersebar luas di alam.
Karotenoid berkontribusi memberikan warna kuning, oranye, dan ungu pada
pangan nabati maupun hewan. Lebih dari 650 karotenoid telah ditemukan dan
diisolasi dari berbagai sumber namun hanya 60 jenis yang tersedia dalam pangan
dan hanya 20 karotenoid yang dapat dideteksi dalam plasma dan jaringan pada
manusia (During & Harrison 2004).
Karotenoid adalah kelompok senyawa yang tersusun dari unit isopren atau
turunannya. Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya, karotenoid dibagi menjadi
dua golongan utama yaitu: (a) golongan hidrokarbon karotenoid yang tersusun
oleh unsur-unsur atom C dan H seperti α, β, dan γ-karoten dan (b) golongan oksi
karotenoid atau xantofil yang tersusun oleh unsur-unsur atom C, H, OH seperti
lutein, violaxantin, neoxantin, zeaxantin dan kriptoxantin. Dari total karotenoid,
kadar karoten hidrokarbon umumnya lebih tinggi (60-70%) dibandingkan dengan
kadar oksi karotenoid (Bauernfeind et al. 1981).
Karotenoid bersifat larut dalam lemak sehingga larut dalam pelarut lemak
seperti heksan, aseton, kloroform, benzene dan petroleum eter. Jenis karotenoid
yang paling banyak ditemukan adalah β-karoten, lutein, likopen, α-karoten, β-
kriptoxantin dan zeaxantin (Khacik F et al. 1992). Struktur kimia dari beberapa
jenis karotenoid disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
β-karoten
α-karoten
γ-karoten
Gambar 3 Struktur kimia beberapa jenis hidrokarbon karotenoid (Rodriguez & Kimura 2004)
Lutein
β-kriptoxantin
Zeaxantin
Rubixantin
Gambar 4 Struktur kimia beberapa jenis oksi karotenoid (Rodriguez & Kimura 2004)
Jenis karotenoid yang paling banyak dijumpai pada bahan pangan adalah
β-karoten. β-karoten merupakan molekul asimetris dimana separuh bagian kiri
merupakan bayangan cermin dari bagian kanannya. β-karoten mempunyai 40
atom karbon yang terdiri dari 8 unit isoprene, 11 ikatan rangkap dan mempunyai 2
cincin β-ionone yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya
(Furr & Clark 1997). α-karoten mempunyai satu cincin β-ionone dan satu cincin
α-ionone sedangkan γ-karoten hanya mengandung satu cincin β-ionone dan
lainnya merupakan cincin terbuka. α-karoten dan γ-karoten mempunyai aktivitas
biologis kira-kira setengah dari nilai β-karoten. Karotenoid bersifat stabil di alam.
Namun isolatnya mudah mengalami perubahan molekul, isomerisasi dan
degradasi oleh panas, cahaya, oksigen, trace element, dan asam (Bauernfeind et
al. 1981). Karotenoid memiliki banyak ikatan rangkap sehingga mudah
mengalami degradasi oksidasi. Oksidasi ini terbagi atas oksidasi kimia,
autooksidasi, oksidasi cahaya (photooxidation) dan oksidasi enzimatik. Proses
oksidasi secara kimia terjadi karena berbagai oksidan seperti oksigen, ozone,
alkalin permanganat, asam kromat dan lain-lain. Hasil degradasi tergantung pada
lokasi terjadinya kerusakan. Pada ozonolisis terjadi pemotongan ikatan-ikatan
karbon sehingga membentuk asam karboksilat yang akhirnya menentukan sifat
akhir karotenoid. Autooksidasi merupakan reaksi oksidasi spontan antara suatu
senyawa dengan oksigen dan atau sinar UV pada suhu kamar, dimana akan
terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Photooksidasi merupakan reaksi oksidasi
yang diinduksi oleh cahaya. Reaksi yang dapat terjadi adalah: 1) kehilangan satu
atau lebih elektron dari suatu senyawa kimia sebagai hasil dari photoeksitasi
senyawa tersebut dan 2) reaksi antara suatu senyawa dengan oksigen yang
dipengaruhi oleh adanya cahaya. Oksidasi enzimatik yang terjadi secara in vivo
dikatalis oleh berbagai enzim. Lipoksigenase merupakan salah satu enzim
oksidatif utama pada tanaman. Enzim ini dikatalis oleh molekul oksigen asam
lemak tidak jenuh yang mengandung cis,cis-1,4-pentadiene menjadi cis,trans-
conjugated hydroperoxida. Enzim ini mengubah pigmen pada jaringan sayuran
seperti klorofil dan karotenoid (Gross 1991).
Rantai poliene konjugasi yang terdapat pada senyawa karotenoid
mempengaruhi karakteristik warna senyawa tersebut yang sangat bervariasi mulai
dari kurang berwarna (phytoene), kuning (4.4’-diaponeurosporene), orange (β-
karoten), merah (capsanthin), merah muda (bacterioruberin), dan akan berwarna
biru dengan semakin meningkatnya jumlah ikatan rangkap konjugasi (Krinsky et
al. 2004).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kandungan Karotenoid
Peningkatan suhu dan paparan sinar matahari akan meningkatkan
karotegenesis pada buah. Iklim tropis sangat mendukung biosintesis karotenoid,
yang terlihat dari konsentrasi karotenoid yang tinggi pada buah-buahan tropis
(Rodriguez 2001). Gross (1991) menjelaskan pula bahwa tingkat kematangan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komposisi karotenoid.
Kematangan sayuran dan pemasakan buah-buahan umumnya akan meningkatkan
karotenogenesis. Daun muda dan daun tua umumnya memiliki jenis karotenoid
yang sama namun berbeda dalam konsentrasi.
Umumnya bahan pangan yang mengandung karotenoid dipanen pada saat
puncak panen yang bertujuan untuk meminimalkan kerusakan, mempertahankan
produk agar tersedia sepanjang tahun dan mempermudah transportasi ke tempat
produksi. Proses pengolahan dan penyimpanan pangan harus dilakukan secara
optimum untuk mencegah atau mengurangi degradasi komponen yang dapat
berpengaruh terhadap bioavailabilitas. Perubahan karotenoid selama pengolahan
dan penyimpanan terjadi melalui perubahan fisik (misalnya pengupasan),
isomerisasi geometris, reaksi enzimatik atau oksidasi non enzimatik (Rodriguez &
Kimura 2004). Parada dan Aguilera (2007) menjelaskan pula bahwa pengolahan
pangan seperti penghancuran (grinding), fermentasi dan pemanasan suhu rendah
dapat meningkatkan availabilitas dengan cara merusak dinding sel jaringan,
memisahkan kompleks matriks pangan atau nutrisi serta mengubah struktur
molekul yang lebih reaktif.
Degradasi β-karoten sangat dipengaruhi oleh suhu dan lamanya
pemanasan. Semakin tinggi suhu dan semakin lama pemanasan mengakibatkan
degradasi β-karoten semakin tinggi. Struktur senyawa β-karoten yang
mempunyai 11 ikatan rangkap yang terkonjugasi mengakibatkan β-karoten mudah
terdegradasi oleh panas. β-karoten yang terdegradasi tersebut menghasilkan
senyawa-senyawa yang mudah menguap dan tidak mudah menguap. Degradasi β-
karoten oleh panas menghasilkan 6 jenis senyawa mudah menguap yaitu 2-metil
heksana, 3-metil heksana, heptana, siklo oktanona, toluene dan (orto, meta atau
para) xilena (Sahidin et al. 2000).
Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Karotenoid
Karotenoid merupakan molekul yang larut dalam lemak sehingga proses
penyerapannya mengikuti jalur penyerapan lemak pangan. Pada proses awal
pencernaan, karotenoid akan dilepaskan dari matriks pangan dengan adanya aksi
asam lambung dan enzim pencernaan. Pelepasan karotenoid dari matriks pangan
tergantung pada senyawa lain yang membentuk kompleks dengan karotenoid
seperti protein dan juga tergantung pada bentuk keberadaannya seperti bentuk
kristal pada wortel atau bentuk terlarut seperti pada minyak jagung (Deming &
Erdman 1999).
Diet yang mengandung karotenoid provitamin A sebagian dilepaskan dari
protein matriks makanan oleh kerja enzim pepsin lambung dan berbagai enzim
proteolitik dalam saluran usus bagian atas. Selama proses dalam saluran
pencernaan, karotenoid terdispersi dalam usus bagian atas oleh asam-asam
empedu. Sebagian karotenoid telah mengalami esterifikasi dan sisanya masih
dalam bentuk karotenoid bebas. Ester-ester karotenoid, karotenoid bebas dan
vitamin A yang terdispersi dalam emulsi lipida membentuk kilomikron dengan
bantuan asam empedu, berdifusi ke dalam lapisan glikoprotein membran mikrofili
sel-sel epitel usus (Linder 1989). Proses penyerapan terjadi dengan cara difusi
pasif. Proses ini membutuhkan kelarutan misel dalam lapisan air di sekitar
membran sel mikrofili enterosit. Misel akan berdifusi ke dalam membran dan
melepaskan karotenoid dan komponen lipid lainnya pada sitosol sel. Mekanisme
menyerapan karotenoid dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Mekanisme penyerapan karotenoid ( Deming & Erdman 1999)
Setelah penyerapan selesai, β-karoten dan karotenoid provitamin A
lainnya diubah menjadi vitamin A (retinal) oleh enzim β-karoten-15,15’-
dioxygenase (βC-15,15’-DIOX). Retinal kemudian direduksi menjadi retinol,
yang reaksinya disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Pemecahan β-karoten menjadi retinaldehida, reduksi retinaldehida menjadi retinol serta oksidasi retinaldehida menjadi asam retinoat (Bender 2003).
Efisiensi penyerapan karotenoid dipengaruhi oleh ada tidaknya komponen
lain dalam pangan seperti lemak dan protein (Shiau et al. 1990). Makanan yang
mengandung asam lemak tidak jenuh dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas
βC-15,15’-DIOX dan cellular retinol-binding protein tipe II (CRBP II) pada
mukosa instestinal tikus. Kecepatan pemecahan tergantung pada status vitamin A
dalam tubuh dan berbeda untuk setiap jenis organisme. Penyerapan karotenoid ke
dalam enterosit tidak menjamin seluruh karotenoid tersebut akan dimetabolisme
dan diserap oleh tubuh. Karotenoid tersebut dapat hilang pada lumen saluran
pencernaan akibat perubahan fisiologi sel mukosa (Deming & Erdman 1999).
Menurut Rodriguez dan Kimura (2004), beberapa faktor yang mempengaruhi
penyerapan dan pemanfaatan karotenoid antara lain jumlah, tipe karotenoid dalam
makanan (bentuk kristal atau terlarut), lemak, vitamin E, serat, status protein dan
zink, keberadaan penyakit tertentu dan adanya parasit.
Karotenoid yang telah bergabung dengan sel mukosa intestinal menjadi
kilomikron akan dilepas ke dalam limfa. Kilomikron kemudian dicerna secara
cepat oleh lipase lipoprotein dan sisa kilomikron dengan cepat dipindahkan ke hati
dan jaringan lainnya. Very Low Density Lipoprotein (VLDL) selanjutnya
merupakan pembawa utama karotenoid sehingga low density lipoprotein (LDL)
menunjukkan konsentrasi tertinggi karotenoid di dalam plasma. Karotenoid juga
ditemukan pada berbagai jaringan. Walaupun konsentrasi tinggi ditemukan pada
kelenjar adrenal dan corpus luteum namun tempat penyimpanan utama karotenoid
adalah pada hati dan jaringan adiposa. Karotenoid pangan yang tidak terserap
akan dieksresikan melalui feces. Beberapa metabolit karotenoid juga terdeteksi
pada feces. Walaupun metabolit polar karotenoid kemungkinan terdapat dalam
bentuk konjugasi dan dapat dikeluarkan melalui urin, namun informasi mengenai
hal tersebut sangat terbatas (Olson 1994).
Estimasi waktu paruh dilaporkan 11-12 hari untuk likopen, β-karoten, α-
karoten, lutein dan zeaxantin (Miccozzi et al. 1992). Karena itu perlu dipahami
bahwa kemampuan penyerapan karotenoid dan perubahannya menjadi vitamin A
tidak sama untuk setiap jenis karotenoid. Karotenoid provitamin A hanya dapat
diubah jika dibutuhkan oleh tubuh sehingga mencegah potensi toksisitas akibat
kelebihan dosis vitamin A (Dutta et al. 2005).
Efek Biologis Karotenoid
Karotenoid memiliki aktivitas sebagai provitamin A. Sifat ini terutama
dimiliki oleh β-karoten, α-karoten dan β-kriptoxantin (Olson 1989). Di dalam
tubuh karotenoid provitamin A akan diubah menjadi vitamin A aktif. Terdapat
tiga bentuk aktif vitamin A yaitu retinol (vitamin A alkohol), retinal (vitamin A
aldehid) dan asam retinoat (vitamin A asam). Secara spesifik retinal berperan pada
penglihatan, retinol berperan pada aktivitas reproduksi dan asam retinoat
digunakan untuk fungsi lain dari vitamin A. Kekurangan retinol menyebabkan
kerusakan pada struktur epitel secara umum. Umumnya sel epitel mengeluarkan
mucus namun pada defisiensi vitamin A terdapat pengurangan sekresi mucus. Sel
tersebut digantikan oleh keratin yang dihasilkan sel pada jaringan tubuh secara
khusus pada conjuntiva dan kornea mata, trakea, kulit dan jaringan ectodermal
lainnya. Vitamin A juga dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang yang normal. Bila
kekurangan vitamin A, pemanjangan tulang akan terhambat. Oleh sebab itu anak-
anak yang kekurangan vitamin A akan mengalami pertumbuhan yang terganggu.
Bila diberikan suplemen, anak-anak akan memperoleh berat tubuh yang lebih baik
dan memiliki tubuh yang lebih tinggi. Vitamin A juga penting untuk pembentukan
enamel pada pertumbuhan gigi (Olson 2001).
Molekul β-karoten dapat membentuk dua molekul retinol sedangkan α-
karoten dan β-kriptoxantin hanya sebagian yang aktif sebagai vitamin A. Nilai
Internasional Unit (IU) aktivitas vitamin A didasarkan pada hasil evaluasi biologis
kemampuan suatu senyawa untuk mendukung pertumbuhan hewan coba dalam
kondisi defisiensi vitamin A (1 IU= 10.47 nmol retinol = 0.3 µg retinol bebas atau
0.344 µg retinil asetat). Karena absorpsi karoten yang relatif rendah dan
metabolisme yang tidak sempurna untuk menghasilkan retinol maka 6 µg β-
karoten dinyatakan sama dengan 1 µg retinol ekuivalen (RE) dimana ratio molar
dari 3.2 mol β-karoten ekuivalen dengan 1 mol retinol. Saat ini dikenal pula
istilah retinol activity equivalent (RAE) yang ditetapkan oleh Institut Medicine
(2001). 1 RAE = 1 µg all-trans retinol, 12 µg β-karoten dan 24 µg α-karoten atau
β-kriptoxantin. Pada basis ini 1 IU aktivitas vitamin A = 3.6 µg β-karoten atau 7.2
µg karotenoid provitamin A lainnya (Bender 2003).
Tabel 3 Beberapa macam karotenoid yang mempunyai aktivitas provitamin A
Jenis Karoten Aktivitas vitamin A
β-karoten 100
α-karoten 50-54
γ-karoten 42-50
3,4 dehidro- β-karoten 75
β-karoten 5,8-monofuranoksida 50
3-hidroksi- β-karoten, kriptoxantin 50-60
α-karoten 5.6-monoepoksida 25
7’,8’-dihidro-γ-karoten 20-40
4-hydroxy- β-karoten,isokriptoxantin 48
β-apo-8’karotenal 36-72
Sumber: Bauernfeind et al. (1981).
Kebutuhan vitamin A berbeda-beda pada setiap individu tergantung pada
umur dan jenis kelamin serta pada wanita dipengaruhi oleh kondisi khusus seperti
masa kehamilan dan menyusui. Kecukupan gizi vitamin A bagi orang Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Angka kecukupan gizi vitamin A (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII)
Kelompok umur Vitamin A (RE) Anak 0-6 bulan 375 7-12 bulan 400 1-3 tahun 400 4-6 tahun 450 7-9 tahun 500 Laki-laki 10-12 tahun 600 13-15 tahun 600 16-18 tahun 600 19-29 tahun 600 30-49 tahun 600 50-64 tahun 600 64+ tahun 600 Wanita 10-12 tahun 600 13-15 tahun 600 16-18 tahun 600 19-29 tahun 500 30-49 tahun 500 50-64 tahun 500 64+ tahun 500 Hamil Trisemester 1 300 Trisemester 2 300 Trisemester 3 300 Menyusui 350 6 bulan pertama 350 6 bulan kedua 350
Keterangan : 1 retinol equivalent (μg RE) = 1 μg all-trans-retinol = 2 μg all-trans-β-karoten suplemen = 6 μg all-trans-β-karoten bahan pangan = 12 μg karotenoid provitamin A lainnya pada bahan pangan
Bioavailabilitas Karotenoid
Definsi bioavailabilitas menurut FDA (Food and Drug Administration)
adalah kecepatan atau tingkat penyerapan senyawa aktif yang terkandung dalam
obat (Shi & Le Maguer 2000). Definisi ini juga berlaku buat senyawa aktif atau
nutrisi yang terdapat dalam pangan. Jackson (1997) menjelaskan bahwa
bioavailabilitas merupakan fraksi nutrisi tercerna dari pangan yang dapat diserap
oleh usus halus, dimetabolisme dan disimpan dalam tubuh. Hal ini dijelaskan pula
oleh Boyer & Liu (2004) bahwa walaupun seluruh nutrisi dapat dikonsumsi,
namun pada kenyataannya selama pencernaan tidak ada nutrisi yang secara
keseluruhan dapat diubah menjadi bentuk yang dapat diserap
Bioavailabilitas nutrisi biasanya ditentukan dalam plasma darah manusia
(in vivo assay) sehingga terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain
keragaman individu, kondisi fisiologi, dosis, dan adanya komponen makanan
lainnya (Faulks & Southon 2005). Bioavailabilitas karotenoid bervariasi dari 10%
pada bahan segar hingga 50% pada minyak dan produk komersial (Deming &
Erdman 1999). Papas (1999) menjelaskan bahwa bioavailabilitas karotenoid dari
bahan pangan, ekstrak atau produk sintetik sangat beragam karena dipengaruhi
oleh proses pengolahan dan penyimpanan pangan.
Penentuan bioavailabilias dapat dilakukan secara in vivo dengan
menggunakan manusia atau secara in vitro yang menirukan kondisi yang terjadi di
dalam tubuh. Metode in vivo secara langsung memberikan data bioavailabilitas
dan biasanya digunakan untuk pangan dan nutrisi yang memiliki keragaman atau
variasi yang tinggi. Respon ditentukan setelah manusia atau hewan percobaan
mengkonsumsi nutrisi tunggal (alami atau sintetik) yang kemudian dibandingkan
dengan dosis nutrisi yang sama yang berasal dari sumber pangan (Yeum & Russel
2002).
Zakaria et al. (2000) melaporkan bahwa pada pengujian bioavailabiltas
karotenoid bahan pangan karbohidrat tinggi dengan berbagai cara pengolahan,
nilai FAR (faktor akumulasi retinol) yang merupakan nilai konversi provitamin A
mendekati atau melebihi nilai FAR vitamin A sintetik (1/5.9). Nilai FA terbaik
adalah pada kelompok tikus yang diberikan diet pisang dengan perlakuan kering
beku yaitu sebesar 1/2.09. Hal ini berarti dari 2.09 µg β-karoten pisang yang
dikonsumsi akan dihasilkan 1 µg retinol. Rumondang (1993) melaporkan pula
bahwa pengujian bioavailabilitas karotenoid pada ubi jalar, nilai FAR ubi jalar
goreng sebesar 1/6.62. Hasil ini lebih baik dibandingkan nilai FAR pada ubi jalar
rebus yaitu sebesar 1/7.39
Pengujian biovailabilitas karotenoid produk bahan pangan lainnya
dilaporkan oleh Meridian (2000) yang melakukan pengujian terhadap minuman
emulsi karoten minyak sawit dengan nilai FAR sebesar 1/9.09. Wylma (2003)
menjelaskan pula bahwa pengujian bioavailabilitas karotenoid terhadap bubuk
daun cincau hijau menunjukkan nilai FAR sebesar 1/13.21.
Radikal Bebas dan Kerusakan Sel
Radikal Bebas
Radikal bebas adalah senyawa oksigen reaktif yang merupakan senyawa
dengan elektron yang tidak berpasangan. Senyawa atau atom tersebut berusaha
mencapai keadaan stabil dengan jalan menarik elektron lain sehingga terbentuk
radikal baru. Reaksi radikal bebas ini berlangsung secara berantai (cascade
reaction) (Jakus 2002).
Radikal bebas dapat berasal dari sumber endogenus yaitu pada reaksi
reduksi oksidasi normal dalam mitokondria, peroksisom, detoksifikasi senyawa
senobiotik, metabolisme obat-obatan dan fagositasi. Sedangkan radikal bebas dari
sumber eksogenus berasal dari asap rokok, radiasi, inflamasi, latihan olahraga
berlebihan, diet tinggi asam lemak tidak jenuh, dan karsinogen (Langseth 1995).
Radikal bebas dapat bersifat positif dan negatif. Sifat positifnya antara lain
dalam jumlah terkontrol berperan dalam proses fungsi biologis, misalnya dalam
bakterisidal dan bakteriolisis. Juga beperan sebagai mediator respon terhadap
infeksi patogen, sebagai signal apoptosis sel atau jalur signal tranduksi, second
messenger serta berperan pada sintesis eikosanoid. Sifat negatif radikal bebas
adalah dapat menyebabkan stres oksidatif. Hal ini terjadi karena terjadi
ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Radikal bebas dalam
jumlah berlebihan sementara jumlah antioksidan seluler lebih sedikit sehingga
dapat menyebabkan kerusakan sel (Costa et al. 2005).
Pengukuran radikal bebas dalam sistem biologi dilakukan secara langsung
dan tidak langsung. Teknik pengukuran langsung yaitu RPE Resonan
Paramagnetik Elektronik (RPE) dan Proton Magnetik Resonansi Resolusi Tinggi
(PMRRT). Teknik tersebut menggunakan senyawa yang dapat menangkap sinyal
radikal bebas pada sistem in vivo. Pengukuran secara langsung sangat sulit
dilakukan karena radikal bebas bereaksi sangat cepat, sehingga sering dilakukan
dengan metode pengukuran tidak langsung melalui pengukuran produk turunan
seperti malondialdehida (MDA) dan 4-hidroksinonenal. Dua turunan tersebut
sering digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas lipid (Nabet 1996).
Kerusakan Sel
Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat
mengurangi viabilitas dan fungsi esensial sel. Target kerusakan sel yaitu: (1)
lipida melalui oksidasi PUFA (poly unsaturated fatty acid) dengan tahapan
inisiasi, propagasi dan terminasi; (2) protein (glikoprotein) melalui inaktivasi
enzim, mengikat protein atau reseptor; (3) DNA melalui perusakan penyusun
DNA (asam nukleat), lipoprotein, dan karbohidrat pada tahap mutasi, inisiasi dan
promosi kanker (Costa et al. 2005).
Stres oksidatif merupakan suatu keadaan yang timbul akibat reaksi
metabolik yang menggunakan O2
Pengaruh radikal bebas yang diketahui paling awal adalah oksidasi lipid.
Oleh sebab itu kerusakan oksidatif karena oksidasi lipid ini paling sering diteliti.
Produk oksidasi lipid banyak ditemukan dalam cairan biologis, dapat diukur
, yang mengakibatkan terganggunya sistim
oksidan-antioksidan sel. Atau dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
terjadi karena peningkatan kadar radikal bebas di dalam tubuh, yang dapat terjadi
karena pembentukannya yang meningkat atau pembuangannya yang berkurang
(Pratap et al. 2004). Stres oksidatif dapat menyebabkan kematian sel baik secara
apoptosis maupun nekrosis. Kematian sel secara apoptosis mencakup proses
otodestruksi seluler aktif yang ditandai dengan penyusutan sel, kerusakan
membran, dan fragmentasi DNA inti. Sedangkan nekrosis merupakan kematian
sel akibat kerusakan yang ditandai dengan kerusakan struktur seluler secara
menyeluruh diikuti dengan lisisnya sel (Forrest et al. 1994).
dengan berbagai cara yaitu :(a) aldehida dalam plasma seperti MDA, TBARs dan
4-hidroksinonenal, (b) penurunan PUFA dalam plasma, (c) diena terkonjugasi
dalam plasma, (d) hidroperoksida dalam plasma (Winklhofer-Roob et al. 1995).
Mekanisme peroksidasi lipid dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Mekanisme peroksidasi lipid (Marnett 1999)
Mekanisme Karotenoid sebagai Antioksidan
Karotenoid yang dikonsumsi baik dari makanan maupun dari suplemen
dapat bersifat sebagai antioksidan melalui quenching singlet oxygen dan
scavenging free radical. β-karoten merupakan quencher (peredam) singlet
oksigen yang paling baik. Menurut Foote (1976), 1 molekul β-karoten dapat
meredam 250-1000 molekul singlet oksigen pada kecepatan 1.3x1010 M-1S-1.
Transfer energi dari singlet oksigen ke peredamnya akan menghasilkan
pembentukan triplet oksigen dan triplet-state quencher dengan reaksi berikut : 1O2
* + CAR 3O2 + 3CAR*
Kecepatan quenching singlet oxygen oleh karotenoid sangat tergantung
pada jumlah ikatan konjugasinya. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah jenis
(Halliwell & Gutteridge 1999).
dan jumlah gugus fungsi pada bagian cincin molekul karotenoid yang
berpengaruh terhadap kelarutan karotenoid. Kobayashi dan Sakamoto (1999)
membandingkan aktivitas quenching dari β-karoten dan astaxanthin, kemudian
melaporkan bahwa aktivitas quenching astaxanthin menurun dengan
meningkatnya sifat hidrofobik, dan sebaliknya terjadi peningkatan quenching β-
karoten. Lebih lanjut Lee dan Min (1990) mengevaluasi efektivitas 5 karotenoid
dalam quenching terhadap klorofil dengan sensitizer photooksidasi pada minyak
kedelai. Data yang diperoleh menunjukkan efektivitas quenching meningkat
dengan semakin banyaknya ikatan rangkap pada karotenoid dan jumlah
karotenoid yang ditambahkan. Menurut Beutner et al. (2000), karotenoid dengan 7
atau lebih sedikit ikatan rangkap kurang efektif sebagai quencher karena tidak
dapat menerima energi dari singlet oksigen.
Proses autooksidasi seperti peroksidasi lipid berhubungan dengan reaksi
rantai radikal yang melibatkan radikal peroksil (ROO ). Antioksidan pemutus
rantai tersebut seperti halnya karotenoid dapat menghambat kecepatan dan
efisiensi pengikatan (scavenging) radikal bebas dengan reaksi sebagai berikut:
Initiator + RH R (Tahap inisiasi)
R + O2
ROO + RH ROOH + R
ROO (Tahap propagasi)
ROO + ROO
ROO
Produk (Terminasi)
Hasil radikal turunan antioksidan (CAR) tidak sesuai untuk propagasi
reaksi. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terjadinya reaksi abstraksi atom H
atau reaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil lainnya (Krinsky et al.
2004).
+ CAR ROOH + CAR (Penghambatan oleh karotenoid)
Packer et al. (2005) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara struktur
karotenoid dan kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas yang diuji
secara in vitro. Diduga diwali dengan pembukaan cincin β-ionone, kemudian
penambahan gugus kimia pada cincin β-ionone atau pergantian cincin β-ionone
dengan gugus fungsi dapat mengubah kapasitas antioksidan. Setelah
mengevaluasi aktivitas antioksidan dengan kemampuan menangkap kation
radikal 2,2’-azino-bis-(3-ethyl-benzthiazoline-6-sulfonate) diammonium salt
(ABTS), karoten dengan 11 ikatan rangkap konjugasi lebih aktif menangkap
radikal dibandingkan dengan xantofil (kecuali pada β-kriptoxantin).
Pengikatan radikal secara in vivo akan berhubungan dengan pencegahan
beberapa penyakit. Konsumsi pangan kaya karotenoid seperti buah-buahan dan
sayur-sayuran dapat menurunkan resiko perkembangan tipe kanker tertentu.
Ziegler (1989) melaporkan bahwa konsentrasi β-karoten plasma yang tinggi dapat
menurunkan resiko penyakit kanker paru-paru. Menurut Bendich dan Olson
(1989), pada pengujian in vivo dan in vitro, β-karoten menunjukan efek proteksi
membran lipid, LDL (Low Density Lipoprotein) dan lipid hati dari oksidasi yang
diinduksi oleh radikal bebas karbon tetraklorida.
top related