babad cirebon berdasarkan naskah klayan
Post on 26-Jun-2015
450 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BABAD CIREBON BERDASARKAN NASKAH KLAYAN
Pupuh pertama Dangdanggula, 13 Bait.
Pupuh ini diawali oleh kalimat Bismillahi ya rakhman nirakhim. Pupuh ini menceritakan
lolosnya Walangsungsang—putra Prabu Siliwangi—yang berkeinginan mencari agama Nabi
Muhammad. Walangsungsang –yang juga putra mahkota Kerajaan Pajajaran—berkeinginan
untuk berguru agama Nabi Muhammad. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada
ayahandanya, Prabu Siliwngi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan mengusir
Walangsungsang dari istana. Pada suatu malam, Walangsungsang melarikan diri
meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi untuk berguru agama
nabi (islam)kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa asal Mekah di bukit Amparan Jati cirebon.
Dalam perjalanan mencari Syekh Nurjati, Walangsungsang bertemu dengan seorang pendeta
Budha bernama Sang Danuwarsi.
Pupuh Kedua Kinanti, 24 bait.
Pupuh ini menceritakan perjalanan Rarasantang –adik Walangsungsang yang juga
berkeinginan untuk mempelajari agama nabi –yang menyusul kakaknya hingga
pertemuannya dengan Walangsungsang di Gunung Merapi. Setiap hari, Rarasantang amat
bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya. Ia terus menerus menangis. Jerit hatinya tak
tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Lalu,
Prabu Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia tidak diperkenankan
pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang. Namun, usaha Patih Arga sia-sia belaka
karenanya ia tidak berani pulang. Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri
Tajimalela. Sementara itu, perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung Tangkuban-
perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang diberi pakaian sakti oleh Nyai
Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan cepat. Nyai Sekati memberi petunjuk agar
Rarasantang pergi ke gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh
ajar Cilawung nama Rarasantang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan melahirkan
seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan langit, dikasihi Tuhan, dan
menjabat sebagai pimpinan para wali. Selanjutnya, Nyai Eling diberi petunjuk agar
meneruskan perjalanan ke Gunung Merapi. Cerita beralih dengan menceritakan Resi
Danuwarsi—yang juga dikenal dengan nama Ajar Sasmita—yang tengah mengajar
Walangsungsang. Sang Danuwarsi mengganti nama Walangsungsang menjadi Samadullah
dan menghadiahi sebuah cincin bernama Ampal yang berkesaktian dapat dimuati segala
macam benda. Ketika keduanya tengah asyik berbincang-bincang tiba-tiba datanglah
Rarasantang yang serta merta memeluk kakaknya. Di Gunung Merapi, Walangsungsang
dinikahkan dengan putri Danuwarsi yang bernama Indang Geulis. Sesuai dengan petunuk
Resi Danuwarsi, Samadullah beserta istri dan adiknya meninggalkan Gunung Merapi menuju
bukit Ciangkup. Indang Geulis dan Rarasantang “dimasukkan” ke dalam cincin Ampal.
Pupuh Ketiga Asmarandana, 16 bait.
Di bukit Ciangkup—tempat bertapa seorang pendeta Budha bernama Sanghyang Naga—
Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama golok Cabang yang dapat berbicara
seperti manusia dan bisa terbang. Setelah mengganti nama Samadullah menjadi Kyai
Sangkan, Sanghyang Naga memberi petunjuk agar Samadullah melanjutkan perjalanan ke
Gunung Kumbang menemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah teramat
tua. Nagagini adalah seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk menjaga
beberapa jenis pusaka: kopiah waring, badong bathok (hiasan dada dari tempurung), serta
umbul-umbul yang harus diserahkan kepada putera Pajajaran. Atas petunjuk Nagagini,
Walangsungsang kemudian berangkat ke Gunung Cangak. Nagagini memberi nama baru
bagi Walangsungsang, yakni Karmadullah.
Pupuh Keempat Megatru,26 bait.
Ketika tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiara yang setiap cabangnya
dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud menangkap salah seekor burung
bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan terbang jauh. Ia teringat akan pusakanya kopiah
waring yang khasiatnya menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan
setan. Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu untuk membuat
bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu itu diletakkan seekor ikan.
Burung-burung bangau tertarik melihat ikan dalam bubu hingga membuat suara berisik dan
menarik perhatian raja bangau (Sanghyang Bango) yang segera mendekati “rakyatnya”. Raja
Bango berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk ke dalam perangkap
dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh Walangsungsang. Raja Bango
mengajukan permohonan agar tidak disembelih, dan ia menyatakan takluk kepada
Walangsunsang serta mengundangnya untuk singgah di istananya guna diberi pusaka. Di
dalam istana, Raja Bango berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menyerahkan
benda pusaka berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat dimintai nasi
beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas, piring dapat mengeluarkan nasi
kebuli, sedangkan bareng dapat mengeluarkan 100.000 bala tentara. Sanghyang Bango
memberi nama Raden Kuncung kepada Walangsungsang yang kemudian melanjutkan
perjalanan ke Gunung Jati.
Pupuh kelima Balakbak, 16 bait.
Setibanya di gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurjati yang juga bernama
Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih keturunan Nabi Muhammad dari Jenal
Ngabidin. Lalu, Walangsungsang berguru kepada Syekh Nurjati dan menjadi seorang muslim
dengan mengucapkan syahadat. Setelah ilmunya dianggap cukup, Syekh Datuk Kafi
menyuruh Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan di tepi pantai. Walangsungsang
memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon Pesisir, berikut istri dan
adiknya, yang di “masukkan” ke dalam cincin Ampal. Perkampungan baru yang akan
dibukanya kelak dikenal dengan nama Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama
Panjunan. Dalam pada itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang dengan
sebutan Ki Cakrabumi.
Pupuh keenam Menggalang, 13 bait.
Selanjutnya, Cakrabumi membuka hutan dengan Golok Cabang. Dengan kesaktian Golok
Cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat. Ketika goloknya bekerja membabat
hutan, ohon-pohonan roboh dengan mudah, lalu golok mengeluarkan api dan membakar
kayu-kayu hutan sehingga dalam waktu singkat pekerjaan sudah selesai; sementara
Walangsungsang tidur mendengkur. Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-
pendatang baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat,
pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan Cakrabuwana
dengan sebutan Kuwu Sangkan. Kuwu Sangkan sendiri tidak bertani karena pekerjaannya
hanyalah menjala ikan dan membuat terasi. Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke
selatan hingga Gunung Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke rumahnya yang
terletak di Kanoman, ternyata gurunya, Syekh Datuk Kahfi telah berada disana.
Pupuh ketujuh Sinom, 24 bait.
Ketika Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir, ia menganjurkan
supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Walangsungsang
mematuhinya. Ia pun berangkat menunaikan ibadah haji bersama adiknya, Rarasantang.
Syekh Datuk Kahfi menitipkan sepucuk surat untuk sahabatnya, Syekh Bayan dan
disarankan agar Walangsungsan beserta adiknya tinggal di rumah Syekh Bayan selama di
Mekah. Cerita beralih kepada kisah Raja Uttara, seorang raja Bani Israil yang baru ditinggal
mati oleh istrinya. Ia menyuruh patihnya agar mencari seorang wanita yang parasnya serupa
benar dengan almarhumah permaisurinya. Patih Raja Uttara mengembara ke neger Rum,
Bustam, Syam, Turki, dan Mesir, namun belum juga menemukan wanita yang diinginkan
rajanya. Akhirnya, ia pergi ke Mekah pada saat musim haji. Ia melihat tiga orang berjalan
beriring-iringan. Mereka adalah Syekh Bayan, Walangsungsang, dan Rarasantang. Sang
Patih mengikuti mereka sampai ke rumahnya. Menurut penglihatannya, Rarasantang mirip
sekali dengan almarhumah permaisuri Mesir. Patih Raja Uttara meminta Rarasantang utuk
menjadi istri Raja Uttara di Bani Israil. Ternyata, ia bersedia menjadi istri raja Uttara dengan
mas kawin sebuah sorban peningglan Nabi Muhammad SAW.
Pupuh kedelapan Asmarandana, 13 bait.
Ketika Rarasantang tengah hamil tujuh bulan, ia ditinggalkan suaminya yang bermaksud
mengunjungi negeri Rum menengok pamannya, Raja Yutta. Untung tak dapat diraih malang
tak dapat ditolak, baru satu hari Raja Uttara berada di Rum, ia terserang penyakit kolera dan
tak tertolong lagi. Raja Uttara sudah pulang ke rahmatullah. Utusan segera dikirim ke Mesir
untuk memberi kabar Raja Uttara telah meninggal di rum.
Pupuh kesembilan Sinom, 15 bait.
Pupuh ini menceritakan kesedihan Rarasantang yang ditinggal mati oleh suaminya, serta
kisah kembalinya Walangsungsang ke tanah Jawa. Kesedihan Rarasantang yang sedang
hamil tua itu tak terbayangkan lagi mendengar kematian suaminya, apalagi masa
kehamilannya telah mencapai usia 12 bulan. Sementara itu, di Mekah, Syekh Bayan dan
Walangsunsang tengah bercakap-cakap tentang rencana kembalinya ke tanah Jawa. Dalam
perbincangan itu, Syekh Bayan berkeinginan untuk turut serta ke pulau Jawa.
Walangsungsang yang telah berganti nama menjadi Abdul Iman meminta agar Syekh Bayan
bersabar dahulu karena Abdul Iman ingin berkelana mengelilingi daerah Mekah hingga ke
desa-desa. Tetapi, ternyata pengembaraan Walangsungsang telah sampai ke Aceh yang
saat itu sedang terserang wabah penyakit. Permaisuri aceh meninggal karena terserang
wabah penyakit. Ia meninggakan seorang anak perempuan yang belum diberi nama.
Demikian pula Sultan Aceh—yang bernama sultan Kut—saat itu juga sedang sakit parah.
Syekh Abdul Iman berhasil menyembuhkan Sultan Aceh dan putrinya. Putri Aceh yang masih
kecil kemudian diambilnya menjadi anak angkatnya dan dimasukkan ke dalam cincin Ampal.
Syekh bayan yang menunggu Abdul Iman di Mekah hampir tiga bulan ternyata belum kembali
juga. Ia segera mempersiapkan perahu dan berangkat sendiri dari pelabuhan Julda
( Jeddah ) menuju Cirebon.
Pupuh kesepuluh Maskumambang, 13 bait.
Dengan mengucap bismillah, Syekh Bayan memulai pelayarannya meninggalkan Mekah
menuju Cirebon. Sementara itu, Abdul Iman yang kembali ke Mekah setelah melakukan
pengembaraan merasa ditipu oleh Syekh Bayan. Dengan kesaktiannya, Abdul Iman segera
melesat ke Pulau Jawa. Ia menantikan kedatangan Syekh Bayan di tepi pantai dengan
menyamar sebagai pencari ikan. Syekh Bayan tiba di Cirebon, ia disambut oleh seorang
pencari ikan. Ia bertanya kepada pencari ikan itu di manakah ia bisa menjumpai syekh Datuk
Kahfi. Syekh Abdul Iman yang menyamar sebagai pencari ikan tidak menjawab pertanyaan
syekh Bayan, melainkan ia menjelaskan bahwa jika Syekh Bayan ingin menjadi orang yang
mulia dan menjadi wali, tunggulah syekh Datuk Kahfi di Gunung Gajah.
Pupuh kesebelas Dangdanggula, 12 bait.
Abdul Iman melanjutkan perjalanannya mengembara sebagai pencari ikan, sementara Syekh
Bayan pergi ke Gunung Gajah. Di tengah perjalanan, Abdul Iman teringat kepada gurunya,
lalu ia kembali ke Panjunan untuk menemui gurunya, juga istrinya. Akan tetapi, ternyata
gurunya tidak ada, dan yang ada hanyalah sepucuk surat yang ditinggalkan syekh Datuk
Kahfi. Isi surat itu : jika ingin bertemu dengannya, hendaklah menyusul ke Pandanjalmi.
Ketika ia hendak pergi lagi mengembara, ia menyerahkan sebuah peti kepada istrinya
dengan pesan : “Kelak, jika datang seorang pemuda dari Mekah, dan tinggal di Gunung Jati,
serahkanlah peti itu kepadanya. Jika anak yang dalam kandunganmu lahir perempuan,
berilah nama Pakungwati. Jika yang lahir laki-laki terserah. Ibu dan anak hendaklah berguru
kepada pemuda yang berasal dari Mekah itu”. Abdul Iman pergi ke Pandanjalmi dan bertapa
di Sendang, dan menamakan dirinya Ki Gede Selapandan. Ia bertani sambil mengasuh anak
angkatnya yang bernama Nyi Wanasaba. Ketika ia pindah ke Lebaksungsang, anaknya
berganti nama menjadi Nyi Gandasari dan ketika dukuhnya semakin besar, ia namakan desa
Panguragan. Ia percayakan desa itu kepada anaknya, Ratu Emas Gandasari, yang juga
terkenal dengan nama Nyi Gede Panguragan. Cerita beralih pada kisah kelahiran Syarif
Hidayat. Tersebutlah Rarasantang di Mesir. Ia melahirkan bayi kembar laki-laki: anak
pertama diberi nama Syarif Hidayat, sedangkan anak kedua syarif (Ng)aripin. Ketika mereka
sudah berumur 14 tahun, mereka rajin mempelajari ilmu agama. Lebih-lebih Syarif Hidayat,
segala macam kitab agama ia baca hingga akhirnya ia membaca sebuah kitab rahasia yang
tertulis dengan tinta emas.
Pupuh keduabelas Sinom, 21 bait.
Setelah membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep luwi, gegurua ing
Mukhamad( jika ingin menjdi manusia istimewa bergurulah kepada Muhammad ), Syarif
Hidayat merasa setengah tidak percaya terhadap amanat yang tertera dalam buku itu.
Namun, dalam setiap tidurnya, ia selalu bermimpi melihat cahaya yang mengeluarkan suara:
e Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun, lamon sira arep mulya, nimbangi keramat Nabi,
ulatana sira guguru Mukhamad ( Hai Syarif Hidayat dengarkanlah petunjukku, jika engkau
ingin menjadi manusia mulia sehingga dapat mengimbangi keramat nabi, carilah dan
bergurulah kepada Muhammad ). Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang
tidak berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu. Meskipun demikian,
hatinya teguh hendak menuruti petunjuk kitab dan panggilan mimpi. Ia memohon diri kepada
ibunya dan sudah tak dapat dicegah lagi kemauannya. Ia tidak tertarik pada kedudukan
sebagai raja. Syarif Hidayat mulai mengembara mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke
patilasan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga memperoleh petunjuk.
Lalu, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan, membaca shalawat nabi, dan mengucapkan
taubat. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke gunung Jambini. Di sana, ia bertemu dengan
Naga Pratala yang menderita sakit bengkak. Sang Naga minta diobati, dan Syarif Hidayat
hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras puli kadi du ing kuna ( jika aku
benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pastilah engkau sembuh ). Seketika
Naga Pratala menjadi sembuh. Kemudian, ia memberikan sebuah cincin pusaka bernama
Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala isi bumi dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif
Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti (Mardada) menemui pertapa di sana. Pulau
Mardada dihuni oleh binatang buas dan berbisa yang sedang menjaga sebuah keranda
biduri. Di sebuah cabang kay yang tinggi, Syarif Hidayat melihat ada seorang pemuda
bernama Syekh Nataullah sedang bertapa. Pemuda itu menjelaskan bahwa tidak ada
harapan untuk menemui orang yang sudah tiada, lebih baik berusaha mendapatkan cincin
Mulikat yang berada di tangan Nabi Sulaiman. Ia menjelaskan bahwa barang siapa memiliki
cincin Mulikat, ia akan menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati oleh umat manusia.
Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataullah bersama-sama mengambil cincin
tersebut.
Pupuh ketigabelas Kinanti, 30 bait.
Ketika Syarif Hidayat berada di makam Nabi Sulaeman, jenazah Nabi Sulaeman seolah-olah
hidup dan memberikan cincin Mulikat kepadanya. Syekh Nataullah mencoba merebut cincin
tersebut, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba meledaklah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga
yang sedang mengadu tenaga memperebutkan cincin tersebut terlempar. Syekh Nataullah
melesat jatuh di pulau jawa, sedangkan Syarif Hidayat jatuh di Pulau Surandil. Cerita dalam
pupuh ini diselingi oleh kisah Rarasantang yang merindukan Syarif Hidayat. Sudah sepuluh
tahun Rarasantang ditinggal putranya. Ia selalu berdoa agar anaknya mendapat lindungan
Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiba-tiba, ia mendengar suara, ujarnya : wondening anakira iku,
waruju kang dadi aji, Banisrail kratonira, nama Sultan Dul Sapingi, mung kang dadi lara
brangta, amung putranipun Syarip, lamon eman maring siwi, balik angungsiyang Jawa, lamon
arep ya pinanggi ( Anakmu yang muda itu akan menjadi raja, keratonnya di Baniisrail,
bergelar Abdul Sapingi. Jika engkau benar-benar merindukan anakmu Syarip Hidayat,
sebaiknya kembalilah engkau ke Pulau Jawa.) Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau Jawa
menantikan anaknya di Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk Kahfi. Cerita kembali ke
Syarif Hidayat yang jatuh di Gunung Surandil. Di sana, ia melihat sebuah kendi berisi air
sorga yang sangat harum baunya. Kendi itu mempersilahkan Syarif Hidayat meminumnya.
Karena ia hanya menghabiskan setengahnya, kendi itu meramalkan bahwa kesultanan yang
kelak akan didirikan olehnya tidak akan langgeng. Meskipun kemudian air kendi itu
dihabiskan, namun yang langgeng hanyalah negaranya, bukan raja-rajanya. Setelah berkata
demikian, kendi itu pun lenyap. Syarif Hidayat kemudian bertemu dengan Syekh Kamarullah.
Atas anjurannya, Syekh Kamarullah pergi ke Jawa dan menetap di gunung Muriya dengan
gelar Syekh Ampeldenta. Dengan demikan, sudah empat orang syekh dari Mekah yang tiba
di tanah Jawa.
Pupuh keempatbelas Sinom, 28 bait.
Suatu ketika, Nabi Aliyas ( Ilyas ) menyamar sebagai seorang wanita pembawa roti. Ia
menawarkan kepada Syarif Hidayat bahwa rotinya adalah roti sorga, dan barang siapa yang
memakan roti itu, ia akan mengerti berbagai macam bahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan,
Inggris, dan Turki. Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari
Muhammad ikutilah seseorang yang menunggang kuda di angkasa, dialah Nabi Khidir yang
dapat memberi petunjuk. Wanita pemberi petunjuk itu hilang seketika dan tiba-tiba di angkasa
tampak seorang penunggang kuda. Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di
ekor kuda. Nabi Khidir—penunggang kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat
terpelanting dan jatuh di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari. Abdul Sapari memberinya dua
butir buah kalam muksan; sebuah dimakan habis oleh Syarif Hidayat dan terasa manis sekali,
sementara sebuah lagi disimpan untuk lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan
itu menjadi pertanda bahwa kelak akan timbul tantangan-tantangan di saat Syarif Hidayat
menjadi sulltan. Tidak demikian halnya jika dua buah itu dihabiskan sekaligus. Akhirnya, buah
Kalam Muksan yang sebuah lagi segera dimakan, namun rasanya sangat pahit dan sangat
menyakitkan seperti sakitnya orang menghadapi sakratul maut. Ia pingsan seketika. Abdul
Sapari segera memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif Hidayat ke bubungan
mesjid. Dari situ, Syarif Hidayat mikraj ke langit. Dalam perjalanan mikraj, pertama kali ia
sampai di pintu dunia dan melihat orang-orang yang mati sabil serta mukmin yang alim dan
kuat beribadat. Di langit kedua, ia bertemu dengan roh-roh wanita yang setia dan patuh pada
suami. Di langit ketiga, ia bertemu dengan Nabi Isa yang menghadiahkan nama Syarif
Amanatunggal. Di langit keempat, ia bertemu dengan ribuan malaikat yang dipimpin oleh
Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Para pemimpin malaikat juga memberinya nama, antara lain,
Malaikat Jibril memberi nama Syekh Jabar, Mikail memberi nama Syekh Surya, Israfil
memberi nama Syekh Sekar, dan Izrail memberinya nama Syekh Garda Pangisepsari. Di
langit kelima, ia bertemu dengan ribuan nabi, antara lain, Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi
Musa. Mereka juga menghadiahi nama baru bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam memberi nama
Syekh Kamil, Nabi Ibrahim memberi nama Saripulla, dan Nabi Musa memberi nama Syekh
Marut. Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat neraka, dinding jalal, dan meniti sirotol mustakim.
Akhirnya, ia tiba di langit ketujuh dan melihat cahaya terang benderang.
Pupuh kelimabelas Kinanti, 26 bait.
Di langit ketujuh Syarif Hidayat “bertemu” dengan Nabi Muhammad yang sedang tafakur.
Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal. Karena itu, ia tidak boleh
mengajar umat manusia. Apalagi karena di dunia sudah ada wakilnya, yakni para fakir, haji,
kitab Al qur’an, puji-pujian, dan segala macam ilmu telah lengkap di dunia. Akan tetapi, Syarif
Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin mendengar penjelasan langsung dari
Nabi Muhammad, terutama tentang makna asasi kalimat syahadat dan perbedaannya
dengan zikir satari. Nabi Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan
menganugerahkan jubah akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan
berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan menjaga syareat.
Syarif Hidayat lalu turun dari langit ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang di Ajrak dan kembali
ke Gunung Jati. Di sana, ia bertemu dengan bundanya yang sudah menjadi pertapa wanita
bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh Nurjati telah pindah ke gua Dalam.
Pupuh keenambelas Sinom, 27 bait.
Syekh Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hidayat. Ketika tamunya
datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar Syarif Hidayat menyusul ke
Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung Gundul, tetapi Syekh Nurjati pergi ke
Gunung Jati. Akhirnya, atas petunjuk cincin Marembut, ia mencegatnya di tengah jalan.
Keduanya mendiskusikan ilmu agama. Syekh Nurjati memberi nama syarif Hidayat denga
nama Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menjadi sultan bergelar Sultan Jatipurba.
Selesai mengutarakan pesan-pesannya, Syekh Nurjati lenyap dan tidak pernah muncul lagi
sebagai Syekh Nurjati melainkan sudah bernama Pangeran Panjunan atau Syekh Siti Jenar,
dan bergelar Sunan Sasmita. Dengan perantaraan cincin Marembut, Syarif Hidayat melihat
ke mana sebenarnya kepergian Syekh Nurjati. Kemudian, ia menjumpai ibunya di Gunung
Jati, dan pergi ke Gunung Muria hendak menemui Syekh Kamarullah yang bergelar Syekh
Ampeldenta. Saat itu, Syekh Kamarullah sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya
agar dengan sungguh-sungguh mencari arti dan makna kalimah syahadat. Pangeran Kendal
disuruh bertapa membisu, Pangeran Makdum disuruh tidur di tepi pantai, dan Pangeran
Kajoran harus bertapa menentang matahari. Setelah murid-muridnya pergi, datanglah Syarif
Hidayat. Lalu, keduanya mendiskusikan ilmu agama. Atas anjuran Syekh Ampeldenta,
pergilah Syarif Hidayat ke Gunung Gajah menemui Syekh Bayanullah yang berasal dari
Mekah.
Pupuh ketujuhbelas Amarandana, 48 bait.
Di Gunung Gajah, Syekh Bayanullah ternyata telah berganti nama menjadi Pajarakan. Tetapi,
saat ia menanam jagung, namanya menjadi Syekh Jagung atau Syekh Majagung, atau Ki
Dares jika sedang enau. Suatu ketika, Ki Dares tengah bersenandung seraya memahat enau,
datanglah Syarif Hidayat. Ki Dares kagum melihat keampuhan kalimah syahadat yang
diucapkan oleh Syarif Hidayat yang dapat merontokkan buah pinang dan mengubahnya
menjadi emas, dan ia berkeinginan untuk berguru kepadanya. Syarif Hidayat melanjutkan
perjalanannya ke Nusakambangan untuk menemui Syekh Nataullaah yang telah bergelar
Syekh Damarmaya yang mengamalkan ilmu makdum sarpin; siang malam terus menerus
mandi dan tak pernah tidur seolah-olah airlah yang menjadi tumpuan harapan. Syarif Hidayat
tiba di sana lalu membaca syadat serta merta air sungai tempat mandi Syekh Nataullah
lenyap. Syarif Hidayat menyarankan kepada Syekh Damarmaya apabila ingin mengetahui
makna syahadat datanglah ke Cirebon, kelak di waktu para wali berkumpul. Lalu, Syarif
Hidayat melanjutkan perjalanannya menemui Pangeran Kendal yang sedang bertapa
membisu—siang malam berjalan sepanjang jalan tanpa berkata-kata. Seperti halnya ketika
bertemu Syekh Damarmaya, Syarif Hidayat menjelaskan sekelumit ilmu kepada Pangeran
Kendal dan menganjurkan supaya pergi ke Cirebon. Giliran selanjutnya mendatangi
Pangeran Makdum yang sedang bertapa denga tidur di pantai serta pergi ke Madura
menemui Pangeran Kajoran yang sedang bertapa dengan menentang matahari. Semua
pertapa yang ditemuinya diundang ke Cirebon. Sebelumnya mereka menemui Syekh Ampel
di Gunung Muria. Cerita beralih pada kisah seorang raja di negara Atasangin yang masih
beragama Budha. Ia telah mengetahui akan kedatangan Syarif Hidayat. Sebelum tamunya
datang, ia beserta negaranya menghilang ke dasar laut. Syarif Hidayat kemudian
meneruskan perjalanan dan bertemu dengan putra mahkota Keling sedang melarung jenazah
ayahandanya. Atas anjurannya, jenazah Raja Keling kemudian dimandikan dan dikubur.
Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Mesir.
Pupuh kedelapanbelas Dangdanggula, 25 bait.
Ketika Syarif Hidayat tiba di Mesir, ia diminta oleh adiknya, Syarif Arifin, untuk memangku
jabatan sebagai Raja Mesir. Tetapi, ia tidak mau menjadi raja. Ia tetap memilih sebagai
ulama. Ia hanya meminta kepada adiknya seorang kemenakannya yang bernama
Pulunggana untuk diajak berkelana. Dari Mesir, Syarif Hidayat pergi ke Rum mengunjungi
pamannya, Raja Yutta, lalu ke negeri Cina dan mengabdikan dirinya pada raja Cina. Raja
Cina mempunyai seorang putri yang teramat cantik bernama Ratna Gandum yang jath cinta
kepada Syarif Hidayat. Ketika Syarif Hidayat hendak pulang ke Pulau Jawa, Ratna Gandum
berniat mengikutinya, tetapi dilarang oleh orang tuanya. Meskipun demikian, ia memaksa dan
akhirnya melarikan diri mengikuti Syarif Hidayat. Keduanya selamat sampai di Pulau Jawa
dan menetap di Gunung Jati. Sejak saat itu, Gunng Jati semakin ramai sebagai pusat agama
islam. Tersebutlah Nyi Indang Geulis di Kebon Pesisir. Ia memiliki seorang anak perempuan
bernama Pakungwati yang sudah menginjak remaja dan teramat cantik. Berita tentang wali
yang berasal dari Mekah yang bermukim di Gunung Jati mengingatkan Indang Geulis akan
pesan suaminya. Ia segera bersiap-siap pegi ke Gunung Jati beserta anaknya. Tak lupa pula,
ia membawa kendaga yang ditinggalkan suaminya. Sebelum Nyi Indang Geulis tiba di
Gunung jati, terlebih dahulu telah datang tamu dari Gunung Muria, yakni Syekh Ampeldenta
beserta murid-muridnya. Tujuan utamanya adalah membicarakan penyerangan terhadap
negara Majapahit yang masih beragama Budha. Semuanya sepakat dengan rencana itu.
Menyusul kemudian Nyi Indang Geulis bersama Nyi Pakungwati. Ia menyerahkan kendaga
kepada Syarif Hidayat yang ternyata isinya sorban dan surat dari uaknya, Walangsungsang.
Akhirnya, Syarif Hidayat menikah dengan Pakungwati dan mulailah pembangunan negara
( kota) Cirebon yang dimulai dengan pembangunan alun-alun dan istana yang kemudian
terkenal dengan nama istana Pakungwati.
Pupuh Kesembilanbelas Asmarandana, 18 bait.
Pupuh ini menceritakan kisah Sunan Kalijaga sebagai kisah selingan dalam cerita Sunan
Gunung Jati. Sunan Kalijaga adalah anak Dipati Tuban, Suryadiwangsa. Ia adalah anak
tunggal yang telah menjadi yatim piatu sejak menjelang masa akil-baligh. Nama kecilnya
adalah Nurkamal. Ia bercita-cita ingin menjadi manusia yang terpuji dan mulia. Setiap hari, ia
membagi-bagikan sedekah kepada para menteri dan seluruh rakyatnya. Sedekahnya
dibagikan tanpa pilih bulu, penjudi, pemadat, pemabuk, da para pelaku perbuatan maksiat,
semuanya boleh ikut menghabiskan hartanya. Suatu ketika, uang dan hartanya sudah habis
ketika Nurkamal harus menyelenggarakan selamatan 1.000 hari kematian orang tuanya. Ia
memanggil Patih Sutiman dengan maksud menggadaikan negeri Tuban kepada Patih
Sutiman seharga 2.000 dinar. Akhirnya, negara dan rumah Kadipaten sudah digadaikan. Itu
berarti, ia sudah tidak mempunyai rumah lagi, dan ia berniat untuk bersedekah di pasar. Di
pintu gerbang, Nurkamal bertemu dengan kakek-kakek yang mempunyai dongeng berharg
yang dapat menuntun manusia menuju kemuliaan. Nurkamal bingung sejenak; jika dongeng
dibeli, ia urung sedekah. Jika bersedekah, ia akan kehilangan jalan kemuliaan. Akhirnya, ia
memilih jalan kemuliaan. Nurkamal menyetujui untuk membeli dongeng si Kakek seharga
2.000 dinar. Mulailah si Kakek mendongeng yang berintikan empat hal : Pertama, jangan
suka membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; ketiga, jika mengantuk
jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri yang cantik jangan tergesa-gesa
menidurinya. Si Kakek juga memberi sebuah baju tambal yang bernama si Gundhil yang
berkhasiat dapat berjalan dengan cepat di angkasa dan memberi nama Nurkamal dengan
sebutan syarif Durakhman. Lalu, Durakhman pergi ke Kerajaan rawan, dan mengabdi pada
Adipati Urawan.
Pupuh keduapuluh Pangkur 26 bait,
Adipati Urawan sangat sayang kepada Syarif Durakman.Suatu hari, ia di ajak berburu ke
hutan,tetapi senjata Sang Adipati Urawan tertinggal di istana. Durakman di suruh mengambil
senjatanya. Ketika ia tiba di kadipaten, ia melihat istri adipati sedang bermesraan dengan
Raden Turna, anak Patih Judipati. Durakman segera kembali ke hutan dengan membawa
tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya terbongkar segera menyusul
suaminya ke hutan dengan kereta. Lalu, mengadukan bahwa Durakman telah berlaku tidak
senonoh kepada dirinya. Tanpa pikir panjang, Adipati Urawan menulis sepucuk surat kepada
Patih Judipati yang isinya bahwa orang yang membawa surat harus di bunuh. Jika tidak,
Patih Judipati sendiri yang di penggal kepalanya. Adipati Urawan menjelaskan pada istrinya –
Dewi Srigading–bahwa Durakman akan di bunuh oleh Patih Judipati. Dalam perjalanan,
Durakman bertemu dengan Raden Turna. Keduanya berjalan bersama ke kepatihan. Di
tengah perjalana, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta Durakhman
untuk mencicipi makanan yng dihidangkan. Durakhman teringat pada dongeng si Kakek
bahwa tidak boleh menolak rejeki sehingga ia pun singgah dan ikut berkenduri. Raden Turna
tidak sabar menunggu kenduri sehingga, secara diam-diam, ia mengambil surat untuk
ayahnya. Ia tinggalkan Durakhman dan segera menyampaikan surat tersebut kepada
ayahnya. Setelah membaca isi surat, terpaksa Patih Judipati menuruti isi surat itu : kepala
anaknya segera ia penggal dan Raden Turna meninggal seketika. Tidak lama kemudian,
Durakhman tiba di rumah Patih Judipati yang menyatakan diutus sang Adipati untuk
mengambil mayat Raden Turna. Adipati Urawan terkejut melihat kedatangan Durakman yang
membawa mayatTurna. Durakman lalu menceritakan pengalamannya membeli dongeng
seharga 2.000 dinar. Sang Adipati sadar akan apa yang terjadi, dan memberi petunjuk
kepada Durakman supaya mengabdi pada seorang raja perempuan di negeri Diriliwungan.
Pupuh keduapuluh satu Dangdanggendis, 25 bait.
Di negeri Diriliwungan, Durakman tersesat ke puri di belakang istana.Di sana, ia melihat
banyak kuburan. Kedatangan Durakman diketahui oleh para penjaga. Lalu ia ditangkap dan
dihadapkan pada Ratu Diriliwungan. Ia akan dibebaskan asal bersedia kawin dengan Sang
Ratu. Akhirnya, Durakman bersedia menikahinya. Di malam hari, ketika akan tidur Durakman
teringat kembali akan dongeng si Kakek bahwa istri yang cantik jangan segera ditiduri.
Karenanya, cumbu rayu istrinya tidak ia hiraukan bahkan ia pura-pura tidur. Ratu Diriliwungan
merasa kesal dan sangat lelah sehingga akhirnya tertidur, sementara Durakman hanya duduk
termangu.Tiba-itba dari aurat Ratu Diriliwungan keluar seekor kelabang putih menyerang
Durakman namun berhasil ditangkap dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah
wujud menjadi sebilah keris yang dinamakan keris Kalamunyeng–di kemudian hari, keris ini
menjadi pusaka raja-raja Jawa. Keesokan harinya, rakyat Diriliwugan berkumpul denga
membawa keranda. Ketika ditanya oleh Durakman, mereka menjawab bahwa setiap orang
yang menikah dengan Ratu Diriliwungan, keesokan harinya pasti meninggal. Sementara itu,
Ratu Diriliwungan bersumpah setia kepada Durakman, dan ia memilih menceburkan diri ke
laut yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kidul. Adapun Durakman melanjutkan
perjalanan mencari ilmu ke Ampel. Syekh Ampeldenta yang mengetahui bahwa tamunya
merupakan calon wali penutup tidak berani menerima sembahnya, bahkan mengajar pun ia
tidak berani. Ia hanya memberi petunjuk jalan ke arah kesempurnaan. Durakman dianjurkan
supaya menjadi perampok di hutan Japura dengan nama Lokajaya dan membunuh setiap
orang yang melewati hutan Japura. Tersebutlah Ki Paderesan atau Ki Dares di Gunung
Gajah hendak pergi ke Cirebon mencari guru agama Islam bersama-sama istrinya, Nyi
Mukena. Suami-istri itu berjalan melewati hutan Japura dan bertemu dengan Lokajaya yang
segera menghadangnya. Dalam ketakutannya, suami-istri itu tidak putus-putusnya berdoa
memohon ampunan Allah sehingga ketika pedang Lokajaya bertubi-tubi menghantamnya
ternyata tidak mempan. Akhirnya, Lokajaya memohon ampun kepada Ki Dares dan meminta
brguru kepadanya. Oleh Ki Dares, Lokajaya lalu dikubur hidup-hidup dengan tujuan agar
tubuh Lokajaya bersih dari segala dosa. Pada waktu yang hampir bersamaan, di keraton
Majapahit, Raja Brawijaya sedang menerima kedatangan dua orang putranya dari
Palembang : Raden Patah dan Raden Husen. Raden Husen diangkat menjadi Adipati
Terung, sementara Raden Patah dinasehati supaya bersabar dan diharapkan kelak akan
menjadi raja.
Pupuh keduapuluh dua Sinom, 9 bait.
Raden Patah merasa sakit hati karena ia tidak diangkat menjadi adipati. Ia pun pergi ke
Ampel guna menghadap Syekh Ampeldenta untuk berguru kepadanya. Dalam pada itu,
sudah tiga kali Ampel mencoba menyerang Majapahit, tetapi selalu gagal dan banyak korban
berjatuhan dihajar oleh Adipati Terung. Karena itu, Syekh Ampel mencari orang yang berani
melawa Adipati Terung. Barangsiapa dapat mengalahkan Majapahit, ia akan diangkat
menjadi raja. Raden Patah bersedia memimpin pasukan islam untuk menyerang Majapahit. Ia
lalu diangkat menjadi Adipati Bintaro, sekaligus menjadi senopati.
Pupuh keduapuluh tiga Kinanti, 14 bait.
Cerita kembali ke Ki Dares. Setelah beberapa lama, Ki Dares kembali ke hutan Japura untuk
menggali Lokajaya. Ternyata, tubuh Lokajaya seperti mati dan beratnya seringan kapas.
Sebenarnya , ia sedang’Mikraj’ menemui roh Nabi ( Muhammad). Ia telah mendapat
kesempurnaan dan bergelar Sunan Kali. Ketika Sunan Kali telah sadar, Ki Dares
menganjurkan agar Sunan Kali mencari Sunan Jati. Syarif Hidayat yang sudah mengetahui
kedatangan Sunan Kali menyongsong kedatangan tamunya dengan menyamar sebagai
seorang haji. Lalu, dengan berpura-pura hendak menyampaikan sesuatu kepada Syarif
Hidayat, ia menemui Sunan Kali yang di suruhnya menunggu di pintu gerbang istana. Setelah
meninggalkan tamunya di pintu gerbang, Syarif Hidayat langsung berangkat ke Pajajaran.
Pupuh keduapuluh empat Sinom, 14 bait.
Pupuh ini menceritakan proses pengislaman keraton Pajajaran oleh Sunan Jati. Dicertakan
bahwa Prabu Siliwangi masih bersedih hati karena semua putranya meninggalkan istana,
bahkan pati yang ditugasi mencarinya pun tidak kembali ke kerajaan. Berkat kesaktiannya,
Prabu Siliwangi mengetahui kedatangan cucunya, Sunan Jati. Dalam hatinya, ia merasa malu
kalau sampai tunduk kepada cucunya. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan
ke tengah alun-alun dan membaca mantra aji sikir, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah.
Seketika, negara dan rakyat Pajajaran lenyap yang tertinggal hanyalah sebuah balai. Pusaka
Ecis berubah pula menjadi rumput ligundi hitam. Syarif Hidayat yang datang kemudian
menyebut orang-orang Pajajaran yang bersembunyi di hutan seperti harimau. Seketika itu
juga, orang-orang Pajajaran berubah menjadi harimau. Selama rumput ligundi hitam belum di
cabut, mereka belum akan menjadi manusia. Lalu, Syarif Hidayat pergi ke Lebaksungsang
menemui Cakrabuana yang sedang bertapa sambil bersawah. Cakrabuana diminta pulang ke
Cirebon menghadiri pertemuan para wali. Lalu, ia pergi ke Mengajang menemui Syekh
Bentong yang sebenarnya adalah putra Raja Majapahit bernama Banjaransari yang lebih di
kenal dengan nama Jaka Tarub.
Pupuh keduapuluh lima Kinanti, 28 bait.
Jaka Tarub telah berhasil membuka hutan Penganjang, dan menikah dengan seorang
bidadari. Putrinya, Nawangsari, juga sudah menikah dengan putra Majapahit, Raden Bondan,
yang ikut mengerjakan ladangnya. Jaka Tarub alias Ki Bentong ingin sekali menjadi wali. Ia
bertapa memati raga. Pada suatu saat, ketika tengah berbuka dari tapanya, Syarif Hidayat
datang menjumpainya. Ucapan salam dari Syarif Hidayat tidak dihiraukan karena asyiknya
berbuka. Tiba-tiba, Syarif Hidayat memetik selembar daun api-api, lalu membaca syahadat,
seketika terciptalah seekor bebek yang kemudian merebut makanan Syekh Bentong hingga
habis. Saking marahnya, bebek itu dipukul dan dibanting hingga mati oleh Syekh Bentong.
Syarif Hidayat meminta agar bebeknya dihidupkan kembali, tetapi Syekh Bentong tidak
mampu melakukannya.Dengan membaca syahadat, Syarif Hidayat dapat menghidupkan
kembali bebeknya. Akhirnya, Syekh Bentong sadar bahwa kalimat syahadat itulah yang ia
cari. Lalu, ia menyatakan ingin berguru kepadanya, tetapi oleh Syarif Hidayat hanya
dianjurkan supaya pergi ke Cirebon. Cerita kembali kepada Durakhman yang tengah
menunggu panggilan Sunan Jati. Sudah sembilan bulan ia menanti di pintu gerbang tanpa
tidur sekejappun. Jika merasa lelah duduk, ia berdiri membungkukkan badan. Jika merasa
lelah berdiri, ia pun duduk bersandar di gerbang. Itulah sebabnya di depan istana Cirebon
terdapat sebuah tempat yang dinamakan Lemahwungkuk. Syarif Hidayat yang kemudian
datang menemuinya menyatakan tidak mau mengajar di sembarang tempat karena pelajaran
akan diberikan di tepi sebuah sungai, dan Durakhman harus membawa 100 buah kemiri
untuk menghitung ilmu. Lalu, Durakhman berangkat ke tepi sungai. Beberapa waktu lamanya
ia menunggu, Syarif Hidayat belum juga datang. Karena lamanya menunggu di sungai,
Durakhman memanjat pohon itu. Belum sampai setengah batang, kemirinya berjatuhan ke
sungai. Ia berusaha menyelam ke dalam air, tetapi kemiri tak ditemukannya. Ketika tengah
meraba-raba buah kemiri, tiba-tiba datang air bah, dan Durakhman hanyut terbawa air hingga
ke laut dan tenggelam ke dasarnya. Di dasar laut, ia melihat sebuah pulau yang cemerlang
dengan hiasan aneka warna yang dikenal dengan nama Pulau Hening.
Pupuh keduapuluh enam Balakbak, 22 bait.
Di Pulau Hening, Durakhman bertemu dengan Nabi Kilir (Nabi Khidir) yang menasehatinya
agar bertapa di Gunung Dieng. Nabi Kilir memberi bekal sebuah pisau. Ketika Durakhman
tengah bertapa, tangannya mencoret-coret tanah membuat gambar-gambar yang tersusun
menjadi sebuah cerita wayang. Gambar-gambar wayang di tanah itu ternyata lepas menjadi
wayang-wayang yang dapat melakonkan segala macam cerita. Setelah wayang-wayang
tersebut lengkap, tiba-tiba ada cahaya gemerlapan. Pisau di tangan Durakhman seketika
lenyap dan sebagai gantinya tampak seorang pertapa. Ternyata, pertapa itu adalah seorang
raja zaman Budha bernama Konteya Darmakusuma atau Judhistira. Waktu itu, ia belum
bernama Samiaji. Dialah yang dulu memiliki azimat Kalimasada. Judhistira menceritakan
seluruh cerita wayang kepada Durakhman. Terakhir, ia menyerahkan Surat Kalimasada yang
selama dipegangnya belum pernah ia baca karena tidak dapat membaca apa yang tertulis
didalamnya. Durakhman kemudian membaca Surat Kalimasada diikuti oleh Konteya
Darmakusuma. Sejak saat itu, Judhistira bernama Samiaji karena sama-sama mengkaji Surat
Kalimasada dengan Durakhman. Dengan nama Samiaji, berarti pula ia menjadi pemeluk
agama islam. Lalu, Durakhman meminta agar Samiaji pergi bersama ke Gunung Jati. Samiaji
belum bersedia, tetapi ia berjanji suatu saat akan datang ke Cirebon apabila Gunung Jati
memancarkan sembilan cahaya.
Pupuh keduapuluh tujuh Durma, 33 bait.
Cerita kembali ke keraton Majapahit. Ketika itu, Raja Brawijaya mengutus Adipati Terung
untuk memanggil Raden Patah ke Majapahit karena Brawijaya berniat menyerahkan tahta
kepadanya. Adipati Terung berusaha mencari Raden Patah sampai ke bonang, tetapi Raden
Patah tidak mau pergi ke Majapahit sebelum rajanya masuk islam. Adipati Terung terus
memaksa, sementara Raden Patah tetap bertahan. Akhirnya, tidak ada jalan lain kecuali
mempersiapkan pasukan untuk berperang. Para Bupati Tuban, Tegal, Waleri, Lumajang, dan
Japan yang diharapkan membantu Majapahit ternyata tidak ada yang bersedia. Semuanya
berpihak kepada para wali. Tinggal Adipati Terung seorang yang memimpin tentara
Majapahit. Meskipun demikian, dalam peperangan yang berlangsung, pasukan Bonang tidak
mampu melawan pasukan Majapahit.
Pupuh keduapuluh delapan Pangkur, 11 bait.
Adipati Terung—dengan menggenggam keris pusaka si Gagak—maju ke medan perang. Tak
seorangpun tentara Bonang yang berani melawan Adipati Terung. Demikian pula Raden
Patah, ia pun kalah dan terlempar ke Gunung Kumbang.
Pupuh keduapuluh sembilan Dangdanggula, 17 bait.
Raden Patah yang terlempar ke Gunung Kumbang bertapa disana tujuh bulan lamanya.
Kemudian, ia mendapat petunjuk Tuhan bahwa untuk mengalahkan Adipati Terung ia harus
berguru kepada Sunan Jatipurba di Cirebon sebagai Puseurbumi. Ia pun segera berangkat
menuju ke sana. Di Losari, ia bertemu dengan seorang tua yang memberinya sebuah panah
bernama si Hantu. Orang tua itu tidak lain adalah Sunan Jati. Dalam peperangan yang
berlangsung kemudian, Raden Patah berhasil membunuh adiknya sendiri, Adipati Terung
dengan panah Hantu.
Pupuh ketigapuluh Sinom, 22 bait.
Meskipun panglima perangnya telah gugur, raja dan para pembesar Majapahit tetap tidak
mau memeluk agama islam. Panembahan Paluamba membaca aji sikir yang berakibat raja
serta para pembesar Majapahit menghilang ke dunia siluman, dan berkumpul di
Tunjungbang. Cerita kembali pada kisah para wali yang tengah berkumpul di Bonang mereka
sepakat untuk menemui Syarif Hidayat di cirebon. Disana, Raden Patah diresmikan menjadi
raja di Bintaro, dan dinikahkan dengan kemenakan sunan Jati yang berasa dari Mesir, Nyi
Mas Ratu Pulunggana. Setelah pertemuan tersebut, para wali seluruhnya kembali ke Demak
untuk merayakan penobatan dan pernikahan Raden Patah. Sementara itu, durakhman yang
telah menyelesaikan tapanya di Gunung Dieng langsung pergi ke Cirebon. Segala sesuatu
yang diperolehnya di Dieng ia bawa. Setibanya di istana, ternyata baru saja para wali
meninggalkan cirebon menuju Demak. Tetapi, baru saja ia beranjak pergi, terdengar suara
mempersilahkan duduk yang keluar dari meja dan kursi, tanpa seorangpun. Tak lama
kemudian, keluar teko serta cangkir mempersilahkan minum. Agak bingung juga Durakhman
menyaksikan semua itu. Akhirnya, ia duduk saja menunggu disana selama sembilan malam.
Pupuh ketigapuluh satu Asmaranda, 19 bait.
Pupuh ini menceritakan pertemuan para wali di Cirebon. Ketika Sunan Gunung Jati baru
kembali dari Mekah, ia membawa batu Mukadas dan peta kota Mekah untuk dijadikan contoh
pembuatan masjid agung. Bersamaan dengan itu, para wali pun berdatangan ke Cirebon.
Ketika melihat Syarif Hidayat, Pangeran Tuban bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif
Hidayat justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, lalu
menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat Syahadat.
Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati yang di dalamnya tidak terlihat
adanya tulisan, bahkan para wali pun tidak ada yang dapat melihat selain Pangeran Tuban.
Kitab tersebut ternyata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali. Menurut kitab
tersebut, Syarif Hidayat bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon; Syekh Giri Gajah bergelar Sultan
Giri Gajah; Syekh Kamarullah bergelar Kanjeng Sunan Bonang; Ki Cakrabuana bergelar
Sunan Jelang, Syekh Bentong bergelar Suhunan Bentong; Syekh Nusakambangan bergelar
Sunan Kudus; Pangeran Kendal bergelar Pangeran Karangkendal atau Sunan Kedaton;
Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita; Pangeran Kajoran bergelar Sunan Kejamus
atau Pangeran Kejaksan; dan wali penutup Suhunan Kalijaga bergelar Suhunan Adi. Pada
kesempatan itu, para wali membuat singgasana kerajaan dan masing-masing mengeluarkan
ilmunya berupa cahaya sehingga berpencaran sembilan macam cahaya yang memancar
sampai ke gunung Dieng—mengingatkan pada janji Samiaji yang akan segera datang ke
Cirebon bila ada sembilan cahaya bersinar. Ternyata, Samiaji tidak bersedia menerima
sembah para wali. Tak lama kemudian, ia meninggal dan dikebumikan di Jatimulya.
Pupuh ketigapuluh dua Sinom, 18 bait.
Seorang murid syarif Hidayat bernama Ki Gedeng Palumbon sudah tiga tahun belajar agama
islam, namun merasa bosan karena berulang kali ia hanya hanya disuruh menghafal kalimat
syahadat. Akhirnya, ia mengundurkan diri karena kecewa terhadap pelajaran yang
diterimanya. Ia pun kembali ke kampung halamannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Ki
Gedeng Kemuning yang hendak berguru kepada Sunan Jati. Ki Gedeng Palumbon berusaha
mempengaruhi Ki Gedeng Kemuning karena menurutnya untuk apa berguru kepada Sunan
Jati yang diajarkannya hanya syahadat, azan, komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng
Kemuning tidak terpengarh oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan
Jati. Oleh Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak, Ki
Kaliwedhi, Ki Gedeng Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki Gedeng Mundu, Kiyai
Wanasaba, dan Ki Kalijati diajarkan berbagai macam ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat,
puasa, dan berbagai jenis tarekat, seperti Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muhammadiyah.
Selesai berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak lama kemdian, ia meninggal.
Jenazah Ki gedeng Kemunig membengkak besar sekali. Kebetulan, Ki gedeng Palumbon
juga melayat. Mayat yang membesar itu, menurut Ki Gedeng Palumbon, disebabkan oleh
ilmu yang diajarkan Sunan Jati. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang murid Sunan Jati
yang berasal dari Gebang bernama Kamil. Kedatangannya berniat memandikan mayat. Mula-
mula, mayat Ki Gedeng Kemuning menjadi semakin besar dan mengeluarkan bau busuk.
Lalu, mengecil dan berganti menyebarkan bau harum. Melihat keadaan itu, Ki Gedeng
Palumbon terkejut dan kagum. Ia pun kembali ke Cirebon dan ingin berguru lagi kepada
Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, ia disuruh bertapa di Gunung Cigugur.
Pupuh ketigapuluh tiga Kinanti, 38 bait.
Pupuh ini menceritakankisah sayembara memperebutkan Putri Panguragan. Nyi Panguragan
atau Ratu Emas Gandasari mengadakan sayembara : Barang siapa yang mampu
mengalahkan dirinya, jika ia laki-laki, dialah yang akan menjadi suaminya. Melalui sayembara
itu, banyak orang yang ingin tampil untuk mencoba kesaktiannya guna mengalahkan
Gandasari. Tetapi, tak seorangpun yang dapat mengalahkannya hingga datanglah seorang
satria dari negeri Syam bernama Pangeran Magelung. Dinamai Pangeran Magelung karena
rambutnya digelung karena sejak kecil hingga dewasa tidak ada pisau cukur yang mempan
untuk memotong rambutnya. Ia pergi ke Cirebon untuk menemui sunan Jati. Setibanya di
Karanggetas, ia bertemu dengan seorang kakek-kakek yang mampu memotong rambutnya
hanya dengan jari tangan. Ketika Magelung menoleh, kakek yang menggunting rambutnya
sudah tidak ada. Lalu, Magelung meneruskan perjalanan hingga sampai di tempat
sayembara dan memasuki arena pertandingan. Dalam pertandingan ini, Ratu Emas
Gandasari ternyata dapat dikalahkan oleh Pangeran Magelung. Ketika hampir tertangkap,
gandasari berlindung pada Sunan Jati.
Pupuh ketigapuluh empat Dangdanggula, 14 bait.
Akhirnya, Pangeran Magelung dijodohkan dengan Ratu Emas Gandasari. Namun, mereka
berjanji tidak akan berkumpul selagi masih di dunia, kecuali kelak di akhir zaman. Menurut
kitab Babul, kediaman Ratu Emas Gandasari tidak hanya satu. Kadang-kadang, ia berada di
Pulau Kuntul (Bangau). Sekarang, pulau bangau itu bernama pulau Kencana atau pulau
Karas atau di bangsal Karangsuwung. Jika ke barat, ia tinggal di Ujungsori. Dalam pada itu,
para wali—Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus—sering berkumpul
untuk membicarakan syareat Rasul, usul fikh, serta kitab Fakulwahab.
Pupuh ketigapuluh lima Menggalang, 17 bait.
Pupuh ini menceritakan persiapan Kerajaan Galuh yang berniat menyerang Keraton Cirebon.
Pada suatu hari, Raja Galuh mengumpulkan para ponggawanya, antara lain, Sanghyang
Gempol, Sanghyag Sutem, Celengigel, Dalem Ciomas, dan Dalem Kiban guna
membicarakan negara Cirebon di bawah pimpinan Sunan Jati. Pertemuan tersebut
mengambil keputusan, yakni meminta pajak terasi. Para senapati galuh telah mempersiapka
diri, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyang Sutem, Dalem Kiban, Dalem Ciamis, Dalem
Ciomas, Suradipa, dan Kyai Limunding. Setelah persiapan selesai, pasukan Galuh segera
berangkat menuju Cirebon.
Pupuh ketigapuluh enam Sinom, 8 bait.
Dalam perjalanan menuju Cirebon, pasukan Galuh mengadakan perkemahan di perjalanan.
Sementara itu, Pangeran Arya Kemuning anak Ki Gedeng Kemuning sangat rindu pada
Sunan Jati dan bersiap-siap hendak menghadap ke Cirebon diiringi oleh Patih Waruangga
dan Anggasura, serta para mantri.
Pupu ketigapuluh tujuh Dangdanggula, 15 bait.
Barisan pasukan dari kuningan yang berjalan ke arah barat bertemu dengan pasukan Galuh.
Bersamaan dengan itu, Raden Patah juga pergi ke Cirebon—saat para wali masih berkumpul
untuk membangun masjid dan mendiskusikan agama Islam.
Pupuh ketigapuluh delapan Asmaranda, 13 bait.
Kedatangan Sultan Demak di Cirebon bermaksud membicarakan perkawinan putrinya
Pulungnyawa dengan putra Sunan Jati. Perkawinan akan segera dilangsungkan di Demak.
Ketika para wali bersiap-siap hendak berangkat ke Demak, datanglah Arya Kuningan yang
mengabarkan adanya pasukan Galuh yang akan menyerang Cirebon. Namun, para wali tetap
berangkat ke Demak, sementara musuh dari Galuh diserahkan kepada Arya Kemuning yang
segera mengatur barisannya di Gunug Gundul.
Pupuh ketigapuluh sembilan Durma, 24 bait.
Utusan Arya Kemuning, Ki Anggarunting, ditugasi menyelidiki kekuatan pasukan Galuh. Ia
pergi bersama Ki Anggawaru. Tak lama kemudian, Ki Anggarunting bertemu dengan
Dipasara dan Kyai Limunding dari pihak Galuh. Dalam pertempuran pertama, pasukan
Kuningan terdesak. Arya Kemuning maju membantu yang membuat barisan Palimanan
berantakan. Barisan pasukan Ciamis pun diterjang oleh kuda tunggang Arya Kemuning yang
bernama Wisnu.
Pupuh keempat puluh<>
Pasukan Galuh yang dipimpin oleh senapati Dipati Kiban yang mengendarai seekor gajah
terus melakukan serangan. Serangan Dipati Kiban ini dihadapi oleh Dalem Kuningan.
Pupuh kempatpuluh satu Pangkur, 27 bait.
Perang tanding antara Arya Kemuning yang mengendarai kuda Wisnu melawan dipati Kiban
yang mengendarai gajah berlangsung seimbang dan lama sekali. Meskipun sudah
berlangsung lama, namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah. Demikian asyiknya
mereka berlaga, dorong mendorong hingga ke ujungtuwa di tepi pantai. Tak ayal lagi, dua-
duanya tercebur ke laut dan lenyap dari pandangan mata. Melihat senapatinya lenyap, kedua
belah pihak mengundurkan diri dan melapor kepada rajanya masing-masing.
Pupuh keempatpuluh dua Sinom, 18 bait.
Kuwu Sangkan alias Cakrabuwana memohohon izin kepada Sunan Jati untuk membantu
pasukan Kuningan ke medan perang. Tetapi, Sunan Jati tidak menyetujuinya. Ki Kuwu
Sangkan tetap memaksakan diri, dan ia pun berangkat ke medan perang. Ki Kuwu Sangkan
seperti orang linglung. Ia pun tersesat ke gunung Panawarjati, dan akhirnya tafakur disana.
Kemudian, sepeninggal Kyai Sangkan datanglah Anggasura yang melaporkan keadaan
peperangan kepada Sunan Jati hingga hilangnya Arya Kemuning bersama Dalem Kiban.
Munurut Sunan Jati, keduanya masih tetap bertempur di lautan. Kemudian pihak Cirebon
menyusun bala bantuan dan segera diberangkatkan ke medan perang d bawah pimpinan
Patih Keling. Dalam pertempuran lanjutan, pasukan Cirebon beserta para Manggalayuda
terdesak hebat oleh pasukan Galuh. Kesaktian para pemimpin pasukan Galuh tak terlawan
oleh para panglima pasukan Carbon. Pada waktu itu, prajurit sudah tidak ikut bertempur.
Mereka hanya disuruh bersorak-sorai memberi semangat kepada para pimpinannya yang
sedang melakukan perang tanding. Tetapi, karena pimpinannya terdesak, mereka pun lari
mengundurkan diri.
Pupuh keempatpuluh tiga Pangkur, 10 bait.
Pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur, Ki Kuwu Sangkan masih tetap bertafakur di
gunung Panawarjati. Ia menyesal karena telah mendahului kehendak kemenakannya, Sunan
Jati. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang berasal dari sebatang pohon randu yang isinya
menyatakan bahwa ia telah dimaafkan oleh kemenakannya dan diminta segera membantu
pasukan Cirebon yang sedang terdesak. Cakrabuwana alias Ki Kuwu Sangkan langsung
menuju medan pertempuran. Ia mendengar suara di angkasa yang menantang Sunan Jati.
Itulah suara Sanghyang Gempol, salah seorang sakti dari Galuh yang mengendarai kuda
terbang. Cakrabuwana teringat akan segala jenis pusakanya seperti badhong, bareng,
kopiah, umbul-umbul, dan golok Cabang segera melesat ke udara mengejar Sanghyang
Gempol. Ke arah mana pun Sanghyang Gempol pergi dan bersembunyi, golok selalu
membuntuti.
top related