bab iv analisis penafsiran jamal al-banna mengenai …repository.uinbanten.ac.id/3305/6/bab...
Post on 12-Jul-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
42
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN JAMAL AL-BANNA MENGENAI
AYAT-AYAT PLURALITAS DAN RELASI ANTAR AGAMA
A. Klasifikasi ayat-ayat Pluralisme
Selama kurun waktu yang lama, sejak Alquran memaklumatkan
ketauhidan tuhan, umat muslim telah menjauh dari roh itu. Para
pemuka umat adalah yang pertama mengakui berulang kali bahwa amal
telah digantikan oleh sekedar profesi dan bahwa semangat telah
memudar.1
Sebagaimana Alquran sebagai kitab suci maupun sebagai
pedoman hidup sangat menghargai adanya pluralitas. Pluralitas oleh
Alquran dipandang sebagai sebuah keharusan. Artinya bagaimanapun
juga sesuai dengan “sunatullah”, pluralitas pasti ada dan dengan itulah
manusia akan diuji oleh Tuhan untuk melihat sejauh mana kepatuhan
mereka dan dapat berlomba-lomba dalam mewujudkan kebajikan.
Oleh karena itu, maka dibagi menjadi beberapa bagian
pluralisme seperti:
a. Pluralisme Manusia.
Memahami Alquran sebagai pluralitas atas nama agama bahwa
rahasia kemajemukan hanya diketahui oleh Allah, dan tugas manusia
adalah menerima, memahami dan menjalani, seperti terdapat dalam
surat al-Hujurat ayat 13:
1 Huston Smith, Agama-agama Manusia…, p.302
43
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Surat ali-Imran ayat 84:
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan
kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-
Nyalah Kami menyerahkan diri."
Surat Huud ayat 118-119:
44
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat,
(118). Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan
untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-
Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka
Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”
b. Pluralisme Syari’at
Dalam surat an-Nahl ayat 93 juga membahas terkait pluralisme:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu
umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu
kerjakan.”
c. Pluralisme Agama.
Alquran juga membahas tidak ada paksaan dalam beragama
pernyataan dapat dilihat dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
45
tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.”
Surat Saba’ ayat 24-25:
“Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari
langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami
atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau
dalam kesesatan yang nyata (24). Katakanlah: "Kamu tidak akan
ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan
Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat" (25).”
Paparan ayat tersebut diatas mengajarakan bahwa dalam hal
memilih agama, manusia diberikan kebebasan untuk memahami dan
mempertimbangkannya sendiri. Dalam kon teks ini, Thabathaba’i
berpendapat bahwa karena agama merupakan rangkaian imiyah yang
diikuti amaliyah (perwujudan perilaku) menjadi satu kesatuan
i’tiqadiyah (keyakinan) yang merupaka persoalan hati, maka
bagaimanapun agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun.2
2 Muhammad Hasan Thabathaba’I, al-Mizan fii Tafsir Alquran, (Qum Al-
muqaddas Iran: Jamma’at Al-mudarrisin fi Hauzati al-Ilmiyah, 1300H), p. 342
46
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu
Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut
apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
untuk tiap-tiap umat diantara kamu. Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-
Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
Dalam ayat diatas membahas setelah Allah menceritakan kitab
Taurat yang diturunkan kepada Musa As, dan Allah telah memuji dan
menyanjung kitab tersebut, serta memerintahkan untuk mengikuti isi
kitab Taurat itu, karena ia kitab yang pantas diikuti, dan juga
menceritakan kitab Injil, memuji, dan memerintahkan pemeluknya
menegakkan dan mengikuti semua yang dikandungnya, sebagaimana
yang telah dijelaskan, maka Allah mulai menceritakan Alquran yang
diturunkan kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, maka turunnya Alquran
itu adalah sesuai dengan apa yang diberitakan didalam kitab-kitab
tersebut, yang mana hal itu akan menambah kebenarannya bagi
pembacanya, dari kalangan orang-orang yang berpikir, yang tunduk
47
kepada Allah, dan mengikuti syari’at-syari’at-Nya, serta membenarkan
para Rasul-Nya.3
d. Pluralisme Perbedaan.
Dalam surat al-Hajj ayat 22 membahas ajakan berbuat damai
tanpa ada pertikaian tentang keagamaan:
“Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran
kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya.
(kepada mereka dikatakan), "Rasailah azab yang membakar ini".
Dalam surat ali-Imran ayat 64 membahas suatu perbedaan
merupakan “sunatullah”dan memang seharusnya perbedaan hanya
dilakukan untuk menyampaikan kebenaran:
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
3 M. Abdul Goffar, Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 3), (Bogor: Pustaka Imam
Syafi’I, 2003), Cet. ke 2, p. 114
48
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika
mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
dalam surat al-Hajj ayat 22 membahas ajakan berbuat damai
tanpa ada pertikaian tentang keagamaan:
“Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran
kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya.
(kepada mereka dikatakan), "Rasailah azab yang membakar ini".
Surat al-Baqarah ayat 113:
“Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu
tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata:
"Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," Padahal
mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. demikian pula orang-orang
yang tidak mengetahui, mengatakan seperti Ucapan mereka itu. Maka
Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-
apa yang mereka berselisih padanya.”
Dan ayat Alquran lain yang membahas pluralitas dalam
memberi hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk
agama lain dalam surat al-An’am ayat 108:
49
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Dalam ayat diatas membahas bahwasanya Allah berfirman,
melarang terhadap Rasul-Nya Muhammad Saw. dan orang-orang yang
beriman dari mencaci ilah-ilah kaum musyrikin, meskipun cacian itu
mengandung kemaslahatan, namun hal itu menimbulkan kerusakan
yang lebih besar daripada kemaslahatan itu sendiri, yaitu balasan
orang-orang musyrik dengan cacian terhadap ilah orang-orang
mukmin, padahal Allah adalah “Rabb, yang tiada ilah (yang berhak
diibadahi) selain Dia”.4
Oleh karena itu, dalam pembagian-pembagian klasifikasi ayat-
ayat pluralisme, agama Islam memang membahas bahwasanya tidak
usah mengusik agama non-muslim karena dasar agam Islam sendiri itu
adalah keselamatan, dan jalan umum keselamatan bagi seorang muslim
adalah mengikuti perintah-perintah Allah dan teladan Rasul, serta
mentaati hukum. Muslim hendaknya melaksanakan imannya dengan
4 M. Abdul Goffar, Tafsir Ibnu Katsir…, p. 272
50
menjalankan pujaan (doa, ritual, ramadhan, ziarah) dengan
memperhatikan kaum fakir miskin. Karena gagasan doa dalam Alquran
adalah perlawanan terhadap perintah-perintah dan keputusan ilahi.5
B. Penafsiran Ayat-ayat Pluralitas dan Relasi Antar Agama
Menurut Jamal al-Banna
Sebagaimana diketahui Jamal al-Banna memang seorang
muffasir yang memiliki banyak karya walaupun tidak mempunyai
Tafsir khusus, hanya menafsirkan ayat-ayat yang dia teliti. Seperti
membahas ayat-ayat pluralitas, karena pembahasan pluralitas agama itu
selalu menjadi pembahasan menarik di era global ini, maka salah dan
benar tidak mungkin diterapkan dalam agama-agama, sebab setiap
agama mewakili salah salah satu kebutuhan dari manusia. Perbedaan
yang ada adalah karena disebabkan oleh perbedaan kebutuhan,
pengalaman, waktu dan lingkungannya.
Oleh karena itu, beberapa ayat Alquran bisa memperkuat alasan
adanya kebebasan berkeyakinan, dengan menerima kehadiran agama
lain dan menyerahkan urusan perbedaan yang ada kepada Allah.6
Jamal al-Banna juga membahas ayat Alquran yang
membicarakan perihal orang-orang Yahudi dan Nashrani dengan
netralitas dan kejujuran yang melampaui penelitian paling obyektif
sekalipun. Maka relasi antar agama bisa terbangun dari saling
menyikapi oleh setiuap umat, dan manakala orang-orang Yahudi begitu
bengis dan fanatis menentang Rasulullah, dalam surat al-Imran ayat 84:
5 Mariasusai Dhavamoni, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius,
1995), p. 313 6 Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarkat Islam…, p.36
51
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan
kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-
Nyalah Kami menyerahkan diri.”
Alquran juga membahas penolakan saat orang Yahudi meminta
nabi Muhammad Saw. untuk menjadi hakim diantara mereka,
disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 43:
“Dan Bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim
mereka, Padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada)
hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari
putusanmu)? dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang
beriman.”
Alquran juga berbicara mengenai Injil dalam surat al-Maidah
ayat 47:
52
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
Alquran memberikan petunjuk dalam menilai agama lain.
Pertama sekali adalah dengan menyerahkan penilaian tersebut kepada
Allah.7 Dan memang ketika berbicara relasi antar agama, Islam yang
paling terdepan berbicara tentang hak dan toleransi terhadap agama lain
pun, meskipun umat muslim dizaman modern ini banyak sekali yang
fanatik sekali terhadap agamanya sendiri walaupun sebenarnya dalam
Alquran berkata dengan kata-kata tegas dalam surat al-Maidah ayat
105:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah
orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu
telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali
semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.”
Konsep pluralitas juga dibahas dalam surat al-Qalam ayat 7:
7 Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam.., p.39
53
“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui
siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Menurut penafsiran Jamal terkait ayat-ayat pluralisme dalam
Islam memiliki karakter tersendiri, yang bisa membedakannya dari
masyarakat selain islam. Karenanya, pluralisme tidak mesti harus
menghilangkan ciri khas "kepribadian" yang dimiliki oleh masyarakat
Islam. Masyarakat Mesir misalnya, dengan watak khasnya tidak lantas
mesti bertentangan dengan ciri khas yang dibawa oleh Islam.8 Dan
kedua ciri khas itu tidak bertentangan dengan pluralisme. Bahkan, ciri
khas yang ada pada masing-masing masyarakat terbilang sebagai hal
yang bisa saling melengkapi dan menjadi jati diri mereka. Dapatlah
diumpamakan seperti ibu bapak, atau contoh yang lebih khusus, yaitu
seorang ibu akan menurunkan sifat luhur pada anak-anaknya mulai
jenjang kanak-kanak. Lalu, seorang anak mendapatkan pengetahuannya
dari bangku sekolah atau dari berbagai media informasi.
Ketidakpahaman terhadap Islam bisa menodai makna pluralisme atau
mempersempit makna kandungannya. Atau bisa jadi, mengambil model
lain selain prinsip pluralisme ini.
Ciri khas dari bentuk pluralisme yang bisa ditemukan dan mesti
ada dalam masyarakat Islam maupun non Islam, adalah kebebasan yang
tidak mengenal batas ikatan. Seperti halnya, apa yang terjadi antara
masyarakat islam dan Mesir. Keduanya bisa berinteraksi dan tidak
8 Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam… p. 76
54
saling menjalankan perannya masing-masing. Bisa dikatakan bahwa
kebebasan berfikir dihasilkan dari ciri khas Islam yang otentik.
Jikalau, iman bersemayam dalam diri individu dan dijalankan
dengan mengikuti "aturan main”, yaitu dengan cara Hikmah dan
nasehat yang baik (Maidhah Hasanah), maka akan digapai kebaikan
dengan menipis perlawanan. Pada akhirnya, dengan mencurahkan
segenap usaha dan kemampuan secara maksimal bisa memperoleh
keberhasilan dan bisa menemukan solusi.9
Dalam waktu yang sama, kebebasan yang dijalankan oleh
pesaing, dalam mengungkapkan pandangan pemikiran mereka juga
perlu menjaga dan mengikuti aturan mainnya, dengan tidak berusaha
menjerumuskan pendapat orang-orang yang menginginkan perbaikan
(ishlah) dan membebaskan diri dari pengaruh masa lalu. Jika,
kebebasan dilakukan sampai pada tahap melampaui batas yang tidak
bisa dikontrol lagi, maka akan bisa menyebabkan terjadinya
kegoncangan dari pemikiran ke kegoncangan tindakan. lni memiliki
imbas negatif terhadap perekonomian dan permasalanan negara,
kenyataan yang jelas tidak diinginkan.
Jika, sektarianisme dan kedangkalan pandangan mengusai
pemikiran masyarakat seperti terjadi di banyak negara-negara Arab dan
Islam, maka prinsip pluralisme mengalami hambatan dan bakalan
berangsur merembet dari pemikiran menjadi paradigma "gerakan
kekuatan” atau sikap menekan dengan tindakan perang. Tiada solusi
"penyembuh” yang siap tersedia. Penyelesaian terdekat yang bisa kita
9 Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam… p. 77
55
dapati adalah sebagaimana apa yang ditawarkan oleh Alquran dalam
surat ali Imran ayat 64:
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika
mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Jamal mengatakan salah satu bentuk pluralisme adalah
pengetahuan mengenai tatakarama bersepakat dan berselisih pendapat
dalam Islam, sebagaimana sudah kami uraikan dalam pembahasan yang
lampau.10
Hak pengaturan yang mutlak hanya milik Allah semata itu
mengharuskan manusia tidak memiliki hak kewenangan untuk
menetapkan maksud dan tujuan hidupnya sendiri di dunia, sekaligus
tidak ada hak baginya untuk menentukan cara-cara dalam mencapai
tujuan dan cita-cita hidupnya itu.11
10
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam… p. 78 11
Jamal al-Banna, Relasi Agama dan Negara…, p. 117
56
C. Aktualisasi Penafsiran Jamal al-Banna atas Perbedaan dan
Kesepakatan Pluralitas dan Relasi antar Agama dalam Masyrakat
Islam.
Ayat-ayat tentang pluralisme yang telah dibahas tadi
sebelumnya memberikan pengertian adanya sumber utama pluralisme
dan merupakan sebuah gambaran khusus yang diberikan oleh Islam
tentang keberadaan masyarakat manusia. Seperti yang sudah
dipaparkan tadi, masyarakat Islam adalah bagian masyarakat manusia.
Meskipun dengan berbagai keistimewaan yang dimiliki, apa yang
menimpa pada masyarakat manusia akan pula menimpa pada
masyarakat Islam sesuai dengan kadar keberadaannya.
Ketika sebuah masyarakat terdiri dari jutaan manusia dan
beribu-ribu institusi, maka ini pluralisme merupakan suatu keniscayaan
dan kenyataan obyektif. Selain itu, tidak ada institusi pun yang mampu
menguasai kebenaran. Kebenaran sangatlah luas dan mendalam, lebih
luas dan mendalam dibandingkan dengan kemampuan orang atau
institusi. Keterbatasan manusiawi menjadi penghalang dalam meraih
kebenaran secara mutlak. Egoisme yang menguasai diri dan pandangan
seorang yang membuatnya tidak mampu memahami, kecuali sejengkal
saja dari kebenaran.12
Oleh karena itu, memahami toleransi pluralisme sangat
kontradiksi dengan konteks intoleransi dalam pluralisme. Seperti yang
dikutip mengenai pluralisme religius Hick, merupakan bentuk
dukungan terhadap sintesis doktrinal yang dipaksakan. Ia tidak
12
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam masyarakat Islam…, p. 56
57
mengijinkan adanya perbedaan yang paling prinsip dalam keyakinan
beragama. Tak peduli betapa pun gigihnya penganut Budha atau Hindu
menyangkal adanya sifat manusiawi dari realitas absolut dan tak peduli
bagaimana pun bersemangatnya penganut Kristen justru menegaskan
hal itu, Hick akan tetap menyatakan bahwa tidak ada konflik yang
nyata. Masing-masing hanya semata-mata mengekspresikan bentuk
jalan mereka untuk mencapai yang mutlak. Cara ini gagal dalam
memberikan penyelesaian yang adil bagi perbedaan dan konflik yang
selalu ada di antara para pemeluk agama-agama di dunia. Pada saat
pluralisme religius ditawarkan sebagai suatu teologi toleransi, ternyata
terbukti tidak toleran pada perbedaan-perbedaan religius yang benar-
benar nyata.13
Pluralisme secara alami menampung adanya perbedaan-
perbedaan, sembari menerimanya. Kenyataan ini harus diyakini sebagai
bagian tak terpisahkan dari masyarakat, dan mustahil menghindarinya.
Masalah ini memang nampak sebagai sesuatu yang baru sama sekali
bagi orang-orang uang berperadaban secara primitive atau penganut
Islam yang jumud dan tunggal.14
Disinilah relasi antar agama harus dibentuk, dimana konflik
agama tidak henti-hentinya menjadi buah bibir pembicaraan
masyarakat ataupun para pemuka umat. Oleh karena itu, dalam
menciptakan hidup bersama secara harmonis, dikalangan penganut
agama selalu terjadi dua bentuk sikap. Pertama, saling mengharagai
dan menghormati itu berjalan secara formalistik. Artinya seorang
13
Muhammad Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama, (Jakarta:
Lentera Basritama, 2002), p.95 14
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam…, p.56
58
menghormati orang yang beragama lain hanya karena kepentingan
politik. Misalnya karena sama-sama mendiami dunia yang satu,
manusia tidak pantas saling membunuh, saling menindas, dan saling
mengusir. Atau karena sama-sama satu bangsa dan Negara,
sepantasnyalah umat beragama saling rukun demi cita-cita bersama.
Kedua, penghormatan terhadap orang yang menganut agama
lain muncul bukan karena kepentingan politik semata, tetapi lebih dari
itu adanya kesadaran bahwa agama-agama yang dianut manusia dibumi
ini memiliki ajaran yang didasarkan pada teks-teks suci akar harmonis
dalam bentuk titik temu yang sangat mendasar.15
Dan awal mula agama itu berasal dari nabi Ibrahim As. yang
merupakan bapak para agama, disini nabi Ibrahim melahirkan dua
orang putra yaitu Ismail yang sekarang menjadi rujukan atsar (jejak)
bagi kaum muslim, sedangkan Ishak yang sekarang masih menjadi
panutan kaum Yahudi. Konflik-konflik keagamaan semuanya mulai
disini perdebatan, perselisihan, dan perbedaan-perbedaan pendapat.
Perbedaan paling penting adalah bahwa orang Yahudi
menyatakan dalam bukunya bahwa Ishak sebenenarnya merupakan
orang yang ditakdirkan untuk dikorbankan. Sedangkan kaum muslim
berkata bahwa korban yang telah ditentukan adalah Ismail. Ini sesuai
dengan ucapan nabi, “Aku adalah putra dari dua orang yang
dikorbankan”. Yakni Ismail dan ayah nabi sendiri, Abdullah, Abdul
Muthallib, kakek nabi, bernazar bahwa jika Allah memberinya seorang
putra, dia akan mengorbankan salah satunya. Ketika harapannya
15
Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2015), p. 350
59
terpenuhi, dia membagikan jerami undian kepada anak-anaknya. Jerami
penentu itu jatuh ke Abdullah. Abdul Muthallib kemudian
membebaskanAbdullah dengan megorbankan seratus ekor unta.
Kepercayaan kaum muslim bahwa Ismail merupakan calon
korban yang telah ditentukan, diperkuat oleh perayaan salah satu
peristiwa besar dalam agama mereka. Hari raya korban dengan
mengorbakan kambing dan binatang lainnya. Hari raya ini jatuh pada
hari yang sama ketika Ibrahim bermaksud mengorbankan putranya.16
Oleh karena itu, kita harus menolak jauh-jauh kesimpulan
tentang Ishak sebagai korban yang ditakdirkan.Sebagaiamana kita
ketahui untuk mendefinisikan komponen apa saja yang dibutuhkan
demi tercapainya pluralisme dan relasi antar agama di dalam
masyarakat Islam, maka pertama kali yang kami utarakan adalah
"kebebasan” sebagai pijakan awal bagi semua langkah yang dilakukan
oleh kelompok maupun individu masayarakat. Kami telah jelaskan
bahwa Islam, hal ini berbeda dengan apa yang disangka oleh
kebanyakan para pendakwah, tidaklah berseberangan dengan ide
kebebasan dasar dan pluralisme sebagai pengejawantahannya.
Sesungguhnya mengesakan Allah tidak mengandung kemungkinan
adanya pemaknaan lain, selain mengesakan Allah dan menetapkan
pluralisme. Sebagaimana yang kami jelaskan, kebebasan memiliki apa
yang dalam bahasa disebut dengan keberagamaan, yaitu prinsip
"kebebasan asal” (Al-bara'ahal-'ashliah). Sesungguhnya asal segala
16
Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2001), p. 108
60
sesuatu hukumnya adalah halal, selagi tidak ada dalil yang
mengharamkan secara jelas dari Alquran.17
Perlu disebutkan disini bahwa agama secara umum dapat
diartikan sebagai perangkat aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan
mausia dengan lingkungannya. Aturan-aturan agama berbeda dengan
aturan-aturan lainnya, karena aturan agama penuh dengan muatan nilai,
bersifat sakral, dan tetap tak berubah, kendatipun penafsiran terhadap
peraturan agama tersebut sering berubah. Agama selanjutnya
merupakan sumber ethos dan pandangan hidup manusia.18
Pada dasarnya kesepakatan dan perbedaan adalah dua hal yang
tidak bisa lepas dari masyarakat pada umumnya, dan masyarakat Islam
pada khususnya. Dalam sebuah masyarakat terdapat seorang yang
berprofesi sebagai pemintal, dan ia punya selera kuat untuk
menghasilkan karyanya sebaik mungkin sesuai dengan perasaannya.
Sehingga, sebagian ada yang berusaha mengekpresikan kecenderungan
rasa dengan memadukan garis vertikal dan horizontal sedemikian rupa.
Sesungguhnya, kesepakatan dan perbedaan yang terjadi tidak hanya
terbatas pada masyarakat manusia saja. Bahkan keduanya juga terdapat
di alam semesta ini, persis seperti yang didapati dalam diri setiap
individu. Setiap individu mengalami Sebuah "peperangan” yang tidak
kita ketahui dan tidak kita rasa, yaitu pertempuran antara sel darah
putih dengan berbagai bakteri yang berusaha menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia, sehingga bisa menimbulkan penyakit. Di
17
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam…, p. 88 18
Ahmad Syafi’I Mufid, Dialog Agama dan Kebangsaan…, p. 160
61
dalam tubuh manusia terdapat aktifitas bagian lain yang sangat rinci,
yaitu terjadinya proses kimiawi dalam tubuh. Aktivitas itu bisa
menghantarkan udara dalam sel-sel darah, dan menyerap sari makanan,
lalu menyuplainya keseluruh tubuh, dengan membuang sisa-sisa
makanan yang tidak dibutuhkannya. Manusia adalah mahluk yang
terdiri dari susunan beribu-ribu sel yang membentuknya. Jika
diibaratkan dengan sebuah pasukan, maka manusia memiliki berjuta-
juta personel militernya.
Kenyataan itu baru dialami dalam diri seorang saja. Maka,
bagaimana jika dialami dalam ikatan sebuah keluarga. Tentu akan
semakin besar jumlah tanggung jawab dan beragam kesepakatan serta
perbedaan yang terjadi antar individu. Belum lagi, bila telah menikah,
masalah semakin bertambah, apalagi setelah kehadiran anak-anak.
Pekerjaan dan tanggung jawab kian bertambah. Ini semua baru dilihat
dalam skala kecil dari sebuah masyarakat, yakni baru dalam lingkup
keluarga saja. Coba kita bayangkan itu terjadi dalam sebuah lingkup
yang lebih besar, yaitu dalam skala negara dengan jumlah penduduknya
yang berjuta-juta dan terdiri dari beribu-ribu anggota keluarga.19
Sesungguhnya pemikiran dan masyarakat bukanlah seperti mata
pelajaran matematika, yang memiliki karakter hukum pasti. Artinya,
yang dikehendaki dengan perbedaan bukanlah berarti pertarungan
antara salah dan benar. Sebaliknya, perbedaan adalah usaha mencari
eksistensi suatu persoalan dengan mencoba menembus hakikat
kebenaran sejauh mungkin yang tidak tercapai oleh pihak lain, atau
mungkin pihak lain lebih terkonsentrasi pada bagian tertentu, yang
19
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam…, p. 56-57
62
tidak mendapat perhatian dari kelompok lainnya. Namun, lagi-lagi
tidak lantas menyebabkan terjadinya pertikaian atau permusuhan,
melainkan justru saling melengkapi kekurangan satu sama lain.20
Adapun pandangan Kristen terhadap pluralisme dan relasi antar
agama menurut Perjanjian Lama, agama adalah respon manusia kepada
Tuhan Allah, tetapi Dialah yang menyelamatkan. Dalam penglihatan
para nabi, bila bangsa-bangsa asing beralih kepada Israel, mereka tidak
akan berkata, “Agamamu yang paling baik” tetapi akan mengakui,
“keadilan dan kekuatan hanya ada dalam Tuhan” (Yes. 45:14, 24).
Dalam kutipan ini dapat dilihat bahwa dalam pluralisme terhadap
agama lain, bangsa Israel juga diajarkan untuk menerima agama-agama
lain, karena bukan agama yang menyelamatkan, melainkan Allah.21
Dalam konsep relasi antar agama pun juga menerapkan relasi
rasial, terutama Islam menekankan kesetaran rasial dan telah berhasil
mewujudkan situasi dimana berbagai ras bisa hidup berdampingan
dalam kadar yang luar biasa. Ujian puncak dibidang ini adalah
kesediaan untuk melakukan pernikahan silang antar ras. Umat muslim
melihat Ibrahim sebagai teladan bagi kesediaan ini tatkala beliau
menikahi Hajar yang berkulit hitam. Kesadaran Malcolm X (selama
perjalanan hajinya pada 1964 ke Mekkah) bahwa rasisme tidak
mendapatkan tempat dalam Islam telah secara dramatis mengubah
sikap Malcolm sendiri tentang masalah itu. Umat muslim biasa
menuturkan bahwa muadzin pertama mereka, Bilal, adalah seorang
Ethiopia yang secara rutin berdoa supaya kaum Quraisy mau memeluk
20
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam…, p. 58 21
V. M. Siringo-ringo, Theologi Perjanjian Lama…, p. 197
63
Islam. Kaum Quraisy adalah “kaum kulit putih” yang sering memburu
kaum mukmin generasi awal, yang banyak diantaranya berkulit
hitam.22
Dalam konsep Pluralitas dan relasi antar agama terdapat dua
faktor lahirnya konsep pluralisme Islam:
Pertama, Petunjuk para nabi, dalam masyarakat yang beriman
kepada agama, agama menjadi faktor terpenting di dalamnya. Petunjuk
para nabi tidaklah lantas merampas keyakinan ke dalam satu bentuk
tunggal, akan tetapi dalam bentuk yang plural, sebagai mana kami
jelaskan sebelumnya berkenaan dengan isyarat-isyarat Alquran,
pengakuan Alquran tentang pluralisme agama. Dalam masyarakat
Islam, pluralitas pendapat dan ijtihad menjadi keharusan yang tidak
dapat dipungkiri. Semua tetap dalam satu dasar yang kuat, yaitu Islam
itu sendiri. Tidak bermaksud menjelaskan secara rinci di sini, Karena
penjelasan pemikiran lahirnya gagasan pluralisme sudah ada dalam
pembahasan sebelumnya. Kami hanya ingin menegaskan bahwa Islam
adalah faktor pendorong gagasan pluralisme.
Kedua, godaan setan. Allah telah menciptakan manusia ini dari
tanah supaya bisa menyatu dengan debu bumi, tempat manusia
menjalani hidupnya dan berkembang. Allah juga meniupkan roh-Nya
dalam diri manusia, agar manusia dapat menuju langit nilai-nilai. Allah
memberikan akal kepada manusia, agar mereka mampu membedakan
antara yang salah dan yang benar. Allah juga menciptakan hati untuk
manusia, agar mereka mampu menempuh jalan kebaikan dan
22
Huston Smith, Agama-agama Manusia…, p. 288
64
menghindar dari jalan kejahatan. Akan tetapi, Allah Yang Maha Tahu
terhadap pribadi manusia menyadari bahwa manusia tidak akan
terhindar dari penyimpangan dan memperturutkan hawa nafsu. Oleh
karena itu, Allah mengutus para nabi yang mengajarkan manusia
tentang pengetahuan yang benar dan tentang apa yang akan terjadi pada
manusia setelah kematian. Pengetahuan inilah yang tidak dapat
ditembus oleh akal manusia.23
Menurut Nurcholis Madjid, pada dasarnya ajaran seperti ini
(tidak ada paksaan dalam beragama) merupakan pemenuhan alam
manusia yang secara pasti telah diberi kebebasan oleh Allah, sehingga
pertumbuhan perwujudannya selalu bersifat dari dalam. Tidak tumbuh
apalagi dipaksakan dari luar. Sikap keagamaan hasil paksaan dari luar
tidak otentik karena kehilangan dimensinya yang paling mendasar dan
mendalam, yaitu kemurnian atau keikhlasan.24
Untuk mewujudkan relasi antar agamapun harus mempunyai
fungsi integratif disatu sisi, karena ajaran agama mengandung nilai-
nilai persatuan, tetapi pada sisi lain, agama juga mengandung nilai-nilai
yang dapat menjadi sumber pertentangan. Nilai-nilai pemersatu pada
agama jelas ada pada setiap doktrin, sedang nilai-nilai
pertentanganyang ada pada setiap agama besar terletak pada cara-cara
penafsiran pemimpin agama terhadap gejala-gejala sosial, politik, dan
23
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam…, p. 56 24
Nurcholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban: Sebuah Telaah kritis
tentang masalah Keimanan, Kemanusiaan dan KeIndonesiaan,(Jakarta: Paramadina,
1992), p. 428
65
ekonomi, yang ada disekitarnya dengan menggunakan referensi
agama.25
Dalam bentuk pluralisme lainya, adajuga konsep “Amar ma’ruf
nahi munkar” adalah salah satu muatan yang terkandung dalam
pluralisme. Karena amar ma’ruf nahi munkar memperbolehkan
kebebasan berfikir dan membuktikannyadengan tindakan. Sayangnya,
karena kesalahfahaman terhadap konsep amar ma’ruf nahi munkar,
yang menjadi justru amar ma’ruf nahi munkar menjadi perangkat yang
melawan pluralisme. Ini terjadi ketika konsep Amar Ma'ruf Nahi
Munkar berada di tangan orang-orang yang berpandangan totaliter yang
memiliki jargon "satu kata" dan menjadikannya sebagai senjata
mematikan untuk menekan lawannya. Inilah senjata mereka dalam
memberangus orang lain yang memiliki pandangan yang berbeda. Dan
sangat mungkin terjadi peralihan dari pemikiran dan wacana menuju
tindakan fisik. Ada sebuah hadist yang menjelaskan tentang tingkatan
melakukan Amar Ma'ruf nahi Munkar. Hadist tersebut adalah:
"Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka
hendaknya ia rubah dengan kekuatan, jika tidak mampu maka
hendaknya dengan lisannya, jika tidak mampu pula maka hendaknya
(mengingkari) dengan hatinya, dan ini adalah iman terlemah.”
Dalam hadist ini jelas ditegaskan bahwa mengubah dengan
tangan lebih diutamakan. Sedangkan, lisan dan hati hanya dipilih jika
seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan. Hadist
yang menjadi pegangan kebanyakan orang ini dalam Amar Ma'ruf Nahi
25
Ahmad Syafi’I Mufid, Dialog Agama dan Kebangsaan…, p. 163
66
Munkar, sejatinya bertentangan dengan apa yang diajarkan Alquran.
Alquran hanya mengatakan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, sedangkan
hadist di atas mendiktekan tahapan pengubahan; tangan, lisan dan hati.
Perbedaan ini tentu mempunyai alasan. Dalam pandangan Jamal,
makna "merubah dengan kekuatan" yang dikandung dalam hadis
tersebut adalah dikehendaki untuk kondisi tertentu saja.26
Sementara menurut Quraish Shihab mengaskan bahwa manusia
diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih dan menetapkan jalan
hidupnya serta agama yang dianutnya, karena Tuhan tidak menurunkan
suatu agama untuk dibahas oleh manusia dalam rangka memilih yang
dianggapnya sesuai dan menolak yang tidak sesuai. Agama pilihan
adalah satu paket, penolakan terhadap satu bagian adalah penolakan
terhadap seluruh paket tersebut.27
Jadi pada dasarnya, Prinsip pluralisme memiliki konsekuensi
yaitu keragaman dalam politik, seperti meraih kekuasaan dan
kebebasan beroposisi, serta mengkritisi kebijakan penguasa. Memang
selalu ada konsekuensi. Dalam bidang kemasyarakatan misalnya,
dengan munculnya berbagai organisasi-organisasi kemasyarakatan serta
badan-badan rehabilitasi, demi sebuah perbaikan melewati jalur badan-
badan tertentu yang menangani bidang tersebut dengan memberikan
pola kebersamaan. Sebagaimana halnya, harus ada media massa yang
benar-benar independen, sebagai pembawa risalah pemikiran, sehingga
tidak boleh seorangpun membatasi geraknya, betapapun itu berasal dari
pemilik yayasan sendiri. Sudah seharusnya pula, ada perserikatan yang
26
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam…, p. 79 27
M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung:Mizan, 1996), p.
368
67
mewadahi para karyawan dan bisa mewakili aspirasi mereka, yang
dibentuk lewat kesepakatan bersama antar karyawan. Termasuk yang
dikehendaki disini adalah semua kebebasan pada tingkat kesepakatan
antar bangsa.
Jadi Jamal melihat sesungguhnya langkah yang ideal adalah
menyerahkan permasalahan ini kepada penanggungjawab dan
pelakunya. Merekalah yang bertanggungjawab dan menanggung
dosanya, jika itu berdosa. Dan mereka pun patut mendapatkan
penghargaan, jika apa yang mereka lakukan memang layak untuk
dihargai. Negara tidak boleh ikut campur dalam urusan ini. Adapun,
bagi ahli fikih, kegiatan seperti itu merupakan aktivitas duniawi yang
hukumnya harus diserahkan kepada Allah yang akan menyelesaikannya
pada hari kiamat.
Jadi, dalam pandangan Jamal, selama dasar pluralisme, yaitu
kebebasan bisa diterima, maka pandangan Islam terhadap pluralisme
tidak berbeda dengan pandangan yang ada pada non Islam. kecuali
sebatas "seberapa” banyak, dan bukan pada”jenis” atau "bagaimana”.
Karena, sesungguhnya mengimani kepada nilai -nilai Islam yang
tertanam dengan kuat akan menghalangi lahirnya kondisi yang tak
terkendali dan penyimpangan yang kini menodai penerapan pluralisme
pada sebagian masyarakat Eropa dewasa ini. Masyarakat Islam, walau
ia merupakan bagian dari masyarakat dunia yang tunduk pada aturan
global, akan tetapi ia memiliki karakter khusus yang membedakannya
68
dengan masyarakat lainnya. Nah, tentunya, jika masyarakat Islam tetap
kokoh dan tidak kehilangan karakternya itu.28
28
Jamal al-Banna, Pluralitas dalam Masyarakat Islam…, p. 90
top related