bab ii tinjauan pustaka 2.1. lokasi - uksw€¦ · buatan, seperti perlintasan kereta api, jalan...
Post on 20-Mar-2021
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lokasi
Lokasi usaha didefinisikan oleh Manullang (2001)
sebagai tempat di mana suatu perusahaan melakukan
aktivitasnya. Sedang menurut Levy dan Weitz (dalam Ihallauw,
2001), lokasi usaha diartikan letak kedudukan fisik sebuah
usaha di dalam daerah tertentu.
Lokasi atau tempat melakukan usaha apapun bentuk
usaha yang dijalankan sangat besar pengaruhnya terhadap
kelancaran usaha dalam menyampaikan produk dari produsen
ke konsumen. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat
Swastha (2003), bahwa faktor lokasi yang tepat juga
merupakan cara untuk bersaing dalam usaha menarik
pelanggan. Untuk itu dalam pemilihan lokasi usaha perlu
selektif karena keberhasilan usaha sangat tergantung pada
pemilihan lokasi usaha yang tepat (Kotler, 2003).
Levy dan Weitz (dalam Ihalauw, 2001) mengatakan
bahwa dalam menentukan sebuah lokasi atau kedudukan fisik
suatu usaha perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai
berikut:
11
2.1.1 Faktor accessibility
Kemudahan untuk dikunjungi (accessibility) sangat
dipengaruhi oleh pola dan kondisi jalan. Kondisi jalan yang
bagus dan mudah dilewati untuk menuju lokasi akan tetap
menjadi pertimbangan konsumen. Berbeda dengan jalan yang
rusak, seperti jalan yang banyak lubang, kebocoran air dari
PAM yang menyebabkan jalanan menjadi basah serta
banyaknya lubang galian dari proyek pemerintah yang tidak
langsung selesai. Hal ini yang menyebabkan konsumen
enggan dan malas untuk berkunjung menuju lokasi usaha
(Ihalauw, 2001).
Kemudahan dikunjungi oleh Ihalauw (2001)
didefinisikan sebagai derajad kemudahan jangkauan oleh
pelanggan dan prospek dalam menuju sebuah lokasi usaha.
Menurut Levy dan Weitz (dalam lhalauw, 2001) beberapa hal
yang mempengaruhi faktor kemudahan untuk dikunjungi yaitu :
1) Pola jalan dan kondisi jalan, dan 2) Rintangan alami maupun
buatan, seperti perlintasan kereta api, jalan tol, taman dan
sebagainya.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa dalam
penentuan lokasi usaha harus tetap mempertimbangkan
kondisi jalan untuk dapat mencapai ke lokasi usaha. Lokasi
yang cukup jauh tidak menjadi masalah bagi konsumen apabila
12
jalan yang dilalui tidak dalam keadaan rusak, karena dalam
faktor accessibility lebih menekankan bagaimana keadaan
jalan yang akan dilalui oleh konsumen untuk menuju sebuah
lokasi usaha. Keadaan jalan akan menentukan lancar dan
tidaknya aktivitas seseorang untuk mencapai sebuah lokasi
usaha.
Selain faktor pola jalan dan kondisi jalan, serta
rintangan alami maupun buatan, faktor accessibility menurut
Tjiptono (2000) juga menyangkut masalah kemudahan untuk
dilalui atau mudah dijangkau sarana transportasi.
Dengan demikian menurut Levy dan Weitz (dalam
lhalauw, 2001), dan Tjiptono (2000), untuk mengukur suatu
lokasi memiliki faktor accessibility yang baik atau tidak dapat
digunakan indikator-indikator sebagai berikut:
1. Kemudahan dalam melihat bangunan.
2. Kemudahan membaca papan nama.
3. Kemudahan menemukan lokasi.
4. Kepadatan lalu lintas
5. Kepadatan orang menuju lokasi
2.1.2 Faktor visibility
Visibility adalah derajad kemudahan dalam mencari
dan melihat suatu usaha, serta derajad kemudahan dan
keamanan berada di tempat parkir (Ihalauw, 2001).
13
Menurut Levy dan Weitz (lhalauw, 2001) beberapa hal
yang mempengaruhi visibility :
1. Arus lalu lintas
2. Jumlah dan kualitas sarana parkir
3. Derajat kemacetan daerah yang disebabkan oleh
kemacetan kendaraan maupun orang
4. Kemudahan keluar masuk dari tempat parkir
Selain faktor tersebut di atas visibility juga dipengaruhi
oleh faktor kemudahan dalam mencari dan melihat lokasi
usaha, serta kemudahan dan keamanan didalam area parkir.
Semakin mudah lokasi usaha itu dicari dan nampak, maka
konsumen cenderung akan lebih menyukai dan memilih lokasi
usaha tersebut dibandingkan konsumen harus mencari-cari
lokasi gerai berada. Sebuah usaha dapat dilihat dengan jelas
oleh konsumen baik itu papan nama usaha maupun bangunan
gedung dari usaha itu sendiri.
Begitu pula dengan tempat parkir, konsumen akan
lebih menyukai tempat parkir yang luas, berdekatan dengan
usaha lain yang dikunjungi dan dalam keadaan yang aman.
Aman disini adalah adanya penjagaan terhadap kendaraan
konsumen, seperti adanya petugas parkir atau satpam.
Dengan begitu konsumen akan merasa nyaman, aman dan
dapat berlama-lama melakukan aktivitas di dalam berbelanja.
14
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
faktor lokasi puskesmas sangat menentukan kunjungan pasien
untuk berobat.
2.2. Kualitas Pelayanan
Pelayanan menurut Wijaya (1999) adalah suatu upaya
yang diberikan oleh perusahaan dalam rangka memenuhi
kebutuhan konsumen untuk mencapai kepuasan. Sedangkan
yang dimaksud dengan pelayanan menurut Sugiarto (2002)
adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan orang lain (konsumen, pelanggan, klien, tamu, dan
lain-lain) yang tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan
oleh orang yang melayani maupun yang dilayani. Menurut
Tjiptono (2000), pelayanan adalah suatu sikap atau cara dalam
melayani pelanggan supaya pelanggan mendapatkan
kepuasan yang meliputi kecepatan, ketepatan, keramahan dan
kenyamanan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 477/Menkes/Sk/IV/2004 tentang Tarif
Pelayanan Kesehatan Bab I Pasal 1, adalah pelayanan medis
adalah pelayanan yang bersifat individu yang diberikan oleh
tenaga medik dan petugas para medik, yang berupa
pemeriksaan, konsultasi, dan tindakan medik.
15
Kualitas pelayanan menurut Lupiyoadi (2001) adalah
seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan
pelanggan atas pelayanan yang mereka terima atau peroleh
tidak jauh berbeda. Tjiptono (2000) mendefinisikan kualitas
pelayanan sebagai suatu tingkat keunggulan yang diharapkan
dan pengendalian atas tingkat keunggulan yang diharapkan
dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk
memenuhi keinginan pelanggan.
Menurut Wijono (2000) yang dimaksud dengan kualitas
pelayanan kesehatan adalah penampilan yang pantas dan
sesuai (berhubungan dengan standar-standar) dari suatu
intervensi yang diketahui aman dan memberikan hasil kepada
masyarakat serta berdampak pada kematian, kesakitan,
ketidakmampuan dan kekurangan gizi. Lebih lanjut Azwar
(1996) menyatakan pelayanan kesehatan yang berkualitas
adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap
pemakai jasa pelayanan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-
rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode
etik dan standar pelayanan yang telah ditentukan.
Kualitas pelayanan kesehatan menurut Kusumapradja
(1993) dapat diketahui setelah diadakan penilaian. Dalam
praktek sehari-hari penilaian ini tidaklah mudah, sebab kualitas
pelayanan kesehatan bersifat multidimensional. Tiap orang
16
bergantung dengan latar belakang, dan kepentingan masing-
masing. Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan (pasien),
kualitas pelayanan lebih terkait pada dimensi respon tanggap
petugas terhadap pasien, dan atau kesembuhan penyakit yang
sedang diderita. Sedang bagi penyelenggara layanan
kesehatan, kualitas pelayanan lebih terkait dengan dimensi
kesesuaian pelayanan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi mutahir dan atau otonomi profesi dalam
penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Dan bagi penyandang dana pelayanan kesehatan, mutu
pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi efisiensi
pemakai sumber dana, kewajaran pembiayaan pelayanan
kesehatan, atau kemampuan pelayanan kesehatan
mengurangi kerugian penyandang dana pelayanan kesehatan
(Warsiyah, 2010).
Untuk mengatasi perbedaan dimensi ini, telah
disepakati bahwa dalam membicarakan kualitas pelayanan
kesehatan seyogyanya pedoman yang dipakai adalah hakekat
dasar dari diselenggarakannya pelayanan kesehatan tersebut,
yaitu memenuhi kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa
pelayanan kesehatan.
Bertitik tolak dari hakekat dasar menurut Azwar (1996),
kualitas pelayanan kesehatan menunjuk pada tingkat
17
kesempurnaan pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dan
tuntutan setiap saat.
Kualitas pelayanan itu sendiri dapat diukur dengan
membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan
dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan oleh pasien.
Lupiyoadi (2001) menyebutkan bahwa dalam studi mengenai
SERVQUAL yang dilakukan oleh Parasuraman et al (1996),
penilaian kualitas pelayanan meliputi lima dimensi, yaitu:
2.2.1. Bukti langsung (tangibles)
Bukti langsung (tangibles) adalah kemampuan
perusahaan dalam menunjukkan eksistensi kepada pihak
eksternal. Adapun yang termasuk dalam dimensi ini adalah
penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan,
tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan
kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi dan
penampilan karyawan.
Definisi bukti langsung menurut Lupiyoadi (2001) yaitu
kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensi
kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana
dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan
sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan
oleh pemberi jasa, yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang,
dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang
18
dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
Menurut Palmer (2001, dalam Widyaningsih, 2012), tangibles
adalah penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan
media komunikasi, misal: kebersihan dan kenyamanan
ruangan, penampilan petugas, dan kelengkapan fasilitas fisik
dalam menunjang pelayanan.
Bertitik tolak dari uraian di atas dalam penelitian ini
indikator untuk mengukur dimensi tangibles meliputi :
1. Kenyamanan ruang tunggu pasien.
2. Kebersihan ruang tunggu pasien.
3. Kelengkapan fasilitas fisik dalam menunjang pelayanan.
4. Penampilan petugas.
2.2.2. Kehandalan (reliability)
Kehandalan (reliability) adalah kemampuan petugas
untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara
akurat dan terpercaya (Parasuraman et al, 1996).
Kehandalan dalam Lupiyoadi (2001) adalah
kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai
yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus
sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan
waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa
kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang
tinggi. Palmer (2001, dalam Widyaningsih, 2012), juga
19
mendefinisikan reliability sebagai kemampuan untuk
melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan
terpercaya, misal: jadwal pelayanan dijalankan secara tepat,
prosedur pelayanan yang tidak berbelit-belit, dan ketepatan
dalam memberikan pelayanan.
Bertitik tolak dari uraian di atas dalam penelitian ini
indikator untuk mengukur dimensi reliability meliputi :
1. Jadwal pelayanan dijalankan secara tepat.
2. Prosedur pelayanan yang tidak berbelit-belit.
3. Ketepatan dalam memberikan pelayanan.
2.2.3. Daya tanggap (responsiveness)
Lupiyoadi (2001) mengemukakan daya tanggap
(responsiveness) adalah suatu kemauan petugas untuk
membantu dan memberikan pelayanan yang cepat
(responsive) dan tepat kepada pelanggan, dengan
penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan pelanggan
menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas
menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan.
Begitu juga menurut Palmer (2001, dalam Widyaninsih, 2012),
responsiveness didefinisikan sebagai kemampuan untuk
membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat atau
tanggap, misal: kemampuan dr/drg/petugas/bidan untuk
memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti, dan
20
memberikan tindakan cepat pada saat pasien membutuhkan
serta tanggap menyelesaikan keluhan pasien.
Bertitik tolak dari uraian di atas dalam penelitian ini
indikator untuk mengukur dimensi responsiveness meliputi :
1) Kemampuan petugas untuk memberikan informasi yang
jelas dan mudah dimengerti.
2) Kemampuan petugas untuk memberikan tindakan cepat
pada saat pasien membutuhkan.
3) Kemampuan petugas untuk tanggap menyelesaikan keluhan
pasien.
2.2.4. Jaminan (Assurance)
Jaminan (Assurance) menurut Lupiyoadi (2001) adalah
pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para
petugas untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepada
perusahaan terkait.
Dimensi jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi:
(Umar, 2003)
1. Kompetensi (competence), artinya keterampilan dan
pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan untuk
melakukan pelayanan.
2. Kesopanan (courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian
dan sikap para karyawan.
21
3. Kredibilitas (credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi,
prestasi dan sebagainya.
Palmer (2001) yang dikutip Widyaningsih (2012) juga
menyatakan bahwa assurance adalah pengetahuan dan
kesopanan petugas serta kemampuan mereka untuk
menimbulkan kepercayaan/ kenyakinan, misal : pelayanan
yang sopan dan ramah, pengetahuan dan kemampuan
petugas dalam bidangnya, dan ketrampilan medis/paramedis
dalam bekerja.
Terkait dengan uraian tersebut di atas maka dalam
penelitian ini untuk mengukur kinerja petugas dalam
memberikan pelayanan dapat dinilai dari aspek-aspek sebagai
berikut :
1. Kemampuan petugas memberikan pelayanan yang sopan
dan ramah.
2. Kesesuian pengetahuan dan kemampuan petugas dalam
bidangnya.
3. Ketrampilan petugas dalam bekerja.
2.2.5. Empati (Empathy)
Lupiyoadi (2001) mendefinisikan empathy (empati)
sebagai perhatian secara individual yang diberikan perusahaan
kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi
22
perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi
dengan pelanggan, dan usaha perusahaan untuk memahami
keinginan dan kebutuhan pelanggannya.
Dimensi emphaty ini merupakan penggabungan dari
dimensi:
1. Akses (access), meliputi kemudahan untuk memanfaatkan
jasa yang ditawarkan perusahaan.
2. Komunikasi (communication), merupakan kemampuan
melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi
kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari
pelanggan.
3. Pemahaman pada pelanggan (understanding the
customer), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui
dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Palmer (2001) yang dikutip Widyaningsih (2012) juga
menyatakan bahwa empathy merupakan suatu bentuk
kepedulian, dan perhatian pribadi kepada para pelanggan,
misal: memberikan pelayanan kepada semua pasien tanpa
memandang status, kepedulian terhadap keluhan pasien, dan
memberikan perhatian khusus kepada setiap pasien.
Bertitik tolak dari uraian di atas dalam penelitian ini
indikator untuk mengukur dimensi empathy meliputi :
23
1. Kemampuan petugas untuk memberikan pelayanan kepada
semua pasien tanpa memandang status.
2. Kepedulian petugas terhadap keluhan pasien.
3. Kemampuan petugas memberikan perhatian khusus kepada
pasien.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan jika
kualitas pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor
yang menentukan tingkat keberhasilan pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh pihak puskesmas yang ukurannya dapat
dilihat dari kemampuan petugas dalam hal pelayanan
pemeriksaan, konsultasi, tindakan medik yang indikator dapat
dinilai melalui aspek-aspek tangibles (bukti langsung),
responsiveness (kehandalan), responsiveness (daya tanggap),
assurance (jaminan dan kepastian) dan empathy (empati).
Kemudian Lupiyoadi (2001) menyatakan terdapat
beberapa unsur yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu:
1. Unsur masukan (input), yaitu meliputi tenaga, dana dan
sarana fisik, perlengkapan serta peralatan. Secara umum
disebutkan bahwa apabila tenaga dan saran tidak sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan, dan dana yang
tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan maka sulit untuk
diharapkan kualitas pelayanan yang baik.
24
2. Unsur lingkungan mencakup kebijakan, organisasi dan
manajemen. Disini dijelaskan apabila organisasi dan
manajemen tersebut tidak sesuai dengan standar maka
kualitas pelayanan sulit untuk dicapai.
2.3. Sikap Keputusan Pasien Berobat
2.3.1. Sikap
1. Definisi Sikap
Sikap adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu
perangsang. Suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan
cara tertentu terhadap suatu perangsang atau situasi yang
dihadapi. Sikap merupakan suatu perbuatan atau tingkah
laku sebagai reaksi (respons) terhadap sesuatu rangsangan
atau stimulus, yang disertai dengan pendirian dan perasaan
orang itu. Tiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda
terhadap suatu perangsang. Ini disebabkan oleh berbagai
faktor yang ada pada individu masing-masing seperti adanya
perbedaan dalam bakat, minat, pengalaman, pengetahuan,
intensitas perasaan dan juga situasi lingkungan. Demikian
pula sikap pada diri seseorang terhadap sesuatu perangsang
yang sama mungkin juga tidak selalu sama. Bagaimana
sikap kita terhadap berbagai hal di dalam hidup kita, adalah
termasuk ke dalam kepribadian kita. Di dalam kehidupan
25
manusia, sikap selalu mengalami perubahan dan
perkembangan (Purwanto, 2003).
Menurut Sarwono (2000), sikap adalah kesiapan
pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap
hal tertentu. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula
bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan
tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan
objek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat
kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci,
tidak menyukai obyek tertentu.
Menurut Notoatmodjo (2007) sikap adalah keadaan
mental dan saraf dan kesiapan yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamis atau
terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan
situasi yang berkaitan dengannya.
Dari definisi-definisi tersebut di atas maka secara
singkat sikap adalah hasil dari proses sosialisasi dimana
seseorang berekasi dengan stimulus yang diterimanya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sikap berbeda dengan
pengetahuan, karena memberikan kesiapan yang
menunjukkan aspek positif atau negatif yang berorientasi
kepada hal-hal yang bersifat umum.
26
2. Komponen sikap
Kognisi seseorang berada dalam tahap mempelajari
yaitu tahap mengenal masalah dan tahap mencari informasi
yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut.
Kepercayaan dari pengirim berita, berita itu sendiri, dan
keadaan. Semakin besar prestise komunikator akan
semakin besar pula perubahan sikap yang ditimbulkan.
Menyukai sang komunikator menghasilkan
perubahan sikap, sebab orang mencoba untuk mengenal
komunikator yang disukai dan cenderung untuk mengadopsi
sikap dan perilaku orang yang disukai.
Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok, yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap
suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu
objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak ( tend to behave ).
Ketika komponen ini secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam
penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
Pengetahuan akan membawa seseorang akan berpikir dan
27
berusaha supaya dirinya dan keluarga terhindar dari
penyakit. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan
ikut bekerja sehingga seseorang berniat untuk mencegah
terjadinya penyakit, misalnya dengan melakukan immunisasi,
kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan.
3. Tingkatan Sikap
Menurut Notoatmodjo (2010) sikap terdiri dari
berbagai tingkatan yakni :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu
indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah
berarti orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga,
misalnya seorang mengajak ibu yang lain tetangga,
28
saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke
posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu
bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap yang paling
tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB,
meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau
orang tuanya sendiri.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko.
4. Faktor – faktor yang menunjang perubahan sikap
a. Adanya imbalan dan hukuman, yaitu individu
mengasosiasikan reaksinya yang disertai imbalan dan
hukuman.
b. Stimulus mengandung harapan bagi individu sehingga
dapat terjadi perubahan dalam sikap. Selain itu stimulus
mengandung prasangka bagi individu yang mengubah
sikap semula (Umar, 2001).
2.3.2. Keputusan Pada Pasien Berobat
Berbicara mengenai masalah keputusan pasien
untuk berobat pada suatu puskesmas sama halnya
berbicara mengenai keputusan konsumen dalam memilih
pembelian suatu produk atau jasa. Hal yang membedakan
adalah dimensi atau bentuk yang dikonsumsi oleh
29
konsumen tersebut. Dalam bidang pemasaran produk yang
diinginkan oleh konsumen adalah kualitas dari produk
tersebut yang sifatnya tangibles, sedang dalam pemasaran
jasa yang diinginkan adalah kualitas dari jasa pelayanan
yang diberikan yang sifatnya intangibles.
Keputusan pembelian konsumen terhadap suatu
produk atau jasa pada dasarnya erat kaitannya dengan
perilaku konsumen. Perilaku konsumen merupakan unsur
penting dalam kegiatan pemasaran suatu produk yang perlu
diketahui oleh perusahaan, karena perusahaan pada
dasarnya tidak mengetahui mengenai apa yang ada dalam
pikiran seorang konsumen pada waktu sebelum, sedang,
dan setelah melakukan pembelian produk atau jasa
tersebut.
Adanya kecenderungan pengaruh kualitas pelayanan
terhadap keputusan konsumen tersebut, mengisyaratkan
bahwa manajemen perusahaan perlu mempertimbangkan
aspek perilaku konsumen, terutama proses pengambilan
keputusan pembeliannya.
Keputusan pembelian menurut Assauri (2004)
merupakan suatu proses pengambilan keputusan akan
pembelian yang mencakup penentuan apa yang akan dibeli
atau tidak melakukan pembelian dan keputusan itu diperoleh
30
dari kegiatan-kegiatan sebelumnya. Sedang menurut
Swasta dan Handoko (2000) keputusan pembelian adalah
sebuah pendekatan penyelesaian masalah pada kegiatan
manusia untuk membeli suatu barang atau jasa dalam
memenuhi keinginan dan kebutuhannya.
Dari pengertian keputusan pembelian di atas dapat
disimpulkan bahwa keputusan pasien berobat adalah
sebuah pendekatan penyelesaian masalah untuk
memutuskan menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada
lembaga kesehatan tertentu untuk berobat.
1. Tahap-tahap dalam proses keputusan pembelian
Menurut Swasta dan Handoko (2000), proses
pengambilan keputusan pembelian suatu produk atau
jasa dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai
berikut:
Gambar 2.1.
Tahap-tahap Keputusan Pembelian
Pengenalan Masalah
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Pembelian
31
2. Pengenalan masalah
Proses pembelian produk atau jasa dimulai
ketika pembeli mengenal suatu masalah atau
kebutuhan. Pengenalan kebutuhan ini ditujukan untuk
mengetahui adanya kebutuhan dan keinginan yang
belum terpenuhi dan terpuaskan. Jika kebutuhan
tersebut diketahui, maka konsumen akan segera
memahami adanya kebutuhan yang belum segera
dipenuhi atau masih bisa ditunda pemenuhannya, serta
kebutuhan yang sama-sama harus segera dipenuhi.
Pengenalan masalah adalah suatu proses yang komplek
yang dapat diuraikan sebagai berikut: (Swasta dan
Handoko, 2000)
a. Proses ini melibatkan secara bersama-sama banyak
variabel-variabel termasuk pengamatan, proses
belajar, sikap, karakteristik kepribadian dan macam-
macam kelompok sosial dan referensi yang
mempengaruhinya.
b. Proses pengenalan masalah merupakan suatu
proses yang lebih kompleks dari penganalisaan
motivasi. Walaupun proses tersebut melibatkan
motif-motif pembelian, tetapi selain itu melibatkan
juga sikap, konsep diri, dan pengaruh-pengaruh lain.
32
c. Proses ini melibatkan juga proses perbandingan dan
pembobotan yang kompleks terhadap macam-
macam kebutuhan yang relatif penting, sikap tentang
bagaimana menggunakan sumber keuangan yang
terbatas untuk berbagai alternatif pembelian, dan
sikap tentang kualitatif dari kebutuhan yang harus
dipuaskan.
3. Pencarian informasi
Seseorang yang tergerak oleh stimulus akan
berusaha mencari lebih banyak informasi yang terlibat
dalam pencarian akan kebutuhan. Pencarian merupakan
aktivitas termotivasi dari pengetahuan yang tersimpan
dalam ingatan dan perolehan informasi dari lingkungan.
Sumber informasi konsumen terdiri atas empat
kelompok, yaitu:
1. Sumber pribadi meliputi keluarga, teman, tetangga,
kenalan;
a. Sumber komersial meliputi iklan, tenaga penjual,
pedagang perantara, dan pengemasan;
b. Sumber umum meliputi media massa, organisasi
ranting konsumen;
c. Sumber pengalaman meliputi penanganan,
pemeriksaan, penggunaan produk.
33
2. Evaluasi alternatif
Evaluasi alternatif merupakan proses suatu
alternatif pilihan disesuaikan dan dipilih untuk
memenuhi kebutuhan konsumen. Konsep dasar
dalam proses evaluasi konsumen terdiri atas empat
macam:
a. Konsumen berusaha memenuhi kebutuhan;
b. Konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi
produk;
c. Konsumen memandang setiap produk sebagai
kumpulan atribut dengan kemampuan yang
berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang
dicari dalam memuaskan kebutuhan;
d. Konsumen mempunyai sifat yang berbeda-beda
dalam memandang atribut-atribut yang
dianggap relevan dan penting. Konsumen akan
memberikan perhatian besar pada atribut yang
memberikan manfaat yang dicarinya.
(Kotler, 2000)
3. Keputusan membeli
Keputusan untuk membeli jasa merupakan
proses dalam pembelian yang nyata. Jadi, setelah
tahap-tahap di muka dilakukan, maka konsumen
34
harus mengambil keputusan apakah membeli atau
tidak. Konsumen mungkin juga akan membentuk
suatu maksud membeli dan cenderung membeli
merek yang disukainya. Namun, ada faktor-faktor
lain yang ikut menentukan keputusan pembelian,
yaitu sikap orang lain dan faktor-faktor situasional
yang tidak terduga. Bila konsumen menentukan
keputusan untuk membeli konsumen akan
menjumpai keputusan yang harus diambil
menyangkut jenis produk/jasa, merek, penjual,
kuantitas, waktu pembelian, dan cara
pembayarannya.
4. Peranan dalam Proses Keputusan Pembelian
Dalam keputusan membeli barang atau jasa,
konsumen seringkali melibatkan beberapa pihak
dalam proses pertukaran atau pembeliannya.
Umumnya ada lima macam peranan yang dapat
dilakukan seseorang. Ada kalanya kelima peran ini
dipegang oleh satu orang, namun seringkali peran
tersebut dilakukan oleh beberapa orang.
Menurut Swasta dan Handoko (2000)
menjelaskan ada lima macam yang mempengaruhi
35
perilaku konsumen. Kelima peranan tersebut
meliputi:
a. Pengambil inisiatif (initiator) yaitu individu dalam
keluarga yang mempunyai inisiatif pembelian
barang atau jasa tertentu atau mempunyai
keinginan dan kebutuhan tetapi tidak mempunyai
wewenang untuk melakukan sendiri;
b. Orang yang mempengaruhi (influencer) yaitu
individu yang mempengaruhi keputusan untuk
membeli baik secara disengaja atau tidak
disengaja;
c. Pembuat keputusan (decider) yaitu individu yang
memutuskan apakah akan membeli atau tidak,
apakah yang akan dibeli, bagaimana
membelinya, kapan dan di mana membelinya;
d. Pembeli (buyer) yaitu individu yang melakukan
transaksi pembelian sesungguhnya;
e. Pemakai (user) yaitu individu yang
mempergunakan produk atau jasa yang dibeli.
Sedangkan Kotler (2000) membedakan lima
peran yang dimainkan orang dalam keputusan
pembelian sebagai berikut:
36
a. Pencetus ide
Pencetus ide yaitu seseorang yang pertama kali
mengusulkan ide untuk membeli suatu produk
atau jasa tertentu.
b. Pemberi pengaruh
Pemberi pengaruh yaitu seseorang yang
pandangan atau pendapatnya mempengaruhi
keputusan pembelian.
c. Pengambil keputusan
Pengambil keputusan yaitu seseorang yang
memutuskan setiap komponen dalam keputusan
pembelian.
d. Pembeli
Pembeli yaitu seseorang yang melakukan
pembelian yang sebenarnya.
e. Pemakai
Pemakai yaitu seseorang yang mengkonsumsi
produk tersebut.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan
Membeli
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
pembelian konsumen tidak lepas dari faktor
marketing mix. Marketing mix merupakan rencana
37
yang menyeluruh, terpadu, dan menyatu di bidang
pemasaran, yang memberikan panduan tentang
kegiatan yang akan dijalankan untuk dapat
tercapainya tujuan pemasaran suatu perusahaan
yang meliputi: produk, harga (tarif), lokasi, promosi,
dan kualitas pelayanan (Assauri, 2004). Dalam
penelitian ini hanya satu faktor saja sebagai variabel
yang diteliti yaitu kualitas pelayanan.
6. Sikap Keputusan Pasien Berobat
Dari uraian penjelasan mengenai sikap dan
keputusan berobat di atas, maka sikap keputusan
pasien berobat dapat didefinisikan sebagai respon
seorang pasien sebagai sebuah usaha penyelesaian
masalah dengan memutuskan menggunakan jasa
pelayanan kesehatan pada lembaga kesehatan
tertentu setelah melakukan proses pengenalan
masalah, pencarian informasi, dan proses evaluasi
alternatif terkait dengan masalah kesehatannya.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat
ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan
responden terhadap suatu objek (Notoatmodjo,
2007).
38
2.4. Hubungan Lokasi dengan Sikap Keputusan Berobat
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keputusan
pembelian konsumen tidak lepas dari faktor marketing mix, yang
antara lain : lokasi (Assauri, 2004). Lokasi didefinisikan oleh
Levy dan Weitz (dalam Ihallauw, 2001) sebagai letak
kedudukan fisik sebuah usaha di dalam daerah tertentu.
Menurut Swastha (2003), bahwa faktor lokasi yang
tepat juga merupakan cara untuk bersaing dalam usaha
menarik pelanggan (Swastha, 2003). Untuk itu dalam pemilihan
lokasi usaha perlu selektif karena keberhasilan usaha sangat
tergantung pada pemilihan lokasi usaha yang tepat (Kotler,
2003). Pernyataan tersebut memberikan suatu isyarat bahwa
apapun bentuk usaha yang dijalankan pemilihan lokasi yang
strategis adalah faktor yang sangat perlu untuk
dipertimbangkan. Sehingga pemilihan lokasi juga akan sangat
mempengaruhi keberhasilan puskesmas dalam menyampaikan
jasa pelayanan yang diembankan kepada masyarakat.
Menurut Levy dan dan Weitz (lhalauw, 2001) untuk
mengetahui apakah lokasi usaha strategis apa tidak dapat
dilakukan dengan menilai faktor visibility dan accessibility lokasi
usaha bersangkutan. Demikian pula untuk mengukur lokasi
puskesmas strategis apa tidak maka dapat didasarkan pada
teori tersebut.
39
2.5. Hubungan Kualitas pelayanan dengan Sikap Keputusan
Berobat
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keputusan
pembelian konsumen tidak lepas dari faktor marketing mix, yang
antara lain : kualitas pelayanan (Assauri, 2004). Menurut Azwar
(1996), kualitas pelayanan kesehatan menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dan
tuntutan setiap saat. Ditambahkan oleh Kusumapradja (1993),
bagi pasien, kualitas pelayanan lebih terkait pada dimensi
ketanggapan petugas terhadap pasien, dan atau kesembuhan
penyakit yang sedang diderita. Dengan demikian dapat
dikatakan jika petugas kesehatan merupakan salah satu unsur
untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang bermutu.
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Parasuraman, et
al (1996) bahwa tenaga kerja (petugas kesehatan) adalah salah
satu unsur masukan (input) yang mempengaruhi kualitas
pelayanan (Lupiyoadi, 2001).
Dari uraian tersebut di atas jelas dapat dikatakan
bahwa sikap keputusan pasien untuk berobat pada suatu
puskesmas salah satunya apabila pelayanan yang diberikan
oleh petugas kesehatan memiliki kualitas yang bermutu.
Kualitas pelayanan itu sendiri dapat diukur dengan
membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan
dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan oleh pasien.
Parasuraman et al (1996) dalam salah satu studi mengenai
40
SERVQUAL, penilaian kualitas pelayanan meliputi lima dimensi,
yaitu: tangibles (bukti langsung), reliability (kehandalan),
responsiveness (daya tanggap), assurance (jaminan dan
kepastian) dan empathy (empati) (Lupiyoadi, 2001).
2.6. Kerangka Teori
Berdasarkan uraian teori-teori yang dikemukakan di
atas maka model kerangka teori dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Keterangan:
: Faktor yang diteliti
: Faktor yang tidak diteliti
Gambar 2.2
Model Kerangka Teori
Sumber : Assauri, 2004
Kualitas Pelayanan : Tangibles (bukti langsung) Reliability (kehandalan) Responsiveness (daya tanggap) Assurance (jaminan dan
kepastian) Empathy (empati)
Lokasi Accessibility Visibility
Sikap Keputusan Pasien Berobat
.
Produk/Jasa
Promosi
Harga (Tarif )
41
2.7. Kerangka Penelitian
Berdasarkan uraian pada tinjauan teori maka dapat
disusun kerangka konsep sebagai berikut:
Variabel bebas Variabel terikat Terikat
Gambar 2.3
Kerangka Penelitian
Keterangan :
1. Variabel Independen (Xi) = Lokasi (X1)
Kualitas Pelayanan (X2)
2. Variabel Dependen (Y) = Sikap Keputusan Berobat
2.8. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data
yang terkumpul (Suharsimi, 2002).
Ho1 : Tidak terdapat hubungan signifikan antara
lokasi dengan sikap keputusan berobat pada
pasien di Puskesmas Tegalrejo Salatiga.
Lokasi
(X1)
Sikap Keputusan Berobat (Y)
Kualitas Pelayanan
(X2)
Lokasi
(X2)
42
Ha1 : Terdapat hubungan signifikan antara lokasi
dengan sikap keputusan berobat pada pasien di
Puskesmas Tegalrejo Salatiga
Ho2 : Tidak terdapat hubungan signifikan antara
kualitas pelayanan dengan sikap keputusan
berobat pada pasien di Puskesmas Tegalrejo
Salatiga
Ha2 : Terdapat hubungan signifikan antara kualitas
pelayanan dengan sikap keputusan berobat
pada pasien di Puskesmas Tegalrejo Salatiga
top related