bab ii landasan teori 2.1 definisi slametan
Post on 03-Nov-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
Landasan Teori
2.1 Definisi Slametan
Slametan merupakan upacara keagamaan yang paling umum dalam
budaya Jawa. Ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial. Masyarakat setempat
merupakan pelaku utama dalam upacara slametan. Slametan merupakan suatu
wadah bersama masyarakat yang diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan
sosial dan pengalaman perseorangan, dalam perubahan bentuk kehidupan di kota
dan pedesaan. Pada abad keduapuluh sebagian masyarakat Jawa menganggap
slametan kurang efisien dan kurang memuaskan sebagai suatu pengalaman
keagamaan, tetapi sebagian besar masyarakat tradisional (pedesaan), menganggap
slametan masih memiliki kekuatan dan daya tarik aslinya.1
Slametan merupakan budaya leluhur orang Jawa dimana mengacu pada
Gusti sing gawe urip (Tuhan yang menciptakan hidup) sebagai pokok dasar
upacara slametan. Hal tersebut diadakan sebagai ucapan syukur pada Tuhan atau
untuk memuja roh halus. Jika melihat upacara slametan yang dilakukan dalam
budaya Jawa, maka kita akan menemukan suatu kelompok masyarakat yang
saling membangun dalam suatu cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Bisa
dikatakan upacara slametan yang dilakukan oleh orang Jawa merupakan upacara
yang paling penting bagi kehidupan mereka. Upacara slametan merupakan
upacara yang menyangkut akan keselamatan serta kesejahteraan orang Jawa, serta
1 Ani Rosiyati, Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini ,
(Yogyakarta: gunung mulia )
10
pandangan orang Jawa tentang Tuhan. Faham keselamatan Jawa sangat luas
kompleks, sekaligus mendalam. Bisa jadi orang Jawa “tidak selamat” karena ia
secara tradisi dianggap sebagai sukerta (punya cacat rohani), atau karena tidak
mampu hidup selaras dengan masyarakat dan alam semesta.2
2.2 Munculnya Slametan Dalam Budaya Jawa
Bagi mereka yang menetap di pulau Jawa, mereka terpengaruh oleh alam
lingkungan Jawa; keadaan gunung, sungai, udara, tumbuh-tumbuhannya, suara
burungnya dan sebagainya. Akibatnya membawa pengaruh pada mereka untuk
menumbuhkan kebudayaan Jawa, yaitu suatu budaya yang merupakan hasil
interaksi antara manusia pendatang dengan lingkungan alam Jawa. Oleh karena
itu orang-orang Melayu yang datang kemudian dianggap sebagai nenek-moyang
orang Jawa.3 Sebagaimana pada tempat-tempat yang lain, suku Jawa pada zaman
purba kehidupannya amat bergantung kepada lingkungan hidup, kemudian
menimbulkan kepercayaan adanya kekuatan alam dan arwah orang yang
meninggal bersamaan dengan timbulnya seni lukis yang berlatang belakang
magis, khususnya di dinding-dinding gua.4
Budiono Herusatoto dalam bukunya “Simbolisme Dalam Budaya Jawa”,
mengatakan bahwa bangsa Jawa pada zaman purba mempunyai pandangan hidup
Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuh-
tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri. Di samping Animisme, pada
2 Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto, Faham keselamatan dalam budaya Jawa (Yogyakarta:
Ampera Utama 2011) iii. 3 Sufa’at M, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan (Yogjakarta: Kota Kembang, 1985), 33. 4 R.P. Soejono, Ed., Sejarah Nasional Indonesia, Vol.I (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984), 159.
11
mereka juga mempunyai pandangan hidup Dinamisme, yaitu kepercayaan akan
adanya tenaga magis pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-
benda, juga dalam sebuah kata yang diucapkan atau ditulis pada tanda yang
dipasang.5 Lebih jauh H.Th. Fischer mengatakan bahwa Animisme itu biasanya
menjadi religi, sebab orang akan merasa terikat kepada roh itu dan kemudian
berpaling menghamba kepadanya. Sedangkan Dinamisme biasanya menjadi magi,
sebab orang mengira bahwa dengan tindakan-tindakan tertentu tenaga-tenaga itu
dapat dimiliki, dapat dipergunakan untuk keuntungan diri sendiri atau kerugian
orang lain.6
Menurut I. Djumhur, antara Animisme dan Dinamisme tak dapat dipisah-
pisahkan; tidak ada bangsa primitip yang hanya mempunyai anggapan Dinamistis
dengan mengenyampingkan Animistis. Kedua gejala berpikir tersebut dapat di
jumpai pada suatu bangsa yang sama.7 Di Jawa misalnya, ada kepercayaan bahwa
apabila orang mempunyai ilmu tinggi, maka ia akan mengalami kesulitan apabila
akan mati, karena dia menyimpan tenaga magis. Gejala ini merupakan gejala
Dinamistis. Selanjutnya ada juga kepercayaan bahwa apabila orang mati harus
ditutup semua lubang yang ada pada mayat, agar nyawa yang ada pada tubuh itu
terlindung dari pengaruh buruk. Gejala ini adalah berkaitan dengan Animisme.
Animisme dan Dinamisme inilah yang merupakan asal-usul kepercayaan yang
dimiliki orang Jawa. Adanya kepercayaan terhadap kedua isme ini maka orang-
orang Jawa pada zaman purba itu tunduk kepada gejala-gejala alamiah dan benda-
5 Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Jogjakarta: PT. Hanindita, 1984), 43. 6 H.Th. Fischer, Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Anas Makruf (Jakarta:
Pustaka Sardjana, 1953), 149 7 I.Djumhur, Pengantar ke Antropologi Budaya (Bandung: Dirgantara. 1977), 100.
12
benda alam. Ketundukan ini lahir dalam bentuk menyembah dan
mempertuhankannya. Maka disembahlah berbagai macam binatang dan tumbuh-
tumbuhan. Disembahlah manusia yang dianggap lebih kuat daripadanya.
Disembahlah benda-benda alam yang lain seperti matahari, bulan, binatang,
gunung, air, api dan lain-lain. Semuanya itu dianggap sebagai Tuhan. Untuk
mengungkapkan perasaan dan ketundukannya kepada sesembahannya itu maka
dibuatlah gambar dan tata-cara tertentu.8 Sebagai contoh untuk mencegah
kekuatan yang bisa menimbulkan penyakit, banjir, gempa bumi
atau hama tanaman maka dipersembahkanlah sesajian untuk benda-benda yang
dianggapnya punya roh dan kekuatan9. Oleh karena inilah masyarakat Jawa ingin
agar dirinya mendapatkan keselamatan yang benar-benar menjadi idaman orang
Jawa dalam suatu keadaan yang tidak ada gangguan apa pun baik di bumi maupun
di akhirat.
Sebenarnya slamet (selamat) dalam pengertian awal budaya Jawa memang
menjadi harapan semua orang. Slamet adalah kondisi ideal dimana tidak ada
gangguan-gangguan yang terjadi di dalam kehidupan seseorang yang mengacu
pada hidup damai sejahtera. Slamet yang menjadi pengharapan ini sering
memiliki arti lain antara beja (untung) yang berbeda arti dengan tidak terjadi apa-
apa. Slamet dari sisi pandang ini merupakan slamet yang minimalis, secara umum
untuk mengungkapkan kondisi yang setidaknya masih menyisakan suatu harapan
minimal bahwa tidak semua kejadian merampas tuntas keberadaan seseorang.
Slamet kadangkala dipakai untuk hal yang masih disisakan, yang masih utuh dan
8 Hasan al-Banna, Allah Fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, terj. Mukhtar Yahya (Solo: Ramadhani, 1981), 19.
9 HM.Rasyidi, Empat Kuliah Agama Pada Perguruan Tinggi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 11.
13
masih masih dimiliki. Selain itu slamet merupakan ucapan syukur yang sekaligus
merupakan pengharapan milik orang Jawa yang sangat melekat dalam
kesehariannya. Begitu sering diucapkan oleh manusia umumnya, kata slamet
seolah-olah menjadi salah satu tujuan hidup manusia Jawa dan hal ini dapat
dilihat dari banyak upacara trasisional yang intinya memohon keselamatan baik
untuk diri-sendiri, batin, keluarga dan masyarakat.10 Kata slamet dengan
pemaknaan lain jika diperhatikan dengan teliti sangat berpengaruh pada
pengambilan keputusan, sikap dan perilaku dalam sosial dan upaya mendekatkan
diri dengan Tuhan. Upaya mencapai slamet itu kemudian diwujudkan melalui
ritual slametan. Ritual ini merupakan usaha untuk mengembalikan keharmonisan
atau keselarasan atara sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan
makhluk gaib dan antara manusia dengan Tuhan.
Ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap
agama, ajaran, tradisi dan budaya mana pun di dunia ini. Dalam masyarakat Jawa
ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik
Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol atau perlambang berupa sesaji, mantra,
ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji (syarat sesaji)
mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji
sebagai makanan setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan”
atau makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara
adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua juga merupakan makhluk
ciptaan Tuhan. Namun hakekat dari ritual adalah sama yakni bertujuan untuk
keselamatan. Slametan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada
10 Ibid, 1.
14
Tuhan. Maka dalam ritual di dalamnya banyak sekali mengandung maksud
permohonan doa kepada Tuhan YME. Karena bagi masyarakat mistik Jawa,
berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun juga
saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak
ketinggalan pula acara bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk
kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah
Tuhan yang Maha pemurah.11
Upacara slametan yang dilakukan orang Jawa sudah mendarah daging,
hingga kini merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah
kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Aktifitas slametan
yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada
mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, sebuah fenomena
kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap
bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu. Dari sinilah manusia
pada awalnya merasa tak berdaya, lalu meminta perlindungan kepada yang maha
kuat, yang disebut dengan roh dan kekuatan pada benda-benda tertentu. Aktifitas
yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itulah kemudian disebut
dengan “slametan”.
Keadaan yang didambakan adalah slamet yang didefinisikan oleh orang
Jawa ora.. gak ana apa-apa (logat Jawa Timur) artinya tidak ada apa-apa, atau
yang lebih tepat tidak ada suatu yang menimpa dalam menjalani kehidupan.
Pandangan Jawa tentang keselamatan menjadi harapan bagi setiap manusia
11 http://id.wikipedia.org/wiki/ritualSlametan, Diakses pada, 26 juli 2012, 15:21 wib.
15
memberikan gambaran yang sederhana bahwa setiap perjumpaan antara manusia
yang relatif cukup lama tak berjumpa andum slamet (berbagi keselamatan).
Sementara itu yang dibutuhkan manusia bukan hanya keselamatan masa kini,
melainkan keselamatan di dunia yang akan datang. Bukan keselamatan yang
sementara melainkan keselamatan yang kekal.12
2.3 Pola Slametan Dalam Budaya Jawa
Slametan adalah merupakan upacara keagamaan versi Jawa yang paling
umum di dunia. Geertz melakukan penelitan pada masyarakat Mojokutho, Ia
melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya
seperti: tetangga, rekan sekerja, sanak sekeluarga, arwah setempat, nenek moyang
yang sudah mati dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semua duduk bersama
mengelilingi satu meja dan karena itu terikat kedalam suatu kelompok sosial
tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Slametan
merupakan wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek
kehidupan sosial. Dengan demikian slametan merupakan upacara dasar yang inti
bagi masyarakat Jawa, karena slametan mencakup seluruh kegiatan orang Jawa
mulai dari kelahiran, pernikahan, kematian, panen dan acara yang lain. Selain itu
slametan juga merupakan suatu budaya warisan nenek moyang yang masih
dipegang oleh masyarakat Jawa.13
12 Pdt. Em. Siman Widyatmanta. Mth, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat-i stiadat
(Yogyakarta: BMGJ 2007). 30-35 13 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
Hal 13
16
Kebanyakan slametan diselenggarakan waktu malam setelah matahari
terbenam dan sembahyang magrib dilakukan oleh mereka yang mengamalkanya.
Biasanya seorang yang melakukan slametan akan mengundang ahli agama untuk
menentukan hari yang baik menurut hitungan sistem kalender Jawa, jikalau
menyangkut kelahiran dan kematian maka peristiwa itulah yang menentukan
waktunya, karena peristiwa tersebut tidak bisa diprediksikan. Pada siang hari
dipergunakan untuk menyiapkan hidangan, dalam hal ini peran perempuan yang
melakukan, untuk pesta kecil hanya keluargalah yang menyiapkan tetapi untuk
pesta besar tetangga sekitar akan dimintai bantuan. Sedangkan upacara slametan
itu sendiri dilakukan oleh kaum pria, semua pria yang diundang adalah tetangga
dekat. Begitu para undangan datang mereka mengambil tempat diatas tikar dan
duduk dengan posisi formal yang disebut sila (dengan dua kaki dilipat kedepan
dan badan tegak lurus). Sedikit demi sedikit ruangan tersebut dipenuhi dengan
bau kemenyan, hal ini dimaksudkan untuk mengundang roh nenek moyang.
Dalam upacaara slametan tuan rumah membuka upacara dengan menggunakan
bahasa Jawa krama alus (bahasa Jawa yang halus/tinggi) hal ini dilakukan untuk
mengetahui maksud dan tujuan slametan serta menghargai undangan yang datang,
berharap semua memperoleh berkah yang ditimbulkan dari upacara slametan
tersebut.14
Pada upacara slametan, yang menjadi pesertanya bukan sekedar dari
orang-orang yang masih hidup, tetapi turut juga diundang orang yang sudah mati
yang disebut dengan roh leluhur15. Yang dimaksud dengan roh leluhur adalah
14 Ibid, 14-15 15 Ibid, 18
17
nenek moyang mereka atau para pendahulu mereka yang sudah mati dan pernah
berjasa pada mereka. Mereka itu misalnya orang-orang yang telah berjasa dalam
mendirikan suatu desa atau cikal bakal desa, yang biasanya kemudian disebut
sebagai danyang desa. Selain itu juga orang-orang yang pernah mendirikan suatu
kerajaan dan berjasa dalam memakmurkannya. Inti dari slametan terletak pada
makanan karena makanan merupakan persembahan buat roh-roh nenek moyang,
dimana roh tersebut juga ikut makan bersama yang hadir. Dalam hal ini bukan
berti roh tersebut memakan makanan yang disiapkan, melainkan roh tersebut
memakan aroma atau bau dari makanan tersebut. Dalam hal ini dimaknai agar
para roh nenek moyang dan roh yang berada di sekitar masyarakat tidak
mengganggu. Dalam segi sosial slametan sangat erat hubunganya dengan relasi
antar manusia. Dimana upacara slametan mengundang warga setempat serta
keluarga agar relasi antara mereka tetap terjaga dengan baik.
Upacara slametan dapat digolongkan ke dalam empat macam sesuai
dengan peristiwa atau kehidupan manusia sehari-hari yakni:
1. Slametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil
tuju bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara
untuk menyentuh tanah pertama kali, sunat, kematian serta saat-saat
setelah kematian.
2. Slametan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah
pertanian dan setelah panen.
18
3. Slametan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan
Islam dan Negara.
4. Slametan pada saat yang tidak tertentu berkenaan dengan kejadian-
kejadian, seperti perjalanan jauh, rumah kediaman baru, menolak
bahaya, janji setelah sakit dan lain-lain.
Di antara keempat macam golongan upacara slametan tadi, maka upacara
slametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan
dengan kematian serta saat sesudahnya, adalah suatu adat yang sangat
diperhatikan dan kerap dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Jawa. Hal ini
mungkin disebabkan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang
meninggal, terutama kalau orang itu keluarganya. Sehingga salah satu jalan yang
baik untuk menolong keselamatan roh nenek moyang ialah dengan membuka
upacara slametan sejak awal kematianya sampai seribu harinya.16
2.4 Makna Slametan Orang Jawa
Slametan yang oleh orang Jawa dimaknai dengan “ora…gak ana apa-
apa” (tidak ada apa-apa, atau yang lebih tepat tidak ada suatu yang menimpa).
Tetapi karena sesuatu yang mungkin terjadi dan hampir tak bisa dihindari.
Dipandang dari segi kepercayaan terhadap roh halus dan mencoba tawar-menawar
dengan mereka, khusus dalam masyarakat Jawa beranggapan bahwa roh itu
sangat menggangu. Pandangan Jawa tentang keselamatan menjadi harapan bagi
setiap manusia memberikan gambaran yang sederhana bahwa setiap perjumpaan
antara manusia yang relatif cukup lama tak berjumpa andum slamet (berbagi
16 Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 341.
19
keselamatan). Sementara itu yang dibutuhkan manusia bukan hanya keselamatan
masa kini, saat ini melainkan juga keselamatan didunia yang akan datang. Bukan
keselamatan yang sementara melainkan keselamatan yang kekal. Keselamatan ini
diharapkan oleh setiap manusia, bukan dari banyaknya teman, berlimpahan benda
melainkan yang terutama keselamatan rohani dengan kata lain yang diperlukan
manusia ialah keselamatan di dunia dan akhirat. Kehidupan yang sementara
diibaratkan “mampir ngombe” yang artinya ibarat orang melakukan perjalan
untuk mencapai sebuah tujuan dan di tengah perjalanannya disediakan air minun
yang cuma-cuma, untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya sampai akhirat
untuk menuju hidup kekal. Pandangan Jawa tentang jalan keselamatan diperlukan
kerukunan, keselarasan, kalau dipandang perlu dengan pengorbanan diri demi
kepentingan masyarakat. Dalam hal ini dapat dicapai kalau orang bersedia dan
membiasakan mengutamakan soal hati dan rohani. Slametan mengorbankan
kepentingan jasmani. Slametan sebagai upacara adat demikian banyak jumlahnya
mulai dari sifat yang pribadi berkaitan dengan kehidupan seseorang sampai
dengan seribu hari sesudah manusia meninggalkan dunianya. Ada juga slametan
yang bersifat masal untuk seluruh kampung atau desa. Dari pandangan hidup
orang Jawa muncul sikap etis dari pandangan tentang Tuhan yang bagaimana pun
gambarannya tetapi diakui sebagai penciptanya, yang ditanggapi dengan sikap
pasrah. Pasrah disini berarti menyerah pada kuasa akodrati, yang tidak mungkin
ditolak oleh manusia.17
17 Pdt. Em. Siman Widyatmanta. Mth, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat-i stiadat
(Yogyakarta: BMGJ 2007). 30-35
20
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya “kebudayaan Jawa”
menganggap bahwa supacara slametan merupakan upacara yang paling penting
yang terjadi dalam Jawa. Karena masyarakat Jawa tidak lepas dari yang namanya
slametan itu sehingga setiap kegiatan yang dilakukan orang Jawa tidak lepas dari
slametan, baik dalam kelahiran, kematian, panen, tahun baru dll. Slametan adalah
suatu upacara makan bersama yang telah diberikan doa dan dibagikan. Slametan
tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi dan erat hubunganya
dengan kepercayaan kepada unsur-unsur baik kekuatan sakti mau pun roh halus
yang ada di sekitarnya, sebab hampir semua slametan yang dijutukan untuk
memperoleh hubungan keselamatan hidup dengan baik tidak ada suatu gangguan
apapun.18
Berbeda dengan pandangan beberapa tokoh yang melihat bahwa doa yang
ada pada slametan ini ditujukan pada roh halus. Dalam bukunya H. Santoso
Prodjodiningrat slametan merupakan suatu pengharapan yang diharapkan oleh
masyarakat Jawa, dimana masyarakat berdoa bersama kepada Tuhan. Dimana
slametan dimaksudkan agar relasi antara manusia dengan alam, manusia dengan
sesama dan manusia dengan Tuhan berjalan seimbang. Hal yang ditekankan
dalam bukunya adalah pengharapan pada Tuhan.
Upacara pokok bagi orang Jawa adalah slametan, dengan mengundang
sejumlah pria tetangga terdekat dengan doa dalam bahasa Arab oleh seorang dua
orang yang pandai dalam hal itu serta dengan cermat terinci semua dewa-dewa,
Allah, Muhammad dan arwah baureksa (yang melindungi, merawat dan berkuasa)
desa dan sederetan roh lainnya, semua diminta perlindungannya, restunya atau
18 Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 340.
21
kesediaannya untuk tidak mengganggu. Pembacaan doa-doa itu merupakan unsur-
unsur pokok dalam kepercayaan kaum tani dan disertai dengan perbuatan upacara
tertentu lainnya misalnya dengan membakar kemenyan dan memberikan sesaji.19
Slametan boleh jadi sangat singkat tertutup oleh berbagai ritus dan aneka
ragam upacara lain, jika kita tidak memperhatikan dengan teliti maka kebudayaan
slametan akan hilang. Lalu mengapa orang Jawa melakuakan slametan? Menurut
Geertz ketika ia menayakan pada seorang tukang batu di Mojokutho, ada dua
alasan: pertama bila anda mengadakan slametan, tak seorangpun merasa dirinya
dibedakan dari orang lain, dengan demikian mereka tidak mau berpisah. Kedua
Slametan menjaga hubungan terhadap roh halus sehingga tidak mengganggu
kehidupan. Dalam slametan semua orang diperlakukan sama dan hasilnya orang
tidak merasa dibedakan dengan orang lain, tidak seorang pun yang merasa lebih
rendah dari orang lain dan tidak seorang pun merasa dirinya dikucilkan. Setelah
melakukan slametan arwah setempat tidak akan mengganggu, sasaran itu bersifat
kejiwaan, ketiadaan perasaan agresif terhadap orang lain, ketiadaan kekacauan
emosional, keadaan yang didambakan adalah slamet (selamat) yang oleh orang
Jawa didefinisikan tidak ada apa-apa yang menimpa dalam kehidupan.20
2.5 Pandangan Orang Jawa Tentang Keselamatan
Hidup orang Jawa yang dilatar belakangi kebatinan mistis (percaya pada
roh halus dan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan) mendapat pengaruh
19 Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. terj.Grafiti Pers .Jakarta: Grafiti Pers, 1985.14. 20 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
Hal 17-18
22
oleh agama, dogma dan ajaran yang bermacama-macam menjadi konsep tentang
Tuhan kabur dan tidak tentu. Tuhan di satu pihak disebut sebagai tan kena apa
(tidak dapat disebut dan digambarkan seperti apa), dengan demikian keterangan
tanpa sifat-sifatnya, hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir,
tanpa arah tanpa tempat, jauh tak terhingga, dekat tak bersentuhan, bukan luar
bukan dalam, tetapi meliputi semua orang yang terbentang. Dengan bahasa
teologia Tuhan yang demikian disebut dengan Tuhan yang transcendence.
Dengan catatan bahwa kebatinan mistis di dalam kunci surga bertolak dengan
ajaran agama tetapi dekat dengan kehidupan manusia, bahkan setiap pribadi
memiliki Tuhanya sendiri. Selain itu di dalam diri manusia bersemayam Tuhan
sebagai inti dari setiap manusia. Dengan demikian Tuhan yang pada awalnya
transcendence. jauh dari jangkauan manusia, maka akhirnya dekat, bahkan ada
dalam diri manusia, serta campur tangan dengan urusan keperluan manusia.21
Dalam mencari keselamatan memang naluri setiap manusia di mana pun ia
berada. Bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan hidup setelah mati, pada
umumnya ingin supaya dirinya bisa selamat lahir dan batin, selamat di dunia dan
setelah kematiannya. Yang sedikit membedakan orang Jawa dengan orang lain
adalah siapa yang dapat mencelakakan manusia sehingga ia tidak selamat,
terutama di dunia. Orang Jawa percaya bahwa keselamatan itu tidak tergantung
pada relasi antar sesama (misal berebut harta dan kekuasaan), antara makluk
hidup dan lainnya (adanya wabah penyakit), dan dalam hubunganya pada benda-
benda (bencana alam dan rusaknya hidup). Orang Jawa dapat mencari
21 Pdt. Em. Siman widyatmanta, sikap gereja terhadap budaya dan adat-istiadat, (Yogyakarta:
BMGJ 2007), 24-25.
23
keselamatan melalui bantuan dari roh halus. Pandangan Jawa yang masih primitif
tentang Tuhan didasarkan dari pengalaman individu, sehingga yang Ilahi dihayati
sebagai pelindungnya untuk melindungi dari mara bahaya yang ada di
sekelilingnya.22
Orang Jawa pada umumnya meyakini bahwa tidak lama setelah orang
meninggal, jiwanya berubah menjadi makhluk halus (roh) yang berkeliaran di
sekitar rumahnya, lama-kelamaan pergi ke tempat lain. Saat tertentu pihak dari
keluarga melakukan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh,
ketika menuju alam roh atau tempat yang abadi. Roh yang tidak mendapat tempat
di alam roh karena tingkah lakunya yang tidak baik semasa hidupnya, akan tetap
berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia, sebagai roh jahat yang menggangu
manusia, pembawa penyakit dan kesengsaraan. Banyak orang Jawa yang percaya
jika seseorang yang meninggalnya tidak wajar tidak akan mencapai alamnya dan
tetap berkeliaran selama-lamanya.23 Ajaran keselamatan yang utama dalam
budaya Jawa adalah pelaksana etika Jawa karena, pada etika terdapat sebuah nilai
hakiki, jika orang Jawa melakukannya akan berdampak pada orang lain.24 Jadi,
bisa dikatakan orang Jawa dalam mencari keselamatan, peranan etika yang
dilakukan sesorang akan berdampak pada kehidupan yang akan datang, karena
orang Jawa menginginkan keseimbangan baik dunia maupun akhirat.
22 Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto, Faham keselamatan dalam budaya Jawa (Yogyakarta:
Ampera Utama 2011) 1-5. 23 Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia (Djambatan: 1984) 335. 24 Ign. Gatut Saksono, Djoko Dwiyanto. 205.
24
2.6 Pandangan Kekristenan Tentang Keselamatan
Gereja Lutheran mengakui dua sakramen: Pembaptisan dan Perjamuan
Kudus. Katekismus Lutheran mengajarkan bahwa pembaptisan adalah karya
Allah, berlandaskan perkataan dan janji Kristus; sehingga dilayankan baik bagi
bayi maupun orang dewasa. Gereja Lutheran percaya bahwa roti dan anggur
dalam perjamuan kudus adalah sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus yang
dianugerahkan kepada umat Kristiani untuk dimakan dan diminum, yang
diperintahkan oleh Kristus sendiri. Banyak Kaum Lutheran yang melestarikan
pendekatan liturgis terhadap Ekaristi. Komunitas Kudus (atau Perjamuan Tuhan)
dipandang sebagai tindakan sentral dari pemujaan Kristiani. Gereja Lutheran
percaya bahwa roti dan anggur dalam perjamuan kudus hadir bersama dengan
tubuh dan darah Yesus, bukan hanya sebatas menggantikan atau melambangkan
tubuh dan darah-Nya.25
Luther memandang keselamatan itu merupakan jalan Tuhan yang
diberikan kepada setiap manusia. Di sini manusia harus menggali dirinya untuk
menemukan keselamatan Tuhan itu dengan cara berdoa, berpuasa dan mengakui
dosanya, yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah", dan "hanya Kitab Suci".
Maksudnya, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya diperoleh
karena imannya kepada karya anugerah Allah yang dikerjakannya melalui Yesus
Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci. (Efesus 2:8-9 Sebab
karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu,
tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang
memegahkan diri.) Luther menyatakan bahwa manusia diselamatkan bukan
25 http://www.scribd.com/doc/47590234/Gereja-lutheran , 15 juli 2012, 20:00 wib.
25
karena amal atau perbuatannya yang baik, melainkan semata-mata oleh karena
anugerah Allah. Hal ini didasarkan pada perkataan Paulus dalam Surat Roma:
"Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah
mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8)26
Menurut Calvin keselamatan diperoleh hanya karena kasih Allah melalui
iman. Keselamatan juga merupakan keputusan Allah yang kekal yang denganya
ia menetapkan untuk dirinya sendiri, apa yang menurut kehendakya akan terjadi
pada setiap orang. Dengan demikian penebusan Kristus membuat orang untuk
memantapkan keyakinanya dan kepastianya dalam dirinya dan pada giliranya
mendorong mereka untuk memuliakan Allah. Gereja merupakan persekutuan
orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih karunia Allah dalam Yesus
Kristus, yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan manusia berdosa, yang
semuanya diterima manusia melalui iman. 27 Gereja bukanlah sekedar
menyediakan sarana anugerah melalui mana segala sesuatu harus dibangun.
Gereja sesungguhnya juga merupakan titik pijak melalui mana kefasikan dunia
harus ditanggulangi dengan kesabaran dan kerendahan hati. Gereja harus
menyediakan sarana pengudusan. Gereja harus berusaha agar komunitas
menerima nilai-nilai Kristen sehingga seluruh aspek kehidupan dapat ditempatkan
di bawah kontrol prinsip-prinsip Kekristenan. Dengan menekankan komunitas
kudus dan dengan adanya penghargaan sedemikian terhadap Alkitab (dan
bukannya doktrin keimamatan seluruh orang percaya), maka ia berhasil
menghindar dari bahaya subyektifitas agama. Partisipasi jemaat dimungkinkan
26 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Didalam Dan Di sekitargereja,(BPK Gunung Mulia
1994) hal 27-32. 27 Ibid, 65-66.
26
tetapi di dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Kitab Suci, di dalam
hierarki yang telah ditetapkan, sehingga doktrin keimamatan seluruh orang
percaya dapat tetap terus berjalan tanpa membawa musibah dan tanpa adanya
bahaya dibelokkan kepada sekularisme. penekanan pada doktrin keselamatan
seluruh orang percaya membuatnya harus menarik diri dari usaha untuk
merealisasikan otonomi Gereja.28
Dalam pandangan Prof. L.A. Hoedemaker mengenai tantangan mutakhir
yang harus dihadapi gereja berkaitan dengan identitasnya. Hoedermaker
menggambarkan persoalan itu berupa ketegangan antara menemukan identitas
gereja yang esa, dengan penekanan pada kesatuan atau kesamaan identitas, dan
gereja yang kontekstual, dengan tekanan pada kekhasan atau keragaman identitas
sesuai dengan konteks masyarakat. “Pada satu pihak yang diharapkan dari gereja-
gereja adalah suatu kesadaran baru tentang arti tradisinya sendiri, tentang
kepribadiannya yang khusus, tentang kesaksian dan tanggung jawab terhadap
daerah sekitarnya. Pada pihak lain ditekankan tanggung jawab bersama,
kepentingan bentuk-bentuk kehidupan gerejawi yang menggantikan bentuk-
bentuk keterpisahan, dan keharusan ‘satu suara’ Kekristenan terhadap dunia.”29
Arthur W. Holmes menyatakan bahwa “teologi yang ditanamkan selama
ini merupakan konsepsi dari teologi barat,” di mana dari situasi sosialnya teologi
barat dapat lebih mudah diceraikan dari konteks dan situasi masyarakat Barat,
karena teologi berakar dari wahyu Allah, bukan dari pergumulan kontekstual. ini
28 http://www.scribd.com/doc/47590234/Gereja-Calvin. diakses pada 20 juli 2012 15:21 wib 29 L.A. HOEDEMAKER, “Keesaan dan Kemandirian: Soal Identitas Gereja Dalam Jaman
Oikumenis”, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks Berteologi di Indonesia: Buku Penghormatan Untuk HUT ke-70 Prof. Dr. P.D. Latuihamalo. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 325.
27
tidak berarti bahwa teologi bersifat tidak kontekstual padahal secara ontologis
tidak ada suatu wawasan teologis yang sedemikian itu. sebab manusia berteologi
di dalam konteks, bahkan wahyu Allah juga diberikan dalam konteks. Namun,
teologi yang harus mulai dari teks, bukan dari konteks adalah sebuah bentuk
ambiguitas yang membuat sampai pemaknaan akan teologi dipandang berbeda
dari situasi sosial yang dimaknai oleh mayarakat.30 Rupa-rupanya bagi
Hoedemaker, persoalan ini,
“tidak bisa dibahas sebagai soal umum, lepas dari konteks-konteks tertentu. Sebaliknya: hubungan antara keesaan dan kemandirian mengambil bentuk-bentuk yang berbeda-beda –bergantung dari sejarah dan konteks yang berlaku pada salah satu tempat dan pendekatan misiologis yang memainkan peranan dalam sejarah itu”.31
Sehubungan dengan ini, lanjut Hoedemaker, maka sejarah dan situasi
konteks yang muncul dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan dari perjumpaannya
dengan Injil dalam pembentukan identitas diri yang kontekstual dan agamawi.32
Oleh sebab itu, dengan memperhatikan kekhususan sejarah kekristenan di
Indonesia inilah Hoedemaker kemudian melanjutkan:
“maka dalam dualitas ‘keesaan dan kemandirian’ tekanan utama terletak pada ‘kemandirian’. Kemandirian menunjuk pada kehidupan gereja setempat, di mana persekutuan, pergumulan dan kesaksian mengambil bentuk ‘darah daging’ dari kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk keesaan yang lebih luas, yang meliputi dan mempersatukan masyarakat setempat, hanya mempunyai arti kalau dihidupkan dan dibekali oleh ‘kontekstualitas’ itu. Kesaksian tentang Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang abstrak, yang lepas dari tempat-tempat kongkret; sebaliknya, kesaksian itu hanya wajar kalau dijelmakan melalui situasi-situasi pertemuan dan pergumulan antara manusia dan tradisi-tradisi serta tantangan-tantangan masa kini.”. 33
30 Arthur G. Holmes, Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah (diterj. oleh Yongky Karman;
Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1990), 33.
31 HOEDEMAKER, Ibid., 328. 32 Ibid., 330. 33 Ibid., 355.
28
Jadi terdapat adanya suatu hubungan yang konteks di mana gereja dapat
memberikan pemahaman ulang tentang upacara slametan tetapi orang Jawa tidak
lepas meninggalkan tradisi mereka. Dengan demikian unsur-unsur dalam upacara
slametan yang dilakukan oleh orang Jawa bisa saja mengalami perkembangan, di
mana pola slametan mengalami perkembangan seiring dengan masuknya agama-
agama baru dalam masyarakat Jawa. Sebagai bangsa yang beragama dan
berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang Jawa cukup antusias
melaksanakan aktifitas yang berhubungan dengan keagamaan/kepercayaan.
Upacara slametan yang ternyata merupakan budaya Jawa yang sarat dengan
unsur-unsur agama dan kepercayaan, nampaknya cukup memberikan motivasi
tersendiri bagi orang Jawa untuk menyelenggarakannya.
top related