bab ii kerangka dasar teori a. pencemaran udara
Post on 16-Oct-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA DASAR TEORI
A. Pencemaran Udara
Pada saat ini, pencemaran berlangsung di mana-mana dengan laju begitu
cepat, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. kecenderungan pencemaran,
terutama sejak Perang Dunia kedua mengarah kepada dua hal yaitu, pembuangan
senyawa kimia tertentu yang makin meningkat terutama akibat kegiatan industri
dan transportasi. Selain itu juga akibat penggunaan berbagai produk bioksida dan
bahan-bahan berbahaya aktivitas manusia (Irianto, 2015).
Ada sekitar 99% dari udara yang kita isap ialah gas nitrogen dan oksigen.
gas lain dalam jumlah yang sangat sedikit. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa di antara gas yang sangat sedikit tersebut diidentifikasi sebagai gas
pencemar. Di daerah perkotaan misalnya, gas pencemar berasal dari asap
kendaraan, gas buangan pabrik, pembangkit tenaga listrik, asap rokok, larutan
pembersih, dan sebagainya yang berhubungan dengan kegiatan manusia (Irianto,
2015).
Komponen–komponen pencemar tersebut dalam tingkat tertentu dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan paru manusia atau hewan, tanaman,
bangunan dan bahan lainnya. Adanya kandungan bahan kimia dalam atmosfer
bumi karena polusi udara akan dapat juga mengubah iklim lokal, regional, dan
global, sehingga bisa meningkatkan jumlah radiasi sinar ultraviolet dari matahari
ke permukaan bumi (Irianto, 2015).
Udara bersih merupakan kebutuhan dasar bagi kesehatan manusia. Rumah
yang nyaman dan sehat bukan hanya karena bersih saja, namun keharuman pada
setiap ruang tentu juga turut berperan dalam menciptakan suasana yang nyaman di
dalam rumah. Rumah yang harum pada setiap ruangnya akan membuat betah
penghuninya. Bau tak sedap di dalam rumah dapat ditimbulkan karena kurangnya
cahaya alami yang masuk, hal ini mengakibatkan ruangan menjadi lembab.
Sirkulasi udara yang tidak lancar juga merupakan faktor penyebabnya. Udara
yang ada di dalam rumah dan tidak lekas berganti, selain membuat ruang menjadi
lembab juga jika ada bau yang tidak sedap maka tidak akan lekas hilang. Untuk
membuat ruang di dalam rumah menjadi harum maka banyak yang menggunakan
pengharum ruangan (Aksari, 2018).
Pengharum ruangan merupakan bahan kimia rumah tangga yang termasuk
sebagai salah satu pencemar udara dari dalam ruangan. Penggunaan pengharum
ruangan kini semakin dipertanyakan keamanannya, terutama yang berhubungan
dengan kandungan di dalamnya. Pada sebagian besar wilayah dunia, produsen
produk-produk konsumsi tidak diwajibkan oleh hukum untuk mengungkapkan
bahan-bahan mereka. Pengharum ruangan masuk ke dalam tubuh melalui proses
inhalasi pada sistem pernapasan. Bahan kandungan pengharum ruangan
diperkirakan memberikan respon negatif baik psikologis maupun fisiologis,
seperti gangguan pernapasan, respon alergi dan berbagai gejala tidak spesifik
seperti sakit kepala, iritasi hidung, mata dan lain-lain (Yuningtyaswari, 2012).
B. Pengharum Ruangan
Pengharum ruangan adalah produk yang mengandung bahan kimia
bertujuan mengurangi bau yang tidak menyenangkan di ruangan tertutup. Bahaya
pengharum ruangan umumnya tergantung pada jenis, bentuk, pewangi dan
komponen-komponen kimia aktif yang terkandung di dalamnya serta dipengaruhi
oleh lama paparan. Pengharum ruangan saat ini semakin banyak digunakan baik
di rumah, tempat kerja, lift, maupun kendaraan (mobil). Pengharum ruangan dapat
membuat udara di dalam ruangan menjadi terasa segar, wangi dan nyaman
(Yuningtyaswari, 2015).
Namun kita tidak menyadari adanya racun dalam udara yang kita hirup.
Bahaya pengharum ruangan umumnya tergantung pada jenis atau bentuk maupun
pewangi dan komponen-komponen kimia aktif yang terkandung di dalamnya,
disamping faktor pengaruh lain, seperti jalur paparannya. Dari segi bentuk,
sediaan yang mudah menguap (aerosol) lebih berisiko bagi tubuh, terutama jika
terjadi kontak langsung melalui sistem pernapasan. Namun kontak yang terjadi
melalui kulit pun bukan tak berisiko mengingat zat pewangi akan begitu mudah
memasuki tubuh (Kariza, 2015).
Penggunaan pengharum ruangan cair semprot biasanya menggunakan
propellant hidrokarbon yang dikombinasikan dengan solvent ethanol untuk
melarutkan bahan utamanya. Bahan kimia yang terkandung pada pengharum
ruangan ini termasuk material volatil yang akan menguap pada suhu kamar.
Partikel aerosol (cairan yang tersuspensi dalam gas) akan mengendap di nasal dan
saluran napas atas lainnya. Ketika partikel yang dihasilkan berukuran 5-10 μm,
partikel zat kimia tersebut akan dihadapkan oleh mekanisme pertahanan di kavum
nasal. Partikel-partikel yang tersisa berukuran 1-5 μm dapat melewati barier
pertahanan kavum nasal dan mengendap dalam bronkiolus kecil, sedangkan
partikel yang kurang dari 1 μm berdifusi melewati dinding alveoli dan melekat
pada cairan alveolus (Yuningtyaswari, 2012).
Pengharum ruangan berbentuk cair mengandung > 99% air dan < 0,5%
parfum. Untuk yang berbentuk gel mengandung > 96% air, < 2 % carragenaan,
dan ~ 1 % parfum. Setiap produk wewangian mengandung pelarut tambahan yang
berfungsi sebagai media atau fondation baik parfum itu asli atau sintesis.
Persentase kandungan bahan kimia dalam parfum antara kisaran 30% tergantung
dari jenis produknya. Namun, dari beberapa analisa pasar 95 % bahan kimia yang
terkandung di dalam produk wangian adalah bahan kimia sintetik yang berbahan
dasar petroleum yang merupakan turunan benzene, aldehyde atau zat kimia
beracun lainnya (Damayanti, 2016).
Pengharum ruangan digunakan untuk menciptakan aroma suasana yang
menyenangkan dalam ruangan. Pengharum ruangan bekerja melalui salah satu
atau kombinasi dari 4 cara sebagai berikut:
1. Dengan melemahkan kemampuan saraf pembau dengan bahan kimia,
2. Dengan melapisi hidung dengan zat berminyak yang tidak terdeteksi,
3. Dengan menutupi satu bau dengan aroma lain,
4. Dengan mengubah komposisi bau yang tidak menyenangkan (Sneller, 2010).
C. Kandungan Kimia Pengharum Ruangan
Pengharum ruangan yang banyak beredar di pasaran berbentuk cair
(semprot, minyak, dan busa) maupun padat (gel). Perbedaan dari beberapa jenis
pengharum ini adalah pada komponen pembentuknya. Bahan yang paling umum
digunakan sebagai pemberi aroma dalam pengharum ruangan meliputi etanol,
formaldehida, bibit pengharum, naftalena, fenol dan xilena ataupun turunannya.
Bahan-bahan yang termasuk substansi berbahaya meliputi derivat benzena, pinen
dan limonen, aldehida, fenol, dan juga kresol, serta ada pula phthalate yang
digunakan dalam pengharum sebagai bahan pelarut (solvent). Ada kekhawatiran
bahwa senyawa dari pengharum ruangan dapat bereaksi dengan bahan-bahan di
udara, seperti ozon, untuk membentuk aldehida, keton, asam organik, partikulat,
dan radikal bebas (Cater, et al., 2006).
Partikel-partikel yang terhirup bersama udara pernapasan melewati sistem
barier pertahanan kavum nasal. Pertahanan pertama terhadap patogen pada
mukosa nasal adalah barier mukosiliar. Pada epitel respiratorius dilindungi oleh
silia-silia dan juga lapisan mukus. Zat-zat berbahaya maupun mikroorganisme
akan terperangkap pada lapisan mukus yang dihasilkan oleh sel goblet, dan oleh
sel silia akan digerakkan menuju orofaring untuk ditelan. Pertahanan secara
seluler diperankan oleh sel neutrofil dan magrofag yang akan memfagosit zat-zat
toksik. Jika mukosa terpapar zat toksik, maka akan menyebabkan perubahan
sitolitik yang akan terakumulasi dan menyebabkan cedera sel. Magrofag dan
neutrofil kemudian diaktifkan untuk memfagosit zat toksik tersebut (Haschek, et
al., 2010).
Tabel 2.1 Komposisi Utama Produk Pengharum Ruangan
Deskripsi Produk Bentuk Komposisi Utama
Adjustable solid gel padat > 96 % air
< 2 % carragenaan
~ 1 % pengharum
Aerosol pump spray Konsentrat
Cair
> 99 % air
< 0,5 % pengharum
Carpet foam aerosol
Concentrate
Konsentrat
Cair
> 96 % air
2-3 % isopropanol
~ 0,5% pengharum
Scented Oil Minyak ~ 80 – 90% komposisi fungsional (seperti
pelarut), terdiri dari:
> 25% 3-Methyl-3-Methoxybutanol (MMB),
Dipropylene Glycol Monomethyl Ether
(DPGME) dan/atau Tripropylene Glycol
Monomethy lEther (TPGME)
> 10% ≤25% Dipropylene Glycol (DPG)
dan/atauBenzyl Acetate
~ 8 – 15 % pengharum
Gel electric Gel > 95 % pengharum
< 5 % fumed silica
Non-aerosol spray Semprot > 89% air
5 -7% ethanol
1 - 2% surfaktan
~ 1% pengharum
(Sumber: Cater,et al., 2006)
Senyawa-senyawa berbahaya tersebut dapat menyebabkan sensitisasi pada
organ tertentu. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi sensitisasi adalah
struktur bahan kimia (ukuran, bentuk), genetika dan karakteristik pemaparan,
termasuk dosis, rute, durasi, dan frekuensi pemaparan. Bahan kimia yang
mengalami proses biologis aktif, pertama kali harus diangkut dari lokasi kontak ke
target kerjanya, kemudian bereaksi dengan reseptor (Cater, et al., 2006).
Tabel 2.2 Polusi dalam Ruangan dari Produk Komersial dan Efek Kesehatan Potensial
Polutan Sumber Efek Kesehatan Potensial
Volatile organic
compound (VOC)
Produk pembersih, cat,
pengharum ruangan
Iritasi saluran pernapasan, asma, sakit
kepala, muntah
Formaldehyde Perabotan, isolasi,
kosmetik, pakaian, asap
rokok
Iritasi mata, hidung, tenggorokan,
pusing, diare, mengurangi daya ingat
Particular Matter (PM) Memasak, Aerosol Mengurangi fungsi paru-paru,
peningkatan resiko jantung dan
pernapasan, pneumoconiosis
Carbon monoksida (CO) Pemanas, memasak,
pengharum ruangan
Gejala peranpasan, efek saraf pusat,
mual, sakit dada, lemah
Nitogen diokida (NO3) Memasak, aerosol,
pengharum ruangan
Kematian tingkat tinggi, efek kronis
tingkat rendah, penyakit pernapsan
kronis
Alergen Cetakan, debu rumah,
kabut
Asma, iritasi,
VOC dan Ozon (O3) Produk pembersih,
printer, pelukis
pengharum ruangan
Asma, iritasi sensorik, gejala
pernapasan, gejala jantung
Odorous (bau yang baik) Sumber berbau Kehilangan selera makan, muntah,
insomnia, alergi
(Sumber: Kim,et al., 2015)
1. Aldehida (R-C-H-O)
Aldehida merupakan bahan kimia reaktif yang menyebabkan iritasi.
Formaldehida merupakan salah satu aldehida sederhana yang banyak
digunakan. Senyawa aldehida yang masuk ke tubuh melalui rongga hidung
akan mengendap di saluran napas bawah, sehingga inhalasi gas aldehida ini
dapat mengakibatkan bronkhitis, pneumonitis, dan edema pulmonar (Sullivan
& Krieger, 2001). Pada paparan tunggal, senyawa aldehida menyebabkan
hiperaktivitas saluran napas seperti bronkokonstriksi, sedangkan pada
paparan berulang aldehida sebagai bahan karsinogenik (Lippman, 2009).
Gambar 2.1 Rumus Molekul Aldehida
(Sumber: Wardiyah, 2016)
2. Benzena (C6H6)
Benzena adalah salah satu senyawa hidrokarbon aromatik yang
menyebabkan toksisitas baik itu secara akut maupun kronis. Turunan benzena
yang banyak digunakan pada pengharum ruangan adalah 1,4
dichlorobenzene, serta ada juga dimetilbenzena atau sering disebut xilena,
biasa digunakan sebagai pelarut. Paparan akut mengakibatkan depresi sitem
saraf pusat, diawali dengan euforia yang berlanjut menjadi mual, pusing
hingga ataxia, kejang dan juga koma. Gejala persisten paparan benzena
mungkin terdiri dari insomnia, anoreksia, dan nyeri kepala, sedangkan
inhalasi pada konsentrasi tinggi dapat memicu timbulnya edema pulmonar.
Paparan jangka panjang akan menyebabkan depresi pada elemen sumsum
tulang yang akan berkembang menjadi anemia aplastik. Paparan akut xilena
menyebabkan iritasi pada mukus dan sistem saraf pusat, sedangkan 1,4
dichlorobenzene menyebabkan penurunan fungsi paru (Luttrell, et al., 2008).
Benzena adalah hidrokarbon aromatik yang ada sebagai cairan tidak
berwarna, mudah menguap, dan sangat mudah terbakar. Paparan untuk
benzena terutama terjadi melalui inhalasi yang tercemar di udara. Paparan
jangka pendek tingkat benzena yang tinggi dapat berbahaya bagi sistem saraf
dan menyebabkan kantuk, pusing, sakit kepala, sesak napas, (Kim, et al.,
2015).
Gambar 22. Rumus Molekul Benzena
(Sumber: Wardiyah, 2016)
3. Etanol (C2H5OH)
Etanol digunakan sebagai bahan pelarut. Inhalasi dari etanol akan
menyebabkan iritasi membran mukosa, yang terjadi pada paparan dosis tinggi
5.000-10.000 ppm. Paparan dapat menyebabkan stupor, lelah, dan
mengantuk, serta menyebabkan kerusakan otak pada keadaan kronik. Baik
paparan akut maupun kronik menyebabkan peningkatan lipid peroksidase
otak (Patnaik, 2007).
Gambar 2.3 Rumus Molekul Etanol
(Sumber: Wardiyah, 2016)
4. Fenol (C6H5OH)
Fenol merupakan senyawa paling sederhana dan banyak digunakan dalam
tahap produksi. Salah satu dari turunan fenol adalah kresol, yang dijumpai
pada pengharum ruangan. Secara pinsipal, fenol sebagai bahan kimia yang
dapat menyebabkan iritasi berat pada sistem tubuh, seperti iritasi pada mata,
kulit, saluran napas, dan membran mukosa. Fenol juga menyebabkan efek
samping pada sistem saraf pusat, kardiovaskuler, ginjal, dan hepar (Dikshith
& Diwan, 2003).
Gambar 2.4 Rumus Molekul Fenol
(Sumber: Wardiyah, 2016)
5. Naftalen (C10H8)
Naftalen merupakan kelompok zat kimia polisiklik hidrokarbon aromatik.
Naftalen dikenal sebagai okular iritan. Namun, inhalasi naftalen pada
konsentrasi sedang juga berpengaruh terhadap tubuh, seperti sakit kepala,
bingung, mual, dan profuse perspiration, serta hemolisis akut. Keracunan
berat dapat menyebabkan hemoglobinuria, methemoglobinemia, produksi
heinz bodies, dan kematian (Luttrell, et al., 2008).
Gambar 2.5 Rumus Molekul Naftalen
(Sumber: Wardiyah, 2016)
6. Ptalat (C6H4(CO2H)2
Ptalat (phatalate), banyak digunakan pada pengharum ruangan. Beberapa
jenis ptalat yang sering digunakan pada produk pengharum ruangan adalah
adalah di-butyl phthalate (DBP), di-isobutyl phthalate (DIBP), dan di-
isohexyl phthalate (DIHP). Selain menginduksi gangguan saluran pernapasan,
inhalasi ptalat juga menyebabkan gangguan hormonal dan penurunan kualitas
organ reproduksi (Cohen, et al., 2007).
Gambar 2.6 Rumus Molekul Ptalat
(Sumber: Wardiyah, 2016)
7. Limonen (C10H16)
Limonen merupakan salah satu yang termasuk senyawa terpene. Limonen
ada dalam dua bentuk, yaitu, d –limonene dan l -limonene. Limonene adalah
komponen alami dari produk seperti jeruk dan lemon, dan aroma untuk
pewangi dalam makanan, minuman, dan udara penyegar. Bahan kimia ini
banyak digunakan sebagai bahan tambahan makanan. dan pewangi parfum,
pengharum ruangan, dan deterjen pembersih. Pengharum ini ditambahkan ke
pengharum ruangan, yang mengandung konsentrasi yang berkisar dari tidak
terdeteksi hingga 2,000 μg/m3. Studi lain menemukan bahwa sekitar 20 g
semprotan pengharum ruangan yang disediakan dengan limonen dibuat dari
100% jeruk, lemon, atau jeruk nipis murni es dan minyak (Kim, et al., 2015).
Gambar 2.7 Rumus Molekul Limonen
(Sumber: Wardiyah, 2016)
8. Benzil Asetat (C9H10O2)
Benzil asetat adalah sejenis senyawa organik dengan rumus molekul
C9H10O2. Senyawa ini merupakan ester yang dihasilkan dari kondensasi
benzil alkohol dan asam asetat. Benzil asetat ditemukan secara alami di
kebanyakan bunga. Benzil asetat merupakan kandungan utama minyak
esensial bunga melati dan kenanga. Benzil asetat memiliki aroma yang wangi
seperti bunga melati. Oleh karenanya, Benzil asetat digunakan secara meluas
pada produk-produk parfum dan kosmetik (Winarto, 2012).
Gambar 2.8 Rumus Molekul Benzil Asetat
(Sumber: Wardiyah, 2016)
9. Butana (C4H10)
Butana adalah gas dengan rumus C4H10 yang merupakan alkana dengan
empat atom karbon dikelilingi oleh atom hidrogen sepuluh untuk membentuk
garis lurus. Butana sangat mudah terbakar, tidak berwarna, dan merupakan
gas yang mudah dicairkan. Nama butana diturunkan dari nama asam butirat.
Gas butana adalah komponen gas dari gas alam, butana juga dapat diproduksi
dari minyak mentah, tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil (Cohen, et al.,
2007).
Gambar 2.9 Rumus Molekul Butana
(Sumber: Wardiyah, 2016)
10. Propana (C3H8)
Propana adalah senyawa alkana tiga karbon yang berwujud gas dalam
keadaan normal, tapi dapat dikompresi menjadi cairan yang mudah
dipindahkan dalam kontainer yang tidak mahal. Senyawa ini diturunkan dari
produk petroleum lain pada pemrosesan minyak bumi atau gas alam (Cohen,
et al., 2007).
Gambar 2.10 Rumus Molekul Propana
(Sumber: Wardiyah, 2016)
11. Amonia (NH3)
Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini
didapati berupa gas dengan bau yang tajam yang khas. Dalam larutan
biasanya terdapat dalam bentuk larutan ammonium hidroksida yang
merupakan senyawa kaustik yang dapat merusak kesehatan. Apabila terpapar
gas amonia pada tingkatan tertentu dapat menyebabkan gangguan fungsi
paru-paru dan sensitivitas indera penciuman (Fahmiati, 2012).
Gambar 2.11 Rumus Molekul Amonia
(Sumber: Wardiyah, 2016)
D. Mencit (Mus musculus)
Mencit adalah hewan yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan,
hewan uji laboratorium ini merupakan turunan dari hewan tikus rumah yang
keberadaannya melimpah dan dikenal dengan sebutan house mouse. Mencit galur
Swiss Webster merupakan hewan uji yang digunakan pada penelitian. Pemilihan
hewan uji tersebut dikarenakan mencit merupakan hewan yang sering digunakan
dalam penelitian, literaturnya banyak dipublikasikan, mudah penanganannya,
mudah beradaptasi, cepat berkembang biak karena periode kehamilan yang
pendek, perawatannya murah, dan biasa dijadikan sebagai model penelitian untuk
berbagai jenis penyakit pada manusia (Mailisdiani, 2016).
Klasifikasi ilmiah dari mencit menurut Schwiebert (2007) adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Mus
Species : Mus musculus
Gambar 2.12 Mencit (Mus musculus)
(Sumber: Schwiebert, 2007)
Secara umum mencit dewasa memiliki panjang tubuh (hidung sampai
pangkal ekor) 7,5-10 cm, ekor memiiki panjang sekitar 5-10 cm, pada ekor dan
telinganya terdapat rambut-rambut halus. Kaki belakangnya dapat dikatakan
pendek karena berukuran 15-19 mm, mencit berjalan dengan mengeluarkan suara
yang khas dengan cara mendecit (Schwiebert, 2007).
Pada penelitian ini digunakan mencit jantan dewasa, berumur 3 bulan
dengan berat badan 30 gram. Percobaan dengan menggunakan mencit sebagai
hewan coba harus memperhatikan beberapa prinsip dalam pemeliharaannya
seperti pengawasan lingkungan, kenyamanan, nutrisi, dan kesehatan. Sehingga
diharapkan akan didapat hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian
(Wahyuningroom, 2014).
Temperatur ruangan untuk pemeliharaan mencit berkisar antara 200C-250C,
mencit dapat dipelihara dengan baik pada temperatur 70-800F. Mencit liar bersifat
Omniverus yaitu pemakan segala macam makanan. Dalam melakukan penelitian
dengan hewan diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang penanganan
hewan percobaan. Peneliti harus bekerja dengan tenang, tidak terburu-buru dan
menangani hewan hewan percobaan secara benar, agar penelitian dapat berjalan
lancar sesuai dengan rencana (Ngatidjan, 2006).
E. Bronkus
Untuk kelangsungan hidupnya manusia butuh bernapas. Sistem
pernapasan sangat penting di mana terjadi pertukaran gas oksigen dan
karbondioksida. Oksigen dalam udara dibawa masuk ke dalam paru-paru dan
berdifusi dalam darah. Bersamaan dengan itu dikeluarkannya karbondioksida
yang juga berdifusi dari darah dan kemudian dikeluarkan bersama udara. Oksigen
dibutuhkan oleh semua sel dalam tubuh untuk kelangsungan hidupnya. Sedangkan
karbondioksida merupakan sisa hasil metabolisme yang tidak digunakaan lagi dan
harus dikeluarkan dari dalam tubuh (Irianto, 2013).
Perjalanan oksigen dan karbondioksida, dari atmosfer (udara) oksigen
masuk melalui hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus sampai dengan
alveoli. Dari alveoli oksigen berdifusi masuk ke dalam darah dan dibawa oleh
eritrosit. Dalam darah oksigen dibawa ke jantung kemudian dipompakan oleh
jantung diedarkan ke seluruh tubuh untuk digunakan sampai tingkat sel. Oksigen
masuk ke dalam sel dan di dalam mitokondria digunakan untuk proses-proses
metabolisme yang penting untuk kelangsungan hidup. Sedangkan karbondioksida
berjalan arah sebaliknya dengan oksigen (Irianto, 2013).
Sistem pernapasan (respirasi) adalah suatu kumpulan organ yang memiliki
fungsi dalam menghasilkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari sisa
metabolisme dalam tubuh. Organ dalam sistem respirasi makhluk hidup berbeda-
beda. Perbedaan organ disebabkan karena adanya evolusi pada organisme-
organisme dengan tingkatan yang lebih tinggi. Organisme tingkat tinggi memiliki
sistem respirasi yang lebih kompleks dibanding dengan organisme yang lebih
rendah tingkatannya (Novitasari, 2017).
Paru-paru atau pulmo merupakan organ penting manusia yang berbentuk
spons dan terletak pada rongga dada yang memiliki berat sekitar 300-400 gram.
Rongga dada dipisahkan dari rongga perut oleh diafragma. Paru-paru manusia
terdiri dari dua bagian yaitu paru kanan dan paru kiri. Paru kanan memiliki tiga
lobus yang terdiri dari: lobus superior, lobus medius dan lobus inferior,
sedangkan paru kiri memiliki dua lobus yaitu: lobus superior dan lobus inferior.
Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi
menjadi beberapa sub bagian, ada sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut
bronchoparunary segments. Paru kanan dan kiri dipisahkan oleh mediastinum.
Paru-paru manusia sebelah kiri lebih kecil dari pada kanan hal tersebut
dikarenakan jantung membutuhkan ruang lebih dari sisi tubuh bagian kiri (Rianti,
2017).
Paru adalah organ yang berfungsi sebagai alat respirasi utama dalam
tubuh. Paru terletak di dalam rongga thoraks, berbentuk piramid dengan apeks di
atas, dan terdiri dari beberapa lobus. Paru sendiri merupakan salah satu organ
yang sering mengalami kelainan patologis karena organ ini berkontak langsung
dengan udara luar. Paru terdiri dari paru-paru kanan dan paru-paru kiri dengan
paru-paru kanan lebih besar dari pada paru-paru kiri (Utama, 2018).
Gambar 2.13. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru
(Sumber: Frank, 2003)
Paru dilapisi oleh membran serosa yang disebut dengan pleura. Pleura
terdiri dari dua macam, yaitu pleura parietalis yang melapisi rongga dada dan
pleura visceralis yang menyelubungi paru. Pleura visceralis pada tikus relatif lebih
tipis dibandingkan dengan manusia dan hewan besar. Di antara kedua pleura
tedapat rongga yang disebut cavum pleura. Rongga ini berisi cairan yang berguna
untuk melumasi dinding dalam pleura. Cavum pleura juga memiliki fungsi untuk
menjaga tekanan negatif rongga thoraks. Paru-paru sebelah kiri dan sebelah kanan
dipisahkan oleh mediastinum, jaringan ikat longgar fibrosus yang terletak di
tengah rongga thoraks. Mediastinum dapat ditemukan diantara tulang sternum dan
tulang tulang belakang. Jaringan ini berikatan dengan perikardium dan
mediastinal pleura yang menyatu dengan pleura parietal (Utama, 2018).
Organ paru selain memiliki fungsi utama sebagai tempat pertukaran udara,
juga memiliki beberapa fungsi non-respiratori lain yang memiliki peranan penting
dalam fisiologi. Beberapa peranan penting organ paru-paru selain untuk respirasi
antara lain sebagai reservoir sistem sirkulasi, filter toksikan yang berada di dalam
darah, pertahanan melawan agen yang terinhalasi, endokrin dan fungsi metabolik,
dan metabolisme beberapa macam obat (Utama, 2018).
Gambar 2.14 Struktur Histologis Normal Paru-Paru Mencit Pada Berbagai Macam Besaran
(Sumber: Utama, 2018)
Bronkus merupakan saluran napas yang terbentuk dari belahan dua trakea
pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa
dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Intrapulmonari bronkus
memiliki struktur histologis yang bervariasi, tergantung berdasarkan ukuran
bronkus itu sendiri, namun terdapat beberapa gambaran umum. Gambaran
histologi bronkus terdiri dari empat membran, yaitu mukosa, submukosa, fibro-
kartilagenus, dan adventisia. Bronkus juga mengandung otot polos di bagian
dinding lumen bronkus (Utama, 2018).
Gambar 2.15 Struktur Histologis Normal Bronkus Mencit L= lumen
bronkus; B= BALT; BD= buluh darah; A= alveol
Perbesaran 40x
(Sumber: Utama, 2018)
Sel-sel yang dapat ditemukan selain sel-sel epitel yaitu sel goblet, sel Clara
(sel sekretori), dan sel brush. Sel pertahanan lokal seperti limfosit dan nodul-
nodul limfoid juga dapat ditemukan di sekitar bronkus. Tipe sel epitel penyusun
bronkus berupa sel silindris banyak lapis bersilia dengan lamina propria dari
membran mukosa yang tipis, mengandung jaringan kolagen dan elastik (Utama,
2018).
Gambar 2.16 Gambaran Histologi Bronkus Normal
dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE, 40x10).
Keterangan: (1) Epitel; (2) Sel goblet; (3) Silia;
(4) Jaringan Submukosa; (5) Membrana Basalis
(Sumber: Muhartiningsih, 2019)
Sel dengan silia memiliki fungsi membantu eksresi mukus dan debu yang
berada di dalam lumen. Sel neuroendokrin hanya terdapat sedikit dan tunggal,
memiliki sitoplasma mengandung granul kecil. Sel basal berbentuk kubus dengan
inti yang padat dan sitoplama yang bersifat sedikit basofilik. Sel basal memiliki
kemampuan bermitosis di lapis basal. Semakin kecil ukuran bronkus maka akan
semakin kecil tulang rawan yang terdapat di membran fibro-kartilagenus juga
lapis otot di membran mukosa. Perubahan juga terjadi pada sel epitel menjadi
semakin pipih. Lapisan submukosa banyak ditemukan jaringan fibrosa yang
bergabung dengan jaringan ikat interstisial (Utama, 2018).
Struktur mikroskopis bronkus mirip dengan trakea. Bronkus primer kiri
lebih panjang dan lebih kecil dari bronkus kanan. Maka benda-benda asing yang
terhisap lebih sering dan lebih mudah masuk ke bronkus kanan. Pada tempat
bronkus masuk ke paru-paru, bronkus primer kanan bercabang menjadi tiga
bronkus lobaris (sekunder). Sedangkan bronkus primer kiri menjadi dua bronkus
lobaris sesuai dengan jumlah lobus paru-paru kanan tiga dan paru-paru kiri dua
lobus. Kemudian seperti cabang-cabang ranting pohon, bronkus lobaris
bercabang-bercabang lagi menjadi bronkus tersier, bronkiolus, dan bronkiolus
terminalis. Sepanjang percabangan terjadi perubahan-perubahan epitelnya menjadi
epitel selaput kubus pada bronkiolus, tidak lagi terdapat tulang rawan pada
bronkiolus serta otot polos pada bronkiolus menjadi besar dan tebal (Irianto,
2013).
Bronkus dengan ukuran diameter yang lebih kecil dapat tersusun hanya
dari sel silindris satu lapis bersilia. Bronkus dengan ukuran sedang memiliki sel
epitel yang beragam bentuk dan ukuran. Inti sel dari sel epitel pada bronkus
dengan ukuran sedang terletak tidak beraturan. Lapisan fibro-kartilogenus
ditunjukkan dengan keberadaan sel tulang rawan dengan bentuk yang tidak teratur
dan jaringan elastik kartilogenus. Jaringan ikat mengisi ruang di antara sel-sel
kartilago. Lapis adventisia terbentuk dari jaringan ikat fibrin yang bergabung
dengan jaringan interstisial paru. Jaringan ikat terdiri dari serabut elastik dan
kolagen, sel fibroblas dan sel migratori (makrofag, limfosit, plasmasit, dan
mastosit). Serabut kolagen tersebar secara tidak teratur, memiliki bentuk undulasi.
Pembuluh darah dan pembuluh limfatik juga dapat ditemukan disini (Utama,
2018).
F. Histologi
Histologi mempelajari jaringan penyusun tubuh, kimia jaringan dan sel
dipelajari dengan metode analitik mikroskopik dan kimia. Zat-zat kimia di dalam
jaringan dan sel dapat dikenali dengan reaksi kimia yang menghasilkan senyawa
berwarna tak dapat larut, diamati dengan mikroskop cahaya atau penghamburan
elektron oleh presipitat yang dapat diamati menggunakan mikroskop elektron.
Disamping reaksi kimia yang terjadi dalam jaringan, metode lain misalnya metode
fisis sering digunakan, misalnya mikroskop interferensi yang memungkinkan
penentuan massa sel atau jaringan dan mikroskop spektrophotometri yang
memungkinkan penentuan jumlah DNA dan RNA dalam sel (Harjana, 2011).
Jaringan adalah kumpulan dari sel-sel sejenis atau berlainan jenis termasuk
matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu. Meskipun
sangat komplek tubuh mamalia hanya tersusun oleh 4 jenis jaringan yaitu
jaringan: epitel, penyambung/pengikat, otot dan saraf. Dalam tubuh jaringan ini
tidak terdapat dalam satuan-satuan yang tersendiri tetapi saling bersambungan
satu dengan yang lain dalam perbandingan yang berbeda-beda menyusun suatu
organ dan sistema tubuh. Jaringan penyambung ditandai banyaknya bahan intersel
yang dihasilkan oleh sel-selnya; jaringan otot terdiri dari sel-sel panjang yang
mempunyai fungsi khusus yaitu kontraksi dan jaringan saraf terdiri dari sel-sel
dengan proses panjang yang menonjol dari bahan sel dan mempunyai fungsi
khusus yaitu menerima, membangkitkan dan menghantarkan impuls saraf
(Harjana, 2011).
Intrapulmonari bronkus memiliki struktur histologis yang bervariasi,
tergantung berdasarkan ukuran bronkus itu sendiri, namun terdapat beberapa
gambaran umum. Gambaran histologi bronkus terdiri dari empat membran, yaitu
mukosa, submukosa, fibro-kartilagenus, dan adventisia. Bronkus juga
mengandung otot polos di bagian dinding lumen bronkus (Utama, 2018).
Kedua cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama yang
memasuki hilus paru dan berjalan kebawah dan luar, bercabang menjadi bronki
lobar. Paru-paru kiri terdiri atas lobus atas dan bawah, sedangkan paru kanan atas
lobus atas, tengah, dan bawah. Jadi terdapat dua bronki lobar di kiri dan tiga di
kanan yang pada gilirannya bercabang lagi menjadi bronki segemental menuju
berbagai segmen bronkopulmonar dalam masing-masing paru. Terdapat tiga
segmen dalam lobus kanan atas, dua dalam lobus lobus tengah, dan lima dalam
lobus bawah. Pada paru kiri terdapat lima di lobus atas dan lima di lobus bawah.
Bronki segmental bercabang lagi menjadi bronki subsegmental. Pendarahan paru
mengikuti pola percabangan sama. Jalan bronki dan pembuluh darah yang paralel
itu sangat penting untuk para ahli bedah karena memungkinkan operasi lobektomi
atau reseksi segmental (Fawcett, 2002).
Struktur bronki primer sampai memasuki paru sangat mirip yang ada pada
trakea. Kemudian cincin-cincin tulang rawan dindingnya diganti oleh lempeng-
lempeng tulang rawan tidak teratur yang tersebar mengelilingi lingkaran tabung.
Karenanya bronki intrapulmonar itu silindris dan bagian posteriornya tidak
mendatar seperti pada trakea dan bronki ekstrapulmonar. Lebih ke distal,
lempeng-lempeng tulang rawan intramuralini makin berkurang jumlah dan
ukurannya dan hilang sama sekali pada bronki subsegmental dengan diameter
sekitar 1 mm (Fawcett, 2002).
Dengan berkurangnya tulang rawan di dalam dinding pohon bronki, otot
polosnya makin banyak yang tersusun dalam berkas-berkas saling menganyam,
sebagian berjalan melingkar atau berpilin (spiral). Dalam bronki intrapulmonar
yang besar, berkas otot polos itu letaknya berdampingan sehingga terbentuk lapis
utuh. Di bagian-bagian distal dari pohon bronki, otot polosnya berkurang dan
tersusun longgar. Pada sediaan histologi mukosa bronki menampakkan lipatan-
lipatan memanjang, agaknya terjadi akibat kontraksi agonal lapis otot polosnya
selama fiksasi (Fawcett, 2002).
Epitel bronkus tidak berbeda nyata dari yang di trakea, yaitu terdiri atas
epitel kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan kelenjar submukosa.
Kelenjar ini makin berkurang dan hilang pada tingkat bronkiolus. Tinggi epitel
berangsur menurun sepanjang saluran, menjadi epitel kuboid bersilia pada
bronkiolus dan kuboid rendah di bronkiolus terminalis. Lamina propria, yang
terpisah dari epitel oleh lamina basal tebal, adalah jaringan ikat longgar dengan
banyak serat retikulin dan elastin. Biasanya mengandung limfosit, sel mast, dan
eosinofil (Fawcett, 2002).
Gambar 2.17 Potongan Melintang Sebuah Bronkus Kecil Paru Manusia
(Sumber: Fawcett, 2002)
Jaringan epitel terdiri dari sel-sel polihedral yang berkumpul dengan erat
dengan sedikit zat intersel, pelekatan diantara sel-sel ini kuat. Jaringan epitel
membentuk lapisan yang menutupi permukaan tubuh dan melapisi rongga-
rongganya. Jaringan epitel mempunyai fungsi–fungsi berikut ini menutupi dan
melapisi permukaan, misalnya epitel di kulit; absorbsi, misalnya di usus, bagian
proksimal tubulus kontortus nepron; sekresi, misalnya epitel kelenjar; sensoris,
misalnya neuroepitel; kontraktil, misalnya mioepitel; dan proteksi, misalnya epitel
di ureter, kulit (Harjana, 2011).
Epitel berasal dari ketiga lapis benih embrio yaitu Lapisan ektodermal
membentuk epitel yang melapisi kulit, mulut, hidung dan anus. Lapisan
endodermal membentuk epitel yang melapisi sistem pernapasan, traktus
digestivus dan kelenjar-kelenjar traktus digestivus seperti pankreas dan hati.
Lapisan mesodermal membentuk epitel lain seperti ginjal (Harjana, 2011).
Sel penyusun organ paru mengalami transisi menjadi semakin sederhana
seiring dengan mengecilnya saluran udara yang semakin kecil. Hal ini dapat
diamati dari perubahan epitel pada bronkus dibandingkan pada epitel di alveolus.
Tipe sel epitel pada bronkus berupa sel epitel silindris bersilia disertai dengan sel
goblet, namun pada alveolus sel epitel penyusunnya berupa sel epitel pipih
selapis. Sel-sel ini memungkinkan untuk terjadinya difusi oksigen dan
karbondioksida dari ruang alveolar menuju ke pembuluh kapiler atau sebaliknya.
Bagian yang mengandung tulang rawan kartilago hanya ditemukan pada bronkus
primer dengan tipe sel epitel silindris bersilia disertai dengan sel goblet. Selain itu,
jumlah jaringan ikat dan otot polos pun semakin sedikit (Utama, 2018).
Histologi bronkus ekstrapulmoner mirip dengan trakea. Perbedaan tampak
pada bronkus intrapulmoner. Lumen bronkus terdiri atas beberapa lapisan yaitu
lapisan mukosa, lapisan sub mukosa, lapisan tulang rawan dan otot, dan lapisan
adventisia. Lapisan mukosa, permukaan mukosa lumen bronkus dilapisi oleh
epitel PCC yang mengandung sel-sel goblet, membran basalis, dan lamina propria
yang lebih tebal dibanding pada trakea. Pada bronkus jumlah sel-sel goblet
penghasil mukus lebih sedikit dibandingkan yang terdapat pada trakea (Iskandar,
2002).
Bronkiolus respiratori merupakan peralihan sistem konduksi dan sistem
ventilasi. Lumennya dilapisi simple cuboidal epithelium dan sel-sel Clara. Sel-sel
Clara memiliki permukaan apeks yang mulus menonjol seperti kubah ke dalam
lumen dan mengandung vesikula sekretorik penghasil surfaktan lipoprotein dan
fosfolipid yang berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan saluran
pernapasan. Sel-sel Clara mampu memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi
sel-sel bersilia untuk menggantikan epitel bronkiolus (Iskandar, 2002).
Lapisan submukosa, lapisan submukosa kaya akan pembuluh darah, saraf,
kelenjar limfa dan kelenjar penghasil mukus. Lapisan tulang rawan dan otot,
.dinding bronkus utama, lobaris, dan bronkus segmental mengandung tulang
rawan yang terdapat di sekeliling serat-serat otot polos, mendukung dan mencegah
kolapnya dinding bronkus. Semakin ke bawah maka lapisan tulang rawan menjadi
semakin tipis dan sedikit sampai akhirnya tidak dijumpai lagi pada bronkiolus,
sebaliknya jumlah otot polos semakin kebawah akan semakin meningkat. Lapisan
adventisia merupakan lapisan jaringan ikat longgar yang mengandung pembuluh
darah, saraf, dan sel lemak (Iskandar, 2002).
Gambar 2.18 Gambaran Histologi Bronkus Mengalami Penebalan Epitel
dengan Pewarnaan Hemtoksilin Eosin (HE, 40x10).
Keterangan: (1) Epitel; (2) Sel goblet; (3) Silia;
(4) Jaringan Submukosa; (5) Membrana Basalis
(Sumber: Muhartiningsih, 2019)
G. Sumbangsih Penelitian
Penelitian ini mengarah pada pembelajaran Biologi tingkat SMA/MA
mengenai pencemaran lingkungan. Data dan informasi yang diperoleh akan
disumbangsihkan ke sekolah berupa media pembelajaran dalam bentuk bahan
ajar. Media pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting sekali dalam
kegiatan belajar. Hal ini dikarenakan media dapat menarik perhatian peserta didik
dalam belajar. Media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur
pesan.
Modul adalah suatu cara pengorganisasian materi pelajaran yang
memperhatikan fungsi pendidikan. Strategi pengorganisasian materi pembelajaran
mengandung squencing yang mengacu pada pembuatan urutan penyajian materi
pelajaran, dan synthesizing yang mengacu pada upaya untuk menunjukkan kepada
pembelajar keterkaitan antara fakta, konsep, prosedur dan prinsip yang terkandung
dalam materi pembelajaran. Untuk merancang materi pembelajaran, terdapat lima
kategori kapabilitas yang dapat dipelajari oleh pembelajar, yaitu informasi verbal,
keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, dan keterampilan motorik
(Indriyanti, 2010).
Strategi pengorganisasian materi pembelajaran terdiri dari tiga tahapan
proses berpikir, yaitu pembentukan konsep, intepretasi konsep, dan aplikasi
prinsip. Strategi-strategi tersebut memegang peranan sangat penting dalam
mendesain pembelajaran. Kegunaannya dapat membuat siswa lebih tertarik dalam
belajar, siswa dapat belajar mandiri di rumah atau sekolah, dan dapat
meningkatkan hasil belajar. Secara prinsip tujuan pembelajaran adalah agar siswa
berhasil menguasai bahan pelajaran sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.
Karena dalam setiap kelas berkumpul siswa dengan kemampuan yang berbeda-
beda (kecerdasan, bakat dan kecepatan belajar) maka perlu diadakan
pengorganisasian materi, sehingga semua siswa dapat mencapai dan menguasai
materi pelajaran sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam waktu yang
disediakan, misalnya satu semester (Indriyanti, 2010).
H. Materi Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen lain kedalam lingkungan. Zat atau bahan yang
dapat mengakibatkan pencemaran adalah polutan. Contohnya, karbondioksida
dengan kadar 0,0033% di udara bermanfaat bagi tumbuhan. Akan tetapi jika lebih
tinggi dari 0,0033% dapat merusak. Suatu zat dapat disebut polutan apabila
Jumlahnya melebihi jumlah normal, berada pada waktu yang tidak tepat, dan
berada pada tempat yang tidak tepat (Ladjar, 2006).
Pencemaran terjadi bila dalam lingkungan terdapat bahan yang
menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak menyebabkan timbulnya
perubahan yang tidak diharapkan, baik yang bersifat fisik, kimawi maupun
biologis sehingga mengganggu kesehatan eksistensi manusia, dan aktivitas
manusia serta organisme lainnya. Bahan penyebab pecemaran tersebut disebut
bahan pencemar atau polutan (Irianto, 2015).
Berdasarkan tempat terjadinya, pencemaran terbagi tiga yaitu pencemaran
air, udara, dan tanah. Pencemaran air, udara, dan tanah adalah masuknya zat,
energi, makhluk hidup dan atau komponen lain ke udara atau ke dalam air, ke
tanah sehingga berubahnya komposisi air, udara, tanah oleh kegiatan manusia atau
proses alam, sehingga kualitas air, udara, tanah menurun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan air, udara, tanah tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya (Ramlawati, 2017).
I. Penelitian Relevan
Terkait penggunaan pengharum ruangan terhadap gambaran histologi bronkus
mencit, ada beberapa penelitian yang telah dilakukan yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Yuningtyaswari & Asti Haryani (2015),
menjelaskan bahwa terdapat pengaruh paparan pengharum ruangan cair dan
gel terhadap gambaran histologi pulmo pada tikus putih (Rattus norvegicus)
yang terpapar selama 8 jam/hari dalam jangka waktu 15 hari didapatkan
gambaran kerusakan histologi pulmo, terutama alveolus tikus putih berupa
penebalan septum interalveolar.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Novia Chamala Sari Dewi, Sudiastuti &
Agung Nugroho (2015), menjelaskan bahwa bahan aktif transfluthrin yang
terkandung di dalam anti nyamuk kertas dapat menyebabkan kerusakan
struktur paru-paru pada alveolus pada mencit (Mus Musculus L.).
3. Penelitian yang dilakukan oleh Cater, Reyes & Habell (2006), menyatakan
bahwa pengaruh pengharum aroma pada pengharum ruangan yang dipasarkan
oleh Bovine Coracity dan Permeabilitas (BCOP) Assay dan histologi. Enam
pengharum ruangan berbeda yang mengandung wewangian cair representatif
pada awalnya dibandingkan dengan masing-masing basis produk tanpa
wewangian. Skema pengujian BCOP dioptimalkan mengikuti beberapa uji
coba menggunakan pengharum ruangan padat dan cair pada paparan 3 dan
10 menit. Perubahan terbesar dicatat dalam skor in vitro, setelah paparan 10
menit. Skor in vitro berkisar dari 0,0 − 97.1, mencerminkan berbagai
kerusakan epitel dan stroma pada kornea. Aroma jenis air memiliki yang
terbesar berdampak pada potensi iritasi mata pada listrik gel, semprotan
non-aerosol dan minyak wangi dibandingkan dengan yang tidak
difragmentasi. Produk-produk ini dipilih untuk penyelidikan tambahan
tentang dampak tipe wewangian potensi penyebab iritasi mata. Wewangian
jeruk, bunga dan jenis rempah dievaluasi untuk setiap bentuk produk. In
vitro skor berkisar antara 5,7 − 110,4. Berbagai jenis wewangian tampaknya
memiliki dampak yang dapat diamati pada mata potensi iritasi untuk bentuk
produk tertentu. Wangi bunga, jeruk, dan rempah-rempah memiliki dampak
terbesar gel listrik, semprotan non-aerosol, dan bentuk produk minyak
wangi. Evaluasi histologis kornea yang diolah dengan produk pengharum
ruangan padat dan cair terpilih lebih lanjut mendukung korelasi jaringan
kerusakan misalnya pada epitel dengan skor in vitro. Berdasarkan uji BCOP
dan hasil histologi, pengujian yang disarankan untuk produk pengharum
ruangan padat atau cair adalah dengan menguji produk dalam 10 menit
paparan dan gunakan skor in vitro sebagai titik akhir untuk evaluasi potensi
iritasi mata.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Shanghwa Kim, Seong-Ho Hong, Choon-
Keun Bong & Myung-Haing Cho (2015), menjelaskan bahwa karakteristik
emisi pengharum ruangan berpotensi menimbulkan efek kesehatan.
Pengharum ruangan bisa menjadi salah satu dari banyak sumber yang
melepaskan senyawa organik yang mudah menguap ke lingkungan dalam
ruangan. Penggunaan produk ini dapat dikaitkan dengan peningkatan tingkat
terpene yang diukur, seperti xylene dan komponen pengharum ruangan yang
mudah menguap lainnya, termasuk aldehida, dan ester. Pengharum ruangan
biasanya digunakan di dalam ruangan, dan dengan demikian beberapa
senyawa yang dipancarkan dari pengharum ruangan mungkin berpotensi
membahayakan kesehatan, termasuk iritasi sensorik, gejala pernapasan, dan
disfungsi paru-paru. Polutan kemudian mempengaruhi kesehatan manusia
dalam banyak hal seperti kerusakan pada perubahan sistem saraf pusat
tingkat hormon. Khususnya partikel ultrafine dapat menyebabkan efek
buruk yang parah pada berbagai organ termasuk sistem paru dan
kardiovaskular. Dalam penelitian ini komponen yang terdapat dalam
pengharum ruangan adalah benzena, ptalat dan limonen. Dalam penelitian ini
perlu dilakukan lagi penelitian tentang emisi dan paparan serta karakterisasi
resiko dari udara segar.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Zuhair Y. Al-Sahhaf (2012), menjelaskan
bahwa efek inhalasi pengharum ruangan, glade pada hematologi dan
parameter biokimia pada kelinci jantan. Hewan dibagi menjadi 3 kelompok.
Hewan dari kelompok pertama dianggap sebagai kontrol dan hewan dari
kelompok ketiga dan ketiga, dihirup 1 ml pengharum ruangan, Glade, sekali
sehari untuk 2 dan 4 minggu. Hewan diletakkan dalam kandang tertutup dan
1 ml pengharum ruangan disemprotkan pada masing-masing kandang.
Paparan hewan selama 2 dan 4 minggu diinduksi penurunan yang signifikan
dalam jumlah sel darah merah, hemoglobin. Sel darah merah dihitung
dengan persentase hematokrit dan trombosit darah. Transaminase ALT dan
AST secara bertahap meningkat di serum kelinci yang dirawat dan
peningkatan signifikan (P <0,05) pada akhir minggu keempat.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Anne Steinemann (2016), menjelaskan
bahwa produk konsumen yang wangi, seperti pembersih persediaan,
pengharum ruangan, dan produk perawatan pribadi, adalah yang menjadi
sumber polusi udara dalam ruangan dan paparannya. Studi ini menyelidiki
prevalensi dan jenis paparan pengharum ruangan, terkait efek kesehatan,
kesadaran akan emisi produk, dan preferensi untuk kebijakan dan
lingkungan bebas pewangi. Data dikumpulkan menggunakan survei online
dengan nasional populasi representatif (n = 1136) orang dewasa di AS.
Secara keseluruhan, 34,7% dari populasi melaporkan masalah kesehatan,
seperti sakit kepala migrain dan kesulitan pernapasan. Selanjutnya, 15,1%
pekerjaan karena paparan pengharum ruangan di tempat kerja, 20,2%. Hasil
dari penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa pengharum ruangan dapat
memicu efek kesehatan pada populasi. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa mengurangi paparan produk yang beraroma, seperti melalui
kebijakan bebas pewangi, cara yang relatif sederhana untuk mengurangi
risiko dapat meningkatkan kualitas udara yang baik dan peningkatan
kesehatan.
J. Hipotesis
Ho : Tidak ada pengaruh paparan pengharum ruangan cair terhadap gambaran
histologi bronkus pada mencit (Mus musculus)
Ha : Ada pengaruh paparan pengharum ruangan cair terhadap gambaran
histologi bronkus pada mencit (Mus musculus)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pengaruh paparan pengharum ruangan cair
terhadap gambaran histologi bronkus mencit (Mus musculus) dan sumbangsihnya
pada materi Pencemaran Lingkungan di kelas X SMA/MA” dilaksanakan pada
bulan Maret 2020 − Mei 2020 di Laboratorium Animal House Abduh Tikus
Center Palembang dan Laboratorium Patologi Anatomi Dyatnitalis Palembang.
B. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kuantitatif. Data
penelitian pada penelitian kuantitatif berupa angka-angka dan analisis
menggunakan statistik. Desain penelitian yang digunakan adalah True
Experimental dengan rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini dilakukan
dengan mengamati gambaran histologi bronkus mencit setelah pemaparan 3 ml
pengharum ruangan cair dalam sehari. Subyek penelitian ada 20 ekor mencit.
Eksperimen menggunakan mencit (Mus musculus) jantan dengan galur swiss
webster yang berumur 3 bulan dan mempunyai berat badan 30 gram. Jumlah
mencit yang digunakan adalah 20 ekor.
Penelitian ini menggunakan post-test only control group yang terdiri dari 3
kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol dengan 5 kali ulangan. Sebelum
penelitian dilaksanakan, 20 ekor mencit (Mus musculus) jantan diaklimatisasi
selama satu minggu di Animal House dan dilanjutkan tahap perlakuan selama 6
44
minggu. Mencit (Mus musculus) diberi pakan dan minum secara ad libitum
(Setyaningsih, 2006). Dosis yang digunakan dalam penelitian ini telah
dikonversikan ke hewan percobaan (mencit jantan) sehingga dihasilkan dosis
optimum untuk perlakuan paparan pengharum ruangan sebesar 3 ml/kg BB dalam
sehari (Laurance, 2008). Setelah itu mencit (Mus musculus) dibagi menjadi empat
kelompok dengan rincian sebagai berikut:
a. Kelompok kontrol tanpa perlakuan.
b. Kelompok perlakuan satu (P1) diberi pengharum ruangan cair dengan dosis
1 ml/3x/hari selama 2 minggu.
c. Kelompok perlakuan dua (P2) diberi pengharum ruangan cair dengan dosis
1 ml/3x/hari selama 4 minggu.
d. Kelompok perlakuan tiga (P3) diberi pengharum ruangan cair dengan dosis
1 ml/3x/hari selama 6 minggu.
Masing-masing kelompok perlakuan (P1, P2, P3) diberi pengharum
ruangan dengan banyak semprotan masing-masing di setiap perlakuan. Kemudian
mencit (Mus musculus) dibedah, perfusi, dan diambil organnya untuk dijadikan
sediaan preparat. Tiap kelompok ditempatkan pada satu kandang pemeliharaan
yang diatur penempatan kandangnya, sehingga paparan tidak akan mempengaruhi
satu sama lain. Pemberian makan dan minum diatur dengan porsi yang sama pada
semua kelompok. Pakan standar yang diberikan adalah makanan sehari-hari
berupa pelet. Kandang yang digunakan adalah kandang khusus untuk
pemeliharaan dan perlakuan inhalasi yang berupa kotak box plastik (35x26x13)
cm agar hewan percobaan lebih leluasa untuk bergerak dan sirkulasi udara dengan
baik. Kandang juga dijaga kebersihannya agar mencit dapat bertahan hidup.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini ialah box plastik, botol semprot,
suntikan 3 ml, gunting bedah, pisau bedah, silet bedah, pinset, spatula, papan
bedah/sterofom, cutter, neraca analitik, masker, gloves, jarum pentul, kapas,
tisu, botol wadah organ, label, objekglass, deckglass, mikroskop, gelas arloji,
optilab, cawan petri, blok, tissue processing, tissue embedding center, cooling
plate, mikrotom, water bath, dan hot plate.
2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini ialah mencit (Mus musculus),
pengharum ruangan cair, aquades, NaCl 0,9 %, BNF 10 %, Ketamine 10 %
dan Xylazine 2 %, alkohol 70 %, alkohol bertingkat rendah dan tinggi,
Canada Balsam dan Hematoxylin-Eosin (HE).
D. Definisi Operasional Variabel
Beberapa istilah yang akan didefinisikan secara operasional dalam
penelitian ini antara lain sebagai berikut.
1. Pengharum ruangan cair
Pengharum ruangan cair adalah produk yang mengandung bahan kimia
bertujuan mengurangi bau yang tidak menyenangkan di ruangan tertutup yang
berbentuk cair.
2. Histologi
Histologi adalah ilmu yang mempelajari jaringan penyusun tubuh, kimia
jaringan dan sel dipelajari dengan metode analitik mikroskopik dan kimia.
3. Bronkus
Bronkus adalah percabangan tenggorokan menuju paru kiri-kanan. Tiap
bronkus bercabang membentuk cabang kecil, dan tiap cabang bronkus ini
membentuk banyak ranting.
4. Mencit
Mencit (Mus musculus) adalah hewan kelas Mamalia yang paling sering
digunakan dalam sebuah penelitian. Hewan ini sering dijadikan hewan uji
coba karena dapat mewakili hewan dari kelompok Mamalia, dan kelengkapan
organ, kebutuhan nutrisi, sistem reproduksi, pernapasan, peredaran
darah, serta ekskresi menyerupai manusia.
5. Materi Pencemaran Lingkungan
Pada proses pembelajaran dengan pokok bahasan Pencemaran
Lingkungan dapat menggunakan modul pembelajaran sebagai media
pembelajaran di kelas X SMA/MA.
6. Parameter Histologi
Parameter histologi yang diukur meliputi ketebalan epitel pelapis pada
bronkus (mm) mencit jantan.
E. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel X (mempengaruhi)
dan variabel Y (dipengaruhi), yaitu:
1. Variabel X: paparan pengharum ruangan cair
2. Variabel Y: histologi bronkus mencit (Mus musculus)
F. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Menurut Sugiyono (2017), populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang telah ditetapkan untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah 25 ekor mencit.
2. Sampel
Menurut Sugiyono (2017), sampel adalah sebagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Adapun sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor mencit jantan galur Swiss
Webster.
Penentuan besar sampel berdasarkan ketentuan WHO dengan jumlah
sampel minimal 5 ekor tiap kelompok (Arumingtyas, 2010). Sedangkan,
banyaknya pengulangan ditentukan berdasarkan rumus Federer (Nugroho,
2018).
(5-1)(n-1) ≥ 15
4(n-1) ≥15
4n – 4 ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 4,75
n ≥ 5
t = kelompok perlakuan
n = jumlah pengulangan atau sampel tiap kelompok
G. Prosedur Penelitian
1. Hewan Percobaan
Hewan percobaan dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus
musculus) galur Swiss Webster berumur 3 bulan dengan berat badan 30 gram
yang diperoleh dari Animal House Abduh Tikus Center Palembang. Sebelum
diberi perlakuan, terlebih dahulu mencit diaklimatisasi selama 7 hari di Animal
House Abduh Tikus Center Palembang (Setyaningsih, 2006). Kriteria inklusi
berumur 2-3 bulan dengan berat 30 gram, selama 7 hari diaklimatisasi sebelum
perlakuan, tidak sakit, aktivitas normal (Susilorini, 2013). Kriteria eksklusi
sehat dengan tanda-tanda mata jernih, rambut tidak berdiri, dan berat badan
relatif stabil (Maislisdiani, 2016).
Mencit yang digunakan dalam penelitian ini mencit jantan galur Swiss
Webster yang memiliki rambut halus berwarna putih serta ekor berwarna
kemerahan dengan ukuran lebih panjang dari pada badan dan kepala. Menurut
Nugroho (2018), ciri-ciri lain mencit secara umum adalah tekstur rambut
lembut dan halus, bentuk hidung kerucut terpotong, bentuk badan silindris agak
membesar ke belakang warna rambut putih, mata merah, ekor merah muda.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tolistiawaty (2014), syarat mencit
dapat digunakan sebagai hewan percobaan adalah harus bebas dari kuman
patogen, karena adanya kuman patogen dapat mengganggu jalannya reaksi
pada percobaan yang akan diujikan. Kemampuan dalam memberikan reaksi
imunitas yang baik. Kepekaan terhadap suatu penyakit. Nutrisi, kebersihan,
pemeliharaan, dan kesehatan hewan baik dan terjaga.
Mencit digunakan yaitu mencit jantan usia 3 bulan karena mencit termasuk
dalam kriteria mencit dewasa dan memiliki organ tubuh yang sudah matang
seperti pada sistem pernapasan khususnya organ bronkus yang digunakan
dalam penelitian ini. Kriteria mencit tersebut memiliki berat badan sekitar 30
gram dan panjangnya 2,5 - 3 inch. Menurut Putri (2018), alasan penggunaan
mencit galur Swiss Webster sebagai hewan percobaan adalah karena mencit
mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru, tingkat reproduksinya tinggi,
biaya relatif murah, anatomi dan fisiologi mudah dipahami, karakteristik
mencit mirip manusia.
Konsumsi pakan mencit berkisar 3-4 g perhari dari pakan yang kering atau
sekitar 20% dari berat bobot tubuhnya dan kebutuhan air sebanyak 3 ml
perhari. Pertumbuhan berat badan yang normal pada mencit setiap harinya
mencapai 1 gr/ekor/hari. Berat badan mencit jantan umur 4 minggu dewasa
mencapai 20-40 gram dan betina 18-35 gram (Tolistiawaty, 2014).
Hewan percobaan digunakan mempunyai keseragaman berat badan dan
umur. Hal ini bertujuan untuk memperkecil variabilitas biologis antar hewan
percobaan yang digunakan, sehingga dapat memberikan respon yang relatif
lebih seragam (Ngatidjan, 2006). Mencit jantan digunakan dengan alasan
kondisi biologisnya stabil bila dibandingkan dengan mencit betina yang
kondisi biologisnya dipengaruhi oleh masa siklus estrus sehingga mencit jantan
dapat mewakili mencit betina dalam keadaan biologis yang lebih stabil
(Musser, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rakhmadi (2009),
mencit jantan dapat mewakili kondisi mencit betina pada saat keadaan normal
dan tidak mengalami fase estrus yang menyebabkan hormon menjadi
meningkat sehingga reseptornya akan lebih banyak. Hal ini dapat
menyebabkan ketidaksesuaian antara hormon dan reseptor yang akan
menghambat sistem yang ada di dalam tubuh, seperti terjadi stres, kerusakan
sel bahkan kematian sel.
2. Penentuan dan Persiapan dosis Perlakuan Paparan Pengharum Ruangan
Dosis yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan dosis yang
telah dilakukan oleh Zuhair (2012) pada kelinci, yaitu 1 ml/kg BB. Dosis
tersebut akan digunakan untuk hewan percobaan (mencit) dengan cara
dikonversikan dan perhitungan konversi dosis berdasarkan tabel konversi dosis
kelinci ke mencit (Laurence, 2008). Untuk pengharum ruangan cair, pemaparan
dilakukan menggunakan botol semprot.
3. Pengelompokan Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan mencit jantan (Mus musculus) dengan galur
Swiss Webster sebanyak 20 ekor. Kemudian mencit dibagi menjadi 1 kelompok
kontrol (K) dan 3 kelompok perlakuan (P1, P2, P3). Masing-masing kelompok
terdiri dari 5 ekor mencit.
4. Isolasi Organ (Bronkus)
Setelah dilakukan perlakuan terakhir, mencit dibunuh dengan cara dibius
menggunakan Ketamine dan Xylazine. Proses mematikan mencit secara kimia
dengan menggunakan anestesi terlebih dahulu untuk menghindari rasa nyeri
yang dirasakan mencit. Pembiusan dilakukan secara intraperitoneal dengan
dosis Ketamine 10 % dan Xylazine 2 %, lalu membiarkan sampai mencit tidak
bergerak. Penggunaan Ketamine dan Xylazine sebagai anestesi mempunyai
keuntungan, antara lain: mudah dalam pemberian, ekonomis, induksinya cepat,
mempunyai pengaruh relaksasi yang baik dan jarang menimbukan komplikasi
klinis (Yudaniayanti, 2010).
Selanjutnya, kegiatan pembedahan (sesuai kode etik pembedahan hewan)
dengan menggunakan teknik perfusi. Perfusi merupakan metode pada
histoteknik, untuk proses fiksasi cairan ke dalam jaringan dengan waktu yang
cukup cepat, sehingga gambaran histologi yang diperoleh mewakili keadaan
sesaat sebelum kematian. Metode ini membutuhkan peran pembuluh darah,
yang akan menyalurkan dan memberikan akses ke setiap jaringan dalam waktu
cepat. Sel akan memulai proses autolisis segera setelah terjadinya anoksia
(kekurangan oksigen). Jadi, semakin cepat larutan fiksatif sampai ke setiap sel,
maka proses autolisis akan semakin cepat berhenti.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ravif (2016), metode perfusi
sudah banyak dilaksanakan di berbagai laboratorium riset. Darah akan
dikeluarkan dan dikuras dengan menyuntikan larutan fisiologis. Cara
memasukkan larutan pada metode ini ada 2 macam, yaitu metode gravitasi dan
pompa peristaltik. Metode gravitasi menggunakan bantuan dari gaya gravitasi
sehingga metode ini paling mudah dilakukan. Kelemahan dari metode ini
adalah, apabila ada sel darah yang menyumbat suatu pembuluh darah kapiler
akan meyebabkan cairan yang dimasukkannya tidak dapat sampai pada daerah
tersumbat secara bersamaan sehingga tujuan keseragaman hasil akan sulit
didapatkan. Sedangkan metode pompa peristaltik merupakan proses
mendorong cairannya menggunakan metode pompa peristaltik, metode ini
membuat hasil yang didapat akan lebih maksimal dan keseragaman hasil akan
lebih optimal.
Setelah itu organ paru-paru bagian bronkus dapat diambil lalu difiksatif
dengan cara merendam organ dalam larutan BNF 10 % agar organ menjadi
awet, kaku, dan keadaan sama seperti saat masih hidup. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Rahmadani (2018), fiksasi adalah suatu metode untuk
mempertahankan komponen-komponen sel atau jaringan agar tidak mengalami
perubahan dan tidak mudah rusak. Bahan pengawet yang rutin digunakan
dalam proses fiksasi adalah larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%.
5. Pembuatan Preparat Histologi
Pembuatan preparat menggunakan metode paraffin blok dengan teknik
pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE). Metode parafin adalah metode yang
paling sering digunakan. Keuntungan menggunakan metode ini yaitu irisan
dapat lebih tipis, mudah dikerjakan, dan proses pengerjaannya lebih cepat.
Menurut Sari (2015), proses pengolahan pembuatan blok ini dimulai dari
fiksasi, dehidrasi, penjernihan (clearing), infiltrasi parafin, penanaman
(embedding), penyayatan (section), penempelan (affiksing), defaranisasi,
pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan labeling.
a. Fiksasi merupakan suatu usaha untuk mepertahankan komponen-
komponen sel atau jaringan agar tidak mengalami perubahan dan tidak
mudah rusak. Proses fiksasi ini diharapkan setiap molekul pada jaringan
yang hidup tetap berada pada tempatnya dan tidak ada molekul baru yang
timbul. Proses fiksasi dilakukan dengan cara merendam organ dalam
larutan BNF 10 %. Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% merupakan
cairan fiksatif untuk mengawetkan jaringan pada pemeriksaan histologi
rutin. Alasan pemilihan cairan ini karena penggunaanya lebih mudah dan
dapat digunakan untuk mengawetkan jaringan dalam kurun waktu yang
cukup lama. Namun, daya fiksasinya lebih lambat yakni 12 sampai 24 jam
(Fauzi, 2018).
b. Pemotongan bagian yang akan diamati dan diteliti dari sampel organ
dengan menggunakan pisau. Kemudian dimasukan ke dalam kaset/blok
yang akan digunakan untuk pembuatan blok.
c. Dehidrasi merupakan metode yang digunakan untuk mengeluarkan seluruh
cairan yang terdapat dalam jaringan setelah dilakukan proses fiksasi
sehingga nantinya dapat diisi dengan parafin untuk membuat blok
preparat. Proses dehidrasi ini menggunakan alkohol bertingkat mulai dari
alkohol 96%, 85%, 75% dan alkohol absolut. Prosesnya, suatu jaringan
akan dicelupkan di masing-masing alkohol dengan kisaran waktu tertentu
sampai prosesnya berakhir.
d. Penjernihan (clearing) merupakan metode yang digunakan mengeluarkan
alkohol dari jaringan dan menggantikannya dengan suatu larutan yang
berikatan dengan parafin. Pada proses clearing ini sangat krusial karena
apabila pada jaringan masih tersisa alkohol walupun sedikit, parafin tidak
akan bisa masuk ke dalam jaringan. Sehingga jaringan nantinya tidak akan
sempurna dalam pembuatan blocking, pemotongan, dan pewarnaan. Proses
clearing ini menggunakan bermacam-macam zat penjernih yaitu xylol atau
xylena dan toluol atau toluene. Tahapan clearing bertujuan untuk
menegeluarkan alkohol dari jaringan, karena alkohol dan parafin tidak
dapat menyatu, sehingga larutan yang akan dimasukkan ke dalam jaringan
dapat berikatan dengan parafin. Tahap ini dilakukan dengan menggunakan
tissue processing yang terdiri dari formalin, alkohol, etanol, xylol, dan wax
(lilin).
e. Penanaman (embedding) merupakan proses untuk mengeluarkan cairan
pembening dari jaringan dan digantikan dengan parafin. Jaringan ini harus
terbebas dari cairan pembening karena nantinya akan mengkristal dan
ketika dipotong jaringan akan mudah robek. Berdasarkan metode
prosesnya yaitu jaringan akan dibenamkan di larutan parafin selama 3x
dan dalam jangka waktu tertentu sambil dipanaskan agar parafinnya tidak
membeku. Tahap ini dilakukan dengan menggunakan tissue embedding
center.
f. Pembuatan blocking merupakan proses pembuatan preparat agar dapat
dipotong menggunakan mikrotom. Proses ini menggunakan parafin
sebagai alat menempelkan jaringannya agar mudah dipotong. Prosesnya
yaitu dengan menyiapkan tempat blokingnya, dan menuangkan parafin
dilanjutkan dengan memasukan organ ke dalam parafin yang sudah
disediakan. Selanjutnya setelah blok parafin kering dan sudah beku dapat
dikeluarkan dari tempat blocking dan dapat dilanjutkan ke proses
selanjutnya. Untuk membekukan blok dilakukan dengan menggunakan
cooling plate. Blok parafin yang sudah beku dan akan dipotong harus
diberi label atau affiksing, metode ini bertujuan agar diketahui organ yang
akan dipotong nanti. Pengecoran (blocking) adalah proses pembuatan blok
preparat agar dapat dipotong dengan mikrotom.
g. Pemotongan jaringan dilakukan menggunakan alat khusus dengan pisau
yang sangat tipis dan tajam yang disebut mikrotom. Mikrotom adalah alat
yang dapat mengiris potongan blok dengan sangat tipis dan sesuai dengan
ukuran ketebalan yang kita inginkan. Pemotongan dilakukan menggunakan
mikrotom dengan cara merekatkan blok parafin diatas blok kayu dengan
cara memanaskan salah satu sisi blok parafin hingga sedikit mencair
kemudian langsung tempelkan. Letakan blok parafin dan blok kayu
tersebut pada pemegang (holder) di mikrotom dan kencangkan. Lakukan
pemotongan jaringan ini dengan ketebalan 6 𝜇m. Jika diperlukan sudut
kemiringan pisau mikrotom diatur pada sudut 20-30°. Hasil potongan blok
parafin kemudian direndam dalam water bath dengan suhu air 37-40°C
hingga potongan organ terlihat meregang. Kemudian oleskan putih telur
yang dicampur dengan gliserin pada kaca objek secara tipis dan merata.
Lalu ambil potongan tersebut menggunakan kaca objek ke dalam water
bath. Letakan kaca objek tersebut pada hot plate dengan suhu 40-45°C
hingga kering. Setelah kering dan potongan melekat dengan kuat pada
kaca objek, angkat dari hot plate dan potongan siap untuk diwarnai.
h. Pewarnaan merupakan teknik untuk memberikan warna pada komponen
selular dengan tujuan dapat membedakan antar sel tersebut. Sebelum
memulai proses pewarnaan masukkan xylol, alkohol dengan konsentrasi
75%, 85%, 96%, alkohol absolut, alkohol asam, hematoksilin, eosin,
aquades, ke dalam staining jar dengan volume ¾ bagian. Masukkan dan
rendam cawan yang berisi xylol selama 10 menit sebanyak 2 kali. Lalu
pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol absolut
selama 5 menit sebanyak 2 kali. Lalu pindahkan dan rendam cawan ke
dalam staining jar berisi alkohol 96%, 85%, 75% selama 5 menit. Lalu
pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi aquades selama
4 menit, kemudian ke staining jar yang berisi hematoksilin dan yang berisi
eosin. Teteskan dan ratakan Canada Balsam secukupnya di atas preparat
dan ditutup dengan coverglass. Jangan biarkan ada gelembung udara pada
preparat. Berikan nama organ atau kode organ serta tanggal pembuatan.
Teknik pewarnaan ini membantu dalam menghasilkan kontras dimana
setiap warna memiliki afinitasnya masing-masing. Contohnya pewarnaan
sel, yaitu nukleus memiliki afinitas tinggi terhadap pewarnaan
hematoksilin, sedangkan sitoplasma memiiki afinitas tinggi terhadap
pewarnaan eosin. Pewarnaan dengan menggunakan hematokslilin dan
eosin merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam pembuatan
preparat histologis. Pewarnaan ini terdiri atas 2 jenis zat warna, yaitu
hematoksilin yang fungsinya untuk mewarnai inti sel menjadi biru.
Sedangkan eosin fungsinya untuk mewarnai sitoplasma menjadi merah.
6. Pengamatan Mikroskopis
Pengamatan histologi dilakukan pada irisan melintang bronkus untuk
setiap perlakuan. Mikroskop yang dgunakan adalah mikroskop cahaya yang
telah dimodifikasi dengan menambahkan kamera digital dan monitor.
Parameter yang diamati adalah ketebalan epitel pelapis pada bronkus yang
akan diukur menggunakan image raster. Preparat diamati secara histologis di
bawah mikroskop dengan perbesaran 100x dan 400x. Pengamatan dan
pengukuran secara kuantitatif tiap preparat dilakukan pada 3 lapang pandang
yang terdiri dari pengukuran ketebalan epitel pelapis (mm).
Alur Penelitian
20 ekor mencit (Mus musculus) jantan umur 3 bulan
diaklimitasi terlebih dahulu selama 7 hari
Dibagi menjadi 4 perlakuan dan masing-masing
perlakuan diberi semprotan pengharum ruangan
sesuai dengan masing-masing perlakuan selama 6
minggu
Mencit (Mus musculus) dibedah. Di ambil organ
bronkus dengan metode perfusi, untuk pembuatan
preparat
Kelompok terdiri dari 5 ekor mencit
P0 kelompok kontrol tanpa perlakuan
P1 diberi sebanyak 1 ml 3 kali sehari selama 2 minggu
P2 diberi sebanyak 1 ml 3 kali sehari selama 4 minggu
P3 diberi sebanyak 1 ml 3 kali sehari selama 6 minggu
Pembuatan preparat dengan metode parafin dan
pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE)
Pemeriksaan Histologi
Bronkus Analisis Data
H. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan mengukur ketebalan epitel
pelapis (mm) pada bronkus mencit dengan menggunakan bantuan mikrometer dan
optilab pada setiap sampel. Pada penelitian ini menggunakan image raster untuk
mengukur ketebalan epitel pelapis.
I. Teknik Analisa Data
Analisis data merupakan penguraian data hingga menghasilkan simpulan.
Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan uji
normalitas dan homogenitas. Setelah terbukti berdistribusi normal dan homogen
baru dilanjutkan dengan uji One Way Anova. Apabila terbukti ada pengaruh akan
dilakukan uji lanjut Post Hoc Tukey (Yuningtyaswari, 2015).
Tabel 3.1 Ketebalan Epitel Pelapis pada Bronkus Mencit
Kelompok Tebal Epitel Pelapis (mm) Rata-Rata
Kelompok Kontrol (K)
Kelompok Perlakuan satu (P1)
Kelompok Perlakuan dua (P2)
Kelompok Perlakuan tiga (P3)
Adapun RPP yang disumbangsihkan pada penelitian ini yaitu pada KD
3.11 bab perubahan lingkungan sub materi pencemaran lingkungan. RPP berisi
acuan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, sehingga pembelajaran
yang dilakukan terarah. Menurut Mukarramah (2015), Perencanaan pembelajaran
meliputi penyusunan RPP dan penyiapan media serta sumber belajar, perangkat
penilaian pembelajaran, dan skenario pembelajaran.
Lembar validasi RPP digunakan untuk memperoleh informasi tentang
kualitas RPP berdasarkan penilaian para validator ahli yaitu dari dosen dan guru
biologi. Kriteria yang dinilai dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
meliputi perumusan tujuan pembelajaran, isi yang disajikan, bahasa, waktu, dan
pemilihan materi pembelajaran. Lembar validasi RPP terdiri empat skor jawaban
yaitu 1, 2, 3, dan 4. Jumlah butir pertanyaan sebanyak 7 butir, sehingga rentang
skor yang diperoleh yaitu antara 7-28. Kemudian hasil skor yang diperoleh
dihitung menggunakan rumus yaitu (Centaury, 2015) :
P = perolehan skor
skor maksimumx 100%
Pada lembar validasi RPP yang telah divalidasi oleh dosen terdapat 5 butir
pertanyaan mendapatkan skor 4 dan 2 butir pertanyaan mendapatkan skor 3,
sehingga skor yang diperoleh yaitu 26. Kemudian dihitung mengunakan rumus:
P = 26
28x 100% = 92,85%
Sedangkan pada lembar validasi RPP yang telah divalidasi oleh guru
biologi terdapat 6 butir pertanyaan mendapatkan skor 4 dan 1 butir pertanyaan
mendapatkan skor 3, sehingga skor yang diperoleh yaitu 26. Kemudian dihitung
mengunakan rumus:
P = 27
28x 100% = 96,42%
Sehingga didapatkan nilai rata-rata validasi RPP yaitu
Rata-Rata = validasi dosen+validasi guru
2
= 92,85+96,42
2= 94,63% (sangat valid)
Adapun nilai validitas RPP pada Kompetensi Dasar (KD) 3.11 yaitu
Tabel 3.2 Nilai Rata-Rata Validitas RPP pada KD 3.11
No. Aspek yang diamati Dosen ahli Guru
Nilai (%) Keterangan Nilai (%) Keterangan
1 Perumusan tujuan
pembelajaran
100 Sangat valid 100 Sangat valid
2 Isi yang disajikan 83 Sangat valid 92 Sangat valid
3 Alokasi waktu 100 Sangat valid 100 Sangat valid
Sumbangsih penelitian berupa modul pembelajaran yang akan dianalisis
datanya ditunjukkan pada Tabel 3.3. dengan nilai yang sudah divalidasi oleh
dosen ahli dan guru.
Tabel 3.3 Nilai Rata-Rata Validitas Modul Pembelajaran
No. Aspek yang diamati Dosen ahli Guru
Nilai (%) Keterangan Nilai (%) Keterangan
1 Penggunaan bahasa
2 Isi dan konsep materi
3 Tampilan media
Kategori validitas perangkat pembelajaran berdasarkan nilai akhir yang
didapat dilihat pada tabel 3.4 di bawah ini (Centaury, 2015) :
Tabel 3.4 Kategori Validitas Perangkat Pembelajaran
Interval Kategori
0-20 Sangat tidak valid
21-40 Tidak valid
41-60 Kurang valid
61-80 Valid
81-100 Sangat valid
Untuk mengukur tingkat kevalidan media pembelajaran, dapat dapat
dilihat menggunakan tabel 3.5 (Setiawati, 2017):
Tabel 3.5 Kriteria Kevalidan Media Pembelajaran
Persentase (%) Kriteria Kevalidan
80-100 Sangat valid
66-79 Valid
56-65 Cukup valid
40-55 Kurang valid
30-39 Tidak valid
Kriteria kevalidan media dapat dilihat dari persentase yang didapat dari
masing-masing aspek. Lembar penilaian aspek bahasa terdiri dari 6 indikator,
diantaranya penggunaan bahasa sesuai dengan EYD, kesederhanaan struktur
kalimat, bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi
siswa, kesesuaian kalimat yang tepat dalam kemampuan membaca siswa, bahasa
yang digunakan komunikatif, dan kalimat digunakan jelas dan mudah dimengerti.
Lembar penilaian aspek materi terdiri atas 7 indikator, diantaranya kesesuaian
materi dengan tujuan pembelajaran, kesesuaian contoh soal dan materi, kesesuaian
evaluasi dengan materi, alokasi waktu, susunan materi, dan fungsi-fungsi gambar.
Lembar penilaian aspek media terdiri atas 7 indikator, yaitu kesesuaian media
dengan materi, kesesuaian tampilan dengan materi, media pembelajaran
mendukung proses pembelajaran, pemilihan ukuran dan tipe font, ketepatan
pemilihan background, fungsi-fungsi gambar, ketepatan komposisi warna.
top related