bab ii kajian pustaka -...
Post on 07-Apr-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian IPA
Menurut Sagala (2004:68) Sains atau IPA dapat diartikan ilmu yang
mempelajari sebab dan akibat kejadian yang terjadi di alam ini. Kamus yang dikutip
sukama, sains adalah ilmu sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan
gejala-gejala kebenarn dan didasarkan terutama atas pengamatan dan induksi.
Kemudian menurut Wahyana dalam Trianto (2010:136) mengatakan
bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik dan
dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.
Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh
adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Seperti halnya setiap ilmu pengetahuan, Ilmu Pengetahuan Alam
mempunyai objek dan permasalahan jelas yaitu berobjek benda-benda alam dan
mengungkapkan misteri (gejala-gejala) alam yang disusun secara sistematis
yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh
manusia. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Powler (Usman Samatowa,
2006: 2), IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam dan
kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang
berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksperimen.
Berdasarkan definisi IPA menurut para ahli di atas, maka yang
dimaksud dengan IPA dalam penelitian ini adalah suatu pengetahuan tersusun
secara sistematik dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-
gejala alam dan ilmu yang mempunyai objek dan permasalahan jelas yaitu
berobjek benda-benda alam dan mengungkapkan misteri (gejala-gejala) alam.
2.1.1 Hakikat IPA di SD
Hendro Darmodjo dan Jenny R. E. Kaligis (1993: 12) menyatakan bahwa
mengajar dan belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipisahkan dalam
pembelajaran. Pembelajaran akan berhasil apabila terjadi proses mengajar dan
proses belajar yang harmoni. Proses belajar mengajar tidak dapat berlangsung
6
hanya dalam satu arah, melainkan dari berbagai arah (multiarah) sehingga
memungkinkan siswa untuk belajardari berbagai sumber belajar yang ada.
Ilmu Pengetahuan Alam sebagai disiplin ilmu dan penerapannyadalam
masyarakat membuat pendidikan IPA menjadi penting. Struktur kognitif anak
tidak dapat dibandingkan dengan struktur kognitifilmuwan. Siswa perlu diberi
kesempatan untuk mendapatkanketerampilan-keterampilan dan dapat berpikir
serta bertindak secarailmiah. Adapun IPA untuk anak Sekolah Dasar dalam
Usman Samatowa (2006: 12) didefinisikan oleh Paolo dan Marten yaitu sebagai
berikut: mengamati apa yang terjadi, mencoba apa yang diamati,
mempergunakanpengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi,
mengujibahwa ramalan-ramalan itu benar.
Menurut Hendro Darmojo dan Jenny R. E. Kaligis (1993: 7),
pembelajaran IPA didasarkan pada hakikat IPA sendiri yaitu dari segiproses,
produk, dan pengembangan sikap. Pembelajaran IPA di SekolahDasar sebisa
mungkin didasarkan pada pendekatan empirik denganasumsi bahwa alam raya
ini dapat dipelajari, dipahami, dan dijelaskanyang tidak semata-mata bergantung
pada metode kausalitas tetapi melaluiproses tertentu, misalnya observasi,
eksperimen, dan analisis rasional. Dalam hal ini juga digunakan sikap tertentu,
misalnya berusaha berlaku seobjektif mungkin dan jujur dalam mengumpulkan
dan mengevaluasi data. Proses dan sikap ilmiah ini akan melahirkan penemuan-
penemuanbaru yang menjadi produk IPA. Jadi dalam pembelajaran IPA siswa
tidak hanya diberi pengetahuan saja atau berbagai fakta yang dihafal, tetapi
siswa dituntut untuk aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala
alam dengan didasarkan pada pendekatan empirik dengan asumsi bahwa alam
raya ini dapat dipelajari, dipahami, dan dijelaskan yang tidak semata-mata
bergantung pada metode kausalitas tetapi melaluiproses tertentu, misalnya
observasi, eksperimen, dan analisis rasional.Pada hakikatnya IPA dapat
dipandang dari segi proses, produk dan pemupukan sikap.
7
1) IPA Sebagai Pemupukan Sikap
Menurut Wynne Harlen (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis,
1993:7) setidak-tidaknya ada Sembilan aspek sikap ilmiah yang dapat
dikembangkan pada anak usia Sekolah dasar, yaitu:
a. Sikap ingin tahu (curiousity)
Sikap ingin tahu sebagai bagian sikap ilmiah di sini maksudnya adalah suatu
sikap yang selalu ingin mendapatkan jawaban yang benar dari objek yang
diamatinya. Kata benar di sini artinya rasional atau masuk akal dan objektif
atau sesuai dengan kenyataan.
b. Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality)
Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru bertitik tolak dari kesadaran
bahwa jawaban yang telah mereka peroleh dari rasa ingin tahu itu tidaklah
bersifat mutlak, tetapi masih bersifat sementara atau tentatif. Hal ini
disebabkan keterbatasan kemampuan berpikir maupun keterbatasan
pengamatan pancaindera manusia untuk menetapkan suatu kebenaran. Jadi,
jawaban benar yang mereka peroleh itu sebatas pada suatu “tembok
ketidaktahuan”. Sikap anak usia Sekolah Dasar seperti itu dapat dipupuk
dengan cara mengajaknya melakukan pengamatan langsung pada objek-objek
yang terdapat di lingkungan sekolah.
c. Sikap kerja sama (cooperation)
Yang dimaksud kerjasama disini adalah untuk memperoleh pengetahuan yang
lebih banyak. Seorang yang bersikap cooperative ini menyadari bahwa
pengetahuan yang dimiliki orang lain mungkin lebih banyak dan lebih
sempurna daripada apa yang ia miliki. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
pengetahuannya ia merasa membutuhkan kerjasama dengan orang lain.
Kerjasama ini dapat juga bersifat berkesinambungan. Anak usia Sekolah
Dasar perlu dipupuk sikapnya untuk dapat bekerjasama satu dengan yang lain
kerjasama itu dapat dalam bentuk kerja kelompok, pengumpulan data maupun
diskusi untuk menarik suatu kesimpulan hasil observasi.
d. Sikap tidak putus asa (perseverance)
8
Tugas guru untuk memberikan motivasi bagi anak didik yang mengalami
kegagalan dalam upaya menggali ilmu dalam bidang IPA agar tidak putus
asa.
e. Sikap tidak berprasangka (open-mindedness)
IPA mengajarkan kita untuk menetapkan kebenaran berdasarkan dua kriteria,
yaitu rasionalitas dan objektivitas. Munculnya faktor objektivitas dalam
menetapkan kebenaran menjadikan orang tidak lagi purba sangka. Sikap tidak
purba sangka dapat dikembangkan secara dini kepada anak usia SD dengan
jalan melakukan observasi dan eksperimen dalam mencari kebenaran ilmu.
f. Sikap mawas diri (self criticism)
Objektivitas tidak hanya ditunjukkan di luar dirinya tetapi juga terhadap
dirinya sendiri. Itulah sikap mawas diri untuk menjunjung tinggi kebenaran.
Anak usia SD harus dikembangkan sikapnya untuk jujur pada dirinya sendiri,
menjunjung tinggi kebenaran dan berani melakukan koreksi pada dirinya
sendiri.
g. Sikap bertanggung jawab (responsibility)
Sikap bertanggung jawab harus dikembangkan sejak usia SD misalnya
dengan membuat dan melaporkan hasil pengamatan, hasil eksperimen
ataupun hasil kerjanya yang lain kepada teman sejawat, guru atau orang lain,
dengan sejujur-jujurnya.
h. Sikap berpikir bebas (independence in thinking)
Tugas guru untuk dapat mengembangkan pikiran bebas dari siswa (dan bukan
sebaliknya untuk mendiktekan pendapatnya agar sesuai dengan buku teks).
Jadi, mencatat atau merekam hasil pengamatan sesuai dengan apa adanya dan
membuat kesimpulan dengan hasil kerja mereka sendiri merupakan saat-saat
yang penting bagi anak dalam mengembangkan sikap berpikir bebas.
i. Sikap kedisiplinan diri (self discipline)
Menurut Morse dan Wingo (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis, 1993:
8) kedisiplinan diri dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk
dapat menngontrol ataupun mengatur dirinya menuju kepada tingkah laku
yang dikehendaki dan dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu bentuk
9
pengembangan kedisiplinan diri adalah pengorganisasian kelas termasuk
adanya regu-regu kebersihan dan sebagainya yang dapat diatur sendiri oleh
siswa.
2) IPA sebagai Proses
Proses IPA tidak lain adalah metode ilmiah. Yang dimaksud dengan proses
disini adalah proses mendapatkan IPA. Untuk anak usia SD, metode ilmiah
dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan, dengan harapan bahwa
pada akhirnya akan berbentuk suatu paduan yang lebih utuh sehingga anak SD
dapat melakukan penelitian sedarhana. Adapun tahapan pengembangannya
disesuaikan dengan tahapan dari suatu proses penelitian eksperimen yang
meliputi: (1) observasi, (2) klasifikasi, (3) interpretasi, (4) prediksi, (5) hipotesis,
(6) mengendalikan variabel, (7) merencanakan dan melaksanakan penelitian, (8)
inferensi, (9) aplikasi, dan (10) komunikasi.
2.1.2 Ruang Lingkup Pembelajaran IPA di SD
Ruang lingkup mata pelajaran sains (IPA) di sekolah dasar
(Mulyasa,2010: 127) meliputi dua dimensi: a) kerja ilmiah dan b) pemahaman
konsep dan penerapannya. Dalam kegiatan pembelajaran kedua dimensi ini
dilaksanakan secara sinergi dan terintegrasi. Kerja ilmiah sains dalam kurikulum
sekolah dasar terdiri dari penyelidikan, berkomunikasi ilmiah, pengembangan
ilmiah, pengembangan kreativitas dan pemecahan masalah, sikap dan nilai
ilmiah.
Menurut Sri Sulistyorini (2007: 40), ruang lingkup bahan kajian IPA
untuk SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,
tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan
gas.
c. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet,
listrik, cahaya dan pesawat sederhana.
d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan
benda-benda langit lainnya.
2.1.3 Tujuan Pembelajaran IPA di SD
Menurut Hendro Darmodjo dan Jenny R. E. Kaligis (1993: 6), tujuan
pembelajaran IPA di Sekolah Dasar sebagai berikut:
10
a. Memahami alam sekitarnya, meliputi benda-benda alam dan
buatan manusia serta konsep-konsep IPA yang terkandung di
dalamnya;
b. Memiliki keterampilan untuk mendapatkan ilmu, khususnya
IPA, berupa “keterampilan proses” atau metode ilmiah yang
sederhana;
c. Memiliki sikap ilmiah di dalam mengenal alam sekitarnya
danmemecahkan masalah yang dihadapinya, serta menyadari
kebesaranpenciptanya;
d. Memiliki bekal pengetahuan dasar yang diperlukan untuk
melanjutkanpendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
Sedangkan tujuan pendidikan IPA di Sekolah Dasar berdasarkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006 adalah agar
peserta didik adalah mampu memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang
Maha Esa berdasarkaan keberadaan, keindahan dan
keteraturan alam ciptaan-nya.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-
konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari
c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan
kesadaran tentang adanya hubungan yang saling
mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat
d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki
alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan
e. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam
memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam
f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan
IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke
SMP/MTs.
Dengan demikian pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dapat melatih
dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan proses dan dapat melatih siswa untuk dapat berpikir
serta bertindak secara rasional dan kritis terhadap persoalan yang bersifat ilmiah
yang ada di lingkungannya. Keterampilan-keterampilan yang diberikan kepada
siswa sebisa mungkin disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia dan
11
karakteristik siswa Sekolah Dasar, sehingga siswa dapat menerapkannya dalam
kehidupannya sehari-hari.
2.2 Model Pembelajaran Project Based Learning (PBL)
Arends (2007: 43) menyatakan bahwa esensinya Problem Based
Learning (PBL) menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik
danbermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batuloncatan untuk
investigasi dan penyelidikan. PBL dirancang untuk membantu siswa
mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan menyelesaikan
masalah, mempelajari peran-peran orang dewasa dan menjadi pelajar yang
mandiri. Model inimenyediakan sebuah alternatif yang menarik bagi guru yang
menginginkan maju melebihi pendekatan-pendekatan yang lebih berpusat pada
guru untuk menantang siswa dengan aspek pembelajaran aktif dari model itu.
PBL adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan yang esensial dari
mata pelajaran. PBL memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat dicapai jika
kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau permasalahan yang
autentik, relevan dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa PBL merupakan sebuah model
pembelajaran alternatif yang dapat diterapkan oleh para pendidik. Guru perlu
mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan pertukaran ide secara
terbuka sehingga pembelajaran ini menekankan siswa dalam berkomunikasi
dengan teman sebayanya maupun dengan lingkungan belajar siswa, sehingga
membantu siswa menjadi lebih mandiri dalam menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan fakta.
Fokus pembelajaran ada pada konsep yang dipilih sehingga siswa tidak
saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga
metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Masalah yang dijadikan
fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga
dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam padasiswa seperti
kerjasama dan interaksi dalam kelompok. Keadaan tersebut menunjukan bahwa
12
model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata
lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang
mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam
kondisi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
2.2.1 Karakteristik Model Problem Based Learning
Setiap model pembelajaran, memiliki karakteristik masing-masing
untuk membedakan model yang satu dengan model yang lain. Seperti yang
diungkapkan Trianto (2010: 93) bahwa karakteristik model PBL yaitu: (a)
adanya pengajuan pertanyaan atau masalah, (b) berfokus pada keterkaitan antar
disiplin, (c) penyelidikan autentik, (d) menghasilkan produk atau karya dan
mempresentasikannya, dan (e) kerja sama. Sedangkan karakteristik model PBL
menurut Rusman (2010: 232) adalah sebagai berikut:
a) Permasalahan menjadi starting point dalam belajar.
b) Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di
dunia nyata yang tidak terstruktur.
c) Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple
perspective).
d) Permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa,
sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan
identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar.
e) Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama.
f) Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam,
penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan
proses yang esensial dalam Problem based learning.
g) Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif.
h) Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah
sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk
mencari solusi dari sebuah permasalahan.
i) sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar.
j) Problem based learning melibatkan evaluasi dan review
pengalaman siswa dan proses belajar.
2.2.2 Tujuan Model ProblemBased Learning
Setiap model pembelajaran memiliki tujuan yang ingin dicapai. Seperti
yang diungkapkan Rusman (2010: 238) bahwa tujuan model PBL adalah
penguasaan isi belajar dari disiplin heuristik dan pengembangan keterampilan
pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan karakteristik model PBL yaitu belajar
13
tentang kehidupan yang lebih luas, keterampilan memaknai informasi,
kolaboratif, dan belajar tim, serta kemampuan berpikir reflektif dan evaluatif.
Trianto (2010: 94-95) menyatakan bahwa tujuan PBL yaitu membantu
siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan mengatasi
masalah, belajar peranan orang dewasayang autentik dan menjadi pembelajar
yang mandiri. Sedangkan Ibrahim dan Nur (dalam Rusman, 2010: 242)
mengemukakan tujuan model PBL secara lebih rinci yaitu: (a) membantu siswa
mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah; (b) belajar
berbagai peran orang dewasa melalui keterlibatan mereka dalam pengalaman
nyata dan; (c) menjadi para siswa yang otonom atau mandiri.
2.2.3 Tahap-Tahap Problem Based Learning
Sintaks dalam pemelajaran berisi langkah-langkah praktis yang
dilakukandalam suatu kegiatan pembelajaran. menurut Sugiyanto (2009: 159)
dalammodel PBL terdapat lima langkah utama, yang mencangkup perilaku
gurudan siswa dalam setiap langkah. Setiap langkah akan dijelaskan dalam tabel
2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1 Sintaks untuk PBL
Fase Perilaku guru
Fase 1.
Orientasi mengenai
masalah kepadasiswa
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
bahan yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau
demonstrasi mengenai cerita yang memunculkan
masalah dan memotivasi siswa alam memecahkan
masalah
Fase 2.
Mengorganisasi siswa
untuk belajar
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
Fase 3.
Membimbing
penyelidikan mandiri dan
kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen dan
mencari solusi
Fase 4.
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam menyiapkan karya yang
sesuai, seperti laporan, rakaman, video dan membantu
siswa dalam menyampaikan hasil dari karyanya
Fase 5.
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
memecahkan masalah
Guru membantu siswa dalam melakukan refleksi dan
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-
proses yang digunakan
14
(sumber: Arends, 2007: 56-60)
Untuk lebih lanjut, Arends (2007: 56-60) menjabarkan masing-masing
sintaks pembelajaran PBL tersebut:
Fase 1. Memberikan orientasi permasalahan kepada siswa
Seperti pada awal model pembelajaran lainya, guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, membangun sikap positif mengenai pembelajaran, dan
menjelaskan mengenai indikator yang akan dicapai dalam pembelajaran.
Untuk siswa yang belum pernah terlibat dalammodel PBL, guru harus
menjelaskan mengenai prosedur model PBL secara rinci. Hal-hal yang
perlu dijelaskan antara lain:
1) Tujuan utama pelajaran.
2) Permasalahan atau pertanyaan tidak memiliki jawaban yang
mutlak.
3) Dalam tahap penyelidikan siswa didorong untuk melontarkan
pendapat dan mencari informasi.
4) Dalam tahap analisis dan penjelasan siswa didorong untuk
mengekspresikan idenya secara terbuka dan bebas. Dalam tahap
ini guru diharapkan mampu menyajikan permasalahan semenarik
mungkin. Masalah yang disajikan diharapkan mampu
membangkitkan ketertarikan danmotivasi siswa untuk
memecahkanya.
Fase 2. Mengorganisasikan Siswa untuk Meneliti.
PBL mengharuskan guru dalam mengembangkan kerjasama diantarasiswa
dan membantu siswa dalam menginvestigasi masalah secara bersama-
sama. Dalam tahap ini guru membentuk kelompok-kelompok belajar.
Kelompok siswa dapat dibuat secara heterogen. Kelompok juga bisa
berdasarkan atas minat yang sama mengenai suatu permasalahan atau
berdasarkan pola pertemanan yang sudah ada. Intinya tim investigasi dapat
dibentuk guru atau berdasarkan rasa sukarela diantara para siswa
15
Fase 3. Perencanaan Kooperatif.
Setelah siswa menerima orientasi mengenai masalah yang dimaksud dan
mereka telah membentuk kelompok penyelidikan, guru dan siswaharus
meluangkan waktu yang cukup untuk menetapkan tugasinvestigatif dan
jadwal yang spesifik. Untuk sebagian proyek, tugasperencanaanya dapat
membagi situasi bermasalah yang bersifat umum menjadi sub tropik.
Fase 4. Investigasi, pengumpulkan data dan eksperimentasi
Investigasi dapat dilakukan secara mandiri, berpasangan dan melalui
kelompok-kelompok belajar. Meskipun sebagian masalah mempunyai
teknik penyelidikan yang berbeda, namun kebanyakan melibatkan proses
mengumpulkan data, eksperimen, pembuatan hipotesis, penjelasan dan
memberikan solusi. Aspek investigatif ini sangat penting. Dalam tahap
inilah guru mendorong siswa dalam mengumpulkan data. Siswa perlu
diajarkan oleh guru mengenai cara menjadi penyelidik yang aktif dan cara
menggunakan metode-metode seperti observasi, wawancara dan membuat
laporan.
Fase 5. Mengembangkan hipotesis, menjelaskan dan memberi solusi
Setelah siswa melakukan pengumpulan data dan informasi yang cukup
serta melakukan eksperimen (bila perlu). Mereka akan memberikan
hipotesis dan penjelasan mengenai sebuah solusi. Dalam tahap ini
gurumendorong berbagai macam ide-ide dari siswa. Dalam fase ini guru
juga bertugas untuk memberikan pertanyaan mengenai hipotesis yang
diberikan oleh siswa, supaya siswa memikirkan mengenai apakah hipotesis
mereka sudah tepat atau belum. Dalam fase ini guru bertugas memberikan
bantuan yang siswa butuhkan. Untuk kondisi tertentuguru perlu untuk
membantu menemukan bahan dan mengingatkan mereka tentang tugas
yang harus mereka selesaikan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sintaks atau
langkah-langkah praktis model PBL yang digunakan dalam penelitian ini,
menggunakan pendapat dari Sugiyanto, yaitu: orientasi mengenaimasalah,
mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing siswa dalam melakukan
16
penyelidikan mandiri dan kelompok, membimbing siswa dalam
mengembangkan dan menyajikan karya yang berupa laporan, menganalisis
dan mengevaluasi proses memecahkan masalah. Langkah-langkah tersebut
dimunculkan dalam proses pembelajaran menggunakan model PBL yang
tertuang di dalam RPP.
2.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Model Problem Based Learning
Setiap model pembelajaran memiliki kelemahan dan kelebihan tidak
terkecuali model PBL. Kelemahan dan kelebihan model PBL menurut Trianto
(2010: 96) diantaranya:
a) Kelebihan model PBL
1) Sesuai dengan kehidupan nyata siswa
2) Konsep sesuai dengan kebutuhan siswa
3) Memupuk sifat inkuiri siswa
4) Retensi konsep yang kuat
5) Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
b) Kelemahan model PBL
1) Persiapan pembelajaran yang kompleks, yang meliputi persiapanmasalah,
alat dan konsep.
2) Sulitnya mencari masalah yang relevan bagi siswa
3) Sering terjadi miss konsepsi
4) Konsumsi waktu yang banyak
2.3 Hasil Belajar
2.3.1 Pengertian Belajar
Belajar telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Belajar terjadi
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia. Bagi seorang pelajar,
belajar merupakan sebuah kewajiban. Beberapa ahli mengemukakan pengertian
belajar dalam memberikan gambaran tentang pengertian belajar. Reber
(Sugihartono, 2007: 74) mendefinisikan belajar dalam 2 pengertian. Pertama,
belajar sebagai proses memperoleh pengetahuan dan kedua, belajar sebagai
perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang
17
diperkuat. Sugihartono (2007: 74) mendefinisikan belajar secara lebih rinci,
dimana belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil
interaksi individu dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Abin Syamsudin (Conny R. Semiawan, 1999:
245) mendefinisikan bahwa belajar adalah perbuatan yang menghasilkan
perubahan perilaku dan pribadi. Dan pendapat tersebut diperkuat oleh Garry &
Kingsley (Sunaryo Kartadinata, 1998: 57) yang mendefinisikan belajar adalah
proses tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek
dan latihan.
Secara umum belajar juga dapat diartikan sebagai proses perubahan
perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan. Jadi perubahan perilaku
adalah hasil belajar. Artinya seorang dikatakan telah belajar, jika ia dapat
melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan sebelumnya (Asra dan Sumiati,
2007:38). Menurut Gagne (dalam Sugihartono 2007: 81) mengartikan
pembelajaran sebagai pengetahuan peristiwa yang berada diluar dari
pengetahuan siswa, sedangkan menurut Sugandi (2000:16) Pembelajaran adalah
suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Menurut Slameto
(2010:2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.
Morgan (Heri, 2012:5) berpendapat belajar adalah perubahan tingkah laku yang
relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan dan pengalaman. Belajar dalam hal
ini merupakan proses yang bisa mengubah tingkah laku seseorang disebabkan
adanya reaksi terhadap suatu situasi tertentu atau adanya proses internal yang
terjadi dalam diri seseorang.
Dari berbagai pendapat mengenai pengertian belajar yang dikemukakan
oleh beberapa ahli, dapat diambil pengertian bahwa sebenarnya ada beberapa
kata kunci di balik definisi kata belajar, yaitu perubahan, pengetahuan, perilaku,
pribadi, permanen dan pengalaman. Jika dirumuskan maka belajar merupakan
aktivitas atau pengalaman yang menghasilkan perubahan pengetahuan, perilaku
dan pribadi yang bersifat permanen, belajar juga pada dasarnya adalah
18
pengalaman yang sama dan berulang-ulang dalam situasi tertentu serta berkaitan
dengan perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut meliputi
perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan dan pemahaman. Sedang
yang dimaksud pengalaman adalah proses belajar tidak lain adalah interaksi
antara individu dengan lingkungannya.
2.3.2 Prinsip-Prinsip Belajar
Belajar menurut Wingo (Asra dan Sumiati, 2007:41-43) didasarkan atas
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Hasil belajar sepatutnya menjangkau banyak segi
Dalam suatu proses belajar, banyak segi yang sepatutnya dicapai sebagai
hasil belajar, yaitu meliputi pengetahuan dan pemahaman tentang konsep,
kemampuan menjabarkan dan menarik kesimpulan serta menilai
kemanfaatan suatu konsep, menyenangi dan memberi respon yang positif
terhadap sesuatu yang dipelajari, dan diperoleh kecakapan melakukan suatu
kegiatan tertentu.
b. Hasil belajar diperoleh berkat pengalaman
Pemahaman dan struktur kognitif dapat diperoleh seseorang melalui
pengalaman melakukan suatu kegiatan. Dalam khasanah peristilahan
pendidikan, hal ini dikenal dengan “learning by doing-yaitu belajar dengan
jalan melakukansuatu kegiatan”. Pemahaman itu bersifat abstrak. Sesuatu
yang abstrak akan mudah diperoleh dengan jalan melakukan kegiatan-
kegiatan yang nyata atau konkrit, sehingga orang yang bersangkutan
memperoleh pengalaman yang menuntun pada pemahaman yang abstrak.
c. Belajar merupakan suatu kegiatan yang mempunyai tujuan
Dalam proses belajar, apa yang ingin dicapai sepatutnya dirasakan dan
dimiliki oleh setiap siswa.
Prinsip belajar pada aktivitas Siswa. Prinsip belajar yang menekankan pada
aktivitas siswa antara lain:
1) Belajar dapat terjadi dengan proses mengalami
2) Belajar merupakan transaksi aktif
19
3) Belajar secara aktif memerlukan kegiatan yang bersifat fital, sehingga
dapat berupaya mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan pribadinya
4) Belajar terjadi melalui proses mengatasi hambatan (masalah) sehingga
mencapai pemecahan atau tujuan
5) Hanya dengan melalui penyodoran masalah memungkinkan diaktifkanya
motivasi dan upaya, sehingga siswa berpengalaman dengan kegiatan yang
bertujuan
6) Faktor-faktor yang mempengaruhi Belajar siswa
2.3.3 Pengertian Hasil Belajar
Setelah mengetahui pengertian belajar, maka akan dikemukakan apa itu
hasil belajar. Menurut Sudjana (2005: 5) hasil belajar siswa pada
hakikatnyaadalah perubahan tingkah laku dan sebagai umpan balik dalam
upayamemperbaiki proses belajar mengajar. Tingkah laku sebagai hasil belajar
dalampengertian luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotorik.
Eko Putro Widoyoko (2009:1), mengemukakan bahwa hasil
belajarterkait dengan pengukuran, kemudian akan terjadi suatu penilaian dan
menujuevaluasi baik menggunakan tes maupun non-tes. Pengukuran, penilaian
danevaluasi bersifat hirarki. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment),
sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran.
Benyamin Bloom (Nana Sudjana, 2010: 22-31) mengemukakan secara
garis besar membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranahkognitif, ranah
afektif dan ranah psikomotorik.
a. Ranah kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar
intelektual yangterdiri dari enam aspek, kedua aspek pertama
disebut kognitiftingkat rendah dan keempat aspek berikutnya
termasuk kognitiftingkat tinggi. Keenam jenjang atau aspek
yang dimaksud adalah:
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Aplikasi
4) Analisis
5) Sintesis
6) 6) Evaluasi
20
b. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai yang
terdiri darilima aspek.Kelima aspek dimulai dari tingkat dasar
atau sederhanasampai tingkat yang kompleks sebagai berikut.
1) Reciving/ attending (penerimaan)
2) Responding (jawaban)
3) Valuing (penilaian)
4) Organisasi
5) Karaakteristik nilai atau internalisasi nilai
c. Ranah Psikomotor
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk
keterampilan(skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada
enam tingkatanketerampilan, yakni:
1) gerakan refleks yaitu keterampilan pada gerakan yang
tidaksadar;
2) keterampilan pada gerakan-gerakan dasar;
3) kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya
membedakanvisual, membedakan auditif, motoris dan lain-lain;
4) kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan,
keharmonisandan ketepatan;
5) gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana
sampaipada keterampilan yang kompleks;
6) kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-
decursiveseperti gerakan ekspresif dan interpretatif.
Tohirin (2006:155) mengungkapkan seseorang yang berubah tingkat
kognitifnya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah pula sikap
danperilakunya. Suharsimi Arikunto (2007: 121) mengungkapkan ranah kognitif
pada siswa SD yang cocok diterapkan adalah ingatan, pemahaman dan aplikasi,
sedangkan untuk analisis, sintesis, baru dapat dilatih di SLTP dan SMU dan
Perguruan Tinggi secara bertahap sesuai urutan yang ada. Pengetahuan
atauingatan merupakan proses berfikir yang paling rendah, misalnya mengingat
rumus, istilah, nama-nama tokoh atau nama-nama kota. Kemudian pemahaman
adalah tipe hasil belajar yang lebih tinggi dari pada pengetahuan, misalnya
memberi contoh lain dari yang telah dicontohkan atau menggunakan petunjuk
penerapan pada kasus lain. Sedangkan aplikasi adalah penggunaan abstraksi
pada situasi kongkret atau situasi khusus. Menerapkan abstraksi yaitu ide,
teoriatau petunjuk teknis ke dalam situasi baru disebut aplikasi. Tujuan
aspekkognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup
21
kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada
kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan
dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, model atau prosedur yang dipelajari
untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah
subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering
berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu
evaluasi.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah penilaian hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam ranah kognitif,
afektif dan psikomotor yang diperoleh sebagai akibat usaha kegiatan belajar dan
dinilai dalam periode tertentu. Di antara ketiga ranah tersebut, ranah kognitiflah
yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan
kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran (Nana Sudjana,
2005: 23). Dalam pembatasan hasil pembelajaran yang akan diukur, peneliti
mengambil ranah kognitif pada jenjang pengetahuan (C1), pemahaman (C2) dan
aplikasi (C3), dimana hasilnya di ukur melalui pemberian tes setelah diberikan
tindakan tiap siklus.
2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Masnur Muslich (2008:207) faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar siswa adalah:
a. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yaitu kondisi/keadaan jasmani
dan rohani siswa
b. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan sekitar
siswa
c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar
siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk
melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Menurut Suryabrata (Slameto 2003:17) ada tiga faktor yang
mempengaruhi hasil belajar yaitu faktor psikis, fisik, dan lingkungan. Adapun
papaparannya sebagai berikut:
a. Faktor Psikis
22
1) Kecerdasan
Kecerdasan seseorang biasanya diukur dengan menggunakan alat
tertentu, salah satunya dengan menggunakan test. Hasil dari
pengukuran kecerdasan umumnya dinyatakan dengan angka yang
menunjukkan perbandingan kecerdasan yang dikenal dengan sebutan
Intelligence Quiotient (IQ).
Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara IQ
dengan hasil belajar di sekolah. Secara kasar para ahli menetapkan
bahwa orang normal memiliki IQ sekitar 90-110, lebih dari itu
termasuk katagori sangat cerdas dan kurang dari 90 maka dianggap
kurang atau tidak normal. Dengan demikian, guru diharapkan dapat
memahami tingkat kecerdasan tiap siswa agar dapat memperkirakan
tindakan yang tepat dalam memperlakukan siswa khususnya dalam
proses belajar.
2) Motivasi belajar
Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu. Jadi, motivasi untuk belajar adalah kondisi
psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Tinggi atau
lemahnya motivasi belajar pada tiap siswa dapat ditimbulkan oleh
rangsangan dari luar. Motivasi dapat dibedakan menjadi dua bagian
yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrensik. Motivasi intrinsik
merupakan motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang,
sedangkan motivasi ekstrensik adalah motivasi yang berasal dari luar
diri seseorang. Salah satu contoh motivasi ekstrensik adalah motivasi
yang berasal dari guru yang dapat berupa penghargaan ataupun
pengarahan terhadapnya.
3) Disiplin diri
Siswa yang memiliki disiplin dalam belajar memiliki hasil belajar
yang baik dibandingkan dengan siswa yang tidak mendisiplinkan
dirinya dalam belajar.
4) Konsentrasi
23
Siswa yang memiliki konsetrasi yang baik memiliki hasil tinggi,
dibandingkan siswa yang tidak memiliki konsentrasi yang baik.
5) Bakat
Manusia telah dibekali dengan bakat yang beragam dari semenjak
lahir, ada yang berbakat dalam bidang sosial, eksak, maupun kesenian.
Hampir tidak ada orang yang membantah bahwa belajar pada bidang
yang sesuai dengan bakat akan memperbesar kemungkinan
berhasilnya usaha itu. Apabila bakat itu mendapat latihan dan
pendidikan yang baik, maka bakat akan berkembang menjadi suatu
kecakapan nyata dan apabila tidak, maka bakat yang terdapat pada diri
seseorang tidak akan berkembang sebagaimana mestinya.
6) Minat
Minat atau interest adalah gejala psikis yang berkaitan dengan
dengan obyek atau aktivitas yang menstimulir perasaan senang pada
individu. Minat yang ada pada seseorang mempunyai hubungan yang
menentukan terhadap proses belajar dan hasil yang dicapai, dan minat
siswa biasanya berubah-ubah sesuai dengan tujuan pengajaran yang
diterimanya, dan banyak siswa yang berminat mengikuti pelajaran
yang tujuannya mendorong siswa untuk berimanjinasi,
menyempurnakan keterampilan atau membangkitkan kreativitas.
7) Percaya diri
Siswa yang percaya diri akan kemampuan dirinya memiliki hasil
yang baik, dibandingkan dengan siswa yang tidak percaya diri.
b. Faktor Fisik
1) Panca Indera yang baik
Panca indera yang baik terutama mata dan telinga merupakan gerbang
masuknya pengaruh dalam individu.
2) Kesehatan
Siswa yang kesehatannya baik dapat menangkap pelajaran dengan baik
pula, dibandingkan siswa yang mengalami tidak enak badan.
c. Faktor Lingkungan
24
1) Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Di dalam
lingkungan keluarga umumnya yang paling besar peranannya adalah orang
tua. Siswa yang mempunyai beban untuk mencari tambahan biaya
penghidupan keluarga umumnya hasil belajar yang diraih tergolong rendah
karena tidak mempunyai cukup waktu belajar. Begitu juga sebaliknya,
biasanya siswa dapat meraih hasil belajar yang lebih baik jika mempunyai
waktu penuh untuk belajar dirumahnya. Siswa yang keluarganya mengalami
kesulitan ekonomi juga kesulitan mengadakan sarana belajar sehingga
menjadi pengambat bagi siswa dalam belajar.
2) Guru dan Metode Mengajar
Guru memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran.
Keberhasilan suatu proses pembelajaran juga tergantung pada beberapa faktor
yang terdapat dalam diri pengajar tersebut seperti watak, pengalaman, tingkat
penguasaan materi pelajaran, serta kemampuannya dalam menyajikan materi
pelajaran kepada siswa.
Selain itu, metode mengajar yang digunakan guru sangat berpengaruh
terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Seorang guru tidak akan dapat
melaksanakan tugasnya bila ia tidak menguasai satupun metode mengajar
yang telah dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi dan pendidikan.
Dengan demikian, seorang guru hendaknya menguasai lebih dari satu metode
mengajar agar dapat mengantarkan siswa kepada tujuan pembelajaran secara
optimal.
3) Sarana dan Prasarana
Sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran, media dan lain-lain.
Sedangkan prasarana meliputi gedung sekolah, ruang belajar, perpustakaan
dan lain-lain. Apabila sarana dan prasarana tidak menunjang akan dapat
menyebabkan proses belajar mengajar terganggu atau tidak optimal.
Untuk memperoleh hasil yang baik dari suatu kegiatan belajar perlu
didukung oleh alat-alat yang lengkap. Alat-alat yang lengkap ini berfungsi
25
untuk membantu kelancaran bahan pelajaran yang disajikan, sehingga siswa
lebih mudah dalam menguasai suatu materi pelajaran.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi tingkat hasil belajar siswa, salah satu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal dapat berupa kondisi siswa itu sendiri, dan faktor-
faktor eksternal berupa kondisi-kondisi di luar diri siswa tersebut.
2.4 Kajian Penelitian Yang Relevan
Anisa Septiana Mulyasari. 2012. Telah melakukan penelitian dengan judul
“Peningkatan Hasil Belajar Ipa Melalui Metode Problem Based Learning (PBL)
Materi Gaya Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Begalon 1 No 240 Surakarta Tahun
Pelajaran 2011/2012”. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model
Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
pembelajaran IPA kelas IV SDN Begalon I Surakarta Tahun Pelajaran 2011/2012.
Hal ini terbukti pada kondisi awal sebelum dilaksanakan tindakan nilai rata-rata
siswa 28,89%, siklus I nilai rata-rata kelas 67,33% dengan persentase ketuntasan
sebesar 53,33%, siklus II nilai rata-rata kelas 73,33% dengan presentase
ketuntasan sebesar 82,22%.
Laporan penelitian lain mengenai penerapan model PBL adalah penelitian
yang telah dilakukan oleh Loly Mellisa (2013) dengan judul “Peningkatan
Aktivitas dan Hasil Belajar Dengan Menggunakan Model Problem Based
Learning (PBL) di Kelas IV SDN 16 Sintoga Padang Pariaman”. Hasilnya
menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata siklus I 45,5% dan pada
siklus II meningkat menjadi 83%. Berdasarkan hasil dan temuan peneliti,
disarankan kepada guru kelas IV SD. Dalam pembelajaran IPA hendaklah
menggunakan model PBL.
Fritza Wahyu Pety Perida. 2013. Telah melakukan penelitian dengan judul
“Upaya Peningkatan Hasil belajar IPA tentang Sumber Daya Alam Melalui
Penggunaan Model PBL Siswa Kelas IV SDN 6 Depok Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya
26
peningkatan dari awal yakni dari 29.17% meningkat menjadi 66.7% pada siklus I
kemudian meningkat lagi menjadi 91.7% pada siklus II.
Meninjau hasil penelitian tersebut, maka dapat diketahui bahwa model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) telah terbukti meningkatkkan hasil
belajar siswa, oleh karena itu peneliti memilih model pembelajaran PBL untuk
mengatasi permasalahan di kelas V SDN Dukuh 3 yakni rendahnya hasil belajar.
Namun terdapat perbedaan dengan penelitian yang terdahulu yakni, pada fokus
mata pelajaran yang akan di teliti, yakni penelitian ini dilakukan pada mata
pelajaran IPA. Kemudia perbedaan subyek, tempat dan waktu penelitian. Subyek
pada penelitian ini adalah siswa kelas V dan tempat serta waktu penelitiannya
adalah di kelas V SD Negeri Dukuh 3 pada Semester II tahun pelajaran
2015/2016.
2.5 Kerangka Pikir
Berdasarkan latar belakang, pada pembelajaran IPA dikelas V yang masih
menggunakan metode ceramah yang konvensional, guru belum memberikan
kegiatan yang bisa membuat siswa berinteraksi aktif dalam pembelajaran sehingga
menyebabkan masih ada siswa yang belum bisa mendapat hasil belajar yang
memuaskan dan tidak fokus dalam pembelajaran. Hal ini mengakibatkan 8 siswa
dari total 14 siswa hasil belajarnya masih dibawah KKM khususnya untuk mata
pelajaran IPA.
Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti pada pra siklus diduga kuat
rata-rata nilai kelas yang rendah karena pembelajaran yang masih konvesional,
guru masih mendominasi kelas dengan menggunakan metode ceramah, sehingga
hasil belajar siswa menjadi rendah. Dalam mengatasi hal tersebut, peneliti
melakukan perbaikan proses pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran PBL (Problem Based Learning). Penggunaan model PBL (Problem
Based Learning) akan dilakukan atau diterapkan oleh guru pada siklus I, dan
bilamana pada siklus I hasil belajar siswa belum maksimal atau meningkat secara
signifikan, maka akan dilakukan evaluasi dan perbaikan terhadap kekurangan
pada siklus I dan melakukan pembelajaran PBL (Problem Based Learning) pada
27
siklus ke II. Diharapkan setelah menerapkan pembelajaran dengan model PBL
(Problem Based Learning) tersebut maka siswa akan lebih aktif dalam mengikuti
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan
sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan, serta keterampilan
guru dan aktivitas siswa dalam pembelajaran juga dapat meningkat. Berdasarkan
uraian tersebut dapat digambarkan melalui gambar bagan berikut ini.
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir
2.6 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka pikir di atas dapat dirumuskan hipotesis tindakan
dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran PBL (Problem Based
Learning) dapat meningkatkan hasil belajar IPA kelas V semester II SD Negeri
Dukuh 03 Salatiga Tahun 2015/2016”.
Siswa : hasil belajar
rendah. Kegiatan
Awal
Guru menggunakan
metode ceramah
,tanya jawab
Siklus I :menggunakan
model PBL. Hasil
Belajar IPA Siswa
mengalami
peningkatan.
Guru menggunakan
model pembelajaran
PBL pada mata
pelajaran IPA Tindaka
n Siklus II
:menggunakan model
PB. HasilBelajar IPA
Siswa mengalami
peningkatan secara
menyeluruh
Melalui model PBL dapat
meningkatkan hasil belajar
IPA bagi siswa kelas V
SD Negeri Dukuh 3
Semester II tahun
pelajaran 2015/2016
Kondisi
Akhir
top related