bab ii filsafat manusia a. pengertian filsafat …eprints.ums.ac.id/45946/8/bab ii.pdfkepercayaan...
Post on 04-May-2018
257 Views
Preview:
TRANSCRIPT
35
BAB II
FILSAFAT MANUSIA
A. Pengertian Filsafat Manusia
Studi tentang manusia sampai dua abad yang lalu disebut de anima.
Studi ini bersifat empiris dan metafisik. Menurut Muji Sutrisno, Ch. Wolff
(1679-1754) telah memisah istilah diatas menjadi dua buah studi baru yaitu
psikologi empirik dan psikologi rasional.1 Tahun 1798 dalam bukunya
Antropologie in Pragmatischer Hinsicht, Immanuel Kant mengganti istilah
tersebut dengan kata antropologi yang juga membatasi kata tersebut sebagai
suatu ajaran tentang pengertian manusia yang disusun secara sistematik.
Dewasa ini ketika terdapat istilah antropologi secara luas telah menunjukkan
tiga disiplin ilmu yang berbeda, yaitu pertama, antropologi ragawi yang
membahas manusia dilihat dari aspek asal-usul fisiknya, kedua antropologi
budaya yang membatasi diri pada aspek asal-usul historis kebudayaannya,
ketiga, antropologi filsafat yaitu sebuah kajian yang mengkaji tentang asal-
usul fundamentalnya.2 Sehingga antropologi filsafat dapat juga disebut
sebagai filsafat manusia dalam kajian ini.
Filsafat manusia adalah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan
sistem filsafat yang secara khusus menyoroti tentang hakikat atau esensi
1 Manusia dalam kesimpulan psikologi disebut „binatang yang berfikir‟, belakangan
kesimpulan ini mendapat berbagai pertimbangan untuk ditinjau kembali. Diantaranya Ernest Sosa
and David Galloway, “Man The Rational Animal?”, dalam Synthese,(June, 2000), hlm. 165-166. 2 Selebihnya lihat FX. Mudji Sutrisno (Ed.). Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan
Dimensinya..., hlm. 18.
36
manusia yang paling dalam.3 Ada definisi yang lain yang dapat dirumuskan
sebagai suatu refleksi atas pengetahuan dan pengalaman yang dilaksanakan
dengan rasional, kritis-ilmiah dengan tujuan memahami diri manusia dari segi
yang paling dasar.4 Berpijak dari uraian sebelumnya, filsafat manusia dapat
diuraikan sebagai suatu kajian yang paling fundamental tentang pengetahuan
dan pengalaman segala dimensi manusia yang dilaksanakan dengan rasional,
metodologis-sistematis dengan filosofis-reflektif dengan tujuan memahami
manusia sedalam-dalamnya.
B. Ontologi Filsafat Manusia
1. Pengertian Manusia
Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna (ahsanul
taqwim) dan paling unik sebagai objek dan subjek dari berbagai ilmu dan
dengan kajian ini banyak muncul berbagai ilmu. Manusia sebagai subjek
berarti diri sendiri ini mengkaji dirinya sendiri, manusia sebagai objek
apabila manusia tersebut ada dalam ada, sehingga ada sebagai objek untuk
menjadi objek yang ada. Adapun pertanyaan „Siapakah manusia itu?‟
menjadi pertanyaan yang paling mendasar dan pertanyaan yang paling
klasik sepanjang sejarah manusia. Sebelum Sokrates (469-399 SM) sudah
muncul pertanyaan semacam ini. Pada zaman tersebut sudah banyak para
pemikir yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut.5
3 Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm. 22.
4 Selebihnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan,
cet. ke-6, (Yogyakarta: Kaninius, 2014), hlm. 18. 5 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari
Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk, Cetakan III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 583
37
Menurut Laming, ada beberapa cara atau kerangka teori yang dapat
digunakan dalam memahami manusia. Pertama, apa yang disebut sebagai
perilaku semi mekanis dari manusia. Manusia mempunyai aspek isntingtif
yang bersifat mekanis dalam dirinya. Perilaku ini seringkali
mempengaruhi perilaku manusia yang dapat dipelajari dengan pendidikan
dan dengan kultur secara rutin. Akan tetapi perilaku manusia tidak
sepenuhnya mekanis. Terkadang menyebut perilaku manusia sebagai
mekanis, karena terbiasa dengan berpikiran secara mekanis. Namun, ketika
dilihat (berfikir) secara jauh tidak ada perilaku yang tidak mekanik dan
sama sekali terlepas dari kesadaran pelakunya.
Kedua, dengan mengambil celah dari sudut pandang pertama,
Laming menyebut teori ini dengan sudut pandang personal atau sudut
pandang kamera (personal and camera view). Sebagai contoh, ketika Sang
Dalang dalam memainkan wayang semalam suntuk tidak pernah pergi
kekamar kecil. Bagi para penonton itu adalah hal yang biasa dan mudah
dilihat dan bersifat mekanis. Namun bagi Sang Dalang samasekali tidak
bersifat mekanis, ia harus melatih setiap waktu dengan beberapa resiko.
Inilah perilaku sadar yang hanya dipahami dengan mengunakan sudut
pandang personal. Ketiga, dengan sudut pandang teori pengaruh sosial.
Perilaku dan motivasi manusia sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan
sosial, tempat lahir dan berkembangnya. Tidaknya perilaku-perilaku itu
saja yang mempengaruhi, tetapi juga konsep-konsep, atau dasar-dasar yang
38
tertanam pada ranah sosial.6 Dengan sudut pandang ini manusia setidaknya
dapat melihat bagaimana keadaan manusia tersebut, sehingga ia mengerti
dirinya sendiri.
Menurut Adelbert Snijders ada beberapa hal menyangkut tentang
berbagai sisi manusia, yaitu pertama, manusia sebagai makhluk yang
selalu bertanya. Manusia akan selalu bertanya, dan mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang dialaminya. Satu pertanyaan akan melahirkan
atau melibatkan setidaknya satu macam ilmu yang akan berperan dalam
memberikan jawaban dari pertanyaan tersebut. Tentunya, satu ilmu
mempunyai disiplin dan metode sendiri dalam menjawabnya. Khazanah
antropologi filsafat atau juga sering disebut sebagai filsafat manusia
pertanyaan tersebut dijawab dengan refleksi filosofis. Kedua, manusia
sebagai makhluk yang eksentris. Hal ini berkaitan dengan titik tolak dalam
kajian filsafat manusia yang berbeda-beda dan terbuka berbagai macam
kemungkinan untuk itu. Akhirnya, semua jalan filsafat akan berangkat dari
intuisi yang dari implisis, kabur, remang-remang, menjadi nyata dan pada
gilirannya akan menjadi eksplisit.
Ketiga, manusia sebagai makhluk paradoksal, ini artinya manusia
dalam perumusan atas dirinya sendiri terjadi dalam dua kebenaran yang
bertentangan, bukan kebenaran yang salah satu benar dan yang lain salah
(baca: kontradiksi). Manusia termasuk dalam alam ini namun sekaligus
bergantung kepadanya, manusia bebas dan terikat, jasmani dan rohani.
6 Reza AA Wattimena, G Dewi Nugrohadi dan A. Untung Subagya, Menjadi Manusia
Otentik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 9-10.
39
Keempat, manusia adalah makhluk yang dinamis. Manusia maju dengan
dunianya menuju diri sejati dengan tetap mempererat tali hubungannya
dengan Tuhan. Dinamika manusia ada dalam dunia manusi itu, manusia
bebas dan bertanggung jawab, yang sekaligus ada dorongan secara
metafisik untuk menuju diri yang sejati yang tidak diikuti dengan
keperluan (dorongan kodrati yang bersifat keperluan seperti ulat menjadi
kupu). Tetapi secara nyata tetap terikat secara etis. Kelima, manusia
sebagai makhluk multidimensional. Sudah terjadi bahwa manusia adalah
makhluk kesatuan, tetapi dalam kesatuan itu ditemukan berbagai dimensi
manusia dengan segala tingkatan ontologisnya yang tentunya berbeda-
beda. Dapat terjadi dalam diri manusia hidup seolah-olah bagaikan satu
dimensi saja.7 Akan tetapi jawaban diatas hanya dapat memberikan
jawaban atas masalah-masalah temporer tidak mencakup masalah abadi,
yaitu masalah masa silam, akan datang maupun masa selanjutnya. Tidak
ada jawaban yang dapat menjawab permasalahan diatas kecuali
kepercayaan agama yang diyakini kebenarannya secara mutlak oleh umat
manusia.
2. Eksistensi Manusia
Kata eksistensi dalam kajian eksistensialisme adalah suatu istilah
filosofis yang mengandung arti khusus. Kata eksistensi dikhususkan untuk
cara berada manusia yang khas. Hanya manusialah yang bereksistensi.
Karena eksistensi tidak dapat disamakan dengan berada. Pohon, batu,
7 Selebihnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan
Seruan..., hlm. 13-16. Lihat juga Murtadho Mutahari, Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan
Agama (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 125.
40
kucing dan segala yang lain pun ada, tetapi tidak bereksistensi. Hal ini
akan lebih jelas, jika kekhasan manusia ini dihadapkan dengan
materialisme dan spiritualisme.8 Arti khas kata eksistensi menjadi jelas
bila dilihat dari susunan katanya. Kata ini berasal dari bahasa Latin
existere, dari ex yang artinya keluar dan sistentia yang artinya berdiri,
artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami.
Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Selain itu, konsep ini tidak
sama dengan apa yang dapat dilihat manusia dengan pancaindera.
Misalnya, perdebatan pada zaman prasokratik, yaitu kelompok
materialisme yang diwakili oleh Empedokles, Anaxagoras, dan
Demokritos. Demokritos berpendapat bahwa satu-satunya yang ada adalah
yang dapat disentuh tangan manusia. Sokrates dan Plato membantah hal
ini, Plato berpendapat bahawa apa yang disentuh dengan tangan itu
semata-mata wakil dari ide-ide. Berkat Aristoteles perdebatan dua ajaran
ini dapat dipadukan.
Konsep eksistensi juga tidak sama dengan pemikiran pluralisme
dan filsafat nilai modern. Satu-satunya faktor dalam konsep eksistensi
yang membedakan setiap hal yang ada dari tiada adalah fakta. Setiap hal
yang ada itu mempunyai eksistensi atau ia adalah suatu eksisten, dengan
demikian jika sesuatu itu sama sekali tidak berhubungan dengan eksistensi
maka juga sama sekali tidak tampil sebagai suatu eksisten. Dengan
menyatakan bahwa manusia bereksistensi berarti manusia baru dapat
8 Selebihnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan
Seruan..., hlm. 23.
41
menemukan diri sebagai aku yang keluar dari dirinya. Salah satu cara
untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi ialah dengan
mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang berbadan. Aku berada
didunia melalui badanku. Badanku menjadi badan manusiawi karena
kesatuannya dengan aku. Jika badanku sakit, maka aku juga sakit. Jika
kakiku berjalan, maka aku juga berjalan. Jika mataku terbuka, akulah yang
memandang. Jika badanku disentuh, akullah yang disentuh. Akan tetapi
jika, bajuku robek, bukan aku yang robek. Badanku merupakan satu
kesatuan dengan aku. Badanku dan aku adalah identik, tetapi sekaligus
tidak identik. Aku melalui badanku hadir di dunia. Aku yang terlepas dari
dunia tidak kutemukan. Tidak mungkin memikirkan suatu cara berada
manusia yang tidak sekaligus suatu cara berada didunia. Aku menjadi aku
berkat bertemu dengan sesama dan dunia.9 Dengan demikian manusia
dikatakan bereksistensi, jika manusia tersebut sudah bergabung antara aku
dan badan yang berada didunia. Jika manusia masih berada dalam alam
ruh atau belum tercipta, maka aku belum berada.
Ber-eksistensi menurut Heidegger disebut dasein, dari kata da yang
berarti „disana‟ dan kata sein yang berarti „berada‟, sehingga kata ini
berarti berada disana, yaitu ditempat. Manusia senantiasa menempatkan
diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam
sekitar dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama
dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia
9 Uraian secara luas dapat dilihat dalam Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia:
Paradoks dan Seruan..., hlm. 25-28 dan Save M. Dagum, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1990), hlm. 18-24.
42
sadar akan keberadaannya itu. Ajaran eksistensialisme sebenarnya adalah
suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam-
bermacam sistem yang berbeda dengan ciri-ciri yang sama. Ada empat
pemikiran yang setidaknya secara jelas dapat disebut filsafat
eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl
Jaspers dan Gabriel Marcel. Ciri persamaan tersebut adalah pertama,
eksistensi, yaitu cara manusia berada, hanya manusialah yang
bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian
ini terletak pada manusia itu sendiri, sehingga bersifat humanities.
Kedua, bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi
berarti menciptakan dirinya secara aktif untuk berbuat, menjadi dan
merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari
keadaannya. Ketiga, manusia adalah realitas yang belum selesai, harus
„membentuk‟. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya,
terlebih kepada sesama manusia. Keempat, Filsafat eksistensialisme
memberi tekanan kepada pengalaman yang berbeda-beda. Heidegger
memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu,
Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman
hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan
dan kesalahan.10
10
Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cetakan Kesebelas (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 149 dan Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika,
Cetakan kedua, (Jakarta: PT. Bina Aksara Jakarta, 1988), hlm. 27-29.
43
3. Esensi dan Hakikat Manusia
Esensi berasal dari bahasa Latin, essentia yang artinya „ada‟.
Secara filosofis adalah sesuatu yang membuat sesuatu itu sebagaimana
adanya, bukan menjadi sesuatu yang lain, atau sesuatu yang dimiliki oleh
sesuatu dan yang membuatnya dapat dikenal sebagai sesuatu yang
partikular, dan tanpanya sesuatu itu tidak akan dikenal sebagai adanya,
sebagai karakteristik penentu dari sesuatu. Esensi berbeda dengan
eksistensi, jika esensi lebih menekankan „apanya‟ sesuatu, sedangkan
eksistensi menekankan „apanya‟ sesuatu yang lebih sempurna. Esensi dan
eksistensi dapat dikatakan identik dalam hal-hal tertentu seperti Tuhan,
alam semesta atau yang absolut. Esensi berkaitan dengan hakikat manusia,
maka berkaitan dengan unsur penyusun manusia itu, ruh dan jasad. Esensi
dari manusia itu terletak dalam ruh sebagai peparing Tuhan atau jasad
yang terbuat dari unsur tanah, malah kedua-duanya sebagai esensi atau
hakikat manusia yang sering dilabeli dualisme atau monodualis. Dengan
kesempurnaan ini sesuatu itu menjadi suatu eksisten.11
Rujukan yang
paling kuno adalah Plato yang menyatakan bahwa jiwa manusia (atau
pikiran) adalah entitas nonmaterial yang dapat tinggal terpisah dari tubuh.
Plato adalah salah satu sumber utama pandangan dualistik yang
menyatakan bahwa jiwa manusia (pikiran) adalah sebuah entitas
nonmaterial yang dapat hidup terpisah dari tubuh. Menurut Plato, jiwa
sebagai sesuatu yang tidak dapat hancur dan akan hidup abadi setelah mati.
11
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), hlm.
99-100 dan lihat Ali Mudhafir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat (Yogyakarta: Liberty,
1988), hlm. 27.
44
Argumen-argumen Plato terdapat dalam Meno yang membuktikan
praeksistensi jiwa, menjelaskan bahwa kegiatan belajar sesungguhnya
hanya sejenis jiwa yang “mengingat kembali” benda-benda sebelum lahir
(dialog Adam As dengan malaikat (Islam) atau sejenis reinkarnasi). Plato
menyatakan bahwa kemampuan menyadari validitas langkah-langkah dan
sebuah kesimpulan merupakan sifat bawaan sejak lahir. Bukti lain dalam
Phaedo, Plato menyebutkan beberapa argumen lain mengenai jiwa
manusia yang tetap ada setelah kematian tubuh. Plato ingin membuktikan
kesalahan teori materialisme yang diusung oleh atomisme Yunani awal,
seperti Demokritos yang menyatakan bahwa jiwa manusia tersusun atas
partikel-partikel kecil yang berhamburan ke udara pada saat mati. Ia juga
menentang konsep bahwa jiwa adalah sejenis harmoni yang memfungsikan
tubuh seperti musik yang berasal dari instrumen yang dimainkan dengan
nada-nada yang tepat.
Plato menyajikan teori tiga elemen jiwa ini dalam imajinasi-
imajinasi yang halus. Plato membandingkan jiwa seperti kereta kuda,
ditarik seekor kuda putih (roh) dan kuda hitam (nafsu), di kendarai oleh
seorang penunggang kuda (rasio) yang terus berusaha mengontrol laju
kereta. Plato menyatakan bahwa roh biasanya ada di samping rasio ketika
konflik batin muncul. Tetapi, roh suatu saat merupakan elemen yang
berbeda dalam pikiran, pasti ada beberapa kasus pikiran yang bertentangan
dengan Rasio. Kasus ini dapat dilihat dari pengalaman masing-masing
45
manusia. Aspek sosial yang tidak dapat dihilangkan dari teori hakikat
manusia menurut Plato sebagai sifat alami bagi kemanusiaan.12
Al-Farabi dalam menyikapi hakikat manusia menggunakan teori
emanasi yang dinamakan nadhariatul-faidl dengan uraiannya sendiri,
walaupun ia menyetujui teori al-Kindi. Pada mulanya al-Farabi menerima
prinsip Aristotelianisme yang menyatakan bahwa Tuhan itu ialah Akal
yang berfikir, al-Farabi menamakannya akal murni. Akal murni itu Esa
adanya, dalam arti bahwa akal itu berisi satu pikiran saja, yakni senantiasa
memikirkan dirinya sendiri. Jadi Tuhan itu adalah akal yang berfikir (aqil)
dan dipikirkan (ma‟qul). Dengan ta‟aqul ini mulailah ciptaan Tuhan.13
Ibnu Sina, seperti pendahulunya al-Farabi, juga menyatakan bahwa
manusia terdiri dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala
kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan
aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan
semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu (usia). Sehinggga ia
mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa. Jadi menurut Ibnu Sina
hakikat manusia adalah jiwa, bukan jasad, sehingga perhatian para filosof
lebih jauh dalam mengkaji jiwa daripada jasadnya.14
Hal berbeda disampaikan oleh Ibnu Thufayl, bahwa kesadaran
tentang diri akan membawa pada derajat tercapainya kesadaran tentang
12
Leslie Stevensen dan David L. Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, terj. Yudi
Santoso dan Saur Pasaribu, (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), hlm. 144-154. 13
Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam, cetakan keempat,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 133-134. 14
Hasbullah Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm. 50.
46
yang wajib-ada. Kesadaran tentang yang wajib ada sebagai hakikat esensi
diri manusia dalam pandangan Ibnu Thufayl.15
Ia menulis”
“Esensi yang telah mencerap pengetahuan tentang Wujud yang
Wajib-Ada haruslah sesuatu yang bersifat immateri. Segala sesuatu
diluar dirinya yang bersifat ragawi bukanlah hakikat dirinya.
Hakikat esensi dirinya adalah sesuatu yang membawanya
mengetahui Wujud Mutlak yang Wajib-Ada.”16
Muhammad Iqbal dari Pakistan berpendapat bahwa esensi manusia
terletak pada pusat kesadaran yang bernama ego atau khudi. Kenyataan ini
membuat manusia dipandang sebagai makhluk kerohanian. Sebagai
makhluk rohani, khudi merupakan kesadaran dan perasaan bawaan yang
membimbing manusia menuju martabat yang Agung. Iqbal bertolak dari
al-Qur`an surat ar-Ra`du ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan
mereka sendiri.” Esensi khudi mengacu pada pengertian yang
dikemukakan al-Qur`an tentang kedudukan manusia di alam semesta dan
di tengah makhluk lain, yaitu sebagai khalifah Tuhan dan juga sebagai
hamba-Nya.17
Ali Syari`ati mempunyai beberapa kategori konsep tentang
bagaimana memaknai manusia, yaitu: khalifah, manusia dua dimensional,
insan dan manusia tercerahkan. Keempatnya katagori di atas memiliki
makna berbeda namun saling berhubungan antara makna satu dengan
15
Selebihnya lihat Muhammad „Usman Najati Jiwa dalam Pandangan Para Filosof
Muslim terj. Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm .266. 16
Abu Bakar Ibn Thufayl, Hay Bin Yaqzan dalam Abdul Kadir Riyadi, Antropologi
Tasawuf: Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan..., hlm. 264. 17
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam: Dilengkapi dengan
Puisi-Puisi Asrar-I-Khudi, terj. Ali Audah, Taufik Ismail dan Goenawan Muhammad, (Jakarta:
Tinta Mas, reprint: Jalasutra, 2002), hlm.137-138.
47
makna yang lainnya. Hubungan makna inilah yang secara lahir tidak akan
terjadi, akan tetapi adanya hubungan yang lebih erat lagi yang disebut
hubungan esensi atau hubungan makna esensi manusia. Selanjutnya, Ali
Syaria‟ati mengemukakan hubungan esensi dari kategori tersebut, yaitu
bahwa manusia memiliki daya intelektual yang dilengkapi dengan atribut
kesadaran diri, kebebasan, kreativitas serta memiliki moral yang agung
untuk menuju tanggung jawab sebagai manusia sempurna. Kalimat
sempurna dalam pemaknaan Ali Syari'ati dapat dilihat dalam tulisannya,
“Saya mencari esensi saya dan tidak dapat menemukannya, saya adalah
bayangan-Nya. Dimanakah Dia?”
4. Stuktur Manusia
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan yang paling
sempurna, sebagai „Pengganti‟ Tuhan dibumi ini. Manusia mempunyai dua
unsur yaitu jiwa dan jasad. Jiwa berasal dari alam perintah (alamu‟l amar)
dan akal kesepuluh dan unsur jasad berasal dari alam ciptaan. Sehingga
jiwa merupakan unsur yang terpenting dan paling berpengaruh daripada
jasad. Menurut al-Farabi kesatuan jiwa dan jasad merupakan kesatuan
accident. Artinya, kedua unsur tersebut mempunyai substansi yang
berbeda dan hancurnya jasad juga tidak dibarengi dengan hancurnya jiwa.
Al-naf al-nathiqah yang berasal dari Alam Illahi, sedangkan jasad dari
alam khalaq, bentuk, rupa, dan berkadar. Jiwa-jiwa manusia mempunyai
daya-daya, yaitu: pertama, daya gerak yang terdiri dari daya makan
(nutrion), memelihara (preservation), dan daya berkembang
48
(refroduction). Kedua, daya mengetahui yang terdiri dari daya merasa
(sensation) dan imajinasi (imajination). Ketiga, daya berfikir yang
mempunyai akal praktis (practical intellect) dan akal teoritis (theoretical
intellect).
Jiwa menurut al-Farabi adalah kesempurnaan pertama bagi jisim
alami yang organis yang memiliki kehidupan dalam bentuk potensial. Jiwa
ada forma dari jasad, yang diartikan sebagai jauhar (substansi) yang
berdiri sendiri yang juga berasal dari akal kesepuluh. Hal ini membentuk
hubungan antara jiwa dan jasad tidak berhubungan esensial melainkan
hubungan aksidental (tidak ada saling ketergantungan). Apabila jasad mati,
jiwa tidak akan mati sebab jasadnya hancur. Maka, jiwa adalah abadi,
inilah paham al-Farabi. Jiwa yang dinyatakan abadi oleh al-Farabi, masih
dibedakan menjadi jiwa khalidah dan jiwa fana‟. Jiwa khalidah adalah
fadilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbaik, serta dapat
melepaskan diri dari ikatan jasmani atau materi. Jiwa ini tidak akan hancur
dengan hancurnya badan. Termasuk juga jiwa yang ada dalam tingkat akal
mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak akan mencapai
kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi
dunia. Jiwa ini akan hancur bersama hancurnya badan.18
Ibnu Sina, seperti pendahulunya al-Farabi, juga menyatakan bahwa
manusia terdiri dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala
kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan
18
Hasyim Nasution, Filsafat Islam dalam Udang Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia:
Sebuah Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hlm. 128-129.
49
aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan
semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu (usia). Sehinggga ia
mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa.19
Jiwa berasal dari akal
kesepuluh dibawah bulan dalam teori emanasi Ibnu Sina.20
Objek
pemikiran dalam teori emanasinya adalah Tuhan, dirinya sebagai wajibul
wujudnya dan dirinya sebagai mumkinul wujud, dari objek pemikiran
tentang Tuhan muncul Akal-Akal, dari objek pemikiran tentang dirinya
yang wajibul wujud timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya
sebagai mumkinul wujud timbul langit-langit. Jiwa dalam kajian
Aristoteles terbagi menjadi tiga jiwa yang juga diamini oleh Ibnu Sina,21
yaitu: pertama jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya kekuatan
makan (nutrition), tumbuh (growth) dan berkembang biak (reproduction).
Kedua jiwa binatang yang terdiri dari jiwa gerak (locomotion) dan jiwa
menangkap (perception). Daya menangkap ini mempunyai dua bagian
yaitu daya tanggap dari luar dengan alat pancaindera dan daya tangkap
dari dalam dengan indera-indera dalam. Daya tangkap dari dalam ini juga
mempunyai beberapa komponen yang mempunyai beberapa fungsi sesuai
dengan daya komponen tersebut.
19
Hasbullah Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm. 50. 20
Ada beberapa bukti untuk meyakinkan adanya jiwa ini, yaitu argumen alam kejiwaan,
argumen „aku‟ dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan, argumen kesinambungan dan argumen
manusia terbang, secara jelas diuraikan dalam Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk
Beluk Filsafat Islam..., hlm. 157-161. 21
Pengertian jiwa menurut Ibnu Sina diuraikan oleh Usman Najati secara luas, demikian
juga macam macam stuktur daya jiwa, selebihnya lihat Muhammad „Usman Najati, Jiwa dalam
Pandangan Para Filosof Muslim..., hlm.171.
50
Komponen indera bersama (common sense), yang berfungsi untuk
menangkap semua rangsang yang ada dalam sensorik segala pancaindera.
Komponen representasi (representation) yang bertugas untuk menyimpan
segala apa yang ditangkap dan telah disampaikan oleh rangsang indera
bersama. Selanjutnya, komponen imajinasi (imagination) berusaha
menyusun apa-apa yang ada dan melanjutkan segala yang ada dalam
komponen refresentasi. Dilanjutkan ke komponen estimasi (estimation),
komponen ini dapat menangkap dari sensorik komponen imajinasi yang
bersifat abstrak dan diluar benda imajinasi. Terakhir komponen sensorik
rekoleksi, komponen sensorik tersebut berguna untuk menyimpan apa-apa
yang bersifat abstrak yang ada dalam estimasi. Ketiga, adalah jiwa
manusia, yang terdiri dari jiwa praktis (practical) yang berhubungan
dengan badan-wadag. Jiwa teoritis (theoretical) sebagai isi dari jiwa
manusia yang berhubungan dengan jiwa-jiwa abstrak.
Jiwa yang abstrak ini terdapat maqam-maqam, yaitu: maqam akal
materi (material intellect) sebagai maqam awal yang berfungsi untuk
berfikir yang belum terlatih samasekali. Maqam akal abstrak (intelektus
inhabitu) sebagai maqam kedua yang sudah terlatih untuk berfikir hal-hal
yang bersifat abstrak. Maqam aktuil adalah maqam ketiga yang berfungsi
sebagai akal yang dapat berfikir hal-hal yang bersifat abstrak. Maqam
terakhir, adalah akal mustafad, yaitu akal yang sudah terbiasa untuk
berfikir hal-hal yang abstrak, tentunya juga sudah terlatih sedemikian rupa.
Sehingga hal-hal yang bersifat abstrak sudah ada dalam akal tersebut, akal
51
inilah yang sanggup berhubungan dan berinteraksi dengan akal-aktif.22
Menurut Ibnu Rusy, akal-aktif dan akal-materi sebagai substansi yang
kekal yang independen ada di luar dari jiwa manusia. Artinya, antara akal-
aktif dan akal-materi berpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan
atau tidak saling mempengaruhi.23
Menurut al-Farabi, akal-aktif bukan merupakan maqam dari
manusia intelek, melainkan merupakan substansi imaterial yang ada dari
jiwa manusia. Tugas dari akal-aktif adalah membawa manusia ke tingkat
tertinggi dari kesempurnaan, yang didedikasikan hanya untuk manusia.
Akal-aktif berfungsi mengaktualisasikan potensi rasional dalam manusia
dan membuat benda-benda lain dapat dimengerti dalam pikiran manusia,
hal ini dilihat dari tercapainya kecerdasan yang sebenarnya dan
kemakmuran akhirnya. Al-Farabi mengibaratkan peran akal-aktif dalam
kesempurnaan jiwa rasional, dengan matahari yang menyinari benda,
sehingga benda tersebut terlihat manusia. Benda terlihat mata karena
tersinari matahari. Mata dapat melihat karena ia menerima cahaya dari
matahari. Akal manusia dapat mengaktualisaikan potensi jiwa rasionalnya,
apabila mampu menerima aktualisasi dari akal-aktif.24
22
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), hlm. 35-37. 23
Selebihnya lihat Davoud Zandi, “Rational Explanation of the Relationship between the
Material Intellect and the Active Intellect from the Perspective of Averroes”, dalam International
Journal of Islamic Thought, Vol. 8: (Dec. 2015), hlm. 14. 24
Davoud Zandi, “A Comparative Study of the Relationship between the Material Intellect
and the Active Intellect from the Perspective of Averroes and Al-Farabi”, dalam Journal of
Islamic Studies and Culture, Vol. 3, No. 2, (December 2015), hlm.40-41.
52
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia sebagai entitas tersendiri yang
mempunyai wujud tersendiri terlepas dari badan (benda) atau wadah. Jiwa
manusia tercipta ada karena ada wadah atau badan yang sesuai dengan
frekuansi jiwa yang dapat menerimanya untuk lahir didunia. Hubungan
wujud yang sempurna antara jiwa (shurah) dan benda (maddah) dalam
kajian Ibnu Sina terletak dalam diri al-khair yang tidak terdapat dalam
jirmul-falakil-aqsha. Benda (maddah) akan selau rindu kepada jiwa
(shurah) yang diandaikan dengan topeng yang sangat indah. Rasa
kerinduan ini akan berdampak pada rasa keinginan untuk mencapai pada
maqam zat yang tertinggi (al-jawahirul „alawiyah).25
Pada awalnya jiwa
sebagai entitas tersendiri dari badan, tetapi pada awalnya penciptaan jiwa
(didunia) wujud badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat
berfikir. Pancaindera dan daya-daya batin dari jiwa binatang seperti indera
bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk
memperoleh konsep-konsep dasar yang diperlukan jiwa untuk mencapai
tahap kesempurnaannya (al-jawahirul „alawiyah). Tetapi pada suatu waktu
jiwa binatang tersebut malah menjadi penghalang jiwa manusia untuk
mencapai derajat kesempuraan. Karena jiwa manusia merupakan satu
entitas tersendiri yang terlepas dari badan.
Jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan yang ada pada diri
manusia, hanya berfungsi fisik dan jasmani akan mati bersamaan dengan
matinya badan wadah yang tidak akan hidup kembali pada hari
25
Selebihnya lihat Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam...,
hlm. 149.
53
pembangkitan. Jiwa manusia karena bersifat dan berfikir abstrak yang
berbeda dengan jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka
pembalasannya tidak didunia ini, tetapi akan disampaikan diakhirat kelak.
Jiwa jenis ini bersifat kekal selamanya. Jika jiwa manusia ini sudah
sempurna sebelum berpisahnya dengan badan (meninggal), maka jiwa ini
akan terus sempurna selamanya dan mendapatkan kesenangan yang kekal.
Selanjutnya, jika jiwa ini berpisah dengan badan tidak dalam keadaan
sempurna, karena telah dipengaruhi jiwa-jiwa binatang dan tumbuh-
tumbuhan maka ia akan menyesal dan akan terkutuk untuk selamanya
dialam akhirat kelak.26
Manusia menurut Ali Syari‟ati adalah gabungan dari lumpur dan
roh Allah, manusia adalah zat yang berdimensi, makhluk yang bersifat
ganda, berbeda dengan makhluk Allah yang unidimensional. Dimensi yang
satu cenderung kepada susunan lumpur yang bersifat rendah, stagnan dan
immobilitas. Dimensi yang lain, berasal dari roh Allah, sebagaimana al-
Qur‟an menyebutkan asal-muasal tersebut, dimensi ini cenderung untuk
meningkat dan berjalan kepuncak yang setinggi-tingginya yang dapat
diraih yaitu menuju kepada-Nya bukan bersatu dengan Tuhan. 27
Hal yang sama juga disampaikan oleh Muhammad Baqir ash-Shadr
yang membagi manusia menjadi dua sisi, yaitu sisi spritual dan sisi
material. Sisi materialnya tersusun dari komposisi organik, sedangkan sisi
26
Ibid, hlm. 38. 27
Ali Syari‟ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda,
1982), hlm. 90 dan lihat Ali Syari‟ati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais,
(Yogjakarta:Shalahuddin Press;reprint: Jakarta: PT RajaGrafndo Persada, 1995), hlm. 6-7.
54
spiritualnya atau nonmaterial yang merupakan pentas aktivitas pemikiran
dan mental. Manusia tidak hanya berwujud kumpulan dari materi yang
sangat kompleks, tetapi personalitasnya terdiri dari materi dan nonmaterial
yang jamak disebut dualitas. Sadr mengatakan cukup sulit untuk
mengetahui hubungan antara dua komponen manusia tersebut. Ada
pendapat yang menjelaskan hubungan antara keduanya sangat erat, dan
saling mempengaruhi diantara keduanya. Apabila seseorang melihat
pocong dalam kegelapan, maka gemetarlah seseorang tersebut, apabila
seseorang berfikir, maka terjadilah suatu aktifitas tertentu. Ini akibat
pengaruh jiwa (nonmateri). Apabila usia ketuaan secara perlahan sudah
merayapi tubuh, lemahlah segala aktifitas mental, atau jika seseorang
pemabuk sedang tenggelam dalam minumannya, ia akan melihat benda
sebagai dua benda yang sama. Akibat dari pengaruh jiwa terhadap tubuh.
Sadr sependapat dengan filosof muslim Sadr al-Muta‟allihin asy-
Syirazi tentang hubungan antara nonmaterial dan material. Filosof ini telah
menemukan gerak substansial dalam jantung alam. Gerak ini sebagai
sumber primer dari setiap gerak yang dapat ditangkap oleh segala indera
yang terjadi di alam raya, termasuk manusia. Materi dalam gerakan
substansialnya berusaha untuk menyempurnakan wujudnya dan terus-
menerus berusaha melepaskan wujud materialitasnya dengan syarat-syarat
tertentu menjadi wujud yang nonmaterial, yaitu wujud spiritual. Jadi,
antara keduanya tidak ada dinding pemisah, tetapi keduanya sebagai dua
wujud keberadaan yang berbeda. Meskipun ia nonmaterial, ia tetap
55
memiliki hubungan material, karena yang nonmaterial tersebut adalah
maqam tertinggi dari riyadhah materi dalam gerak penyempurnaanya yang
substansial. Jembatan yang baik ini sebagai temuan yang apik dalam
hubungan antara materi dan nonmateri dari filosof diatas. Sadr
menambahkan bahwa jiwa itu sendiri tidak lain adalah imaji material yang
menjadi tinggi karena gerak substansial. Perbedaan antara sisi spritualitas
dan materialitas hanya terletak pada perbedaan derajat saja, seperti panas
yang tinggi dengan panas yang rendah. Tidak boleh juga beranggapan
bahwa jiwa adalah produk materi dan menjadi salah satu efeknya. Namun,
sebenarnya adalah produk gerak substansial yang bukan produk dari
materi itu sendiri. Sebab, setiap gerak berasal dari munculnya sesuatu dari
potensialitas ke aktualitas secara berangsur-angsur. Potensialitas tidak
dapat menciptakan aktualitas dan kemungkinan tidak dapat menciptakan
keberadaan. Jadi, gerak substansial memiliki sebab diluar materi yang
bergerak. Ruh yang merupakan sisi nonmaterial manusia adalah produk
gerak tersebut. Adapun gerak ini sendiri adalah jembatan antara
materialitas dan spritualitas.28
C. Epistemologi Filsafat Manusia
1. Penciptaan Manusia
Kreasionisme berarti bahwa dunia fisik dan segala yang ada di
dalamnya ada secara obyektif dan secara nyata; dunia fisik bukan rupa dan
28
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr
Terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali, Cetakan V (Bandung:
Mizan, 1995), hlm. 270-272. Keterangan berkaitan dengan teori gerak potensialitas dan aktualitas
dapat dilihat pada buku yang sama pada halaman 155-163.
56
ilusi. Gagasan penciptaan dunia dan (peng)ada-(peng)ada hanya
mempunyai arti jika dunia ada secara nyata, dengan suatu eksistensi yang
khas baginya. Penciptaan berarti alam semesta secara fisik bukan “ada”
mutlak, dan tidak mencukupi untuk dirinya sendiri. Dengan demikian,
alam semesta secara fisik didedivisasi dan di deklarasi. Alam semesta itu
ada, tetapi ia bukan “ada” yang mutlak. Ia bersifat kontingen dan
tergantung pada Dia, satu-satunya yang dapat memberikan keadaan. Ia
tergantung pada Ada yang mutlak, yaitu Allah.
Tuhan dalam memberikan keadaan kepada alam semesta tidak
berpangkal dari suatu khaos materi dan alam semesta bukan bagian Dzat
Ilahi. Semua pengada yang ada dalam alam semesta selalu mempunyai
awal. Sebab jika pengada-pengada itu merupakan bagian Dzat Ilahi,
pengada-pengada itu tentu tidak diciptakan, karena mereka adalah keahlian
itu sendiri dalam keadaan tercerai-berai, terpotong-potong, atau terasing.
Penciptaan dunia dan pengada-pengada yang mendiami dunia tidak
membawa perubahan dalam diri Tuhan, tidak mengubah Tuhan. Pengada-
pengada sebagai isi dunia diadakan berdasarkan anugerah kebaikan hati
Tuhan. Alam semesta bukanlah hasil dari suatu keharusan dalam diri
Tuhan, bukan pula akibat dari tragedi yang terjadi secara berturut-turut
dalam diri Tuhan. Teisme kreasionisme sama sekali tidak mengenal mitos-
mitos teogini, sistem-sistem gnostik dan spekulasi-spekulasi teofis. Karya
Tuhan adalah karya kemurahan hati-Nya dan karya kasih-Nya.
57
Paham kreasionis mewariskan kepada pemikiran manusia ialah
keunggulan radikal eksistensi fisik, kosmik, inderawi, badani, atau suatu
optimism mendasar. Ajaran teis-kreasionis mengajarkan bahwa alam
semesta bukan bagian Dzat Ilahi dan bahwa alam semesta tidak kekal,
ajaran teis kreasionis telah mendesakralisasi dan mend-dedivinisasi alam
semesta samasekali. Ajaran ini merupakan suatu hal yang baru, sebab
bangsa-bangsa Timur purba dan orang-orang Yunani justru mengakui
keilahian alam semesta.
Teisme kreasionis yang muncul dari tradisi Yudeo-Kristiani
sebagai pendahulu rasionalitas modern, ilmu-ilmu yang berasarkan
percobaan, dan teknik. Teisme kreasionis terluput juga dari mitos
pengulangan abadi dalam suatu alam semesta abadi dan siklis. Teisme
kreasionis justru mengakui bahwa alam semesta mempunyai awal, dan
menegakkan suatu pandangan sejarah kosmik yang bersifat tanpa ulangan
dan terarah kepada suatu titik akhir yang akan merupakan pemenuhan
akhirnya. Mistik yang muncul dari tradisi Yudeo-Kristiani merupakan
sesuatu yang baru, jika dibandingkan dengan keadaan pemikiran manusia
saat itu di Timur zaman purba. Mistik yang khas bagi teisme kreasionis
adalah berpangkal dan bertujuan dalam persatuan antara pengada-pengada
tercipta dengan Dia yang merupakan penciptanya; persatuan itu tidak
mengakibatkan lenyapnya pribadi-pribadi melainkan justru mengukuhkan
mereka untuk selama-lamanya dengan tetap memiliki perbedaan dan
keaslian mereka masing-masing.
58
Kasih antara pengada-pengada hanyalah mungkin jika pengada-
pengada itu benar-benar berbeda dengan yang lain dan masing-masing
pengada itu unik kepribadiannya. Metafisika kasih hanyalah mungkin jika
didasarkan pada metafisika pencipta, yang mengakui kenyataan eksistensi
pengada-pengada yang beranekaragam itu dan yang memandang
kejamakan itu bukannya sebagai suatu kekurangan atau suatu hal yang
negatif melainkan justru sebagai suatu sifat yang positif dan dikehendaki
oleh Tuhan. Teisme kreasionis mempunyai titik pandang eksistensi badani,
unik, individual merupakan suatu penciptaan yang positif, bukanlah suatu
kemalangan, ilusi ataupun kemerosotan dalam tradisi falsafi India. Etika
teismekreasionisme didasarkan pada suatu ontologi kepribadian, suatu
teori umum tentang “ada”, tentang yang satu dan yang beranekaragam.29
Teori kreasionisme diatas bertolakbelakang dengan pandangan
teori evolusi yang digagas oleh Lamarck dan C. Darwin. Lamarck telah
menunjukkan ketidakberubahan relatif, spesies, yang tetap hanya secara
temporer. Jika kondisi kehidupan itu berubah, maka spesies-spesies itu
berubah, ukuran, bentuk, proporsi pada berbagai bagian, warna, kekuatan,
kegesitan dan ketekunannya. Perubahan-perubahan yang terjadi didalam
lingkungan telah memodifikasi kebutuhan-kebutuhan atau menciptakan
kebutuhan-kebutuhan baru. Kebiasaan-kebiasaan baru itu akan membuat
mereka lebih mengutamakan organ-organ tertentu dan mengabaikan
organ-organ yang lain. Jika sebuah organ dibiarkan tidak berguna, maka
29
Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius dan BPK
Gunung Mulia), hlm. 203-207.
59
organ tersebut akan mengerut, yang mungkin pada akhirnya akan
menghilang.
Menurut pengamatannya, gigi hewan-hewan yang tidak
mengunyah makanan, cenderung berhenti tumbuh atau tidak muncul
samasekali. Contohnya adalah tikus mondok, yang matanya kecil sehingga
tikus tersebut sering tidak dapat melihat semasekali. Suatu organ jika
digunakannya secara terus-menerus akan membuat organ tersebut terus
berkembang. Telaah atas variasi-variasi ini mendorong Lamarck untuk
menyimpulkan bahwa ketika perubahan terjadi, suatu perubahan itu adalah
perubahan untuk menjadi organ yang lebih kompleks secara intensif dan
variasi-varasi ini diturunkan kepada anaknya. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh C. Darwin. Darwin menamai teorinya dengan seleksi
alam. Seperti dalam kutipan “...Terlestarinya variasi-variasi yang
menguntungkan dan tertolaknya variasi-variasi yang tak menguntungkan,
saya namakan Seleksi Alam.” Darwin bermaksud mengemukaan sebuah
teori mengenai asal-usul spesies melalui sarana seleksi alam atau
bertahannya ras-ras yang beruntung dalam perjuangan untuk
mempertahankan kehidupan.
Darwin mencatat bahwa terdapat banyak ragam ciri khas yang ada
pada individu-individu yang termasuk dalam suatu spesies tertentu, alasan
ini sangat mirip dengan alasan yang dikemukakan oleh Lamarck. Darwin
menyatakan bahwa sel-sel reproduktif juga termodifikasi yang memiliki
sifat-sifat baru itu turun-temurun kepada anaknya. Darwin selangkah lebih
60
maju dari Lamarck, keuntungan-keuntungan yang didapat dari modifkasi-
modifikasi tententu yang dikekalkan oleh alam, melalui seleksi, dengan
cara mengalahkan yang lemah diantara mereka yang mampu bertahan
hidup. Seleksi alam tersebut juga terjadi seleksi seksual, jenis perempuan
memilih jenis laki-laki yang paling kuat.
Darwin berusaha menemukan mekanisme yang melalui mekanisme
tersebut satu spesies dapat berubah menjadi spesies lainnya, dia tidak
melihat asal-usul jenis-jenis dasar organisasi. Dia tidak hanya menolak
masalah-masalah umum yang menyangkut kesatuan rencana
organisasional, tetapi dia juga benar-benar tidak mempercayai hal-hal itu.
Dia mengucapkan kata-kata, “Sanggatlah mudah menyembunyikan
kebodohan kita di balik ungkapan-ungkapan seperti rencana penciptaan‟,
kesatuan penciptaan dan sebagainya.” Ungkapan rencana penciptaan‟
benar-benar mendorong suatu penafsiran tendensius yang tidak dapat
diterima. Pemikiran Darwin mengenai seleki alam menjelaskan segalanya,
oleh karena itu dia memandang bahwa seekor hewan itu adalah suatu
spesies.
Karya Darwin memuat dua aspek yang berbeda, yaitu pertama
aspek ilmiah, data yang digunakannya secara kuantitas sangat
mengesankan, namun ketika semuanya dilaksanakan dan diterapkan, aspek
ilmiahnya sangatlah lemah, tetapi nilai pengamatan-pengamatannya sangat
61
menarik jika dilihat dari sudut pandang berbagai jenis spesies. Kedua,
bersifat filosofis, persoalan ini diungkap dan dijelaskan secara jelas.30
Al-Farabi dan Ibnu Sina melontarkan teori pancaran atau emanasi
dalam proses penciptaan alam. Proses penciptaan atau pemberian
eksistensi dan inteleksi adalah sama. Inteleksi dan kontemplasi inilah
realitas dan tatanan yang lebih tinggi memunculkan yang lebih rendah.
Wujud Niscaya ini bertafakkur (berfikir) tentang Tuhan tentang Dzat-Nya
yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam
memunculkan akal pertama, atau Ibnu Sina menyebut first intellect dan
disamakan dengan Malaikat Tertinggi. Akal ini kemudian berfikir tentang
Wujud Niscaya sebagai yang niscaya, esensinya (akal pertama) sendiri
sebagai niscaya yang tergantung kepada Wujud Niscaya serta berfikir
tentang esensinya sendiri sebagai mumkinul wujud. Jadi ia memiliki tiga
dimensi pengetahuan tersebut yang berkontemplasi secara sistematis
melahirkan Akal Kedua yaitu jiwa dan tubuh langit pertama.31
Akal Kedua yang dihasilkan dengan proses inteleksi dan
kontemplasi yang serupa akan menghasilkan Akal Ketiga,yaitu Wujud ke-
IV dan bintang-bintang. Dari proses inteleksi dan kontemplasi yang sama
Akal Ketiga akan dapat menghasilkan Akal Keempat, yaitu planet
Saturnus (Zuhal), dan jiwanya (Wujudnya). Dengan proses inteleksi dan
kontemplasi yang sama, Akal Keempat menurunkan Akal Kelima yang
30
Maurice Bucaille, Asal-Usul Manusia: Menurut Bibel, al-Qur`an dan Sains, terj.
Rahmani Astuti, cetakan IX, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 42-43 dan 45-54 lihat juga John
Gribbin, Bengkel Ilmu Fisika Modern, terj. Dimas H, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 183. 31
Seyyed Hossein Nars, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun
Syamsuddin (Yogyakarta: IRCiSod, 2006), hlm. 60.
62
mempunyai anggota planet Yupiter (al-Masytara) dan jiwanya
(Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Kelima
keluarlah Akal Keenam yang berisi planet Mars, beserta jiwanya
(Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal
Keenam turunlah Akal Ketujuh yang berisi Matahari (as-Syams), beserta
jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari
Akal Ketujuh turunlah Akal Kedelapan yang berisi planet Venus (az-
Zuharah), beserta jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi
yang sama dari akal kedelapan jatuhlah akal kesembilan yang didiami
planet Mercurius (U‟tarid), beserta jiwanya. Proses inteleksi dan
kontemplasi yang sama dari Akal Kesembilan, keluarlah Akal Kesepuluh
yang terdiri dari bulan (Qomar) dan jiwanya (Wujudnya), sering disebut
akal kesepuluh ini dengan sebutan al-aqlul fa‟al (akal yang aktif bekerja
atau active intelec) Jibril atau Al-Wahib Ash-Shuwar.32
Dari sini semesta
„substansi‟ tidak lagi memiliki kemurnian untuk melakukan turunan atau
melahirkan langit yang lain.
Akal kesepuluh dalam dunia alamiah (sebagai dunia yang mengitari
kehidupan manusia) memiliki berbagai fungsi dasar. Ia tidak hanya
memberikan eksistensi kepada dunia ini tetapi juga akan terus memberikan
bentuk yang dalam dengan materi yang melahirkan makhluk yang ada di
wilayah ini. Ketika semua makhluk lahir, Akal Kesepuluh berperan
memberikan bentuk untuk memungkinkan adanya eksistensi dan ketika
32
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam..., hlm. 27-28.
63
makhluk tersebut binasa, Akal Kesepuluh akan menarik kembali sebuah
bentuk tersebut dari diri yang lain. Akal Kesepuluh juga berfungsi sebagai
pemberi cahaya kepada pikiran manusia. Manusia mengabtraksikan
bentuk-bentuk yang manusia dapatkan dari berbagai indera yang kemudian
bentuk-bentuk tersebut bercampur dengan materi yang sudah ada di
pikiran manusia dan bentuk yang sudah bercampur tersebut akan diangkat
ke tataran universal melalui pancaran cahaya dari cahaya iluminasi yang di
terima dari Akal Kesepuluh. Sehingga, semua bentuk dan alam raya berada
dalam „pikiran kemalaikatan‟, kemudian turun kembali kedunia materi
untuk menjadi bentuk material dan dipartikularisasikan hanya untuk
dimunculkan kembali dalam pikiran manusia melalui illuminasi malaikat
menuju tingkat bentuk yang universal kembali. Pikiran yang berupa bentuk
alam raya yang ada dipikiran manusia mengalami dua proses, sehingga
Akal Kesepuluh tidak hanya alat mencipta tetapi juga alat illuminasi dan
penyampai wahyu kepada para nabi dan kepada para wali dan kaum
gnostik dalam artian yang lebih khusus.33
Ali Syari‟ati dalam memahami konsep informasi penciptaan
manusia yang ada dalam al-Qur`an dan dalam shuhuf Ibrahim
dipahaminya dengan simbolik, suatu makna yang dapat diungkapkan dan
dimaknai dengan simbol-simbol dan imajinasi. Informasi penciptaan Nabi
Adam As sebagai manusia pertama dalam pemahaman Ali Syari‟ati juga
33
Seyyed Hossein Nars, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam..., hlm. 60-61.
64
memiliki makna simbolik,34
sampai sekarang kisahnya tetap memiliki nilai
(value) yang tinggi, jika kisah Adam ini dalam al-Qur`an dirinci secara
rigid, tidak menutup kemungkinan kisah ini akan termakan oleh sejarah.
Kisah penciptaan Adam secara lengkap dimulai dari pemberitahuan Tuhan
kepada malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakil-Nya di atas bumi.
Tuhan Yang Maha Kuasa, menyatakan kepada malaikat akan menunjuk
manusia sebagai khilafah-Nya, wakil-Nya di bumi.
Tuhan menganugerahkan status spiritual tertinggi bagi manusia dan
mempercayakan misi suci dialam raya ini. Misi suci ini membuat malaikat
bertanya: Apakah Tuhan akan menciptakan makhluk yang akan
menumpahkan darah, berbuat kejahatan, menyebar kebencian dan balas
dendam? Tuhan menjawab, bahwa Ia lebih mengetahui apa-apa yang
mereka tidak ketahui. Kemudian, Tuhan memulai menciptakan manusia,
wakil-Nya dari tanah, dari bentuk paling rendah dari tanah-tanah liat hitam
atau lempung yang berbau. Substansi atau bahan pertama disebutkan
seperti tanah tembikar. Berkaitan dengan bahan ini, al-Qur‟an menunjuk
pada “air yang hina” atau “tanah yang membusuk” dan “tanah yang
sederhana”. Allah memulai menciptakan seorang khalifah atau wakil-Nya
dari tanah liat kering. Dan kemudian Ia tiupkan sebagian dari roh-Nya
34
Akhmad Azmir Zahara, Manusia dalam Pemikiran Ali Syari‟ati, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2011), hlm. 43-44. Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa Adam merupakan sebuah
konsep daripada sebuah nama seorang manusia pertama. Ayat-ayat didalam al-Qur‟an yang
berkaitan dengan proses penciptaan manusia menggunakan kata “Bashar‟ atau „Insan‟ bukan
„Adam‟ yang menunjukkan kedudukan manusia sebagai wakil Tuhan dibumi. Selebihnya lihat,
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam: Dilengkapi dengan Puisi-Puisi
Asrar-I-Khudi..., hlm.146-147.
65
sendiri pada acuan tanah liat itu dan kemudian lahirlah manusia. Manusia
tersebut lahir dari dua hakikat yang berbeda, yaitu tanah bumi dan roh
suci. Tanah dalam bahasa manusia adalah simbol kerendahan, kenistaan,
dan kekotoran. Tuhan dalam bahasa manusia adalah Maha Suci, Maha
Sempurna. Manusia yang telah diciptakan menjadi dua dimensional
dengan dua arah dan dua kecenderungan, yang satu membawanya ke
bawah kepada stagnasi sedimenter, kearah hakikat yang paling rendah,
seluruh dorongan dan gerak khidupannya akan membeku, terbenam kearah
rawa-rawa yang berhahikat hina. Akan tetapi dimensi manusia yang lain,
dimensi spritualnya, cenderung naik kepuncak yang lebih tinggi, yaitu
Dzat Yang Maha Suci. Pada hahikatnya kedua kutub ini memungkinkan
memiliki kebebasan memilih diantara kedua pilihan dengan kekuatan
potensial yang mengubah dan kekuatan yang menarik. Perjuangan dan
peperangan kedua kutub ini memaksa manusia untuk memilih satu kutub
tersebut untuk menentukan nasibnya. Kemudian, Tuhan mengajarkan pada
manusia berbagai nama-nama tumbuhan atau hewan. Berbagai tafsir telah
muncul, tetapi semua sepakat bahwa hal ini menunjukkan ada pengajaran
atau pendidikan dalam alam penciptaan diatas. Manusia sebagai pemberi
nama-nama pada dunianya, menyebutkan segala sesuatu dengan tepat.
Tuhan menjadi guru yang pertama dan pendidikan manusia yang pertama.
Jadi, pendidikan yang pertama kepada manusia adalah dengan cara
menyebutkan nama benda-benda.
66
Penciptaan wanita dari tulang rusuk pria sebagaimana terjemahan
dari bahasa Arab dan bahasa Persi. Kata “rusuk” merupakan terjemahan
yang tidak tepat dalam kedua bahasa tersebut. Kedua bahasa ini
menerjemahkan kata “rusuk” tidak diterjemahan literer, akan tetapi
bermakna hakikat atau esensi. Oleh karena itu, wanita di ciptakan dari
esensi yang sama dengan pria.
Hal lain yang menarik adalah hanya manusia sajalah diantara
seluruh makhluk-Nya yang mampu menjadi pemegang dan pengembang
amanah Tuhan. Hanya manusia yang memiliki keyakinan dan kemampuan
untuk menjadi pengemban amanah Tuhan, penjaga karuni-Nya yang
paling berharga. Dengan demikian manusia tidak hanya sebagai khalifah
tetapi juga sebagai pemegang amanah-Nya. Hal lain yang menandai
superioritas manusia adalah kekuatan, kemauannya atau kekuatan
iradahnya, yaitu satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan
dorongan instingnya. Manusia yang hanya melawan dirinya sebndiri,
menentang hakikatnya dan memberontak terhadap kebutuhan fisik dan
spritualnya.
Ali Syari‟ati berpendapat bahwa konsep penciptaan keturunan
Adam atau penciptaan manusia secara umum diciptakan dari air yang hina,
air mani, dari bahan yang hina itu diciptakannya makhluk yang terbaik,
manusia. Ali Syari‟ati menyitir ayat al-Qur‟an yaitu “Dialah yang
menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakan-Nya dan Ia telah
memulai pembuatan manusia dari tanah; kemudian Ia jadikan turunannya
67
(manusia) itu dari air mani; kemudian ia sempurnakan kejadiannya dan Ia
tiupkan padanya sebagian dari spiritnya.....(al-Qur‟an surat as-Sajadah(32)
ayat 7).35
2. Cara Manusia Memahami Dirinya Sendiri
Kebebasan dalam memahami diri ini menyangkut potensialitas dan
aktualitas manusia sebagai jenis maupun sebagai pribadi.36
Karena
semakin manusia mendekati asal-usulnya, maka semakin „memiliki‟
kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas jumlahnya. Masih dapat
berubah-ubah, masih dapat menjadi apa-apa, masih tabula rasa.
Kemungkinan-kemungkinan ini masih dapat dilihat secara keseluruhan
walaupun tidak ada hubungan dengan yang lainnya. Kemungkinan-
kemungkinan ini masih manusiawi murni, sehingga tidak ada
kemungkinan-kemungkinan yang lain, kecuali potensialitas itu.
Kemungkinan-kemungkinan yang potensial itu berkaitan dengan substansi
manusia yang lebih dalam, maka tidak aneh disebut dengan potensialitas-
substansial. Sedangkan, aktualitas manusia secara penuh merupakan
proses pengempalan padat yang mensintesiskan semua yang berharga
dalam diri manusia, sampai tidak ada satupun aspek potensialitas yang
masih potensial untuk dikembangkan. Sudah menjadi konkrit-riil yang
bulat penuh. Dengan demikian substansi manusia menyangkut kesatuan
35
Ali Syari‟ati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais..., hlm. 5-10. 36
Manusia dalam arti sebagai pribadi dapat diartikan sebagai pribadi yang lahir, unik, pusat
ber‟ada‟ yang baru, bebas, dan bertanggung jawab. Sedangkan manusia sebagai jenis berkaitan
dengan peralihan dari benda ke makhluk hidup dan dari makhluk hidup ke manusia bukan sebagai
yang serba baru melainkan sebagai proses peralihan dari „tingkat ada‟ yang lebih rendah menuju
tingkat ada yang lebih tinggi atau berkaitan dengan „evolusi‟. Selengkapnya lihat Adelbert
Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 165-171.
68
yang utuh-murni antara potensialitas-substansi dengan aktualitas yang
murni. Ada potensialitas yang perlu di perhatikan yaitu potensialitas
tentang cara memahami diri sendiri (penyempurnaan) diri. Berbagai aliran
dan paham telah muncul dengan menggunakan tema, „visi‟ dan konsentrasi
pada hal-hal tertentu dari kehidupan manusia yang disampaikan oleh para
filosof dan para sufi dalam pendakian menuju kesempurnaan diri
manusia.37
Zaman pertengahan ada beberapa petunjuk kearah penyempurnaan
manusia. Salah satunya jalan kelima Thomas Aquinas sebagai bukti bahwa
ada pikiran metafisis menuju Tuhan yang bertolak kepada fenomena-
fenomena yang nyata. Karena Thomas sendiri adalah termasuk kedalam
filosof abad pertengahan yang tentunya menggunakan jalan sebagaimana
seorang filosof, „dari bawah ke atas‟ (taraqi), bukan tanazul. Jalan tersebut
adalah pertama, movement (jalan gerakan). Sebuah gerakan harus ada
penggerak. Namun jika penggerak sendiri membutuhkan pengerak, maka
tidak cukup sebagai dasar. Akhirnya, harus diterima bahwa penggerak ada
yang menggerakan diluar penggerak itu atau diluar dirinya. Kedua,
causality (jalan kausalitas). Artinya, suatu rangkaian penyebab
membutuhkan penyebab diluar penyebab dirinya. Jadi harus ada penyebab
pertama yang penyebabkan (cauca prima). Ketiga, contingence (jalan
kemungkinan). Suatu rangkaian yang ada bersifat kontingen, dapat ber-ada
37
Anton Bakker, Antropologi Metafisik..., hlm. 78-79.
69
dan dapat tidak ber-ada. Ada dasar yang cukup ialah Ada yang mustahil
ada yaitu Ada mutlak.
Keempat, exsemplarity (jalan tingkatan). Argumen ini berangkat
dari kenyataan bahwa ada dan sifat transenden (seperti: baik, benar, indah
dan sebagainya) ditemukan dalam tingkatan yang lebih dan kurang (magis
et minus). Lebih dan kurang tersebut menunjuk ke „Summum Bonum‟ dan
Maha Ada. Maha Baik dan Maha-ada sebagai dasar yang cukup dan akan
hadir dalam segala ada dan mengikuti segala ada dalam partisipasi
menurut lebih dan kurang. Kelima, finaly (jalan teleologi). Alasan yang
kelima bertolak dari kenyataan bahwa dunia ini menunjukkan suatu
keteraturan dan ketertiban untuk menuju kesatu tujuan. Tujuan itu tidak
berasal dari makhluk yang tidak berbudi, tetapi makluk yang berbudi yang
dapat berhubungan dengan makhluk yang ada dari segala ada. Oleh karena
itu, ada budi yang menciptakan segala yang ada dengan terarah menuju
kesatu tujuan dalam keharmonisan dengan segala makhluk yang ada.38
Khazanah pemikiran Islam mempunyai kontribusi yang cukup kaya
dalam hal ini, khususnya riyadhah hati (manajeman hati). Ibnu „Arabi
(1165-1240 M) dengan memunculkan wahdatul wujud yang cukup
kontroversial itu secara sistematis telah menyusun pendakian menuju insan
kamil atau hakikat al-Muhammadiyyah. Ibnu „Arabi membedakan dua
jenis insan kamil, yaitu insan kamil universal dan insan kamil particular-
individual, berkaitan dengan yang kedua dalam hal ini Ibn „Arabi sering
38
Tentang uraian ini lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia...,hlm. 154-155
dan Ahmad Tafsir, Fisafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2009), hlm. 91-93.
70
membedakan manusia sempurna (al-insan al-kamil) dan manusia hewan
(al-insan al-hayawan). Ibn „Arabi telah memberikan pengertian tentang
insan kamil dengan dimensi kehadiran Nama-nama Tuhan yang muncul
padanya disertai dengan sisi ciptaan luarnya (khalq). Ibn „Arabi
melanjutkan gambarannya tentang dua dimensi kognitif manusia. Dimensi
batinnya adalah Tuhan dan dimensi lahirnya adalah makhluk. Jika manusia
hanya memiliki sifat lahirnya saja, dan tanda perpaduan Nama-nama
Tuhan, maka dia bukan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Lebih
tepatnya ia disebut manusia binatang yang lebih rendah dari binatang-
binatang lainnya. Perbedaan ini tidak se-ekstrim yang dibayangkan, karena
dalam realitasnya manusia diciptakan untuk mencapai kesempurnaan itu.
Jadi, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai derajat
kesempurnaan.39
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) yang terkenal
dengan Ihya‟ „Ulum al-Din-nya menguraikan maqam-maqam yang harus
dilalui seorang salik untuk mencapai mahabbah (cinta), yaitu maqam
taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, ma‟rifat dan ridha.40
Ada dua model penyempurnaan diri dari dua tokoh tersebut diatas, yaitu
penyempurnaan diri yang ada kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang bersumber dari olahan pemikiran berdasarkan data-data atau
39
Uraian yang sama lihat dalam Masataka Takeshita, Insan Kamil: Pandangan Ibnu Arabi,
terj. Harir Muzakki, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 130-134. 40
Uraian secara panjang lebar tentang masing-masing maqam secara terinci lihat dalam
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Anisaburi, Risalah Qusyairiyah: Sumber
Kajian Ilmu Tasawuf, peny. Umar faruq (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 115-127, 251-257,
153-159, 225-242, 473-490, 463-473, 272-278 dan Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme
dalam Islam..., hlm. 62.
71
fenomena-fenomena terdalam yang sering disebut humanisme (filsafat
humanism). Penyempurnaan diri yang lain adalah berkaitan dengan
kehidupan rohaniah dan „pengolahan hati‟ (riyadhah) yang sering identik
dengan tasawuf.
D. Aksiologi Filsafat Manusia
1. Nilai-nilai Humanis-Religius
a. Persatuan
Pemahaman Max Scheler (1874-1928) dapat membantu untuk
melihat betapa pentingnya nilai ini dalam kehidupan bersama. Scheler
menempatkan solidaritas sebagai satu sikap yang sebenarnya dalam
masyarakat. Solidaritas merupakan cara melihat realitas dan menerima
orang lain, bahkan terlibat dalam dunia. Prinsip solidaritas adalah suatu
prinsip hidup yang paling dekat dengan pengalaman hidup bersama.
Dalam komunitas solidaritas dapat dilihat sebagai prinsip yang
mempersatukan setiap orang menurut tingkat partisipasinya. Setiap
orang menghargai keunikan dari anggota-anggota komunitas lain dan
etos-etosnya.
Relasi sosial menurut Scheler dapat terjadi dalam tiga bentuk,
yakni solidaritas organis, solidaritas mekanistik serta solidaritas
personalistis. Solidaritas organis terjadi dalam unit sosial seperti
keluarga, suku dan banyak bentuk kehidupan komunitas yang
didasarkan pada kekerabatan. Anggota-anggota dalam kebersamaan ini
diikat oleh tradisi, kebiasaan, adat kebiasaan yang sudah diturunkan
72
dari generasi ke generasi. Solidaritas mekanistik terjadi dalam ranah di
mana hubungan didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok
semata. Setiap individu mencapai tujuannya dengan berbagai macam
cara. Perhatian dalam hal ini adalah caranya masing-masing. Semua
kontrak bisnis, misalnya, kerap kali mendukung tujuan individualistik
bukanlah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Solidaritas
personalistis adalah solidaritas yang mengatasi kepentingan keseluruhan
dan kepentingan individu. Solidaritas ini berdasarkan penghargaan
terhadap pribadi manusia sebagai nilai tertinggi. Individualitas dari
pribadi dalam solidaritas ini tidak tergantikan. Solidaritas ini hanya
menjadi nyata dalam komunitas yang mengakui eksistensi persona.41
b. Amanah atau Kepercayaan
Nilai ini menjadi sebuah tuntutan mendasar dalam relasi sosial,
bahkan menentukan mutu hubungan bermasyarakat. Francis Fukuyama
menempatkan kepercayaan sebagai social capital, artinya modal sosial
yang harganya tidak ternilai. Apa arti dan maksud dari kepercayaan?
Kepercayaan dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam arti religius, suatu
keyakinan yang bersifat vertikal, melainkan dalam arti humanis yang
bersifat horizontal. Dengan demikian, kepercayaan yang dibicarakan
adalah menyangkut hubungan manusia dengan manusia.
Terkait dengan topik di atas dua hal penting, yakni mempercayai
dan dipercayai. Mempercayai orang lain memuat tiga hal. Pertama,
41
Ibid, hlm. 116-117.
73
percaya pada perkataan orang lain. Mendengar dan menyimak
perkataan orang lain serta menerimanya sebagai benar merupakan inti
dalam hal ini. Itu berarti di depan orang yang berbicara harus berani
(kita) menghilangkan sikap-sikap curiga apalagi berpikir negatif. Akan
tetapi percaya pada perkataan orang lain bukan berarti menerima begitu
saja perkataan secara mentah-mentah. Percaya dalam hal ini tetap
menyertakan ketelitian dan kehati-hatian. Langkah pertama berhadapan
dengan orang lain perlu diawali dengan kepercayaan, bukan
ketidakpercayaan atau kecurigaan.
Kedua, kepercayaan terkait dengan kesediaan mengakui orang
lain. Sikap ini tentunya hanya bisa terwujud kalau di dalam diri ada
pengakuan terhadap orang lain. Pengakuan ini bersangkuan dengan
potensi yang dimiliki oleh orang lain sekaligus kesediaan melihat dan
mengakui kemampuan orang lain. Ketiga,kepercayaan terkait dengan
sikap keterbukaan. Dasar kepercayaan terhadap orang lain adalah sikap
terbuka. Artinya supaya orang percaya pada orang lain ia harus
pertama-tama membuka diri terhadap yang lain.42
c. Keterbukaan
Manusia hanya benar-benar menjadi dirinya sendiri sepanjang
dia membuka dan menyatukan diri dengan sesamanya. Tanpa
pembukaan diri ini, ia terkekang dan kehilangan bentuk wujud yang
sewajarnya. Dengan kata lain, manusia tanpa bersama-sama dengan
42
Ibid, hlm. 116-118.
74
manusia yang lain tidak bisa berkembang, bahkan tanpa syarat ini ia
sebenarnya tidak bisa menjadi manusia. Manusia yang tunggal dan
tersendiri tidak merasa diri lengkap tanpa hubungan keterbukaan
dengan manusia-manusia lain. Martin Buber mengatakan keterbukaan
merupakan syarat mendasar untuk menciptakan hubungan interpersonal
dan dialog yang baik. Tanpa nilai ini hidup bersama tidak akan
memiliki arti. Yang ada adalah kehampaan yang membuahkan
kecurigaan, prasangka satu sama lain.
Keterbukaan memiliki dua sisi yang dapat dibedakan satu
dengan yang lainnya. Kedua sisi itu adalah terbuka kepada yang lain
dan terbuka bagi yang lain. Terbuka kepada yang lain bersifat aktif,
dalam arti individu lebih banyak bertindak memperkenalkan diri dan
keberadaannya pada orang lain. Ini berarti kesediaan dituntut dari setiap
individu untuk mengungkapkan reaksi-reaksi dan pengalaman hidupnya
kepada orang lain dalam relasi sosial. Sedangkan terbuka bagi yang lain
sifatnya lebih pasif, karena di sini individu menyediakan diri untuk
orang lain. Pada sisi ini individu memperlihatkan kesediaan untuk
mendengarkan orang lain dan membiarkan orang lain untuk
mengungkapkan diri. Sikap menerima dan mengakui serta
mendengarkan merupakan inti dari sisi ini.43
43
Ibid, hlm. 112-113.
75
d. Propetik-Humanis
Sikap propetis berarti sikap yang bercirikan kenabian. Kata ini,
seperti yang disampaikan dimuka, mempunyai misi illahiyah yang
termanifestasi dalam misi kemanusiaan yang luhur. Ciri khas yang
konseptual adalah terjadinya kesinambungan antara ortodoksi dengan
ortopraksi, antara teks dan praksis berkesinambungan. Secara lebih luas
ciri-ciri ini menyangkut pembebasan, sekularisasi, dan demistifikasi.
e. Tanggung jawab
Aktivitas hidup manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak
hanya menerima, namun juga memberi. Artinya, orang tidak bisa hidup
hanya dengan menerima, melainkan juga dengan memberi. Justru
dengan memberi manusia berkembang secara baik. Sebaliknya,
manusia tidak akan bisa hidup hanya memberi saja, melainkan juga
menerima, sebab ia juga tergantung pada orang lain. Keduanya harus
saling mengisi dan seimbang. Namun demikian dari dua aktivitas itu
aktivitas memberi memiliki nilai lebih dibandingkan dengan kegiatan
menerima. Karena melalui aktivitas itu manusia mewujudkan dimensi
sosialnya secara nyata.44
2. Nilai Religiuitas Manusia
Manusia dalam sejarah mengenalkan diri sebagai makhluk religi
atau “homo religius”. Dimensi religius dapat ditemukan dalam diri
manusia itu sendiri (kita). Penghayatan religius termasuk salah satu
44
Ibid, hlm. 112-113.
76
penghayatan manusiawi yang menjadi refleksi manusia. Refleksi ini tidak
mempunyai tujuan yang lain, kecuali memperdalam diri manusia itu
sendiri. Temuan dari refleksi ini adalah manusia menemukan dirinya yang
terarah kepada Tuhan. Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi
manusia untuk memikirkan atau menimbulkan rasa dan potensi ketuhanan
sebagai ciri makhluk berketuhanan. Faktor-faktor tersebut adalah faktisitas
manusia. Maksud dari faktor ini secara singkat ialah cara yang digunakan
manusia untuk berhubungan dengan suatu kesadaran yang menangkap
eksistensi atau berada dalam keadaan yang tidak sempurna untuk
mengungkapkan dan mengutarakan eksistensi yang khas bagi sesuatu
hakikat yang maha sempurna. Kedua, pertanyaan transendensi manusia,
suatu faktor yang nampak secara langsung dalam diri manusia.
Manusia telah melebihi dari suatu barang atau benda yang terletak
di samping yang lain, selalu mengatasi diri manusia sendiri (kita),
melampui segala tujuan yang telah ditetapkan dan yang ditawarkan. Tidak
ada rencana atau kesadaran yang bersifat final, kehadiran aktual tertentu
akan menimbulkan sesuatu yang lain yang melebihinya. Eksistensi
(kehadiran) manusia dalam hal ini bersifat terbuka, sifat terbuka ini untuk
menanyakan masalah ketuhanan sebagai batas terakhir manusia dan pada
akhirnya masalah tentang arti transendensi. Ketiga, sifat mengerti manusia,
kesadaran manusia akan stukturnya yang mendalam (hakikat-berfikir-
terbatas) memunculkan masalah arah realitas yang sejati diarahkan,
77
kemudian tidak boleh tidak menimbulkan masalah tentang Tuhan, setidak-
tidaknya dalam bentuk pertanyaan.45
Gabriel Marsel menyatakan masalah ketuhanan berhubungan
dengan ada, dari segala kenyataan yang ada. Tuhan dikemukakan
bagaikan “the Ground of all being”. Orang yang menghayati kehadiran
Allah sebagai Pencipta dalam kenyataan, pada saat itu orang tersebut
benar-benar melihat kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan ini dihayati
multi-dimensional oleh orang yang melihat dengan hati yang suci-murni.
Penghayatan religius seseorang bahwa melihat Allah sebagai kehadiran
Sang Pencipta adalah dalam segala kenyataan. Tuhan terlebih dahulu
dihayati seseorang, baru kemudian diungkapkan dengan argumen-argumen
dengan berbagai disiplin ilmu ilmiah yang sistematis metodologis.46
3. Kualitas Manusia
Kualitas manusia dalam hal ini akan menuju kesempurnaan.
Kesempurnaan manusia sama dengan „menjadi aku‟ yang sebenar-
benarnya dari proses menjadi manusia dalam kerangka cita-cita induk
manusia. Cita-cita ini adalah memanusiakan manusia secara sadar dan
terbangun. Kesempurnaan ini tidak melayang-layang dilangit sebagai
kenyataan lengkap, tidak merupakan „blue-print‟ yang telah disusun
dengan selesai yang langsung dikerjakan. Kesempurnaan seperti ini belum
ada. „Manusia sempurna‟ yang harus muncul belum ada, dunia yang ideal
belum ada, moral yang harus dikerjakan belum tersedia, yang ada adalah
45
Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer..., hlm. 38-42. 46
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 143.
78
aku yang aktual ini. Semua yang saya sadari dan saya cita-citakan dapat
hadir disini, termasuk janji, ramalan konkrit, dan harapan atau proyek. Hal
ini masih harus diamalkan, tetapi hanya sebuah janji yang masih kabur.
Sehingga kesempurnaan diketahui atau tidak diketahui.
Kesempurnaan manusia ialah aku dalam korelasinya dengan yang
lain. Sambil berkorelasi, cita-cita indukku juga berkembang, bukan
sebagai fatamorgana, melainkan menjadi semakin lengkap dan kaya.
Setiap saat cita-citaku ditinjau kembali dan diberi re-evaluasi, semakin
dipahami mana kepenuhan adanya manusia yang telah dibentuk. Cita-cita
induk itu diintegrasikan oleh seribu satu cita-cita sekunder. Mereka
merupakan aspek-aspek khusus dari cita-cita induk, misalnya cita-cita
menjadi orang kaya, lulus ujian, pemimpin dan sebagainya. Ada yang
sentral dan mendalam, ada yang dangkal dan perifir, ada yang berjangka
panjang dan yang pendek. Cita-cita khusus itu merupakan satu kesatuan,
harus terus-menerus ditinjau kembali baik isi maupun harmoni dengan
yang lain. Manusia akan selalu setia berhubungan dengan cita-citanya,
setia kepada diri sendiri, kepada pengakuannya, kepada hubungannya
dengan yang lain. Manusia akan mencari diri bersama dengan yang lain,
bahkan dalam perkara yang berdosa dan penyelewengan. Inilah yang
secara stuktural disebut kesetiaan stuktural yang juga bertahan secara terus
menerus dalam cita-cita sekunder. Mereka menggintegrasikan dan
mengkonkretkan cita-cita induk, makin central cita-cita sekunder itu,
makin pula ada tedensi untuk melanjutkan arah itu, dan tetap setia secara
79
dinamis. Makin dangkal cita-cita sekunder itu, maka makin mudah diubah
dan ditinggalkan secara perlahan-lahan.47
Cita-cita induk ini misalnya adalah mencari pengetahuan
kebenaran. Secara operasional telah ditunjukkan oleh kisah seorang Hayy
yang berada disebuah hutan belantara.48
Fase pertama dimulai dari
pengasuhan dan penjagaan serta perlindungan induk Rusa dari kecil
sampai berusia tujuh tahun. Fase kedua, dimulai dengan kematian sang
Rusa. Ia mencari penyebab kematian rusa itu. Akhirnya dapat ditarik
kesimpulan bahwa penyebab kematian sang induk Rusa adalah sesuatu
yang ada dalam jantungnya. Fase ketiga terjadi ketika sang Hayy
menemukan api, ia belajar cara mengunakan dan memperolehnya. Dari
penemuan ini ia mulai mengetahui keberadaan ruh hewani (ruh
hayawanii). Fase keempat, Hayy mulai meneliti benda-benda yang ada
didalam kawn (penciptaan) dan alam jasad (benda). Ia mengenal benda
yang bersifat tunggal dan majemuk, benda dan jiwa. Ia melihat kesesuaian
antara materi al-Ka‟inat (benda yang ada di alam semesta) dan
ketidaksesuaian (surah: bentuk) materi. Ia juga mengenal dua macam
benda, yaitu berat dan ringan, bergerak kebawah dan keatas, menemukan
penyebab yang ada tertinggi dari segala penyebab sampai Hayy berumur
duapuluh tahun.
47
Anton Bakker, Antropologi Metafisik, Cetakan ke-7 (Yogyakarta: Kanisius Bekerjasama
dengan Yayasan Adikarya Ikapi Dan The Ford Foundation, 2000), hlm. 89-90. 48
Kisah Hay Bin Yaqdhan secara lengkap yang terletak dalam Risalah Hayy Bin Yaqdhan fi
Asrar Al-Hikmah Al-Masyraqiah dapat dilihat dalam Abu Bakr Ibn Thufayl Al-Andalusi, Hayy
Bin Yaqdhan (Dar Al Kitab Al-Lubani, 1987) terj. Indonesia Dahyal Afkar (Surabaya: Menara,
tth).
80
Fase kelima, Hayy mulai bergerak keatas dari sekedar mengamati
benda-benda yang ada dibumi kebenda-benda yang ada di langit.
Kemampuan ini mengambarkan bahwa Hayy menyadari akan keberadaan
wujud-wujud diluar manusia, apakah alam itu qadim atau hadist?
Pertanyaan ini membawa kepada siapa wujud yang hakiki itu? Fase
keenam, Hayy sudah berusia tigapuluh lima tahun dan telah mencapai
kematangan berfikir. Hayy sekarang memahami bahwa ruh terpisah dan
berbeda dengan badan. Tidak ada kaitannya antara ruh dan yang
disemayami. Hayy telah sampai kepada kematangan berfikir, sehingga
menuntun jiwanya kedalam kemapanan jiwanya. Hayy berpendapat bahwa
kebahagiaan yang abadi dan kekal dapat diraih oleh jiwa-jiwa yang
mampu menyakinkan dan menyaksikan Tuhan Allah. Inilah jiwa yang
abadi. Fase terakhir adalah Ibnu Thufayl secara tegas menyatakan bahwa
mushahadah adalah metode yang harus ditempuh oleh manusia untuk
mencapai kebahagian dan keselamatan.49
Cita-cita mencapai kesempurnaan merupakan cita-cita luhur dan
cita-cita induk bagi setiap insan. Literatur dalam kajian kesempurnaan ini
secara umum ada dua, yaitu tanazulat dan taraqi. Tanazulat adalah turun-
Nya Tuhan dengan melewati beberapa martabat ketuhanan. Hal ini sama
seperti konsep tajjali Tuhan yang melewati tujuh martabat. Dengan kata
lain, Tuhan melewati tujuh martabat menuju alam manusia untuk „bersatu‟
dengan manusia pilihannya. Hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi
49
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan,
(Jakarta: LP3ES, 2014), hlm. 259-262.
81
dalam dunia sufistik, kecuali beberapa hamba seperti Nabi Musa yang
dapat berdialog dengan Tuhan Allah Swt. Selain itu, dalam kajian
pemikiran Muhammadiyah hal ini merupakan hal yang mustahil, karena di
dalam diri Muhammadiyah tidak ada praktek-praktek sufi seperti diatas.
Kedua, taraqi. Konsep ini merupakan cara menuju Tuhan yang
berlawanan dengan tanazul. Konsep taraqi ini merupakan cara atau
perjalanan mi`roj atau naiknya suatu insan untuk menatap Tuhan.50
4. Model Manusia
a. Rausyan-Fikr model Ali Syari`ati
Ali Syari‟ati membedakan antara manusia sebagai basyar dan
sebagai insan. Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being).
Insan adalah manusia yang memiliki karakteristik khusus yang
berlainan dengan yang lain sesuai dengan tingkatan realitas dan
esensinya. Manusia jenis ini bergerak kearah taraf-taraf yang lebih
tinggi dalam proses menjadi insan. Jelasnya, insan adalah manusia yang
berproses bergerak maju (becoming) kearah kesempurnaan. Hanya
manusia saja yang “menjadi” (maju), bukan fenomena lainnya dialam
ini. Misanya, semut dan serangga tidak pernah dapat melampui
keadaannya atau eksistensinya; ia menggali lubang dengan cara yang
sama sebagaimana ia melakukannya 15 juta tahun yang lalu diafrika.
50
Shayk Ibrahim Gazur Illahi, Mengungkap Misteri Sufi Besar Al-Hallaj: Ana Al-Haqq,
terj. Hr. Bandaharo dan Joebaar Ibrahim Ajoeb, (Jakarta: Cv. Rajawali, 1986), hlm. 37-38.
82
Keadaan ini tidak usah dipandang dimana, bagaimana sudah begitu
pasti dan tidak berubah.51
„Proses menjadi„ sebagai tujuan dari manusia yang digagasnya
akan bermuara kepada adanya manusia rausyan fikr. Kata raushan
fikr merupakan bahasa Persia yang bermakna ganda yang berasal dari
bahasa Arab munawwar al-fikr. Kata ini boleh disamakan dengan kata
“intelektual”, tetapi terkadang Ali Syari`ati memberikan dua, makna
„intelektual‟ atau „nabi sosial‟. Sehingga kata ini dapat dimaknai
„intelektual‟ dan „orang yang tercerahkan‟, karena akan tergantung
kepada konteksnya.52
Kata ini mempunyai arti orang yang sadar akan
keadaan kemanusiaan dimasanya, serta setting kesejarahan dan
kemasyarakatannya. Keadaan ini dengan sendirinya akan memberinya
rasa tanggung jawab sosial, menumbuhkan rasa tanggungjawab,
kesadaran dan memberikan arah intelektual dan sosial kepada
masyarakat.
Peran dan tanggungjawab orang-orang masa kini yang
tercerahkan didunia ini sama dengan tanggungjawab dan peranan para
nabi dan para pendiri agama-agama besar yang mendorong terwujudnya
perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau.
Mendorong gerakan-gerakan besar yang revolusioner, yang mendobrak
tetapi konstruktif, yang akan mengubah masyarakat-masyarakat yang
51
Ali Syari‟ati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais..., hlm. 51-52. 52
Selebihnya, lihat catatan kaki dalam Ali Syari‟ati, Membangun Masa Depan Islam:
Pesan Untuk Intelektual Muslim, Cet. V, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 24.
83
beku, statis dan mandek menjadi masyarakat yang memiliki arah, gaya
hidup, pandangan, budaya dan nasib mereka sendiri. Orang-orang ini
tidak termasuk golongan para nabi dan juga bukan bagian dari rakyat
jelata yang tidak berkesadaran dan mandek. Mereka adalah individu-
individu yang sadar dan bertangungjawab membangkitkan karunia
Tuhan yang mulia, yaitu kesadaran diri dari rakyat jelata yang mampu
mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi kekuatan yang
dinamis dan kreatif. Secara ideal sang pencerah yang memberi
pencerahan adalah hanya Nabi Muhammad saw. Orang-orang yang
tercerahkan bukan orang yang pernah pergi ke Eropa, Amerika, Mesir,
mempelajari aliran pemikiran tertentu, lulus sebuah kursus tertentu, atau
memperoleh gelar kesarjanaan yang tertinggi. Jika hal ini terjadi
ketercerahkan bukan merupakan hasil pendidikan universitas, namun
sebelum ia mendapatkan pendidikan universitas. Secara nyata tidak ada
contoh manusia tercerahkan secara universal pada zaman ini. Ada orang
dari berbagai jenis yang termasuk orang yang tercerahkan.53
Manusia
model ini tidak serta merta ada dengan sendirinya, akan tetapi
sebagaimana maqam-maqam dalam ilmu tasawuf harus menyingkirkan,
menjauhi atau melepaskan dari penjara-penjara humanisme, cobaaan,
53
Konsep teori tentang Rausyan-fikr secara luas dapat dilihat dalam Ali Syari`ati,
Membangun Masa Depan Islam..., hlm. 1-52.
84
atau godaan, yaitu alam (biologisme), sejarah (historisisme),
masyarakat (sosiologisme), dan dirimu sendiri (ego).54
Manusia ideal menurut Ali Syari‟ati adalah manusia
theomorphis yang dalam dirinya terdapat ruh Allah yang telah
dimenangkan dengan iblis, lempung dan lumpur endapan. Manusia
tersebut telah bebas dari dua infinita, bergerak maju menuju sasaran dan
kesempurnaan mutlak, sebuah evolusi yang abadi dan tidak terhingga,
bukan sebagai acuan manusia yang seragam. Manusia tersebut hidup
dan bergerak ditengah-tengah alam, sang manusia ideal lebih
memahami Allah, dia mencari serta memperjuangkan umat manusia
dengan demikian dia dapat menemui Allah. Dia tidak meninggalkan
alam dan tidak mengabaikan umat manusia.55
b. Monodualis Model Notonagoro
Menurut Notonagoro hakikat manusia terdiri dari tiga kodrat,
yaitu susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat menjadi
kesatuan yang bulat dan harmonis dalam bingkai monodualis
manusia.56
Hakekat manusia sebagai susunan kodrat manusia terdiri
atas jiwa (rukhani) yang tidak maujud berupa benda, yang mempunyai
sumber-sumber kemampuan, kekuasaan tiga jenis yaitu: akal, rasa
kejiwaan dan kehendak kejiwaan. Perbedaannya dengan keinginan
54
Ali Syari‟ati, Makna Haji, terj. Burhan Wirasubrata, (Jakarta: Yayasan Fatimah, 2001),
hlm. 122. Lihat juga uraian secara lebih rinci dalam Ali Syari‟ati, Tugas Cendikiawan Muslim...,
hlm. 49-82. 55
Ali Syari‟ati, Tentang Sosiologi Islam..., hlm. 161-162. 56
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Cetakan kesembilan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), hlm. 12.
85
hewani, unsur benda mati atau tumbuhan mempunyai kehendak
kejiwaan yang dapat tarik-menarik dan menolak-nenolak secara
otomatis. Kehendak kejiwaan dalam diri manusia adalah bersifat aktif
tidak pasif, tidak otomatis tertarik oleh hal yang baik dan senang serta
mampu menolaknya, sebaliknya tidak otomatis menolak hal yang tidak
senang serta mampu mengendalikan diri berpedoman kepada kebaikan
kejiwaan.
Manusia yang terdiri atas tubuh atau raga dan jiwa itu tidak
terpisah satu dari lainnya, akan tetapi dalam susunan organis kedua-
tunggalan, tersusun atas dua unsur hakekat yang bersama-sama
merupakan suatu keutuhan dan keseluruhan baru, tidak hidup raga saja
atau hidup jiwa saja dalam dirinya sendiri. Mausia mempunyai sifat
kodrat sebagai perseorangan dan sebagai warga hidup bersama atau
makhluk sosial. Sifat kodrat yang dimiliki manusia yang harus hidup
bersama sebagai perseorangan dan sebagai warga masyarakat (warga
negara) atau makhluk sosial. Sifat kodrat diatas akan nampak dalam
kehidupan kenegaraan khususnya, karena kodrat selalu ada, selalu
menjelma, tidak dapat dihilangkan, tidak dapat diabaikan. Kadang-
kadang menurut keadaan, kebutuhan dan kepentingan pada sesuatu saat,
sifat perseorangan manusia lebih muncul, lebih kuat menjelma daripada
yang lain, sifat makhluk sosial manusia. Pada waktu lain, yang muncul
lebih kuat menjelma adalah sifat makhluk sosial manusia.57
57
Ibid, hlm. 13.
86
Manusia mempunyai kedudukan kodrat sebagai pribadi yang
berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai pribadi
merupakan keutuhan, keseluruhan diri, dengan susunannya atas raga
dan jiwa dalam kedua-tunggalan, sumber-sumber kemampuan jiwanya
akal-rasa-kehendak maupun sifat-sifat hakekatnya sebagai individu dan
pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial. Sekarang sifat monodualis
itu ternyata meliputi pula susunan dari manusia, kedua-tunggalan raga
dan jiwa, sedangkan di dalam unsur hakekat jiwa terdapat ketiga-
tunggalan akal, rasa dan kehendak. Jadi karena semua unsur hakekat
mewujudkan ketunggalan, maka hakekat manusia adalah majemuk
tunggal, monopluralis. Dengan demikian hakekat manusia sebagai
keutuhan, keseluruhan, diri, yang hidup, di dalam hidupnya penjelmaan
daripada unsur-unsurnya hakekat mempunyai sifat ketunggalan sebagai
bawaan mutlak hakekat, berkeragaan, berkejiwaan, berakal, berasa,
berkehendak, berindividu, bermakhluk sosial, berpribadi berdiri sendiri.
Manusia monopluralis yang terdiri dari berbagai hakikat ini sekaligus
berhakikat sebagai makhluk Tuhan.
Penjelmaan hidup hakekat manusia untuk melakukan perbuatan-
perbuatan lahir dan batin atas dorongan kehendak, berdasarkan atas
putusan akal, selaras dengan rasa untuk memenuhi hasrat-hasrat sebagai
ketunggalan, yang ketubuhan, yang kejiwaan, yang perseorangan serta
87
yang kemakhlukan sosial, yang berkepribadian berdiri sendiri serta
yang bermakhlukan Tuhan.58
c. Insan Kamil Model Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri berpandangan bahwa manusia sebagai alam
shaghir (mikrokosmos) yang dapat menjadi representasi alam kabir
(makrokosmos) maka manusia menjadi barzakh, penghubung antara
Tuhan dan alam semesta sebagaimana air menjadi penghubung antara
ombak dan laut. Doktrin insan kamil ini oleh Hamzah ditempatkan
sebagai puncak kajian tasawufnya. Hamzah memberikan tamsil laksana
sungai yang mengumpulkan segala air hujan. Sungai adalah tempat
pertemuan segala air, yang akhirnya akan ke laut. Tuhan ditamsilkan
sebagai laut, sedangkan sungai adalah insan kamilnya yang pada dirinya
terkumpul segala sifat alam semesta. Teori hujan menyatakan bahwa air
dari laut akan kembali ke laut. Dengan kata lain, insan kamil adalah
wadah tajalli Tuhan yang paripurna, dan dalam bentuk taraqqi ia akan
kembali sebagaimana air sungai akan kembali lagi ke laut setelah
melalui hujan untuk menyadari wujud hakikinya.59
Gagasan Hamzah dalam pendakian (taraqqi) yang harus di
tempuh seorang sufi serupa dengan gagasan al-Jilli. Hamzah juga
mengungkapkannya dalam bentuk pengalaman syariat, tarekat, hakikat
dan makrifat. Hamzah menyamakan pengalaman diatas secara
berurutan dengan perjalanan melalui „alam nasut (alam manusia), „alam
58
Ibid, hlm. 94-96. 59
Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi:Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn „Arabi oleh
Al-Jilli (Jakarta:Paramadina, 1997), hlm. 184.
88
malakut (alam malaikat), „alam jabarut (alam asma‟ dan sifat Ilahi atau
alam ruh) dan „alam lahut (alam ketuhanan).60
Syariat adalah aspek
awal dalam menempuh insan kamil yang berupa amalan lahiriah yaitu
syahadat, sholat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Dengan
suatu syariat yang terlihat dan yang tidak terdengar, suatu syariat yang
disuruhnya, dan syariat yang dilaksanakan Nabi Saw. Seorang sufi
melaksanakan pengalaman tersebut dilandasi dengan percaya bahwa
Nabi Saw adalah utusan Allah.61
Pengamalan tarekat yakni upaya secara ruhaniah menuju Tuhan.
Tangga ini dibarengi dengan taubat nashuka, tidak diperbolehkan
menyimpan harta terlalu banyak, menjauhi segala larangan Tuhan,
sholat sunnah rawatib, tahajjud, dhuha, dan bertawakal semampunya,
mengucap tasbih, dzikrulah, tilawah Qur`an, puasa sunnah dan
seterusnya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh seorang sufi dapat
mencapai tingkat hakikat yaitu pengenalan Tuhan secara sempurna.
Adapun amalannya adalah mengenal Tuhan dengan sempurna.
Hakikat itu perbuatan makrifat, apabila bermakrifat maka dapat
mengerjakan hakikat. Ahli hakikat ada dua kebahagiaan satu
kebahagiaan dengan keluarga, dan kedua kebahagiaan dengan Tuhan. Ia
cinta akan Tuhan, mengenal-Nya, menafi‟kan diri-Nya, mengitsbatkan
diri-Nya, berkata dengan diri-Nya, fana‟ didalam diri-Nya, dan baqa‟
60
Ibid, hlm. 186-187. 61
Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri:Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya,
(Bandung:Mizan, 1995), hlm. 65. Lihat juga Sangidu, Wahdatul Wujud:Polemik Pemikiran
Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dengan Nuruddin Ar-Raini
(Yogjakarta:Gama Media, 2003), hlm. 47-54.
89
dengan diri-Nya dan seterusnya. Akhirnya seorang sufi dapat secara
langsung mengenal Tuhan, bahkan sirna dalam alam ketuhanan (alam
lahut). Kata Hamzah, inilah yang disebut dengan ahlul suluk.62
Pada
tahap hakikat (ahlul suluk) inilah seorang sufi telah berma‟rifat dengan
Tuhan dengan peringkat al-kamil al mukammil yaitu golongan „arifin
atau disebut juga ahlut-tamam. Manusia ideal sebagai manusia
sempurna yang dicitakan Hamzah, diuntai dalam jalinan “Syair Burung
Pingai”, di mana Manusia Sempurna digambarkan seperti Burung
Pingai, yaitu burung yang warnanya keemasan.63
E. Mazhab-Mazhab Filsafat Manusia
Menurut Zainal Abidin ada dua aliran filsafat manusia yang tertua dan
terbesar, yaitu materialisme dan idealisme. Aliran-aliran lain pada prinsipnya
hanya merupakan reaksi dan respon yang berkembang terhadap kedua aliran
tersebut, yaitu:
1. Monisme
Aliran filsafat manusia yang menolak pemahaman bahwa badan dan
jiwa merupakan dua unsur yang terpisah. Artinya, badan dan jiwa
merupakan satu kesatuan yang membentuk diri manusia64
atau suatu aliran
filsafat yang menyatakan bahwa substansi manusia hanya salah satu dari
62
Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri:Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya..., hlm. 64-79. 63
M. Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, (Yogyakarta: Gelombang
Pasang, 2004), hlm. 164. 64
Jika mengkaji substansi, teringat dengan kajian yang disampaikan oleh Aristoteles yang
membedakan substansi dan aksiden, selebihnya lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari
Thales ke Aristoteles, Edisi kedua, (Yogyakarta: Kanisius, 1979), hlm. 153-154.
90
kedua unsur tersebut baik jiwa maupun badan. Aliran ini memiliki beberapa
sekte, diantaranya:
a. Materialisme
Materialisme merupakan alian filsafat manusia yang
membicarakan dan mengkaji hubungan jiwa dan badan yang paling tua.
Dalam perjalananya aliran ini menggunakan beberapa varian. Akan tetapi
ada satu prinsip sebagai inti dari aliran ini, paham filsafat yang meyakini
bahwa esensi segala kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat
material atau fisik. Bersifat objektif, memiliki keluasaan dan menempati
ruang dan waktu adalah sebagai ciri utama dari keberadaan fisik atau
material. Kareana keberadaan yang menempati ruang dan waktu yang
bersifat objektif, maka keberadaan tersebut dapat diukur, dikuantifikasi
dan dapat diobservasi. Alam spiritual atau alam jiwa yang tidak
menempati ruang, tidak dapat diukur dan dilihat tidak dapat disebut
sebagai esensi kenyataan oleh karena itu ditolak keberadaannya.
Para materialis percaya bahwa tidak ada kekuatan apapun ynag
bersifat spiritual dibalik gejala atau peristiwa yang bersifat material. Jika
ada peristiwa atau gejala alam yang belum diketahui atau belum
terpecahkan oleh manusia, bukan berarti ada kekuatan spiritual akan
tetapi manusia saja yang belum mengetahui hal tersebut. Teka-teki
tersebut tidak perlu dicari dalam dunia spiritual, karena tidak ada dalam
dunia spritual tersebut.65
65
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat..., hlm. 25-26.
91
b. Idealisme
Sekte monisme yang lain adalah idealisme. Sekte ini memandang
segala esensi yang ada dibelakang yang nampak secara fisik ada
kenyataan spiritual yang tidak dapat diterangkan secara materi, termasuk
manusia seperti pengalaman spitual, nilai-nilai, makna. Selanjutnya,
untuk dapat mengkaji fenomena yang hanya spasial, temporal sampai
pada esensi atau hakikatnya tidak boleh menafikan dimensi spritual.
Karena dimensi ini mempunyai peranan yang penting bagi dimensi
waktu, berfungsi untuk menyatukan waktu yang lampau, waktu kini dan
waktu yang akan datang. Selain itu juga menyatukan antara fakta-fakta
yang ada dengan nilai-nilai dan apa-apa yang sesungguhnya ada dan
mungkin ada. Esensi dari kenyataan yang bersifat spiritual ini adalah
berfikir. Kekuatan-kekuatan spiritual tidak dapat diukur secara materi
atau dijelaskan secara empiris, akan tetapi harus menggunakan metafor-
metafor pikiran kesadaran manusia. Fungsi metafor-metafor dalam
kesadaran manusia tersebut sejatinya untuk menjelaskan kenyataan yang
ada secara esensi, seperti sebuah komputer atau hewan sebagai media
untuk menjelaskan perilaku manusia.
Esensi spritual yang telah diklaim sekte ini, tidak berarti semua
ynang dijumpai bersifat spritual. Sebagimana yang di sampaikan oleh
Hegel (1770-1831) kekuatan alam dan hukum kausalitas itu ada,tetapi
keberadaanya hanya merupakan manifestasi dari kekuatan dan
keberadaan yang lebih tinggi, yakni Roh Absolut. Para penganjur sekte
92
ini beriman bahwa pada gerak planet maupun hukum-hukum alam yng
sudah berjalan telah didesain terlebih dahulu oleh kekuatan spiritual, Roh
Absolut. Sebagian besar sekte ini mempunyai kacamata deterministik
tentang manusia (baca: fatalistik (Islam)). Roh Absolut mempunyai
kebebasan yang absolut, tetapi manusia tidak mempunyai kebebasan
yang absolut ini baik kedudukan manusia maupun tindakannya, baik
secara personal maupun secara kolektif. Kebebasan tersebut telah hilang,
kareana sudah teratur dan ditentukan oleh Roh Absolut. Sebagian lain
berpendapat bahwa roh-roh tersebut bersifat pribadi-pribadi yang
masing-masing berdiri sendiri, sehingga setiap roh atau pribadi-pribadi
mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan dirinya, inilah yang
disebut dengan personalisme.66
c. Identitasisme (teori identitas)
Teori ini berasaskan pada persoalan yang dinafikan oleh
materialisme yaitu persoalan aktivitas mental. Karena aktivitas mental
sebagai identitas inti dari manusia yang membedakannya dengan
makhluk yang lainnya. Penganjur teori ini adalah J.J Smart dan H. Feigl
yang memberikan indikator dalam memberikan makna manusia secara
filosofis yaitu arti dan referensi atau konotasi dan denotasi. Keduanya
mengakui bahwa pernyataan mental dan fisik yang sering disebutkan
bukanlah dua ciri yang berbeda secara hakiki, melainkan hanya
perbedaan konotasi yang menunjukkan pada gejala objek yang sama.
66
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat..., hlm. 51-52 dan
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm. 50.
93
Oleh karena itu, terjadinya perbedaan yang ada antara jiwa dan badan
hanya perbedaan yang bersifat referensi saja, sama artinya dengan jiwa
dan badan merupakan dua elemen yang tidak berbeda atau dua dalam
satu atau tunggal.67
d. Vitalisme
Kajian filsafat yang menyatakan kesajatian itu ada pada energi,
daya, kekuatan atau nafsu yang bersifat irrasional atau tidak irasional.
Berbeda juga dengan kajian materialisme yang menekankan kenyataan
bertitik dari fisik, sedangkan idealisme menganggap kenyataan berada
pada tingkat spritual dan rasional. Seluruh aktifitas dan perilaku
manusia pada dasarnya merupakan perwujudan dari energi-energi atau
kekuatan yang tidak rasional dan insting. Perilaku manusia yang
dianggap rasional pada dasarnya merupakan rasionalisasi dari
keputusan-keputusan yang tidak rasional tersebut. Manusia merasa
bahwa segala keputusan dan tindakannya bersifat rasional, tetapi
sesungguhnya didasari oleh emosi, naluri atau nafsu yang tidak
rasional. Rasio hanya sebagai alat untuk merasionalisasikan atau
membenarkan ide yang sebenarnya bukan rasional. Dasar dari aliran ini
adalah ilmu biologi dan sejarah. Biologi memberikan doktrin bahwa
kehidupan bukan rasio, melainkan kekuatan untuk bertahan hidup yang
sifatnya tidak rasional dan intenstif saja (liar). Organisme dapat hidup
hanya dengan naluri untuk mempertahankan hidup, tidak membutuhkan
67
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm.51.
94
hidup, tidak membutuhkan pertimbangan yang rasional. Sejarah juga
memberikan argumen yang sama, yaitu peristiwa-peristiwa penting
yang menentukan jalannya sejarah dan peradaban manusia, hampir-
hampir digerakkan oleh energi dan dorongan-dorongan liar yang
bersifat sepele. Sumber dari peristiwa ini adalah kehendak buta
(Schopenhauer), kehendak untuk berkuasa (Nietzsche), atau Id
(Freud).68
e. Eksistensialisme
Eksistensialisme memiliki arti sebuah paham kefilsafatan yang
sanggup keluar dari keberadaannya atau sesuatu yang mampu melampui
diri sendiri (baca: kekuatan adi kodrati) kenyataannya, tidak ada dalam
kehidupan itu sesuatu yang paling eksis, kecuali hanya manusia itu
sendiri. Hanya manusia yang sanggup keluar dari dirinya, melampui
keterbatasan biologis atau lingkungan fisiknya, tidak tersandra oleh
batasan yang dimilikinya sendiri (manusia). Mereka menyebut dirinya
sebagai suatu manusia yang berproses “menjadi” gerak yang aktif-
dinamis.
Kajian dalam filsafat manusia bukan mencari energi manusia
secara abstrak tetapi meneliti secara khusus kenyataan konkrit manusia
sebagaimana manusia itu benda dalam dunianya sendiri. Selain itu, tidak
juga mencari esensi atau eksistensi dari manusia, tetapi hendak
mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang ada dalam manusia
68
Zainal Abidin, Filsafat Manusia:Memahami Manusia Melalui Filsafat..., hlm. 32-33.
95
itu. Berbagai tema kehidupan yang mencoba menjadi objek dari para
eksistensialis, tema ini mendasari dan selalu dialami oleh manusia,
kebebasan, kecemasan, kematian, ketiadaan, keberadaan, kehidupan
yang otentik dan sebagainya. Beberapa tema yang sering diungkapkan
oleh para eksistensialis adalah kebebasan dan kehidupan yang otentik.
Hal ini diyakini sebagai modal besar untuk menjadi mereka yang otentik
dan bertanggung jawab.69
Selain itu, yang dahulu itu esistensi atau
esensi dulu, perdebatan ini telah menyentuh pemikiran-pemikiran
keagamaan yang terkadang berbahaya.
f. Stukturalisme
Suatu pemahaman dalam filsafat manusia yang menempatkan
stuktur atau sistem ketatabahasaan dan budaya sebagai kekuatan-
kekuatan yang menentukan perilaku dan kesadaran manusia sebagai
batasan dari strukturalisme. Para penganjurnya menegaskan bahwa
manusia adalah makhluk yang bebas yang terstuktur oleh jaringan
bahasa dan budaya. Akibatnya, tidak ada perilaku, pandangan dunia
ataupun kesadaran manusia yang individualistik dan unik yang terbebas
dari sistem bahasa dan budaya yang mengurungnya. Jika ada sebuah
bahasa yang masih murni baru ada dalam masyarakat yang
individualistik yang memiliki cara pandang dan pola pikir murni yang
unik, maka dapat dipastikan tidak ada orang yang mengerti dan tahu
bahasa tersebut, asing, dan luar biasa. Secara tegas aliran ini juga
69
Ibid, hlm. 33-34, tentang tema-tema eksistensialisme dan pembelaannya lihat Jean Paul
Sartre, Eksistensialime dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 33-107.
96
menolak humanisme, menolak pandangan kebebasan dan keluhuran
manusia dalam kancah filsafat manusia pada umumnya. Aku atau
manusia bukan sebagai pusat realitas, keberadaan, atau eksistensi, tidak
tergantung pada diri manusia itu sendiri, melainkan kedudukannya
dalam sistem tertentu, seperti pada sistem bahasa atau budaya,
sehinggga membuat manusia harus mematuhi sistem tersebut.70
g. Postmodernisme
Diskusi-diskusi postmodernisme telah masuk kedalam relung-
relung kehidupan manusia yang lebih kompleks, beragam dan aktual.
Seperti stukturalisme, aliran ini secara tegas juga menolak humanisme,
yaitu melepas leluhuran dan kegunaan manusia dari sistem sosial
budayanya. Dominasi sistem budaya, sosial, kesenian, ekonomi,
arsitektur, jender, dan sistem yang berfungsi menyeragamkan tingkah
laku dan pola pikir manusia juga menjadi objek penoalakan kaum
postmodernisme.
Menurut kaum postmodernis, telah terjadi dominasi (kolonisasi)
yang halus dan diam-diam dalam kehidupan manusia. Pelaku dari
kolonisasi (dominasi) tersebut adalah sistem-sistem besar yang bersifat
tunggal (the one) terhadap sistem-sistem kecil yang bersifat banyak atau
lebih komplek dan rumit (the plural). The one adalah kebudayaan barat,
sedangkan the plural adalah kebudayaan timur yang diangggap kecil,
misalnya: nilai religius barat yang dianggap adiluhung terhadap nilai
70
Zainal Abidin, Filsafat Manusia:Memahami Manusia Melalui Filsafat..., hlm. 34-45
97
religius timur atau negara ketiga. Agama Kristen, Katolik serta Yahudi
dianggap sebagai agama tertinggi, mulia, hebat, sedangkan Islam, Budha
dan budaya-budaya timur lainnya adalah kecil, teroris, jahat, bengis,
kaku dan lainnya. Penganjur postmodernisme ini telah berani menentang
daya dominasi nilai-nilai tersebut diatas. Ia melahirkan proyek
dekonstruksi nilai dan pandangan untuk mencoba menunjukkan
kelemahan dan kerapuhan the one. Selain itu, ia melahirkan pandangan
bahwa penting dan berharganya the plural, sehingga tidak bisa the one
meremehkan the plural atau sebaliknya. Kejama`ahan dan pluralitas
terhadap budaya-budaya lokal atau sistem budaya yang tidak dianggap
penting oleh the one, harus diangkat kepermukaan untuk disejajarkan
dengan budaya the one, karena the plural memiliki nilai-nilai yang
penting yang tidak dapat diukur oleh nilai-nilai yang terkandung
didalam budaya the one tersebut.71
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang menganjurkan dua dimensi antara jiwa
dan badan sebagai dua substansi yang tidak terpisah dan masih perlu
berkaitan antara satu dengan yang lainnya atau perpaduan antara materi dan
roh. Artinya, keberadaan sejati pada dasarnya adalah badan dan jiwa. Semua
hal dan fenomena yang ada di alam ini pada hakikatnya tidak dapat dibantah
bahwa asal dari segalanya adalah hanya satu substansi atau esensi saja.
Tidak benar apabila berbagai kejadian didunia ini hakikatnya hanya bersifat
71
Ibid, hlm. 35-36.
98
fisik material saja, karena banyak kejadian didunia ini yang tidak dapat
dijelaskan atau diamati oleh pancaindera maupun ilmu-ilmu alam. Dan tidak
benar juga bahwa keberadaan yang dinyatakan secara esensi hanya roh atau
jiwa, karena semua manusia telah mafhum bahwa ada kekuatan dan
keberadaan yang nyata dari materi.
Manusia merupakan makhluk yang terdiri dari dua esensi, yaitu
materi dan ruh atau tubuh dan jiwa. Tokoh dalam hal ini adalah Rene
Descartes (1596-1650), keberadaan tubuh (res extensa) adalah substansi
yang karakteristiknya adalah keleluasaan yang berarti menempati ruang dan
menempati waktu. Keberadaan jiwa, meski tidak dapat diindera tetapi dapat
dibuktikan melalui rasio (pikiran). Dengan keberadaan jiwa yang
karakteristiknya berpikir (res cogitans) justru lebih jelas dan tegas dalam
membuktikannya jika dibandingkan dengan tubuh. Cara yang diajukan
Descartes dalam membuktikan keberadaan jiwa tersebut adalah dengan
berfikir skeptis.72
Dualisme secara umum memiliki beberapa sekte, yaitu:
a. Interaksionisme
Paham ini bertitik tolak dari interaksi timbal balik antara badan
dan jiwa. Aliran ini telah mengakui bahwa fenomena-fenomena mental
terkadang juga menyebabkan peritiwa badani, dan sebaliknya kegiatan
badani juga berpengaruh pada fenomena mental, keduanya saling
berpengaruh dan saling berhubungan. Dalam rasa kesenangan disebabkan
72
Pembuktian secara skeptis dimulai dengan cara meragukan keberadaan apa saja yang
bersifat fisik, tanpa kecuali apakah itu keberadaan rumah, masjid, nottebook, kejadian kemarin
atau kejadian beberapa tahun yang lalu dan lainnya, selebihnya lihat Zainal Abidin, Filsafat
Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat..., hlm. 30-31.
99
dari rasa keceriaan, sehingga keceriaan wajah bersumber dari
kesenangan. Demikian juga jika seseorang mengalami sakit influenza,
tentunya akan menurunkan semangat bekerja dari seseorang yang
bersangkutan. Peristiwa badan dan peristiwa mental saling berkaitan dan
saling mempengaruhi, namun kaum interaksionis berpandangan bahwa
badan dan jiwa tetap merupakan dua entitas yang berbeda.73
b. Okkasionisme
Okkasionisme berasal dari bahasa Inggris yaitu occasion yang
artinya kesempatan. Sekte ini mempertahankan secara tegas bahwa antara
jiwa dan badan ataupun sebaliknya tidak dapat saling mempengaruhi
antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, jika terjadi kesempatan adanya
perubahan yang terjadi didalam tubuh, Allah berperan untuk
menyebabkan perubahan yang sesuai dengan kondisi tersebut dalam jiwa
sebaliknya, jika jiwa terjadi gejolak yang berarti, maka Allah akan
berperan dalam menyebabkan perubahan tersebut. Misalnya, tangan
seseorang terkena panasnya lelehan besi, maka Allah mengakibatkan rasa
sakit dalam jiwa tersebut. Sebaliknya, apabila seseorang mengulurkan
tangannya maka Allah akan menyebabkan tangan benar-benar diukurkan.
Ini berarti bahwa hanya Allahlah sebagai penyebab dalam arti yang
sebenar-benarnya (causa prima).74
Penganut teori ini adalah Arnold
Geulincix (1624-1669) dan Nicolas de Mallebranche (1638-1715).
73
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm.53. 74
Uraian secara terstruktur dapat dilihat dalam K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat,
cetakan ke-15, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 47.
100
Keduanya berkeyakinan bahwa interaksi antara jiwa dengan
badan bisa terjadi karena campur tangan Allah. Tanpa intervensi ini
hubungan antara jiwa dan badan tidak akan terjadi. Hanya Allahlah
sebagai penghubung antara hal-hal yang bersifat fisik dan hal-hal yang
bersifat spritual. Selalu ada kesempatan bagi Allah untuk dapat
menyesuaikan dua entitas yang berbeda ini. Misalnya, ada perasaan
takut, maka Allah mempunyai kesempatan untuk mendirikan bulu kuduk
seseorang.75
c. Paralelisme
Aliran ini berpegangan pada kesejajaran antara fenomena ragawi
dan rohani. Ia menyatakan bahwa sistem fenomena ragawi terdapat di
alam, sedangkan sistem kejadian kejiwaan terdapat dalam jiwa manusia.
Diantara kedua entitas tersebut tidak terdapat hubungan sebab akibat
yang pasti. Badan mempunyai peristiwa dan fenomena sendiri dan jiwa
juga mempunyai peristiwa rohani sendiri. Namun keduanya berjalan
seiring bersamaan. Sehingga didalam diri manusia terjadi dua peristiwa
yang bersamaan, yakni peristiwa fisik dan peristiwa mental, namun
keduanya bersumber dari dirinya sendiri tidak salah satu bersumber dari
yang lainnya. Masing-masing sistem berjalan sendiri-sendiri. Sistem fisik
berjalan menimbulkan kejadian fisik, sedangkan kejadian mental
menimbulkan kejadian mental. Kejadian fisik tidak pernah mungkin
menimbulkan kejadian mental dan sebaliknya.
75
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm.53-54.
101
Penganjur teori ini adalah Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646-
1716) yang menegaskan bahwa peristiwa mental dan peristiwa fisik
sudah di setel secara otomatis oleh Tuhan sedemikian rupa bagaikan dua
jam yang berjalan beriringan secara sempurna dalam satu waktu.
Hubungan keduanya terjadi secara serentak dengan mekanisme yang
sempurna sehingga peristiwa badan dan jiwa juga berjalan serentak
secara bersama-sama, meskipun keduanya tidak mempunyai hubungan
kausalitas yang berarti.76
d. Epifenomenalisme
Epifenomenalisme secara bahasa, terdiri dari kata epi yang berarti
penampakan, fenomena yang artinya gejala-gejala, serta isme adalah
aliran atau suatu pandangan. Sehingga secara harfiah adalah aliran atau
paham yang menekankan bahwa gejala yang terlihat sebenarnya
hanyalah gejala, bukan menunjukkan suatu hal yang sesungguhnya.
Secara filsafat artinya adalah paham yang menegaskan bahwa bayangan
yang ditimbulkan oleh tubuh tidak mempunyai pengaruh kausalitas atas
tubuh atau atas bayang-bayang yang lain, demikian juga otak juga
menimbulkan kesadaran tetapi kesadaran itu juga tidak mempengaruhi
otak. Hal ini diibaratkan seperti lokomotif yang menghasilkan uap atau
asap yang tidak berpengaruh terhadap lokomotif, demikian tubuh yang
76
Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman
Kuno hingga Sekarang...,hlm. 583.
102
menghasilkan kesadaran yang tidak mempunyai hubungan kausalitas
dengan sumbernya didalam proses otak.77
Aliran ini secara tegas melihat interaksi antara badan dan jiwa
dari fungsi syaraf. Ia menyatakan bahwa satu-satunya unsur yang dapat
disepakati untuk penyelidikan kejiwaan ialah syaraf manusia. Proses
kejiwaan seperti kesadaran dilihat sebagai gejala nyata yang berasal dari
proses-proses syaraf. Aliran ini menyangkal pengaruh kesadaran
terhadap proses kejiwaan.78
77
Loren Bagus, Kamus Filsafat..., hlm. 211. 78
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm.54-55.
top related