bab i. pendahuluan 1.1. latar belakang - repository.ipb.ac.id i... · dari sisi penawaran (supply...
Post on 07-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya mineral bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya
sumberdaya tersebut tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana
halnya pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain-lain. Ketika sumberdaya ini
diekstraksi, konsekuensinya pada suatu masa tertentu pasti akan habis (Wibowo, 2005).
Namun demikian, sektor pertambangan seringkali memberikan kontribusi signifikan
terhadap struktur perekonomian di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di
Indonesia bahkan mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sembilan sektor
yang diukur kinerjanya. Melihat performa tambang tembaga dan emas Proyek Batu Hijau
yang dioperasikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di Kabupaten Sumbawa
Barat NTB sebagai wilayah studi penelitian ini, sektor pertambangan sangat dominan
terhadap PDRB Kabupaten tersebut sejak 2000-2006 dengan rata-rata sebesar 94,00 %,
sedangkan sektor pertanian hanya 2,36 %, sisanya terbagi pada tujuh sektor lainnya yakni
industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran,
pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa
hanya sebesar 3,64 %. Menurut data PDRB, nilai tambah total produksi Batu Hijau
PTNNT mencapai puncaknya 2005 sebesar 95,26% dengan nilai nominal sebesar Rp.
7,581 triliun, nilai tersebut menempati urutan tertinggi dari sembilan Kab/Kota di Propinsi
NTB. (BPS, 2006 diolah).
Kondisi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat tidak jauh berbeda dengan
performa daerah penghasil sumberdaya mineral lainnya di Indonesia sepanjang 2000-2006
misalnya PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang beroperasi di Kab. Mimika mendominasi
struktur perekonomian (PDRB) Kabupaten tersebut rata-rata sebesar 96,05 %. Demikian
pula dengan operasi PT. International Nikel (PTINCO) di Kabupaten Luwu Timur rata-
rata 79,08 % dan PT. Kaltim Prima Coal (PT KPC) di Kab. Kutai Timur rata-rata 81,67 %
(BPS 2006, diolah).
Dominannya sektor pertambangan yang tidak diikuti berkembangnya sektor lain
merupakan fenomena yang sering disebut Dutch Disease1. Hal ini diperkuat dengan
1 Dutch Disease adalah fenomena yang terjadi tahun 1970-an, Belanda mengalami masalah ini, menyusul penemuan gas alam di Laut Utara, Belanda tiba-tiba menyadari bahwa sektor manufaktur mereka tiba-tiba berkinerja lebih buruk dari yang sudah diantisipasi (Humphreys et al dalam Escaping The Resource Curse, 2007 hal 6)
pandangan Humpreys et al (2007), yang menyatakan bahwa penyakit Belanda (Dutch
Disease) dalam kasus Belanda yang memburuk kinerjanya adalah sektor manufaktur,
sedangkan di negara-negara berkembang yang dirugikan adalah sektor pertanian.
Pertambangan di Sumbawa Barat yang dioperasikan oleh PTNNT termasuk salah
satu tambang skala besar di Indonesia sehingga dominasinya tidak hanya terhadap
perekonomian (PDRB) Kabupaten tersebut namun juga berdampak secara regional bagi
Propinsi NTB. Performa proyek Batu Hijau PTNNT juga terlihat dominan pada 1)
komposisi kepemilikan saham perusahaan 80% dikuasai perusahan asing (Newmont
Indonesia Ltd dan Nusa Tenggara Mining Corp) dan 20% dikuasai oleh perusahan swasta
nasional (PT. Fukuafu Indah). Didalam Kontrak Karya proyek Batu Hijau PTNNT pasal
24 ayat 4 mewajibkan perusahaan tersebut melakukan divestasi saham hingga 51% (2010)
untuk promosi kepentingan nasional (Kontrak Karya RI dan PTNNT, 1986) 2) peluang
usaha selama masa operasi menurut kinerja departemen kontrak (2005) dimanfaatkan oleh
nasional (92%), Propinsi Nusa Tenggara Barat (5%) dan Sumbawa Barat (3%) (PTNNT,
2005) 3) kontribusi proyek tersebut terhadap kapasitas fiskal (APBD) Kabupaten
Sumbawa Barat 2005 sebesar Rp. 80,98 Milyar dengan perincian dana bagi hasil
sumberdaya alam Rp. 56,17 Milyar, dana bagi hasil pajak Rp. 24,39 Milyar, pendapatan
asli daerah Rp. 0,31 Milyar, dana alokasi umum Rp, 0,09 Milyar dan dana alokasi khusus
Rp. 0,01 (LPEM UI, 2006) 4) sedangkan komposisi tenaga kerja adalah Sumbawa Barat
(33%) dan non Sumbawa Barat (67%) (PTNNT, 2007)
Industri ekstraktif tidak dihasilkan dari proses produksi dan bisa didapatkan tanpa
terkait dengan proses ekonomi lainnya sehingga yang kerap muncul adalah terbentuknya
kawasan tersendiri yang terpisah/terisolasi (enclave) (Humpreys, 2007). Karena ekstraksi
sumberdaya mineral memiliki keterkaitan yang lemah bahkan nol dengan komoditi
tertentu atau sektor ekonomi lainnya, menyebabkan sektor selain pertambangan melemah
atau tidak berkembang di daerah setempat sehingga dalam proses produksi harus
mengambil sumberdaya dari daerah lain dengan cara mengimport tenaga kerja, mesin,
peralatan dan lain-lain. Sebagai konsekuensinya daerah setempat mengalami efek
pencucian/pengurasan (backwash effect) atau terjadinya kebocoran regional (regional
leakages) yang sangat besar (Malanuang, 2002).
Pengelolaan industri pertambangan di berbagai belahan dunia lebih banyak menuai
kegagalan daripada keberhasilan. Bagi negara-negara yang gagal mengambil manfaat dari
berkah kekayaan yang mereka miliki disebut dengan istilah kutukan sumberdaya alam
2
(resource curse)2. Menurut (Auty, 1993 dan Humpreys, 2007) negara-negara yang
berkelimpahan dengan sumberdaya alam seperti minyak dan gas, performa pembangunan
ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk
dibandingkan negara-negara yang sumberdaya alamnya lebih kecil.
Norwegia dapat dikatagorikan sebagai negara yang berhasil mengelola sumberdaya
yang bersifat tidak terbarukan yakni minyak dan gas di negara tersebut. Norwegia
merupakan contoh bagi praktek-praktek terbaik yang berhasil menghindarkan diri dari
munculnya kutukan sumberdaya alam (Karl, 2007). Norwegia menempati ranking pertama
dunia dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia3 (IPM 2006) PBB dengan nilai
(0,956), mendekati sempurna. Sebaliknya survey UNDP tahun tersebut menunjukkan
bahwa hampir seluruh negara penghasil minyak memiliki angka IPM dari rendah hingga
sedang, fenomena ini disebut paradok berkelimpahan (paradox of plenty).
1.1.1. Performa Kabupaten Sumbawa Barat
Sebagai Kabupaten yang baru berdiri tahun 2003, Kabupaten Sumbawa Barat
(KSB) menghadapi permasalahan yang sangat fundamental diantaranya pertama, KSB
termasuk dalam 199 Kabupaten dengan katagori tertinggal menurut Kementerian
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (2005). Kedua, menurut hasil penelitian BPS
(2004) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB berada pada urutan ke 33 (terbawah)
dari 33 Propinsi di Indonesia dengan skor 60,6 (katagori sedang). Sedangkan IPM KSB
berada pada urutan ke 5 dengan skor 61,9 (katagori sedang) dari 9 kabupaten/kota di NTB.
Ketiga, jumlah penduduk miskin di KSB persentasenya cukup signifikan baik sebelum
adanya pertambangan (1998) maupun setelah pertambangan beroperasi (2006) (Tabel 1).
Keempat, tingginya nilai PDRB sangat kontras dengan kemampuan fiskal Kabupaten
Sumbawa Barat yang rendah, hal ini tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) Kabupaten tersebut. Dari sembilan Kabupaten/Kota di Propinsi NTB
APBD Kabupaten Sumbawa Barat menduduki peringkat terendah 2006 (Tabel 2).
2 Kutukan sumberdaya alam merujuk pada fakta bahwa negara-negara kaya sumberdaya alam memiliki pertumbuhan yang lebih rendah (Sachs dan Warner 2000), lembaga-lembaga buruk (Karl 1997), dan lebih banyak konflik dbandingkan dengan negara-negara miskin sumberdaya alam (Collier dan Hoeffler 2004) 3 Indeks Pembangunan Manusia adalah indeks komposit yang disusun dari tiga indikator : lama hidup yang diukur dengan angka harapan hidup ketika lahir, pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas ; dan standar hidup yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP rupiah). Nilai indeks berkisar antara 0-100
3
Tabel 1. Persentase Penduduk Miskin di Sumbawa Barat sejak 1998- 2006
No Kecamatan 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Sekongkang 0 0 0 13,45 16,58 14,7 13,44 13,01 13,912. Jereweh 10,31 10,84 14,41 8,99 8,86 9,4 9,62 4,49 9,573. Taliwang 5,01 7,08 8,59 8,46 9,45 8,9 9,41 5,24 8,974. Brang Rea 0 0 0 6,01 9,00 9,5 8,67 4,88 9,215. Seteluk 6,38 7,03 12,48 11,01 13,62 15,3 13,32 5,00 8,94 Jumlah 21,68 24,95 35,48 48,01 57,51 57,72 54,45 32,61 50,61Sumber : Sumbawa Barat dalam angka 1998-2006 dan Podes 2005
Tabel 2. APBD Kabupaten, Kota se–Provinsi Nusa Tenggara Barat 2006 (dalam juta rupiah)
No Kab/Kota ABPD 1. Kabupaten Bima 450.374,302. Kota Bima 242.718,163. Kabupaten Dompu 295.645,134. Kabupaten Sumbawa 362.577,315. Kabupaten Sumbawa Barat 224.705,506. Kota Mataram 345.105,597. Lombok Barat 469.986,048. Lombok Timur NA9. Lombok Tengah 478.158,40
Sumber : Depkue, 2007 1.1.2. Performa Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont
Nusa Tenggara
Selama masa operasi proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara 2000-2009
penggunaan/pembelian barang dan jasa dari input lokal Sumbawa Barat sangat kecil
disebabkan karena iklim usaha yang belum berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa
penggunaan barang dan jasa dari produk import baik nasional (domestik) maupun
internasional tergolong tinggi. Dalam perspektif pembangunan wilayah fenomena ini
merupakan kebocoran regional (regional leakeges) bagi Kabupaten setempat.
Dari diskripsi sebelumnya bahwa kinerja departemen kontrak per Desember 2005
menunjukkan bahwa contracted services 2005 adalah sebagai berikut; national Rp. 80,43
milyar (92%), NTB Rp. 4,53 milyar (5%), KSB Rp. 2,18 milyar (3%) (Gambar 1).
Pekerjaan yang berkaitan dengan pelayanan alat-alat berat, akomodasi dan catering, klinik,
eksplosif, security, freight, penerbangan, laboratorium, pembangkit tenaga listrik dan
pelayanan pengeboran masih didominasi oleh kontraktor besar. Selebihnya, penyediaan
tenaga kerja, perbaikan-perbaikan kecil dan tenaga kerja manual dikerjakan oleh
4
kontraktor kecil dan menengah (PTNNT, 2006). Dari data diatas angka kebocoran regional
bagi Kabupaten Sumbawa Barat 2005 mencapai 97 %.
Contracted Services 2005
KSB, 2,184,461 , 3%
National, 80,434,767 , 92%
NTB, 4,529,827 , 5%
Gambar 1. Kinerja Departemen Kontrak PTNNT, 2005 Sumber : PTNNT, 2005 Menurut Malanuang (2002), performa proyek Batu Hijau PTNTT untuk
mendorong sektor ekonomi lokal dari sisi permintaan (demand driven) sangat lemah. Hal
ini ditunjukkan dengan rendahnya indeks keterkaitan kebelakang sebesar 0.12802
peringkat 35 berdasarkan analisis input–output NTB 59 sektor (Tabel 3) atau berada diatas
nilai nasional sebesar 0,1137 (Tabel 4). Karena output pertambangan berupa konsentrat
tembaga, emas beserta mineral ikutannya sebagian besar di eksport untuk diolah pada
smelter Eropa dan Jepang, maka kinerja proyek ini untuk mendorong sektor ekonomi lokal
dari sisi penawaran (supply driven) adalah nol. Hal ini diperkuat oleh hasil analisis yang
menunjukkan bahwa indeks keterkaitan kedepan proyek ini besarnya juga nol, sedangkan
indeks nasional untuk keterkaitan kedepan 2000 sebesar 0,8801. Demikian pula dengan
pengganda pendapatan 2000 sebesar 1,04107, lebih kecil dari pengganda pendapatan
nasional pada tahun yang sama sebesar 1,1756 (LPEM UI dalam IMA, 2006)
Tabel 3. Hasil Analisis Input–Output NTB 2000 (59 sektor)
No Indeks Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi
Nilai Rangking
1. Indeks Keterkaitan ke Belakang 0.12802 35 2. Indeks Keterkaitan ke Depan 0 57 3. Multiplier Output 1.08229 40 4. Multiplier Pendapatan 1,04107 54
Sumber : Malanuang, 2002
NNoottee :: kkeebbooccoorraann wwiillaayyaahh KKSSBB 9977%%
5
Tabel 4. Hasil Perhitungan Angka Pengganda dan Keterkaitan Sektor Pertambangan dan Penggalian di Indonesia dengan Negara–Negara Pembanding
Indonesia Australia Canada Pertambangan dan Penggalian
1990 1995 2000 1997 1990 Multiplier Pendapatan 1.2722 1.2085 1.1756 14.9393 12.344 Initial Outlays 1 1 1 1 1 Direct Backward Linkage 0.0931 0.1240 0.1137 0.3920 0.4210 Indirect Backward Lingkage 0.0474 0.0597 0.0358 0.02955 0.3010 Total (Output Multiplier) 1.1404 1.1837 1.1494 1.6875 1.7220 Rank 17 18 18 Initial Outlays 1 1 1 1 1 Direct Forward Lingkage 0.6273 0.6336 0.8801 0.1600 1.5820 Indirect Forward Lingkage 0.4202 0.3187 0.3916 0.1162 1.6480 Total (Input Multiplier) 2.0475 1.9523 2.2717 1.2762 4.2300 Rank 2 3 3 Sumber : Road Map Pertambangan LPEM UI (IMA, 2006)
Studi LPEM UI (2006) menggunakan analisis input-output NTB 59 sektor 2004
untuk proyek Batu Hijau PTNNT memberikan hasil yang hampir sama dengan studi
sebelumnya yakni indeks keterkaitan kebelakang 0,91 tetap pada peringkat 35 sedangkan
pengganda pendapatan terjadi peningkatan sebesar 1,569 rangking 38 dari 59 sektor.
Ringkasan hasil analisis I-O NTB 2004 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Analisis Input–Output NTB 2004 (59 sektor)
No Indeks Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi
Nilai Rangking
1. Indeks Keterkaitan ke Belakang 0,91 35 2. Indeks Keterkaitan ke Depan 0,461 57 3. Multiplier Output 1,955 35 4. Multiplier Pendapatan 1,569 38
Sumber : LPEM UI, 2006
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian akan di fokuskan pada:
1. Menganalisis transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya
lokal terbarukan
2. Menganalisi keterkaitan antara pola penganggaran (APBD) dengan kinerja
pembangunan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan pengaruh spasial kinerja
pembangunan antar daerah.
6
3. Identifikasi permasalahan investasi pertambangan dan perubahan kebijakan yang
diperlukan ditingkat pusat hingga daerah penelitian dan peluang perubahan
kebijakan.
1.3. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah Pusat. Hasil penelitian ini dalam jangka pendek, menengah dan
jangka panjang dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pertambangan
selama empat dasawarsa terakhir yang sentralistik sektoral serta menimbulkan
berbagai permasalahan antara perusahaan pertambangan, pemerintah daerah dan
masyarakat setempat pada daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di
Indonesia. Selanjutnya dari hasil penelitian ini pemerintah diharapkan dapat
merumuskan paradigma baru pertambangan dengan pendekatan kewilayahan
seiring dengan terjadinya transformasi pertambangan ke sumberdaya lokal
terbarukan strategis sehingga terselenggaranya pembangunan berkelanjutan.
2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat. Hasil penelitian ini dalam
jangka menengah (2011-2015) dapat digunakan untuk merumuskan berbagai
kebijakan pembangunan melalui pengalokasian pengganggaran, ketersedian
infrastruktur, membangkitkan sumberdaya lokal terbarukan (renewable resources)
yang memiliki keterkaitan dan aksessibilitas yang kuat dengan masa produksi
Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di Sumbawa-Barat. Sedangkan dalam jangka panjang
(2011-2025) hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk merumuskan
kebijakan pembangunan berkelanjutan dalam prespektif pembangunan wilayah
Kabupaten Sumbawa-Barat sehingga dapat meminimalisir terjadinya kabupaten
hantu (ghost regency) ketika deposit sumberdaya mineral proyek Batu Hijau habis
pada tahun 2027.
3. Bagi PT. Newmont Nusa Tenggara. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
merumuskan berbagai kebijakan eksternal perusahaan khususnya program
pengembangan masyarakat (community development) selama berlangsungnya masa
produksi proyek Batu Hijau untuk mempercepat transformasi sumberdaya mineral
ke sektor stategis selain pertambangan.
4. Bagi masyarakat Kabupaten Sumbawa-Barat NTB di delapan Kecamatan (Seteluk,
Poto Tano, Taliwang, Brang Rea, Brang Ene, Maluk, Jereweh dan Sekongkang)
7
khususnya kecamatan Jereweh, Maluk dan Sekongkang sebagai lokasi proyek,
hasil penelitian ini berguna untuk meningkatkan kinerja dan partisipasi mereka
untuk terlibat secara aktif baik langsung maupun tidak langsung agar memiliki
aksessibilitas dan proaktif menggerakkan sektor-sektor terbarukan (pertanian
dalam arti luas) dan sektor yang dibutuhkan selama masa operasi proyek Batu
Hijau PTNNT untuk meningkatkan kesejahteraannya. Disamping itu diharapkan
munculnya kesadaran pada masyarakat akan sifat sumberdaya mineral yang tidak
dapat pulih sehingga masyarakat tidak mengalami shock ketika sumberdaya
mineral tersebut habis. Dengan demikian akan muncul kesadaran dalam
masyarakat untuk membangkitkan sektor-sektor dapat pulih seperti pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan dsbnya sehingga terjamin pembangunan
berkelanjutan ketika cadangan sumberdaya mineral habis.
1.4. Kerangka Pemikiran
Menurut (Amin et al., 2003) pembangunan berkelanjutan dalam konteks usaha
pertambangan adalah transformasi sumberdaya tidak terbarukan (non renewable
resources) menjadi sumberdaya pembangunan terbarukan (renewable resources),
peningkatan nilai tambah pertambangan harus berbasis sumberdaya setempat atau nasional
(local resource based), berbasis masyarakat (community based), dan berkelanjutan
(sustainable). Sedangkan menurut agenda 21 sektor pertambangan, (2001) inti dari azas
pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya mineral adalah
mengupayakan agar sumberdaya mineral dapat memberikan kemanfaatan secara optimal
bagi manusia pada masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang.
Dari prespektif perencanaan pembangunan wilayah, Kabupaten Sumbawa Barat
sangat lemah dalam menangkap permasalahan dan tantangan pembangunan dalam jangka
pendek, menengah dan panjang. Hal ini terlihat dari dokumen-dokumen perencanaan yang
tertuang dalam Visi Misi Bupati, APBD tahunan, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) 2005-2010 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) 2005-2025. Dokumen tersebut belum memuat langkah-langkah untuk
mereduksi dan mengantisipasi ketergantungan Kabupaten Sumbawa Barat yang tinggi
terhadap satu sektor yakni pertambangan dan sifat sumberdaya mineral yang tidak dapat
diperbaharui (unrenewable resources) serta pengembangan dan diversifikasi sektor-sektor
di luar pertambangan.
8
Dengan argumentasi bahwa cadangan sumberdaya mineral suatu saat pasti akan
habis, maka perlu dicarikan sektor alternatif yang dapat dijadikan sebagai basis
perekonomian di masa depan. Menurut Margo (2005), struktur ekonomi akan berubah
secara signifikan jika dilakukan perubahan mendasar tentang keterkaitan antar sektor-
sektor dalam sistem perekonomian. Dengan kata lain melalui keterkaitan hulu hilir (pohon
industri) perubahan struktur ekonomi akan berjalan jauh lebih cepat menuju struktur
ekonomi yang seimbang bila dibandingkan dengan kondisi awal (tanpa dilakukan
transformasi). Menciptakan keterkaitan ekonomi antara sektor hulu dan hilir menjadi
prasyarat agar basis industri menjadi kuat dan efisien sehingga industri yang berkembang
dapat menjadi pendorong tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi lokal sehingga pada
akhirnya daerah akan dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan.
Dalam perspektif pembangunan wilayah Kabupaten Sumbawa Barat transformasi
struktur ekonomi berbasis pertambangan ke pengembangan sumberdaya lokal terbarukan
berdasarkan potensi sumberdaya alam setempat dan sektor non tambang lainnya dapat
mengganti dominasi pertambangan yang mengarah pada keberlanjutan pembangunan
Kabupaten tersebut secara bertahap, terencana dalam jangka pendek, menengah dan
panjang. Kegagalan dalam transformasi struktur ekonomi akan mengakibatkan
pembangunan daerah Sumbawa Barat tidak berkelanjutan saat tambang habis.
Transformasi struktur perlu pula ditopang oleh pola penganggaran yang tepat baik
untuk daerah sendiri maupun interaksi dengan daerah sekitarnya. Soenarto (2007)
menerangkan kaitan antara pola pengalokasian anggaran dengan interaksi spasial. Pola
pengalokasian anggaran suatu daerah yang tepat akan memberi pengaruh terhadap kinerja
pembangunan yang baik untuk daerah yang bersangkutan dan diharapkan juga memberi
pengaruh terhadap kinerja pembangunan di daerah sekitarnya. Begitu pula kinerja
pembangunan di suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran
pada daerah yang bersangkutan, tetapi mendapat pengaruh dari daerah di sekitarnya.
Pengalokasian anggaran belanja yang baik disuatu daerah akan memberi dampak terhadap
daerah-daerah lainnya. Atau dapat dikatakan, dengan tercapainya kinerja pembangunan
yang baik maka daerah-daerah sekitarnya akan menerima manfaat.
Identifikasi permasalah pertambangan juga dilakukan dengan menganalisis
kebijakan peraturan perundang undangan dan perubahan kebijakan yang diperlukan untuk
mendukung transformasi struktur ekonomi tersebut.
9
Dari penelitian ini diharapkan dapat tercapainya tujuan utama penelitian yaitu
membangun Model Pembangunan Daerah Berkelanjutan Melalui Transformasi Struktur
Ekonomi Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan (Studi kasus tambang
tembang dan emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat,
NTB). Diskripsi kerangka pemikiran penelitian diatas dapat diilustrasikan pada Gambar 2
di bawah ini.
Dominasi
Pertambangan
Transformasi Struktur Ekonomi
disertasi
Pembangunan Daerah Sumbawa Barat Berkelanjutan
Masukan bagi : Pemda KSB Pempus PT. Newmont Nusa Tenggara dan Masyarakat
Pengembangan sektor terbarukan dan sektor non tambang lainnya
Pembangunan Daerah Sumbawa Barat tidak berkelanjutan
tambang habis direduksi
direduksi
berhasil
masukan
ya
gagal
bertahap, terencana dalam jangka pendek menengah dan panjang
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.5. Perumusan Masalah
Sebagaimana telah diskripsikan pada bagian sebelumnya bahwa Kabupaten
Sumbawa Barat sangat tergantung pada satu sektor yakni pertambangan yang tercermin
dalam PDRB Kabupaten tersebut dengan rata-rata sebesar 94,00 % sejak 2000-2006.
Apabila pertambangan di dikeluarkan dari perhitungan PDRB maka nilai total PDRB
Sumbawa Barat 2006 hanya sebesar Rp. 498,380 Milyar. Secara berurutan sektor yang
dominan tanpa tambang menurut rangking adalah pertanian Rp. 175,644 Milyar (35,24
%), perdagangan, hotel dan restoran Rp. 111,752 Milyar (22,42 %), pengangkutan dan
komunikasi Rp. 68,958 Milyar (13,84 %), bangunan Rp. 62,704 Milyar (12,58 %), jasa-
jasa Rp. 48,074 Milyar (9,65 %), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Rp. 14,973
10
Milyar (3 %), industri pengolahan Rp. 14,370 Milyar (2,88 %) serta listrik, gas dan air
bersih Rp. 1,897 Milyar (0,38). (Gambar 3)
Gambar 3. Grafik PDRB Sumbawa Barat tanpa Tambang 2006
Sumber : PDRB diolah, 2009
Bergantung pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan semata bukanlah basis
pembangunan yang berkelanjutan (Karl, 2007). Dari perspektif pembangunan wilayah
ketergantugan pada satu sektor yakni pertambangan akan memberi pengaruh signifikan
bagi pembangunan wilayah Kabupaten tersebut dalam jangka pendek, menengah dan
panjang. Kinerja pembangunan Kabupaten tersebut akan turun secara drastis seiring
dengan habisnya proyek Batu Hijau PTNNT dengan alasan bahwa 1) cadangan mineral
terus mengalami penipisan seiring dengan laju eksploitasi 2) sifat sumberdaya mineral
yang tidak terbarukan. Situasi demikian membuat umur tambang tembaga dan emas
Proyek Batu Hijau PTNNT sangat singkat.
Apabila situasi ini berjalan normal (bisnis as usual) seperti apa adanya saat ini,
tanpa transformasi struktur ekonomi, penentuan arah dan prioritas pembangunan serta
perubahan kebijakan pada sektor-sektor selain pertambangan maka performa
pembangunan Sumbawa Barat akan mengalami situasi yang sama ketika tambang timah di
Kabupaten Dabo Singkep Kabupaten Linggau Kepulauan Riau habis 1992 yakni
perekonomian lumpuh, aktifitas ekonomi terhenti dan hilangnya lapangan pekerjaan bagi
masyarakat.
Berdasarkan rencana perluasan tambang Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2005,
umur penggalian mineral berkadar tinggi (high grade) akan berakhir pada tahun 2016,
1,897.04 (0,38 %)
14,370.11 (2,88 %)
14,973.67 (3,0 %)
48,079.00 (9,65 %)
62,704.77 (12,58 %)
68,958.98 (13,84 %)
111,752.01 (22,42 %)
175,644.51 (35,24 %)
0.00 20,000.00 40,000.00 60,000.00 80,000.00 100,000.00 120,000.00 140,000.00 160,000.00 180,000.00 200,000.00
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN
9. JASA‐JASA
5. BANGUNAN
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN
1. PERTANIAN
11
dilanjutkan dengan pengolahan mineral berkadar sedang (medium grade) dan rendah (low
grade) yang akan berlangsung hingga tahun 2027. Penutupan tambang direncanakan 2027
dan setelah 2027 adalah masa pasca tambang (Tabel 6)
Tabel 6. Umur Tambang Proyek Batu Hijau PTNNT (Mine life time Batu Hijau Project PTNNT)
Pra Tambang
Masa Tambang saat ini (Current Situation)
Penutupan Tambang
Pasca Tambang
Siklus Proyek Batu Hijau
PTNNT Sebelum - 1995
1996-1997
1997-1999
1999-2006
2009-2016
2016 – 2027
2027 Setelah 2027
Eksplorasi
Pra-Konstruksi (AMDAL)
Konstruksi
Produksi 1
Produksi 2
Produksi 3
Penutupan Tambang
Pasca Tambang
Sumber : PT. NNT 2006
Sebagai langkah antisipasi habisnya pertambangan, pemerintah Kabupaten
Sumbawa Barat perlu melalukan transformasi struktur ekonomi dengan membangkitkan sumberdaya strategis diluar tambang khususnya komoditi yang bersifat terbarukan (pertanian dalam arti luas), serta sektor non tambang lainnya. Transformasi struktur harus pula didukung oleh pola penganggaran yang tepat karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumbawa Barat merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menurut Saefulhakim (2009) kesalahan dalam memilih fokus pengalokasian penganggaran menyebabkan pembangunan tidak efisien, pemborosan sumberdaya sehingga sasaran yang akan dicapai tidak dapat terwujud dengan optimal yang pada akhirnya kinerja pembangunan memburuk.
Upaya melakukan transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal perlu didukung oleh 1) pola pengalokasian anggaran yang tepat sasaran 2) kebijakan perencanaan pembangunan daerah dan, 3) dukungan pemangku kepentingan (stakeholder) didaearah kearah perubahan kebijakan transformasi dalam perspektif pembangunan daerah Kabupaten Sumbawa Barat kearah berkelanjutan. Transformasi
12
struktur merupakan salahsatu pilihan bagi pembangunan wilayah kabupaten tersebut jika tidak ingin terperangkap dalam fenomena Kabupaten hantu (ghost regency)4 atau Ghost City ketika tambang habis.
1.6. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya
lokal terbarukan dapat dilakukan?
2. Apakah transformasi struktur ekonomi didukung oleh pola penganggaran untuk
memperbaiki kinerja pembanguan di masa depan?
3. Apakah transformasi pertambangan didukung oleh peraturan perundangan dan
kesiapan stakeholder di Sumbawa Barat?
1.7. Kebaruan (Novelty)
Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah terbentuknya pemahaman dan paradigma
baru pembangunan daerah berkelanjutan pada sektor pertambangan yang bersifat tidak
terbarukan (unrenewable resources) dengan melakukan transformasi struktur ekonomi ke
sumberdaya lokal terbarukan (renewable resources) dalam hal ini pertanian dalam arti luas
serta sektor strategis lainnya sesuai dengan karakteristik wilayah. Keberhasilan proses
transformasi struktur ekonomi perlu didukung oleh peran penganggaran yang optimal
untuk memperbaiki kinerja pembangunan serta perubahan kebijakan pengelolaan
pertambangan di Indonesia dari pusat hingga daerah dengan tujuan meminimalisir
fenomena penyakit Belanda (Dutch Disease) selama masa operasi pertambangan dan
terhindarnya suasana Kabupaten hantu (ghost regency) ketika tambang tembaga, emas
serta mineral ikutannya habis tahun 2027 di Sumbawa Barat.
4 Ghost Regency atau Ghost City merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan daerah yang mengalami kegagalan dalam mengelola pertambangan, saat tambang habis. Misalnya pertambangan timah selama 120 tahun di Dabo-Singkep kabupaten Lingga kepulauan Riau, demikian pula dengan gagalnya penambangan fospat selama 70 tahun di Republik Nauru yang menjadikan negara tersebut sebagai negara hantu (ghost state).
13
top related