bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2007-2-00567-tias...
Post on 06-Mar-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Aspek-Aspek Ergonomi Dalam Perancangan Stasiun kerja
Dalam suatu stasiun kerja problematika utama adalah pengaturan komponen-
komponen yang terlibat dalam kegiatan produksi yaitu menyangkut material,
mesin/peralatan kerja, perkakas-perkakas, fasilitas penunjang, lingkungan fisik kerja
dan operator (manusia pelaksana kerja). Sistem produksi cenderung dirancang untuk
lebih akomodatif terhadap mesin atau material dibandingkan untuk lebih menjamin
manusia agar bisa lebih meningkatkan lagi kontribusinya sebagai penentu
produktivitas. Dengan pendekatan ergonomis diharapkan sistem produksi bisa
dirancang untuk melaksanakan kegiatan kerja tertentu dengan didukung oleh
keserasian hubungan antara pekerja dengan sistem kerja yang dikendalikan. Dalam
perancangan stasiun kerja, aspek yang harus diperhatikan antara lain :
(Wingjosoebroto, Sritomo, 1995, hal 55).
1. Menyangkut perbaikan-perbaikan metode atau cara kerja dengan menekankan
pada prinsip-prinsip ekonomi gerakan dengan tujuan pokok adalah
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
2. Kebutuhan akan data yang menyangkut dimensi tubuh manusia (data
antropometri) yang akan menunjang didalam proses perancangan produk
dengan tujuan untuk mencari keserasian hubungan antara produk dengan
manusia yang memakainya.
3. pengaturan tata letak fasilitas yang diperlukan dalam suatu kegiatan yang
bertujuan untuk mencari gerakan-gerakan kerja yang efisien seperti halnya
dengan pengaturan gerakan material handling.
2.1.1 Sikap dan Posisi Kerja
Untuk menghindari sikap dan posisi kerja yang kurang nyaman, pertimbangan-
pertimbangan ergonomi menyarankan hal-hal seperti : (Wingjosoebroto, Sritomo,
1995, hal 76).
1. Mengurangi keharusan operator untuk bekerja dengan sikap dan posisi
membungkuk dengan frekuensi kegiatan yang sering atau jangka waktu yang
lama.
2. Operator tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum yang
bisa dilakukan. Pengaturan posisi kerja dalam hal ini dilakukan dalam jarak
jangkauan normal. Untuk hal-hal tertentu operator harus mampu dan cukup
leluasa mengatur tubuhnya agar memperoleh sikap dan posisi kerja yang lebih
nyaman.
3. Operator tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu
yang lama dengan kepala, leher, dada atau kaki berada dalam sikap atau posisi
miring.
4. Operator tidak seharusnya dipaksa bekerja dalam frekuensi atau periode
waktu yang lama dengan tangan atau lengan berada dalam posisi diatas level
siku yang normal.
2.1.2 Antropometri dan Dimensi Ruang Kerja
Antropometri pada dasarnya akan menyangkut ukuran fisik atau fungsi dari tubuh
manusia termasuk ukuran linier, berat, volume, ruang gerak, dan lain-lain. Data
antropometri ini akan sangat bermanfaat didalam perencanaan peralatan kerja atau
fasilitas-fasilitas kerja (termasuk disini perancangan ruang kerja).
Persyaratan ergonomic mensyaratkan agar supaya peralatan dan fasilitas kerja
sesuai dengan orang yang menggunakannya khususnya yang menyangkut dimensi
ukuran tubuh. Dalam menentukan ukuran maksimum atau minimum biasanya
digunakan data antropometri antara 5% dan 95% percentile. Untuk perencanaan
stasiun kerja data antropometri akan bermanfaat baik didalam memilih fasilitas-
fasilitas kerja yang sesuai dimensinya dengan ukuran tubuh operator maupun didalam
merencanakan dimensi ruang kerja itu sendiri.
2.1.3 Kondisi Lingkungan Kerja
Meskipun operator diharapkan mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi
lingkungan fisik kerja yang bervariasi dalam hal temperatur, kelembaban, getaran,
kebisingan dan lain-lain, akan tetapi stress akibat kondisi lingkungan fisik kerja akan
terus berakumulasi dan secara tiba-tiba bisa menyebabkan hal yang fatal. Adanya
lingkungan fisik kerja yag bising, panas, bergetar, atau atmosfir yang tercemar akan
memberikan dampak negative terhadaf kinerja maupun moral atau motivasi kerja
operator.
2.1.4 Efisiensi Ekonomi Gerakan dan Pengaturan Fasilitas Kerja.
Perancangan sistem kerja haruslah memperhatikan prosedur-prosedur untuk
mengekonomisasikan gerakan-gerakan kerja sehingga dapat memperbaiki efisinsi dan
mengurangi kelelahan kerja. Beberapa ketentuan-ketentuan pokok yang berkaitan
dengan prinsip-prinsip ekonomi gerakan yang perlu dipertimbangkan dalam
perancangan stasiun kerja, antara lain : (Wingjosoebroto, Sritomo, 1995, hal 78).
1. Organisasi fasilitas kerja sehingga operator secara mudah akan mengetahui
lokasi penempatan material, spare part, peralatan kerja, mekanisme control,
atau display dan lain-lain yang dibutuhkan tanpa harus mencari-cari.
2. Buat rancangan fasilitas kerja (mesin, meja, kursi dan lain-lain) dengan
dimensi yang sesuai data antropometri dalam range 5 sampai 95 percentil agar
operator bisa bekerja dengan leluasa dan tidak cepat lelah.
2.1.5 Energi Kerja Yang Dikonsumsikan
Energi kerja yang dikonsumsikan pada saat seseorang melaksanakan kegiatan
merupakan factor yang kurang begitu diperhatikan, karena dianggap tidak penting
bila mana dikaitkan dengan kinerja yang ditunjukkan. Meskipun energi dalam jumlah
besar harus dikeluarkan untuk periode yang lama bisa menimbulkan kelelahan fisik,
akan tetapi bahaya yang lebih besar justru kalau kelelahan menimpa pada mental
manusia.
2.2 Kondisi Lingkungan Fisik Kerja Yang Mempengaruhi Aktivitas Kerja
Manusia
Manusia tidak luput dari kekurangan, dalam arti kata segala kemampuannya masih
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dirinya
sendiri atau mungkin dari pengaruh luar. Salah satu faktor yang berasal dari luar
adalah kondisi lingkungan kerja, yaitu semua keadaan yang terdapat disekitar tempat
kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan,
getaran mekanis, bau-bauan dan warna. Hal ini aka berpengaruh secara signifikan
terhadap hasil kerja manusia tersebut.
2.2.1 Temperatur
Tubuh manusia akan selalu berusaha mempertahankan keadaan normal dengan
suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi diluar tubuh. Tetapi kemampuan untuk
menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar adalah jika perubahan temperatur luar
tubuh tersebut tidak melebihi 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi
dingin.
Menurut penyelidikan untuk berbagai tingkat temperatur akan memberikan
pengaruh yang berbeda-beda seperti berikut: (Wingjosoebroto, Sritomo, 1995, hal
85).
+ 49oC : Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam. Jauh diatas tingkat
kemampuan fisik dan mental.
+ 30o C : Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung
untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan. Timbul kelelahan fisik.
+ 24o C : Kondisi optimum.
+ 10o C : Kelakuan fisik yang extrem mulai muncul.
2.2.2 Kelembaban
Yang dimaksud kelembaban disini merupakan banyaknya air yang terkandung
dalam udara. Keadaan dimana udara sangat panas dan kelembaban tinggi akan
menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran dan mengakibatkan
denyut jantung semakin cepat karena makin aktifnya peredaran darah untuk
memenuhi kebutuhan akan oksigen.
2.2.3 Siklus Udara
Sebagaimana kita ketahui udara disekitar kita mengandung sekitar 21% oksigen,
0,03 karbon monoksida, dan 0,9 gas lainnya. Udara dikatakan kotor apabila kadar
oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan terus bercampur dengan gas-gas
dan bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Dengan memberikan ventilasi
yang cukup akan menggantikan udara yang kotor denagn yang bersih. Demikian juga
dengan menaruh tanaman–tanaman akan mampu pula membantu memberikan
kebutuhan akan oksigen yang cukup.
2.2.4 Pencahayaan
Pencahayaan sangat mempengaruhi menusia untuk melihat obyek secara jelas,
cepat, tanpa menimbulkan kesalahan. Kemampuan mata untuk melihat obyek dengan
jelas ditentukan oleh ukuran obyek, derajat kontras, lumnisi (brightness), serta
lamanya waktu untuk melihat obyek tersebut. Pencahayaan yang kurang
mengakibatkan mata menjadi cepat lelah karena mata akan melihat dengan cara
membuka lebar-lebar. Hal ini dapat mengakibatkan lelahnya mental dan rusaknya
mata.
2.2.4.1 Teknik Pncahayaan Langsung
Teknik pencahayaan langsung paling umum kita temui. Ini mudah dipahami
karena naluri kita pada saat memasang lampu adalah mengarahkan cahaya ketitik
yang membutuhkannya (gelap). Jadi cahaya lampu langsung ke objek yang perlu
diterangi, sehingga efisien. Akan tetapi pada pencahayaan langsung ini perlu
diperhatikan kesilauan yang biasanya terjadi akibat mata dapat menatap langsung
sumber cahaya. Di samping itu, jarak antara lampu dengan objek perlu juga
diperhatikan agar panas tidak menggangu objek yang disinari.
2.2.4.2 Cahaya Buatan
Cahaya buatan adalah segala bentuk cahaya yang bersumber dari alat yang
diciptakan oleh manusia seperti lampu pijar, lilin dan obor. Cahaya buatan sering
secara langsung diartikan sebagai cahaya lampu.
Kontras adalah perbedaan antara luminan benda yang kita lihat dengan luminan
permukaan disekitarnya. Semakin besar kontras, semakin mudah kita melihat atau
mengenali benda. Diruang yang redup kontras semakin berkurang pula. Dari segi
pengarahan cahaya dikenal istilah pencahayaan langsung (direct lighting) yaitu
pencahayaan dengan mengarahkan sinar langsung kebidang kerja atau objek.
Sedangkan pencahayaan tidak langsung (indirect lighting) yaitu pencahayaan
dengan cara memantulkan sinar lebih dulu misalnya kelangit-langit dan kedinding.
Jenis lampu digolongkan menjadi tiga jenis, antara lain : (Satwiko, Prasasto, 2004,
hlm 69).
1. Lampu pijar (incandescent). Cahaya dihasilkan oleh filamen dari bahan
tungsten (titik lebur>2200 C) yang berpijar karena panas. Efikasi lampu ini
rendah, hanya 8-10% energi menjadi cahaya. Sisanya terbuang sebagai panas.
Untuk memperbaiki efikasinya, lampu tungsten diisi gas halogen, antara lain
iodine, chlorine, bromin, dan fluorin dan disebut lampu tungsten halogen.
Efikasi mencapai 17,5 lm/watt.
2. Lampu fluorescent. Cahaya dihasilkan oleh pendaran bubuk fosfor yang
melapisi bagian dalam tabung lampu. Fosfor tersebut berpendar karena
menyerap gelombang pendek cahaya ungu-ultra sebagai akibat lecutan listrik
(terbentuk oleh loncatan elektron antar katode didalam tabung yang berisi uap
merkuri bertekanan rendah dan argon). Ramuan bubuk menentukan warna
cahaya yang dihasilkan. Lebih dari 25% energi dijadikan cahaya. Efikasinya
antara 40-85 lm/watt. Efikasi (lumen per watt) lampu fluorescent 2-3 kali
lebih baik dari lampu pijar.
3. Lampu HID (high-intensity discharge lamps). Cahaya dihasilkan oleh lecutan
listrik melalui uap zat logam. Lampu merkuri menghasilkan cahaya dari
lecutan listrik dalam tabung kaca atau kuarsa berisi uap merkuri bertekanan
tinggi. Efikasi antara 40-60 lm/watt. Dibutuhkan waktu antara 3-8 menit
untuk menguapkan merkuri sebelum menghasilkan cahaya maksimal. Perlu
selang 5-10 menit sebelum dihidupkan kembali. Untuk memperbaiki efikasi
dan warna, pada tabung lecutan listrik ditambahkan halida logam seperti
thallium, indium, dan sodium. Karena itu sering disebut lampu metal halida.
Walau efikasi bisa mencapai 70 lm/watt, umurnya berkurang hingga separuh.
Tabel 2.1 : Perbandingan Efikasi (Efisiensi lampu).
Sumber Efikasi (lm/watt)
Lampu Pijar 14-18
Lampu halogen tungsten 16-20
Lampu fluorescent 50-85
Lampu mercury 40-70
Lampu halide-metal 60-80
Lampu sodium bertekanan tinggi 90-100
Sumber : Satwiko, Prasasto
Dalam pembicaraan kuantitatif cahaya, kita akan menemukan istilah-istilah
sebagai berikut :
1. Arus cahaya (luminous flux, diukur dengan lumen) adalah banyak cahaya
yang dipancarkan kesegala arah oleh sebuah sumber cahaya per satuan waktu
(biasanya per detik).
2. Intensitas cahaya (ligh intensity, diukr dengan candela) adalah kuat cahaya
yang dikeluarkan oleh sebuah sumber cahay kearah tertentu. Sebuah sumber
cahay berintensitas 1 candela (1 lilin) mengeluarkan cahaya total kesegala
arah sebanyak 12,57 lumen.
3. iluminan (diukur dengan lux, lumen/m2 ) adalah banyak arus cahaya yang
datang pada satu unit bidang
4. Iluminasi adalah datangnya cahaya kesuatu obyek.
5. luminan adalah intensitas cahaya yang dipancarkan, dipantulkan, atau
diteruskan oleh satu unit bidang yang diterangi. Diukur dengan candela/m2.
2.2.4.3 Metode Titik (Point to Point Methode)
Menghitung Iluminasi di satu titik oleh beberapa lampu. Menurut hukum Abney,
iluminasi dapat dijumlahkan sebagai berikut : (Satwiko, Prasasto, 2004, hlm 94).
ET = I1 + I2 + In d1
2 Cos α1 d2 2 Cos α2 dn 2 Cos αn Dimana : ET = Iluminasi Total, lux(lm/m2).
I1... In = Intensitas sumber cahaya kearah titik yang disinari, lm.
d1... dn = Jarak dari masing-masing lampu ke titik dibidang yang disinari, m.
α1... αn = Sudut datang sinar masing-masing lampu.
A B C
α1 α3
d1 d2 d3
DL 1 DL 2 DL 3
Gambar 2.1 : Iluminasi di satu titik oleh beberapa lampu.
2.2.4.4 Metode Lumen (Lumen Method)
Rumus untuk menghitung kuat penerangan : (Satwiko, Prasasto, 2004, hlm 95).
E = L.N.CU.LLF/A
Dimana : E = Penerangan rata-rata, lux.
L = Total lumen awal per luminer.
N = Jumlah Luminer.
CU = koefisien penggunaan, biasanya antara 0,5-0,6.
LLF = Faktor kehilangan cahaya.
A = Luas area, m2.
LLF (Ligh-Loss Factor, Faktor Kehilangan cahaya) terdiri atas nonrecoverable
factor dan recoverable factor. Nonrecoverable factor terdiri atas : (Satwiko, Prasasto,
2004, hlm 99).
1. LAT (Luminare Ambient Temperature), suhu disekitar luminer. Diatas suhu
25o C lampu fluorescent akan kehilangan cahaya 1% setiap kenaikan suhu
1o C. Jika lampu beroperasi dilingkungan normal sesuai desain pabrik, maka
LAT = 1. Pengertian lingkungan normal adalah sesuai arahan pabrik
pembuat lampu tersebut.
2. VV (Voltage Variation), variasi tegangan listrik. Perubahan 1% pada
tegangan listrik akan mempengaruhi lumen lampu pijar hingga 3%. Jika
lampu dioperasikan pada voltase sesuai desinnya maka VV=1.
3. LSD (Luminaire Surface Depreciation), depresiasi permukaan luminare.
Permukaan luminaire akan mengalami penurunan kualitas, seperti penutup
berubah warna, reflector tergores, dan sebagainya yang akan mempengaruhi
kualitas dan kuantitas penerangan.
4. BF (Ballast Factor), faktor balas. Kadang balas yang digunakan dalam
luminaire berbeda dengan yang tercantum dalam data teknis. Hal ini sering
menyebabkan kekeliruan perhitungan.
Recoverable factor meliputi : (Satwiko, Prasasto, 2004, hlm 99).
1. LDD (Luminaire Dirt Depreciation), depresiasi cahaya akibat penimbunan
kotoran pada luminer. LDD dipengaruhi oleh tipe luminer, kondisi atmosfir
lingkungan dan waktu antara pembersihan luminer berkala.
2. RSDD (Room Surface Depreciation), depresiasi cahaya akibat penumpukan
kororan dipermukaan ruang. Pencahayaan yang memanfaatkan pemantulan
akan lebih mudah terpengaruh oleh penumpukkan kotoran (debu dan lain-
lain) disbandingkan dengan pencahayaan yang mengutamakan cahaya
langsung dari lampu. Tabel berikut dapat digunakan sebagai pedoman bila
tidak ada data yang spesifik dari lampu bersangkutan. Tabel ini didasrkan
pada periode pembersihan 24 bulan dilingkungan wajar (tidak sangat bersih
maupun kotor).
Tabel 2.2 : Room Surface Dirt Depreciation
Pencahayaan langsung (direct lighting) 0,92 + 5%
Pencahayaan semi langsung (semi direct lighting) 0,87 + 8%
Pencahayaan langsung tidak langsung (direct indirect lighting) 0,82 + 10%
Pencahayaan semi tidak langsung (semi indirect lighting) 0,77 + 12%
Pencahayaan tidak langsung (Indirect lighting) 0,72 + 17%
Sumber : Stein
3. LLD (Lamp Lumen Depreciation), faktor depresiasi lumen yang tergantung
pada jenis lampu dan waktu penggantiannya.
4. LBO (Lamp Burnout) Perkiraan jumlah lampu yang mati sebelum waktu
penggantian yang direncanakan. LBO = (jumlah lampu yang masih
hidup):(jumlah awal lampu yang digunakan). Bila lampu diganti seluruhnya
secara bersamaan LBO = 1. Bila penggantian hanya pada lampu yang mati,
maka LBO = 0,95.
Dari penjelasan diatas maka : (Satwiko, Prasasto, 2004, hlm 101).
LLF = (LAT)(VV)(LSD)(BF))LDD)(RSDD)(LLD)(LBO)
2.2.5 Warna
Yang dimaksud disini adalah tembok ruangan dan interior yang ada disekitar
tempat kerja. Warna ini selain berpengaruh terhadap kemampuan mata untuk melihat
obyek, juga memberikan pengaruh yang lain terhadap manusia seperti :
(Wingjosoebroto, Sritomo, 1995, hal 88).
1 Warna merah bersifat merangsang.
2 Warna kuning memberikan kesan luas, terang dan leluasa.
3 Warna hijau / biru memberikan kesan sejuk, aman, dan menyegarkan.
4 Warna gelap memberikan kesan sempit.
5 Warna terang memberikan kesan luas dan terang.
2.3 Perbaikan kondisi Lingkungan kerja
Kondisi lingkungan kerja yang ideal diharapkan mampu memberikan kondisi-
kondisi kerja seperti : (Wingjosoebroto, Sritomo, 1995, hal 99).
1. Memperbaiki safety record.
2. Mengurangi ketidakdisiplinan kerja.
3. Meningkatkan kerja karyawan.
4. Meningkatkan produktivitas kerja.
Untuk maksud-maksud memperbaiki kondisi lingkungan kerja ini maka bisa
dilaksanakan antara lain dengan jalan sebagai berikut : (Wingjosoebroto, Sritomo,
1995, hal 99).
1. Memperbaiki cahaya penerangan dilingkungan kerja.
2. Mengontrol temperatur ruangan dan juga derajat kelembabannya.
3. Memberi ventilasi yang cukup.
4. Mengontrol suara yang timbul dengan jalan menekan kebisingan.
5. Menciptakan area kerja yang rapi, bersih, tertib dan lain-lain.
6. Segera membuang sisa-sisa material kerja yang dapat membahayakan seperti
debu, gas, uap dan lain-lain.
7. Menyediakan perlengkapan dan petunjuk-petunjuk untuk keselamatan kerja.
8. Mempertimbangkan segala aspek ergonomis dan prinsip-prinsip dari kerja
fisik.
Untuk mendapatkan kondisi kerja yang baik yaitu yang memungkinkannnya
dilakukan gerakan yang ekonomis, maka perlu diperhatikan faktor yang
mempengaruhi, yaitu : (Wingjosoebroto, Sritomo, 1995, hal 100)
1. Penggunaan badan / anggota tubuh manusia serta gerakan-gerakannya.
2. Pengaturan letak area kerja.
3. Perancangan alat-alat dan perlengkapan kerja.
Secara umum didalam usaha mengembangkan metode kerja dan gerakan kerja
ekonomis maka beberapa hal tersebut bisa dilaksanakan antara lain sebagai berikut :
(Wingjosoebroto, Sritomo, 1995, hal 101).
1. Hilangkan gerakan-gerakan kerja yang tidak perlu yang justru memboroskan
tenaga.
2. Kombinasikan beberapa aktivitas menjadi aktivitas yang memungkinkan
dilaksanakan secara bersamaan.
3. Kurangi faktor kelelahan dengan memberi waktu istirahat dan waktu longgar
yang lainnya.
4. Perbaiki pengaturan tempat kerja dan disain dari fasilitas / peralatan kerja
yang ada.
2.4 Perencanaan Tata Letak Secara Sistematis
Suatu pendekatan sistematis dan terorganisir untuk perencanaan tata letak fasilitas
produksi lebih diintroduksikan oleh Richard Muther (1973) yang dikenal dengan
systematic Layout Planning (SLP). SLP banyak diaplikasikan untuk berbagai macam
persoalan meliputi antara lain problem produksi, transportasi, pergudangan,
supporting services dan aktifitas-aktifitas yang dijumpai dalam perkantoran (office
layout). Secara singkat prosedur untuk melaksanakan SLP dapat dilihat dalam
gambar berikut : (Wignjosoebroto, Sritomo, 2003, hlm 88).
Data Masukan dan aktifitas
1. Aliran Material 2. Hubungan Aktifitas
3. String Diagram
4. Kebutuhan Luas Area 5. Luas Area Tersedia
6. Space Relation Diagram
7. Pertimbangan Modifikasi
8. Batasan-batasan praktis
A
Gambar 2.2 : Prosedur untuk Merencanakan Systematic Layout Planning
2.4.1 Analisa Hubungan Aktivitas Kerja ( Activity Relationship)
Activity Relationship chart (ARC) atau sering pula disebut sebagai Relation Chart
(REL-Chart) bisa dipakai untuk memberi pertimbangan-pertimbangan kualitatif
didalam perancangan layout. REL-Chart akan memberikan pertimbangan mengenai
derajat kedekatan (closenses) dari satu departemen terhadap departemen lainnya
dengan ukuran-ukuran yang lebih bersifat kualitatif seperti : mutlak atau tidak
mutlak harus berdekatan, cukup penting untuk diletakkan berdekatan dan lain-lain.
REL-Chart ini hampir mirip penggambarannya seperti from to chart hanya saja
disini angka-angka kuantitatif dalam bentuk bobot/volume material atau jarak
pemindahan material seperti yang dijumpai dalam from to chart akan digantikan
dengan suatu penilaian kualitatif mengenai derajat kedekatan seperti berikut :
9. Perancangan Alternatif tata Letak
10. Evaluasi
A
SIMBOL HURUF DERAJAT KEDEKATAN SIMBOL GRAFIS
A Absolutely Necessary
E Especially Important ___________________ ___________________ ___________________
I Important ___________________ ___________________
O Ordinary
___________________
U Unimportant None
X Not Desirable
Gambar 2.3 : Simbol-simbol REL-Chart
Untuk selanjutnya diberikan Suatu cantuh penggambaran REL-Chart yang
manggambarkan hubungan aktifitas dari fasilitas-fasilitas (departemen) yang ada.
Derajat hubungan aktivitas masing-masing fasilitas atau departemen tersebut dan
pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dalam marik REL-Chart sebagai berikut:
Tabel 2.3 : Matrik REL-Chart
MENUJU KE FASILITAS KERJA Dari
Fasilitas
Kerja 2 3 4 5 6
1 E 1
E 1
E 1
I 1
O -
2 I
1,5,6
O 6
I 5
O -
3 E
1,5,6
A 1
O -
4 A
1
O -
5 O
-
6
Keterangan :
U
5,6
Derajat hubungan yang ingin ditunjukkan secara kualitatif
Alasan / pertimbangan dalam penetapan derajat hubungan yang dimaksud
Tabel 2.4 : Keterangan Simbol-Simbol dan Deskripsi Alasan.
SIMBOL Deskripsi Alasan / Keterangan
1
2
3
4
5
6
Fungsi dan misi kegiatan kerja
Kemudahan dalam melakukan supervisi
Menggunakan ketrampilan atau skill
Menggunakan fasilitas dan alat kerja bersama-sama
Memerlukan akses yang cepat
Memerlukan komunikasi yang mudah
2.4.2 Penyusunan String Diagram
Langkah ini mencoba merangkum dimana posisi kelompok fasilitas kerja atau
departemen akan diatur letaknya dan kemudian dihubungkan dengan garis sesuai
dengan jarak pemindahannya. Garis akan digambarkan sesuai dengan derajat
hubungan antara departemen satu dengan lainnya yang sudah dinilai terlebih dahulu.
String diagram ini akan menggambarkan pengaturan dan penempatan fasilitas pada
kondisi paling optimal (tanpa mempertimbangkan luasan area yang diperlukan.
Penempatan dilaksanakan melalui metode trial & error. Pertama kali prioritas
diberikan pada lokasi-lokasi yang memiliki derajat hubungan aktivitas A (4 garis
lurus), kemudian berturut-turut aktivitas E (3 garis lurus), aktivitas I (2 garis lurus)
dan seterusnya. Dari contoh matrik REL-chart yang telah dibuat untuk menunjukkan
hubungan antara fasilitas-fasilitas dapat dibuat string diagramnya sebagai berikut :
Gambar 2.4 : String / REL Diagram
top related