analisis kedalaman gerusan di hilir pintu sorong pada dasar
Post on 21-Jan-2017
288 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Analisis Kedalaman Gerusan di Hilir Pintu Sorong pada Dasar Saluran Tanah Liat Berpasir (Sandy Loam) dengan Uji Model Fisik Hidraulik
Hasanatul Qamariyah1, Very Dermawan
2, Sebrian Mirdeklis Beselly Putra
2
1Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya, Malang
2Dosen Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang
1anaukhtihasanah@gmail.com
ABSTRAK
Pintu sorong (sluice gate) merupakan salah satu konstruksi bangunan air yang berfungsi untuk membagi air sesuai
debit yang direncanakan dengan cara mengatur tinggi muka air. Bangunan ini menyebabkan perbedaan kondisi aliran
di hulu dan hilir pintu yang berakibat pada terjadinya gerusan di hilir pintu, terutama apabila material dasar salurannya
lepas atau lunak. Fenomena gerusan pada dasar saluran di hilir pintu dapat membahayakan konstruksi pintu tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kedalaman gerusan akibat variasi debit dan bukaan pintu
dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya serta bentuk dasar yang terjadi pada dasar saluran berupa tanah liat
berpasir.Pada penelitian ini dilakukan percobaan menggunakan sembilan variasi debit dengan bukaan pintu tertentu
pada kondisi aliran tenggelam. Setiap percobaan menggunakan debit konstan dan dimulai dari dasar rata sampai satu
jam pengaliran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi debit dan bukaan pintu mempengaruhi kedalaman gerusan
yang ditunjukkan oleh persamaan:
(
) (R2 = 0,859). Selain itu, faktor lain yang juga
mempengaruhi kedalaman gerusan adalah kedalaman aliran dan bilangan Froude yang ditunjukkan oleh persamaan
(
) (R
2 = 0,941) dan
(R
2 = 0,918). Kedalaman gerusan hasil kajian
laboratorium memiliki perbedaan dengan hasil perhitungan menggunakan persamaan Schocklitsch, Muller dan
Eggenberger dengan perbedaan relatif rerata berturut-turut 38,57%, 50,94%, dan 81,32%. Analisis bentuk dasar hasil
penelitian menunjukkan bahwa bentuk dasar bervariasi dari plane bed dan ripple. Berdasarkan pendekatan Van Rijn
menunjukkan bahwa bentuk dasar yang terjadi bervariasi dari plane bed dan ripple. Bentuk dasar berdasarkan
pendekatan Simon-Richardon yaitu plane bed, ripple dan dune. Sedangkan hasil analisis dengan pendekatan Garde
Albertson menunjukkan bentuk dasar berada pada daerah transisi.
Kata kunci: bentuk dasar, bukaan pintu, debit, kedalaman gerusan, tanah liat berpasir.
ABSTRACT
Sluice gate is one of hydraulic structure to divide discharge in irrigation channel by controlling the water depth.
Sluice gate may cause the flow condition in the upstream and the downstream of the structure change rapidly. This
flow change can lead a local scouring on the bed channel, espesially when it is composed by erodible material. When it
is occured, it may cause stability problems of the structure. The purpose of this study is to analyze the scour depth and
bed forms due to various discharges and opening gates on sandy loam bed channel. This research was conducted in
nine various discharges and various opening gates in submerged flow. The Sandy loam bed channel were tested
experimentally with a constant discharge and opening gate for one hour. The result showed that scouring depth is
affected by the discharge and opening gate which is shown by equation:
(
) - (R
2 = 0,859).
Moreover, scouring depth is also affected by water depth and Froude number, that are shown by equestions:
(
) - (R
2 = 0,941) and
(R
2 = 0,918). The scouring depth in this experiment are
different with Schoklistch, Muller and Eggenberger’s equation. The diffrerence are 38,57% for Schoklitsch’s equation;
50,94% for Muller’s equation; and 81,32% for Eggenberger’s equation. Furthermore, the bed forms observed from
experiment was showed different result with analysis after Simon-Richardson, Van Rijn and Garde Albertson. The
experiment result is showing that the bed forms are various from plane bed and ripple. Analysis after Van Rijn indicate
plane bed and ripple, Simon-Richardson indicate plane bed, ripple and dune. Meanwhile, analysis after Garde
Albertson indicate bed forms in transition..
Keywords: bed forms, opening gate, discharge, scouring depth, sandy loam.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertanian merupakan sektor yang sangat
penting dalam pemenuhan pangan suatu negara.
Baik tidaknya hasil suatu pertanian dipengaruhi
oleh usaha penyediaan dan pengaturan air atau
disebut dengan istilah dengan irigasi. Di dalam
rangka pemanfaatan air di bidang irigasi, maka
dibangun konstruksi air. Salah satunya pintu air
untuk membagi debit sesuai rencana. Jenis pintu
air yang sering digunakan adalah pintu sorong
(sluice gate).
Namun, pemanfaatan pintu sorong sebagai
bangunan pengatur pada saluran ternyata dapat
menimbulkan permasalahan di hilir pintu, yaitu
terjadinya gerusan. Hal tersebut terjadi sebagai
akibat adanya perubahan karakteristik aliran di
sebelah hulu setelah melewati pintu dan di hilir
pintu. Selain itu, gerusan juga dipengaruhi oleh
sifat material dasar.
Fenomena terjadinya gerusan di hilir pintu
ini dapat membahayakan konstruksi pintu.Hal
tersebut dapat berakibat fungsi pintu terganggu.
Oleh sebab itu, perlu adanya suatu upaya untuk
mempelajari fenomena terjadinya gerusan pada
dasar saluran di hilir pintu yang dapat dijadikan
sebagai dasar atau acuan untuk mencegah atau
menanggulangi permasalahan tersebut. Studi ini
akan mempelajari mengenai fenomena gerusan
di hilir pintu sorong dengan material tanah liat
berpasir (sandy loam) menggunakan uji model
fisik hidraulik.
1.2. Identifikasi Masalah
Bangunan pintu air pada irigasi digunakan
untuk mengatur tinggi muka air sesuai debit
yang direncanakan. Namun, pemanfaatan pintu
air ini ternyata dapat menyebabkan perubahan
karakteristik aliran di hulu dan di hilir saluran,
seperti kecepatan serta turbulensi sehingga
menimbulkan perubahan transport sedimen dan
terjadinya gerusan. Pada pintu air, aliran yang
melewati bawah pintu (under flow) dapat berupa
aliran superkritik yang mempunyai energi tinggi
sehingga menimbulkan permasalahan gerusan di
hilir pintu, terutama jika dasar saluran tersusun
atas material halus atau lunak (Puspitarini et.all,
2002: 420).
Kedalaman gerusan dapat bertambah sampai
mencapai batas tertentu. Pada kondisi tertentu,
gerusan dapat menyebabkan gangguan stabilitas
terhadap konstruksi pintu serta pintu tidak dapat
berfungsi dengan baik, atau bahkan kehilangan
fungsi sama sekali sebagai bangunan pengatur.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka diperlukan
suatu studi mengenai penggerusan di hilir pintu
sorong dengan uji model fisik.
1.3. Manfaat dan Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui hubungan atau korelasi antara
debit dan bukaan pintu terhadap kedalaman
gerusan.
2. Mengetahui konfigurasi dasar saluran yang
terjadi sebagai akibat dari variasi debit dan
bukaan pintu.
3. Mengetahui kesesuaian analisis kedalaman
gerusan dan konfigurasi dasar berdasarkan
kajian analitis dengan kajian laboratorium.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan
di bidang hidraulika, khususnya yang berkaitan
dengan konsep gerusan lokal di hilir pintu.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aliran Lewat Pintu Sorong (Sluice Gate)
Pintu sorong merupakan jenis pintu yang dioperasikan dengan menggeser pintu ke arah vertikal sesuai bukaan yang telah direncanakan. Aliran yang melewati pintu sorong dapat berupa aliran bebas atau aliran tenggelam.
Pada kondisi aliran tenggelam, kedalaman
aliran di hilir sebelum loncatan lebih besar dari
hasil perkalian koefisien kontraksi dan bukaan
pintu (y1 > Cc.a). Sebaliknya, pada aliran bebas
kedalaman aliran di hilir sebelum loncatan sama
dengan hasil perkalian koefisien kontraksi dan
bukaan pintu (y1 = Cc.a).
Gambar 1. Aliran melewati pintu sorong
Sumber: Subramanya (1986: 251 dan 255)
2.2. Regime Aliran Aliran pada saluran dengan material dasar
yang mudah tergerus dapat dikategorikan dalam dua regime aliran dengan daerah transisinya. Setiap kategori regime aliran ini mempunyai karakteristik yang berhubungan dengan bentuk dasar saluran. Pembagian kategori regime aliran dalam hubungannya dengan konfigurasi bentuk dasar saluran adalah sebagai berikut:
1. Regime aliran rendah (lower flow regime): bilangan Froude < 0,4-1
a. ripples
b. dunes
2. Daerah transisi
Bentuk dasar dari dunes menuju plane bed atau ke antidunes
3. Regime aliran tinggi (upper flow regime): bilangan Froude > 0,4-1
a. Plane bed dengan pergerakan sedimen
b. Antidunes standing waves dan breaking waves
c. Chutes and pools
2.3. Konfigurasi Bentuk Dasar (Bed Forms) Simon dan Richardson (1960) menjelaskan
bahwa bentuk dasar (bed forms) dikategorikan
sebagai berikut (Yang, 1996: 60):
a. Plane bed
Kecepatan aliran naik secara perlahan dan
angkutan sedimen mempunyai tinggi yang
rata. Butiran bergerak menggelinding atau
menggeser. Gerakan terjadi berganti-ganti
pada tempat yang tak tentu. Saltasi terjadi
pada material halus.
b. Ripples
Bentuk dasar menyerupai gelombang kecil
dengan panjang gelombang kurang dari 30
cm serta tinggi kurang dari 5 cm. Bentuk
ripples menyerupai bentuk segitiga dengan
sisi bagian hilir lebih curam dari sisi hulu.
c. Dunes
Dunes memiliki bentuk yang sama dengan
ripples. Perbedaan keduanya terletak pada
dimensi dunes yang lebih besar. Keduanya
terjadi pada bilangan Froude kurang dari 1
(satu) serta gelombang muka air tidak se-
fase dengan bentuk dasar. Perbedaan fase
tersebut ditunjukkan oleh nilai rasio tinggi
Gambar 2. Bentuk dasar (bed forms)
Sumber: Yang (1996: 61)
puncak bentuk dasar terhadap tinggi muka
air dihitung dari setengah tinggi bed forms
(∆/h) yang relatif besar (Yalin, M.S, 1977:
210)
d. Antidunes
Endapan terjadi di hulu, sedangkan di hilir
terjadi erosi. Bentuk gelombang antidunes
sedikit banyak simetris.
e. Chutes and Pools
Konfigurasi ini terjadi pada kondisi saluran
dengan kemiringan curam, serta kecepatan
dan debit sedimen relatif besar. Bentuknya
menyerupai bukit dengan endapan besar.
2.4. Analisis Bentuk Dasar (Bed Forms)
2.4.1. Pendekatan Van Rijn (1984)
Van Rijn mengklasifikasikan bentuk dasar
saluran pada regime aliran rendah dan transisi
berdasarkan nilai parameter partikel nirdimensi
(d*) serta parameter tingkat angkutan (T).
Nilai parameter partikel nirdimensi (d*) dan
tingkat angkutan sedimen(T) dihitung dengan:
(1) (2-13)
(2)
dengan:
d* = parameter partikel nirdimensi
d50 = diameter butiran 50% lolos saringan
s = berat spesifik (specific gravity)
ρw = kerapatan air (kg det2/m
4)
ρs = kerapatan butiran (kg det2/m
4)
Typical ripples pattern
Dunes
Plane bed
Antidune standing waves
Antidune breaking waves
Chutes and pools
Dunes and Superposed ripples
Wash out-dunesor transition
g = percepatan gravitasi (m/det2)
T = Parameter tingkat angkutan
υ = kekentalan kinematik (m2/det)
U* = kecepatan geser (m/det)
U*cr = kecepatan geser kritis (m/det)
2.4.2. Pendekatan Garde Albertson
Garde Albertson mengklasifikasikan bentuk
dasar menurut bilangan Froude serta
( )
dengan tegangan geser di dasar, kerapatan
air, kerapatan butiran, g percepatan gravitasi,
serta d diameter butiran.
Diagram klasifikasi bentuk dasar menurut
Garde Albertson dapat dilihat pada Gambat 4.
2.4.3. Pendekatan Simon-Richardson (1966)
Bentuk dasar menurut pendekatan Simon
dan Richardson diklasifikasikan dengan melihat
nilai diameter lolos saringan 50% (d50) dan nilai
stream power (w = τo.U). Diagram klasifikasi
bentuk dasar berdasarkan pendekatan Simon
dan Richardson dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 3. Diagram klasifikasi bentuk dasar
(bed forms) menurut Van Rijn
Sumber: Rijn (1987: 1736)
Gambar 4. Diagram klasifikasi bentuk dasar
menurut Garde Albertson
Sumber: Breuser (1974-1975: 5.5)
Gambar 5. Diagram klasifikasi bentuk dasar
menurut Simon dan Richardson
Sumber: Yang (1996: 66)
Parameter partikel nirdimensi (d*)
Fr
d50 (mm)
Tra
nsp
ort
sta
ge
pa
ram
eter
(T
)
τ o( ρ
ρ
w)
Ripples and dunes
Transition
Antidunes
τ oU
(l
b/f
t d
et)
2.5 Gerusan Lokal
Gerusan lokal merupakan akibat yang dapat
terjadi apabila dalam suatu saluran ditempatkan
penghalang yang menyebabkan perubahan arah
aliran. Fenomena gerusan lokal akibat halangan
aliran perlu dipelajari dan diperkirakan sehingga
dapat dijadikan sebagai dasar untuk mendapat-
kan struktur bangunanyang ekonomis dan aman.
Hal-hal penting yang perlu dipelajari mengenai
gerusan lokal diantaranya mekanisme terjadinya
serta perkiraan kedalaman gerusan.
Berdasarkan kesetimbangan volume bahan
sedimen yang tergerus, terdapat tiga jenis gerus-
an lokal (local scouring) (Simons dan Senturk,
1976: 673):
a. Gerusan stabil
Gerusan yang terjadi jika volume sedimen
yang masuk sama dengan ang keluar.
b. Gerusan jernih Gerusan terjadi secara berkesinambungan
serta tidak ada bahan sedimen yang masuk
mengisi kembali lubang sedimen. c. Gerusan dengan volume sedimen masuk
berubah-ubah
Suplai sedimen yang masuk berubah-ubah
volumenya.
Estimasi kedalaman gerusan lokal dapat di-
lakukan dengan cara perhitungan menggunakan
rumus atau persamaan yang diusulkan oleh para
ahli. Disini, akan dijelaskan persamaan tentang
kedalaman gerusan dari Schoklitsch, Muller dan
Eggenberger.
2.5.1 Persamaan Schoklitsch
Persamaan kedalaman gerusan pertama kali
diusulkan oleh Schoklitsch pada tahun 1932 dan
selanjutnya dikembangkan oleh para ahli.Rumus
yang diperoleh dari hasil percobaan pada model
tes dengan dua kondisi yang berbeda, yaitu pada
dan aliran air melewati bawah pintu (underflow)
dan aliran air melewati atas pintu (overflow).
Pada kondisi aliran overflow (dengan qu = 0
dan L = 0) diperoleh persamaan: (Breusers dan
Raudkivi, 1991: 124):
(3)
Sedangkan pada kondisi aliran lewat bawah
pintu (underflow) menggunakan sill (L = 1,5H),
diperoleh persamaan: (Breusers dan Raudkivi,
1991: 124):
( o ) (4) (2-18)
dengan:
2.5.2 Persamaan Muller
Muller melakukan tes dengan kondisi aliran
underflow serta kombinasi antara underflow dan
overflow. Untuk aliran underflow, diperoleh dua
persamaan, yaitu untuk kondisi aliran tenggelam
(submerged) dan aliran bebas (free wavy jet).
Rumus untuk aliran tenggelam ditunjukkan
oleh persamaan (5), Sedangkan Persamaan (6)
untuk aliran bebas.
(5) (2-15)
(6)
2.5.3 Persamaan Eggenberger
Eggenberger melakukan tes di laboratorium
dan mengusulkan sebuah persamaan berikut:
(Breuser dan Raudkivi, 1991: 124):
(7)
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Deskripsi Model Penelitian
Gambar 7. Sketsa saluran untuk pengamatan
ds = kedalaman gerusan (m)
yo = kedalaman air di hulu pintu (m)
y2 = kedalaman air di hilir pintu (m)
q = debit per satuan lebar (m2/det)
d10 = diameter 10% lolos saringan (mm)
H = jarak vertikal antara muka air di hulu
dan hilir pintu (m)
a = bukaan pintu (m)
c = Kedalaman gerusan dibawah apron (m)
Gambar 8. Sketsa pengukuran variabel
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Sungai dan Rawa Jurusan Pengairan Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya. Pada percobaan
ini digunakan saluran datar sepanjang 8 m dan
berpenampang persegi empat dengan lebar 0,5
m dan tinggi 0,6 m. Saluran terbuat dari akrilik,
begitu pula dengan pintu sorong yang dipasang
sejauh 3 m dari hilir saluran.
Sejauh 3,6 m dari bak penenang, apron di-
pasang dengan tinggi 0,2 m dan panjang 1,4 m,
kemudian dasar dibuat turun lagi 0,2 m. Di hilir
setelah apron merupakan saluran sepanjang 3 m
yang akan diisi material mudah tergerus berupa
tanah liat berpasir (sandy loam). Pengaliran di-
lakukan mulai dari dasar rata sampai satu jam
pengaliran.
3.2. Material Dasar
Material dasar yang digunakan merupakan
tanah liat berpasir (sandy loam) dengan nilai
berat jenis (specific gravity) adalah 2,636 yang
diperoleh dari hasil pengujian di laboratorium.
Dari data tersebut selanjutnya dapat diketahui
nilai kerapatan butiran (ρs) 2635,674 kg det2/m
4
dan berat spesifik (specific weigth) butiran (s)
sebesar 25855,97 kg/m3.
Ukuran diameter butiran material dasar yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran Diamater Butiran Material Dasar (Lolos Saringan)
Diameter lolos
saringan
Ukuran
(mm) (m)
d10 0,101 0,000101
d50 0,451 0,000451
d90 1,913 0,001913
Sumber: Hasil pengukuran, 2016
3.3. Rancangan Perlakuan
Penelitian ini dilakukan menggunakan debit
pengaliran mulai 0,0010 m3/detik sampai 0,0050
m3/detik dengan interval 0,0005 m
3/detik. Posisi
bukaan pintu yang digunakan 0,5 cm; 1 cm; 1,5
cm; 2 cm; dan 2,5 cm.
Untuk memudahkan percobaan maka dibuat
rancangan perlakuan sebagaimana dapat di lihat
pada Tabel 2.
3.4. Variabel Penelitian
Variabel merupakan faktor-faktor di dalam
penelitian yang dapat dipengaruhi dan nilainya
dapat berubah. Variabel terkait dalam kajian ini
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Variabel bebas (yang diatur):
1. Tinggi bukaan pintu sorong (a)
2. Debit di hulu pintu (Q)
b. Variabel yang diukur:
1. Kedalaman gerusan (ds)
2. Tinggi muka air di hulu pintu (yo)
3. Tinggi muka air di hilir pintu (y2)
4. Kecepatan aliran (Ua, U2)
5. Jarak (Xs) dan kedalaman gerusan (ds)
6. Jarak (ʎ) dan ketebalan sedimentasi (∆)
Tabel 2 Rancangan Perlakuan
No
Q a
No
Q a
(m3/det) (cm)
(m3/det) (cm)
1 0,001 0,5
6
0,0035
0,5
2 0,0015
0,5
1
1
1,5
3
0,002
0,5
2
1
7
0,004
1
1,5
1,5
4
0,0025
0,5
2
1
2,5
1,5
8
0,0045
1
2
1,5
5
0,003
0,5
2
1
2,5
1,5
9 0,005 1,5
2
2
2,5
Sumber: Perencanaaan, 2016
∆
ʎ
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1. Kalibrasi Alat
Sebelum melakukan penelitian, maka perlu
dilakukan kalibrasi terhadap alat ukur yang di-
gunakan. Pada penelitian ini, dilakukan kalibrasi
terhadap alat ukur debit dan alat ukur kecepatan.
Nilai kesalahan relatif yang diijinkan sebesar 10
persen.
Alat ukur debit yang digunakan merupakan
alat ukur berbentuk bendung persegi empat atau
Rechbox. Kalibrasi Rechbox dilakukan dengan
cara membandingkan antara nilai debit teoritis
(QRechbox) terhadap debit takar (Qtakar).
Tabel 3. Hasil Kalibrasi Rechbox
No yRechbox Qtakar QRechbox
Kesalahan
relatif
(m) m³/detik m³/detik %
[1] [2] [3] [4] [5]
1 0,01948 0,00178 0,00189 6,003
2 0,02044 0,00188 0,00202 7,720
3 0,02317 0,00215 0,00242 12,379
4 0,02472 0,00242 0,00265 9,344
5 0,02578 0,00275 0,00282 2,372
6 0,02904 0,00326 0,00334 2,397
7 0,03150 0,00364 0,00375 3,067
8 0,03400 0,00418 0,00418 0,114
9 0,03600 0,00454 0,00454 0,024
10 0,03800 0,00486 0,00491 0,937
11 0,03970 0,00571 0,00522 8,580
Kesalahan Relatif
Min 0,024
Max 12,379
rerata 4,812
Sumber: Hasil perhitungan, 2016
Gambar 9. Kurva hubungan tinggi muka air di-
atas Rechbox dengan debit
Kecepatan aliran diukur menggunakan alat ukur berupa tabung pitot. Oleh karena itu, perlu dilakukan kalibrasi terhadap alat ukur tersebut. Jika kalibrasi alat ukur debit dilakukan dengan membandingkan nilai debit, maka kalibrasi alat ukur kecepatan membandingkan nilai kecepatan hasil pengukuran (Upitot) dan kecepatan teoritis (Uteoritis). Kecepatan teoritis dijadikan sebagai patokan dalam kalibrasi.
Tabel 4. Hasil Kalibrasi Pitot
No ypitot Upitot Uteoritis
Kesalahan
relatif
(m) 0 (m/dt) (%)
[1] [2] [3] [4] [5]
1 0,0020 0,1941 0,159 9,433
2 0,0023 0,2059 0,169 14,758
3 0,0025 0,2170 0,178 6,419
4 0,0027 0,2256 0,185 5,291
5 0,0028 0,2311 0,189 7,377
6 0,0031 0,2427 0,199 1,630
7 0,0033 0,2475 0,203 0,078
8 0,0033 0,2506 0,205 6,833
9 0,0035 0,2568 0,210 9,718
10 0,0043 0,2858 0,234 10,432
Kesalahan Relatif
Max 14,758
Min 0,078
Rerata 7,197
Sumber: Hasil perhitungan, 2016
Gambar 10. Kurva hubungan beda tinggi air
pada pitot dengan kecepatan
0,000
0,002
0,004
0,006
0,000 0,010 0,020 0,030 0,040 0,050
Deb
it (
lm³/
det
ik)
yRechbox
Kurva Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit
Q = 0,5294(yRechbox)1,4315
R2 = 1
0,00
0,10
0,20
0,30
0,000 0,002 0,004 0,006
Kec
epa
tan
(m
eter
/det
ik)
ypitot (m)
Kurva Hubungan Kecepatan dengan
Beda Tinggi Air pada Pitot
U = 3,554(ypitot)0,5
R² = 1
Dari hasil perhitungan kalibrasi didapatkan nilai kesalahan relatif sebesar 4,812% untuk alat ukur Rechbox dan 7,197% untuk pitot.
Kemudian, dari nilai kesalahan relatif yang diperoleh dari hasil perhitungan kalibrasi, dapat diketahui perambatan kesalahan.
Kesalahan relatif debit (rQ) = 4,812%
Kesalahan relatif kecepatan (rU) = 7,197%
Sehingga:
Q = A. U
A = Q. U-1
rA = √
( )
rA = √ ( )
rA = 8,657%
rb
= 0% (lebar saluran konstan)
A = b. y
y = A. b-1
ry
= rA = 8,657%
Fr =
√
Fr = U. g-0,5
. y-0,5
rFr = √
( )
rFr = √ ( )
rFr = 8,398%
Nilai kesalahan relatif sebesar 8,398% lebih
kecil dari nilai yang diijinkan. Sehingga kedua
alat tersebut dapat digunakan dalam penelitian.
4.2. Analisis Dimensi
Kajian dalam hasil penelitian ini melibatkan
beberapa variabel dan parameter. Variabel yang
terkait dengan kedalaman gerusan kemudian di-
kelompokkan sebagai berikut:
Tabel 5. Pengelompokan Variabel
Pengelompokan Variabel
Variabel bebas Tinggi bukaan pintu (a)
Debit per satuan lebar (q)
Variabel terikat
Kedalaman gerusan (ds)
Jarak gerusan (Xs)
Kecepatan di bawah pintu (Ua)
Kedalaman air di hulu pintu (yo)
Kedalaman air di hilir pintu (y2)
Variabel lain Percepatan gravitasi (g)
Variabel yang dipilih sebagai variabel berulang:
percepatan gravitasi (g)
bukaan pintu (a)
Sumber: Hasil analisa, 2016
Tabel 6. Bilangan Tak Berdimensi
Bilangan tak berdimensi
U
√
o
o
Sumber: Hasil analisa, 2016
Analisis dimensi dilakukan menggunakan
Metode Langhar berdasarkan pengelompokan
variabel tersebut. Hasil bilangan tak berdimensi
dapat dilihat pada Tabel 6.
4.3. Hubungan antar Variabel yang
Mempengaruhi Kedalaman Gerusan
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
beberapa variabel yang mempengaruhi besarnya
kedalaman gerusan.
Variabel pertama yang mempengaruhi nilai
kedalaman gerusan yaitu debit per satuan lebar.
Jika debit yang dialirkan semakin besar, maka
kedalaman gerusan yang terjadi akan bertambah
besar. Hal tersebut ditunjukkan oleh Gambar 11.
(
) (8)
Kedalaman aliran juga mempengaruhi nilai
kedalaman gerusan. Hubungan antar variabel ini
dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 11. Hubungan (
) dengan ds/a
0
5
10
15
20
25
30
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80
ds/a
q/(a1,5 x g0,5)
ds/a = 39,688
R2 = 0,859
Grafik hubungan 𝐪
𝐚𝟏 𝟓𝐠𝟎 𝟓 dengan (ds/a)
Gambar 12. Hubungan (yo/y2) dengan ds/a
(
) (9)
Persamaan 9 menunjukkan bahwa semakin
besar kedalaman aliran di hulu pintu menyebab-
kan semakin besar pula kedalaman gerusan. Hal
tersebut berbeda dengan hubungan kedalaman
aliran di hilir pintu dan kedalaman gerusan yang
justru memiliki hubungan berbanding terbalik.
Selain debit per satuan lebar dan kedalaman
aliran, kedalaman gerusan juga dipengaruhi oleh
nilai bilangan Froude di bawah pintu. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa bilangan Froude
berbanding lurus dengan kedalaman gerusan.
Bilangan Froude yang besar menyebabkan
kedalaman gerusan yang besar. Sebaliknya, jika
bilangan Froude kecil, kedalaman gerusan akan
kecil. Sementara itu, bilangan Froude memiliki
hubungan berbanding terbalik dengan bukaan
pintu. Hal tersebut berarti bilangan Froude akan
semakin besar apabila bukaan pintu kecil.
Hubungan antara kedua variabel ini dapat
dilihat pada Gambar13.
(10)
Gambar 13. Hubungan (Fra) dengan ds/a
4.4. Analisis Kedalaman Gerusan
Data nilai kedalaman gerusan diperoleh dari
percobaan yang telah dilakukan di laboratorium.
Kedalaman gerusan hasil percobaan selanjutnya
dibandingkan dengan hasil perhitungan. Rumus-
rumus yang digunakan untuk perhitungan dalam
studi ini adalah Persamaan Schocklitsch, Muller
dan Eggenberger.
Perbandingan kedalaman gerusan dari hasil
penelitian dengan hasil perhitungan dari rumus
empiris dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan Kedalaman Gerusan
Hasil Penelitian dengan Hasil Perhitungan
Q a dsLab dsSchoc
klitsch PR
dsEgge
nberer PR
ds
Muller PR
m³/deti
k m m m % m % m %
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9]
0,0010 0,01 0,000 0,005 - 0,049 - 0,015 -
0,0015 0,01 0,043 0,048 11,50 0,193 78,04 0,076 44,24
0,0015 0,01 0,003 0,013 77,39 0,061 95,09 0,018 83,62
0,0020 0,01 0,056 0,077 27,37 0,354 84,20 0,149 62,47
0,0020 0,01 0,036 0,018 98,26 0,174 79,32 0,067 46,17
0,0020 0,02 0,001 0,009 88,66 0,027 96,24 0,001 24,85
0,0025 0,01 0,078 0,124 37,19 0,515 84,85 0,218 64,19
0,0025 0,01 0,053 0,070 23,92 0,272 80,50 0,110 51,91
0,0025 0,02 0,031 0,022 39,29 0,083 62,59 0,025 24,75
0,0025 0,02 0,000 0,009 - 0,070 - 0,020 -
0,0030 0,01 0,109 0,186 41,48 0,696 84,35 0,297 63,26
0,0030 0,01 0,062 0,088 29,78 0,438 85,85 0,183 66,13
0,0030 0,02 0,052 0,042 23,52 0,164 68,22 0,060 13,68
0,0030 0,02 0,000 0,015 - 0,095 - 0,029 -
0,0035 0,01 0,126 0,211 40,35 0,877 85,64 0,378 66,63
0,0035 0,01 0,092 0,136 32,16 0,513 82,07 0,214 56,99
0,0035 0,02 0,070 0,092 24,15 0,520 86,54 0,219 67,98
0,0035 0,02 0,002 0,012 82,65 0,133 98,50 0,045 95,58
0,0040 0,01 0,124 0,249 50,12 0,940 86,81 0,406 69,48
0,0040 0,01 0,092 0,146 37,18 0,647 85,77 0,274 66,45
0,0040 0,02 0,086 0,113 23,97 0,441 80,48 0,181 52,53
0,0040 0,02 0,072 0,061 17,72 0,242 70,30 0,092 21,77
0,0040 0,03 0,000 0,012 - 0,113 - 0,035 -
0,0045 0,01 0,190 0,333 42,87 1,053 81,95 0,445 57,32
0,0045 0,02 0,172 0,245 29,83 0,732 76,50 0,302 43,11
0,0045 0,02 0,159 0,171 6,91 0,558 71,48 0,227 29,89
0,0045 0,03 0,000 0,015 - 0,110 - 0,028 -
0,0050 0,02 0,108 0,145 25,31 0,616 82,45 0,250 56,80
0,0050 0,02 0,103 0,101 1,54 0,463 77,76 0,183 43,63
0,0050 0,03 0,060 0,029 51,10 0,185 67,62 0,060 0,16
Rerata 38,57 - 81,32 - 50,94
Sumber: Hasil perhitungan, 2016
Keterangan:
[1] = debit
[2] = bukaan pintu
[3] = ds hasil penelitian (dslab)
[4] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus
Schocklitsch (dsScocklitsch)
[5] = Perbedaan relatif dslab dengan dsScocklitsch
[6] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus
Eggenberger (dsEggenberger)
[7] = Perbedaan relatif dslab dengan dsEggenberger
[8] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus
Muller (dsMuller)
[9] = Perbedaan relatif dslab dengan dsMuller
0
5
10
15
20
25
30
0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05
ds/a
yo/y2
Grafik hubungan (yo/y2) terhadap (ds/a)
= (
) 8,642
R2 = 0,941
0
5
10
15
20
25
30
0 1 2 3 4 5 6
ds/a
Fra
Grafik Hubungan Fra terhadap ds/a
R2 = 0,918
Dapat dilihat dari Tabel 7 bahwa kedalaman
gerusan hasil kajian labotarorium memiliki nilai
yang berbeda dengan hasil perhitungan. Rumus
Eggenberger menunjukkan hasil paling berbeda
dengan perbedaan relatif sebesar 81,32%. Hasil
perhitungan dengan rumus Muller menghasilkan
perbedaan relatif 50,94%. Perbedaan relatif ter-
kecil ditunjukkan oleh hasil perhitungan dengan
rumus Schocklitsch dengan besarnya perbedaan
relatif 38,57%.
4.5. Analisis Bentuk Dasar
Analisis bentuk dasar hasil penelitian (hasil
lab) dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang
dijabarkan oleh Simon-Richardson serta Yalin,
sebagaimana telah dijelaskan pada bab tinjauan
pustaka. Selain itu, dilakukan analisis perkiraan
bentuk dasar dengan beberapa pendekatan, yaitu
pendekatan Simon-Richardson, Garde Albertson
serta Van Rijn. Hasil analisis bentuk dasar dapat
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Bentuk Dasar Hasil
Penelitian dengan Berbagai Pendekatan
Perkiraan Bentuk Dasar
Sumber: Hasil analisa, 2016
Gambar 14. Contoh bentuk dasar plane bed
(pada Q = 0,0015 m3/detik dan a = 0,5 cm)
Gambar 15. Contoh bentuk dasar ripple
(pada Q = 0,0025 m3/detik dan a = 0,5 cm)
Q a
m³/detik m Van Rijn Simon-Richardson Garde Albertson
0,001 0,005 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi
0,0015 0,005 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi
0,0015 0,01 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi
0,002 0,005 Plane bed Ripple Ripples Transisi
0,002 0,01 Plane bed Ripple Plane bed (no motion) Transisi
0,002 0,015 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi
0,0025 0,005 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,0025 0,01 Ripple Ripple Plane bed (no motion) Transisi
0,0025 0,015 Ripple plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi
0,0025 0,02 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi
0,003 0,005 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,003 0,01 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,003 0,015 Ripple Ripple Plane bed (no motion) Transisi
0,003 0,02 Plane bed Ripple Plane bed (no motion) Transisi
0,0035 0,005 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,0035 0,01 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,0035 0,015 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,0035 0,02 Plane bed Ripple Ripples Transisi
0,004 0,005 Plane bed dan Ripple Ripple Ripples Transisi
0,004 0,01 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,004 0,015 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,004 0,02 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,004 0,025 Plane bed Ripple Plane bed (no motion) Transisi
0,0045 0,01 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,0045 0,015 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,0045 0,02 Ripple Ripple Ripples Transisi
0,0045 0,025 Plane bed Ripple Plane bed Transisi
0,005 0,015 Ripple Ripple Dunes Transisi
0,005 0,02 Ripple Ripple Dunes Transisi
0,005 0,025 Ripple Ripple Dunes Transisi
PendekatanHasil Lab
Perkiraan bentuk dasar (bed forms) dengan
pendekatan yang berbeda ternyata memberikan
hasil yang berbeda pula. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan parameter yang di-
gunakan pada tiap-tiap pendekatan. Parameter
yang digunakan pada pendekatan Van Rijn yaitu
parameter partikel nirdimensi (d*) serta tingkat
angkutan sedimen (T). Simon dan Richardson
menggunakan parameter tegangan geser dasar
(τo) dan diameter tengah parikel sedimen (d50).
Sementara Garde Albertson mengklasifikasikan
bentuk dasar berdasarkan diameter butiran (d),
tegangan dasar (τo), serta bilangan Froude. Hasil
yang paling mendekati dengan hasil penelitian
adalah perkiraan bentuk dasar dengan metode
Van Rijn.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Debit (q) merupakan salah satu variabel yang
dapat mempengaruhi kedalaman gerusan. Hal
tersebut ditunjukkan oleh persamaan:
(
) (R2
= 0,859)
Selain debit dan bukaan pintu, faktor –faktor
yang mempengaruhi nilai kedalaman gerusan
adalah bilangan Froude (Fa) serta kedalaman
aliran (y). Hubungan antara variabel-variabel
tersebut ditunjukkan oleh persamaan:
(
) (R
2 = 0,941), dan
(R2
= 0,918);
2. Bentuk dasar yang diperoleh dari hasil kajian
laboratorium (penelitian) berada pada daerah
regime aliran rendah, meliputi plane bed dan
ripple. Bentuk dasar berupa plane bed terjadi
mulai debit 0,0010 m³/detik sampai dengan
0,0020 m³/detik. Pada debit 0,0025 m³/detik
sampai 0,0050 m³/detik bentuk dasar berupa
ripple, namun plane bed kembali terbentuk
pada bukaan pintu besar;
3. Perbandingan kedalaman gerusan dan bentuk
dasar hasil penelitian dengan hasil analitis
adalah sebagai berikut:
a. Kedalaman gerusan hasil penelitian (hasil
kajian laboratorium) memiliki nilai yang
berbeda dengan hasil perhitungan dengan
persamaan Schocklitsch, Eggenberger dan
Muller. Besarnya Perbedaan relatif untuk
persamaan Schoklitsch, Eggenberger dan
Muller secara berturut-turut yaitu 38,57%,
81,32%; dan 50,94%;
b. Analisis bentuk dasar dari hasil penelitian
bervariasi dari plane bed ke ripple. Hasil
tesebut sama dengan analisis bentuk dasar
metode Van Rijn yang juga menunjukkan
variasi dari plane bed ke ripple. Namun,
hasil tersebut berbeda dengan pendekatan
Simon-Richardson serta Garde Albertson.
Bentuk dasar dari hasil pendekatan Simon
dan Richardson bervariasi dari plane bed,
ripple dan dune. Sedangkan bentuk dasar
berdasarkan pendekatan Garde Albertson
menunjukkan bahwa bentuk dasar berada
pada daerah transisi.
5.2. SARAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
penyusun, maka disarankan beberapa hal:
1. Untuk memperoleh keakuratan data dan hasil
yang lebih memuaskan, maka diharapkan alat
ukur yang digunakan untuk penelitian lebih
lanjut memiliki tingkat kepekaan yang lebih
tinggi;
2. Penelitian lebih lanjut terkait gerusan lokal di
hilir pintu dapat dilakukan dengan:
a. menggunakan variasi variabel berbeda,
misalnya kemiringan dasar saluran
b. perbandingan hasil kedalaman gerusan
terhadap kondisi aliran bebas
c. perbandingan hasil kedalaman gerusan
menggunakan beberapa material dasar
yang berbeda
DAFTAR PUSTAKA
Breuser, H.N.C., 1974-1975. Lecture Notes on Sediment Transport 1.International Course in Hydraulic Engineering, Delft
Breuser, H.N.C & Raudkivi,A.J., 1991. Scour-ing. Netherland: International Association for Hydraulic Research
Puspitarini, S., Yulistyanto, B., Kinoroto, B.A., 2002.Model Pengendalian Gerusan Lokal Akibat Aliran Superkritik di Hilir Pintu Air. Jurnal TeknoSains. XV (3): 419: 431.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Rijn, Leo C Van., 1987. Mathematichal Modelling of Morphological Processes in The Cas of Suspended Sediment Transport. Thesis aproved by the Delft University of Technology, delft Hydraulics Communica-tion
Simon, Daryl B & Senturk, Fuad., 1976. Sediment Transport Technology: Water and Sediment Dynamics. Colorado: Water Resources Publication
Subramanya, K., 1986. Flow in Open Channels. New Dehi: Tata McGraw-Hill Publishing Company
Yalin, M.S., 1977. Mechanics of Sediment Transportation 2
nd Edition. Queen
University, Ontario, Pergamon Press
Yang, C.T., 1996. Sediment Transport: Theory and Practice. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc
top related