analisis ekonomi dampak tambang inkonvensional (ti) terhadap pendapatan nelayan di kabupaten bangka...
Post on 10-Sep-2015
160 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
931
ANALISIS EKONOMI DAMPAK TAMBANG INKONVENSIONAL (TI) TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN BANGKA BARAT
(ECONOMIC ANALYSIS OF ILLEGAL MINNING IMPACT TO FISHERMAN
INCOME IN KABUPATEN BANGKA BARAT)
Endang Bidayani
Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung
ABSTRACT
Tin production in Kabupaten Bangka Barat (Bangka Belitung Province) generated positive and negative impact to environment. The aim of this research is to analyse impact from illegal minning (TI) activity to fisherman income in Kabupaten Bangka Barat. The data was analysed by analysis of impact methode. The results shows that the illegal minning causes decreasing income of fisherman up to 70% in ten years (1998-2008). The policy of fishery sector development is to stop illegal minning in the fishery area. Keyword : illegal minning, income of fisherman, Kabupaten Bangka Barat
PENDAHULUAN
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah
penghasil timah terbesar di Indonesia dengan pasokan hampir mencapai 40% dari
kebutuhan timah dunia. Selain berdampak positif, aktivitas penambangan timah
juga berdampak negatif, yakni limbah berupa pasir tailing sisa buangan hasil
pencucian pasir timah, dan terbentuknya danau yang istilah lokal Bangka Belitung
disebut kolong atau lobang camuy. Sedangkan dampak pengerukan material
tambang di laut, dapat menurunkan kualitas air, merusak ekosistem terumbu
karang, menyebabkan degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai (Anonimous
2009).
Salah satu daerah yang cukup parah dirambah TI adalah wilayah perairan
Kabupaten Bangka Barat, dengan kerusakan terumbu karang mencapai 30%.
(Anonymous 2007). Seiring maraknya aktivitas TI di perairan Kabupaten Bangka
Barat, maka dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, dan
semakin memperburuk kerusakan lingkungan pesisir/pantai yang terjadi. Untuk
mengatasi hal ini, perlu strategi pengelolaan yang sifatnya terpadu dengan
-
932
melibatkan semua stakeholders, sehingga penyusunan strategi pengelolaan
sumberdaya pesisir di Kabupaten Barat tepat sasaran.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan, yaitu : 1)
Menganalisis dampak kerusakan lingkungan terhadap sumberdaya ikan; dan 2)
Menghitung penurunan pendapatan nelayan. Adapun kegunaan penelitian ini
diharapkan dapat memberi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bangka Barat
dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di wilayah
tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Juli 2009 sampai dengan Februari 2010 di
wilayah pesisir Tanjung Ular Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
Metode Penelitian dan Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dengan jenis metode studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di
daerah penelitian melalui wawancara langsung kepada nelaya dan penambang
timah berdasarkan kuesioner. Metode pengambilan sampel/responden yang
digunakan adalah teknik sampling purposive atau sampling pertimbangan dengan
teknik snow ball. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat (nelayan pemilik
yang mewakili sifat-sifat dari keseluruhan nelayan yang menangkap ikan dan
pengunjung pantai) yang memperoleh dampak langsung dari kegiatan
penambangan timah di laut, dan penambang timah yang memperoleh manfaat
(benefit) dari kegiatan penambangan timah di Perairan Tanjung Ular. Jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang nelayan dari populasi nelayan
sebanyak 117 orang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan data
statistik dari DKP Kabupaten Bangka dan DKP Kabupaten Bangka Barat.
-
933
Metode Analisis Data
Analisis Bio-teknik dan Bioekonomi Sumberdaya Perikanan
Dampak TI terhadap pendapatan nelayan diestimasi dengan analisis bio-
teknik menggunakan metode surplus produksi dari Schaefer MB (1954) diacu
dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008). Hasil tangkapan maksimum lestari
dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antara upaya penangkapan (E)
dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) menggunakan
persamaan :
22
Er
KqqKEh =
Untuk memperoleh nilai parameter bio-teknik r, q dan k dilakukan dengan
menggunakan model estimasi Algoritma Fox pendukung dari persamaan
Schaefer, sebagai berikut :
+
=
+
1
1tU
zy
+
= +
21tt EE
b
az
qk
=
2kqr =
Analisis bio-ekonomi dilakukan dengan cara menambahkan faktor ekonomi
faktor harga dan biaya - ke dalam aspek bio-teknik melalui model matematis
Gordon-Schaefer (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008)
= TR TC
= p.h c.E
Keterangan : TR = penerimaan total (Rp), TC = biaya total (Rp), = keuntungan
(Rp), p = harga rata-rata ikan (Rp), h = hasil tangkapan (kg), c= biaya
penangkapan persatuan upaya (Rp), E = upaya penangkapan (trip)
Berdasarkan rumusan di atas, maka berbagai kondisi pola pemanfaatan
sumberdaya statik ikan di Perairan Tanjung Ular disajikan pada Tabel 1.
.....(1)
EcEr
kqEkqp ..
.... 2
2
= ......(3)
+
=
1
tU
zx
(2)
-
934
Tabel 1. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Optimal Statik Ikan di Perairan Tanjung
Ular
Kondisi Variabel
MEY MSY Open Access
Biomassa
(x)
+
Kqp
cK
..1
2
q
K
2
qp
c
.
Catch (h)
+
Kqp
c
Kqp
cKr
..1
..1
4
.
4
.Kr
Kqp
c
qp
cr
..1
.
.
Effort (E)
Kqp
c
q
r
..1
2
q
r
2
Kqp
c
q
r
..1
Rente
Ekonomi
()
p.q.K.E Ecr
Eq.
.1
p.
q
rc
Kr
2.
4
. )(
.xF
xp
cp
Sumber : (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008)
Pengelolaan sumberdaya ikan dalam konteks dinamik, secara matematis
dapat dituliskan dalam bentuk (Sobari dan Diniah 2009):
...................(4)
dengan kendala:
.................(5)
Berdasarkan pertumbuhan mengikuti kaidah Golden Rule, pemecahan
pengelolaan sumberdaya ikan dengan model dinamik dalam bentuk (Sobari dan
Diniah 2009):
dan
),()1(0
max tttt
tt
t
h
hx
=+
=
=
tttt hxFxx =+ )(1
+
=
qx
cp
qx
ch
K
xr
22
1 ...(11)
K
xrx 1 ....(6)
F(x) = h =
-
935
Dengam demikian nilai biomassa, hasil tangkapan, Effort dan rente ekonomi
optimal model dinamik dapat dihitung dengan rumus (Sobari, Diniah, Widiastuti
2008):
.(7)
+
++
+=
Kpqr
c
rKpq
c
rKpq
cx
811
2
* 14) *
**
qx
hE =
Biaya penangkapan dalam kajian bio-ekonomi model Gordon-Schaefer
didasarkan pada asumsi bahwa hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan.
Biaya penangkapan rata-rata dapat dihitung dengan rumus berikut (Sobari dan
Diniah 2009):
n
c
c
n
ii
== 1 , dan ( ) 1001
1
11
+=
== e
tmm
t ji
n
i t
eCPI
CPI
hh
h
E
C
nC
........................(9)
keterangan:
c= biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun ), ci biaya nominal penangkapan responden ke- i (Rp per tahun), n=jumlah responden nelayan (orang), Ce= biaya riil per upaya pada periode penelitian (Rp per unit), C biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun), Et= effort alat tangkap pada waktu t (trip), h= produksi ikan pada waktu t (ton), (hi+hj) = total produksi ikan dari alat tangkap (ton), n= jumlah responden (orang), m= jumlah tahun, CPIe= indek harga pada periode penelitiaan, CPIt= indek harga pada periode t
Harga ikan yang digunakan merupakan harga rata-rata dari responden,
dengan rumus sebagai (Sobari dan Diniah 2009):
n
P
P
n
ii
== 1 , dan 100= PCPI
CPIP
e
tt
..............................................(10)
dimana:
I = responden ke i , Pt = harga riil ikan pada tahun t (Rp), P = harga nominal ikan berlaku (Rp), CPIe = indek harga pada periode penelitiaan CPIt = indek harga pada periode t
Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini
dibandingkan manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumberdaya alam.
( )
=
K
xrcpqx
c
xh
21*
.(8)
-
936
Tingkat discount rate yang digunakan dalam kasus ini adalah discount rate yang
mengacu ketetapan World Bank yakni berkisar 8% hingga 18%.
Standarisasi upaya penangkapan sebagai berikut (Gulland 1983 diacu
dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008):
FPI = CPUEi / CPUEs......(11)
dimana:
FPI = Fishing Power Index, CPUEi = CPUE alat tangkap yang akan distandarisasi (kg per trip), CPUEs = CPUE alat tangkap standar (kg per trip) Menghitung upaya standar
fs = FPI x fi ..................(12)
dimana:
fs = upaya penangkapan hasil standarisasi (trip)
fi = upaya penangkapan yang akan distandarisasi (trip)
Standarisasi biaya yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pola
standarisasi yang digunakan Anna (2003) yang mengacu pada Gulland (1983)
secara matematis dapat ditulis :
Analisis depresiasi dan degradasi yang dilakukan mencakup analisis bio-
teknik dan bio-ekonomi. Analisis bio-ekonomi menggunakan pendekatan model
Algoritma Fox.
Analisis Kerugian Ekonomi
Penghitungan analisis kerugian ekonomi menggunakan data time series,
yakni perhitungan total revenue menggunakan data produksi aktual dan harga riil,
daan total cost yang menggunakan data effort dan riil cost mulai tahun 1998
hingga tahun 2008, untuk mengetahui besarnya rente setiap tahunnya.
Cet = ( )
+
=
=
n
i
tt
ji
itnt
i
i CPl
hh
h
E
TC
n 1
1
1
1100
1 ................................(13)
Keterangan : Cet = Biaya per unit standarisasi upaya tangkap pada periode t, TCi = Biaya total untuk alat tangkap i (i= 1,2), Ei = Total standarisasi upaya tangkap untuk alat tangkap i, (hi + hj) = Total produksi ikan, CPlt = Indeks harga konsumen pada periode t, hit = Produksi alat tangkap i pada periode t, n = Jumlah total alat tangkap
-
937
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Dampak Kerusakan Terhadap Sumberdaya Ikan
Analisis dampak kerusakan dilakukan melalui pendekatan analisis
sumberdaya perikanan menggunakan analisis bioekonomi perikanan terhadap
produksi ikan pelagis dan ikan demersal berdasarkan jenis alat tangkapnya, yakni
jaring insang dan bagan, serta bubu dan pancing. Secara agregat jumlah
tangkapan ikan pelagis mengalami penurunan dari tahun 1998 hingga 2008.
Parameter biologi diestimasi dengan menggunakan model Gordon-
Schaefer (1957). Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal belum
terjadi overfishing secara biologi (biological overfishing). Hasil estimasi parameter
biologi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Estimasi Parameter Biologi
Parameter Ikan Pelagis Ikan Demersal
R 0,18 0,61
Q 0,000114 0,000218
K 67.306,26 20.999,87
Analisis optimasi statik sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa
jumlah effort aktual sebesar 752 unit masih berada di bawah titik optimal, artinya
upaya penangkapan ikan pelagis masih efisien baik secara ekonomi maupun
biologi. Demikian juga dengan hasil tangkapan belum terjadi overfishing. Namun
pada kondisi open access dengan effort sebesar 1.519 unit, dihasilkan produksi
sebesar 541,64 ton mengindikasikan semakin banyak effort maka harvest turun
atau pemborosan (inefisiensi ekonomi). Demikian juga dengan sumberdaya ikan
demersal menunjukkan bahwa upaya penangkapan ikan demersal masih efisien
baik secara ekonomi maupun biologi. Demikian juga dengan hasil tangkapan
aktual sebesar 2.857,60 ton yang masih di bawah optimal pada kondisi MEY
sebesar 3.053,93 ton dan MSY sebesar 3.060,52 ton, atau belum terjadi
overfishing. Namun pada kondisi open access dengan effort sebesar 2.752 unit,
dihasilkan produksi sebesar 127,19 ton mengindikasikan semakin banyak effort
maka harvest turun atau pemborosan (inefisiensi ekonomi).
-
938
Nilai rente sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal pada kondisi open
access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan dibiarkan terbuka untuk setiap
orang, maka persaingan upaya penangkapan pada kondisi ini tidak terkendali,
sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan secara MEY, maka skenario kebijakan yang harus
dilakukan adalah : Meningkatkan upaya penangkapan (effort). Berdasarkan
perhitungan MEY model Fox, jumlah effort yang diperlukan dalam pengelolaan
ikan pelagis berjumlah 759 unit. Demikian juga dengan sumberdaya ikan
demersal, perlu penambahan effort dari 1.255 unit menjadi 1.376 unit atau
sebanyak 121 unit. Penambahan effort ini bisa dilakukan melalui kebijakan
pemberian kredit bunga ringan dari koperasi atau bantuan dana dari pemerintah.
Analisis optimasi dinamik sumberdaya ikan pelagis, menunjukkan bahwa
nilai rente tertinggi dicapai pada discount rate 8% sebesar Rp 672.751,37 juta.
Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang harus dibuat dalam pengelolaan
yang optimal dan lestari pada ikan pelagis adalah penambahan jumlah effort, dari
752 unit menjadi 1.288 unit untuk menghasilkan produksi (harvest) optimal
sebesar 3.465,93 ton. Demikian juga berdasarkan sumberdaya ikan demersal,
menunjukkan bahwa nilai rente tertinggi dicapai pada discount rate 8% sebesar
Rp 1.413.182,92 juta. Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang harus
dibuat dalam pengelolaan yang optimal dan lestari pada ikan demersal adalah
penambahan jumlah effort, dari 1.255 unit menjadi 1.679 unit untuk menghasilkan
produksi (harvest) optimal sebesar 3.415,38 ton dari produksi aktual 2.408,34 ton.
Analisis laju degradasi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa,
belum mengalami degradasi, dengan koefisien tertinggi terjadi tahun 1998 yaitu
sebesar 0,35 dan koefisien terendah tahun 2001 sebesar 0,09. Laju degradasi
cenderung mengalami kenaikan. Demikian juga untuk sumberdaya ikan demersal
dengan nilai koefisien tertinggi terjadi tahun 2002 yaitu sebesar 0,43 dan terendah
pada tahun 2001 dan 2003 sebesar 0,05 dan laju degradasi cenderung fluktuatif.
Analisis laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan belum
mengalami depresiasi dengan koefisien tertinggi terjadi pada tahun 1998 yaitu
sebesar 0,35 dan terendah pada tahun 2001 sebesar 0,08, dengan laju depresiasi
yang cenderung mengalami penurunan. Demikian juga sumberdaya ikan demersal
belum mengalami depresiasi dengan koefisien tertinggi terjadi pada tahun 2002
-
939
yaitu sebesar 0,44 dan terendah tahun 2001 dan 2003 sebesar 0,04, dengan laju
depresiasi yang cenderung fluktuatif.
Analisis Kerugian Ekonomi
Nilai rente ikan pelagis secara agregat mengalami penurunan. Rente
tertinggi dicapai pada tahun 1998, yakni sebesar Rp. 8,22 Milyar dan rente
terendah pada tahun 2003 sebesar Rp. 1,24 Milyar. Rente rata-rata tahun 1998-
1999 sebesar Rp. 7,68 Milyar dan menurun pada tahun 2000-2001 menjadi Rp.
3,58 milyar. Pada tahun 2002 menjelang pemekaran wilayah, rente naik menjadi
Rp. 6,63 Milyar dan kembali turun pada kurun waktu 2003-2008 dengan rente
rata-rata sebesar Rp. 5,86 Milyar. Demikian juga untuk rente ikan demersal yang
secara agregat mengalami penurunan. Rente tertinggi dicapai pada tahun 2002
yakni sebesar Rp. 600,92 Milyar dan rente terendah tahun 2003 sebesar Rp.
34,45 Milyar. Rente rata-rata tahun 1998-1999 sebesar Rp. 151,09 Milyar,
dan menurun pada tahun 2000-2001 menjadi Rp. 105,99 Milyar. Pada kurun
waktu 2003-2008 rente rata-rata menurun menjadi Rp. 46,44 Milyar. Untuk itu,
kebijakan pengembangan sektor perikanan yang harus dilakukan adalah
kebijakan penghentian kegiatan pertambangan timah di daerah yang berpengaruh
besar terhadap sumberdaya perikanan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa : 1) Penambangan timah illegal (TI) apung berdampak negatif bagi
lingkungan pesisir Tanjung Ular Kabupaten Bangka Barat, menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas air laut utamanya suhu, salinitas, kecerahan, dan
kecepatan arus yang kurang optimal bagi pertumbuhan terumbu karang sebagai
tempat hidup ikan; dan 2) Kerusakan lingkungan menyebabkan penurunan
pendapatan nelayan ikan pelagis sebesar 24%, dan pendapatan nelayan ikan
demersal hampir mencapai 70% dalam kurun waktu sepuluh tahun (1998-2008)
-
940
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan: Kebijakan penghentian
kegiatan pertambangan timah di daerah yang berpengaruh besar terhadap
sumberdaya perikanan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2007. Kondisi Terumbu Karang di Babel Memprihatinkan. http://www// kompascommunity. com/index.php. 5 September 2007.
Anonymous. 2009. Perairan Dikeruk, Nelayan Terimpit. Kompas. Sabtu 7 Maret
2009 Anna Suzy. 2003. Model Embeded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-
pencemaran. Disertasi. Bogor. Sekolah Pascasarjana. IPB Fisher S. at al. 2000. Working with Conflict : Skills et Strategies for Action.
Bookcraft Midsomer Norton, Bath. UK. Lipton DW et al. 1995. Economic Valuation of Natural Resources: A Handbook for
Coastal Resources Policymakers. Decision Analysis Series No.5. Coastal Ocean Office. National Oceanic and Atmospheric Administration. U.S. Department of Commerce.
Sobari Moch Prihatna, Diniah dan Widiastuti. 2008. Kajian Model Bionomi
Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layur di Perairan Pelabuhan Ratu: Makalah Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Sobari Moch Prihatna dan Diniah. 2009. Kajian Bio-Ekonomi dan Investasi
Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Padang. Jurnal Mangrove Bung Hatta (Siap Terbit)
-
941
PERTAHANKAN PENDAPATAN PEKEBUN KARET DENGAN MENGENDALIKAN PENYAKIT KERING ALUR SADAP
Tri R Febbiyanti dan Lina Fatayati Syarifa
Balai Penelitian Sembawa Pusat Penelitian Karet
ABSTRAK
Dampak fisiologis yang muncul akibat penyadapan terlalu berat pada tanaman karet adalah munculnya penyakit kering alur sadap (KAS). KAS adalah sebagai akibat tidak seimbangnya antara lateks yang dipanen dengan lateks yang terbentuk kembali. Kelainan fisiologis yang ditampakkan tanaman karet yang bergejala KAS ditandai dengan jumlah lateks yang mengalir setelah penyadapan sangat sedikit atau tidak dihasilkan lateks sama sekali, tetapi pohon dan bidang sadap tampak sehat, yang seolah tanpa gangguan. kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS adalah sebesar Rp 287.300,- per pohon atau sekitar Rp 11.492.000,- per hanca untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d2. Sedangkan untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang disebabkan penyakit KAS adalah sebesar Rp 364.650,- per pohon atau Rp 14.585.000,- per hanca. Namun apabila tanaman KAS tersebut diobati pada sistem sadap 1/2S d/2, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp 267.746,-per pohon maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp 9.103.350,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp 272.076,- per pohon dan Rp 9.250.573,- per hanca (menggunakan pisau scrapping). Sedangkan pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan apabila KAS diobati adalah sebesar Rp 345.096,- per pohon atau sebesar Rp 11.733.250,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap manual) dan Rp 349.426,- per pohon atau Rp 11.880.473,- per hanca (bila menggunakan pisau scrapping) . Pengendalian KAS dapat melalui deteksi dengan menggunakan jarum tusuk, kemudian kulit yang terserang KAS dikerok sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok langsung dioles dengan menggunakan campuran senyawa oleokimia dan pohon diberikan pupuk ektra untuk mempercepat pemulihan. Penyadapan dapat dilaksanakan kembali setelah tumbuh kulit pulihan selama 1-1,5 tahun, dengan ketebalan minimal 7 mm.
Kata Kunci : Kering alur sadap, karet, analisa ekonomi
-
942
PENDAHULUAN
Karet merupakan komoditas ekspor yang sangat strategis bagi
perekonomian Indonesia. Luas perkebunan karet Indonesia pada tahun 2007
sekitar 3,4 juta hektar, 85% diantaranya dikelolah oleh rakyat dengan produksi
2,76 juta ton. Dari produksi tersebut menghasilkan devisa bagi Indonesia sebesar
US$ 4.868 juta dengan volume ekspor mencapai 2,4 juta ton (Amypalupy, 2009).
Karet juga berperan penting dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber
pendapatan lebih dari 10 juta petani dan memberikan kontribusi yang sangat
berarti dalam menyerap tenaga kerja (GAPKINDO, 2005).
Selain itu, perkebunan karet berperan dalam mendorong pertumbuhan
sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangan, dan berfungsi
sebagai pelestari lingkungan. Andalan perkebunan karet di Indonesia bertumpu
pada perkebunan rakyat, yang mencakup areal sekitar 83% (> 3 juta ha) dari total
areal perkebunan karet Indonesia (3,5 juta ha), dan memberikan kontribusi sekitar
76% (2,2 juta ton) dari total produksi karet alam nasional (2,8 juta ton) pada tahun
2008 (Tabel 1).
Tabel 1. Luas areal dan produksi perkebunan karet seluruh Indonesia
Tahun dan jenis pengusahaan
Luas areal (Ha) Produksi (Ton) Rerata produksi (Kg/Ha)
Rakyat/smallholders 3.000.461 2.241.803 929 Negara/goverment 239.543 285.871 1.384 Swasta/Private 276.791 310.982 1.635
Sumber : Statistik Perkebunan Indonesia (2007)
Pada saat ini, permintaan karet dunia terus meningkat, pada tahun 1999,
konsumsi karet alam di pasar dunia 6.650 juta ton, meningkat sampai 8.620 juta
ton pada 2005 (International Rubbeer Study Group, 2006). Sementara itu harga
karet fob SIR 20 juga meningkat dari US $ 510 per ton pada tahun 2001 menjadi
US $ 2.340 per ton pada Juni 2006 (Bisnis Indonesia, 2006-2006; International
Rubber Study Group, 2006; Gapkindo, 2006). Peningkatan konsumsi terutama
disebabkan oleh adanya permintaan dalam jumlah besar dari negara-negara
industri karet di pasar tradisional (Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang) dan
meningkatnya permintaan di pasar baru (China, India, Rusia dan Brasilia), tarikan
peningkatan pertumbuhan ekonomi global dan kesejahteraan negara-negara di
dunia, dan peningkatan harga minyak bumi dan karet sintetis. Cina misalnya,
-
943
diperkirakan masih akan terus meningkatkan konsumsi karet alamnya menjadi
sebesar 4 juta ton per tahun pada tahun 2020 (Pakpahan, 2004; Sinung, 2007 ).
Prospek karet alam yang diperkirakan masih akan sangat terbuka ini
mengakibatkan harga karet meningkat secara drastis. Peningkatan ini
memberikan keuntungan yang berlipat bagi para pekebun dan petani karet.
Keuntungan karet ini meningkatkan taraf hidup dan keinginan yang berlebih dari
petani. Selanjutnya, untuk memenuhi setiap keinginan tersebut, para petani
mengeksploitasi tanaman karet dengan melakukan penyadapan tidak sesuai
dengan norma yang ditentukan, tanpa memperhatikan kesehatan dan
kemampuan tanaman.
Penyadapan merupakan suatu tindakan membuka pembuluh lateks,
supaya lateks yang terdapat di dalam tanaman karet keluar. Cara penyadapan
adalah dengan mengiris kulit batang sebesar 2mm dengan kedalam 1 mm dari
kambium. Penyadapan yang terlalu berat mengakibatkan tanaman tidak mampu
untuk meregenerasi/mensintesis lateks. Selain itu, pemakaian kulit yang
berlebihan mengakibatkan pemulihan kulit bidang sadap tidak normal, yang
berdampak pada produksi dan fisiologis tanaman.
Dampak fisiologis yang muncul akibat penyadapan terlalu berat adalah
munculnya penyakit kering alur sadap (KAS). KAS adalah sebagai akibat tidak
seimbangnya antara lateks yang dipanen dengan lateks yang terbentuk kembali
(Jacob et al., 1994; Dian et al., 1995). Kelainan fisiologis yang ditampakkan
tanaman karet yang bergejala KAS ditandai dengan jumlah lateks yang mengalir
setelah penyadapan sangat sedikit atau tidak dihasilkan lateks sama sekali, tetapi
pohon dan bidang sadap tampak sehat, seolah tanpa gangguan. Bagian kulit
yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat karena pada bagian ini
terbentuk gum (blendok) (Semangun, 2004)
Kasus KAS di perkebunan Indonesia mencapai 5 25 %, kerugian yang
disebabkan oleh penyakit ini lebih dari 1,7 trilyun pertahun (Siswanto, 1997). KAS
menjadi salah satu penyakit yang sangat penting di perkebunan karet Indonesia.
Banyak cara dapat dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah
munculnya penyakit KAS. Pengendalian akan sangat efektif dan tepat sasaran jika
teknik pengendalian dilakukan secara terpadu baik preventif maupun kuratif.
-
944
Tulisan ini memberikan informasi mengenai kerugian ekonomi, teknik pengamatan
penyakit kering alur sadap di lapangan serta cara pengendaliannya.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN KAS DI PERKEBUNAN RAKYAT
KAS adalah penyakit fisiologis akibat penyadapan yang terlalu berat,
apalagi jika disertai dengan penggunaan bahan perangsang lateks ethephon, klon
yang berproduksi tinggi, tanaman yang berasal dari seedling dan tanaman yang
sedang membentuk daun baru (Situmorang dan Budiman, 1984).
Penggunaan sistem eksploitasi yang berlebihan merupakan faktor utama
penyebab tingginya kejadian penyakit KAS. Eksploitasi berat ini terutama
disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi-budaya petani dalam pemenuhan
kebutuhan hidup.
Kurangnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman karet dan
pengetahuan mengenai penyakit KAS, merupakan faktor yang menyebabkan
petani tidak memperhatikan kesehatan tanaman. Selanjutnya, kurangnya
kesadaran petani terhadap pentingnya pengendalian penyakit juga merupakan
penyebab tingginya kejadian penyakit KAS di lapangan. Selain itu, terbatasnya
pendapatan petani untuk melaksanakan pengendalian penyakit, juga
mempengaruhi tingginya kerugian ekonomi akibat penyakit KAS.
Tabel 2. Faktor sosial-ekonomi-budaya yang mempengaruhi perkembangan kekeringan alur sadap
No
Tingkat kerawanan penyakit
Tingkat kemajuan petani
Kondisi sosial-ekonomi- budaya
Dampak
kondisi sosial-ekonomi-budaya
1 Rawan Kurang maju 1. Sarana/penyuluh tidak tersedia PTP/Swasta/PPKR,
2. Pengetahuan kurang, 3. Kesadaran kurang 4. Pendapatan rendah
Penyadapan intensitas tinggi
Akibatnya Intensitas penyakit tinggi
-
945
2 Sedang Agak maju 1. Sarana/penyuluh kadang tersedia
2. Pengetahuan sedang 3. Kesadaran mulai ada 4. Pendapatan cukup
Penyadapan intensitas tinggi mulai dikurangi
Akibatnya Intensitas penyakit mulai berkurang
3 Ringan Maju 1. Sarana/penyuluh tersedia 2. Pengetahuan tinggi, 3. Kesadaran cukup 4. Pendapatan cukup-tinggi
Penyadapan sesuai dengan anjuran
Akibatnya Intensitas penyakit rendah
Pada kondisi seperti tersebut, peran kelembagaan yang terkait sangat diperlukan
untuk memberikan pengetahuan dan wawasan akan pentingnya penjagaan
kesehatan tanaman dan pelaksanaan sistem budidaya yang sesuai anjuran,
karena intensitas searangan KAS akan meningkat bersama-sama dengan
meningkatnya intensitas sadapan dan pemakaian stimulan yang tidak terkendali.
PENGENDALIAN PENYAKIT KAS
Sebaiknya KAS ditanggulangi secara terpadu baik secara preventif
maupun kuratif. Tindakan tersebut dapat meliputi mengetahui sifat klon, sistem
eksploitasi yang tepat, pemeliharaan tanaman dan pengobatan tanaman yang
sakit.
Mengetahui sifat klon sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya KAS.
Ada klon yang rentan terhadap KAS yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR
261 dan RRIC 100 dan ada klon yang tahan yaitu PB 237, PR 107 dan GT 1.
Terhadap klon yang rentan KAS tersebut dihindari sistem penyadapan berlebihan
(Situmorang dan Budiman, 2003).
Salah satu upaya yang sangat penting mencegah terjadinya KAS adalah
melakukan sistem eksploitasi yang tepat. Untuk klon berproduksi tinggi sebaiknya
digunakan sistem eksploitasi rendah misalnya S d/3, S d/2 atau S d 3 ET
1.5 % Ga 1.0.9/y(m) sedang untuk klon berproduksi sedang digunakan sistem
ekploitasi tinggi misalnya S d/3 ET 2.5% Ga 1.0.18/y/(2w) (Sumarmadji et al.,
-
946
2004). Pemakaian kulit diusahakan sehemat mungkin, penyadapan yang
memakai kulit secara berlebihan tidak akan menaikkan produksi, bahkan
memperkecil produksi secara kumulatif. Untuk masing-masing sistem sadap
ternayata ada jumlah konsumsi kulit yang optimal bagi produksi karet. Norma
baku pemakaian kulit secara umum bervariasi sesuai dengan frekuensi sadapan
(Tabel 2).
Tabel 4. Pemakaian kullit yang terbaik sesuai dengan frekunsi sadap (sadap bawah)
Pemakaian kulit Frekunsi sadap
Per sadap (mm) Per bulan (cm) Per tahun (cm)
d/2 1,2 1,8 22
d/3 1,6 1,6 19
d/4 1,8 1,3 15
Sumber : Siagian et al. 2009
Di perkebunan karet rakyat dianjurkan S d/2 tanpa penggunaan ethrel.
Penggunaan ethrel tidak dianjurkannya pada petani karet karena dikhawatirkan
penggunaannya dilakukan tidak sesuai atau berlebihan yang akan berakibat
tingginya kejadian KAS.
Bila terjadi penurunan kadar karet kering yang terus menerus pada lateks yang
dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering alur sadap sampai
10% pada seluruh areal, maka penyadapan diturunkan intensitasnya dari 1/2S d/2
menjadi 1/2S d/3 atau 1/2S d/4, dan penggunaan ethrel dikurangi atau dihentikan
untuk mencegah agar pohon-pohon lainnya tidak mengalami kering alur sadap
(Situmorang dan Budiman, 2003).
Pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan gulma, pemupukan dan
pengendalian penyakit sesuai anjuran perlu dilakukan untuk mempertahankan
kondisi kesuburan tanaman. Pemeliharaan tanaman ini merupakan pendekatan
pengendalian KAS secara preventif.
Pengobatan tanaman dapat dilakukan dengan pengerokan (bark scraping)
pada pohon yang terserang KAS. Setelah pohon diindikasikan terkena KAS
melalui deteksi dini, penyebaran KAS ditentukan pada panel dengan
menggunakan jarum tusuk. Kulit yang terkena KAS diisolasi dengan mengerok
keliling sampai batas kambium. Kemudian panel yang kering dikerok. Pengerokan
-
947
kulit yang kering dilakukan sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai
pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok dioles dengan bahan perangsang
pertumbuhan kulit formulasi oleokimia sekali satu bulan dengan 3 ulangan. Balai
penelitian Sembawa telah menemukan formula untuk menyembukan penyakit kering
alur sadap yaitu Antico F 96. Formula ini mengandung Phytolipid Refinery Oil dan
fungisida terpilih 1,0 5 v/v dan Plant Growth Regulator 250 ppm. Antico F 96 ini juga
dapat mempercepat penyembuhan luka-luka kambium akibat kesalahan
penyadapan.
Pengobatan dengan cara ini pada pohon yang terserang KAS cukup efektif,
sehingga setelah satu tahun, pohon sudah dapat disadap dengan ketebalan kulit
7,0 7,8 mm dan produksi lateks 24 44 g/pohon/sadap (Siswanto et al. 2004).
ANALISIS EKONOMIS KERUGIAN DAN PENYEMBUHAN KAS PADA TANAMAN KARET
Pada tulisan ini, dihitung kerugian yang diakibatkan oleh KAS dan biaya
pengobatannya pada klon karet PB 260 yang disadap dengan sistem sadap 1/2S
d/2 dan 1/2S d/3. Asumsi berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang mana
produksi lateks yang dihasilkan dengan sistem sadap 1/2S d/2 adalah 26 g/p/s
dan dengan sistem sadap 1/2S d/3+ ET2,5% adalah 33 g/p/s (Sumarmadji, 2000
dalam Sumarmadji, et al., 2005).
Apabila diasumsikan bahwa konsumsi kulit sebesar 2 mm per kali sadap,
maka setiap sentimeter kulit pohon dapat menghasilkan: 5 x 26 g = 130 g karet
yang disadap dengan sistem 1/2S d/2 atau senilai (0,130 kg x Rp 35.000) = Rp
4.550,- dan akan menghasilkan : 5 x 33 g = 165 g karet yang disadap dengan
sistem 1/2S d/3 atau senilai ( 0,165 kg x Rp 35.000,-) = Rp 5.775,-. Rincian
perhitungan kerugian dan penyembuhan KAS pada tanaman karet dapat dilihat
pada Tabel 5.
Dari Tabel 5. terlihat bahwa kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS
adalah sebesar Rp 591.500,- per pohon atau sekitar Rp 23.660.000,- per hanca
untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d2. Sedangkan untuk
tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang disebabkan
-
948
penyakit KAS adalah sebesar Rp 750.750,- per pohon atau Rp 30.030.000,- per
hanca.
Apabila tanaman yang terserang KAS tersebut diobati maka diperlukan biaya
sebesar Rp 19.554,- per pohon atau Rp 782.177,- per hanca (bila digunakan pisau
sadap manual). Sedangkan bila pengobatannya menggunakan pisau scrapping
hanya diperlukan biaya sebesar Rp 15.224,- per pohon atau Rp 608.973,-.per
hanca.
Tabel 5. Kerugian akibat penyakit KAS pada tanaman karet dan biaya penyembuhannya
Uraian Per pohon Per hanca
1/2S d/2 1/2S d/3 1/2S d/2 1/2S d/3 KERUGIAN AKIBAT KAS A. Produksi 1. Per kali sadap - Produksi (gram) 26 33 1,040 1,320 - Produksi (Kg) 0.026 0.033 1.040 1.320 2. Per panel - Produksi (Kg) 17 21 676 858 B. Harga karet (Rp) 35,000 C. Kerugian 1. Per kali sadap - Rp/Kg 910 1,155 36,400 46,200 2. Per panel - Rp/Kg 591,500 750,750 23,660,000 30,030,000 BIAYA PENYEMBUHAN Pisau Sadap Manual A. Tenaga Kerja 1. Bark scrapping (Rp) 6,186 6,186 247,433 247,433 2. Pengolesan (Rp) 619 619 24,743 24,743 B. Bahan Antico-F96 (Rp) 12,750 12,750 510,000 510,000 Total Biaya (Rp) 19,554 782,177 782,177 Pisau scrapping A. Tenaga Kerja 1. Bark scrapping (Rp) 1,856 1,856 74,230 74,230 2. Pengolesan (Rp) 619 619 24,743 24,743 B. Bahan Antico-F96 (Rp) 12,750 12,750 510,000 510,000 Total Biaya (Rp) 15,224 15,224 608,973 608,973 KERUGIAN YANG DISELAMATKAN Dengan Pisau Sadap (Rp) 571,946 731,196 19,446,150 24,860,650 Dengan Pisau Scrapping (Rp) 576,276 735,526 19,593,373 25,007,873
Asumsi :
-
949
1 hanca : 400 pohon Tingkat serangan KAS = 10 % 1 panel : 130 cm (konsumsi kulit 2 mm /kali sadap) = 650 kali sadap Harga karet : Rp 35.000,-/Kg (harga karet kering di tingkat pabrik per November 2010) Tenaga kerja bark scrapping apabila menggunakan : - pisau sadap secara manual : 1 HOK = 6 pohon - pisau scrapping : 1 HOK = 20 pohon Tenaga kerja aplikasi bahan : 1 HOK = 60 pohon Upah tenaga kerja adalah Rp 37.115,- per HOK (UMR tahun 2010) Harga bahan Antico-F 96 adalah Rp 85.000,- per liter (dosis pengobatan = 150 ml per 3 kali aplikasi)
Namun dengan pengobatan menggunakan Antico F-96 tersebut pada sistem
sadap 1/2S d/2, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp
571.946,-per pohon atau bila diasumsikan dalam tingkat kesembuhan KAS dalam
satu hamparan sebesar 85% maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah
sebesar Rp 19.446.150,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp
576.276,- per pohon dan Rp 19.593.373,- per hanca (menggunakan pisau
scrapping). Sedangkan pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian
yang bisa diselamatkan dengan menggunakan Antico F96 adalah sebesar Rp
731.196,- per pohon atau bila diasumsikan dalam tingkat kesembuhan KAS dalam
satu hamparan sebesar 85% maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah
sebesar Rp 24.860.650,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap manual) dan
Rp 735.526,- per pohon atau Rp 25.007.873,- per hanca (bila menggunakan pisau
scrapping) .
Dengan menggunakan pisau sadap untuk bark scrappingnya, maka biaya
dari pengobatan KAS per pohon tersebut sudah dapat dikembalikan dengan cara
menyadap pindah panel ke panel sadap yang masih normal (tanpa
pengistirahatan pohon) dimulai 3 bulan setelah aplikasi Antico-F96 ke-1, yaitu
sepanjang 4,3 cm (Rp 19.554/Rp 4.550,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,5
bulan penyadapan (pada sistem sadap 1/2S d/2) dan sepanjang 3,4 cm (Rp
19.554/Rp 5.775,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,7 bulan penyadapan
(pada sistem sadap1/2S d/3). Dengan demikian jika panjang panel KAS yang
diobati sekitar 130 cm per pohon, maka sekitar 125 cm panjang panel per pohon
(pada 1/2S d/2) dan 126 cm panjang panel per pohon (pada 1/2S d/3) merupakan
keuntungan yang bisa diselamatkan dibandingkan jika pohon tidak diobati.
-
950
Apabila menggunakan pisau sadap scrapping untuk bark scrappingnya,
maka biaya dari pengobatan KAS per pohon tersebut sudah dapat dikembalikan
dengan cara menyadap pindah panel ke panel sadap yang masih normal (tanpa
pengistirahatan pohon) dimulai 3 bulan setelah aplikasi Antico-F96 ke-1, yaitu
sepanjang 3,3 cm (Rp 15.224,-/Rp 4.550,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1
bulan penyadapan (pada sistem sadap 1/2S d/2) dan sepanjang 2,6 cm (Rp
15.224,-/Rp 5.775,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,3 bulan penyadapan
(pada sistem sadap1/2S d/3).
Hal ini berarti jika panjang panel KAS yang diobati sekitar 130 cm per pohon,
maka sekitar 126 cm panjang panel per pohon (pada 1/2S d/2) dan 127 cm
panjang panel per pohon (pada 1/2S d/3) merupakan keuntungan yang bisa
diselamatkan dibandingkan jika pohon tidak diobati.
PENUTUP
Penyakit kering alur sadap (KAS) merupakan penyakit penting di perkebunan
karet Indonesia.
Pengobatan tanaman KAS dapat dilakukan dengan pengerokan (bark
scraping) sedalam 3-4 mm kambium dan segera dilakukan pengolesan
dengan menggunakan Antico F96.
kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS adalah sebesar Rp 287.300,-
per pohon atau sekitar Rp 11.492.000,- per hanca untuk tanaman karet
yang disadap dengan sistem 1/2S d2.
Pada tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang
disebabkan penyakit KAS adalah sebesar Rp 364.650,- per pohon atau Rp
14.585.000,- per hanca.
Apabila tanaman KAS tersebut diobati pada sistem sadap 1/2S d/2,
besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp 267.746,-per
pohon maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp
9.103.350,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp
272.076,- per pohon dan Rp 9.250.573,- per hanca (menggunakan pisau
scrapping).
-
951
Pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian yang bisa
diselamatkan apabila KAS diobati adalah sebesar Rp 345.096,- per pohon
atau sebesar Rp 11.733.250,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap
manual) dan Rp 349.426,- per pohon atau Rp 11.880.473,- per hanca (bila
menggunakan pisau scrapping) .
DAFTAR PUSTAKA
Amypalupy, 2007. 100 Langka Bijak Usahatani Karet. Balai Penelitian Sembawa-Pusat Penelitian Karet. Palembang.
Basuki. 1982. Penyakit dan gangguan pada tanaman karet. Pusat Penelitain dan
Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa, Tanjung Morawa. 125 hal.
Budiman, A. 2001. Penanggulangan gejala mati kulit pada tanaman karet di perkebunan rakyat Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Sembawa. Palembang.
Dian, K., Sangare A., Diopoh J.K., 1995. Evidence for specific variations of protein pattern during tapping panel dryness condition development in Hevea brasiliensis. Plant Science, 105 : 207 - 216.
Gomez J.B., Hamzah S., Ghandimathi H., & Ho L.H., 1990. The brown bast syndrome of Hevea : Part II. Histological observations. J. Nat. Rubb. Res., 5 (2) : 90 - 101.
Jacob, J.L., J.C. Prevot & R. Lacrotte (1994). L'encoche seche chez Hevea brasilienis Plantations, recherche, developpement, CIRAD FRANCE, 15 - 21.
. Husairis, K., Sitompul, J., Ginting K., Gunawan, Sipayung, T.V dan Siswanto.
1999. dampak pemulihan bidang sadap terserang KAS dengan aplikasi NoBB di PT. Perkebunan Nusantara III. Pros. Pertemuan. Teknis Biotek. Perkebunan untuk praktek, Bogor 5-6 Mei 1999, 19 30.
PT. Perkebunan Nusantara VII. 1994. Vademecum budidaya kelapa sawit dan
karet. PTPN VII. Bandar Lampung Revli, N.R. 2004. Pertambahan tebal kulit pulihan dan produksi beberapa klon
karet (Hevea brasiliensis Muell.Agr) anjuran yang bergejala kering alur sadap setelah perlakuan formulasi oleokimia. Fakultas pertanian. Universitas Sriwijaya. Indralaya.
-
952
Siswanto. Sumarmadji dan Aron Situmorang. 2004. Status pengendalian penyakit kering alur sadap tanaman karet. Prosiding Pertemuan Teknis Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk Mempertahankan Potensi Produksi Mendukung Indistri Perkaretan Indonesia Tahun 2020. Palembang, 6-7 Oktober 2004.87-96
Situmorang A dan Budiman A. 2003. Penyakit tanaman karet dan pengendaliannya. Balit Sembawa Pusat Penelitian Karet.
Soepadmo. 1980. Suatu pemikiran tentang pengendalian penyakit daun pada tanaman karet. BPP Bogor. Menara Perkebunan. Bogor. 48 (5): 147-154
Sumarmadji. 2001. Pengendalian kering alur sadap dan nekrosis pada kulit tanaman karet. Warta Pusat Penelitian Karet, 2001, 20 (1-3) : 76 - 88
Sumarmadji, U. Junaidi, Karyudi, T.H.S. Siregar, and Island Boerhendhy. 2004.
Rubber exploiation system for Indonesia recommended clones based latex diagnosis. Proc. Int. Rubber Conf. and Product Exhibition 2004, 184-196.
-
953
PENDAPATAN USAHATANI DAN KEMAKMURAN: TERKAITKAH SECARA FUNGSIONAL?
Muhammad Yazid
Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Zone E, Kampus Unsri Indralaya,
Jalan Palembang-Prabumulih, Indralaya
ABSTRAK
Walaupun kenaikan produksi pertanian terus berlanjut, pendapatan petani masih tergolong rendah. Hal ini diduga terkait dengan rendahnya pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan sektor non-pertanian. Sehingga kemakmuran rumah tangga petani masih tertinggal dibandingkan rumah tangga non-pertanian. Kemakmuran rumah tangga petani diharapkan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi. Pada pertanian pasang surut, keterkaitan antara kemakmuran dan produksi pertanian penting dipahami mengingat pertanian adalah satu-satunya pencaharian bagi sebagian besar rumah tangga di wilayah ini. Penelitian ini mencoba menjelaskan keterkaitan peningkatan pendapatan usahatani dengan kemakmuran keluarga petani di pertanian pasang surut. Kajian ini dilakukan melalui survei pada wilayah pertanian pasang surut Telang yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Sampel kajian meliputi 500 keluarga tani. Hasil kajian menunjukkan bahwa beberapa indikator kemakmuran petani seperti kualitas rumah (lantai, dinding dan atap) terkait dengan tingkat pendapatan usahatani. Selain itu, rumah tangga petani yang berpendapatan usahatani lebih tinggi cenderung memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber air bersih dan memiliki fasilitas pembuangan. Pengujian satistik membuktikan bahwa pendapatan usahatani dan kemakmuran rumah tangga petani di lahan pasang surut terkait secara signifikan. Kata kunci: pendapatan usahatani, kemakmuran, pasang surut
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran
ekonomi dan sosial petani. Di satu sisi, peningkatan kemakmuran tersebut
hendak dicapai melalui peningkatan produksi dan perbaikan nilai tukar produk
pertanian. Disisi lain, peningkatan tersebut akan membuka akses yang lebih baik
terhadap perumahan, pendidikan, layanan kesehatan, dan lain-lain. Namun status
ekonomi petani masih jauh di bawah mata pencaharian lainnya. Tidak hanya
pendapatan perkapita petani yang rendah, tetapi pertumbuhan pendapatan sektor
pertanian juga relatif rendah daripada sektor lainnya.
-
954
Usahatani di lahan pasang surut dipandang kurang produktif dibandingkan
dengan usahatani di lahan beririgasi baik di dataran rendah ataupun di dataran
tinggi (Simatupang and Rusastra, 2003). Hal ini disebabkan tidak hanya oleh
faktor fisik lahan, tetapi juga aspek agro-klimat yang mengakibatkan usahatani di
lahan pasang surut menghadapi lebih banyak kendala daripada lahan beririgasi di
dataran rendah atau tinggi. Mayoritas lahan pertanian di wilayah pasang surut
hanya dapat ditanami tanaman pangan semusim sekali dalam setahun, yaitu pada
musim penghujan. Pada musim penghujan, kebutuhan air tanaman dapat
dipenuhi oleh air hujan. Pada beberapa lokasi di pasang surut, musim tanam
kedua dapat dilakukan segera setelah panen musim pertama dengan
memanfaatkan curah hujan yang mulai menurun dan dicukupi oleh sistem irigasi
pasang surut. Namun, pola tanam di lahan pasang surut tetap terbatas dan
produktivitasnya pun masih lebih rendah dibandingkan dengan lahan irigasi.
Memahami kendala-kendala di atas, patut dipertanyakan bagaimanakah
pendapatan usahatani di lahan pasang surut dapat mendukung upaya petani
untuk mensejahteraan petani dan keluarganya. Karena itu kajian ini mencoba
menafsirkan kondisi pendapatan usahatani petani dengan beberapa indikator
kesejahteraan ekonomi keluarga petani yang teramati saat ini.
PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN PASANG SURUT
Indonesia memiliki lahan rawa (lowlands) yang luasnya diperkirakan 33,4
juta ha. Lahan rawa yang luas dijumpai di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua. Dari 33,4 juta ha tersebut, sekitar 60 persen (20,1 juta ha) merupakan
lahan pasang surut (Direktorat Rawa dan Pantai, 2007). Sifat alamiah lahan rawa,
di antaranya kondisi tanah yang fragile, water-logging, tergenang periodik hingga
permanen, dan nilainya terhadap lingkungan, menyebabkan lahan rawa tidak
direkomendasikan untuk pembangunan. Namun, karena pengaruh pasang surut
air yang melimpahkan hara, lahan rawa dinilai sebagai salah satu sumberdaya
lahan yang terbaik untuk pertanian (Ali, Suryadi, Schultz, 2002). Pengembangan
pertanian ke lahan rawa menjadi pilihan karena konversi lahan beririgasi untuk
kebutuhan non-pertanian. Sehingga, pengembangan lahan pasang surut untuk
aktivitas pertanian sebagai pilihan untuk mengatasi tekanan konversi lahan di
-
955
Jawa dan Bali sekaligus mencapai tingkat produksi beras yang cukup haruslah
direncanakan dan dikelola dengan tepat dengan memperhatikan semua alternatif.
Ini bermakna bahwa pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian haruslah
memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat, dampaknya
terhadap lingkungan dan terakomodasinya pembangunan berkelanjutan (Schultz,
2007). Kata kunci untuk mencapainya adalah pengelolaan air yang tepat
(agricultural water management).
Pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian dilaksanakan melalui
proses reklamasi. Reklamasi lahan pasang surut di Indonesia telah mencapai
luasan 1,8 juta ha. Seluas 692.000 ha terdapat di Sumatra dan 373.000 ha di
antaranya berlokasi di Provinsi Sumatera Selatan. Walaupun wilayah yang telah
direklamasi luas, pemanfaatannya untuk kegiatan produksi pertanian masih
rendah. Saat ini hanya sekitar 30 persen lahan yang cocok untuk padi dapat
berproduksi di atas 5 ton per ha. Selain itu, haya sekitar 10 persen saja lahan
yang dapat ditanami dua hingga tiga kali per tahun (IP 200 300). Hal ini
disebabkan oleh kurangnya pemahaman petani terhadap karakteristik agro-fisika
dan kimia lahan rawa dan terbatasnya penerapan sistem pengelolaan air.
Tujuan utama pengembangan lahan pasang surut di Indonesia bersumber
dari tujuan ganda untuk mendukung program transmigrasi dan meningkatkan
produksi pangan untuk mengimbangi berkurangnya produksi akibat konversi lahan
di Jawa yang mencapai 40.000 hingga 50.000 ha setiap tahun. Untuk
mempertahankan tingkat produksi pangan, sekurang-kurangnya setiap ha lahan
beririgasi yang dikonversi harus digantikan dengan 3 ha lahan kering atau sawah
pasang surut.
Tujuan untuk meningkatkan produksi pangan kembali menjadi prioritas
sejak kering berkepanjangan yang berlangsung pada tahun 1991, 1994, dan 1997
yang berdampak kepada peningkatan impor beras hingga 4,5 juta ton per tahun
pada tahun-tahun tersebut. Tujuan peningkatan produksi pangan dengan
mendorong kenaikan produktivitas telah diadopsi menjadi tujuan pengembangan
pertanian pasang surut yang sebelumnya terfokus kepada mendukung program
transmigrasi. Dengan demikian, arah selanjutnya dalam pengembangan pertanian
pasang surut adalah meningkatkan kapasitas produksi dengan mengakomodasi
perkembangan teknologi seperti penggunaan varietas unggul atau high yielding
-
956
varieties (HYVs), pupuk, pengendali hama dan penyakit, peralatan pertanian, dan
perbaikan pengelolaan air.
METODOLOGI
Penelitian survei ini dilakukan di daerah persawahan pasang surut Telang
yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Telang
secara administrasi berada dalam wilayah Kecamatan Muara Telang, Kabupaten
Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Telang dipilih sebagai daerah penelitian
karena merupakan salah satu wilayah reklamasi pasang surut yang paling
produktif yang didukung oleh sistem pengelolaan air yang berkembang.
Sampel survei sebanyak 500 keluarga petani dipilih secara acak dari
sekitar 10.000 keluarga petani dilokasi studi yang meliputi 12 blok sekunder
seluas sekitar 3.072 ha. Data dikumpulkan melalui observasi rumah tangga dan
usahatani serta wawancara terstruktur kepada petani sampel.
Data hasil observasi dan wawancara dianalisis secara deskriptif. Tabel
frekuensi dan tabel silang (cross-tabulation) digunakan untuk menyajikan hasil
analisis karena dipandang cukup untuk menampilkan data deskriptif (Norusis,
2006). Untuk melihat hubungan antara variabel pendapatan dan variabel indikator
kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani, dilakukan uji 2 (kai kuadrat).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi, Produktivitas dan Pendapatan Usahatani di Lahan Pasang Surut
Produksi adalah hasil dari kegiatan penggunaan beberapa masukan (input)
usahatani seperti benih, pupuk, bahan kimia pertanian, dan tenaga kerja. Jumlah
produksi tergantung kepada luas lahan yang diusahakan sehingga antar petani
terdapat perbedaan jumlah produksi yang disebabkan oleh perbedaan luas lahan
yang dimiliki dan diusahakan. Agar dapat dibandingkan, pengukuran produksi
dilakukan menggunakan produktivitas. Ukuran produktivitas independen terhadap
penggunaan input dan menggunakan satuan unit lahan sebagai referensi.
Produktivitas dalam studi ini dinyatakan dengan jumlah produksi per ha lahan
yang diusahakan.
-
957
Hasil analisis data produksi yang diperoleh dari 500 petani sampel
menunjukkan bahwa produksi bervariasi dari serendah 1,5 ton hingga setinggi
79,2 ton padi kering panen (on-farm dried paddy). Tingginya variasi angka
produksi ini disebabkan oleh variasi dalam luas lahan yang diusahakan, yaitu dari
seluas hanya 0,25 ha hingga seluas 12 ha. Produksi rerata adalah 9,75 ton 5,70
ton dan luas tanam rerata 1,84 ha 0,99 ha. Produktivitas rerata di antara petani
sampel mencapai 5, 35 ton 0,88 ton.
Menggunakan harga di tingkat pasar lokal, yaitu Rp 2.100 per kg gabah
kering panen, rerata penerimaan untuk setiap ha sawah adalah Rp 11.235.000.
Dengan rerata biaya per ha sebesar Rp 4.958.460, pendapatan dari usahatani
padi adalah Rp 6.276.540 per ha. Jika diasumsikan rerata lahan usahatani yang
diusahakan per keluarga adalah 2 ha dan hanya sekali tanam dalam setahun
sebagaimana dilakukan mayoritas petani di pasang surut karena kendala agro-
klimat, maka pendapatan total per keluarga tani per tahun adalah sebesar Rp
12.553.080. Nilai pendapatan inilah yang digunakan untuk semua jenis
pengeluaran konsumsi keluarga dan jika memungkinkan diinvestasikan dalam
berbagai bentuk untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga tani, misalnya
perbaikan rumah (lantai, dinding, atap), pembangunan fasilitas rumah (toilet,
pembuangan air), pengadaan listrik, dan lain-lain.
Kesejahteraan Petani
Perubahan kehidupan suatu masyarakat dapat diamati secara material
melalui keadaan rumah dan kelengkapan fasilitasnya, khususnya fasilitas yang
diperlukan untuk mendorong kualitas hidup masyarakat. Keadaan fisik rumah
responden dapat diamati dari aspek-aspek berikut: jenis lantai, dinding dan bahan
atap rumah. Sedangkan kualitas hidup dapat dilihat dari akses rumah tangga
terhadap fasilitas listrik, air bersih, tersedianya toilet pada setiap rumah, dan
sistem pembuangan limbah. Keadaan fisik rumah responden disajikan pada
Tabel 1.
Tipe bangunan rumah paling nampak mengalami perubahan, yaitu dari
rumah asal berupa rumah panggung berbahan papan (elevated temporary
wooden houses) menjadi rumah depok (earthed brick houses). Lantai rumah yang
baru lebih luas daripada rumah asal. Beberapa rumah depok bahkan didesain
-
958
mengikuti perkembangan yang berlaku di kawasan perumahan di perkotaan.
Lantai rumah pada umumnya berupa lantai semen, sebagian diantaranya sudah
dilapisi keramik. Rumah panggung yang telah diperbaiki hanya tinggal sekitar 2
persen saja.
Bahan dinding rumah pada umumnya semen dan hanya sebagian masih
berdinding papan. Persentase rumah berdinding papan lebih tinggi daripada
rumah berlantai papan. Hal ini menunjukkan ada tahapan perubahan dari rumah
panggung berbahan papan menjadi rumah depok berdinding papan sebelum
menjadi sepenuhnya rumah depok, yaitu rumah yang berdinding dan berlantai
semen atau keramik.
Atap rumah terbanyak berupa genting, diikuti oleh seng dan hanya
sebagian kecil saja yang masih berupa atap daun nipah (thatch-palm leaves).
Atap daun nipah adalah tipikal atap rumah panggung sederhana di lokasi studi.
Wujud fisik rumah sering merupakan simbol status dalam masyarakat.
Berdasarkan wujud fisik rumah tampak bukti bahwa telah terjadi perubahan status
ekonomi yang signifikan pada masyarakat di wilayah studi. Perubahan status
ekonomi masyarakat tersebut bersumber dari hasil kegiatan pertanian yang
merupakan pencaharian pokok.
Tabel 1. Proporsi kondisi rumah responden
Kondisi rumah Frekuensi Persentase Persentase kumulatif
Jenis lantai:
Tanah 58 11.6 11.6 Papan 12 2.4 14.1 Semen 354 71.1 85.1 Keramik 74 14.9 100.0 Total 498 100.0
Bahan dinding: Papan 126 25.3 25.3 Semen 372 74.7 100.0 Total 498 100.0
Jenis atap: Daun nipah 5 1.0 1.0 Seng 68 13.7 14.7 Genteng 424 85.3 100.0 Total 497 100.0
-
959
Pengamatan ke dalam isi rumah menunjukkan lebih dalam mengenai
kualitas kehidupan rumah tangga responden. Lebih dari 90 persen rumah
responden telah memiliki akses listrik seperti tampak pada Tabel 2. Listrik pada
umumnya digunakan untuk menyalakan lampu dan beberapa peralatan berdaya
listrik seperti televisi, radio, dan kipas angin.
Sumber utama air minum rumah tangga responden adalah air hujan, diikuti
oleh air dalam kemasan, bersama-sama persentasenya mencapai lebih 95 persen
dari sumber air minum rumah tangga responden. Hampir semua rumah di wilayah
studi memiliki penampung air hujan (rain water collector) dengan rerata kapasitas
tampung 2 m3. Penampung air hujan ini sebagian disuplai melalui program yang
disponsori pemerintah dan sebagian lagi dibuat oleh masyarakat sendiri. Pada
musim hujan, sebagian besar kebutuhan air minum masyarakat dapat dicukupi
dari penampung air hujan. Sedangkan pada masa curah hujan berkurang dan
stok air hujan dalam penampung menurun, kebutuhan air minum dipenuhi dengan
membeli air minum dalam kemasan. Namun, masih ada sebagian kecil rumah
tangga responden yang mengkonsumsi air saluran dan sumur. Kedua sumber air
ini dinilai tidak aman bukan saja karena kurang bersih, tetapi juga dicurigai
terkontaminasi bahan berbahaya yang digunakan untuk mengendalikan hama dan
penyakit tanaman yang terbawa aliran sampai ke saluran.
Tabel 2. Proporsi beberapa aspek kualitas hidup responden
Aspek kualitas Frekuensi Persentase Persentase kumulatif
Listrik: Tidak tersambung 43 8.6 8.6 Tersambung 456 91.4 100.0 Total 499 100.0 Sumber air minum: Sungai dan saluran 1 .2 .2 Sumur 14 2.8 3.0 Hujan 365 73.3 76.3 Air dalam kemasan 118 23.7 100.0 Total 498 100.0 Toilet: Tanpa septic tank 134 27.0 27.0 Dengan septic tank 363 73.0 100.0 Total 497 100.0 Saluran pembuangan: Tiada 37 7.5 7.5
-
960
Ada 458 92.5 100.0 Total 495 100.0
Fasilitas lainnya yang terdapat di dalam rumah yang dapat menunjukkan
kualitas hidup rumah tangga adalah ketersediaan toilet. Sekalipun rumah telah
diperbaiki, masih banyak rumah yang toiletnya tidak dilengkapi dengan tangki
penampung kotoran (septic tank). Selain itu, ada sebagian kecil rumah yang
tidak memiliki fasilitas pembuangan air kotor.
Pendapatan Usahatani dan Kesejahteraan Fisik
Bagi rumah tangga petani, pendapatan dari usahatani pertama kali
digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan dasar. Jika berlebih, kelebihan
pendapatan digunakan untuk berbagai pengeluaran yang dapat dikategorikan
sebagai investasi sesuai kebutuhan rumah tangga, khususnya untuk menambah
modal (lahan pertanian, alat dan mesin pertanian) dan untuk memperbaiki rumah
dan melengkapi fasilitas dalam rumah. Dengan demikian, surplus pendapatan
usahatani terefleksi pada kondisi rumah yang lebih baik yang menggambarkan
kesejahteraan fisik yang lebih tinggi. Analisis berikut menunjukkan bagaimana
perbedaan pendapatan usahatani terkait dengan perbedaan pencapaian beberapa
indikator kesejahteraan fisik rumah tangga (Tabel 3).
Tabel 3. Tabulasi silang hubungan pendapatan usahatani dengan beberapa ukuran kesejahteraan fisik
Tingkat pendapatan
Ukuran kesejahteraan Rendah Menengah Tinggi
Sig2a
Jenis lantai: 1. Tanah 2. Semen 3. Keramik
19.4 69.7 10.9
15.1 71.7 13.3
7.8
71.7 20.5
13.626**
Jenisdinding: 1. Papan 2. Semen
32.7 67.3
28.3 71.7
15.1 84.9
14.803**
Jenis atap: 1. Daun nipah 2. Seng 3. Genting
1.2
23.0 75.8
0.6
10.9 88.5
1.2 7.2
91.6
19.604**
Listrik: 1. Tidak
tersambung
5.4
94.6
10.8 89.2
9.6
90.4
3.411
-
961
2. Tersambung Sumber air minum:
1. Sungai, saluran 2. Hujan 3. Air dalam
kemasan
6.1
75.8 18.2
3.0
74.1 22.9
0.0
69.9 30.1
15.530**
Toilet: 1. Tiada septic tank 2. Ada septic tank
26.1 73.9
27.7 72.3
26.7 73.3
0.118
Saluran pembuangan: 1. Tiada 2. Ada
9.1
90.9
10.3 89.7
3.0
97.0
7.163**
aSignifikansi dari Pearson Chi-square
Tabel 3 menunjukkan bahwa pendapatan usahatani yang lebih tinggi
secara signifikan berkorelasi dengan lantai, dinding dan atap rumah yang lebih
berkualitas. Semakin tinggi pendapatan usahatani, semakin tinggi persentase
rumah tangga petani yang memiliki lantai semen atau keramik, semakin tinggi
persentase dengan dinding batu, dan semakin tinggi persentase atap genting.
Pendapatan usahatani yang tinggi juga berkaitan dengan fasilitas rumah
tangga yang lebih baik dan lebih sehat seperti sumber air minum, fasilitas toilet,
dan ketersediaan saluran pembuangan. Peningkatan pendapatan diikuti oleh
peningkatan penggunaan air minum dalam kemasan. Namun, sebagian kecil
rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah masih mengkonsumsi air
sungai, saluran atau kolam, sedangkan rumah tangga berpendapatan tinggi tak
satupun yang menggunakannya. Akses terhadap listrik tidak menunjukkan
perbedaan antara rumah tangga berpendapatan rendah, menengah dan tinggi.
Hal ini disebabkan listrik disuplai oleh pemerintah sehingga setiap rumah tangga
tanpa membedakan pendapatannya tersambung kepada fasilitas ini.
KESIMPULAN
Dari temuan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
1. Pendapatan usahatani bervariasi mengikuti variasi dalam produksi
pertanian yang disebabkan adanya variasi dalam luas pemilikan lahan.
Petani yang menguasai dan menanam lebih luas memperoleh total
produksi yang lebih tinggi daripada petani yang menguasai dan menanam
-
962
lebih sedikit. Sehingga, pendapatan usahatani diantara mereka juga
berbeda.
2. Rumah tangga yang berpendapatan usahatani tinggi cenderung mencapai
kesejahteraan fisik yang lebih tinggi pula. Mereka cenderung memiliki
rumah dengan kondisi lebih baik, fasilitas rumah tangga lebih baik, dan
menggunakan sumber air minum yang lebih sehat. Dengan kata lain,
peningkatan pendapatan usahatani telah digunakan oleh rumah tangga
responden untuk memperbaiki kesejahteraan hidup fisik keluarga.
3. Upaya terus menerus untuk meningkatkan pendapatan usahatani melalui
peningkatan produktivitas usahatani akan meningkatkan kesejahteraan fisik
rumah tangga petani di wilayah pasang surut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Md. L., F.X. Suryadi, B. Schultz. (2002). Water Management Objectives and Their Realization in Tidal Lowland Areas in Bangladesh and Indonesia. In Proceeding of the International Workshop on Sustainable Development of Tidal Areas. 18th Congress and 53rd IEC Meeting of the International Commission on Irrigation and Drainage. Montreal, Canada, July 22, 2002.
Direktorat Rawa dan Pantai. (2007). Distribusi Lahan Rawa di Indonesia.
Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Kasryno, F. et al. (Eds.). (2003). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. LWMTL. (2006). Technical Guidelines on Tidal Lowland Development Volume I:
General Aspects. Report of the Joint Indonesia Netherlands Working Group. Jakarta, Indonesia.
Norusis, M. J. (2006). SPSS 15.0 Statistical Procedures Companion. Upper
Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Schultz, B. (2007). Development of Tidal Lowlands Potentials and Constraints of
the Tidal Lowlands of Indonesia. Paper disajikan pada Kuliah Umum di Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, 30 Juni 2007.
Simatupang, P. and I. W. Rusastra. (2003). Kebijakan Pembangunan Sistem
Agribisnis Padi. In Kasryno, F. et al. (Eds.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
-
963
ANALISIS PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT
The Analysis Factor of Production and Revenue in Rice Farming in Tidal
Swamp Land
Nasir
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang, Jl.
Kapten Marzuki No. 2446 Kamboja palembang
ABSTRACT The Analysis of Use Production factor and Income of Rice Farming in Lawland (Case in the village of Muara Telang Telang Rejo Sub District Banyuasin) by Nasir. The Study aims to: Analyze the relationship of input use with the production of rice farming, Measuring the efficiency of input use of rice farming, and count the rice farm income tidal wetlands. The experiment was conducted in the village of Muara Telang Telang Rejo district Banyuasin District. The method used in this research is the case with simple random sampling method on the respondent farmers who seek rice farming, while the methods used in data analysis to determine the effect of production factors on the production used regression analysis on the Cobb-Douglas equation, determining the efficiency of factor production efficiency measure used to calculate the level of prices and rates of return using the formula R / C ratio. The results showed that the production factors of land, seed, fertilizer and labor significantly influence on the production while the other production factors, namely: KCl and SP-36 as well as the use of herbicides and insecticides no significant effect on production. Judging from the level of efficiency, the use of all factors of production (land, seed, fertilizer (urea, SP-36 and KCl), pesticides (insecticides and herbicides) and an outpouring of all is not yet efficient workforce.) The number of average farm income of Rp. 4,799,222.20 / hectare, with the ratio of farm revenue at the expense of 2.1 means that every Rp1,- issued will generate revenue of Rp. 2.1, - Keywords: factors of production, efficiency and revenue.
PENDAHULUAN
Latar Belakang. Padi merupakan komoditi penting yang memiliki peran yang
sangat penting yaitu sebagai barang ekonomi yang dikaitkan dengan fungsinya
sebagai penghasil beras yang merupakan bahan pangan pokok, dan merupakan
komoditi strategis yang kadangkala dapat mempengaruhi kondisi politik suatu
Negara. Di Indonesia, dominasi beras atas pangan lainnya, tercermin dari 50%
-
964
total konsumsi pangan nasional dan 96% penduduk Indonesia menjadikan beras
sebagai pangan pokok ketimbang sumber pangan lainnya. Pentingnya komoditi
ini juga terlihat dari tingginya tingkat konsumsi komoditi ini yang mencapai 133
kg/kapita/tahun dan jauh di atas tingkat konsumsi pangan lain (Simatupang,
1999).
Tingginya kebutuhan komoditi ini dimasa mendatang akan terus berlanjut
sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk apalagi saat ini belum ada komoditi
lain yang mampu menggeser keberadaan beras sebagai pangan pokok. Untuk
memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat maka upaya peningkatan
produksi yang dipacu melalui peningkatan produktivitas dengan mendayagunakan
sumberdaya di berbagai wilayah yang berpotensi untuk pengembangan komoditi
tersebut.
Sumatera Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan usahatani
padi di Indonesia. Berdasarkan hasil survey pertanian, produksi padi di Sumatera
Selatan tahun 2008 mencapai 2,97 juta ton GKG, bertambah sebesar 2.181,24
ribu ton (7,93%) dibandingkan tahun 2007. Ditinjau wilayah pengusahaannya,
untuk tahun 2008 kabupaten yang memiliki produksi tertinggi adalah kabupaten
Banyuasin (746,55 ribu ton), Ogan Komering Ilir (789,81 ribu ton) dan OKU Timur
(234,45 ribu ton), (BPS Sumsel, 2009).
Berdasarkan data tersebut, Kabupaten Banyuasin merupakan sentra
penghasil padi di Sumatera Selatan. Beberapa faktor yang menyebabkan
kabupaten ini menjadi sentra beras antara lain karena memiliki lahan yang cukup
luas, berupa lahan pasang surut yang potensial untuk pengembangan tanaman
padi. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Banyuasin (2007), luas lahan yang sudah direklamasi seluas 362.000 hektar. Dari
luasan tersebut yang baru ditanami seluas 153.000 hektar dan dari jumlah
tersebut yang baru dapat ditanami dua kali setahun baru 5.000 hektar yang telah
dapat ditanami dua kali setahun sedangkan sisanya masih ditanami satu kali
setahun, yang sebagian besar berupa lahan pasang surut.
Meskipun dikenal sebagai daerah yang berpotensi untuk pengembangan
usahatani padi, tetapi ternyata produktivitas usahatani di daerah ini masih lebih
rendah. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas
lahan di daerah ini adalah karena kondisi lahan yang marjinal dengan
-
965
produktivitas yang rendah. Rendahnya produktivitas juga disebabkan karena
penggunaan sumberdaya berupa sarana produksi yang masih rendah, Padahal
upaya peningkatan produktivitas usahatani padi dapat dipacu dengan penggunaan
sarana produksi secara optimal, antara lain menurut Suharno et al., (2000) dapat
dilakukan melalui perbaikan teknologi budidaya seperti pemupukan, waktu tanam
yang tepat dan pengendalian jasad pengganggu, dan penggunaan varietas
unggul.
Langkah awal untuk memacu peningkatan produktivitas lahan adalah
dengan cara mengetahui faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap
peningkatan produksi dengan cara melakukan analisis terhadap tingkat efisiensi
penggunaan faktor produksi. Berdasarkan alasan tersebut maka peneliti tertarik
melakukan penelitian Analisis Penggunaan Faktor Produksi dan Pendapatan
Usahatani Padi pada Lahan Rawa Pasang Surut penelitian ini dilaksanakan di di
Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Melalui
penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh penggunaan faktor produksi
terhadap produksi, tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi serta pendapatan
usahatani padi pada lahan rawa pasang surut.
Rumusan Masalah. Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah hubungan penggunaan faktor produksi dengan produksi
usahatani padi.
2. Bagaimanakah tingkat efisiensi pengunaan faktor produksi usahatani padi
pada lahan rawa pasang surut
3. Seberapa besar tingkat pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut
Tujuan dan Kegunaan. Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis hubungan hubungan penggunaan faktor produksi dengan
produksi usahatani padi.
2. Mengukur tingkat efisiensi pengunaan faktor produksi usahatani padi pada
lahan rawa pasang surut
3. Menghitung pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut
-
966
Kegunaan penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi bagi
semua pihak khususnya petani yang berkaitan langsung dengan pengembangan
usahatani padi, dan memberikan manfaat berupa penambahan khazanah
kekayaan ilmu pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan penggunaan
faktor produksi pada usahatani padi.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Telang Rejo Kecamatan
Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja
(purposive) dengan pertimbangan Kecamatan Muara Telang merupakan sentra
usahatani padi yang dianggap telah melaksanakan usahatani secara intensif.
Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu April sampai Mei 2010.
Metode Penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kasus,
dengan alasan petani di Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten
Banyuasin merupakan petani yang telah melaksanakan intensifikasi usahatani
karena telah merupakan salah satu wilayah yang sering menjadi sentra
pengembangan proyek percontohan untuk usahatani padi di lahan rawa pasang
surut.
Metode Penarikan Contoh. Metode penarikan contoh pada penelitian ini adalah
metode acak sederhana dengan jumlah sample sebanyak 38 orang atau 10
persen dari jumlah populasi yang ada.
Metode Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan petani yang
meliputi karakteristik individu, penggunaan factor produksi, produksi, harga
produksi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan
penelitian ini, seperti: Kantor Pemerintah Kecamatan Muara Telang, Dinas
Pertanian dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
terstruktur terhadap petani dengan menggunakan panduan kuisioner.
Metode Analisa Data. Data yang dikumpulkan di lapangan diolah secara tabulasi
dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Untuk menjawab permasalahan
pertama yaitu melihat hubungan antara penggunaan faktor produksi dan produksi
digunakan model persamaan sebabagi berikut, yaitu:
-
967
LnY= Ln+1 LnX1+2 LnX2+3Ln X3+4Ln X4+5 LnX5+6 LnX6+7 LnX7+8 LnX8+e
Keterangan:
Y = Variabel yang dijelaskan (variabel tak bebas) produksi usahatani padi
X = Variabel yang menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi produksi padi,
yaitu: X1 = Lahan (ha), X2 = benih (kg); X3= pupuk urea (kg); X4= pupuk SP-36
(kg); X5=Pupuk KCl (kg); X6= Insektisida (lt); X7= Herbisida (lt); X8= Tenaga Kerja
(HOK); , = Penduga parameter dan i
Kemudian untuk mengetahui apakah variable bebas (X) secara bersama-
sama berpengaruh terhadap variable tak bebas (Y) menggunakan uji F, dengan
hipotesis statistik sebagai berikut :
Ho : 1 = 2 = 3 = ..= 9 = 0 : Y secara simultan dipengaruhi secara tidak
nyata oleh X1, X2, X3,., X8
Ho : 1 = 2 = 3 = ..= 9 0 : Y secara simultan dipengaruhi secara tidak
nyata oleh X1, X2, X3,., X8
JKR / (K 1) Rumus F hitung adalah = ---------------- JKK / (n 1)
Keterangan :
JKR = Jumlah kuadrat regresi; JKK = Jumlah kuadrat kesalahan; k= Jumlah
parameter dugaan; n = Jumlah sampel
Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :
1. Jika F hitung > F tabel , (k 1), (n k) maka Hi diterima yang artinya variabel
bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap produksi usahatani.
2. Jika F hitung > F tabel , (k 1), (n k), maka Ho diterima yang artinya variabel
bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap produksi usahatani.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variable bebas (X) terhadap variable
tak bebas (Y) menggunakan rumus t hitung dengan hipotesis statistik sebagai
berikut :
Ho : bo = 0 : Y secara parsial dipengaruhi secara tidak nyata oleh X1, X2, X3,, X8
H1 : b1 0 : Y secara parsiap dipengaruhi secara nyata oleh X1, X2, X3,, X8
i
-
968
Rumus t hitung = --------
Se (i)
Keterangan :
i.. : Koefisien regresi variable ke 1; Se (i) : Simpangan variable ke-i
Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :
1. Jika thitung > t (/2) tabel maka tolak Ho, artinya variable bebas ke-n
berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani.
1. Jika thitung < t (/2) tabel maka terima Ho, artinya variable bebas ke-n tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani
Untuk menjawab permasalahan kedua yaitu mengukur tingkat efisiensi
penggunaan factor produksi digunakan rumus efisiensi harga yang dirumuskan:
NPMx NPMx = Px atau -------- = 1 Px b.Y.Py NPMx = ----------- X Dimana : b = elastisitas Y = produksi PY = harga produksi Y X = jumlah faktor produksi X PX = harga faktor produksi X Kaidah keputusan:
NPM / Hx > 1---------- Tidak optimal (kekurangan penggunaan faktor produksi)
NPM / Hx = 1---------- Optimal
NPM / Hx < 1----------Tidak optimal (kelebihan penggunaan faktor produksi)
-
969
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Penggunaan Faktor Produksi Terhadap Produksi Padi. Hasil
analisis regresi fungsi produksi usahatani padi di Desa Telang Rejo dihasilkan
persamaan sebagai berikut:
Y = 6,957 - 0,261X1 - 0,075X2 +0,384X3+0,046X4+ 0,171X5 + 0,069X6 + 0,084X7 + 0,186X8
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa secara agregat hubungan antara
faktor produksi dan produksi usahatani padi cukup kuat dengan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,988. Nilai koefisien 0,988 artinya 98,8 persen
perubahan dari produksi usahatani padi dapat dijelaskan oleh variabel sarana
produksi: luas lahan usahatani, jumlah benih, pupuk (urea, SP-36 dan KCl),
herbisida, insektisida serta jumlah curahan tenaga kerja, sedangkan 1,2 persen
dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.
Dari hasil uji F diketahui nilai F-hitung 311,620 pada tingkat kepercayaan 95
persen lebih besar dibandingkan dengan F tabel sebesar 2,27 sehingga
disimpulkan bahwa hasil pengujian berbeda sangat nyata sehingga variabel bebas
luas lahan, benih, pupuk urea, SP36, KCl, herbisida, insektisida dan curahan
tenaga kerja bersama-sama berpengaruh terhadap produksi usahatani padi.
Meskipun secara bersama-sama penggunaan faktor produksi memiliki
pengaruh atau dampak yang kuat terhadap produksi, tetapi hasil analisis
menunjukkan bahwa tidak semua faktor prdoduksi berpengaruh nyata terhadap
produksi. Hasil analisis regresi variabel independen (sarana produksi) dan produk
di ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis regresi variabel independen terhadap variabel dependen
No Variabel Koefisien t-hitung Keterangan
X1 Lahan (ha) 6,957 5,724 Signifikan
X2 Benih (kg) -0,261 -2,557 Signifikan
X3 Urea (kg) 0,384 4,025 Signifikan
X4 SP-36 (kg) 0,046 1,403 Non Signifikan
X5 KCl (kg) 0,171 1,183 Non signifikan
-
970
X6 Insektisida (lt) 0,069 0,953 Non signifikan
X7 Herbisida (lt) -0.084 -1,167 Non signifikan
X8 Tenaga kerja (HOK) 0,186 2,266 Signifikan
Koefisin determinasi (R2) = 0,992;
F-hitung=311,62 dan F Tabel 0,05(8;30)=2,27
t-tabel (0.025)=2,042 ; t-tabel (0.010)=2,457; t-tabel (0.005)=2,750
Tabel 1 memperlihatkan dari delapan variable bebas hanya luas lahan
usahatani, benih, pupuk urea dan tenaga kerja yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap produksi, sedangkan variable lainnya, yaitu: penggunaan pupuk KCl dan
SP-36, penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap produksi usahatani padi.
Lahan usahatani memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap
produksi usahatani dan memiliki hubungan yang negatif dengan koefisien sebesar
-0,261. Nilai koefisin tersebut berarti setiap penambahan 10 persen lahan
usahatani akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi sebesar 2,61
persen. Nilai negative disebabkan semakin luas lahan maka penggunaan sarana
produksi yang digunakan juga makin tidak optimal karena biaya yang dikeluarkan
besar sedangkan petani keterbatasan dana sehingga produksi yang dicapai untuk
satuan luas tertentu makin rendah. Rata-rata kepemilikan lahan ditingkat petani
cukup tinggi yaitu mencapai 1,92 hektar per petani.
Penggunaan benih memiliki pengaruh yang signifikan. Pelaksanaan
penanaman yang dilakukan petani menggunakan sistem tabela (tanam benih
langsung) yaitu dengan cara menaburkan benih secara langsung di lahan
usahatani sehigga jumlah benih yang digunakan besar, yaitu rata-rata 130
kg/hektar dan melebihi dari batas optimal anjuran PPL yang maksimum 60
kilogram perhektar. Penggunaan benih yang berlebihan menyebabkan
pertumbuhan tanaman padi tidak berlangsung optimal karena terjadi persaingan
penyerapan unsur hara oleh tanaman sehingga produksi yang dicapai tidak
optimal. Nilai koefisien benih sebesar 0,075 yang artinya kenaikan 10 persen
penggunaan benih akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi sebesar
0,75 persen.
-
971
Penggunaan pupuk urea memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
produksi dengan nilai koefisien sebesar 0,384 yang artinya setiap penambahan
penggunaan pupuk urea sebesar 10 persen akan menyebabkan peningkatan
produksi sebesar 3,84 persen. Pengaruh positip ini disebabkan karena
kemungkinan ketersediaan unsur hara N pada lahan rawa pasang surut masih
rendah sehingga penggunaan pupuk urea yang mengandung unsure hara N akan
cepat direspon oleh tanaman dalam bentuk peningkatan produksi. Selain itu
jumlah penggunaan pupuk urea lebih banyak dibandingkan dengan pupuk lainnya
yaitu rata-rata 219,87 kilogram perhektar permusim tanam, sehingga tanaman
lebih mudah dalam merespon penggunaan pupuk tersebut.
Penggunaan pupuk SP-36 dan KCl tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap produksi. Penyebabnya karena jumlah penggunaan kedua pupuk masih
jauh dari anjuran lebih rendah dibandingkan dengan pupuk urea, yaitu masing-
masing 134,23 kilogram dan 115,64 kilogram perhektar., padahal menurut
Suwalan et al., (2004) respon tanaman terhadap pemberian pupuk akan
meningkat apabila pupuk yang digunakan tepat jenis, dosis, waktu dan cara
pemberian.
Penggunaan herbisida dan insektisida tidak berpengaruh signifikan
terhadap produksi. Penyebabnya, penggunaan sarana produksi tersebut ditingkat
petani masih belum optimal, yaitu: insektisida pestisida 1,64 liter perhektar
permusim tanam dan herbisida 0,615 liter perhektar permusim tanam. Faktor
lainnya adalah sifat dari sarana ini yang tidak memiliki pengaruh langsung pada
peningkatan produksi seperti sarana produksi lainnya khususnya pupuk. Faktor
lainnya adalah serangan hama yang ditemui di lapangan masih dibawah batas
ambang ekonomi, sehingga penggunaan insektisida masih rendah dan hanya
bersifat pencegahan. Penggunaan herbisida masih rendah karena pemberantasan
gulma sering dilakukan secara manual yaitu dengan melakukan penyiangan
terhadap gulma sehingga penggunaan herbisida juga masih rendah.
Faktor produksi tenaga kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
produksi. Rata-rata curahan tenaga kerja pada usahatani padi adalah sebesar
37,38 HOK perhektar permusim tanam. Hubungan antara curahan tenaga kerja
dengan produksi bersifat positip artinya semakin tinggi curahan tenaga kerja maka
produksi yang dicapai juga makin tinggi dengan nilai koefisien sebesar 0,186,
-
972
yaitu jika terjadi peningkatan curahan tenaga kerja sebesar 10 persen maka
produksi akan meningkat seesar 1,86 persen. Pengaruh curahan tenaga kerja
terhadap produksi sangat beralasan karena tanaman padi memerlukan perawatan
dan pengelolaan yang baik, sehingga curahan tenaga kerja yang tinggi
menyebabkan tanaman akan semakin terpelihara dengan baik sehingga produksi
yang dicapai juga akan meningkat.
Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi. Berdasarkan hasil penelitian
penggunaan faktor produksi pada usahatani padi sebagian besar tidak efisien.
Rincian perhitungan terhadap analisis efisiensi ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani padi
No variabel Sarana propduksi NPMx / Px Keterangan
X1 Lahan (ha) 0,99 Tidak efisien
X2 Benih (kg) 0,89 Tidak efisien
X3 Urea (kg) 9,94 Tidak efisien
X4 SP-36 (kg) 1,39 Tidak efisien
X5 KCl (kg) 3,80 Tidak efisien
X6 Insektisida (lt) 14,12 Tidak efisien
X7 Herbisida (lt) 6,04 Tidak efisien
X8 Tenaga kerja (HOK) 1,17 Tidak efisien
Berdasarkan tabel 2, terlihat bahwa sebagian besar penggunaan faktor
produksi pada usahatani padi belum efisien karena memiliki nilai perbandingan
nilai produk marjinal dan harga faktor produksi yang lebih kecil atau lebih besar
dari satu.
Nilai rasio produk marjinal dan harga faktor produksi lahan lebih kecil dari
satu (0,991) menunjukkan bahwa penggunaan lahan usahatani belum efisien
karena luas lahan yang digunakan petani relatif sudah cukup tinggi yaitu rata-rata
1.92 hektar perpetani, sedangkan jumlah modal yang dimiliki petani untuk
mengusahakan lahan tersebut masih rendah sehingga produksi yang dicapai tidak
optimal. Rendahnya modal yang dimiliki petani terlihat dari belum optimalnya
-
973
penggunaan faktor produksi lain, yaitu: pupuk (urea, SP-36 dan KCl), pestisida
(insektisida dan herbisida) serta curahan tenaga kerja yang belum optimal karena
memiliki rasio nilai produk marjinal dan harga faktor produksi yang lebih besar dari
satu. Nilai lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi
tersebut masih rendah dari jumlah yang dibutuhkan untuk pengelolaan usahatani
padi sehingga perlu dilakukan penambahan agar usahatani tersebut efisien.
Penggunaan benih memiliki rasio nilai produk marjinal dan harga benih
yang lebih rendah dari satu (0,89) menunjukkan bahwa penggunaan benih tidak
efisien karena terjadi kelebihan penggunaan yang seharusnya maksimal 60
kg/hektar perpetani tetapi meningkat mencapai 130 kg/hektar. Terjadinya
kelebihan penggunaan benih menyebabkan biaya yang dikeluarkan tinggi
sedangkan produksi yang dicapai tidak optimal karena terjadi perebutan unsur
hara
top related