a.2014.02 dinda ayu irani 8299 kh januari-februari 2015
Post on 12-Dec-2015
225 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN KEGIATAN SEMINAR MANDIRI
PENGUKURAN EKSPRESI INTERFERON-TAU (IFN-τ) STIMULATED GENE DALAM LEUKOSIT DARAH UNTUK DIAGNOSA
KEBUNTINGAN 18-20 HARI SETELAH INSEMINASI PADA SAPI PERAH
Judul asli:
Measurement of interferon-tau (IFN-τ) stimulated gene expression in blood leukocytes for pregnancy diagnosis within 18-20 d after insemination in dairy
cattleJ. C. Green, C. S. Okamura, S. E. Poock, M. C. Lucy
Animal Reproduction Science 121 (2010) 24-33
Oleh: Dinda Ayu Irani, S.K.H
14/374342/KH/8299
Dosen PembimbingDr. drh. Surya Agus Prihatno, M.P.
BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANANFAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA2015
ii
ii
INTISARI
PENGUKURAN EKSPRESI INTERFERON-TAU (IFN-τ) STIMULATED GENE DALAM LEUKOSIT DARAH UNTUK DIAGNOSA
KEBUNTINGAN 18-20 HARI SETELAH INSEMINASI PADA SAPI PERAH
J. C. Green, C. S. Okamura, S. E. Poock, M. C. Lucy
Diterjemahkan oleh: Dinda Ayu Irani, S.K.H
14/374342/KH/8299
Tujuan penelitian ini untuk mendiagnosa kebuntingan pada 18 hari setelah inseminasi dengan mengukur ekspresi ISG (Interferon-tau Stimulated Gene) dalam sirkulasi leukosit.Berdasarkan hasil microarray, tiga gen terpilih yaitu (Oas1), (Mx2), dan (Isg15). Masing-masing gen diuji denganreal time RTPCR (Reverse Trancriptase Polymerase Chain Reaction).Percobaan pertama, RNA diisolasi dari sapi perah bunting (n=5) dan sapi perah tidak bunting (n=15) masing-masing pada hari ke 14, 16, 18, dan 20 setelah inseminasi. Ekspresi ISG (Mx2 dan Isg15) lebih tinggi pada sapi bunting pada hari ke 18 dan 20. Percobaan kedua dilakukan dengan mengukur ISG pada hari ke 17 (Percobaan 2A) dan hari ke 18 (Percobaan 2B).Percobaan 2A, darah dikoleksi dari sapi bunting (n=16) dan sapi tidak bunting (n=16) pada hari ke 17 setelah inseminasi. Hasilnya, sapi bunting memiliki Mx2 dan Oas1 lebih tinggi tetapi kurva ROC (Receiver Operator Characteristic) menunjukkan hasil bahwa tes kebuntingan tersebut tidak valid untuk digunakan. Percobaan 2B, darah dikoleksi dari sapi bunting (n=21) dan tidak bunting (n=21) pada hari ke 18 setelah inseminasi. Hasilnya, Mx2 dan Oas1 lebih tinggi pada sapi primipara bunting daripada sapi primipara tidak bunting pada hari ke 18. Sapi multipara, bunting maupun tidak bunting memiliki ekspresi ISG yang sama pada hari ke 18.
Koreksi terhadap kemungkinan ekspresi ISG pre-inseminasi diuji pada percobaan terakhir. Sampel pertama, darah dikoleksi dari sapi (n=54) dan sapi dara (n=24) selama fase luteal dari inseminasi sebelumnya. Sampel kedua, darah dikoleksi dari sapi dan sapi dara yang samapada hari ke 18 setelah inseminasi. Perbandingan sampel kedua (setelah inseminasi) dengan sampel pertama (sebelum inseminasi) memiliki tingkat sensivitas yang rendah terhadap ISG untuk deteksi kebuntingan. Terdapat peningkatan ekspresi ISG yang tinggi di hari ke 18 kebuntingan pada sapi dara (lebih dari 1 tahun) yang dapat diukur untuk uji kebuntingan yang valid.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa metode berdasarkan ekspresi ISG yang valid untuk deteksi kebuntingan dapat diterapkan sedini mungkin pada hari 18 tetapi hanya pada sapi dara. Pada sapi yang lebih tua memliki respon lebih rendah sehingga mungurangi tingkat sensitivitas uji ISG pada maupun sebelum hari ke 18.
Kata kunci :ISG, deteksi kebuntingan, sapi.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pengukuran Ekspresi Interferon-tau (IFN-τ) Stimulated Gene
pada Leukosit Darah untuk Diagnosa Kebuntingan 18-20 Hari Setelah
Inseminasi pada Sapi Perah ”, sebagai salah satu persyaratan mencapai derajat
Dokter Hewan pada Koasistensi Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Makalah ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak, maka dengan segala kerendahan hati penyusun
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada :
1. Koordinator Koasistensi Reproduksi dan Kebidanan di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada
2. Dr. drh. Surya Agus Prihatno, M.P.selaku dosen pembimbing dan penguji
3. Staf Laboratorium Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Gadjah Mada
4. Teman-teman kelompok A.2014.02 dan semua pihak yang telah banyak
membantu penulis.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan terutama
tentang pengukuran ekspresi Interferon-tau (IFN-τ) Stimulated Gene pada leukosit
darah untuk diagnosa kebuntingan 18-20 hari setelah inseminasi pada sapi perah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan sebagai koreksi.
Yogyakarta, Maret 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ii
INTISARI iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
MATERI DAN METODE 3
AnalisaMicroarray 3
Percobaan 1 4
Percobaan 2 5
Percobaan 3 6
HASIL 8
AnalisaMicroarray 8
Percobaan 1 9
Percobaan 2A 11
Percobaan 2B 13
Percobaan 3A 14
Percobaan 3B 15
PEMBAHASAN 17
KESIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Rasio fold change antara Mx2 dengan cyclophilin (Mx2_ratio; A), Isg15 dengan cyclophilin (Isg_ratio; B), dan konsentrasi plasma progesteron (C) pada hari ke 14-20 setelah inseminasi pada sapi perah yang terdiagnosa bunting atau tidak bunting setelah inseminasi (P<0,005) 9
Gambar 2.Kurva ROC (Receiver Operator Characteristic) untuk Oas1 dan Mx2 pada hari 17 dan 18 (A, Oas1_ratio. B, Mx2_ratio; Percobaan. 2) dan untuk perbedaan paritas pada hari 18 setelah inseminasi (C, Oas1_ratio. D, Mx2_ratio; Percobaan. 2) 12
Gambar 3.Kurva ROC untuk Oas1, Mx2, Cyclophilin, dan progesteron hari 18 setelah IB pada sapi primipara (A) dan sapi dara nulipara (C), dan kurva ROC untuk rasio antara sampel 2 dengan sampel 1 untuk Mx2, Oas1, dan Cyclophilin pada sapi primipara (B) dan sapi dara nulipara (D) 14
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Gen, GenBank number,primer sequence (forward and reverse primer; 5' to 3') dan lokasi dari primer didalam GenBank sequence untuk gen-gen yang dijelaskan selama proses RTPCR 4
Tabel 2. Affymetrix probe ID, GenBank number, Fold Change pada ekspresi gen [up (naik) atau down (turun)], nilai P, dan nama gen yang mempunyai ekspresi tinggi (level ekspresi > 100) pada RNA yang diisolasi dari leukosit dan ekspresi gen yang regulasinya naik atau turun setidaknya 2 fold dalam sampel darah yang dikoleksi pada hari 15 (sesuai referensi) dan hari ke 18 kebuntingan 8
Tabel 3. Ekspresi gen relative (Ismean ± SEM) untuk ISG dan konsentrasi progesteron darah (mg/ml) pada hari ke 17 atau 18 setelah inseminasi pada sapi (Percobaan 2A, 2B , dan 3A ) atau sapi dara nulipara (Percobaan 3B) 10
Tabel 4. Rasio ekspresi gen untuk Mx2, Oas1, dan Cyclophilin antara sampel 1 (dikoleksi selama fase luteal dari siklus estrus sebelum IB) dengan sampel 2 (dikoleksi pada hari 18 setelah IB) pada sapi (Percb. 3A) dan sapi dara (Percb. 3B) 13
vii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pelaksanaan pengendalian program manajemen reproduksi diantaranya
sinkronisasi estrus atau waktu inseminasi buatan dapat menurunkan days open
dengan pengendalian terhadap jarak waktu dari beranak sampai dilakukannya
inseminasi (Tenhagen et al., 2004). Metode re-sinkronisasi estrus secara khusus
digunakan pada kelompok sapi sehingga inseminasi kedua dapat dilakukan secara
serempak pada sapi-sapi yang tidak bunting setelah inseminasi pertama. Program
re-sinkronisasi estrus secara umum dilaksanakan agar inseminasi yang kedua
dapat dilakukan pada 28-56 hari setelah inseminasi pertama (interval 4-8 minggu).
Tanpa memperhatikan interval, sapi-sapi tersebut harus dilakukan diagnosa
kebuntingan karena program re-sinkronisasi estrus yang menggunakan injeksi
PGF2α akan menyebabkan abortus jika sapi dalam keadaan bunting. Sapi yang
tidak bunting dapat diinseminasi ulang pada interval terpendek (misal 3 minggu
setelah inseminasi pertama) jika diagnosa kebuntingan dapat dilakukan lebih awal
setelah inseminasi. Contohsistem 3 minggu yang dikemukakan oleh Lucy et al.
(2004). Sistem ini membutuhkan metode deteksi kebuntingan yang akurat pada
atau sebelum hari ke 18 setelah inseminasi pertama. Sebab pada saat itu deteksi
kebuntingan dengan USG (ultrasonograpgy) belum bisa dilakukan sehingga
deteksi kebuntingan dengan metode kimiawi dibutuhkan.
Salah satu cara untuk deteksi kebuntingan secara kimiawi pada hari ke 18
setelah inseminasi adalah interferon-tau (IFN-τ), sebuah protein yang
dikarakteristikkan sebagai protein yang diproduksi oleh tropoblas pada hari ke 14
kebuntingan (Thatcher et al., 1995). Sejumlah IFN-τ keluar dari uterus dan dapat
terdeteksi di dalam darah (Oliveira et al., 2008; Bott et al., 2010). Konsentrasi
IFN-τ dalam sirkulasi darah sangat rendah. Walaupun demikian faktanya IFN-τ
dapat digunakan sebagai tes kebuntingan. Sebagai alternatifnya adalah dengan
mengukur respon dari leukosit darah terhadap IFN-τ. Leukosit merespon IFN-τ
1
2
dengan pengeskpresian ISG (IFN-τ Stimulated Gene). Fungsi ISG untuk tujuan
deteksi kebuntingan pada sapi perah telah diperkenalkan baru-baru ini (Han et
al.,2006; Gifford et al., 2007; Stevenson et al., 2007). Han et al.(2006)
menemukan bahwa progesteron darah dan Isg15 dapat diterima sebagai metode
diagnosa kebuntingan jika sampel dikoleksi pada usia (hari) kebuntingan yang
beragam. Gifford et al. (2007) mengemukakan bahwa regulasi ISG meningkat
dalam leukosit darah perifer dari sapi bunting pada hari ke 18 dan 20 setelah
inseminasi buatan (IB) dibandingkan pada hari ke 0 (saat IB). Walaupun
demikian, Stevenson et al. (2007) mengemukakan bahwa Mx2 bukan merupakan
penanda aktif untuk diagnosa kebuntingan pada sapi dara.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan fungsi ISG untuk
diagnosa kebuntingan pada 18 hari setelah inseminasi. Oleh karena itu diakukan
identifikasi terhadap ISG dengan percobaan microarray dan kemudian dilakukan
serangkaian percobaan secara in vivo untuk menentukan kegunaan ISG dalam
deteksi kebuntingan awal pada sapi perah laktasi dan sapi dara perah non laktasi.
2
MATERI DAN METODE
AnalisaMicroarray
Tiga sapi Holstein primipara yang sedang laktasi dari Universitas
Missouri Foremost Dairy Farm dilakukan sinkronisasi estrus dan inseminasi
menggunakan program Presynch-Ovsynch (Moreira et al., 2001). Darah dikoleksi
dari vena atau arteri caudal bagian median kedalam tube yang berisi 100 µl
larutan EDTA (K3) 15% pada hari ke 15 dan 18 setelah IB. Darah diletakkan
dalam es dan isolasi RNA dilakukan dari leukosit dimulai dalam dua jam setelah
pengambilan darah. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dan pemurnian RNA
menggunakan QIAamp® RNAblood kit dan diberikan perlakuan DNase sesuai
dengan instruksi pabrik. RNA yang dimurnikan kemudian direndam kedalam air
steril dengan konsentrasi yang ditentukan dengan pengukuran daya serap pada
260 nm. Pemurnian RNA ditentukan oleh penghitungan rasio daya serap pada 260
nm dan 280 nm menggunakan ND-1000 UV-visSpectrophotometer. RNA
sebanyak 1 µg dielektroforasis melalui 1% agarose gel dalam buffer EDTA
(0,09M Tris-borate dan 0,002M EDTA) dengan ethidium bromide (0,5 µg/ml)
untuk membuktikan keutuhan dari masing-masing sampel. RNA yang diisolasi
disimpan pada suhu -18oC. Sapi kemudian diperiksa menggunakan USG untuk
memastikan bahwa sapi-sapi ini dalam keadaan bunting pada saat dilakukan
pengabilan darah.
Selanjutnya dilakukan analisamicroarray. Sebanyak 0,5 µg RNA
digunakan untuk membuat biotin-labeled target antisense RNA (aRNA)
menggunakan MessageAmpTM Premier RNA amplification kit dengan mengikuti
prosedur pabrik. Singkatnya, total RNA dilakukan reverse transcribe untuk
untaian pertama cDNA dengan oligo (dT) primer pembawa promoter 5 ’-T7
menggunakan ArrayScript reverse transcriptase (Ambion). Untaian pertama
cDNA kemudian mengalami sintesis untaian kedua sehingga mengubahnya
menjadi untaian ganda cDNA untuk transkripsi in vitro. Biotin-labeled aRNA
disintesis menggunakan T7 RNA Transcriptase dengan Biotin-NTP mix. Setelah
3
4
pemurnian, aRNA difragmentasi dalam buffer fragmentasi pada 94oC selama 35
menit. Sebanyak 130 µl larutan hibridisasi yang mengandung 50ng/µl dari
fragmentasi aRNA yang dihibridisasi dengan Bovine Genome Array Genechip
(Affymetrix, Santa Clara, CA) pada 45oC selama 20 jam. Setelah hibridisasi, chips
dicuci dan dicat dengan R-phycoerythrin-sterptavidin dalam Affymetrix fluidics
station 450 menggunakan fluidics protocol Midi_euk2v3-450. Data gambar
didapat dari Affymetrix Genechip scanner 3000. Data dianalisa menggunakan
ArrayStar 2.0 Software (DNASTAR Inc., Madison, WI).
Tabel 1. Gen, GenBank number,primer sequence (forward and reverse primer; 5' to 3') dan lokasi dari primer didalam GenBank sequence untuk gen-gen yang dijelaskan selama proses RTPCR.
Gen GenBank Primer Primer sequence Lokasi primerIsg15 NM_174366 Forward 5'-CAGCCAACCAGTGTCTGCAGAGA-3' 14-36
Reverse 5'-CCAGGATGGAGATGCAGTTCTGC-3' 284-306Mx2 NM_173941 Forwar 5'-CTTCAGAGACGCCTCAGTCG-3' 2071-2090
Reverse 5'-TGAAGCAGCCAGGAATAGTG-3' 2283-2302Oas1 NM_001040606 Forward 5'-ACCCTCTCCAGGAATCCAGT-3' 1157-1176
Reverse 5'-GATTCTGGTCCCAGGTCTGA-3' 1336-1355Cyclophilin NM_178320 Forward 5'-CACCGTGTTCTTCGACACTG-3' 23-42
Reverse 5'-ACAGCTCAAAAGAGACGCGG-3' 65-84
Percobaan 1
Percobaan 1 dilakukan untuk mengetahui ekspresi ISG dari hari ke 14
sampai 20 setelah inseminasi. Sapi Holstein yang sedang laktasi (n=20) di
Universitas Missouri Foremost Dairy Farmdigunakan. Sapi-sapi ini disinkronisasi
pada saat IB menggunakan Ovsynch (Pursley et al., 1997). Sampel darah dikoleksi
pada 14, 16,18 dan 20 hari setelah IB menggunakan metode yang dijelaskan pada
percobaan microarray. RNA diekstraksi dari leukosit dan dilakukan DNase-treat
sesuai dengan prosedur yang digunakan untuk microarray. Sebagian dari sampel
darah,bagian plasma dikoleksi untuk menganalisa progesteron dengan
radioimmunoassay (Kirby et al., 1997; single assay dengan intar-assay CV 7,6%).
Diagnosa kebuntingan dilakukan pada hari ke 30 setelah inseminasi dengan USG.
Lima ekor sapi terdiagnosa bunting dan 15 ekor sapi tidak bunting.
5
Total RNA dari leukosit ditanskriptasi menjadi cDNA menggunakan
SuperScriptTM First Strand RT-PCR kit. Reaksi RTPCR diinisiasi menggunakan
ekuivalen cDNA 25 ng dari total RNA. Selanjutnya cDNA diperjelas dalam ABI
Prism 7500 thermocycler menggunakan Quanti-Tect Sybr Green PCR kit
(Qiagen) dan spesifik untuk Isg15 dan Mx2 (Tabel 1). Cyclophilin A juga
dianalisa dan digunakan sebagai kontrol internal housekeeping gene. Semua hasil
PCR adalah rangkaian DNA dan lebih dari 98% homolog dengan target gen
mereka. Sampel kemudian diuji rangkap tiga.
Data ekspresi gen diekspresikan sebagai perubahan ikatan yang relatif
terhadap standar sampel kontrol yang ada pada masing-masing cawan uji.
Perubahan ikatan ISG juga diekspresikan sebagai rasio terhadap perubahan ikatan
cyclophilin(Isg15-ratio dan Mx2_ratio). Ekspresi gen dan konsentrasi plasma
progesteron dianalisa menggunakan Proc Mixed.Penghitungan statistik didasarkan
pada status kebuntingan, hari setelah inseminasi dan status kebuntingan yang
dipengaruhi oleh hari.
Percobaan 2
Percobaan 2 dilakukan untuk mengetahui ekspresi ISG pada hari ke 17
(Percobaan 2A) dan pada hari ke 18 (Percobaan 2B) setelah IB. Sapi Holstein
yang sedang laktasi dari Universitas Missouri Foremost Dairy Farm digunakan.
Sampel darah dikoleksi pada hari ke 17 (Percobaan 2A; n=32) atau pada hari ke
18 (Percobaan 2B; n=42) setelah IB dan diproses dengan metode yang sama pada
percobaan pertama. Pada hari ke 32 setelah IB dilakukan diagnosakebuntingan
terhadap sapi-sapi tersebut dengan ultrasonography. Sapi yang terdiagnosa
bunting (n=16) pada percobaan 2A dan (n=21) pada percobaan 2B. Sapi yang
tidak bunting (n=16) pada percobaan 2A dan (n=21) pada percobaan 2B.
Total RNA leukosit ditranskripsi menjadi cDNA menggunakan High
Capacity cDNA Rever Reverse Transcription kit. Reaksi RTPCR membutuhkan
penggunaan cDNA sebanyak 25 ng dari total RNA. Metode RTPCR dilakukan
didalam ABI Prism 7500 thermocycler menggunakan Power SYBR Green PCR
6
Master Mix dan primer untuk Oas1, Mx2 dan cyclophilin (Tabel 1). Sampel diuji
dalam rangkap dua.
Data ekspresi gen diekspresikan sebagai perubahan lipatan (fold) secara
relatif terhadap standar sampel kontrol yang dapat ditemukan pada masing-masing
cawan sampel. Perubahan lipatan ISG juga diekspresikan sebagai rasio terhadap
perubahan lipatan cyclophilin(Oas1_ratio dan Mx2_ratio). Analisi secara statistik
dilakukan dengan Proc GLM dari SAS. Model statistik terdiri dari status
kebuntingan, paritas(primipara=pertama kali beranak; multipara= beranak kedua
kali atau lebih) dan interaksi antara status dan kebuntingan.
Percobaan 3
Percobaan 3 dilakukan untuk mengetahui ekspresi ISG pada fase luteal
dari siklus sebelumnya dan pada hari ke 18 setelah IB. Sapi Holstein yang sedang
laktasi (n=54; Percobaan 3A) diseleksi dari peternakan sapi perah di Missouri.
Sapi dara Holstein (n=24; Percobaan 3B) dipilih dari Universitas Missouri
Foremost Dairy Farm
Pada sapi-sapi yang sedang laktasi, pengambilan sampel pertama
dilakukan kira-kira 80 hari postpartus segera setelah injeksi akhir PGF2α
terdahulu saat program IB (Moreira et al., 2001). Berdasarkan teori dari program
yang dijalankan, sapi-sapi tersebut berada pada hari ke 18 siklus estrus saat
pengambilan sampel dilakukan. Pengukuran terhadap konsentrasi plasma
progesteron menunjukkan hasil ≥1,0 ng/ml pada pengambilan sampel pertama
sehingga memenuhi syarat untuk pengambilan sampel kedua. Pengambilan
sampel kedua dilakukan pada hari ke 18 setelah inseminasi. Sampel darah
dianalisa seperti yang sudah dilakukan pada percobaan 2. Sampel disimpan
didalam dry ice sampai tiba di laboratorium kemudian dipindahkan kedalam
ruang penyimpanan dengan suhu -80oC sampai proses selanjutnya dilakukan.
Selanjunya dengan USG dilakukan diagnosa kebuntingan terhadap sapi-sapi
7
tersebut pada hari ke 39 setelah inseminasi. Sebanyak 13 ekor bunting dan 41 ekor
tidak bunting.
Sapi dara yang digunakan untuk percobaan 3B disinkronisasi untuk
inseminasi pertama menggunakan CIDR yang dipasang selama 14 hari dan injeksi
PGF2α (25mg Lutalyse) 16 hari setelah CIDR dilepas. Selanjutnya IB dilakukan
12 jam setelah tanda-tanda estrus teramati. Pengambilan sampel pertama
dilakukan segera sebelum injeksi PGF2α yaitu ketika sapi dara berada pada fase
luteal secara teori (hari ke 13-15 siklus estrus). Pengukuran terhadap konsentrasi
plasma progesteron menunjukkan hasil ≥1 ng/ml pada sampel pertama sehingga
memenuhi syarat untuk dilakukan pengambilan sampel kedua. Sampel kedua
dikoleksi pada hari ke 18 setelah IB. Sampel diproses dan dianalisa seperti yang
telah dilakukan pada percobaan 3A. Sapi dara yang terdiagnosa bunting antara
hari ke 31 sampai 34 sebanyak 17 ekor dan 7 ekor tidak bunting.
Data ekspresi gen dianalisa menggunakan dua metode yang berbeda.
Analisa pertama dilakukan hanya pada data yang berasal dari sampel kedua (hari
ke 18 setelah IB). Sedangkan analisa kedua dilakukan pada kedua data yaitu rasio
dari sampel kedua (hari ke 18 setelah IB) dan sampel pertama (sebelum IB).
Variabel dengan nama “Mx2/Mx2”, “Oas1/Oas1”, dan “cyclo/cyclo” digunakan
untuk menentukan rasio sampel kedua dan sampel pertama. Data dianalisa
menggunakan Proc GLM dalam SAS. Status, paritas, dan status
olehparitas(Percobaan 3A) atau hanya status (Percobaan 3B).
HASIL
Analisa Microarray
Hasil analisaMicroarray menunjukkan terdapat 17 gen memiliki nilai
fold-changelebih besar atau sama dengan 2-fold change pada ekspresi gen
(meningkat atau menurun; Tabel 2) pada hari ke 18 dibandingkan dengan hari ke
15 kebuntingan. Diantara gen-gen dengan peningkatan ≥2-fold adalah gen yang
ekpsresinya diketahui akibat stimulasi oleh IFN-τ (Oas1 7,5-fold meningkat,Isg15
5,2-fold meningkat, Mx2 3,5-fold meningkat, dan Mx1 2-fold meningkat).
Tabel 2.Affymetrix probe ID, GenBank number, Fold Change pada ekspresi gen [up (naik) atau down (turun)], nilai P, dan nama gen yang mempunyai ekspresi tinggi (level ekspresi > 100) pada RNA yang diisolasi dari leukosit dan ekspresi gen yang regulasinya naik atau turun setidaknya 2 fold dalam sampel darah yang dikoleksi pada hari 15 (sesuai referensi) dan hari ke 18 kebuntingan.
Affymetrix Probe GenBank Fold Change Signifikansi (P) Simbol Nama GenBt.20891.1.S1_at NM_001040606 Naik 7,5 <0,019 OAS1Bt.15788.3.S1_at BC149213 Naik 5,3 <0,029 LOC507402Bt.12304.1.S1_at NM_174366 Naik 5,2 <0,037 ISG15Bt.17729.1.A1_at XM_872122 Naik 4,4 <0,033 IFI44Bt.29258.1.A1_a_at NM_001037821 Naik 3,6 <0,042 MADCAM1Bt.8143.1.S1_at NM_173941 Naik 3,5 <0,009 MX2Bt.8436.1.S1_at NM_001075588 Naik 3,0 <0,020 IFI6Bt.23597.1.S1_at NM_001114515 Naik 2,5 <0,036 NUPR1Bt.4675.1.S1_a_at NM_173940 Naik 2,0 <0,010 MX1Bt.19295.1.S1_at NM_001101180 Naik 2,0 <0,032 APOLD1Bt.5002.1.S1_at NM_001035354 Turun 2,1 <0,041 GPD1Bt.26168.1.A1_at CK775191 Turun 2,1 <0,040 Tidak diketahuiBt.29753.1.S1_x_at XM_001251207 Turun 2,2 <0,024 CTL-F3Bt.24554.1.S1_at XM_583848 Turun 2,2 <0,050 ZNF212Bt.16727.1.S1_at NM_001075941 Turun 2,3 <0,005 CLN8Bt.7072.1.S1_at XM_001256316 Turun 2,3 <0,007 ZNF524Bt.26530.3.S1_a_at XM_001788744 Turun 2,6 <0,020 ACAD10
8
9
Percobaan 1
Hasil percobaan 1 menunjukkan adanya pengaruh status dengan hari
(P<0,001) untuk Mx2_ratio (Gb. 1A). Rasio Mx2 meningkat dari hari ke 14
sampai hari ke 20 kebuntingan sapi tetapi masih tidak ada perubahan pada sapi
tidak bunting diperiode yang sama. Pola ekspresi gen untuk Isg15_ratio (Gb. 1B)
sama dengan Mx2_ratio (hubungan status dengan hari; P<0,007). Regresi dari
Mx2_ratio terhadap Isg15_ratio adalah signifikan (R2=0,87; P<0,001; Mx2_ratio=
0,36 + 0,51 x Isg15_ratio). Konsentrasi progesteron plasma tidak berbeda antara
sapi bunting dengan sapi tidak bunting (P>0,10; Gb. 1C).
Gambar 1. Rasio fold change antara Mx2 dengan cyclophilin (Mx2_ratio; A), Isg15 dengan cyclophilin (Isg_ratio; B), dan konsentrasi plasma progesteron (C) pada hari ke 14-20 setelah inseminasi pada sapi perah yang terdiagnosa bunting atau tidak bunting setelah inseminasi (P<0,005).
10
Tabel 3.Ekspresi gen relatif (Ismean ± SEM) untuk ISG dan konsentrasi progesteron darah (mg/ml) pada hari ke 17 atau 18 setelah inseminasi pada sapi (Percobaan 2A, 2B , dan 3A ) atau sapi dara nulipara (Percobaan 3B).
Primipara Multipara Signifikansi (P)
Tidak bunting Bunting Tidak bunting Bunting Status Paritas SxP
Hari 17 (Percb. 2A)N 8 8 8 8Mx2a 2,5±0,7 4,9±1,1 2,1±0,7 2,9±0,7 <0,056 NSb NSOas1 1,6±0,7 3,9±1,0 0,9±0,7 2,4±0,6 <0,018 NS NSCyclophilin 4,8±1,0 5,6±1,5 5,6±1,0 5,8±0,8 NS NS NSMx2_ratioa 0,6±0,2 1,3±0,3 0,5±0,2 0,6±0,2 <0,105 NS NSOas1_ratio 0,4±0,2 0,9±0,3 0,2±0,2 0,5±0,1 <0,045 NS NSProgesteron 3,6±0,7 4,6±1,1 3,2±0,8 4,6±0,6 NS NS NS
Hari 18 (Percb. 2B)N 10 6 11 15Mx2 9,4±4,0 32,2±5,2 5,3±3,8 8,2±3,3 <0,004 <0,002 <0,021Oas1 2,4±1,3 7,5±1,5 1,0±1,1 2,0±0,9 <0,012 <0,005 <0,083Cyclophilin 10,3±2,0 13,1±2,5 9,4±1,9 14,0±1,6 <0,074 NS NSMx2_ratio 0,7±0,2 2,3±0,3 0,6±0,4 0,7±0,2 <0,001 <0,001 <0,005Oas1_ratio 5,9±2,4 19,9±3,1 3,1±2,3 5,1±1,9 <0,003 <0,001 <0,020Progesteron 3,5±0,5 5,0±0,6 2,5±0,5 3,2±0,4 <0,036 <0,009 NS
Hari 18 (Percb. 3A)N 13 11 28 2Mx2 0,6±0,1 1,3±0,1 0,6±0,1 0,3±0,3 NS <0,011 <0,017Oas1 0,7±0,2 1,6±0,2 0,7±0,1 0,3±0,5 NS <0,017 <0,021Cyclophilin 1,4±0,1 1,3±0,1 1,3±0,1 1,5±0,2 NS NS NSMx2_ratio 0,4±0,1 1,0±0,1 0,5±0,1 0,2±0,3 NS <0,026 <0,015Oas1_ratio 0,5±0,2 1,3±0,2 0,6±0,1 0,2±0,5 NS <0,074 <0,037Progesteron 4,6±0,8 6,5±0,9 3,5±0,5 5,6±2,0 NS NS NS
Hari 18 (Percb. 3B) Nulipara Signifikansi (P)
Tidak bunting Bunting StatusN 7
1,0±0,91,9±1,61,0±0,10,9±0,81,7±1,54,7±1,1
174,4±0,69,3±1,11,1±0,14,2±0,58,9±1,010,4±0,7
Mx2 <0,004<0,001NS<0,003<0,001<0,001
Oas1CyclophilinMx2_ratioOas1_ratioProgesteron
aPercobaan 2A: Mx2 dan Mx2 rasio mempunyai pengamatan yang lebih sedikit (N=3) untuk sapi primipara bunting
bNS = not significant. Tidak signifikan (P>0,10)
11
Percobaan 2A
Percobaan 2A menggunakan sampel darah yang dikoleksi pada hari ke 17
setelah inseminasi. Ekspresi gen Mx2 cenderung lebih tinggi pada sapi bunting
dibandingkan dengan sapi tidak bunting (P<0,056) dan rasio terhadap
cyclophilin(Mx2_ratio; P<0,105; Table 3). Demikian juga, ekspresi Oas1 lebih
tinggi pada sapi bunting dibandingkan pada sapi tidak bunting (Oas1; P<0,018;
Oas1_ratio, P<0,045). Sedangkan untuk cyclophilindan progesteron tidak
dipengaruhi oleh status kebuntingan (P>0,10). Tidak ada pengaruh dari
paritasatau hubungan status oleh paritas untuk Mx2, Oas1, Mx2_ratio, Oas1_ratio,
cyclophilin, atau progesteron. Kurva ROC untuk Oas1_ratio dan Mx2_ratio pada
hari ke 17 (Gb. 2A dan 2B) menunjukkan bahwa hasil tidak valid atau tidak dapat
dibuktikan. Regresi dari Mx2_ratio terhadap Oas1_ratio hasilnya signifikan (R2=
0,82; P<0,001; Mx2_ratio= 0,20 + 1,15 x Oas1_ratio).
12
Gambar 2. Kurva ROC (Receiver Operator Characteristic) untuk Oas1 dan Mx2 pada hari 17 dan 18 (A, Oas1_ratio. B, Mx2_ratio; Percobaan. 2) dan untuk perbedaan paritas pada hari 18 setelah inseminasi (C, Oas1_ratio. D, Mx2_ratio; Percobaan. 2). Kurva ROC adalah gambaran grafik dari true positive rate dan false positive rate ketika kenaikan cut-off dari sebuah tes diterapkan. Jika keduanya, true positive rate dan false positive rate menurun ketika cut-off dinaikkan kemudian grafik akan membentuk garis diagonal ditengah dan tes tersebut tidak dapat digunakan. Pembelokan garis kearah kiri mengindikasikan bahwa sebuah tes dapat digunakan karena memiliki nilai true positive rate relatif tinggi dan false positive rate relatif rendah. Sebuah tes yang ideal memiliki kurva ROC yang sepenuhnya membelok kearah kiri dengan cut-off mencapai 100% true positive dan 0% false positive.
13
Percobaan 2B
Percobaan 2B menggunakan sampel darah yang dikoleksi pada hari 18
setelah imseminasi. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara status dengan
paritas untuk Mx2 (Mx2, P<0,021; Mx2_ratio, P<0,005) dan Oas1 (Oas1,
P<0,083, Oas1_ratio, P<0,020; Tabel 3). Sapi primipara bunting mempunyai
ekspresi ISG yang lebih tinggi daripada sapi primipara yang tidak bunting.
Ekspresi gen pada sapi multipara baik bunting maupun tidak mempunyai level
yang sama. Konsentrasi progesteron plasma lebih tinggi pada sapi primipara
dibandingkan dengan sapi multipara (paritas, P<0,009) dan lebih tinggi pada sapi
bunting daripada sapi tidak bunting (status, P<0,036). Kurva ROC untuk
Oas1_ratio dan Mx2_ratio pada hari ke 18 (Gb. 2A dan 2B) lebih meningkat dari
percobaan 2A tetapi tetap gagal untuk menunjukkan bahwa percobaan ini dapat
digunakan. Sedangkan kurva ROC berdasarkan paritas ditunjukkan pada Gb. 2C
dan 2D. Sapi primipara menunjukkan kurva ROC yang lebih tinggi dibandingkan
sapi multipara. Data yang diperoleh dari sapi primipara adalah mempunyai
tingkat true positif rate 100% dengan false positif rate kurang dari 30% untuk
Oas1_ratio dan Mx2_ratio. Regresi dari Mx2_ratio terhadap Oas1_ratio signifikan
(R2= 0,76; P<0,001; Mx2_ratio= 0,28 + 0,09 x Oas1_ratio).
Tabel 4. Rasio ekspresi gen untuk Mx2, Oas1, dan Cyclophilin antara sampel 1 (dikoleksi selama fase luteal dari siklus estrus sebelum IB) dengan sampel 2 (dikoleksi pada hari 18 setelah IB) pada sapi (Percb. 3A) dan sapi dara (Percb. 3B).
Hari 18 (Percb. 3A) Primipara Multipara PTidak bunting Bunting Tidak bunting Bunting Status Paritas SxP
N 13 11 28 2Mx2/Mx2 1,0±0,5 2,8±0,5 1,8±0,3 0,8±1,2 NSa NS <0,071Oas1/Oas1 0,9±0,8 3,0±0,9 2,3±0,5 0,9±2,6 NS NS NSCyclo/Cyclo 1,0±0,1 1,1±0,1 1,1±0,1 1,1±0,3 NS NS NS
Hari 18 (Percb. 3B) Nulipara PTidak bunting Bunting Status
N 7 17Mx2/Mx2 1,8±1,4 6,1±0,9 <0,015Oas1/Oas1 1,0±1,3 6,3±0,8 <0,003Cyclo/Cyclo 0,9±0,1 0,9±0,1 NS
aNS = not significant. Tidak signifikan (P>0,10)
14
Gambar 3. Kurva ROC untuk Oas1, Mx2, Cyclophilin, dan progesteron hari 18 setelah IB pada sapi primipara (A) dan sapi dara nulipara (C), dan kurva ROC untuk rasio antara sampel 2 dengan sampel 1 untuk Mx2, Oas1, dan Cyclophilin pada sapi primipara (B) dan sapi dara nulipara (D).
Percobaan 3A
Percobaan 3A menggunakan sampel beragam yang dikoleksi dari sapi-
sapi yang laktasi. Hasilnya menunjukkan tidak adanya efek dari status, paritas,
atau status terhadap paritas untuk Mx2, Mx2_ratio atau Oas1_ratio pada sampel
yang dikoleksi sebelum inseminasi (P<0,045; 0,9±0,1 versus 0,4±0,2 untuk sapi
primipara dan multipara). Sampel yang dikoleksi pada hari ke 18 setelah
inseminasi terdapat hubungan antara status dengan paritas untuk Mx2 (Mx2,
P<0,017; Mx2_ratio, P<0,015) dan Oas1 (Oas1, P<0,021; Oas1_ratio, P<0,037;
Tabel 3). Sapi primipara bunting mempunyai ekspresi ISG yang lebih tinggi
15
daripada sapi primipara tidak bunting. Sedangkan pada sapi multipara baik
bunting maupun tidak bunting mempunyai ekspresi yang sama untuk kedua gen
tersebut. Konsentrasi progesteron plasma menunjukkan jumlah yang sama antara
sapi primipara dan multipara dan tidak ada pengaruh terhadap status kebuntingan.
Walaupun sapi primipara bunting mempunyai ekspresi ISG yang lebih tinggi,
kurva ROC untuk Mx2_ratio dan Oas1_ratio pada sapi primipara bunting gagal
untuk menunjukkan bahwa percobaan tersebut dapat digunakan (Gb. 3A).
Sebagaimana yang diharapkan, cyclophilin(control housekeeping gene)
menunjukkan sedikit kegunaan dari tes kebuntingan tersebut.
Saat rasio dari ekspresi gen sampel 2 (setelah AI) dibagi oleh sampel 1
(sebelum IB) dianalisa (Tabel 4), ada hubungan antara status dengan paritas untuk
Mx2/Mx2 (P≤0,071) tetapi untuk Oas1/Oas1 tidak signifikan (P=0,156). Untuk
Mx2/Mx2, sapi primipara bunting mempunyai ekspresi Mx2 lebih tinggi ketika
dibandingkan dengan sapi primipara tidak bunting. Pada sapi multipara bunting
maupun tidak bunting memiliki nilai Mx2/Mx2 yang sama. Sehingga diduga tidak
ada efek dari status, paritas, atau hubungan status dengan paritas pada
cyclophilin/cyclophilin(control housekeeping gene). Kurva ROC untuk rasio
sampel 2 dengan sampel 1 pada sapi primipara (Gb. 3B) sama pada percobaan 2
(Gb. 2C dan 2D) ketika hanya ada satu sampel setelah IB yang dianalisa.
Identifikasi terhadap kurva ROC yang terbentuk pada sapi primipara adalah nilai
true positive rate 100% dan nilai false positive rate 54% dan 31% untuk
Oas1/Oas1 dan Mx2/Mx2.
Percobaan 3B
Percobaan 3B menggunakan sapi dara sebagai sampel. Sampel yang
dikoleksi pada hari ke 18 setelah inseminasi, terdapat efek dari status untuk Mx2
(P<0,004), Mx2_ratio (P<0,003), Oas1 (P<0,001), Oas1_ratio (P<0,001), dan
progesteron plasma (P<0,001) (Tabel 3). Pada masing-masing analisa, sapi dara
bunting memiliki ekspresi ISG dan progesteron plasma yang lebih tinggi daripada
sapi dara tidak bunting. Peningkatan kurva ROC dari analisa dengan sampel
tunggal yang dikoleksi pada hari ke 18 setelah IB hasilnya sama untuk
16
progesteron, Mx2_ratio, Oas1_ratio (Gb. 3C). pada masing-masing kasus,
terdapat 82% true positive rate dan 0% false positive rate. Ketika data dianalisa
sebagai rasio antara sampel 2 (setelah AI) dan sampel1 (sebelum AI) (Tabel 4),
menunjukkan adanya efek dari status untuk Mx2/Mx2 (P<0,015) dan Oas1/Oas1
(P<0,003). Pada masing-masing analisa, sapi dara bunting mempunyai rasio yang
lebih tinggi daripada sapi dara tidak bunting. Jika dibandingkan dengan kurva
ROC pada sampel tunggalyang dikoleksi ada hari ke 18 setelah IB pada sapi dara
(Gb. 3C), kurva ROC untuk rasio sampel 2 dengan sampel 1 (Gb. 3D) sama untuk
Mx2 atau meningkat untuk Oas1. Sedangkan untuk tes kebuntingan pada hari ke
18 dapat ditentukan dengan penggunaaan Oas1/Oas1 karena memiliki nilai true
positive rate 100% dan false positive rate 0% (Gb. 3D).
PEMBAHASAN
Alasan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengembangkan pengujian
yang dapat digunakan untuk mendeteksi kebuntingan sapi sebelum hari ke 18
sehingga sapi yang tidak bunting dapat disinkronisasi saat IB pada hari ke 21
setelah IB yang terdahulu. Sistem ini diusulkan oleh Lucy et al. (2004). Pada
system ini, sapi dilakukan diagnosa kebuntingan pada hari ke 18 setelah IB dan
sapi tidak bunting diinjeksi PGF2α pada siang harinya (hari ke18) atau pagi hari
pada hari ke 19 untuk meregresi korpus luteum. Setelah 2-2,5 hari (hari ke 21)
sapi diinjeksi dengan GnRH dan dilakukan IB. Sinkronisasi estrus pada sapi pada
akhir masa estrus akan menguntungkan karena korpus luteum telah mengalami
regresi sepenuhnya akibat injeksi PGF2α dan folikel dominan besar terdapat pada
ovarium.
Selama perkembangan kebuntingan pada sapi akan mensintesis dan
mensekresikan IFN-τ selama pengenalan maternal selama kebuntingan. IFN-τ
(Interferon-tau) bekerja pada sirkulasi leukosit darah menyebabkan peningkatan
ekspresi dari pengikut gen. ISG (Interferon-tau Stimulated Gene) dapat dideteksi
ketika RNA diisolasi dari leukosit dan diuji dengan RTPCR untuk tujuan diagnosa
kebuntingan. Pada percobaan ini telah ditemukan ISG baru dari uji microarray
yang dilakukan terhadap leukosit yang dikoleksi dari sapi bunting 15 hari dan 18
hari setelah inseminasi. Hasil uji microarray menunjukkan bahwa kelas utama
dari gen yang mengalami peningkatan regulasi dalam leukosit pada kebuntingan
awal pada sapi adalah ISG (Tabel 2). Selain Isg15 dan Mx2 (gen yang diketahui
meningkat; Han et al., 2006; Gifford et al., 2007), telah berhasil diidentifikasi
gen-gen yang lain. Salah satunya adalah Oas1 yang mana diketahui juga
terstimulasi oleh interferon (Kjaer et al., 2009) tetapi belum pernah digunakan
sebagai tes kebuntingan. Pada penelitian ini digunakan dua penanda lama (Isg15
dan Mx2) dan juga satu penanda baru (Oas1) untuk kebuntingan pada
sapi.Cyclophilin juga dilakukan tes sebagai control housekeeping gene. Pada
percobaan ini terdapat dugaan bahwa tidak ada hubungan antara cyclophilin
dengan status kebuntingan pada hewan. Hubungan dalam ekspresi gen untuk ISG
17
18
yang berbeda secara khusus sangat tinggi (R2 lebih besar dari 0,75; contohnya
Mx2 dan Isg15 pada percobaan 1 dan Mx2 dan Oas1 pada percobaan 2).
Tingginya hubungan mengindikasikan bahwa ISG merespon sinyal (IFN-τ) yang
sama dan uji dengan ISG yang beragam untuk deteksi kebuntingan tidak
dibutuhkan.
Pada uji yang sekarang dilakukan, Isg15 dan Mx2 dapat dideteksi sedini
mungkin pada hari ke 18 kebuntingan (Percobaan 1; Gb.1). Pada waktu yang lebih
awal (hari ke 14 atau 16), terlihat bahwa ISG mengalami peningkatan tetapi tidak
konsisten dan peningkatan yang signifikan tidak terdeteksi pada sapi bunting.
Perbedaan ekspresi gen ISG pada sapi bunting dan sapi tidak bunting tampak
meningkat seiring dengan bertambahnya waktu agaknya karena pengaruh
pertumbuhan umur kebuntingan. Jumlah ISG terbesar ditemukan pada hari ke 20
setelah inseminasi pada sapi bunting yaitu disaat kebuntingan sedang mensintesis
sejumlah besar IFN-τ (Thatcher et al., 1995).
Pada uji ini, hari ke 17 dipilih sebagai target untuk tes kebuntingan awal.
Jika tes ini dapat dikembangkan pada hari yang dipilih maka sapi yang
diinseminasi dapat dideteksi pada hari ke 17 dan sapi yang tidak bunting dapat
diinjeksi dengan PGF2α pada hari ke 18. Walaupun ISG meningkat secara
signifikan pada hari ke 17 (Tabel 3) tetapi hasil kurva ROC (Gb. 2 dan 3)
menunjukkan bahwa tes ini tidak dapat dibuktikan. Kurva ROC merupakan
gambaran grafik dari nilai true positive rate dan false positive rate ketikacut-off
dari sebuah tes digunakan. Ketika cut-off tes sangat rendah, nilai true positive
rate 100% (optimal) tetapi nilai false positive rate juga 100% karena semua sapi
yang tidak bunting dikatakan bunting. Peningkatan cut-off (grafik bergeser kekiri)
akan menurunkan nilai false positive rate. Pada contoh yang optimal, true positive
rate akan bernilai 100% saat cut-off ditingkatkan dan nilai false positive rate akan
bergeser kearah 0%. Jika keduanya, true positive rate dan false positive rate
menurun ketika cut-off ditingkatkan maka grafik yang terbentuk adalah garis
diagonal ditengah. Hal ini mempunyai arti bahwa sebuah tes tidak dapat
digunakan (contoh garis untuk cyclophilin pada Gb. 3). Garis yang dibelokkan
kekiri dari tengah menggambarkan bahwa sebuah tes mempunyai kegunaan yang
19
tinggi karena mempunyai nilai true positive rate yang cenderung tinggi dan false
positive rate yang rendah. Penerapan untuk penjelasan diatas terlihat pada kurva
ROC dari percobaan 2 (hari 17, Gb. 2A dan 2B), terlihat jelas bahwa cut-off tidak
dapat dibuktikan ketika tes dilakukan pada hari ke 17 setelah IB.
Pada percobaan selanjutnya (Percobaan 2B), pengembangan tes pada hari
ke 18 setelah inseminasi dilakukan. Pemilihan waktu pada tes ini tidak begitu
diinginkan karena akan ada sedikit waktu untuk melengkapi tes sebelum
dilakukan pemberian PGF2α. Pengamatan lebih ditekankan pada respon ISG pada
hari ke 18 (Tabel 3), tetapi secara tidak terduga hubungan antara status dengan
paritas terdeteksi. Hubungan itu terlihat dengan adanya respon ISG yang lebih
tinggi pada sapi primipara dibandingkan dengan sapi multipara. Peningkatan ISG
hampir tidak terdeteksi pada sapi multipara bunting pada hari ke 18.
Alasan untuk perbedaan respon ISG pada masing-masing
paritas(primipara dan multipara) tidak diketahui. Salah satu kemungkinannya
adalah adanya perbedaan ukuran embrio pada sapi primipara dan multipara.
Perbedaan ukuran inilah yang mempengarui kemampuan dalam memproduksi
IFN-τ oleh embrio. Hipotesis ini didukung oleh penemuan dari Berg et al. (2001),
yang menemukan bahwa sapi dara nulipara mempunyai embrio yang lebih besar
daripada sapi selama periode maternal recognition saat kebuntingan.
Kemungkinan, perbedaan ini berlaku untuk membandingkan antara sapi yang
lebih muda (primipara) dengan sapi yang lebih tua (multipara). Kemungkinan
yang lain adalah adanya perbedaan fungsi imun pada sapi primipara dan sapi
multipara yang memberi kecenderungan bahwa sapi multipara memiliki respon
yang lebih rendah dalam merespon IFN-τ. Sebagai kemungkinan yang lain bahwa
ukuran sapi multipara yang relatif lebih besar dapat mengurangi konsentrasi
sistemik dari IFN-τ dan respon ISG dalam leukosit darah.
Tanpa memperhatikan penyebab, faktanya bahwa sapi multipara gagal
menunjukan respon ISG yang kuat pada hari ke 18 sehingga membatasi kegunaan
tes pada hari ke 18. Sapi primipara mempunyai respon yang lebih tinggi dan kurva
ROC yang terbentuk lebih tinggi pada sapi primipara dibandingkan sapi multipara
(Gb. 2C dan 2D). Bahkan pada sapi primipara walaupun hasil kurva ROC dapat
20
dibaca tetapi memiliki nilai false positive rate yang tinggi. Asumsinya bahwa
100% true positive rate terjaga (contoh semua sapi yang bunting dikatakan
bunting dan sapi tidak bunting dikatakan tidak bunting) kemudian 20% total sapi
bunting sebenarnya tidak bunting.
Percobaan 2 dan 3 dilakukan pada sapi setelah inseminasi. Satu
penjelasan yang mungkin terhadap ketidakmampuan penelitian ini untuk
dijadikan tes yang terpercaya adalah bahwa beberapa sapi mungkin dapat
mengalami kehilangan embrio sebelum dikategorikan bunting atau tidak bunting
dengan USG (setelah hari ke 30). Sapi-sapi ini mungkin secara tes terdiagnosa
bunting pada hari ke 17 atau 18 tetapi setelah dilakukan USG terdiagnosa tidak
bunting. Tidak ada cara mudah untuk menguji berapa banyak sapi yang
mengalami kehilangan embrio dan pengaruhnya terhadap hasil nilai false positive
rate. Kemungkinan kedua adalah bahwa masing-masing sapi mempunyai dasar
ekspresi ISG yang lebih besar atau lebih kecil di dalam leukosit. Untuk
memeriksa kemungkinan ini, percobaan terakhir dilakukan pada sapi primipara
dan multipara (Percobaan 3A) atau pada sapi dara nulipara (Percobaan 3B)
dimana dilakukan tes ISG pada siklus estrus dari IB sebelumnya dan kemudian
dites kembali pada hari ke 18 setelah IB. Sesuai dengan dugaan, jumlah ekspresi
ISG sama pada sapi bunting dan tidak bunting sebelum inseminasi (sampel 1).
Sedangkan ekspersi ISG setelah inseminasi (sampel 2) meningkat pada sapi
bunting (Tabel 3). Hubungan status dengan paritasterdeteksi kembali karena
peningkatan ISG lebih tinggi pada sapi primipara dibandingkan multipara.
Peningkatan ISG juga lebih tinggi pada sapi dara bunting (Percobaan 3B) ketika
dibandingkan dengan sapi bunting (Percobaan 3A; Tabel 3).
Penggunaan sampel yang dikoleksi setelah IB (sampel 2) dan sampel
kontrol (sampel 1) sedikit meningkat pada keseluruhan tes (Tabel 4). Kurva ROC
juga sedikit mengalami peningkatan pada sapi primipara ketika dua sampel
dianalisa (Gb. 3B dibandingkan dengan Gb. 3A) tetapi secara keseluruhan
peningkatan sedikit lebih besar pada sapi dara (Gb. 3D dibandingkan dengan Gb.
3C). Tes terhadap konsentrasi plasma progesteron pada hari ke 18 setelah IB
merupakan dasar tes untuk deteksi kebuntingan pada sapi dara yang ada pada
21
penelitian ini (Gb. 3C). Cut-off dengan nilai 8,2 ng/ml memiliki nilai true positive
rate 82% dan false positive rate 0%. Penurunan cut-offakan meningkatkan nilai
true positive rate, menurunkan kemungkinan false negative, dan meningkatkan
false positive rate. Contohnya, cut-off dengan nilai 7,3 ng/ml memiliki true
positive rate 94% (6% false negative) dan false positive rate 14%. Kurva ROC
pada penelitian ini yang ideal yaitu dengan nilai true positive rate 100% dan false
positive rate 0% hanya terdapat pada sapi dara ketika rasio Oas1 dari sampel 2
dan sampel 1 digunakan (Gb. 3D). Nilai cut-off untuk tes ideal ini adalah 1,4 (sapi
dara dengan Oas1/Oas1 lebih besar dari 1,4 memberikan arti bahwa sapi dalam
keadaan benar-benar bunting). Walaupun hasil dari percobaan 3 menunjukkan
bahwa penggunaan rasio sampel 2 dengan sampel 1 meningkatkan keakuratan dari
diagnosa kebuntingan pada sapi dara ini, tetap saja tes ini tidak bisa diterapkan
langsung di lapangan. Jika tes ini digunakan untuk mengidentifikasi sapi bunting
dan tidak bunting setelah inseminasi, tes ini harus mempunyai kemampuan untuk
digunakan pada satu sampel. Tingkat sensitivitasnya yang dicapai mungkin akan
melebihi dari apa yang dicapai dengan tes ISG pada hari ke 18.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang bisa diambil adalah walaupun ekspresi ISG meningkat
secara statistik pada sapi bunting, kurva ROC dari data penelitian menunjukkan
tingginya false positive rate akan ditemukan pada sapi yang sedang laktasi tanpa
memperhatikan penetapan cut-off sebelumnya. Keakuratan diagnosa dengan tes
ISG pada hari ke 18 lebih rendah pada sapi multipara dibandingkan dengan sapi
primipara. Tes paling akurat saat dilakukan pada sapi dara nulipara karena
hasilnya menunjukan respon ISG yang kuat. Sebagai tambahan, tes berdasarkan
Oas1 pada hari ke 18 adalah yang paling akurat. Kesimpulan dari semua
percobaan yang telah dilakukan adalah walaupun tes berdasar ISG mungkin dapat
dilakukan untuk deteksi kebuntingan setelah hari ke 20, kegunaannya dalam
program pelaksanaan IB pada sapi di hari ke 21 dimana diagnosa diperlukan pada
hari ke 18 untuk mencapai nilai sensitivitas yang diinginkan. Alternatif lain untuk
mendiagnosa kebuntingan awal perlu dikembangkan jika waktu re-sinkronisasi
pada hari ke 21 memungkinkan untuk dilakukan. Sehingga hanya akan ada
periode pendek untuk tes ISG ini (setelah hari ke 20) karena tes kebuntingan
dengan PAG (Pregnancy-Associated Glicoprotein) pada kebuntingan sapi
mempunyai efektifitas yang tinggi pada hari ke 25 setelah IB (Green et al., 2009).
22
DAFTAR PUSTAKA
Berg, D.K., van Leeuwen, J., Beaumont, S., Berg, M., Pfeffer, P.L., 2010.Embryo loss in cattle between days 7 and 16 of pregnancy. Theriogenology 73, 250–260.
Bott, R.C., Ashley, R.L., Henkes, L.E., Antoniazzi, A.Q., Bruemmer, J.E., Niswender, G.D., Bazer, F.W., Spencer, T.E., Smirnova, N.P., Anthony, R.V., Hansen, T.R., 2010. Uterine vein infusion interferon tau (IFNT)
extends luteal life span in ewes. Biol. Reprod. 82, 725–735..Gifford, C.A., Racicot, K., Clark, D.S., Austin, K.J., Hansen, T.R., Lucy, M.C.,
Davies, C.J., Ott, T.L., 2007. Regulation of interferon-stimulated genes in peripheral blood leukocytes in pregnant and bred, nonpregnant dairy cows. J. Dairy Sci. 90, 274–280.
Green, J.C., Volkmann, D.H., Poock, S.E., McGrath, M.F., Ehrhardt, M., Moseley,A.E., Lucy, M.C., 2009. Technical note: a rapid enzyme-linked immunosorbent assay blood test for pregnancy in dairy and beef cattle. J. Dairy Sci. 92, 3819–3824.
Han, H., Austin, K.J., Rempel, L.A., Hansen, T.R., 2006. Low blood Isg15 mRNA and progesteron levels are predictive of non-pregnant dairy cows. J. Endocrinol. 191, 505–512.
Kjaer, K.H., Poulsen, J.B., Reintamm, T., Saby, E., Martensen, P.M., Kelve, M., Justesen, J., 2009. Evolution of the 2_-5_-oligoadenylate synthetase family in eukaryotes and bacteria. J. Mol. Evol. 69, 612–624.
Kirby, C.J., Smith, M.F., Keisler, D.H., Lucy, M.C., 1997. Follicular function in lactating dairy cows treated with sustained-release bovine somatotropin. J. Dairy Sci. 80, 273–285.
Lucy, M.C., McDougall, S., Nation, D.P., 2004. The use of hormonal treatments to improve the reproductive performance of lactating dairy cows in feedlot or pasture-based management systems. Anim. Reprod. Sci. 82-83, 495–512.
Lucy, M.C., 2007. The bovine dominant ovarian follicle. J. Anim. Sci. 85, E89 E99.
Mandrekar, J.N., Mandrekar, S.J., 2005. Statistical Methods in Diagnostic Medicine using SAS Software. Proceedings of the Thirtieth Annual SAS Users Group International Conference. SAS Inst., Cary,NC.
23
Moreira, F., Orlandi, C., Risco, C.A., Mattos, R., Lopes, F., Thatcher, W.W.,2001. Effects of presynchronization and bovine somatotropin on pregnancy rates to a timed artificial insemination protocol in lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 84, 1646–1659.
Oliveira, J.F., Henkes, L.E., Ashley, R.L., Purcell, S.H., Smirnova, N.P., Veeramachaneni, D.N., Anthony, R.V., Hansen, T.R., 2008. Expression of interferon (IFN)-stimulated genes in extrauterine tissues during early pregnancy in sheep is the consequence of endocrine IFN-tau release from the uterine vein. Endocrinology 149, 1252–1259.
Pursley, J.R., Wiltbank, M.C., Stevenson, J.S., Ottobre, J.S., Garverick, H.A., Anderson, L.L., 1997. Pregnancy rates per artificial insemination for cows and heifers inseminated at a synchronized ovulation or synchronized estrus. J. Dairy Sci. 80, 295–300.
Stevenson, J.L., Dalton, J.C., Ott, T.L., Racicot, K.E., Chebel, R.C., 2007. Correlation between reproductive status and steady-state messenger ribonucleic acid levels of the Myxovirus resistance gene, Mx2, in peripheral blood leukocytes of dairy heifers. J. Anim. Sci. 85, 2163–2172.
Tenhagen, B.A., Drillich, M., Surholt, R., Heuwieser, W., 2004. Comparison of timed AI after synchronized ovulation to AI at estrus: reproductive and economic considerations. J. Dairy Sci. 87, 85–94.
Thatcher, W.W.,Meyer, M.D., Danet-Desnoyers, G., 1995. Maternal recognition of pregnancy. J. Reprod. Fertil. Suppl. 49, 15–28.
24
DISKUSI
1. Pembahas (Bobby Tarigan):
Berdasarkan hasil pembahasan, peningkatan ekspresi ISG pada sapi multipara
bunting dan tidak bunting tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Kenapa bisa terjadi hal seperti itu ?
Jawab:
Terdapat 3 alasan yang mungkin bisa menjelaskan kenapa ekspresi ISG pada
sapi multipara bunting dan tidak bunting yaitu :
a. Adanya perbedaan ukuran embrio pada sapi nulipara, primipara, dan
multipara. Perbadaan ukuran inilah yang mempengaruhi kemampuan
embrio dalam memproduksi IFN-τ. Hipotesis ini didukung oleh penemuan
Berg, et al. (2010), bahwa sapi yang belum pernah bunting memiliki
ukuran embrio yang lebih besar daripada sapi yang sudah pernah bunting
saat kebuntingan awal. Oleh karena itu, diduga embrio pada sapi multipara
berukuran kecil menyebabkan produksi IFN-τ rendah sehingga ekspresi
peningkatan saat kebuntingan tidak terlihat perbedaan yang signifikan.
b. adanya perbedaan fungsi imun pada masing-masing sapi. Diduga sapi
multipara mempunyai respon yang rendah dalam merespon IFN-τ. Karena
respon yang rendah ini sehingga ekpresi ISG yang ditunjukkann juga
rendah sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan pada sapi
multipara bunting dan tidak bunting.
c. adanya kecenderungan ukuran sapi multipara yang lebih besar. Ukuran
sapi yang besar dapat mengurangi konsentrasi sistemik dari IFN-τ dan
menurunkan ekspersi ISG dalam leukosit darah.
25
2. Pembimbing (drh. Surya Agus):
Apakah dari hasil seminar anda saya bisa mengatakan pada publik bahwa tes
kebuntingan dengan mengukur ISG hanya bisa dilakukan pada sapi yang
belum pernah bunting dan tidak dapat digunakan pada sapi yang sudah pernah
beranak?
Jawab:
Jika harus mengatakan pada publik, sebagai dokter hewan saya belum berani
untuk mengatakan bahwa tes ini hanya bisa digunakan pada sapi belum pernah
bunting. Alasannya, karena sumber yang saya dapat hanya berasal dari satu
jurnal. Sehingga yang dapat saya sampaikan bahwa tes ini efektif dilakukan
pada sapi yang belum pernah bunting.
26
top related