52688486-bahan-perkerasan
Post on 21-Oct-2015
59 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pengantar
Das’at W (1999) menyatakan bahwa konstruksi jalan di Indonesia belakangan ini
sebagian besar merupakan konstruksi lapis lentur, dimana lapis permukaan jalan
menggunakan bahan ikat aspal. Salah satu material konstruksi lentur, aspal
merupakan salah satu komponen kecil umumnya hanya 4 – 10 % berdasarkan
berat atau 10 - 15 % berdasarkan volume. (Wahyudi dkk, 2003).
Sartono (2004) menyatakan bahwa kadar aspal dalam campuran akan berpengaruh
banyak terhadap karakteristik perkerasan. Kadar aspal yang rendah akan
menghasilkan suatu perkerasan yang rapuh, yang akan menyebabkan raveling
akibat beban lalu lintas, sebaliknya kadar aspal yang tinggi akan menghasilkan
suatu perkerasan yang tidak stabil. (Kore, 2009).
Alasan penggunaan modified bitumen adalah untuk meningkatkan ketahanan aspal
terhadap deformasi permanen pada saat temperatur tinggi tanpa mempengaruhi
sifat lain dari bitumen pada temperatur yang berbeda. Meningkatkan stiffness pada
bitumen sama halnya meningkatkan dynamic stiffness pada campuran aspal, hal
ini dapat meningkatkan kemampuan penyaluran beban pada material dan
meningkatkan kekuatan struktur serta umur rencana yang diharapkan dari suatu
perkerasan jalan. Dengan kata lain memungkinkan untuk dapat menghasilkan
kekuatan struktur yang sama tetapi dengan tebal lapisan yang lebih tipis. Dengan
meningkatkan elastisitas komponen dari bitumen dapat meningkatkan fleksibilitas
dari aspal terhadap beban tarik yang bekerja (Whiteoak, 1990).
Penggunaan polymer modified bitumen dapat meningkatkan stabilitas,
menurunkan porositas dan menurunkan koefisien permeabilitas dari perkerasan
asphalt cement sehingga perkerasan lebih durable dan lebih kedap air maupun
5
6
udara, namun mempunyai nilai ITS dan flow yang lebih kecil sehingga perkerasan
mempunyai fleksibilitas yang kurang baik. (Hardiansyah,2008)
Salah satu produser polymer modified bitumen di Indonesia, PT. Bintang Jaya
(2006), menjelaskan bahwa polimer terutama dari jenis elastomer mempunyai
strength yang unik dan elastisitas tinggi hasil dari cross-link molekulnya secara
fisik membentuk jaringan tiga dimensi. Polimer memiliki gugus ujung yang
berfungsi membangun kekuatan, dan blok gugus tengah yang lentur yang sangat
elastis. Pada kondisi temperatur di atas titik transisi gelasnya (glass transition
point, 1000C) blok/gugus ujung polimer akan berdisosiasi dan melunak, sehingga
dapat dicampurkan dan akan bersatu dengan aspal pada temperatur proses. (Kore,
2009).
SKSNI (1991) menjelaskan bahwa Marshall test bertujuan untuk menentukan
stabilitas dan flow dari campuran aspal. Stabilitas adalah kemampuan suatu
campuran aspal untuk menerima beban sampai terjadi alir (flow) yang dinyatakan
dalam kilogram. Flow (kelelahan plastis adalah keadaan perubah bentuk suatu
campuran aspal yang terjadi akibat suatu beban yang dinyatakan dalam
millimeter. (Hardiansyah, 2008)
2.1.2. Penelitian dan Jurnal Internasional
Modifikasi polimer semakin meningkat penggunaannya untuk campuran asphalt
concrete, terutama untuk mengontrol terjadinya deformasi permanen (rutting)
(Bouldin and Collins, 1992; Lu and Isacsson,1999). Pada saat yang sama
modifikasi polimer dapat meningkatkan daktilitas dari binder sehingga dapat
diperoleh daya ikat yang lebih tahan lama terhadap tekanan dan deformasi
misalnya pada suhu yang rendah atau beban lalu lintas termasuk efek dari fatigue
(Glover et al, 2005). Dan modifikasi polimer dapat memperbaiki karakteristik
penuaan dari binder sehingga efek dari oksidasi dapat ditunda sehingga
perkerasan dapat bertahan lebih lama (Glover et al, 2005) (Woo dkk, 2007)
7
Penambahan polimer biasanya dapat meningkatkan kekakuan dari aspal dan dapat
meningkatkan kepekaan terhadap suhu. Peningkatan kekakuan dapat
meningkatkan ketahanan terhadap rutting pada campuran pada iklim yang panas
dan kemungkinan penggunaan aspal yang lemah sehingga dapat memberikan
kinerja yang lebih baik pada saat suhu rendah. Aspal modiikasi polimer juga dapat
meningkatkan adhesi dan kohesinya. Polimer juga dapat ditambahkan pada
campuran asphalt concrete sebagai bahan lapis untuk agregat. Penggunaan coating
dapat meningkatkan kekasaran agregat sehingga dihasilkan campuran aspal yang
baik. (Hamid dkk, 2008)
Berdasarkan literatur yang ada, beberapa penelitian tentang karakteristik polymer
modified bitumen, antara lain:
PT. Tunas Mekar Adiperkasa (2005), dengan produknya aspal Bituplus. Aspal
Bituplus memakai polimer elastomerik atau dari bahan jenis karet. Pengujian
dilakukan dari penelitian penggunaan aspal tersebut pada jalan yang telah
dibangun. Hasil penelitian adalah dengan pemakaian aspal Bituplus menghasilkan
aspal yang memiliki titik lembek tinggi, kelenturan yang lebih baik serta penetrasi
yang optimal daripada menggunakan aspal biasa serta perkerasan jalan lebih tahan
terhadap aging akibat pengaruh sinar ultraviolet sehingga memperbaiki kinerja
beton aspal. (Rianung, 2007)
Silalahi (2005), melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh dari variasi
indeks kepipihan agregat terhadap karakteristik campuran Laston IV yang
menggunakan aspal Bituplus. Dari hasil penelitian diketahui bahwa aspal Bituplus
memiliki performa yang baik sebagai bahan pengikat agregat. Hal ini dibuktikan
dengan nilai stabilitas, kelelehan, kekakuan, VIM dan VMA yang masih
memenuhi syarat Departemen PU meski agregat yang digunakan memiliki indeks
kepipihan yang tinggi.
Hardiansyah (2008), melakukan penelitian untuk menentukan nilai kadar aspal
optimum dengan menggunakan aspal Starbit® E55 dan membandingkan antara
campuran yang menggunakan Aspal Starbit® E55 dengan yang menggunakan
aspal pen 60/70 melalui pengujian Marshall, Indirect Tensile Strenght (ITS) dan
8
permeabilitas. Dimana pada penelitian tersebut didapatkan hasil secara umum
asphalt concrete dengan menggunakan polymer modified bitumen mempunyai
kadar aspal yang lebih tinggi dari pada menggunakan aspal penetrasi 60/70.
Kore (2008), melakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik marshall ,
tekan dan permeabilitas asphalt concrete dengan menggunakan aspal Starbit®
E55 dibandingkan dengan menggunakan aspal pen 60/70 sehingga diketahui
bahwa pengaruh bahan tambahan pada aspal Starbit® E55 mampu meningkatkan
kekuatan perkerasan terhadap deformasi akibat pembebanan, namun nilai flow
dari asphalt concrete dengan menggunakan Starbit® E55 lebih kecil dari
menggunakan aspal pen 60/70. Nilai koefisien permeabilitas dan kadar porositas
pada asphalt concrete dengan Starbit® E55 lebih kecil dari pada asphalt concrete
dengan menggunakan aspal pen 60/70.
Pada penelitian ini digunakan aspal polimer produk aspal Bituplus. Dengan
menggunakan alat bantu program BANDS dan SPDM dari Shell Pavement Design
penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui properti material dan
campuran asphalt concrete serta mengetahui kinerja asphalt concrete
menggunakan aspal tersebut dibandingkan dengan aspal penetrasi 60/70.
Penggunaan perangkat lunak akan dibandingkan dengan cara manual dalam
penghitungannya sehingga akan didapatkan tebal rencana perkerasan overlay.
2.2. Dasar Teori
2.2.1. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
Berdasarkan bahan pengikatnya, menurut Sukirman (1993), konstruksi perkerasan
jalan dapat dibedakan menjadi :
a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan
menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya;
b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat;
c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan
kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur.
9
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas
tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk
menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya.
(Sukirman, 1999)
Karena sifat penyebaran gaya maka muatan yang diterima oleh masing-masing
lapisan berbeda dan semakin ke bawah semakin kecil. Lapisan permukaan harus
mampu menerima seluruh jenis gaya yang bekerja, lapis pondasi atas menerima
gaya vertikal dan getaran, sedangkan tanah dasar hanya menerima gaya vertikal
saja. Oleh karena itu terdapat perbedaan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
masing-masing lapisan (Sukirman, 1999).
Konstruksi perkerasan terdiri dari :
a. Lapisan permukaan (surface course)
Merupakan lapisan yang terletak paling atas yang berfungsi sebagai :
1. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan ini mempunyai stabilitas
tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan;
2. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap
ke lapisan bawahnya dan melemahkan lapisan-lapisan tersebut;
3. Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan
akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus;
4. Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat
dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih
jelek.
b. Lapisan pondasi atas (base course)
Merupakan lapisan perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi bawah
dan lapis permukaan. Mempunyai fungsi sebagai :
1. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya;
2. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah;
3. Bantalan terhadap lapisan permukaan;
10
c. Lapisan pondasi bawah (subbase course)
Merupakan lapis perkerasan yang terletak antara lapis pondasi atas dan
tanah dasar. Berfungsi sebagai :
1. Bagian dari konstruksi perkerasan menyebarkan beban roda ke tanah
dasar;
2. Effisiensi penggunaan material;
3. Mengurangi tebal lapisan di atasnya yang lebih mahal;
4. Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi;
5. Lapisan pertama, agar pekerjaan dapat berjalan lancar;
6. Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar ke
lapis atas.
d. Lapisan tanah dasar (subgrade)
Merupakan lapisan tanah setebal 50-100 cm di atas mana akan diletakkan
lapisan pondasi bawah.
Gambar 2.1 Susunan Lapis Konstruksi Perkerasan Lentur
2.2.2. Bahan Penyusun Perkerasan
2.2.2.1. Aspal
Menurut Silvia Sukirman (1999), aspal didefinisikan sebagai material berwarna
hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat.
Jika dipanaskan sampai suatu temperatur tertentu aspal dapat menjadi lunak atau
cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu pembuatan aspal
beton atau dapat masuk ke dalam pori-pori yang ada pada penyemprotan atau
penyiraman pada perkerasan macadam ataupun peleburan. Jika temperatur mulai
11
turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat
termoplastis).
Silvia Sukirman (1993) menyatakan bahwa, berdasarkan cara diperolehnya aspal
dapat dibedakan menjadi :
a. Aspal alam, dapat dibedakan menjadi :
- Aspal gunung (rock asphalt);
- Aspal danau (lake asphalt)
b. Aspal buatan
- Aspal minyak, merupakan hasil penyulingan minyak bumi
- Tar, merupakan hasil penyulingan batu bara.
Aspal minyak dengan bahan dasar minyak dapat dibedakan menjadi :
a. Aspal keras / panas (asphalt cement, AC)
Yaitu aspal yang digunakan dalam keadaan cair dan panas.
b. Aspal dingin / cair (cut back asphalt)
Yaitu aspal yang digunakan dalam keadaan cair yang merupakan
campuran anatar aspal semen dengan bahan pencair dari hasil penyulingan
minyak bumi.
c. Aspal emulsi (emulsion asphalt)
Yaitu suatu campuran aspal dengan air dan bahan pengelmusi.
Pada konstruksi perkerasan jalan aspal berfungsi sebagai :
a. Bahan pengikat, yaitu memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan
agregat dan antara aspal itu sendiri
b. Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agragat dan pori-pori
yang ada dari agregat itu sendiri.
Sifat-sifat pada aspal antara lain adalah :
a. Daya tahan, adalah kemampuan pada aspal untuk mempertahankan sifat
asalnya pada masa layan jalan akibat dari pengaruh cuaca;
12
b. Adhesi dan kohesi, adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat
agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal.
Kohesi adalah kemampuan dari aspal itu untuk dapat mempertahankan
agregat tetap di tempatnya setelah terjadi pengikatan;
c. Kepekaan terhadap temperatur, adalah kondisi dimana aspal akan menjadi
keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih
cair jika suhunya bertambah (aspal merupakan material yang termoplastis).
Aspal Modifikasi Polimer
Menurut Dinas Pekerjaan Umum (2009) dalam Sistem Informasi Manajemen
Standar, aspal modifikasi adalah aspal keras yang ditingkatkan mutunya dengan
cara menambahkan bahan tambah seperti polimer, latek, bitumen asbuton dan
lainnya. Sedangkan aspal polimer adalah aspal yang ditingkatkan mutunya
(dimodifikasi) dengan cara menambahkan polimer ke dalam aspal keras.
Mengutip dari Whiteoak (1990), Modified bitumen harus mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
a. Menjadi kelengkapannya sendiri pada saat penyimpangan, aplikasi dan
dalam masa layannya;
b. Dapat diproses dengan perlatan yang konvensional;
c. Stabil secara fisik dan kimia pada saat penyimpanan, aplikasi, dan dalam
masa servicenya;
d. Dapat menyelimuti atau mempunyai viskositas yang cukup pada saat
aplikasi dengan temperatur normal.
Polimer barasal dari kata of many parts yang berarti dari banyak bagian. Polimer
merupakan susunan rantai kimia yang berasal dari monomer-monomer yang
terikat menjadi satu. Jumlah monomer yang menyusun polimer ini dapat berbeda-
beda, sehingga panjang rantai yang terjadi pun dapat berbeda-beda. Hanya rantai
dengan jumlah tertentu yang dapat digunakan dalam bitumen. Contohnya
polystyrene yang terbentuk dari beberapa molekul styrene yang saling
berhubungan (BP Bitumen, 2010).
13
Sifat fisik dan kimia dari polimer akan tergantung dari sifat alami molekul tiap
unitnya, jumlah tiap molekul dalam satu rantai dan kombinasi dari satu molekul
dengan molekul yang lain. Sehingga lain polimer akan menghasilkan reaksi yang
lain, dan polymer modified bitumen harus diuji terlebih dahulu sebelum
pengaplikasiannya.
Mengutip dari Yulianto (2008), alasan digunakannya modifikasi dengan polimer
antara lain adalah :
a. Agar aspal / binder lebih lunak pada temperatur rendah sehigga
mengurangi potensi cracking;
b. Agar aspal / binder lebih kuat dan kaku pada temperatur tinggi sehingga
mengurangi potensi deformasi;
c. Mengurangi viskositas pada temperatur penghamparan;
d. Meningkatkan stabilitas dan kekuatan campuran aspal;
e. Meningkatkan ketahanan terhadap abrasi;
f. Meningkatkan ketahanan lelah (fatigue) campuran beraspal;
g. Meningkatkan daya tahan oksidasi dan penuaan campuran;
Menurut BP Bitumen (2010), dua jenis polimer yang digunakan dalam modifikasi
bitumen adalah :
a. Elastomer
b. Plastomer
Elastomer adalah suatu polimer yang mepunyai kelenturan (karet) dan ikatan
samping yang besar dalam strukturnya. Contohnya adalah Styrene butadiene
Styrene ( SBS).
Plastomer adalah suatu polimer yang dapat berubah bentuk menjadi plastis pada
suhu leleh dan berubah menjadi keras dan kaku pada suhu rendah. Contohnya
adalah ethylene vinyl acetate (EVA).
Polymer modified bitumen diproduksi dalam beberapa grade untuk memenuhi
kebutuhan lapangan yang beragam dikelompokkan menurut besarnya softening
point. Saat ini sedang gencar diproduksi dan diugunakan polymer modified binder
14
dengan basis elastomer. Pengguna di Eropa, USA, Jepang, Australia, dan China
telah membuktikan jenis aspal polimer ini mampu mengatasi permasalahan yang
ada. Bahkan di China, dengan perkembangan infrastruktur jalannya yang sudah
sangat luar biasa, penggunaan aspal polimer telah melebihi 1 juta ton tiap
tahunnya.
Pada penelitian ini aspal modifikasi polimer yang digunakan adalah aspal Bituplus
yang diproduksi PT. Tunas Mekar Adi Perkasa Jakarta. Adapun komposisi dari
aspal ini adalah :
a. Aspal biasa spek 60/70 (dari Pertamina, Shell, Esso, dll);
b. Elastomer jenis Ethylene Propylene Diene Polymer sebesar 5%, untuk
meningkatkan kelenturan aspal;
c. Liphopylic Catalyst Monomer (LCM) kurang dari 1%, berguna untuk :
- Memperbaiki workability di polymer modified bitumen sehingga aspal
polimer elastomer tidak mengalami masalah akibat aspal yang terlalu
kental (yang dapat menyebabkan aspal tidak merata menyelimuti batu
dan atau aspal terbakar di tanki);
- Meningkatkan titik lembek secara signifikan;
- Memperbaiki aging dan ketahanan terhadap air.
d. Longchain Modified Fatty Amine kurang dari 1,5 %, yang berguna :
- Meningkatkan nilai penetrasi;
- Mengurangi pengaruh negatif air pada aspal.
Dengan bahan-bahan di atas, maka aspal polimer Bituplus diharapkan tidak
mengalami masalah yang sudah sering terjadi pada aspal polimer lain seperti aspal
terbakar dan aspal terlalu kental sehingga menimbulkan kerusakan perkerasan
dini. Sedangkan masalah perkerasan aspal yang terlalu kaku sehingga mudah
retak, titik lembek yang kurang tinggi dan kurang tahan terhadap air dapat
diberikan solusi oleh Liphopylic Catalyst Monomer (LCM) dan Longchain
Modified Fatty Amine. (PT. Tunas Mekar Adiperkasa, 2009).
15
Spesifikasi untuk aspal polimer dan aspal penetrasi 60/70 disajikan pada Tabel 2.1
dan Tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.1. Spesifikasi Aspal Polimer
No
Jenis Pengujian Metode Jenis Polimer Plastomer Elastomer
1. Penetrasi, 250C; 100 gr; 5 detik; 0,1 mm
SNI 06-2456-1991 50-70 50-75
2. Titik lembek, 0C SNI 06-2434-1991 Min. 56 Min. 54 3. Titik nyala, 0C SNI 06-2433-1991 Min. 232 Min. 232 4. Berat jenis SNI 06-2441-1991 Min. 1,0 Min. 1,0 5. Kekentalan pada 1350C, cSt SNI 06-6721-2002 150-1500 Maks. 2000 6. Stabilitas penyimpanan pada
1630C selama 48 jam - Perbedaan titik lembek; 0C
SNI 06-2434-1991 Homogen Maks. 2
7. Kelarutan dalam trichlor ethylene, % berat
RSNI M-04-2004 Min. 99 Min. 99
8. Penurunan berat (dengan RTFOT); berat
SNI 06-2440-1991 Maks. 10 Maks. 1,0
9. Perbedaan penetrasi setelah penurunan berat; % asli - Kenaikan penetrasi - Penurunan penetrasi
SNI 06-2456-1991 Maks. 10 Maks. 40
Maks. 10 Maks. 40
10.
Perbedaan titik lembek setelah penurunan berat; % asli - Kenaikan titik lembek 0C - Penurunan titik lembek 0C
SNI 06-2434-1991 Maks. 6,5 Maks. 2
Maks. 6,5 Maks. 2
*Sumber : Pelaksanaan Lapis Campuran Beraspal Panas, Departemen Pekerjaan Umum
16
Tabel 2.2. Spesifikasi aspal penetrasi 60/70 produksi Pertamina
No Jenis Pengujian Metode Pengujian Persyaratan Satuan 1 Penetrasi pada 250C, 100 g,
5 detik SNI 06-2456-1991 60-79 0,1 mm
2 Titik lembek SNI 06-2434-1991 48-58 0C 3 Titik nyala SNI 06-2433-1991 Min 200 0C 4 Daktilitas pada 250C, 5
cm/mnt; SNI 06-2432-1991 Min. 100 cm
5 Kelarutan dalam C2HCl3 SNI 06-2438-1991 Min.99 % 6 Berat jenis SNI 06-2441-1991 Min. 1 - 7 Kehilangan berat (TFOT) SNI 06-2440-1991 Min. 0,8 % 8 Penetrasi setelah TFOT SNI 06-2456-1991 Min. 54 % 9 Daktilitas setelah TFOT SNI 06-2432-1991 Min. 50 Cm * Sumber : Spesifikasi Campuran Aspal Panas 2004, Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah
2.2.2.2. Agregat
Agregat / batuan didefinisikan sebagai formasi kulit bumi yang keras dan solid.
ASTM (1974) mendefinisikan batuan sebagai bahan yang terdiri dari mineral
padat, berupa masa berukuran besar ataupun berupa fragmen-fragmen. (Sukirman,
1999).
Sifat-sifat agregat antara lain adalah :
a. Gradasi
1. Gradasi seragam (uniform agregat), yaitu agregat dengan ukuran yang
hamper sama/sejenis atau mengandung agregat halus yang sedikit
jumlahnya sehingga tidak dapat mengisis rongga antar agregat.
2. Gradasi rapat (dense agregat), yaitu campuran agregat kasar dan halus
dalam proporsi yang berimbang.
3. Gradasi buruk (poor graded), yaitu campuran agregat yang tidak
meenuhi 2 kategori di atas.
b. Daya tahan agregat
Adalah ketahanan agregat untuk tidak hancur/pecah oleh pengaruh
mekanis atau kimia.
17
Degradasi didefinisikan sebagai kehancuran agregat menjadi partikel-
partikel yang lebih kecil akibat gaya yang diberikan pada waktu
penimbunan, pemadatan ataupun oleh beban lalu lintas.
Faktor yang mempengaruhi tingkat degradasi :
1. Jenis agregat, jenis agregat yang lunak mengalami degradasi yang
lebih besar dari agregat yang lebih keras;
2. Gradasi, gradasi terbuka mempunyai tingkat degradasi yang lebih
besar dari pada gradasi rapat;
3. Bentuk, partikel bulat akan mengalami degradasi yang lebih besar dari
yang berbentuk kubus/bersudut;
4. Ukuran partikel, partikel yang lebih kecil mempunyai tingkat degradasi
yang lebih kecil dari pada partikel dengan ukuran besar;
5. Energi pemadatan, degradasi akan terjadi lebih besar pada pemadatan
dengan menggunakan energi pemadatan yang lebih besar.
c. Bentuk dan tekstur agregat
1. Bulat, yaitu agregat yang dijumpai di sungai, pada umumnya telah
mengalami pengikisan oleh air sehingga umumnya berbentuk bulat;
2. Lonjong, dikatakan lonjong bila ukuran terpanjangnya >1,8 kali
diameter rata-rata;
3. Kubus, merupakan bentuk agregat hasil dari mesin pemecah batu
(crusher stone) yang mempunyai bidang kontak yang lebih luas,
(berbentuk bidang rata sehingga memberikan interlocking/saling
mengunci yang lebih besar);
4. Pipih, dapat merupakan hasil dari mesin pemecah batu maupun
memang merupakan sifat dari agregat tersebut yang jika dipecahkan
cenderung berbentuk pipih;
5. Tak beraturan, merupakan agregat yang tidak mengikuti salah satu
yang disebutkan di atas.
18
2.3. Pemeriksaan Karakteristik Campuran
2.3.1. Karakteristik Aspal
Pada penelitian ini, properti material yang diuji meliputi : Penetrasi Aspal, Titik
Lembek Aspal, Titik Nyala Aspal, Daktilitas Aspal dan Berat Jenis Aspal.
Penjelasan masing-masing pengujian menurut Noviastuti, dkk (2009) adalah :
a. Penetrasi Aspal
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan penetrasi bitumen keras atau lembek
(solid atau semi solid) dengan memasukkan jarum penetrasi ukuran tertentu,
beban, waktu tertentu kedalam bitumen pada suhu tertentu.
b. Titik Lembek Aspal
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan titik lembek aspal dan ter yang
berkisar antara 30oC – 200oC. Yang dimaksud titik lembek adalah temperatur
pada saat bola baja dengan berat tertentu mendesak turun suatu lapisan aspal yang
tertahan dalam cincin berukuran tertentu, sehingga aspal tersebut menyentuh plat
dasar yang terletak di bawah cincin dengan ketinggian tertentu sebagai akibat
kecepatan pemanasan tertentu.
c. Titik Nyala dan Titik Bakar Aspal
Pemeriksan ini dimaksudkan untuk menentukan titik nyala dan titik bakar dari
semua jenis hasil minyak bumi kecuali minyak bakar dan bahan lainnya yang
mempunyai titik nyala open cup kurang dari 79oC. Titik nyala adalah suhu pada
saat terlihat nyala singkat pada suatu titik di atas permukaan bitumen. Titik bakar
adalah suhu pada saat terlihat nyala sekurang kurangnya 5 detik pada suatu titik
pada permukaan bitumen.
d. Daktilitas Aspal
Tujuan percobaan ini adalah mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara
dua cetakan yang berisi bitumen keras sebelum putus, pada suhu dan kecepatan
tarik tertentu.
19
e. Berat Jenis Aspal
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan berat jenis bitumen keras dengan alat
piknometer. Berat jenis bitumen adalah perbandingan antara berat bitumen dan
berat zat cair suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu.
2.3.2. Karakteristik Marshall
a. Stabilitas
Menurut Pradipta (2010), stabilitas adalah kemampuan campuran aspal untuk
menahan deformasi akibat beban yang bekerja, tanpa mengalami deformasi
permanen seperti gelombang, alur ataupun bleeding dinyatakan dalam satuan kg
atau lb. Nilai stabilitas diperoleh dari hasil pembacaan langsung pada alat
Marshall Test sewaktu melakukan pengujian Marshall. Stabilitas terjadi dari hasil
geseran antar butir, penguncian antar partikel dan daya ikat yang baik dari lapisan
aspal. Dengan demikian stabilitas yang tinggi dapat diperoleh dengan penggunaan
agregat dengan gradasi yang rapat, agregat dengan permukaan kasar dan aspal
dalam jumlah yang cukup. Nilai stabilitas terkoreksi dihitung dengan rumus
S = q × C × k × 0,454…....................…………............……………... (Rumus 2.1)
Dimana :
S = nilai stabilitas terkoreksi (kg)
q = pembacaan stabilitas pada dial alat Marshall (lb)
k = faktor kalibrasi alat
C = angka koreksi ketebalan
0,454 = konversi beban dari lb ke kg
b. Flow
Flow dari pengujian Marshall adalah besarnya deformasi vertikal sampel yang
terjadi mulai saat awal pembebanan sampai kondisi kestabilan maksimum
sehingga sampel sampai batas runtuh dinyatakam dalam satuan mm atau 0,01 mm.
Nilai flow yang tinggi mengindikasikan campuran bersifat plastis. Pengukuran
flow bersamaan dengan pengukuran nilai stabilitas Marshall. Nilai flow juga
20
diperoleh dari hasil pembacaan langsung pada alat Marshall Test sewaktu
melakukan pengujian Marshal. (Pradipta, 2010).
c. Marshall Quotient
Merupakan perbandingan antara stabilitas dengan kelelahan plastis (flow) dan
dinyatakan dalam kg/mm.
MQ =FS
……………....................………………………...……........(Rumus 2.2)
Dimana :
MQ = Marshall Quotient (kg/mm)
S = nilai stabilitas terkoreksi (kg)
F = nilai flow (mm)
d. Densitas
Densitas menunjukan kepadatan pada campuran perkerasan. Gradasi agregat,
kadar aspal dan pemadatan akan mempengaruhi tingkat kepadatan perkerasan
lentur. Besarnya nilai densitas diperoleh dari rumus :
D = )( WwWs
Wdry-
x γ air…….............................……………..…...……(Rumus 2.3)
Dimana :
D = densitas ( gr/cm3)
Wdry = berat kering (gram )
Ws = berat jenuh (gram )
Ww = berat dalam air ( gram )
γ air = berat jenis air ( gr/cm3 )
e. Spesific Gravity Campuran
Spesific Grafity Campuran adalah berat campuran untuk seriap volume (dalam
gr/cm³). Dihitung berdasarkan persen berat tiap komponen dan spesific grafity tiap
komponen penyusun campuran aspal. Besarnya spesific grafity campuran
(SGmix) diperoleh dari rumus berikut :
21
SGmix =
SGbWb
SGfWf
SGaghWah
SGagkWak %%%%
100
+++
…............…………....….(Rumus 2.4)
Dimana:
%Wak : persen berat agregat kasar ( % )
% Wah : persen berat aspal halus ( % )
% Wb : persen berat aspal ( % )
% W f : persen berat filler ( % )
SGagk : Specific Grafity agregat kasar ( gr/cm3 )
SGagh : Specific Grafity agregat halus ( gr/cm3 )
SGb : Specific Grafity aspal ( gr/cm3 )
SGf : Specific Grafity filler ( gr/cm3 )
f. Porositas (Void In Mix)
Porositas (Void In Mix) adalah kandungan udara yang terdapat pada campuran
perkerasan, baik yang dapat mengalirkan air maupun yang tidak dapat
mengalirkan air. Besarnya porositas dapat diperoleh dengan rumus berikut :
%100*1max
úû
ùêë
é-=
GSD
VIM ……………………...…...…………….(Rumus 2.5)
Dimana :
VIM : Porositas (VIM) spesimen (%)
D : Densitas benda uji yang dipadatkan (gr/cm3)
SGmix : Specific grafity campuran (gr/cm3)
2.4. Perangkat Lunak (Software)
2.4.1. BANDS (Bitumen and Asphalt Nomograph)
BANDS 2.0 adalah salah satu perangkat lunak analisis bitumen dan aspal yang
termasuk dalam paket software desain yang dikeluarkan oleh Shell Pavement
Design bersama dengan program lainnya yaitu BISAR 3.0 dan SPDM 3,0.
BANDS terdiri atas seperangkat alat bantu bagi perencana dalam mengestimasi
properti material yang relevan dari
digunakan dalam perhitungan desain tebal perkerasan,
digunakan bersama dengan SPDM yang memang didedikasikan untuk
perhitungan desain tebal perkerasan tersebut.
perangkat lunak ini adalah
fatigue life, dan fatigue strain.
Tampilan worksheet dari BANDS dan alur pengerjaannya ditampilkan
Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 berikut :
Gambar 2.2 Tampilan
properti material yang relevan dari bituminous binder dan asphaltic mix.
digunakan dalam perhitungan desain tebal perkerasan, software ini harus
digunakan bersama dengan SPDM yang memang didedikasikan untuk
tungan desain tebal perkerasan tersebut. Adapun output yang dihasilkan oleh
perangkat lunak ini adalah bitumen stiffness, percentage of voids, mix stiffness,
fatigue life, dan fatigue strain.
dari BANDS dan alur pengerjaannya ditampilkan
Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 berikut :
Gambar 2.2 Tampilan worksheet program BANDS
22
asphaltic mix. Untuk
ini harus
digunakan bersama dengan SPDM yang memang didedikasikan untuk
yang dihasilkan oleh
bitumen stiffness, percentage of voids, mix stiffness,
dari BANDS dan alur pengerjaannya ditampilkan dalam
23
Gambar 2.3 Alur Pengerjaan Program BANDS
2.4.2.
Pilih dari menu bar Nomograph
Input data Bitumen Stiffness : - Softening point - Penetration value
Output data Bitumen Stiffness : - Bitumen Stiffness - Penetration index
Input data Asphalt Mix Stiffness : - Bitumen Stiffness - Vol % agregate - Vol % bitumen
Output data Asphalt Mix Stiffnes : - % voids - Mix stiffness
Pilih dari menu bar Nomograph : Asphalt Mix Stiffness
Pilih dari menu bar Nomograph : Fatigue Life Asphalt Mix
Input data Fatigue Life Asphalt Mix - Vol % bitumen - Asphalt mix stiffness - Fatigue strain
Pilih dari menu bar Nomograph : Asphalt Mix performance
Output data Fatigue Life Asphalt Mix - Fatigue life
Input data Asphalt Mix performance: - Pen value - Softening point - Vol % bitumen - Vol % aggregate - Fatigue strain
Output data Asphalt Mix performance: - Pen index - Bitumen stiffness - Asphalt mix stiffness - Fatigue life
Pilih dari menu bar Nomograph : Bitumen Stiffness
24
2.4.3. SPDM (Shell Pavement Design Method)
Filosofi pendekatan analitis dari desain perkerasan adalah bahwa struktur harus
diasumsikan seperti struktur teknik sipil yang lain Adapun prosedur yang umum
digunakan adalah:
a. Mengasumsikan bentuk struktur;
b. Menentukan beban;
c. Mengestimasikan ukuran dari komponen-komponennya;
d. Menjalankan analisis strukturnya untuk menghasilkan tegangan-
tegangan, regangan-regangan, dan defleksi pada titik kritis pada struktur;
e. Membandingkan nilai ini dengan nilai ijin maksimum untuk
mendapatkan kearnanan desain;
f. Menambahkan nilai kekuatan struktur (geometri) untuk meningkatkan
ketahanan desain;
g. Mempertimbangkan sisi ekonomi dari hasil akhir analisis.
Perkembangan teknik analisis telah menjadi hal yang penting selama 25 tahun
terakhir. Metode berdasarkan penggunaan teori analisis memiliki beberapa macam
bentuk misalnya adalah beberapa software desain perkerasan jalan berdasarkan
Shell Pavement Design Method yang dikembangkan oleh Universitas Nottingham.
Pada tahun 1963, Perusahaan Internasional Shell mempublikasikan seperangkat
nomogram/grafik yang dikembangkan dari analisis struktur dengan beberapa opsi
khusus. Meskipun berupa suatu software, namun Shell Pavement Design Method
(SPDM) dan adendumnya juga dapat mempresentasikan metode desain dalam
bentuk grafik, diagram, dan label.
SPDM secara umum terdiri dari 3 modul :
a. Desain ketebalan struktur untuk perkerasan aspal yang baru;
b. Estimasi atau penilaian untuk deformasi permanen pada lapisan aspal;
c. Desain ketebalan struktur untuk overlay di atas perkerasan aspal yang
lama.
25
Tampilan dari worksheet dan alur pengerjaan program SPDM ditampilkan pada
Gambar 2.3 dan Gambar 2.4 berikut :
Gambar 2.4 Tampilan Worksheet Program SPDM
Gambar 2.4 Alur Pengerjaan Program SPDM
Overlay Mix
Stifness
LHR
Regangan Subgrade
Lapisan Eksisting
Iklim
Pilih dari menu bar Project
Pilih New : - Thickness Design - Rutting Calculation - Overlay Design
Input data iklim
Input data existing asphalt layer
Input data base
layers and subgrade
strain
Input data traffic and design life
Input data overlay mix and specific fatigue
Input data overlay stiffness
and layer thickness
Pilih dari menu bar Result
Hasil overlay thickness (meter)
26
2.5. Metode Analisa Komponen Perkerasan dengan Pedoman Perencanaan
Tebal Perkerasan Lentur Tahun 2002
Perhitungan perencanaan ini didasarkan pada kekuatan relatif masing-masing
lapisan perkerasan jangka panjang, dimana penentuan tebal perkerasan dinyatakan
oleh ITP (Indeks Tebal Perkerasan). Perhitungan ITP dapat menggunakan rumus
sebagai berikut :
ITP = a1.D1 + a2.D2 + a3.D3……………………………………(Rumus 2.6)
dimana :
a1, a2, a3 = koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan
D1, D2, D3 = tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)
a. Lalu Lintas
1. Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan
Merupakan angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang
ditimbulkan oleh lintasan beban gandar sumbu tunggal kendaraan terhadap
tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar
sumbu tunggal seberat 8,16 ton. Untuk roda tunggal karakteristik beban
yang berlaku agak berbeda dengan ronda ganda. Untuk roda tunggal
menggunakan rumus :
Angka ekivalen roda tunggal = 鼀tatǁ 梈ǁ 錃ǁ贃 縀ǁ弘d 縀d屏td 弘d 梈梈ǁn 錃ǁnǁ屏 .闹脑 . 邹恼
…………………………………………………………………(Rumus 2.7)
2. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan kemungkinan bahwa jenis kerusakan tertentu atau
kombinasi jenis kerusakan pada struktur perkerasan akan tetap lebih
rendah atau dalam rentang yang diizinkan selama umur rencana. Tingkat
reabilitas yang lebih tinggi menunjukkan jalan yang melayani lalu lintas
paling banyak. Reabilitas jalan arteri akan lebih tinggi dari pada jalan
lokal, sebagaimana tercantum pada Tabel 4.34 mengenai rekomendasi
tingkat reabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan.
27
Tabel 2.3. Rekomendasi Tingkat Reliabilitas Untuk Bermacam-Macam
Klasifikasi Jalan
Klasifikasi jalan Rekomendasi tingkat reliabilitas Perkotaan Antar kota
Bebas hambatan 85-99,9 80-99,9 Arteri 80-99 75-95 Kolektor 80-95 75-95 Lokal 50-80 50-80
3. Lalu Lintas pada Lajur Rencana
Lalu lintas pada lajur rencana (w18) diberikan dalam kumulatif beban
gandar standar. Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur rencana ini
digunakan perumusan berikut ini :
W18 = DD x DL x ŵ18 ………………………………...………(Rumus 2.8)
dimana :
DD = faktor distribusi arah
DL = faktor distribusi lajur
ŵ18 = beban gandar standar kumulatif untuk 2 arah
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa DD bervariasi dari 0,3 – 0,7
tergantung arah mana yang ‘berat’ dan ‘kosong’ namun pada umumnya
diambil 0,5.
Tabel 2.4. Faktor Distribusi Lajur (DL)
Jumlah lajur per arah
% beban gandar standar dalam lajur rencana
1 100 2 80-100 3 60-80 4 50-75
Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan lentur dalam
pedoman ini adalah lalu-lintas kumulatif selama umur rencana. Secara numerik
rumusan lalu-lintas kumulatif ini adalah sebagai berikut :
28
Wt = 黠㟠馁果鼀㟠嫩梈邹叁能㟠梈 …………….…………………………(Rumus 2.9)
dimana :
wt = jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif
w18 = beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun
n = umur pelayanan (tahun)
g = perkembangan lalu lintas (%)
b. Indeks Permukaan
Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan
yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat.
Adapun beberapa ini IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut di bawah ini :
IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
IP = 2,0 : menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih
mantap.
IP = 1,5 : menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan
tidak terputus).
IP = 1,0 : Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga
sangat mengganggu lalu-lintas kendaraan.
Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu
dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan sebagai mana
diperlihatkan pada Tabel 2.5 berikut :
Tabel 2.5. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)
LER = Lintas Ekivalen Rencana
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Bebas hambatan
< 10 10 – 100 100– 1000
>1000
1,0 – 1,5 1,5
1,5 – 2,0 -
1,5 1,5 – 2,0
2,0 2,0 – 2,5
1,5 – 2,0 2,0
2,0 – 2,5 2,5
- - -
2,5 Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IP0) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan pada awal umur rencana sesuai
dengan Tabel 2.6 berikut :
29
Tabel 2.6. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0)
Jenis Lapis Perkerasan
IP0 Ketidakrataan *) (IRI, m/km)
L A S T O N > 4 3,9 – 3,5
≤ 1,0 > 1,0
LASBUTAG 3,9 – 3,5 3,4 – 3,0
≤ 2,0 > 2,0
L A P E N 3,4 – 3,0 2,9 – 2,5
≤ 3,0 > 3,0
c. Pelapisan Tambah
Untuk perhitungan pelapisan tambah (overlay), kekuatan struktur perkerasan jalan
lama (existing pavement) diukur menggunakan alat FWD atau dinilai dengan
menggunakan Tabel 2.7 berikut :
Tabel 2.7. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
BAHAN KONDISI PERMUKAAN Koefisien kekuatan relatif (a)
Lapis permukaan beton aspal
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
0.35 – 0.40
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau <5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.25 – 0.35
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.20 – 0.30
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.14 – 0.20
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
0.08 – 0.15
30
Lapis pondasi yang distabilisasi
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
0.20 – 0.35
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau <5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.15 – 0.25
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau >5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.15 – 0.20
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.10 – 0.20
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
0.08 – 0.15
Lapis pondasi atau lapis pondasi bawah granular
Tidak ditemukan adanya pumping, degradation, or contamination by fines.
0.10 – 0.14
Terdapat pumping, degradation, or contamination by fines
0.0 – 0.10
2.6. Teori Korelasi
Analisis regresi digunakan untuk mengetahui pola relasi atau hubungan antara
variable terikat dengan variabel bebasnya. Variabel terikat pada penelitian ini
adalah nilai marshall sedangkan variabel bebas adalah kadar aspal. Analisis garis
regresi ini diperoleh dari persamaan linier y=b+ax dan polynomial y=ax2+bx+c.
Persamaan garis ini diperoleh dari sekumpulan data yang kemudian disusun
menjadi diagram pencar (scater). Dari diagram tersebut dengan bantuan Microsoft
Excel dapat dibuat garis regresi linier dan polinomial kemudian dari garis regresi
itu diperoleh persamaan regresi dan nilai koefisien determinasi.
31
Penentuan kekuatan hubungan antara variasi kadar aspal dengan kekuatan tekan
menggunakan analisis korelasi. Analisis korelasi dinyatakan dengan nilai
koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r). koefisien detreminasi
digunakan untuk mengetahui persentase kekuatan hubungan antara variabel terikat
(nilai marshall) dengan variabel bebas (kadar aspal). Nilai koefisien determinasi
(R2) berkisar antara 0 (tidak ada relasi) dan 1 (relasi sempurna). Nilai koefisien
determinasi dapat dihitung dari persamaan regresi, namun dengan bantuan
Microsoft Excel nilainya dapat langsung diketahui.
Koefisien korelasi digunakan untuk menentukan kategori hubungan antara
variabel terikat dengan variabel bebas. Indek atau bilangan yang digunakan untuk
menntukan kategori keeratan hubungan berdasarkan nilai r adalah sebagai berikut:
1. 0 ≤ r ≤ 0,2 korelasi lemah sekali
2. 0,2 ≤ r ≤ 0,4 korelasi lemah
3. 0,4 ≤ r ≤ 0,7 korelasi cukup kuat
4. 0,7 ≤ r ≤ 0,9 korelasi kuat
5. 0,9 ≤ r ≤ 1 korelasi sangat kuat
Koefisien korelasi (r) diperoleh dari akar koefisien determinasi (R2), sehingga
diperoleh batasan 0 ≤ R2 ≤ 1.
top related