11 bab iirepository.ump.ac.id/3947/3/andi subandi bab ii.pdf · 2017-09-11 · mengambil judul...
Post on 10-Mar-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang implikatur tentu sudah pernah dilakukan pada
penelitian sebelumnya. Namun objek kajian dan fokus pembahasan yang
digunakan berbeda dengan yang digunakan penulis. Pada penelitian ini
mengambil judul “Implikatur dalam Naskah Drama Wek-Wek karya Iwan
Simatupang” sebagai kajiannya. Sedangkan penelitian terdahulu membahas
tentang “Analisis Implikatur pada Tuturan Kata Bijak Mario Teguh dalam
Acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV” dan “Kajian
Implikatur pada Tuturan Penyiar di Radio Paduka 100,6 FM Purwokerto”
berikut penjelasan lengkapnya.
1. Penelitian dengan Judul Analisis Implikatur pada Tuturan Kata Bijak
Mario Teguh dalam Acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV Januari 2015 oleh Albina Nur Aeni
Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk implikatur
yang terkandung pada tuturan kata bijak Mario Teguh di dalam acara Talk
Show Mario Teguh Golden Ways. Data yang digunakan dalam penelitian ini
berupa tuturan kata bijak Mario Teguh sedangkan sumber data dalam
penelitian ini adalah tuturan Mario Teguh dalam acara Talk Show Mario
Teguh Golden Ways di Metro TV pada tanggal 4, 11, 18, dan 25 Januari 2015.
Pengumpulan data mengguanakan metode simak yang menerapkan teknik
dasar berupa teknik sadap dan dilanjutkan dengan teknik Simak Bebas Libat
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
12
Cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat. Tahap analisis data
menggunakan metode padan yang diterapkan melalui dua teknik, yaitu teknik
dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik Pilah
Unsur Penentu (PUP) daya pilah pragmatis. Teknik lanjutan berupa Teknik
Hubung Banding Menyamakan (HBS). Penyajian hasil analisis data dalam
penelitian ini mengguanakan metode penyajian informal karena perumusan
menggunakan kata-kata biasa.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Albina Nur Aeni dengan
penelitian ini terdapat pada jenis penelitian yang digunakan yaitu deskriptif
kualitatif, teori implikatur dan metode pengumpulan data. Sementara
perbedaan terletak pada data sumber data. Data yang digunakan Albina Nur
Aeni dalam penelitiannya yaitu tuturan bijak Mario Teguh dan sumber data
yang digunakan adalah acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways di Metro
TV pada tanggal 4, 11, 18, dan 25 Januari 2015. Sedangkan penelitian ini
menggunakan data berupa tuturan tokoh dalam naskah drama Wek-Wek karya
Iwan Simatupang dan sumber data yang digunakan adalah naskah drama
Wek-Wek karya Iwan Simatupang.
2. Penelitian dengan Judul Kajian Implikatur pada Tuturan Penyiar di
Radio Paduka 100,6 FM Purwokerto Januari 2013 oleh Bunga Maratus Sholikah
Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan implikatur pada
tuturan penyiar Paduka 100,6 FM Purwokerto. Data yang digunakan dalam
penelitian ini berupa tuturan penyiar yang memiliki implikatur percakapan
dan implikatur konvensional. Pengumpulan data menggunakan metode simak,
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
13
dengan teknik dasar berupa teknik sadap, dilanjutkan dengan teknik Simak
Bebas Libat Cakap (SBLC), teknik rekam dan teknik catat. Pada tahap
analisis data digunakan metode padan yaitu berupa metode padan pragmatis.
Teknik dasar analisis data yang digunakan adalah teknik Pilah Unsur Penentu
(PUP) dan teknik lanjutan Hubung Banding Menyamakan (HBS). Pada tahap
penyajan, data yang dianalisis disajikan dengan metode informal yaitu
perumusan kata-kata biasa. Hasil penelitiannya berupa bentuk-bentuk
implikatur yang terdapat pada tuturan penyiar radio yaitu implikatur
konvensional dan implikatur percakapan.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Bunga Maratus Sholikah
dengan penelitian ini terletak pada teori implikatur dan penggunaan metode
pada tahap pengumpulan, analisis, serta penyajian data. Perbedaannya yaitu
penelitian Bunga Maratus Sholikah menggunakan data dan sumber data
berupa tuturan penyair di Radio Paduka 100,6 FM, sedangkan penelitian ini
menggunakan data dan Sumber datanya berupa tuturan dalam naskah drama
Wek-Wek karya Iwan Simatupang.
B. Landasan Teori
1. Wacana
Menurut Douglas (dalam Mulyana, 2005: 3), istilah “wacana” berasal
dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata
tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. Menurut
Webster (dalam Mulyana, 2005: 4), wacana diartikan sebagai ucapan lisan dan
dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus dalam satu rangkaian
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
14
dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat. Menurut Teum A. Van Dijk
(dalam Lubis, 2015: 23), wacana yaitu kesatuan dari beberapa kalimat yang
satu dengan yang lain terikat dengan erat.
Menurut Chaer (2003: 267), wacana adalah satuan bahasa yang lengkap,
sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi
atau terbesar. Sependapat dengan Chaer, Kridalaksana (2001: 231),
menyatakan bahwa wacana merupakan satuan terlengkap, dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini
direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri
ensiklopedia, dan lain-lain), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa
amanat yang lengkap. Mulyana (2005: 4), istilah wacana dapat dimaknai
sebagai ucapan, perkataan, bacaan yang bersifat kontekstual.
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tentang wacana, penulis dapat
menyimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, disusun
secara teratur dan membentuk suatu makna, dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana juga bisa dalam
bentuk ucapan lisan maupun tulisan. Wacana dapat direalisasikan dalam
bentuk karangan yang utuh seperti, paragraf, kalimat, atau kata yang
membawa amanat yang lengkap.
2. Pragmatik
Menurut Wijana (1996: 2), semantik dan pragmatik adalah
cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual,
hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik
mempelajari makna secara eksternal. Hal ini dapat diartikan, ilmu semantik
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
15
dan pragmatik merupakan ilmu yang mengkaji tentang makna. Namun, kajian
tentang makna dari pragmatik dan semantik berbeda. Semantik mengkaji
makna secara internal, sedangkan pragmatik mengkaji makna secara eksternal,
yaitu maksud ujaran penutur.
Perbedaan ilmu semantik dengan pragmatik terletak pada konteksnya.
Wijana (1996: 2), menyatakan bahwa semantik adalah makna yang bebas
konteks, sedangkan makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang
terikat konteks. Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin
dikenal pada masa sekarang ini, walau pun pada kira-kira dua dasa warsa yang
silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa.
Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para ahli bahasa, bahwa upaya untuk
menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa
didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu
digunakan dalam komunikasi, Leech (1993: 1).
Menurut Kridalaksana (2001: 176), pragmatik merupakan ilmu bahasa
yang mempelajari isyarat-isyarat bahasa yang mengakibatkan serasi-tidaknya
pemakaian bahasa dalam komunikasi. Aspek-aspek pemakaian bahasa atau
konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran.
Verhaar dkk. (2016: 14), menyatakan pragmatik merupakan cabang ilmu
linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai
alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur, dan sebagai pengacuan
tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
16
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa Semantik dan Pragmatik itu berbeda, perbedaan tersebut terletak pada
pengkajian maknanya. Pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang
membahas makna-makna satuan lingual secara eksternal terkait dengan aspek
pemakainya, disesuaikan dengan konteks dan situasi berbahasa. Aspek-aspek
pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan
kepada makna ujaran.
3. Konteks
Menurut Cummings (2007: 5), pragmatik tidak dapat didefinisikan
dengan lengkap apabila konteksnya tidak disebutkan. Gagasan tentang
kontesk berada di luar pengejawantahannya yang jelas seperti latar fisik
tempat dihasilkannya suatu ujaran yang mencakup faktor-faktor linguistik,
sosial, dan epistemis. Mulyana (2005: 21), menyatakan bahwa konteks adalah
situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud,
maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi
peristiwa tuturan itu. Sementara itu, Kridalaksana (2001: 120), mengatakan
bahwa konteks merupakan aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang
kait-mengkait dengan ujaran tertentu. Pengetahuan yang sama harus dimiliki
pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang
dimaksud pembicara. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan
terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Kristina, dkk. (2015), mengatakan
bahwa untuk memahami maksud pemakaian bahasa kita dituntut pula
memahami konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
17
Menurut Sobur (2009: 56), konteks memasukkan semua situasi dan hal
yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti
partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang
dimaksudkan, dan sebagainya. Arti atau makna sebuah kalimat sebenarnya
barulah dapat dikatakan benar apabila kita ketahui siapa pembicaranya, siapa
pendengarnya apabila diucapkan dan lain-lain. Anton M. Moeliono dan
Samsuri (dalam Mulyana, 2005: 23), menyatakan bahwa konteks terdiri atas
beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa,
bentuk, amanat, kode, dan saluran.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian konteks di atas,
dapat disimpulkan bahwa keberadaan konteks sangat diperlukan dalam sebuah
peristiwa tutur. Konteks merupakan bagian yang menyertai teks. Makna dalam
sebuah kalimat atau tuturan dapat dikatakan benar apabila diketahui darimana
kalimat atau tuturan itu ada. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan
sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat,
adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran.
4. Implikatur
Menurut Echols (dalam Mulyana, 2005: 11), istilah implikatur hampir
sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan.
Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya sudah diketahui oleh para
pembicara. Oleh karena itu, tidak perlu diungkapkan secara eksplisit. Kristina,
dkk. (2015), mengatakan implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu
yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Levinson (dalam Nadar,
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
18
2009: 61), menyatakan bahwa implikatur sebagai salah satu gagasan atau
pemikiran terpenting dalam pragmatik. Nadar (2009: 61), memberikan
penjelasan lebih lanjut bahwa implikatur dapat menjelaskan secara eksplisit
tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan suatu tuturan lebih banyak
dari apa yang dituturkan.
Menurut Wijana (1996: 38), implikatur adalah hubungan antara tuturan
dengan pesan yang disiratkan dan tidak bersifat semantik, keterkaitan
keduanya hanya didasarkan pada latar belakang yang mendasari kedua
proposisinya. Sementara Lubis (2015: 70), berpendapat bahwa implikatur
merupakan arti atau aspek arti pragmatik. Mulyana, (2005: 11) memberikan
penjelasan bahwa dalam ruang lingkup wacana, implikatur berarti sesuatu
yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Sementara itu, Purwo (dalam
Putrayasa, 2014: 64), mengatakan bahwa pada implikatur terdapat
kesepakatan bersama yang tidak tertulis dan keterkaitan makna juga tidak
terungkap pada kalimat yang diucapkan secara literal. Wijana (1996: 37),
mengatakan implikatur sebuah tuturan tergantung pada implikasi-implikasi
yang hadir dari tuturan tersebut diperkuat dengan konteks yang meliputi
tuturan tersebut. Sebagaimana yang dicontohkan berikut.
(1) A : Doni datang B : Cepat persiapkan
(2) A : Doni datang B : Aku akan pergi dulu
(3) A : Doni datang B : Kamarnya dibersihkan
Jawaban B dalam contoh (1) mungkin mengimplikasikan bahwa Doni
sedang ulang tahun dan akan diberi kejutan. Hal ini menyebabkan munculnya
tuturan “jangan sampai Doni tahu bahwa mereka akan memberi kejutan pada
Doni”. Tuturan yang muncul sebagai tanggapan “Doni datang” pada contoh (2)
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
19
mengimplikasikan bahwa orang itu tidak suka dengan kedatangan Doni.
Implikatur dari tuturan tanggapan tersebut adalah bahwa “orang itu tidak mau
bertemu Doni”. Tuturan “kamarnya dibersihkan” pada contoh (3)
mengimplikasikan bahwa Doni adalah seorang yang pembersih dan akan
marah jika melihat sesuatu yang kotor. Tuturan ini memiliki implikatur bahwa
“orang itu tidak mau mendengarkan Doni berkomentar atau marah-marah”.
Berdasarkan penjelasan definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa dalam tuturan seringkali mengandung pesan yang tersirat. Implikatur
adalah pesan yang tersirat dalam sebuah tuturan yang umumnya dapat
ditafsirkan berdasarkan konteks tuturan. Implikatur dapat mengimplikasikan
banyak tuturan tergantung implikasi yang ditimbulkan dari tuturan tersebut.
Implikatur sebagai salah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam
pragmatik dapat menjelaskan secara eksplisit suatu tuturan.
Menurut Levinson dalam Putrayasa (2014: 64), implikatur merupakan
konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena empat hal. Pertama,
konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional atas fakta-fakta
kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik. Kedua, konsep
implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang
dikatakan secara lahiriah. Sebagai contoh, pertanyaan tentang tempat dapat
dijawab tidak dengan menyebutkan tempatnya secara langsung, tetapi dengan
menyebutkan peristiwa yang biasa mereka lakukan. Perhatikan contoh di
bawah ini.
(4) A : Dimana saya harus menunggunya? (5) B : Ayo kita ngopi.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
20
Kelihatannya, secara konvensional struktural, kedua kalimat itu tidak
berkaitan. Namun, penutur kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang
disampaikannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan penutur pertama,
sebab dia sudah mengetahui dimana mereka biasa bertemu. Ketiga, konsep
implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. Hal ini
diperlukan untuk membedakan antara pesan eksplisit atau penjelasan (seperti
dalam pernyataan yang sebenarnya dikatakan) dan implikatur (pesan tersirat
dari penulis), "yang direkonstruksi secara inferensial dari pembaca," yang
secara tidak langsung dapat diakses dari kesimpulan operasional, Klemenčič
(2014). Contoh sebagai berikut.
(6) Mungkin ada orang di WC. (7) Mungkin ada orang di WC dan mungkin pula tidak ada orang
di WC.
Pada contoh di atas, kalimat (6) sudah mengandung pengertian seperti
yang terkandung dalam kalimat (7). Selain strukturnya, isi dalam kalimat (7)
dapat dinyatakan secara lebih sederhana, seperti pada kalimat (6). Keempat,
konsep implikatur dapat menerangkan berbagai macam fakta atau gejala yang
secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan. Sebagai contoh, ujaran dia pintar
yang berarti kebalikannya, cara kerja metafora dan peribahasa dapat
dijelaskan oleh konsep implikatur.
5. Jenis-Jenis Implikatur
Grice (dalam Mulyana, 2005: 12), menyatakan bahwa ada dua jenis
implikatur, yaitu implikatur konvensional dan konversasional. Speber dan
Wilson (dalam Nadar, 2009: 62), membedakan implikatur menjadi dua macam,
yaitu implicated premises dan implicated conslusoin. implicated premises
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
21
harus dilakukan oleh pendengar yang harus memperolehnya dari ingatannya
atau menyusunnya dengan mengembangkan ancangan-ancangan asumsi yang
diperoleh dari ingatannya. Sedangkan implicated conslusoin diperoleh
dengan jalan menyimpulkan dari keterangan tuturan dengan konteks.
a. Implikatur Konvensional
Konvensional merupakan turunan dari kata “konvensi” yang artinya
persetujuan tersirat di antara penutur bahasa untuk mempergunakan
kaidah yang sama dalam berkomunikasi (Kridalaksana, 2001: 121).
Implikatur konvensional menurut Mulyana (2005: 12), adalah pengertian
yang bersifat umum dan konvensional. Sementara Putrayasa (2014: 70),
menyatakan implikatur konvensional adalah implikatur yang
kehadirannya di dalam percakapan tidak memerlukan konteks khusus.
Yule (2006: 78), menyatakan implikatur konvensional tidak didasarkan
pada prinsisp kerjasama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional
tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak bergantung pada konteks
khusus untuk menginterpretasikannya. Maksudnya, penafsiran implikatur
konvensional bisa langsung pada tuturan tersebut bahkan tanpa konteks
sekali pun sudah bisa dipahami. Hal ini karena penafsiran implikatur
konvensional mangacu pada kesepakatan umum sebagaimana contoh di
bawah ini.
(8) Ahmad anak tentara, pantas ia sangat disiplin.
Selama ini, tentara dianggap sosok yang disiplin, sosok yang tegas
dan sosok yang berwibawa. Implikasi yang muncul adalah dalam
mendidik anak seorang tentara selalu menerapkan kedisiplinan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
22
konvensional lebih menjelaskan pada apa yang dimaksud dan diketahui
secara umum. Jadi, peserta tutur umumnya sudah mengetahui tentang
maksud atau pengertian suatu hal tertentu dalam sebuah tuturan.
b. Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan menurut Mulyana (2005: 13), memiliki
makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pemahaman terhadap hal
“yang dimaksudkan” sangat bergantung kepada konteks terjadinya
percakapan. Maksudnya, keberadaan konteks tentu sangat membantu
penulis dalam memahami maksud yang sebenarnya. Putrayasa (2014: 65),
implikatur percakapan adalah suatu bagian dari kajian pragmatik yang
lebih mengkhususkan kajian pada suatu makna implisit dari suatu
percakapan yang berbeda dengan makna harafiahnya. Karini (2017),
menjelaskan penerjemahan implikatur percakapan, untuk mendapatkan
makna yang lebih akurat daya pragmatik tetap harus muncul dalam teks
terjemahannya.
Menurut Mulyana (2005: 13), implikatur percakapan hanya akan
muncul dalam suatu tindak percakapan. Sesuai dengan pengertiannya,
implikatur sebenarnya adalah pesan tersirat yang terkandung dalam
tindak percakapan. Dalam tindak percakapan terdapat tindak ujar. Tindak
ujar terdiri dari lokusi, ilokusi dan perlokusi. Implikatur seringkali
terkandung dalam tindak ilokusi. Mulyana (2005: 81), menyatakan
bahwa tindak ilokusi (illocutionary act) berarti tindak ujar yang isinya
menyatakan sesuatu. Misalnya tindakan pertanyaan, pernyataan, tawaran,
janji, ejekan, permintaan, perintah, pujian, dan sebagainya. Dalam
penafsirannya ilokusi juga menggunakan konteks untuk mengetahui
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
23
makna yang terkandung dalam tuturan. Hal ini tentu menunjukkan adanya
keterkaitan anatara implikatur dengan tindak ilokusi. Keterkaitannya,
yaitu implikatur merupakan pesan tersirat pada suatu tuturan yang
dinyatakan melalui tindak ilokusi. Berikut contoh implikatur percakapan.
(9) Ibu : Ani, adikmu belum mandi (10) Ani : Ya, Bu. Ini lagi masak air
Pada contoh diatas terdapat tindak implikatur dan tindak ilokusi.
Percakapan antara Ibu dan Ani pada contoh (9) mengandung implikatur
yang bermakna “pesan agar Ani memandikan adiknya”. Sementara tindak
ilokusinya adalah “Ibu menyuruh Ani untuk memandikan adiknya”.
Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan
yang diucapkan ibu hanyalah pemberitahuan bahwa “adik belum mandi”.
Namun, karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan
ibunya, ia menjawab dan siap melaksanakan perintah ibunya untuk
memandikan adiknya.
Nadar (2009: 15-16), mengatakan bahwa tindak ilokusi merupakan
bagian sentral dalam kajian tindak tutur. Sependapat dengan Putrayasa
(2014: 90-92), dalam tindak ilokusi dibagi menjadi lima, yaitu:
a) Representatif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk menetapkan
atau menjelaskan sesuatu apa adanya. Misalnya seperti menyatakan,
melaporkan, memberitahukan, menjelaskan, mempertahankan,
menolak, dan lain-lain.
b) Direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong
pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, perintah,
meminta. Ibrahim (dalam Putrayasa 2014: 91), mengatakan bahwa
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
24
direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan
dilakukan oleh mitra tutur misalnya meminta, memohon, mengajak,
bertanya, memerintah, dan menyarankan.
c) Komisif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong
pembicara melakukan sesuatu, seperti berjanji, bernazar, bersumpah,
dan ancaman.
d) Ekspresif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mengekspresikan
perasaan dan sikap. Misalnya meminta maaf, berterimakasih,
menyampaikan ucapan selamat, memuji dan mengkritik.
e) Deklarasi yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan
seseuatu yang dinyatakan. Misalnya setuju, tidak setuju, benar-benar
salah, dan sebagainya.
Menurut Yule (2006: 74), implikatur percakapan atau sering disebut
implikatur percakapan khusus ialah implikatur yang terjadi dalam
peristiwa komunikasi yang terjadi dalam konteks khusus. Yule (2006: 74),
menjelaskan lebih lanjut bahwa untuk mengetahui implikatur jenis ini kita
perlu memperhitungkan informasi-informasi yang kita ketahui terkait
dengan peristiwa komunikasi tersebut. Cummings (2007: 19),
menyatakan bahwa konteks memberikan kontribusi yang sama dalam
setiap kasus percakapan. Konteks juga memungkinkan peserta tutur untuk
melanggar prinsip kerjasama. Kadang-kadang peserta tutur menggunakan
bahasa yang bersifat ironis, metaforis, dan sebagainya untuk
menyampaikan tuturan dalam suatu percakapan. Berikut contoh dari
implikatur percakapan.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
25
Berdasarkan uraian di atas penulis berkesimpulan bahwa implikatur
percakapan memiliki makna yang bervariasi. Implikatur percakapan
muncul dalam konteks pemakaian bahasa yang bersifat khusus. Konteks
memberikan kontribusi yang sama dalam setiap kasus percakapan, dalam
artian konteks sangat diperlukan dalam implikatur percakapan. Selain itu,
dalam implikatur percakapan juga terdapat relevansi antara jenis-jenis
tindak ilokusi dengan jenis implikatur percakapan yang akan penulis
uraikan pada bagian hasil dan pembahasan.
6. Prinsip Kerjasama
Komunikasi antara penutur dan mitra tutur tentu akan menimbulkan
sebuah percakapan yang memiliki maksud tertentu. Dalam percakapan
terdapat prinsip kerjasama untuk menjalin suatu percakapan yang
komunikatif. Putrayasa (2014: 101), mengatakan bahwa dalam
menyampaikan sebuah maksud, tentu akan ada implikatur yang terjadi.
Cummings (dalam Putrayasa, 2014: 101), menyatakan implikatur yang
terjadi merupakan sebuah kerjasama antara penutur dan mitra tutur. Hal ini
dapat dikatakan bahwa munculnya implikatur dalam sebuah tuturan karena
adanya kerjasama antara penutur dan mitra tutur. Grice (dalam Putrayasa,
20014: 102), mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip
kerjasama, setiap penutur harus mematuhi empat maksim, yakni: maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim pelaksanaan.
a. Maksim Kuantitas
Menurut Rahardi (2005: 53), dalam maksim kuantitas seorang
penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif
memadai, dan seinformatif mungkin. Namun informasi yang diberikan
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
26
tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya. Apabila tuturan yang
tidak mengandung sebuah informasi sesungguhnya diperlukan mitra tutur,
dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama
Grice. Menurut pandangan Grice apabila sebuah tuturan itu mengandung
informasi yang jelas maka tuturan tersebut termasuk dalam masksim
kuantitas yang tidak melanggar. Sebagai contoh di bawah ini.
(11) “Biarlah ia menangis!”
(12) “Biarlah ia yang sedang terluka hatinya menangis!”
Konteks: tuturan tersebut dituturkan oleh seorang teman kepada
teman yang lain untuk tidak mengganggu temannya yang sedang
menangis. Tuturan (11) merupakan tuturan yang sudah jelas dan informatif isinya.
Hal ini karena tanpa ditambahkan informasi lain tuturan tersebut sudah
dapat dipahami maksudnya oleh mitra tutur. Namun apabila informasi itu
ditambahkan seperti pada (12) justru akan menyebabkan tuturan tersebut
berlebihan dan terlalu panjang. Dengan demikian, karena tuturan (12)
disampikan secara tidak informatif dan berlebihan, maka tuturan tersebut
dianggap melanggar prinsip kerjasama Grice.
b. Maksim Kualitas
Maksim kualitas merupakan tuturan yang nyata dan sesuai fakta.
Seseorang dalam menyampaikan tuturan diharapkan mampu memberikan
sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam tuturannya.
Fakta harus didukung dan didasarkan dengan bukti-bukti yang jelas
(Rahardi, 2005: 55). Sebuah tuturan bila didasarkan dengan bukti-bukti
sebenarnya tentu dapat menyampaikan sesuatu yang nyata. Tuturan
berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
27
(13) “Silahkan menggunjing biar saya dapat dikurangi
dosanya!”
(14) “Jangan menggunjing, dosanya nanti bertambah!”
Konteks: tuturan tersebut dituturakan oleh seorang muslim
kepada temannya karena sedang membicarakan keburukannya
kepada teman yang lain.
Tuturan (14) dapat dikatakan sudah memenuhi maksim kualitas. Dapat
dikatakan demikian, karena tuturan tersebut sesuai fakta dan berdasarkan
bukti yang ada. Hal tersebut memungkinkan adanya kerjasama denga
mitra tutur. Tuturan (13) dikatakan melanggar maksim kualitas karena
penutur mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan seseorang.
Membiarkan seseorang menggunjing dalam agama islam merupakan
sesuatu yang dilarang dan sudah seharusnya seorang muslim itu
mengingatkan kepada seorang muslim lainnya.
c. Maksim Relevansi
Di dalam maksim relevansi dinyatakan bahwa agar terjalin kerjasama
yang baik antara penutur dan mitra tutur, penutur dan mitra tutur harus
dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang suatu yang sedang
dipertuturkan (Rahardi, 2005: 56). Apabila tuturan tersebut tidak
memberikan kontribusi demikian, maka akan dianggap tuturan tersebut
tidak mematuhi prinsip kerjasama. Sebagai ilustrasi atas pernyataan di
atas perlu dicermati tuturan berikut.
(15) Pimpinan : “Tolong selesaikan pekerjaanmu minggu
ini!”
Karyawan : “Siap Pak, akan saya laksanakan.”
Konteks: tuturan tersebut dituturkan seorang pimpinan kepada
karyawannya dalam sebuah kantor.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
28
Pertuturan pada (15) di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati
maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati secara
mendalam, tuturan yang disampaikan oleh karyawan yakni “Siap Pak,
akan saya laksanakan.” merupakan tanggapan atas perintah Pimpinan
yang dituturkan sebelumnya, yakni “Tolong selsaikan pekerjaanmu
minggu ini!”. Dengan demikian pertuturan tersebut dapat dikatakan
mematuhi maksim relevansi dalam prinsip kerjasama Grice.
d. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mengharuskan peserta tutur bertutur secara
langsung, jelas, dan tidak kabur. Apabila seseorang bertutur tidak
mempertimbangkan hal-hal tersebut maka dapat dikatakan melanggar
prinsip kerjasama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan,
(Rahardi, 2005: 57). Untuk memperjelas pernyataan di atas, tuturan pada
contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.
(16) A : “Ayo, cepat naik!”
B : “Sebentar dulu, masih kurang.”
Konteks: dituturkan oleh seseorang kepada temannya.
Tuturan (16) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena
apabila kadar kejelasan rendah maka akan dengan sendirinya kadar
kekaburan menjadi sangat tinggi. Tuturan (A) yang berbunyi “Ayo, cepat
naik!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang
sebenarnya diminta oleh mitra tutur. Kata naik dalam tuturan di atas
mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan yang tinggi. Oleh karena itu,
maknanya menjadi sanagat kabur. Hal tersebut dikarenakan kata naik
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
29
memungkinkan adanya penafsiran yang bermacam-macam. Demikian
pula tuturan yang disampaikan (B), yakni “Sebentar dulu, masih kurang.”
mengandung ketaksaan cukup tinggi. Kata kurang pada tuturan tersebut
dapat memungkinkan ada banyaknya persepsi penafsiran karena dalam
tuturan tersebut tidak jelas apa yang masih kurang.
Berdasrkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa setiap maksim
memiliki tujuan yang berbeda untuk menilai sebuah tuturan. Apabila
sebuah tuturan sesuai dengan maksim-maksim di atas, maka dapat
dikatakan mematuhi prinsip kerjasama Grice. Sebaliknya, apabila sebuah
tuturan tidak sesuai dengan maksim-maksim, maka dapat dikatakan
tuturannya melanggar prinsip kerjasama Grice. Namun dalam kegiatan
bertutur yang sesungguhnya dalam masyarakat bahasa Indonesia,
ketidakjelasan, kekaburan dan ketidaklangsungan merupakan hal yang
wajar dan lazim bahkan justru dianggap memiliki tingkat kesantunan yang
tinggi. Mengapa demikian? Karena, dalam menyampaikan maksud tuturan
secara tidak langsung akan mengurangi kerugian bagi orang lain.
7. Prinsip Kesantunan
Kesantunan merupakan cara perperilaku seseorang yang sesuai dengan
kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dalam berkomunikasi tentu
memerlukan kesantunan. Pelaku tuturan memerlukan prinsip kesantunan,
Leech (dalam Putrayasa, 2014: 107). Prinsip kesantunan tentu menjadikan
takaran menilai kesantunan tuturan seseorang dalam bertutur. Leech (dalam
Putrayasa, 2014: 108), mengemukakan bahwa dalam prinsip kesantunan
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
30
terdapat enam maksim, yakni: maksim kebijaksanaan, maksim
kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim
permufakatan, maksim kesimpatisan.
a. Maksim Kebijaksanaan
Menurut Rahardi (2005: 60), peserta tutur hendaknya berpegang pada
prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan diri sendiri dan
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain dalam kegiatan bertutur.
Seseorang ketika bertutur menggunakan maksim kebijaksanaan maka
akan dianggap sebagai orang yang santun. Apabila seseorang berpegang
teguh pada maksim kebijaksanaan maka dirinya akan terhindar dari sikap
dengki, iri hati dan sikap-sikap lain yang kurang santun dalam bertutur.
Ketika bertutur, seseorang dapat meminimalkan perlakuan yang tidak
menguntungkan bagi mitra tutur, sehingga tidak menyakiti hati seseorang.
Dengan kata lain, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila
seseorang menggunakan maksim kebijaksanaan dengan baik. Untuk
memperjelas pernyataan di atas dapat dilihat pada contoh berikut.
(17) “Silahkan duduk Bu! Saya masih kuat berdiri.” “Oh iya terimakasih.”
Konteks: dituturkan oleh seorang anak muda kepada seorang Ibu yang sedang berdiri ketika dalam bus.
Pada tuturan (17) di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang
dituturkan anak muda tersebut sungguh memaksimalkan keuntungan bagi
seorang ibu. Sudah semestinya tuturan semacam itu dituturkan oleh anak
muda kepada seorang ibu. Terlebih lagi yang dihadapi adalah orang tua
yang sudah semestinya dihormati. Sekalipun sebenarnya anak muda itu
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
31
sedang merasa lelah dan perlu duduk, anak tersebut merelakan tempat
duduknya untuk seorang ibu. Tuturan tersebut disampaikan dengan
maksud agar ibu tersebut merasa nyaman ketika naik bus.
b. Maksim Kedermawanan
Pada maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, peserta
tutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap
orang lain akan terjadi apabila seseorang dapat mengurangi keuntungan
bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain
(Rahardi, 2005: 61). Tuturan (18) pada contoh berikut dapat memperjelas
pernyataan di atas.
(18) A : ”Mari naik motor saya, biar saya antar pulang.” B : ”Tidak usah, saya jalan kaki saja”
Konteks: dituturkan oleh seseorang kepada temannya yang sedang berjalan kaki.
Pada tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas
bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara
menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara
menawarkan tumpangan untuk mengantarkan pulang. Dalam masyarakat
Jawa hal demikian merupakan wujud nyata dari sebuah kerjasama. gotong
royong dan kerjasama untuk membangun rumah, gorong-gorong dan lain
sebagainya dapat dianggap sebagai realisasi maksim kedermawanan.
Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi pernah bekerja
bersama dengan orang lain, akan dianggap tidak sopan.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
32
c. Maksim Penghargaan
Menurut Rahardi (2005: 62-63), dalam maksim penghargaan
dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain.
Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta tutur tidak saling mengejek,
mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering
mengejek mitra tutur dalam bertutur akan dianggap orang tersebut tidak
memiliki sopan santun. Hal ini karena tindakan mengejek merupakan
tindakan yang tidak menghargai orang lain. Untuk mempejelas pernyataan
di atas perhatikan contoh (19) berikut.
(19) A : “Mas saya tadi sudah tampil membacakan puisi.” B : ”Oya, tadi aku mendengar baca puisimu jelas sekali
dari sini.” Konteks: dituturkan oleh seseorang kepada temannya dalam ruang sekertariat himpunan mahasiswa program studi.
Pemberitahuan yang disampaikan oleh A terhadap temannya B di atas,
ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau
penghargaan oleh A. Dengan demikian dapat dikatakan dalam tuturan itu
B berperilaku santun terhadap A . Hal demikian karena B berpegang teguh
pada maksim penghargaan dan tidak ingin menyakiti hati orang lain.
d. Maksim Kesederhanaan
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati,
peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara
mengurangi pijian terhadap dirinya sendiri (Rahardi 2005: 64). Seseorang
akan dikatakan sombong apabila dalam kegiatan bertutur selalu
mengunggulkan dan memuji dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
33
di sekitarnya. Dalam masyarakat bahasa Indonesia, kesederhanaan
merupakan parameter penilaian kesantunan seseorang dalam bertutur.
Contoh tuturan (20) berikut untuk memperjelas pernyataan ini.
(20) “Nanti kamu yang jadi moderator ya!” “Ya mas, tapi saya kurang bagus, lho.”
Konteks: dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada rekannya dalam suatu kegiatan kemahasiswaan.
Tuturan (20) dapat dikatakan mematuhi maksim kesederhanan. Hal
ini dapat dilihat dari tanggapan B yang mengatakan “Ya mas, tapi saya
kurang bagus, lho.” dari tanggapan tersebut tentu menunjukan
kesederhanaan. Sementara tuturan A “Nanti kamu yang jadi moderator ya!”
merupakan tuturan yang memberikan kepercayaan bahwa B sanggup
untuk menjalankannya. Tanggapan B seperti itu menunjukkan dirinya
memiliki kesantunan yang baik.
e. Maksim Permufakatan
Menurut Wijana (dalam Rahardi, 2005: 64), maksim permufakatan
seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini,
ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau
kemufakatan di dalam kegiatan bertutur, (Rahardi, 2005: 64).
Kemufakatan atau kecocokan bila diterapkan dengan benar oleh penutur
dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur tentu akan menunjukkan sikap
santun. Di dalam masyarakat Jawa, seseorang tidak boleh memotong
pembicaraan bahkan membantah secara langsung apa yang dipertuturkan
orang lain. Jika ini dilanggar, orang yang bersangkutan dikatakan tidak
memiliki sopan santun. Tuturan berikut dapat digunakan untuk
memperjelas pernyataan ini.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
34
(21) Doni : “Wah lantainya kotor sekali ya, Gus! Agus : “Iya, mana sapunya ya?”
Konteks : dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temanya pada saat mereka masuk ruang kelas.
Tuturan (21) di atas dapat dikatakan sudah mematuhi maksim
permufakatan. Dikatakan demikian, karena tanggapan Agus yaitu “Iya,
mana sapunya ya?” merupakan tanggapan yang menyetujui dengan apa
yan dituturkan oleh Doni. Hal ini tentu menunjukkan adanya kecocokan
dalam bertutur. Sementara tuturan Doni yaitu “Wah lantainya kotor sekali
ya, Gus!” merupakan tuturan yang memberikan pernyataan terhadap apa
yang dilihatnya. Karena tanggapan Agus terdapat sebuah kecocokan,
maka tuturan di atas dapat dikatakan memiliki kesantunan dilihat dari
maksim permufakatan dalam prinsip kesantunan Leech.
f. Maksim Kesimpatisan
Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan para peseta tutur dapat
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak
lainnya (Rahardi, 2005: 65). Sikap simpati terhadap mitra tutur tentu akan
dianggap santun. Sebaliknya, sikap antipati terhadap mitra tutur dalam
kegiatan bertutur akan dianggap tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia
sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatian terhadap orang lain dalam
komunikasi sehari-hari. Sikap simpati terhadap orang lain dapat
ditunjukkan dengan senyuman, anggukan dan lain sebagainya sesuai
tuturan apa yang disampaikan. Contoh di bawah ini dapat memperjelas
pernyataan.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
35
(22) Adik : “Mas, saya lulus ujian skripsi.”
Kakak : “wah, selamat ya.”
Konteks: dituturkan seoerang adik kepada kakanya pada
saat di rumah.
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang adik kepada kakanya yang
telah menerima informasi terkait hasil ujiannya pada saat di rumah.
Tuturan (22) merupakan tuturan yang termasuk dalam maksim
kesimpatisan. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan Kakak yaitu “Wah,
selamat ya”. Pada tanggapan tersebut tentu dapat dilihat bahwa Kakak
ikut senang dengan apa yang disampaikan adiknya. Kata “...selamat ya”
dapat menunjukkan kesimpatisan kakak terhadap apa yang telah diraih
adiknya. Dengan kata lain, tuturan di atas dapat dikatakan memiliki
kesantunan dalam maksim kesimpatisan.
8. Iwan Simatupang
Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal dengan nama
Iwan Simatupang. Lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 dan meninggal di
Jakarta, 4 Agustus 1970. Iwan Simatupang adalah seorang pengarang
Indonesia. Ia belajar di HBS Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran
(NIAS) di Surabaya tetapi tidak selesai. Kemudian ia belajar antropologi di
Universitas Leiden (1954-1956), drama di Amsterdam, dan filsafat di
Universitas Sorbonne, Paris, Prancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958. Ia
pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan
kedua polisi Belanda di Sumatra Utara (1949). Setelah bebas, ia melanjutkan
sekolahnya hingga lulus SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di
Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970).
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
36
Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai
tahun1952. Pada mulanya ia menulis sajak, tapi kemudian ia menulis esai,
cerita pendek, drama, dan roman. Sebagai pengarang prosa, ia menampilkan
gaya baru, baik dalam esainya maupun karya yang lainnya. Karya drama
yang ia ciptakan diantaranya Wek-Wek, Rt 0 Rw 0, Bulan Bujur Sangkar, dan
Taman. Karya novel yang terkenal yaitu Merahnya Merah (1968)
mendapatkan hadiah sastra Nasional 1970 dan Ziarah (1970) mendapatkan
hadiah roman ASEAN terbaik 1977.
9. Naskah Drama
Naskah merupakan karangan dalam bentuk tulisan. Kata drama berasal
dari kata Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi,
dan sebagainya, jadi drama berarti perbuatan atau tindakan, Haryamawan
(dalam Hasanuddin, 1996: 2). Drama adalah kesenian yang melukiskan sifat
dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan perilaku,
Hasanuddin (1996: 2). Dengan demikian, naskah drama berarti karangan
dalam bentuk tulisan yang didalamnya memuat adegan seperti berbuat
berlaku, dan beraksi untuk melukiskan sikap dan kehendak manusia. Dalam
pementasan drama biasanya terdapat naskah drama. Naskah ini digunakan
untuk mempermudah pemain dalam menghafalkan sekenario yang akan
dipentaskan nantinya. Naskah drama termasuk dalam karya satra. Naskah
drama Wek-Wek yang menjadi objek penelitian ini merupakan naskah karya
Iwan Simatupang yang ditulis ulang oleh Teater Anonimus Serang, Banten.
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
37
C. Kerangka Pemikiran
Konteks
Wacana
Pragmatik
Implikatur
Implikatur
Konvensional Implikatur
Percakapan
Maksud
Prinsip Kesantunan Leech: 1. Maksim Kebijaksanaan 2. Maksim Kedermawanan 3. Maksim Penghargaan 4. Maksim Kesederhanaan 5. Maksim Permufakatan 6. Maksim Kesimpatisan
Prinsip Kerja Sama Grice: 1. Maksim Kuantitas 2. Maksim Kualitas 3. Maksim Relevansi 4. Maksim Pelaksanaan
Tuturan tokoh dalam naskah drama Wek-Wek karya Iwan
Simatupang
Implikatur dalam Naskah Drama Wek-Wek Karya Iwan Simatupang
Implikatur Dalam Naskah..., Andi Subandi, FKIP UMP, 2017
top related