swcorner.files.wordpress.com … · web viewberdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan...
Post on 03-Feb-2018
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seorang pekerja sosial perlu mempelajari tingkah laku manusia dalam
lingkungan sosialnya, karena tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial
adalah pengetahuan dasar untuk mempelajari tingkah laku manusia melalui
pendidikan ilmu-ilmu sosial yang relevan dengan pekerjaan sosial. Tingkah laku
manusia dalam lingkungan sosial juga merupakan suatu studi yang mengkaji
bagaimana memahami manusia sebagai individu dan sebagai kolektivitas,
memahami kondisi yang memengaruhi tingkah laku manusia sebagai makhluk
sosial dan melihat bagaimana interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya.
Dapat dikatakan bahwa tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial
(Human Behaviour in the Social Environment) memiliki kedudukan penting
dalam pekerjaan sosial karena dalam perkembangan pekerjaan sosial (teori dan
praktik) senantiasa berhubungan dengan masalah perilaku manusia baik sebagai
individu ataupun kelompok serta dikaitkan dengan lingkungan sosialnya.
Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi pertolongan dapat membantu pemerlu
pelayanan untuk mengembalikan dan menguatkan keberfungsian sosialnya, baik
itu keberfungsian individu maupun situasi sosialnya.
Ketika mempelajari tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya,
salah satu lingkungan sosial individu tersebut adalah keluarga. Keluarga
merupakan awal dari lingkungan manusia hidup dan tinggal. Di dalamnya
merupakan cikal bakal bagi perkembangan perilaku manusia. Peran kedua orang
tua sangat tinggi dalam tumbuh kembang anaknya. Untuk itu dalam makalah yang
berjudul “Keluarga” ini, kami akan menjelaskan apa itu keluarga, hal-hal penting
apa saja yang berhubungan dengan keluarga serta kaitan keluarga dengan tingkah
laku antar anggota keluarganya.
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan keluarga?
1.2.2 Bagaimana struktur keluarga?
1.2.3 Bagaimana relasi dalam keluarga?
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan keberfugsian keluarga?
1.2.5 Apa yang dimaksud dengan teori sistem keluarga?
1.2.6 Pendekatan apa saja yang digunakan untuk menganalisis keluarga?
1.2.7 Apa yang dimaksud dengan krisis keluarga?
1.2.8 Bagaimana upaya mengatasi krisis keluarga?
1.2.9 Apa saja karakteristik konflik keluarga?
1.2.10 Bagaimana pegaruh keluarga terhadap perilaku anak?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah yang
berjudul “Keluarga” ini adalah untuk mengetahui definisi keluarga, mengetahui
struktur keluarga, mengetahui bagaimana relasi yang terjalin dalam keluarga,
mengetahui keberfungsian keluarga, mengetahui teori sistem keluarga,
mengetahui pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis
keluarga, mengetahui krisis dan upaya mengatasi krisis dalam keluarga,
mengetahui karakteristik konflik dalam keluarga serta mengetahui bagaimana
pengaruh keluarga terhadap perilaku anak.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam penyusunan makalah yang berjudul
“Keluarga” ini adalah metode studi pustaka dan melalui internet.
2
BAB II
KELUARGA
2.1 Definisi Keluarga
Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuan
sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga. Pendapat para
ilmuan sosial tersebut antara lain:
Keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal
bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi
(Murdock, 1965).
Keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian
keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan
tehadap generasi baru (Ira Reiss, 1965).
Keluarga adalah suatu tatanan utama yang mengomunikasikan pola-pola
niai yang bersifat simbolik kepada generasi baru (Weigert dan Thomas
1971).
Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), definisi tentang keluarga
setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi
struktural, definisi fungsional, dan definisi interaksional.
a. Definisi struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau
ketidakhadiran keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya.
Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari
keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga
sebagai asal-usul, keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan, dan
keluarga batih.
b. Definisi fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada
terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi tersebut
mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi,
dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada
tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
3
c. Definisi transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang
mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang
memunculkan rasa identitas sebagai keluarga, berupa ikatan emosi,
pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini
memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.
Keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau
perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental
mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang
berada pada suatu jaringan (Hill, 1998). Konsep keluarga tersebut
tampaknya bersesuaian dengan konsep keluarga dalam masyarakat
Indonesia yang memaknai keluarga tidak terbatas pada keluarga inti saja,
tetapi juga keluarga batih.
2.2 Struktur Keluarga
Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu keluarga inti dan keluarga batih.
Keluarga inti adalah kelurga yang di dalamnya hanya terdapat tiga posisi
sosial, yaitu: suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling (Lee, 1982). Struktur
keluarga yang demikian menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi anak,
yaitu keluarga tempat ia dilahirkan. Adapun orang tua menjadikan keluarga
sebagai wahana prokreasi, karena keluarga inti terbentuk setelah sepasanag
laki-laki dan perempuan menikah dan memiliki anak (Berns, 2004). Dalam
keluarga inti hubungan antara suami istri bersifat saling membutuhkan dan
mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak-anak tergantung pada
orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi.
Keluarga inti pada umumnya dibangun berdasarkan ikatan perkawinan.
Perkawinan menjadi pondasi bagi keluraga, oleh karena itu ketika sepasang
manusia menikah akan lahir keluarga yang baru.
Keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain
selain ketiga posisi di atas (Lee, 1982). Bentuk pertama dari keluarga batih
yang banyak ditemui di masyarakat adalah keluarga bercabang. Keluarga
4
bercabang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang sudah
menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua dari
keluarga batih adalah keluarga berumpun. Bentuk ini terjadi manakala lebih
dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua orang tuanya.
Bentuk ketiga dari keluraga batih adalah keluarga beranting. Bentuk ini
terjadi manakala di dalam suatu keluarga terjadi generasi ketiga (cucu) yang
sudah menikah dan tetap tinggal bersama. Adapun keluarga batih dibangun
berdasarkan hubungan antargenerasi, bukan antarpasangan. Keluarga batih
biasanya terdapat dalam masyarakat yang memandang penting hubungan
kekerabatan. Hubungan perkawinan berada pada posisi sekunder dibanding
hubungan dengan orang tua.
Dari segi pemegang wewenang utama atas keluarga, misalnya dalam hal
menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sosialisasi anak, keluarga
dibedakan menjadi matriarki, patriarki, dan egaliter (Berns, 2004). Keluarga
kerajaan Inggris dan masyarakat Minang merupakan contoh keluarga matriarki,
karena ibu menjadi pemegang utama wewenang atas keluarga. Pada umumnya
keluarga menerapkan pola patriarki dengan ayah sebagai pemegang utama
wewenang atas keluarga. Namun pada masa kini, dengan berkembangnya
pandangan tentang kesetaraan gender dan semakin banyaknya keluarga yang
kedua orang tuanya sama-sama bekerja, telah berkembang pola egaliter.
Selain itu variasi keluarga berdasarkan struktur juga mencakup keluarga
dengan orang tua tunggal, baik karena bercerai maupun meninggal, keluarga yang
salah satu orang tuanya jarang berada di rumah karena bekerja di luar daerah,
keluarga tiri, dan keluarga dengan anak angkat. Bahkan di dunia Barat banyak
ditemui keluarga kohabitasi, yang orang tuanya tidak menikah, dan keluarga
dengan orang tua pasangan sejenis.
Berbagai penelitian menemukan pengaruh struktur keluarga terhadap
kualitas keluarga. Skaggs dan Jodl (1999) menemukan bahwa remaja yang tinggal
bukan pada keluarga tiri lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung jawab,
dan kurang mengalami masalah perilaku daripada remaja yang tinggal pada
keluarga tiri yang kompleks. Hubungan yang kompleks pada keluarga tiri
5
menghadirkan tantangan-tantangan yang membutuhkan penyesuaian, sehingga
membuat remaja lebih beresiko mengalami penyesuaian.
Koweleski-Jones dan Dunifon (2006) mengungkapkan bahwa pada kaum
muda kulit putih, orang tua tunggal dan kohabitasi berkaitan dengan tingkat
kesejahteraan yang lebih rendah. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Joblonska
dan Lindber (2007), yang menyatakan bahwa remaja dengan orang tua tunggal
memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap perilaku beresiko, menjadi korban dan
mengalami stres mental, daripada remaja dengan orang tua yang lengkap.
Dengan beberapa pengecualian, pada dasarnya keluarga yang utuh dan
dalam perkawinan yang sah lebih menjamin kesejahteraan anak. Walaupun
demikian, sebagaimana diungkapkan Hetherington (1999), proses yang
berlangsung pada keluarga lebih besar dari pada pengaruhnya terhadap akibat-
akibat pada diri anak, seperti rendahnya perilaku bermasalah dan kepuasan hidup.
Proses dalam keluarga tersebut mencakup proses yang terjadi dalam relasi
pasangan, relasi orang tua-anak, supervisi orang tua kepada anak dan perilaku
kontrol dalam pengasuhan (Leiber, Mack, dan Featherstone, 2009).
2.3 Relasi dalam Keluarga
Pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan
perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan
suami istri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu
relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang
lain, yaitu relasi sibling (saudara sekandung). Ketiga macam relasi tersebut
merupakan bentuk relasi yang pokok dalam suatu keluarga inti. Dalam keluarga
yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk-bentuk relasi yang terjadi
akan lebih banyak lagi, misalnya kakek/nenek-cucu, mertua-menantu, saudara
ipar, dan paman/bibi-keponakan. Setiap bentuk relasi terjadi dalam keluarga
biasanya memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut dipaparkan karakteristik
relasi tersebut.
6
a. Relasi Pasangan Suami Istri
Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi
landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga.
Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan relasi suami istri.
Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan
penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan
memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi
yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Calhoun &
Acocella, 1995).
Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian sebagaimana diungkapkan
Glenn (2003), yakni konflik, komunikas, dan berbagai tugas rumah tangga.
Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya
konflik yang terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara
yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif
merupakan salah satu komponen dalam melakukan resolusi konflik yang
konstruktif. Walaupun demikian, komunikasi berperan penting dalam segala
aspek kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran
terpenting komunikasi adalah untuk membangun kedekatan dan keintiman
dengan pasangan. Bila kedekatan dan keintiman suatu pasangan dapat
senantiasa terjaga, maka hal itu menandakan bahwa proses penyesuaian
keduanya telah berlangsung dengan baik. Keberhasilan membangun
kebersamaan dalam pelaksanaan kewajiban keluarga menjadi salah satu
indikasi bagi keberhasilan penyesuaian pasangan.
b. Relasi Orang Tua-Anak
Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh
pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat
kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan
dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan. Anak-anak menjalani proses
tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan
(Thompson,2006). Pengalaman mereka sepanjang waktu bersama orang-orang
yang mengenal mereka dengan baik, serta berbagai karakteristik dan
7
kecenderungan yang mulai mereka pahami merupakan hal pokok yang
memengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian sosial mereka. Menurut
Thompson, hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan merupakan jalur
bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan keterampilan dan
kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain semenjak dini. Suatu
hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh positif bagi
perkembangan, misalnya penyesuaian, kesejahteraan, perilaku prososial, dan
tranmisi nilai. Sebaliknya, kualitas hubungan yang buruk dapat menumbulkan
akibat berupa malasuai, masalah perilaku, atau psikopatologi pada diri anak.
Dalam tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi orang
tua dan anak pada umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment theory)
yang pertama kali dicetuskan oleh John Bowlby (1969). Bowlby
mengidentifikasikan pengaruh perilaku pengasuhan sebagai faktor kunci dalam
hubungan orang tua-anak yang dibangun sejak usia dini. Pada masa awal
kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan
orang dewasa yang secara teratur merawatnya. Kelekatan merupakan istilah
yang digunakan untuk menggambarkan hubungan khusus antara bayi dan
pengasuhnya. Kelekatan dicirikan sebagai hubungan timbal balik antara sistem
kelekatan dari anak dan sistem pengasuhan dari orang tua (Tuner,2005).
Pengertian yang lebih luas dari kelekatan diungkapkan oleh Mercer (2006),
yakni sebagai ikatan emosional yang terjadi di antara manusia yang memandu
perasaan dan perilaku.
Selain teori kelekatan, hubungan orang tua-anak juga dapat dijelaskan
dengan pendekatan teori penerimaan dan penolakan orang tua (parental
acceptance-rejection theory) yang dikembangkan oleh Rohner. Penerimaan
dan penolakan orang tua membentuk dimensi kehangatan (warmth dimention)
dalam pengasuhan, yaitu suatu kualitas ikatan afeksi antara orangtua dan anak.
Dimensi kehangatan merupakan suatu rentan kontinum, yang ditandai oleh
penerimaan yang mencakup berbagai perasaan dan perilaku yang menunjukkan
kehangatan, afeksi, kepedulian, kenyamanan, perhatian, perawatan, dukungan,
dan cinta. Adapun sisi yang lain ditandai oleh penolakan yang mencakup
8
ketiadaan atau penarikan berbagai perasaan atau perilaku tersebut (kehangatan,
afeksi, dan lain-lain), dan adanya berbagai perasaan atau perilaku yang
menyakitkan secara fisik maupun psikolgis (seperti tidak menghargai,
penelantaran, tak acuh, caci maki, dan penyiksaan). Menurut Rohner dkk.,
persepsi anak terhadap penerimaan dan penolakan orang tua atau sosok
signifikan yang lain akan memengaruhi perkembangan kepribadian individu
dan mekanisme yang dikembangkan dalam menghadapi masalah.
Kajian tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi ke dalam dua masa,
yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirectionality) pada akhir
tahun 60-an dan setelahnya (Chen, 2009). Semasa berkembangnya paham satu
arah (unidirectionality), penelitian tentang hubungan orang tua-anak
memfokuskan pada mengenali strategi pengasuhan, praktik-praktik, perilaku,
gaya, dan pembawaan yang memengaruhi akibat pada anak, misalnya
kompetensi perkembangan yang sehat, prestasi akademik, dan problem
perilaku. Setelah era paham dua arah pengaruh imbal balik antara orang tua
dan anak mulai diperhatikan. Para ilmuan mulai mengenali bahwa baik orang
tua maupun anak merupakan agen bagi proses sosialisasi.
Menurut Chen, kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan tingkatan
dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust),
afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan (responsiveness) dalam
hubungan mereka. Kehangatan menjadi komponen mendasar dalam hubungan
orang tua-anak yang dapat membuat anak merasa dicintai dan mengembangkan
rasa percaya diri. Mereka memiliki rasa percaya dan menikmati kesetaraan
dalam aktivitas bersama orang tua kehangatan memberi konteks bagi afeksi
positif yang akan meningkatkan mood untuk peduli dan tanggap terhadap satu
sama lain.
Rasa aman merupakan dimensi dalam hubungan yang berkembang karena
interaksi yang berulang yang memperlihatkan adanya kesiagaan, kepekaan, dan
ketanggapan. Interaksi tersebut mengembangkan kelekatan pada masing-
masing pihak yang terlibat dalam hubungan. Rasa percaya diri anak dapat
tumbuh karena adanya rasa aman terhadap lingkungannya dan orang lain. Rasa
9
aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan eksplorasi yang
bermanfaat bagi perkembangan kompetensi.
Setelah berkembangnya paham dua arah, area penting yang menjadi fokus
penelitian adalah kaitan antara interaksi orang tua-anak dan relasi yang
terbentuk. Interaksi dan waktu merupakan dua komponen mendasar bagi relasi
orang tua-anak. Yang dimaksud dengan interaksi adalah suatu rangkaian
peristiwa ketika individu A menunjukkan suatu perilaku X kepada individu B,
atau A memperlihatkan X kepada B yang meresponnya dengan Y. Menurut
Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip pokok, yaitu :
Interaksi
Orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu
hubungan. Berbagai interaksi tersebut membentuk kenangan pada interaksi
di masa lalu dan antisipasi terhadap interaksi di kemudian hari.
Kontribusi mutual
Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam
interaksi, demikian juga terhadap relasi keduanya.
Keunikan
Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak, dan
karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau anak yang lainnya.
Pengharapan masa lalu
Interaksi orang tua-anak membentuk suatu cetakan pada pengharapan
keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan
memahami bagaimana anaknya akan bertindak pada suatu situasi.
Demikian pula sebaliknya anak kepada orang tua.
Antisipasi masa depan
Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, masing-masing membangun
pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.
c. Relasi Antarsaudara
Keberadaan saudara baik kandung, tiri, maupun adopsi berpengaruh dalam
kehidupan anak-anak. Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan
yang berlangsung dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada
10
masa kanak-kanak dapat bertahan hingga dewasa. Hubungan dengan saudara
dapat memengaruhi perkembangan individu secara positif maupun negatif
tergantung pola hubungan yang terjadi.
Pada masa kanak-kanak pola hubungan dengan sibling dipengaruhi oleh
empat karakteristik, yaitu : jumlah saudara, ururan kelahiran, jarak kelahiran,
dan jenis kelamin. Penelitian Powell dan Steelman (1990) menemukan bahwa
kombinasi antara jumlah saudara dan jarak kelahiran yang dekat berpengaruh
negatif terhadap prestasi akademik dibandingkan dengan yang memiliki jarak
kelahiran yang jauh. Pola hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi
oleh cara orang tua dalam memperlakukan mereka. Misalnya, ibu menyediakan
waktu yang lebih sedikit untuk interaksi yang bersifat sosial, afeksi, dan
perawatan terhadap anak kedua dibanding dengan anak pertama, terutama bila
anak kedua perempuan (Jacobs & Moss, 1976). Perlakuan orang tua yang
berbeda terhadap anak dapat berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan,
dan harga diri yang pada gilirannya bisa menimbulkan distress pada hubungan
romantis di kemudian hari (Rauer & Voliing, 2007).
Menurut Dunn (2002), pola hubungan antara saudara kandung dicirikan
oleh tiga karakteristik, pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya
pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan
saudara dapat berupa emosi negatif maupun emosi positif. Kedua, keintiman
yang membuat antarsaudara kandung saling mengenal secara pribadi.
Keintiman ini dapat menjadi sumber bagi dukungan maupun konflik. Ketiga,
adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan diantara saudara
kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerja sama, dan
dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan,
dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan satu sama
lain.
Pada satu sisi saudara kandung dapat dianggap sebagai pesaing dalam
memanfaatkan sumber daya dari orang tua. Dalam perfekstif ini seorang anak
dapat mengalami kemunduran perkembangan (regresi) yang disebabkan oleh
kelahiran adiknya. Regresi tersebut menjadi taktik bagi anak untuk
11
memperoleh bagian sumber daya yang lebih besar. Selain itu, terdapat suatu
kecenderungan bahwa orang tua akan menginvestasikan sumber dayanya
secara lebih besar pada anak sulung daripada anak yang lahir kemudian.
Walaupun berbagai penelitian menunjukkan berbagai hal negatif dalam
hubungan antarsaudara yang dikenal dengan sebutan sibling rivary, namun
keberadaan saudara kandung juga bermanfaat (Ihinger-Tallman & Hsiao,
2003), antara lain :
Sebagai tempat uji coba (testing ground). Saat bereksperimen dengan
perilaku baru, anak akan mencobanya terhadap saudaranya sebelum
menunjukkan pada orang tua atau teman sebayanya.
Sebagai guru. Biasanya anak yang lebih besar, karena memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, akan banyak mengajari
adiknya.
Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negosiasi. Saat melakukan tugas
dari orang tua atau memanfaatkan alokasi sumber daya keluarga, kakak
beradik biasanya akan melakukan negosiasi mengenai bagian masing-
masing.
Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama dan
konflik.
Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan.
Sebagai pelindung bagi saudaranya.
Sebagai penerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya terhadap
adiknya.
Sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan
pada keluarga.
2.4 Keberfungsian Keluarga
Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara
fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih
sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya. Keluarga menjalankan
fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi.
12
Dari kajian lintas budaya ditemukan dua fungsi utama keluarga, yakni iternal
(memberikan perlindungan psikososial bagi para anggotanya) dan eksternal
(mentransmisikan nilai-nilai budaya pada generasi selanjutnya) menurut Minuchin
(1974).
Menurut Berns (2004) keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu :
a. Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi
yang ada di dalam masyarakat.
b. Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai,
keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi
sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
c. Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para
anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.
d. Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan,
dan jaminan kehidupan.
e. Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman
interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat
mendalam, mengasuh dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman
pada anak.
Dalam perspektif perkembangan fungsi paling penting dari keluarga
adalah melakukan perawatan dan sosialisasi pada anak. Sosialisasi merupakan
proses yang ditempuh anak untuk memperoleh keyakinan, nilai-nilai dan perilaku
yang dianggap perlu dan pantas oleh anggota keluarga dewasa, terutama orang
tua. Keluarga memang bukan satu-satunya lembaga yang melakukan peran
sosialisasi, melainkan keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam
menjalani kehidupannya. Oleh karena berbagai peristiwa, pada awal tahun
kehidupan anak sangat berpengaruh pada perkembangan sosial, emosi, dan
intelektual anak, maka keluarga harus dipandang sebagai instrument sosialisasi
yang utama.
Kajian tentang keberfungsian keluarga merupakan salah satu faktor topik
yang memperoleh perhatian dari para peneliti dan terapis. Secara umum
keberfungsian keluarga merujuk pada kualitas kehidupan keluarga, baik pada
13
level sistem maupun subsistem, dan berkenaan dengan kesejahteraan, kopetensi,
kekuatan, dan kelemahan keluarga (Shek,2002). Keberfungsian keluarga dapat
dinilai dari tingkat kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (strength) keluarga
dalam menghadapi berbagai tantangan.
a. Kelentingan keluarga
Pendekatan kelentingan keluarga bertujuan untuk mengenali dan
membentengi proses interaksi yang menjadi kunci bagi kemampuan keluarga
untuk bertahan dan bangkit dari tantangan kehidupan yang mengganggu
(Walsh,2006). Perspektif kelentingan memandang distress sebagai tantangan
bagi keluarga, bukan hal yang merusak, serta melihat potensi yang dimiliki
keluarga untuk tumbuh dan melakukan perbaikan. Walsh mendefinisikan
kelentingan sebagai kemampuan untuk bangkit dari penderitaan, dengan
menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya. Kelentingan lebih dari
sekedar kemampuan untuk bertahan (survive), Karena kelentingan
memampukan orang untuk sembuh dari luka yang menyakitkan,
mengendalikan kehidupannya dan melanjutkan hidupnya dengan penuh cinta
dan kasih sayang.
Terdapat tiga faktor yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga,
yaitu sistem keyakinan, pola pengorganisasian keluarga, dan proses
komunikasi dalam keluarga. Keyakinan merupakan lensa yang digunakan
untuk memandang dunia dan kehidupan. Sistem keyakinan merupakan inti
dari kelentingan keluarga yang mencakup tiga aspek, yaitu kemampuan untuk
memaknai penderitaan, berpandangan positif yang melahirkan sikap optimis,
dan keberagaman.
Pola pengorganisasian keluarga mengindikasikan adanya struktur
pendukung bagi integrasi dan adaptasi dari unit atau anggota keluarga. Untuk
menghadapi krisis secara efektif, keluarga harus memobilisasi sumber
dayanya dan melakukan reorganisasi untuk menyesuaikan dengan perubahan
yang terjadi. Pola pengorganisasian keluarga mencakup tiga aspek, yaitu
fleksibilitas, keterhubungan (connectedness), serta sumber daya sosial dan
ekonomi.
14
Komunikasi yang baik merupakan faktor yang penting bagi
keberfungsian dan kelentingan keluarga. Komuikasi mencakup transmisi
keyakinan, pertukaran informasi, pengungkapan perasaan, dan proses
penyelesaian masalah. Keterampilan yang menjadi elemen dari komunikasi
yang baik adalah keterampilan berbicara, mendengar, mengungkapkan diri,
memperjelas pesan, menyinambungkan jejak, menghargai dan menghormati.
Tiga aspek komunikasi yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga adalah:
Kemampuan memperjelas pesan yang memungkinkan anggota keluarga
untuk memperjelas situasi krisis.
Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan yang memungkinkan
anggota keluarga untuk berbagi, saling berempati, berinteraksi secara
menyenangkan, dan bertanggung jawab terhadap masing-masing
perasaan dan perilakunya.
Kesediaan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah sehingga yang
berat sama dipikul dan yang ringan sama dijinjing.
b. Kekukuhan Keluarga
Selain konsep tentang kelentingan keluarga, terdapat ahli yang
mengajukan konsep kekukuhan keluarga. Kekukuhan keluarga merupakan
kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi
kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being) keluarga. Defrain dan
Stinnett (2003) mengidentifikasi enam karakteristik bagi keluarga yang
kukuh, sebagai berikut:
Memiliki komitmen.
Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga memiliki komitmen
untuk saling membantu meraih keberhasilan, sehingga semangatnya
adalah “satu untuk semua, semua untuk satu”. Intinya adalah terdapat
suatu kesetiaan terhadap keluarga dan kehidupan keluarga menjadi
prioritas.
Terdapat kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi.
Setiap orang menginginkan apa yang dilakukannya diakui dan dihargai.
Ketahanan keluarga akan kukuh manakala ada kebiasaan mengungkapkan
15
rasa terima kasih. Setiap anggota keluarga dapat melihat sisi baik dari
anggota yang lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikan
tersebut. Setiap ada keberhasilan dirayakan bersama. Dengan demikian
komunikasi dalam keluarga bersifat positif.
Terdapat waktu untuk berkumpul bersama.
Kuantitas interaksi antara orang tua dan anak di masa kanak-kanak
menjadi pondasi penting untuk membentuk hubungan yang berkualitas di
masa perkembangan anak selanjutnya. Melalui interaksi orang tua-anak
yang frekuensinya sering akan mendukung terbentuknya kelekatan anak
dengan orang tua. Oleh karena itu keluarga yang kukuh memiliki waktu
untuk melakukan kegiatan bersama dan sering melakukannya. Misalnya
makan bersama, bermain bersama, dan melakukan pekerjaan rumah
bersama. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk
menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang akan menyatukan
dan menguatkan mereka.
Mengembangkan spiritualitas.
Bagi sebagian keluarga, komunitas keagaaman menjadi keluarga kedua
yang menjadi sumber dukungan selain keluarganya. Ikatan spiritual
memberikan arahan, tujuan, dan perspektif. Ibarat ungkapan, keluarga-
keluarga yang sering berdoa bersama akan memiliki rasa kebersamaan.
Menyelesaikan konflik serta menghadapi tekanan dan krisis dengan
efektif.
Keluarga yang kukuh akan bersama-sama menghadapi masalah yang
muncul, bukannya bertahan untuk saling berhadapan sehingga masalah
tidak terselesaikan. Konflik diselesaikan dengan cara menghargai sudut
pandang masing-masing terhadap permasalahan. Keluarga yang kukuh
juga mengelola sumber dayanya secara bijaksana dan mempertimbangkan
masa depan, sehingga tekanan dapat diminimalkan. Ketika keluarga
ditimpa krisis, keluarga yang kukuh akan bersatu dan menghadapinnya
bersama-sama dengan saling memberi kekuatan dan dukungan.
16
Memiliki ritme.
Keluarga yang kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang
memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya kehidupan
sehari-hari. Mereka memiliki aturan, prinsip yang dijadikan pedoman.
Ritme atau pola-pola dalam keluarga ini akan memantapkan dan
memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya.
Keberfungsian sosial keluarga juga dapat dilihat dari tiap-tiap peran
anggota keluarganya. Peran di dalam keluarga, mencakup peran sebagai ayah,
sebagai ibu, dan sebagai anak.
a. Peran Ayah
- Bertanggung jawab kepada seluruh anggota keluarga
- Mencari nafkah untuk keluarga
- Pendidik dan memberi nasehat kepada anak-anaknya
- Pelindung dan pemberi rasa aman
- Sebagai kepala keluarga
b. Peran Ibu
- Mengurus keperluan rumah tangga
- Mendampingi ayah daam mengurus anak-anak
- Mengasuh dan mendidik anak-anaknya
- Mengatur gizi makanan keluarga sehari-hari
- Mengatur nafkah yang diberikan ayah
- Pencari nafkah tambahan dalam keluarga
c. Peran Anak Sebagai Kakak dan Adik
- Kakak
Memberi contoh yang baik terhadap adik.
Patuh dan taat terhadap perintah kedua orang tua
Menghormati kedua orang tua
Membantu pekerjaan kedua orang tua
Belajar dengan giat agar tercapai cita-cita
17
- Adik
Patuh dan taat terhadap perintah kedua orang tua
Menghormati kedua orang tua
Membantu pekerjaan kedua orang tua
Belajar dengan giat agar tercapai cita-cita
Keluarga dapat berfungsi sosial jika peran tiap individu di dalam
keluarga dapat berfungsi sosial dengan baik. Jadi dapat dikatakan, bahwa keluarga
dapat berfungsi sosial tergantung dengan keberfungsian tiap-tiap anggota dalam
keluarga tersebut
2.5 Teori Sistem Keluarga
Teori sistem pertama kalidicetuskan oleh Minuchin (1974) yang
mengajukan skema konsep yang memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang
bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen:
Struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam
transformasi.
Keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan
penstrukturan.
Keluarga berdaptasi dengan perubahan situasi kondisi dalam usahanya untuk
kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya.
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntuan fungsional tidak terlihat
yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah
keluarga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi. Pengulangan
transasksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola
tersebut menyokong sistem. Pola transaksi yang meregulasi perilaku anggota
keluarga dipertahankan oleh dua batasan:
Aturan umum yang mengatur organisasi keluarga. Misalnya, dalam keluarga
terdapat hierarki kekuasaan dalam pola hubungan orang tua-anak, dan fungsi
komplementer antara suami dan istri dalam bekerja sebagai tim.
18
Adanya harapan bersama terhadap anggota keluarga tertentu. Harapan
tersebut berasal dari negosiasieksplisit maupun implisit di antara anggota
keluarga dalam kehidupan sehari-hari
Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan
perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan
untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap
anggota keluarga. Untuk itu dibutuhkan transformasi konstan terhadap posisi
anggota keluarga dalam berelasi, agar anggota tetap dapat tumbuh sementara
sistem keluarga mempertahankan kontinuitasnya. Stres dalam sistem keluarga
dapat datang dari empat sumber:
Kontak salah satu anggota dengan kekuatan di luar keluarga.
Kontak seluruh anggota keluarga dengan kekuatan di luar keluarga.
Stres pada titik transaksi dalam keluarga.
Stress yang timbul di sekitar problem anggota yang berkebutuhan khusus atau
keabnormalan fisik.
Dalam menghadapi stres tersebut keluarga mempertahankan kontinuitas
sambil melakukan restrukturisasi yang dimungkinkan.
Randal D. Day (2010) mengungkapkan bahwa keluarga sebuah sistem memiliki
karaktristik sebagai berikut:
1) Keseluruhan (the family as a whole)
Memahami keluarga tidak dapat dilakukan tanpa memahaminya sebagai
sebuah keseluruhan. Persoalan individu tidak hanya dilihat terbatas pada
individu yang bersangkutan. Dalam pendekatan keluarga sebagai sistem,
perhatian utamanya justru diberikan pada bagaimana kehidupan keluarga,
baru kemudian memberikan fokus pada individu.
2) Struktur (underlying structures)
Suatu kehidupan keluarga berlangsung berdasarkan suatu struktur, misalnya
pola interaksi antara anggota keluarga yang menentukan apa yang terjadi di
dalam keluarga. Seorang peneliti atau terapis keluarga akan berusaha
mengungkap pola-pola di dalam keluarga dengan mengamati bagaimana
19
keluarga memecahkan masalah, bagaimana anggota keluarga berkomunikasi
satu sama lain, dan bagaimana keluarga mengalokasikan sumber dayanya.
3) Tujuan (families have goals)
Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin diraih, tetapi untuk mengungkap
tujuan keluarga ini, seorang peneliti atau terapis perlu memiliki keterampilan
observasi yang memadaiuntuk dapat melihat pola-pola yang berulang di
dalam keluarga sebelum tujuan terungkap. Tujuan keluarga ini memiliki
rentang yang luas dan bervariasi dari satu keluarga dengan keluarga yang
lainnya. Selain itu efektivitas pencapaian tujuan suatu keluarga tergantung
seberapa besar sumbangan masing-masing anggota keluarga terhadap
pencapaian tujuan.
4) Keseimbangan (equilibrium)
Keluarga merupakan sistem terbuka dan bersifat dinamis. Dalam rangka
meraih tujuannya, keluarga akan menghadapi situasi dan kondisi di luar
dirinya yang berubah dan berkembang. Keluarga akan senantiasa melakukan
adaptasi, menyesuaikan dengan perubahan dan menanggapi situasi dan
kondisi yang dihadapi. Keluarga akan berusaha mencapai tujuannya dengan
menjaga kehidupannya agar tetap seimbang.
5) Kelembaman (morphostatis)
Keluarga mempertahankan aturan dan menjaga kelangsungan kehidupan
sehari-hari agar berlangsung dengan baik. Ada rutinitas dan kebiasaan yang
sudah menetap yang selalu dijaga untuk tetap berlangsung secara sama dari
hari ke hari. Pada umumnya hal ini berkaitan dengan tugas-tugas
kerumahtanggaan, misalnya memasak, menyapu lantai, dan memandikan
anak.
6) Batas-batas (boundaries)
Setiap sistem memiliki batas-batas terluarnya yang membuatnya terpisah atau
berbeda dengan sistem yang lain. Batas-batas ini muncul manakala dua atau
lebih sistem atau subsistem bertemu, berinteraksi, dan bersama-sama. Sebagai
sebuah sistem terbuka, keluarga memiliki batas-batas terluar yang bersifat
mudah tembus (permeable). Batas-batas dari keluarga dapat dilihat dari
20
aturan-aturanyang dibangun dalam keluarga, misalnya apa saja yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh anggota keluarga. Apabila batas-batasnya
mudah tembus, berarti keluarga memiliki batas-batas yang tidak rapat.
7) Subsistem
Di dalam sistem keluarga terdapat unit-unit subsistem, misalnya subsistem
pasangan suami istri, subsistem relasi orang tua-anak, subsistem peran orang
tua. Salah satu tuga utama dari subsistem keluarga adalah menjaga batas-
batas keluarga. Bahwa keluarga bukan hanya terdiri dari individu-individu
yang menjadi anggota keluarga, melainkan terdapat berbagai interaksi yang
membentuk subsistem keluarga. Proses saling memengaruhi terjadi antar-
individu, subsistem, atau antara subsistem dan individu.
8) Equifinality dan equipotentiality
Equifinality berarti bahwa permulaan dapat membawa padahasil yang sama,
sementara suatu permulaanyang sama dapat pula membawa pada hasil akhir
yang berbeda. Contohnya, berbagai kajian tentang interaksi orang tua-anak
memperlihatkan bahwa keterlibatan yang berlebihan (overinvolvement) dari
orang tua dapat menyebabkan hasil yang berbeda. Sikap orang tua yang
sangat tanggap (over-responsive) dapat menyebabkan sebagian anak sangat
berprestasi (overachieve) dan dapat pula menjadi kurang berprestasi
(underachieve). Adapun equipotentiality, berarti bahwa suatu sebab dapat
menghasilkan suatu akibat sangat terkait dengan proses apa yang berjalan
mengikuti sebab tersebut.
Pendekatan teori sistem yang memandang keluarga sebagai kelompok
yang memiliki sistem hierarki (Henry, 1994), yang artinya bahwa terdapat
subsistem-subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi
dari kualitas individu atau relasi dua pihak (dyadic). Proses saling memengaruhi
antarbagian di dalam keluarga dapat terjadi secara langsung dan tak langsung
(Shaffer, 2002). Pengaruh secara langsung (direct effect) terjadi dalam hubungan
dua pihak, misalnya antara suami dan istri. Dapun pengaruh tak langsung (indirect
effect) dapat berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain, atau
21
pengaruh hubungan dua pihak terhadap pihak yang lain. Misalnya, sikap seorang
suami akan memengaruhi kualitas hubungan ibu dengan bayinya.
Semakin banyak anggota dalam keluarga akan membuat semakin
kompleks sistem sosial yang terbangun, karena setiap anggota keluarga adalah
sosok pribadi yang unik. Keluarga juga merupakan sistem yang dinamik, karena
setiap anggotanya merupakan individu yang berkembang. Sebagai sistem yang
dinamik dan berkembang maka perubahan dan perbaikan dapat dilakukan oleh
keluarga. Keluarga sebagai sistem sosial juga tidak bisa terlepas dari konteks
sosial dan budaya yang lebih besar. Faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi
keluarga dapat berupa agama, komunitas yang lebih besar maupun lingkungan
pertetanggaan.
Keluarga sebagai sebuah sistem memiliki karakteristik yang terkait
dengan kemapuan keluarga dalam beradaptasi untuk meraih kepuasan hidup
keluarga (Henry, 1994). Karakteristk tersebut adalah kelekatan, fleksibilitas, dan
stabilitas. Berbagai penelitian menemukan adanya hubungan antara derajat ikatan
(bonding) yang moderat dan fleksibilitas dengan tingkat kepuasan remaja
terhadap kehidupan keluarga. Ikatan mengindikasikan adanya perasaan dekat
secara emosi dan memiliki waktu bersama. Fleksibilitas menggambarkan adanya
perasaan mampu untuk menyesuaikan dengan kondisi yang dapat maupun tidak
dapat diperkirakan. Adapun stabilitas merujuk pada pemanfaatan waktu untuk
aktivitas rutin sehari-hari dan adanya perayaan pada waktu-waktu tertentu. Bila
ikatan antaranggota keluarga terbentuk cukup kuat, para anggota keluarga mampu
bersikap luwes dalam berinteraksi serta terpelihara saat-saat kebersamaan dalam
keluarga, maka dimungkinkan untuk terwujud hubungan yang harmonis dalam
keluarga. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hubungan orang tua-anak yang
harmonis mendukung perkembangan harga diri pada anak, perkembangan
penalaran moral, dan pencapaian kebahagiaan pada anak.
Dengan pendekatan teori sistem, para peneliti dan terapis keluarga akan
memberikan fokus perhatian pada tindakan yang dapat dilakukan dalam
menangapi peristiwa sehari-hari, para peneliti dapat menduga nilai-nilai yang
22
dimiliki keluarga, bagaimana mereka melakukan penyelesaian masalah, serta
bagaimana mereka memandang dunia ini.
2.6 Pendekatan Untuk Menganalisis Keluarga
1) Pendekatan Peranan
Keluarga sebagai sistem peran merupakan gambaran yang mengandung
harapan, kebudayaan terhadap tingkah laku dalam keluarga merupakan tempat
dimana peranan tersebut dipelajari dan diterapkan.
2) Pendekatan Sebab-Akibat
Menurut Nimkof, keluarga dapat dipandang sebagai:
Keluarga sebagai variabel terikat : keluarga merupakan tujuan
terhadap harapan, tuntutan dan keinginan dari sistem sosial yang lebih
besar.
Keluarga sebagai variabel bebas : keluarga merupakan pendukung
kekuatan potensial bagi suatu generasi sebagai gambaran alternatif di
masa yang akan datang.
3) Keluarga Sebagai Sistem Evolusi
a. Trustee Family
Suatu bentuk keluarga dimana anggota-anggota keluarga merupakan
orang-orang yang dipercaya atas nama keluarga. Jadi, yang disebut
dan diakui sebagai anggota suatu keluarga adalah orang-orang yang
mendapat kepercayaan yang sudah dianggap dan dipercaya sebagai
keluarga sendiri.
Anggota keluarga diberikan hak dan kewenangan penuh oleh keluarga
untuk menentukan aktivitas sendiri. Dalam hal ini berlaku hak
prerogratif (hak menentukan diri sendiri) bagi tiap-tiap anggota
keluarga. Keluarga memberikan kebebasan kepada anggota keluarga
untuk melakukan apa yang ingin dilakukan selama kebebasan tersebut
dilakukan dengan tanggung jawab.
23
b. Domestic Family
Suatu bentuk keluarga antara, yang lambat laun menjadi “Trustee
Family” yaitu suatu kondisi untuk mencapai keleluasaan pengawasan
keluarga terhadap anggota-anggotanya. Dengan adanya kepercayaan,
maka keluarga dapat dengan leluasa melakukan pengawasan terhadap
apa saja yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarganya.
Keluarga membagi kekuasaan dan menciptakan konsep hak-hak
individu agar dipelihara sehingga tidak bertentangan dengan
kewenangan keluarga. Terjadi pembagian kekuasaan dan hak-hak
yang disesuaikan sehingga diharapkan tidak terjadi pertentangan
dengan kewenangan keluarga.
c. Atomistic Family
Suatu bentuk keluarga dimana kekuatan dan ruang lingkup
kewenangan anggota keluarga dikurangi hingga batas terendah.
Terjadi pengurangan kekuatan dan ruang lingkup kewenangan
keluarga hingga batas terendah yang disesuaikan dengan kondisi
lingkungan yang ada. Sehingga keluarga dapat fleksibel dalam
menempatkan dirinya, tidak bersifat kaku.
Keluarga menganggap bahwa anggota merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari keluarga. Terjalinya ikatan emosional antar anggota
keluarga membuat anggota-anggota keluarga sulit memisahkan diri
satu sama lain. Mau bagaimanapun dan seperti apapun anggota
keluarga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keluarganya.
4) Pendekatan Struktural
a. The Nuclear Family
Meliputi tiga tipe, yaitu:
- Perintis, keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri.
Awal adanya suatu keluarga yaitu adanya hubungan antara sepasang
laki-laki dan perempuan yang kemudian menikah, hingga akhirnya
menjadi suami dan istri dalam suatu rumah tangga atau yang sering
disebut sebagai inti dari keluarga.
24
- Bentuk sederhana, terdiri dari pasangan suami istri dengan anak-anak.
Anggota keluarga menjadi bertambah ketika lahir anak-anak dari
sepasang suami istri yang sudah menikah.
- Bentuk berkurang, hanya terdiri dari satu orang tua dan anak-anak.
Kemudian anggota keluarga menjadi berkurang karena adanya
kematian salah satu orang tua, orang tua bercerai, atau suatu hal yang
membuat hanya ada satu orang tua dan anak-anaknya.
b. The Extended Family
Rumah tangga yang terdiri dari orang tua, anak-anak, kakek atau
nenek, paman atau bibi dan saudara-saudara lain, yang masih ada
hubungan keluarga. Keluarga ini juga disebut sebagai keluarga batih,
dimana keluarga ini merupakan bagian yang lebih luas atau cabang
dari keluarga inti. Terdiri dari keturunan yang masih sedarah yang
tinggal dalam satu rumah, contohnya ada nenek-kakek, paman-bibi,
cucu dan lain sebagainya.
c. The Augmented Family
Suatu kondisi atau situasi dimana jumlah anggota keluarga diperluas
dan berkembang dengan anggota keluarga yang tidak memiliki
hubungan keluarga.
5) Pendekatan Fungsional (Fungsi Sistem Keluarga)
a. Goal Attaitment : keluarga sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
b. Pattern Maintanance : keluarga berfungsi sebgai pemelihara pola-pola
hubungan.
c. Integration : keluarga merupakan penyatuan dari kepentingan, tujuan,
hak, dan tanggung jawab dari masing-masing anggota keluarga.
d. Adaptation : keluarga merupakan lingkungan sosial paling kecil yang
bisa melatih adaptasi sosial masing-masing anggotanya.
Dalam pendekatan fungsional ini mengarah pada fungsi sistem keluarga
pada umumya, yakni untuk mencapai tujuan, memelihara hubungan,
penyatuan kepentingan, tujuan, hak, dan tanggung jawab serta melatih
tiap-tiap anggota keluarga untuk beradaptasi.
25
6) Deskripsi dan Klasifikasi Disfungsi Keluarga
a. Adequate Family : keluarga yang memadai, dibentuk oleh
pengalaman-pengalaman dalam mengatasi permasalahan hidup dalam
keluarga.
b. Chaostic Family : keluarga yang mengalami masalah tentang harapan-
harapan atau kesadaran tentang tugas dan tujuan-tujuan keluarga.
c. Neurotic Family : keluarga yang selalu dalam kecemasan yang
diakibatkan karena ketidakbahagiaan akibat dari berbagai masalah.
d. Psychotic Family : keluarga yang bisa mengembangkan suatu unsur
psikis dengan baik atau melaksanakannya dalam cata tertentu atau
mempunyai suatu inti persoalan psikis yang menyatakan gejala-gejala
psikis dalam hal-hal tertentu.
e. The perfectionistic Family : keluarga yang selalu berharap dengan
mencapai semua tujuan dan harapan yang selalu diimpikan dengan
sempurna dan terjadi hubungan orang tua dan anak.
f. The Inadequate Family : keluarga yang mempunyai kepercayaan
berlebihan pada satu orang untuk mendukung, memerintah, dan
mengatasi persoalan-persoalan yang sebenarnya dapat diselesaikan
oleh diri mereka sendiri.
g. The Egocentric Family : keluarga yang cenderung menginginkan
anggota keluarganya berprilaku sesuai dengan yang diinginkan.
h. The Unsocial Family : keluarga yang tidak mempunyai hubungan
dengan masyarakat atau lingkungannya secara baik dan wajar.
7) Aspek-aspek Keluarga
a. Struktural
- Tujuan
Tujuan keluarga tidak lain yaitu menciptakan keluarga yang bahagia,
sejahtera, mandiri, memiliki kemampuan untuk membangun diri
sendiri dan lingkungan.
26
- Boundary
Meliputi batasan-batasan berupa aturan-aturan yang ada pada suatu
keluarga, yang meliputi mana yang boleh dan yang tidak boleh.
- Differensiasi and Specialisasi
Differensiasi meliputi perbedaan-perbedaan (differensiasi) yang
terdapat di dalam keluarga seperti; keturunan, genitas
Specialisasi meliputi hal-hal yang bersifat khusus yang terdapat di
dalam suatu keluarga seperti; sifat, dan sebagainya
- Territoriaality
Meliputi batasan-batasan yang ada pada suatu keluarga, seperti
batasan tempat tinggal yang hanya di tempati oleh keluarga itu
sendiri, dan sebagainya.
b. Bihavioral
- Kontrol Sosial
Keluarga memiliki peran penting untuk melakukan kontrol sosial
kepada anggota-anggota keluarganya, agar anggota keluarga tidak
melakukan penyimpangan-penyimpangan yang tidak diharapkan dan
agar tetap pada jalur yang diharapkan oleh keluarga.
- Sosialisasi
Agen sosialisasi yang paling pertama dan utama setiap diri individu
yaitu keluarga. Bayi lahir di lingkungan keluarga, tumbuh dan
berkembang dilingkungan keluarga dan untuk itu keluarga harus
dapat menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak-anaknya.
- Komunikasi
Komunikasi adalah aspek terpenting dalam keluarga, tanpa
komunikasi keluarga akan mengalami krisis bahkan sampai pada
konflik yang berujung perpecahan atau perceraian yang menjadikan
anak sebagai korban. Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik
antar anggota keluarga.
27
c. Evolusioner
- Stedy State
Stedy state adalah suatu keadaan dimana keluarga ada dalam keadaan
seimbang (stabil). Keluarga selalu berupaya mencapai kondisi
keseimbangan tersebut. Misalnya, ayah akan tetap berperan sebagai
ayah, ibu akan tetap sebagai ibu, dan anak akan tetap berperan sebagai
anak di dalam keluarga.
2.7 Krisis Keluarga
Krisis keluarga adalah kehidupan keluarga dalam keadaan kacau, tak
teratur dan terarah, orang tua kehilangan wibawa untuk mengendalikan kehidupan
anak-anaknya terutama remaja, mereka melawan orang tua, dan terjadi
pertengkaran antara suami-istri. Keluarga krisis dapat berujung kepada perceraian.
Dengan kata lain, krisis keluarga merupakan kondisi labil di dalam keluarga,
dimana komunikasi dua arah dalam kondisi demokratis sudah tidak ada. Jika
terjadi perceraian sebagai puncak dari krisis maka pihak yang paling menderita
adalah anak-anak. Terkadang dalam kasus pengadilan perkara perceraian orang
tua hanya mementingkan masalah siapa yang akan mengasuh anak tetapi jarang
memperhatikan kondisi psikologi anak tersebut. Jika saat ini banyak terjadi
kenakalan anak dan remaja, salah satu faktor penyebab adalah kebanyakan bayi
atau anak yang diurus oleh pembantu rumah tangga.
Berikut adalah faktor-faktor penyebab terjadinya krisis keluarga, yaitu:
1) Kurang atau putus komunikasi diantara anggota keluarga
Faktor kesibukan dan kurangnya kualitas serta kuantitas komunikasi diantara
anggota keluarga menjadi penyebab terjadinya krisis keluarga yang paling
sering muncul. Hal ini dapat menyebabkan anak kurang kasih sayang dan
asuhan dari orang tuanya. Akhirnya, banyak anak atau remaja tidak terurus
dan berujung kepada kenakalan dan penyimpangan perilaku.
2) Sikap egosentrisme
Egosentrisme adalah sifat yang menjadikannya pusat perhatian yang
diusahakan oleh seseorang dengan segala cara. Hal ini sering terjadi pada
28
pasangan suami-istri. Misalnya ayah bertengkar dengan ibu karena tidak mau
mengurus anak, ayah lebih sering bersenang-senang sendiri tanpa
memperhatikan keadaan rumah tangga. Akhirnya terjadi konflik antara ayah
dan ibu di depan anak-anaknya yang menyebabkan sikap bandel dan nakal
dalam diri anak-anak. Sikap bandel ini merupakan dampak dari kekesalan
anak terhadap orang tuanya yang bersifat egosentrimse.
3) Masalah ekonomi
Ada dua jenis penyabab masalah ekonomi ini yaitu kemiskinan dan gaya
hidup. Kemiskinan jelas berdampak terhadap kehidupan keluarga. Jika
keadaan emosional suami-istri tidak dapat menghadapi dan memechakan
masalah, maka akan timbul pertengkaran. Sebab, istri banyak menuntut hal-
hal di luar makan dan minum padahal pendapatan suami tidak seberapa.
Pertengkaran ini juga akan menimbulkan perceraian apabila emosi suami dan
istri tidak dapat tebendung lagi.Perbedaan gaya hidup antara suami dan istri
akan menimbulkan konflik. Walaupun kondisi ekonomi keluarga sudah
mapan, tetapi apabila suami bergaya hidup sederhana dan tidak senang
dengan gaya hidup istri yang lebih cenderung bersifat hedonisme atau
sebaliknya, maka akan menyebabkan pertengkaran. Mengenai hal ini,
Muhammad Maftuh Basuni-yang saat itu menjabat sebagai menteri agama-
(Republika, 19 Agustus 2008 halaman 7) mengemukakan bahwa disorientasi
tujuan suami-istri dalam membangun rumah tangga, kemampuan mengatasi
masalah, dan pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di
masyarakat menjadi penyebab perceraian.
4) Masalah kesibukan
Kesibukan adalah satu kata yang melekat pada masyarakat modern di daerah
perkotaan. Kesibukan ini berfokus pada pencarian materi yaitu harta dan
uang. Sering terjadi apabila prinsip hidup seseorang telah berubah menjadi
seseorang yang sibuk mengejar harta maupun jawaban maka tanggung
jawabnya dalam mengurus keluarga akan berkurang. Jika pada kenyataannya
seseorang tersebut gagal dalam mencapai kekayaan atau mendapatkan harta
29
sebanyak-banyaknya maka akan menyebabkan frustrasi. Hal tersebut juga
dapat berpengaruh kepada hubungan terhadap anggota keluarganya.
5) Masalah pendidikan
Jika pasangan suami-istri memiliki kualitas pendidikan yang baik, maka
mereka dapat mengatasi dan siap menghadapi dalam masalah yang terjadi
dalam rumah tangganya. Namun sebaliknya, apabila kualitas pendidikan
kurang baik pada suami, istri, ataupun keduanya maka akan sering terjadi
saling meyalahkan apabila terjadi masalah dalam rumah tangga. Hal ini dapat
menyebabkan pertengkaran antara suami dan istri.
6) Masalah perselingkuhan
Hubungan suami istri yang sudah kehilangan cinta dan kasih, tekanan pihak
ketiga seperti mertua maupun anggota kelurga lain dalam hal ekonomi, dan
adanya kesibukan masing-masing yang menyebabkan kurangnya hubungan
biologis maupun psikologis sering menjadi penyebab utama perselingkuhan.
7) Jauh dari agama
Segala suatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dirinya jauh dari
nilai dan ajaran agama. Semua agama selalu mengajarkan agamanya untuk
berbuat baik dan mencegah dari perbuatan nahi dan mungkar. Keluarga yang
menganut dan mengamalkan nilai dan ajaran agama lebih jarang
mendapatkan masalah dibandingkan dengan keluarga yang jauh dari
agama.Keluarga yang jauh dari agama lebih sering melakukan perbuatan
tidak baik atau menyimpang dari nilai-nilai masyarakat. Hal tersebut dapat
menyebabkan kerontokan hubungan keluarga dan kenakalan pada anak-
anaknya.
2.8 Upaya Mengatasi Krisis Keluarga
Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya termasuk masalah pada
keluarga, sekalipun masalah itu sangatlah rumit. Akar masalah keluarga
bersumber pada suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lain. Apabila
persoalan keluarga bersumber dari keluraga inti maka penyelesaiannya akan lebih
30
jelas. Namun, apabila masalah tersebut bersumber dari anggota keluarga lain
maka persoalan ini akan akan sulit untuk dipecahkan dan mencari solusinya.
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan krisis
keluarga. Mulai dari cara tradisional sampai cara modern atau bersifat ilmiah.
Cara tradisional terbagi menjadi dua bagian, antara lain
a. Kearifan kedua orang tua.
Kearifan disini diartikan sebagai cara penyelesaian krisis dengan kasih sayang
dan bersifat kekeluargaan. Cara ini memerlukan suatu forum keluarga atau
waktu penting keluarga seperti makan malam bersama, rekreasi, maupun
pembicaraan keluarga. Dengan kata lain kearifan keluarga dapat terjadi jika
kedua orang tua memiliki waktu luang di rumah, dapat menciptakan kondisi
keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang, dan memiliki pengetahuan
mengenai kondisi psikologis anak dan remaja serta cara membimbing anak.
b. Bantuan orang bijak.
Bantuan orang bijak dapat diperoleh dari tokoh masyarakat, orang yang
berpengaruh dalam keluarga, maupun tokoh agama. Masalahnya adalah orang
bijak tersebut hanya memiliki cukup wibawa dan kearifan tetapi kurang
memahami mengenai psikologi anak dan cara membimbing keluarga tersebut.
Tugas mereka hanyalah menasehati dan memberi wejangan agar tidak terjadi
penyimpangan nilai kekeluargaan. Nasihat tersebut terkadang dapat
menyinggung perasaan.
Cara ilmiah adalah cara konseling keluarga (family counseling). Cara ini
telah dilakukan oleh para ahli konseling di seluruh dunia. Ada dua pendekatan
yang dilakukan dalam hal ini yaitu pendekatan menggali emosi, pengalaman, dan
pemikiran klien serta pendekatan kelompok yaitu diskusi dalam keluarga yang
dibimbing oleh konselor keluarga.
Sebelum melakukan konseling keluarga, pendekatan terhadap masing-
masing anggota keluarga sangatlah penting. Hal ini bertujuan agar klien dapat
mengekspresikan perasaan yang mengganjal dan menyedihkan. Setelah muncul
perasaan lega dan tenang maka konselor menggali informasi mengenai
pengalaman keluarga dan hal-hal yang berhubungan perasaan negatif di dalam
31
keluarga. Tujuannya adalah agar konselor mengetahui hal-hal yang
mempengaruhi perilakunya. Selanjutnya konselor berusaha memunculkan pikiran-
pikiran sehat klien agar tercipta suatu keluarga yang utuh dan bahagia.
Konseling keluarga dilakukan setelah masalah-masalah yang rawan pada
masing-masing anggota keluarga telah diselesaikan melalui konseling individual.
Dengan cara demikian tugas konselor keluarga akan lebih ringan dalam
membantu keluarga menyelesaikan masalahnya dan menciptakan keluarga yang
utuh, setelah lancarnya komunikasi di antara mereka. Di dalam proses konseling
keluarga, konselor berupaya sekuat tenaga agar setiap anggota keluarga yang
terlibat dapat berbicara dengan bebas dalam menyatakan perasaan, pengalaman,
dan pendapat mengenai anggota keluarga yang lain.
2.9 Karakteristik Konflik Keluarga
Keluarga merupakan salah satu unit sosial yang hubungan
antaranggotanya terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu,
konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflik di dalam keluarga
terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota
keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut adalah konflik sibling,
konflik orang tua-anak, dan konflik pasangan (Sillars dkk., 2004). Tiga aspek
yang membedakan konflik keluarga dengan kelompok sosial adalah intensitas,
kompleksitas, dan durasi (Vuchinich, 2003).
Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal.
Maka, seandainya konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan, misalnya
perceraian atau minggat dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik tetap
membekas.
Konflik di dalam keluarga lebih sering dan mendalam dibandingkan
konflik sosial lainnya (Sillars dkk., 2004). Konflik dengan orang tua lebih sering
dialami oleh remaja dibanding dengan sebaya (Adam & Lauren, 2001). Konflik
dengan sibling meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kontak (Rafaelli,
1997). Selain itu, jumlah waktu yang dihabiskan bersama lebih signifikan
32
memprediksi konflik sibling dibandingkan faktor usia, jenis kelamin, jumlah
anggota keluarga dan variabel yang lain.
Oleh karena sifat konflik yang tidak bisa dielakkan, maka vitalitas
hubungan dalam keluarga sangat tergantung pada respon masing-masing terhadap
konflik. Frekuensi konflik mencermikan kualitas hubungan, artinya pada
hubungan yang berkualitas, frekuensi konflik lebih sedikit. Walaupun demikian,
banyak keluarga yang sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi
dengan baik (Vuchinich, 2003). Faktor yang membuat fungsi keluarga menjadi
baik adalah bagaimana cara menanggapi dan menyelesaikan konflik dengan baik.
Keluarga yang memiliki interaksi hangat menggunakan pemecahan masalah
konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan menggunakan
pemecahan masalah yang destruktif (Rueter & Conger, 1995).
2.9 Pengaruh Keluarga Terhadap Perilaku Anak
Keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat. Unsur-unsur yang
ada dalam sebuah keluarga baik budaya, mazhab, ekonomi bahkan jumlah
anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan pemikiran anak khususnya
ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak sangat besar dalam
berbagai macam sisi. Keluargalah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan
pembentukan kepribadian anak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada
pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya.
Di semua masyarakat yang pernah dikenal, hampir semua orang hidup
terikat dalam jaringan kewajiban dan hak keluarga yang disebut hubungan peran
(role relations). Seseorang disadarkan akan adanya hubungan peran tersebut
karena proses sosialisasi yang sudah berangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu
suatu proses dimana ia belajar mengetahui apa yang dikehendaki oleh anggota
keluarga lain daripadanya, yang akhirnya menimbulkan kesadaran tentang
kebenaran yang dikehendaki.(Goode, 1983).
Anak-anak memiliki dunianya sendiri. Hal itu ditandai dengan
banyaknya gerak, penuh semangat, suka bermain pada setiap tempat dan
waktu,tidak mudah letih, dan cepat bosan. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu
33
yang besar dan selalu ingin mencoba segala hal yang dianggapnya baru. Anak-
anak hidup dan berpikir untuk saat ini, sehingga ia tidak memikirkan masa lalu
yang jauh dan tidak pula masa depan yang tidak diketahuinya. Oleh sebab itu,
seharusnya orang tua dapat menjadikan realitas masa sekarang sebagai titik tolak
dan metode pembelajaran bagi anak (Zurayk, 1997).
Perkembangan karakter seorang anak dipengaruhi oleh perlakuan
keluarga terhadapnya. Karakter seseorang terbentuk sejak dini, dalam hal ini
peran keluarga tentu sangat berpengaruh. “Keluarga merupakan kelompok sosial
terkecil dalam masyarakat. Bagi setiap orang keluarga (suami, istri, dan anak-
anak) mempunyai proses sosialisasinya untuk dapat memahami, menghayati
budaya yang berlaku dalam masyarakatnya.” (Mudjijono, et al., 1995)
Bila seorang anak dibesarkan pada keluarga pembunuh, maka ia akan
menjadi pembunuh. Bila seorang anak dibesarkan melalui cara-cara kasar, maka
ia akan menjadi pemberontak. Akan tetapi, bila seorang anak dibesarkan pada
keluarga yang penuh cinta kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi
cemerlang yang memilki budi pekerti luhur. Keluarga sebagai tempat bernaung,
merupakan wadah penempaan karakter individu.
Pada masa sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah karena terjadi
perubahan sosial, politik, dan budaya. Keadaan ini memiliki andil yang besar
terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan
fungsinya dalam pendidikan. Tidak seperti fungsi keluarga pada masa lalu yang
merupakan kesatuan produktif sekaligus konsumtif. Ketika kebijakan ekonomi
pada zaman modern sekarang ini mendasarkan pada aturan pembagian kerja yang
terspesialisasi secara lebih ketat, maka sebagian tanggung jawab keluarga beralih
kepada orang-orang yang menggeluti profesi tertentu.
Penanaman moral pada diri seorang anak berawal dari lingkungan
keluarga. Pengaruh keluarga dalam penempaan karakter anak sangalah besar.
Dalam sebuah keluarga, seorang anak diasuh, diajarkan bebagai macam hal, diberi
pendidikan mengenai budi pekerti serta budaya. Setiap orang tua yang memiliki
anak tentunya ingin anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia cerdas
yang memiliki budi pekerti baik agar dapat menjaga nama baik keluarga.
34
Anak bukan lah orang dewasa, ia memiliki sifat-sifat yang khas. Seorang
anak melihat, mendengar, berperasaan, dan berpikir dengan bentuk yang khas,
namun tidak keluar dari logika dan perasaan yang sehat. Misalnya, anak-anak itu
melihat, mendengar, dan berperasaan sebagaimana orang tua melihat, mendengar,
berperasaan, dan berpikir. Karena itu, orang tua seharusnya mempergauli anak-
anak berdasarkan pada anggapan bahwa dia adalah anak-anak. Sebagaimana
dikatakan, “Pemuda tidak akan menjadi pemuda yang sebenarnya selama masa
kanak-kanaknya tidak menjadi anak-anak yang sebenarnya.”
Keluarga memberikan pengaruh pada pembentukan budi luhur bagi
seorang anak. Salah satu ciri anak yang berbudi luhur adalah selalu menunjukkan
sikap sopan dan hormatnya pada orang tua. Budi luhur yang melekat pada setiap
orang bukan datang dengan sendirinya, melainkan harus diciptakan. Terutama
dalam keluarga dan bukan merupakan keturunan. Dengan kata lain, budi luhur
tidak merupakan keturunan melainkan merupakan produk pendidikan dalam
keluarga, merupakan perpaduan antara akal, kehendak, dan rasa.
Uraian tersebut cukup menjelaskan apa arti keluarga yang sesungguhnya.
Keluarga bukan hanya wadah untuk tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak.
Lebih dari itu, keluarga merupakan wahana awal pembentukan moral serta
penempaan karakter manusia. Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam
menjalani hidup bergantung pada berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam
menanamkan ajaran moral kehidupan. Keluarga lebih dari sekedar pelestarian
tradisi, kelurga bukan hanya menyangkut hubungan orang tua dengan anak,
keluarga merupakan wadah mencurahkan segala inspirasi. Keluarga menjadi
tempat pencurahan segala keluh kesah. Keluarga merupakan suatu jalinan cinta
kasih yang tidak akan pernah terputus.
35
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keluarga di Indonesia umumnya terbentuk oleh suatu perkawinan antara
laki-laki dan perempuan dan yang disebut sebagai anggota keluarga adalah orang-
orang yang terikat oleh hubungan darah. Untuk menjaga keharmonisan keluarga,
agar terhindar dari krisis bahkan konflik yang terjadi, maka tiap-tiap anggota
keluarga harus bisa melakukan komunikasi yang baik antar anggota keluarga.
Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting kepada anggotanya
sebagai sarana pendidikan, tempat untuk tumbuh kembang, dan sarana
berinteraksi yang dilakukan pada tiap anggota. Di dalam keluarga inilah tempat
meletakkan dasar-dasar kepribadian, keyakinan, agama, nilai budaya, nilai moral,
dan keterampilan-keterampilan, sehingga sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan perilaku tiap anggota.
Dalam hal ini, keberfungsian sosial keluarga dapat pula dipengaruhi oleh
tiap-tiap peran anggota keluarganya. Peran di dalam keluarga, mencakup peran
sebagai ayah, sebagai ibu, dan sebagai anak. Jika peran-peran tersebut terlaksana
dengan baik, maka keberfungsian keluarga juga akan berjalan dengan baik.
3.2 Saran
Keluarga adalah inti dari proses pembentukan sikap dibentuk, karena
individu akan mempunyai sikap dan sifat seperti apa keluarga itu
mencerminkannya. Maka setiap keluarga mempunyai peran penting dalam setiap
anggota keluarganya, dan anggota keluarga juga mempunyai peran penting
terhadap keutuhan keluarganya. Menjadi sebuah keluarga bukanlah suatu hal yang
mudah ataupun sulit karena keluarga selalu memberikan timbal balik terhadap
tiap-tiap anggota keluarga. Maka sebaiknya sebelum membentuk keluarga
pelajarilah baik-baik apa itu keluarga sebenarnya dan bagaimana keluarga dapat
membentuk sebuah sikap dan sifat terhadap individu.
36
top related