aliran fluida pada saluran tertutup

54
PAPER PRAKTIKUM MEKANIKA FLUIDA ALIRAN TERTUTUP PENGARUH PERUBAHAN PENAMPANG TERHADAP KEHILANGAN ENERGI PADA PIPA POLIVINIL CHLORIDA (PVC)” DISUSUN OLEH : ANDRI ANTARIKSA 05061006014 NOVTRA BERLANDHO 05071006021 RISMA SIHOMBING 05091002007 ADE TRI UTAMI 05091002023 ANDRI SUTENDI 05091002024 WAHYU TRI AMBARINI 05091002028 KELOMPOK 5 PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Upload: risma-sihombing

Post on 30-Jun-2015

3.833 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

PAPERPRAKTIKUM MEKANIKA FLUIDA

ALIRAN TERTUTUP

“PENGARUH PERUBAHAN PENAMPANG TERHADAP

KEHILANGAN ENERGI PADA PIPA POLIVINIL CHLORIDA

(PVC)”

DISUSUN OLEH :

ANDRI ANTARIKSA 05061006014

NOVTRA BERLANDHO 05071006021

RISMA SIHOMBING 05091002007

ADE TRI UTAMI 05091002023

ANDRI SUTENDI 05091002024

WAHYU TRI AMBARINI 05091002028

KELOMPOK 5

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN

JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDERALAYA

2010

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sistem jaringan pipa merupakan komponen utama dari sistem distribusi air

bersih atau air minum suatu perkotaan. Dalam perkembanganya sistem instalasi pipa

memerlukan pengawasan dan perawatan yang kontinyu, hal ini untuk mengurangi

kerugian-kerugian akibat kondisi instalasi yang salah satunya dipengaruhi umur

pipa. Permasalahan-permasalahan yang sering timbul akibat kurangnya perawatan

dan umur pipa antara lain : a) kebocoran, b) lebih sering terjadi kerusakan pipa atau

komponen lainnya, c) besarnya tinggi energi yang hilang dan d) penurunan tingkat

layanan penyediaan air bersih untuk konsumen (Kodoatie, 2002: 262).

Permasalahan-permasalahan di atas diperparah lagi dengan meningkatnya

sambungan-sambungan baru di daerah permukiman maupun industri dengan tanpa

memperhatikan kemampuan ketersediaan air dan kemampuan sistem jaringan air

minum tersebut.

Jaringan pipa air bersih atau instalasi air bersih adalah suatu jaringan pipa

yang digunakan untuk mengalirkan atau mendistribusikan air ke masyarakat. Aliran

terjadi karena adanya perbedaan tinggi tekanan dikedua tempat, tekanan terjadi

karena adanya perbedaan elevasi muka air atau karena digunakannya pompa yang

lebih sering untuk mengalirkan air dari tempat yang rendah ketempat yang lebih

tinggi. Penggunaan pompa dapat pula bertujuan untuk mengurangi adanya faktor

gesekan antara aliran air dengan dinding basah pipa yang timbul di sepanjang

saluran pipa sebagai akibat adanya viskositas cairan.

Pada saat ini, masih banyak digunakan pipa besi (galvanis ) dan pipa jenis

polivinil chlorida (PVC) oleh masyarakat, pipa-pipa tersebut tersedia dipasaran

dengan berbagai merek baik yang diproduksi oleh industri dalam negeri maupun

dari produk impor. Penggunaan pipa oleh masyarakat tentunya dengan berbagai

pertimbangan sesuai dengan kebutuhan, misalnya : saluran pipa harus lebih tahan

terhadap korosi, tahan terhadap temperatur tinggi, tidak mudah pecah atau bocor dan

mudah dipasang secara flexible.

Salah satu gangguan atau hambatan yang sering terjadi dan tidak dapat

diabaikan pada aliran air yang menggunakan pipa adalah kehilangan energi akibat

gesekan dan perubahan penampang atau pada tikungan serta gangguan–gangguan

lain yang mengganggu aliran normal. Hal ini menyebabkan aliran air semakin

lemah dan mengecil.

Perencanaan sistem distribusi air didasarkan pada 2 (dua) faktor utama yaitu

kebutuhan air dan tekanan (Brebbia & Ferrante, 1983 dalam Triatmojo 1996 : 58).

Kebutuhan air yang harus dipenuhi akan menentukan ukuran dan tipe sistem

distribusi yang di inginkan misalnya dipakai kebutuhan 125 liter / orang untuk suatu

jaringan, maka kita harus merencanakan debit dan tekanan yang akan diberikan.

Sedangkan tekanan menjadi penting karena tekanan rendah akan mengakibatkan

masalah dalam distribusi jaringan pipa, namun bila tekanan besar akan memperbesar

kehilangan energi. (Triatmojo 1996 : 58).

Kehilangan energi adalah besar tingkat kehilangan energi yang dapat

mengakibatkan berkurangnya kecepatan aliran air dalam saluran. Secara umum

kehilangan energi dikelompokan menjadi 2 (dua) :

1.1.1. Kehilangan energi akibat gesekan.

Kehilangan energi akibat gesekan disebut juga kehilangan energi primer

(Triatmojo, 1996 : 58) atau major loss (Kodoatie 2002 : 245). Terjadi pada pipa

lurus berdiameter konstan.

1.1.2. Kehilangan energi akibat perubahan penampang dan aksesoris lainnya.

Kehilangan energi akibat perubahan penampang dan aksesoris lainnya

disebut juga kehilangan energi skunder (Triatmojo 1996 : 58) atau minor loss

(Kodoatie 2002 : 245). Misalnya terjadi pada pembesaran tampang (expansion),

pengecilan penampang (contraction), belokan atau tikungan.

Pemakaian jaringan pipa dalam bidang teknik sipil terdapat pada sistem

distribusi jaringan air minum. Sistem jaringan ini merupakan bagian yang paling

mahal dari suatu perusahaan air minum. Oleh karena itu harus dibuat perencanaan

yang teliti untuk mendapatkan sistem distribusi yang efisien. Jumlah atau debit air

yang disediakan tergantung pada jumlah penduduk dan industri yang dilayani, serta

perlu diperhitungkan pertumbuhannya dimasa yang akan datang.

Dalam perencanaan jaringan pipa air bersih di tentukan oleh kebutuhan air

dan tekanan aliran yang diperlukan. Tekanan akan menimbulkan energi aliran,

tekanan kecil akan mengakibatkan masalah dalam distribusi, sedang bila tekanan

besar akan mempertinggi kehilangan energi.

Perlunya penelitian mengenai kehilangan energi pada pipa lurus maupun

adanya perubahan penampang terutama pada pipa jenis polivinil chlorida (PVC)

berdiameter ½ “dan ¾”, hal ini mengingat pipa jenis ini masih banyak dipergunakan

pada pemukiman penduduk maupun industri. Selain itu pipa jenis PVC sangatlah

berbeda dengan pipa jenis lainya sehingga sangat dibutuhkan informasi tentang

berapa besar kehilangan energi pada pipa jenis ini.

2. Tujuan

Penulisan paper ini bertujuan untuk mengetahui kehilangan energi pada pipa

lurus dengan diameter konstan dan kehilangan energi akibat perubahan penampang

pada saluran pipa jenis PVC.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aliran pada Saluran Pipa

Pipa adalah saluran tertutup yang biasanya berpenampang lingkaran yang

digunakan untuk mengalirkan fluida dengan tampang aliran penuh (Triatmojo

1996 : 25). Fluida yang di alirkan melalui pipa bisa berupa zat cair atau gas dan

tekanan bisa lebih besar atau lebih kecil dari tekanan atmosfer. Apabila zat cair di

dalam pipa tidak penuh maka aliran termasuk dalam aliran saluran terbuka atau

karena tekanan di dalam pipa sama dengan tekanan atmosfer (zat cair di dalam pipa

tidak penuh), aliran temasuk dalam pengaliran terbuka. Karena mempunyai

permukaan bebas, maka fluida yang dialirkan dalah zat cair. Tekanan dipermukaan

zat cair disepanjang saluran terbuka adalah tekanan atmosfer.

Perbedaan mendasar antara aliran pada saluran terbuka dan aliran pada pipa

adalah adanya permukaan yang bebas yang (hampir selalu) berupa udara pada

saluran terbuka. Jadi seandainya pada pipa alirannya tidak penuh sehingga masih

ada rongga yang berisi udara maka sifat dan karakteristik alirannya sama dengan

aliran pada saluran terbuka (Kodoatie, 2002: 215). Misalnya aliran air pada gorong-

gorong. Pada kondisi saluran penuh air, desainnya harus mengikuti kaidah aliran

pada pipa, namun bila mana aliran air pada gorong-gorong didesain tidak penuh

maka sifat alirannya adalah sama dengan aliran pada saluran terbuka. Perbedaan

yang lainnya adalah saluran terbuka mempunyai kedalaman air (y), sedangkan

pada pipa kedalam air tersebut ditransformasikan berupa (P/y). Oleh karena itu

konsep analisis aliran pada pipa harus dalam kondisi pipa terisi penuh dengan air.

Zat cair riil didefinisikan sebagi zat yang mempunyai kekentalan, berbeda

dengan zat air ideal yang tidak mempunyai kekentalan. Kekentalan disebabkan

karena adanya sifat kohesi antara partikel zat cair. Karena adanya kekentalan zat cair

maka terjadi perbedaan kecepatan partikel dalam medan aliran. Partikel zat cair yang

berdampingan dengan dinding batas akan diam (kecepatan nol) sedang yang terletak

pada suatu jarak tertentu dari dinding akan bergerak. Perubahan kecepatan tersebut

merupakan fungsi jarak dari dinding batas. Aliran zat cair riil disebut juga aliran

viskos.

Aliran viskos adalah aliran zat cair yang mempunyai kekentalan

(viskositas). Viskositas terjadi pada temperature tertentu. Tabel 2.1. memberikaan

sifat air (viskositas kinematik) pada tekanan atmosfer dan beberapa temperature.

Kekentalan adalah sifat zat cair yang dapat menyebabkan terjadinya tegangan geser

pada waktu bergerak. Tegangan geser ini akan mengubah sebagian energi aliran

dalam bentuk energi lain seperti panas, suara, dan sebagainya. Perubahan bentuk

energi tersebut menyebabkan terjadinya kehilangan energi.

Aliran viskos dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam. Apabila pengaruh

kekentalan (viskositas) adalah cukup dominan sehingga partikel-partikel zat cair

bergerak secara teratur menurut lintasan lurus maka aliran disebut laminar. Aliran

laminar terjadi apabila kekentalan besar dan kecepatan aliran kecil. Dengan

berkurangnya pengaruh kekentalan atau bertambahnya kecepatan maka aliran akan

berubah dari laminar menjadi turbulen. Pada aliran turbulen partikel-partikel zat cair

bergerak secara tidak teratur.

2.1.1 Hukum Newton tentang kekentalan zat cair

Kekentalan zat cair menyebabkan terbentuknya gaya-gaya geser antara 2

(dua ) elemen. Keberadaan kekentalan ini menyebabkan terjadinya kehilangan

energi selama pengaliran atau diperlukan energi untuk menjamin adanya pengaliran.

Hukum Newton (dalam Triatmojo 1996 :2) tentang kekentalan menyatakan

bahwa tegangan geser antara 2 (dua) partikel zat cair yang berdampingan adalah

sebanding dengan perbedaan kecepatan dari kedua partikel (gradien kecepatan)

seperti terlihat dalam gambar 2.1 yang berbentuk :

Seperti yang ditunjukan oleh persamaan (2.1) dan gambar (2.1), apabila 2

(dua) elemen zat cair yang berdampingan dan bergerak dengan kecepatan berbeda,

elemen yang lebih cepat akan diperlambat dan yang lebih lambat akan dipercepat.

Tegangan geser τ pada lapis 1 (satu) bagian bawah mempunyai arah kekiri karena

bagian tersebut tertahan oleh lapis di bawahnya yang mempunyai kecepatan lebih

rendah. Sedangkan lapis 2 (dua) bagian atas bekerja tegangan geser dalam arah

kekanan karena bagian tersebut tertarik oleh lapis di atasnya yang mempunyai

kecepatan lebih besar.

Pada permukaan antara dinding batas dan aliran zat cair juga terjadi

tegangan geser dengan arah berlawanan dengan arah aliran. Tegangan geser pada

dinding batas ini cukup besar karena gradien kecepatan didaerah tersebut sangat

besar.

2.1.2 Aliran Laminer dan Turbulen

Aliran viskos dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe yaitu aliran laminer dan

tubulen. Dalam aliran laminer partikel-partikel zat cair bergerak teratur mengikuti

lintasan yang saling sejajar. Aliran ini terjadi apabila kecepatan kecil dan atau

kekentalan besar.

Pengaruh kekentalan adalah sangat besar sehingga dapat meredam gangguan

yang dapat menyebabkan aliran menjadi turbulen. Dengan berkurangnya kekentalan

dan bertambahnya kecepatan aliran maka daya redam terhadap gangguan akan

berkurang, yang sampai pada suatu batas tertentu akan menyebabkan terjadinya

perubahan aliran dari laminer ke turbulen.

Pada aliran turbulen gerak partikel-partikel zat cair tidak teratur. Aliran ini

terjadi apabila kecepatan besar dan kekentalan zat cair kecil.

2.1.3 Percobaan Osborn Reynolds

Pada tahun 1884 Osborn Reynolds (dalam Triatmojo 1996 : 3) melakukan

percobaan untuk menunjukan sifat-sifat aliran laminer dan aliran turbulen. Alat yang

digunakan terdiri dari pipa kaca yang dapat melewatkan air dengan berbagai

kecepatan (gambar 2.2). Aliran tersebut diatur oleh katub A. Pipa kecil B yang

berasal dari tabung berisi zat warna C. Ujung yang lain berada pada lobang masuk

pipa kaca.

Reynolds menunjukan bahwa untuk kecepatan aliran yang kecil di dalam

aliran kaca, zat warna akan mengalir dalam suatu garis lurus seperti benang yang

sejajar dengan sumbu pipa. Apabila katub dibuka sedikit demi sedikit, kecepatan

akan bertambah besar dan benang warna mulai berlubang yang akhirnya pecah dan

menyebar pada seluruh aliran dalam pipa (Gambar 2.3).

Kecepatan rerata pada mana benang warna molai pecah disebut kecepatan

kritik. Penyebaran dari benang warna disebabkan oleh percampuran dari partikel-

partikel zat cair selama pengaliran. Dari percobaan tersebut dapat disimpulkan

bahwa pada kecepatan kecil, percampuran tidak terjadi dan partikel-partikel zat cair

bergerak dalam lapisan-lapisan yang sejajar, dan menggelincir terhadap lapisan

disampingnya. Keadaan ini disebut aliran laminer. Pada kecepatan yang lebih besar,

benang warna menyebar pada seluruh penampang pipa, dan terlihat bahwa

percampuran dari partikel-partikel zat cair terjadi; keadaan ini disebut aliran

turbulen.

Menurut Reynolds, ada tiga faktor yang mempengaruhi keadaan aliran yaitu

kekentalan zat cair μ (mu), rapat masa zat cair ρ (rho), dan diameter pipa D.

Hubungan antara μ , ρ , dan D yang mempunyai dimensi sama dengan kecepatan

adalah

Reynodls menunjukan bahwa aliran dapat diklasifikasikan berdasarkan suatu

angka tertentu. Angka tersebut diturunkan dengan membagi kecepatan aliran

didalam pipa dengan nilai , yang disebut dengan angka Reynolds. Angka

Reynolds mempunyai bentuk berikut ini :

dengan ν (nu) adalah kekentalan kinematik. Dari percobaan yang dilakukan untuk

aliran air melalui pipa dapat disimpulkan bahwa pada angka Reynolds rendah gaya

kental dominan sehingga aliran adalah laminer. Dengan bertambahnya angka

Reynolds baik karena bertambahnya kecepatan atau berkurangnya kekentalan zat

cair atau bertambah besarnya dimensi medan aliran (pipa), akan bisa menyebabkan

kondisi aliran laminer menjadi tidak stabil. Sampai pada suatu angka Reynolds di

atas nilai tertentu aliran berubah dari laminer menjadi turbulen.

Berdasarkan pada percobaan aliran di dalam pipa, reynolds menetapkan

bahwa untuk angka Reynolds dibawah 2000, gangguan aliran dapat diredam oleh

kekentalan zat cair, dan aliran pada kondisi tersebut adalah laminer. Aliran akan

turbulen apabila angka Reynolds lebih besar dari 4000. Apabila angka Reynolds

berada diantara kedua nilai tersebut 2000<Re<4000 aliran adalah transisi. Angka

Reynolds pada kedua nilai di atas (Re =2000 dan Re = 4000) disebut dengan batas

kritik bawah dan atas.

2.1.4 Hukum Tekanan Gesek

Reynolds menetapkan hukum tekanan gesek (dalam Triatmojo 1996 : 5)

dengan melakukan pengukuran kehilangan energi di dalam beberapa pipa dengan

panjang berbeda dan untuk berbagai debit aliran. Percobaan tersebut memberikan

hasil berupa suatu grafik hubungan antara kehilangan energi fh dan kecepatan

aliran V. Gambar 2.4 menunjukan kedua hubungan tersebut yang dibuat dalam

skala logaritmik untuk diameter tertentu.

Bagian bawah dari grafik merupakan garis lurus, dengan kemiringan 45°,

yang menunjukan bahwa fh sebanding dengan V, yang merupakan sifat aliran

laminer. Sedang bagian atas merupakan garis lurus dengan kemiringan n, dengan n

antara 1,75 dan 2,0 yang tergantung pada nilai Re dan kekasaran. Hal ini

menunjukan bahwa fh sebanding dengan n V , nilai pangkat yang besar berlaku

untuk pipa kasar sedang yang kecil untuk pipa halus. Dari grafik tersebut terlihat

bahwa kehilangan energi pada aliran turbulen lebih besar dari aliran laminer. Hal ini

disebabkan karena adanya turbulensi yang dapat memperbesar kehilangan energi.

2.1.5 Aliran Laminer Dalam Pipa

Dalam aliran laminer partikel-partikel zat cair bergerak teratur mengikiuti

lintasan yang saling sejajar. Aliran laminer lebih mudah terjadi bila kecepatan aliran

relatif kecil sedangkan viskositas cairan besar dan pengaruh kekentalan cukup

dominan dibandingkan dengan kecepatan aliran, sehingga partikel-partikel zat cair

akan bergerak teratur menurut lintasan lurus (Triatmojo 1996 : 6).

Secara matematis aliran laminer akan terjadi bila perbandingan momentum

dan gaya viskous ada di bawah 2000, atau yang lebih dikenal dengan bilangan

Reynold (Re) < 2000. Bilangan Reynold (Re) dapat ditulis dalam bentuk rumus

sebagai berikut:

dengan V = kecepata rerata, D = diameter pipa, ν = kekentalan kinematik.

Kehilangan energi selama pengaliran melalui pipa diturunkan dengan

menggunakan gambar 2.5, kehilangan energi pada pengaliran antara titik 1 dan 2

adalah :

Karena V1 = V2, maka :

Apabila nilai dari persamaan disubsitusikan ke dalam bentuk diatas,

maka akan diperoleh :

dengan ν (nu) adalah kekentalan kinematik. Persamaan ini dikenal sebagai

persamaan Poiseuille. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa aliran laminar

tidak dipengaruhi oleh bidang batas atau kekasaran dinding. Gambar 2.6

menunjukan distribusi kecepatan dan tegangan geser didalam pipa lingkaran.

Tegangan geser pada dinding pipa biasanya diberi notasi o τ .

2.1.6 Aliran Turbulen dan Tegangan Reynolds

Turbulensi adalah gerak partikel zat cair yang tidak teratur dan sebarang

dalam waktu dan ruang. Turbulensi ditimbulkan oleh gaya-gaya viskos dan gerak

lapis zat cair yang berdampingan pada kecepatan berbeda. Aliran turbulen akan

terjadi pada bilangan reynold (Re) lebih besar dari 4000. Analisa teoritis persamaan

kehilangan energi pada aliran turbulen (Re > 4000) akan lebih sulit dibandingkan

yang terjadi pada aliran laminer. Hal ini disebabkan adanya ketidakteraturan aliran

turbulen. Faktor gesekan f dapat diturunkan secara matematis untuk aliran laminer,

tetapi belum ada hubungan matematis yang sederhana untuk aliran turbulen.

Menurut Reynald V Gilles dalam Bambang Triatmojo (1996 : 58), untuk pipa-pipa

halus dan kasar hukum-hukum tahanan universal dapat diturunkan dari :

dengan : f = faktor gesek

0 τ = tegangan geser pada dinding pipa.

ρ = kerapatan air (density)

V = kecepatan aliran

Untuk menentukan tegangan geser yang ditimbulkan oleh turbulensi, dipandang

aliran zat cair melalui suatu elemen dengan luas dA (lihat gambar 2.7).

Pada gambar diatas v’ adalah kecepatan tegak lurus dA dan u’ adalah

fluktuasi kecepatan atau perbedaan kecepatan pada kedua sisi luasan. Massa zat cair

yang melalui luasan dA dalam satu satuan waktu adalah:

dengan menggunakan persamaan momentum:

atau:

Tegangan geser τ karena fluktuasi turbulen diperoleh dengan membagi persamaan

di atas dengan dA:

Atau

Tegangan geser yang diberikan oleh persamaan (2.6) dikenal sebagai tegangan

Reynolds.

2.1.7 Kekasaran Permukaan

Menurut Triatmojo 1996, Pada zat cair ideal aliran melalui bidang batas

mempunyai distribusi kecepatan merata. Sedang pada zat cair riil, karena adanya

pengaruh kekentalan, kecepatan di daerah dekat bidang batas mengalami

perlambatan dan pada bidang batas kecepatan adalah nol. Lapis zat cair di dekat

bidang batas dimana pengaruh kekentalan dominan disebut dengan lapis batas.

Konsep adanya sub lapis laminer di dalam lapis batas pada aliran turbulen

dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku kekasaran permukaan. Apabila

permukaan bidang batas dibesarkan, akan terlihat bahwa permukaan tersebut tidak

halus seperti yang ditunjukan dalam gambar 2.8. Tinggi efektif ketidakteraturan

permukaan yang membentuk kekasaran disebut dengan tinggi kekasaran k.

Perbandingan antara tinggi kekasaran dan jari-jari hidraulis (k/R) atau diameter pipa

(k/D) disebut dengan kekasaran relatif.

Pada gambar 2.8.a tinggi kekasaran lebih kecil dari tebal sub lapis laminer

(k< L δ ) sehingga ketidakteraturan permukaan akan sedemikian kecil sehingga

kekasaran akan seluruhnya terendam di dalam lapis laminer. Dalam hal ini kekasaran

tidak mempunyai pengaruh terhadap aliran di luar sub lapis laminer, dan permukaan

batas tersebut dengan hidraulis licin.

Pada gambar 2.8.b tinggi kekasaran berada di daerah transisi ( L δ < k < T

δ ), dan aliran adalah dalam kondisi transisi.

Pada gambar 2.8.c tinggi kekasaran berada di luar lapis transisi (k > T δ ),

maka kekasaran permukaan akan berpengaruh di daerah turbulen sehingga

mempengaruhi aliran di daerah tersebut. Permukaan ini disebut dengan hidraulis

kasar.

2.2 Kehilangan Energi (head losses)

Zat cair yang ada di alam ini mempunyai kekentalan, meskipun demikian

dalam berbagai perhitungan mekanika fluida ada yang dikenal atau dianggap sebagai

fluida ideal. Menurut Triatmojo (1993), adanya kekentalan pada fluida akan

menyebabkan terjadinya tegangan geser pada waktu bergerak. Tegangan geser ini

akan merubah sebagian energi aliran menjadi bentuk energi lain seperti panas, suara

dan sebagainya. Pengubahan bentuk energi tersebut menyebabkan terjadinya

kehilangan energi.

Secara umum didalam suatu instalasi jaringan pipa dikenal dua macam

kehilangan energi :

2.2.1 Kehilangan energi akibat gesekan

Kehilangan energi akibat gesekan disebut juga kehilangan energi primer

(Triatmojo 1996 : 58) atau major loss (Kodoatie 2002 : 245). Terjadi akibat

adanya kekentalan zat cair dan turbulensi karena adanya kekasaran dinding batas

pipa dan akan menimbulkan gaya gesek yang akan menyebabkan kehilangan energi

disepanjang pipa dengan diameter konstan pada aliran seragam. Kehilangan energi

sepanjang satu satuan panjang akan konstan selama kekasaran dan diameter tidak

berubah.

2.2.2 Kehilangan energi akibat perubahan penampang dan aksesoris lainnya.

Kehilangan energi akibat perubahan penampang dan aksesoris lainnya

disebut juga kehilangan energi sekunder (Triatmojo 1996 : 58) atau minor loss

(Kodoatie 2002 : 245). Misalnya terjadi pada pembesaran tampang (expansion),

pengecilan penampang (contraction), belokan atau tikungan. Kehilangan energi

sekunder atau minor loss ini akan mengakibatkan adanya tumbukan antara partikel

zat cair dan meningkatnya gesekan karena turbulensi serta tidak seragamnya

distribusi kecepatan pada suatu penampang pipa. Adanya lapisan batas terpisah dari

dinding pipa maka akan terjadi olakan atau pusaran air. Adanya olakan ini akan

mengganggu pola aliran laminer sehingga akan menaikan tingkat turbulensi.

Pada aliran laminer akan terjadi bila bilangan reynold (Re) < 2000, dengan

persamaan kehilangan energi pada aliran laminer sepanjang pipa L menurut Hagen-

Poiseuille adalah sebagai berikut :

Dengan : h = Tinggi kehilangan energ

ν = viskositas zat cair

g = Percepatan grafitasi

D = Diameter pipa

V = Kecepatan aliran

L = Panjang pipa

Persamaan tersebut dapat ditulis dalam bentuk:

Persamaan diatas dapat ditulis dalam bentuk persamaan Darcy – Weisbach.

Dengan

Dengan demikian untuk aliran laminar koefisien gesekan mempunyai bentuk

persamaan

dengan : f = Faktor gesek

Re = Angka Reynold

2.3 Pipa halus.

Koefisien gesekan pipa tergantung pada parameter aliran (Triatmojo 1996 :

31), apabila pipa adalah hidrolis halus parameter tersebut adalah kecepatan aliran

diameter pipa dan kekentalan zat cair dalam bentuk angka reynolds. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Blasius, dia mengemukakan rumus gesekan f untuk pipa

halus dalam bentuk:

Dari persamaan empiris koefisien gesekan tersebut diatas akan dapat di

hitung kehilangan energi disepanjang pipa berdasar persamaan Darcy-Weisbach.

Sedangkan percobaan Nikuradse memberikan persamaan yang agak berbeda

dengan Blasius. Persamaan tersebut adalah :

2.4 Pipa Kasar

Tahanan pada pipa kasar lebih besar dari pada pipa halus, untuk pipa halus

nilai f hanya tergantung pada angka Reynolds. Untuk pipa kasar nilai f tidak

hanya tergantung angka Reynolds, tetapi juga pada sifat-sifat dinding pipa yaitu

kekasaran relatif k/D, atau ) / (Re, D k f φ = dengan k = kekasaran dinding pipa,

D = diameter pipa.

Nikuradse (dalam Triatmojo 1996 :36) melakukan percobaan tentang

pengaruh kekasaran pipa. Percobaan tersebut meliputi daerah aliran laminer dan

turbulen sampai pada angka Reynolds Re = 6 10 , dan untuk enam kali percobaan

dengan nilai k/D (kekasaran relatif) yang bervariasi antara 0.0333 sampai 0.000985.

Hasil percobaan merupakan hubungan antara f , Re, dan k/D seperti gambar

dibawah ini.

2.4.1 Daerah I

Daerah I merupakan daerah aliran laminer dimana Re < 2000. Hubungan

antara f dan Re merupakan garis lurus (kemiringan 0 45 untuk skala harisontal dan

vertikal yang sama), dan tidak dipengaruhi oleh kekasaran pipa. Di daerah ini

koefisien gesekan diberikan oleh persamaan f = 64/Re.

2.4.2 Daerah II

Daerah ini terletak antara Re = 2000 dan Re = 4000, yang merupakan daerah

tidak stabil dimana aliran berubah dari laminer ke turbulen atau sebaliknya. Aliran

tidak banyak dipengaruhi oleh kekasaran pipa.

2.4.3 Daerah III

Daerah ini merupakan daerah aliran turbulen dimana kekasaran relatif pipa

mulai berpengaruh pada koefisien gesekan f . Daerah ini dapat dibedakan menjadi 3

(tiga) sub daerah berikut ini :

2.4.3.1 Sub daerah pipa halus

Daerah ini di tunjukan oleh garis paling bawah dari gambar 3, yang

merupakan aliran turbulen melalui pipa halus. Koefisien gesekan pipa f dapat

dihitung dengan rumus Blasius.

2.4.3.2 Sub daerah transisi

Di daerah sub transisi ini koefisien gesekan tergantung pada angka Reynolds

dan kekasaran pipa. Daerah ini terletak antara garis paling bawah dan garis terputus

dari gambar 3, kekasaran relatif k/D sangat berpengaruh terhadap nilai f .

2.4.3.3 Sub daerah pipa kasar

Sub daerah ini terletak di atas garis terputus. Apabila angka Reynolds di atas

suatu nilai tertentu, koefisien gesekan tidak lagi tergantung pada angka Reynolds,

tetapi hanya tergantung pada kekasaran relatif. Untuk suatu nilai k/D tertentu nilai f

adalah konstan dan sejajar dengan sumbu harisontal. Di daerah ini pengaliran adalah

turbulen sempurna.

Rumus empiris untuk pipa kasar hasil percobaan Nikuradse adalah:

Untuk aliran di daerah transisi, Colebrook menggabungkan persamaan untuk pipa

halus dan pipa kasar sebagai berikut:

Persamaan – persamaan di atas memberikan nilai f dalam suatu persamaan

implisit. Moody (1944) (dalam Triatmojo 1996 :40) menyederhanakan prosedur

hitungan tersebut dengan membuat suatu grafik berdasarkan persamaaan Colebrook.

Grafik tersebut dikenal sebagai grafik Moody seperti terlihat pada gambar 2.10.

Grafik tersebut mempunyai empat daerah yaitu daerah pengaliran laminar,

daerah kritis dimana nilainya tidak tetap karena pengaliran mungkin laminar atau

turbulen, daerah transisi di mana f merupakan fungsi dari angka Reynolds dan

kekasaran dinding pipa, dan daerah turbulen sempurna di mana nilai f tidak

tergantung pada angka Reynolds tetapi hanya pada kekasaran relatif. Untuk

menggunakan grafik tersebut, nilai k diperoleh dari table 2.2. Untuk pipa tua nilai f

dapat jauh lebih besar dari pipa baru, yang tergantung pada umur pipa dan sifat zat

cair yang dialirkan. Untuk pipa kecil, endapan atau kerak yang terjadi dapat

mengurangi diameter pipa. Oleh Karena itu diperlukan kecermatan di dalam

mengestimasi nilai k dan juga f .

Untuk pengaliran turbulen sempurna, dimana gesekan berbanding langsung

dengan 2V dan tidak tergantung pada angka Reynolds, nilai f dapat ditentukan

berdasarkan kekasaran relatif. Pada umumnya masalah-masalah yang ada pada

pengaliran di dalam pipa berada pada daerah transisi dimana nilai f ditentukan juga

oleh angka Reynolds. Sehingga apabila pipa mempunyai ukuran dan kecepatan aliran

tertentu, maka kehilangan tenaga akibat gesekan dapat langsung dihitung.tetapi jika

diameter atau kecepatan tidak diketahui maka angka Reynolds juga tidak diketahui.

Dengan perubahan nilai angka Reynolds yang besar, perubahan nilai f sangat kecil.

Sehingga perhitungan dapat diselesaikan dengan menentukan secara sembarang nilai

angka Reynolds atau f pada awal hitungan dan dengan cara coba banding (trial and

error) akhirnya dapat dapat dihitung nilai f yang terakhir (yang benar). Oleh karena

nilai f berkisar antara 0.01 dan 0.07, maka yang paling baik adalah menganggap

nilai f , dan biasanya dengan dua (2) atau tiga (3) kali percobaan akan dapat

diperoleh nilai f yang benar.

2.5 Perubahan penampang pipa

Disamping adanya kehilangan energi akibat gesekan, terjadi pula kehilangan

energi yang disebabkan oleh perubahan penampang pipa. Pada pipa panjang

kehilangan energi akibat gesekan biasanya jauh lebih besar dari pada kehilangan

energi akibat perubahan penampang, sehingga pada keadaan tersebut kehilangan

energi akibat perubahan penampang dapat diabaikan. Pada pipa pendek kehilangan

energi akibat perubahan penampang harus diperhitungkan.

Untuk memperkecil kehilangan energi akibat perubahan penampang,

perubahan penampang dibuat secara beransur-ansur.

2.5.1. Pembesaran Penampang

Perbesaran penampang mendadak dari aliran seperti yang ditunjukan pada

gambar 10 mengakibatkan kenaikan tekanan dari P1 menjadi P2 dan kecepatan

turun dari V1 menjadi V2. Pada tempat disekitar perbesaran penampang (1) akan

terjadi olakan dan aliran akan normal kembali mulai dari tampang (2). Di darah

antara tampang 1 dan 2 terjadi pemisahan aliran (Triatmojo 1996 :59).

Karena V1 lebih besar dari V2 maka akan terjadi tumbukan di daerah antara

tampang satu dan tampang dua. Tekanan ditampang dua sebesar P2. tekanan rerata

ditampang satu pada bagian yang tidak efektif (bentuk cincin) adalah P’, dan gaya

tekanan adalah (A2 – A1)P’. Persamaan momentum untuk gaya-gaya yang bekerja

pada zat cair antara tampang satu dan dua adalah :

Kedua ruas dari persamaan tersebut dibagi dengan A2y, sehingga :

Persamaan Bernoulli untuk kedua tampang diperoleh :

Persamaan kontinuitas A1 V1 = A2 V2, atau :

Apabila dianggap bahwa P1 = P’ dan berdasarkan persamaan kontinuitas maka

persamaan menjadi :

Kehilangan energi pada perbesaran penampang akan berkurang apabila perbesaran

dibuat secara berangsur-angsur seperti gambar 2.12. Kehilangan energi diberikan

oleh persamaan berikut :

Dengan K’ tergantung pada sudut dan diberikan oleh table 2.3.

2.5.2. Penyempitan Penampang

Pada penyempitan penampang yang mendadak garis aliran pada bagian hulu

dari sambungan akan mengecil pada vena kontrakta. Percobaan-percobaan yang

telah dilakukan menunjukan bahwa luas tampang pada vena kontrakta sekitar 0.6 A2

(Triatmodjo, 1996 : 62). Berdasarkan nilai ini maka kehilangan energi dihitung

dengan cara seperti pada pembesaran penampang mendadak, yaitu di vena kontrakta

ke pipa kecil (tampang dua) dan hasilnya adalah :

dengan Ac dan Vc adalah luas tampang dan kecepatan pada vena kontrakta.

Mengingat Ac = 0.6 A2 dan berdasarkan persamaan kontinuitas di daerah vena

kontrakta, AcVc = A2V2 atau

Maka :

Atau : atau

Dengan : c h = kehilangan enegi akibat penyempitan

2 V = kecepatan aliran pada pipa 2

c K = koefisien kehilangan energi akibat penyempitan

g = percepatan grafitasi

Dengan nilai Kc untuk berbagai nilai D2 / D1 tercantum pada tebel berikut :

SALURAN TERTUTUP BERPENAMPANG LINGKARAN DENGAN

ALIRAN PENUH (ALIRAN SALURAN TERTUTUP)

Geometri saluran tertutup berpenampang lingkaran yang dialiri penuh seperti

tampak pada Gambar 4.1(a) adalah :

SALURAN TERTUTUP YANG TIDAK DIALIRI PENUH (ALIRAN

SALURAN TERBUKA)

Aliran di dalam saluran tertutup yang tidak penuh dikategorikan sebagai

aliran saluran terbuka seperti tampak pada Gambar 4.1(b) apabila kedalaman aliran

adalah sebesar setengah dari diameter penampang maka :

Pada percobaan Reynold ditunjukkan suatu aliran air dari suatu bak air ke

suatu pipa gelas yang diatur debitnya oleh sebuah keran. Untuk melihat jenis aliran

didalam pipa gelas digunakan zat pewarna yang mempunyai berat jenis sama dengan

berat jenis air (S=1). Di dalam percobaan-percobaannya Reynold menemukan

bahwa apabila kecepatan rata-rata aliran di dalam pipa gelas lebih rendah daripada

suatu harga kritis tertentu, zat pewarna akan mengalir di dalam pipa bersama-sama

dengan aliran air dalam bentuk garis arus lurus seperti tampak pada Gambar 4.4.b.

Tetapi, apabila kecepatan aliran di dalam pipa diperbesar melebihi suatu

harga kritis tertentu, aliran zat pewarna mengikuti aliran air yang menjadi tidak

teratur garis- garis arusnya. Karena bertambahnya kecepatan maka terjadi pusaran-

pusaran yang membawa partikel cairan dari satu lapisan pindah ke lapisan lain.

Dalam kondisi ini zat pewarna tercampur dengan air di seluruh penampang pipa

seperti tampak pada Gambar 4.4.c. Kondisi aliran dimana garis-garis arusnya lurus

tersebut dinamakan “ aliran laminer “, sedang aliran dimana garis- garis arusnya

tidak teratur dan partikel-partikel cairannya tercampur dinamakan “ aliran turbulen “.

Diantara aliran laminer dan aliran turbulen terjadi aliran transisi seperti tampak pada

Gambar 4.4.c.

Reynold menerapkan analisa dimensi pada hasil-hasil percobaannya yang

kemudian disimpulkan bahwa perubahan aliran laminer ke aliran turbulen terjadi

pada suatu harga tertentu tak berdimensi yang dikenal sebagai “ angka Reynold, Re

“. Angka Reynold menunjukkan perbandingan dari gaya-gaya kelembaman ( inertial

forces ) dan gaya-gaya viskos ( viscous forces ), yaitu :

Dimana :

Ū = kecepatan rata-rata ( m/det )

L = panjang karakteristik ( m )

ν = viskositas kinematis ( m2/det )

Re= angka Reynold tak berdimensi

Pengaliran air melalui pipa banyak digunakan dalam mendistribusikan air

dari sumber air ke keran-keran pengeluaran untuk berbagai keperluan. Sepanjang

pendistribusian tersebut, air melalui berbagai hambatan seperti perubahan kecepatan,

perubahan penampang dan perubahan kekasaran permukaan. Karena itu dilakukan

penelitian untuk mengetahui pengaruh perubahan-perubahan tersebut terhadap

kehilangan tenaga pada pipa lurus sepanjang 1 m.

Hasil yang diperoleh adalah kecepatan dan kekasaran pipa sebanding dengan

kehilangan tenaga yang menunjukkan hubungan polynomial orde 2 (hf = a + bu +

cu2 dan hf = a + bk + ck2), dimana bertambahnya kecepatan dan kekasaran

menyebabkan makin besarnya kehilangan tenaga yang terjadi. Sedangkan luas

penampang pipa berbanding terbalik dengan kehilangan tenaga yang menunjukkan

hubungan eksponensial (hf = a e -bA), dimana bertambahnya luas penampang pipa

menyebabkan kehilangan tenaga akan semakin kecil.

Konsep Aliran Melalui Pipa

Ada tiga persamaan dasar dalam Mekanika Fluida dan Hidrolika yang

berkaitan dengan pengaliran air dalam pipa yaitu persamaan Kontinuitas, Momentum

dan pers. Energi. Untuk aliran mantap dan satu dimensi persamaan energi dapat

disederhanakan menjadi persamaan Bernoulli. Ketiga bentuk persamaan tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Pers. Konstinuitas

Dengan :

Q : debit aliran

A : luas tampang aliran

V : kecepatan rerata aliran pada tampang tersebut.

Indeks 1 dan 2 menunjukan nomor tampang aliran yang ditinjau

2. Pers. Momentum

Dengan :

F : gaya yang ditimbulkan oleh aliran zat cair

r : rapat massa aliran

3. Pers. Bernoulli

BAB III

PEMBAHASAN

Kehilangan Energi pada Pipa Lurus Diameter ½“

Dari hasil penelitian ini didapat rata-rata kecapatan aliran sebesar 2.0912

m/dt. yang mengalami kehilangan energi rata-rata dari pengamatan manometer

sebesar 0.17220 meter, dan rata-rata kehilangan energi dari analisis teori sebesar

0.3499 meter ( Tabel 4.5 ).

Adapun hubungan antara kecepatan aliran dengan kehilangan energi dari

analisis data di atas (Tabel 4.5) dapat dilihat pada gambar 4.1:

Dari sepuluh kali pengujian didapatkan besarnya kecepatan dan kehilangan

energi yang berbeda, pada pengujian pertama (1); ke lima (5); ke enam (6); ke tujuh

(7); ke sembilan (9) dan ke sepuluh (10) besarnya kecepatan aliran 2.1252 m/dt yang

mengalami kehilangan energi 0.36064 m. Dan pada pengujian ke dua (2); ke tiga

(3); ke empat (4); dan ke delapan (8) besarnya kecepatan aliran 2.0402 m/dt yang

mengalami kehilangan energi 0.33379 m. Adanya perbedaan kecepatan aliran dan

kehilangan energi ini di pengaruhi oleh keterbatasan pengamatan, dimana jalanya

penelitian ini diperlukan empat (4) orang pengamat sekaligus dengan keterbatasan

pengamat yang berbeda-beda.

Dari hasil analisis diatas dianggap bahwa besarnya kehilangan energi pada pipa

lurus sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran, semakin besar kecepatan aliran yang

melalui pipa tersebut kehilangan energi semakin besar juga. Hal ini sesuai dengan

pendapat Bambang Triatmodjo (1996:58) bahwa kehilangan energi pada pipa lurus

berdiameter konstan sangat dipengaruhi oleh gesekan.

Gesekan terjadi karena adanya kecepatan aliran yang menyebabkan

kehilangan energi disepanjang pipa dengan diameter konstan. Koefisien gesekan

pipa tergantung pada parameter aliran, apabila pipa adalah hidrolis halus parameter

tersebut adalah kecepatan aliran, diameter pipa dan kekentalan zat cair dalam bentuk

angka reynolds.

Kelemahan terjadi pada perbedaan kehilangan energi yang cukup besar

yaitu antara kehilangan energi hasil pengamatan manometer dengan perhitungan

secara teori sebesar 0.1777 meter atau terjadi perbedaan sebesar 50,78 % dari

kehilangan energi secara teori (Tabel 4.5), hal ini dimungkinkan karena rekayasa

alat yang dikerjakan masih manual dengan alat dan bahan yang ada di laboratorium,

terutama pada :

4.2.1.1. Pemasangan kran manometer yang kurang memperhatikan standart

pemasangan.

4.2.1.2. Limpasan air yang tidak berfungsi pada bejana penampung air,

sehingga harus ada pengamat pada saat penelitian berjalan.

4.2.1.3. Ketelitian kesetabilan air dalam manometer, terutama disebabkan

oleh keterbatasan pengamatan.

4.2.1.4. Batasan tinggi air pada Aquaifer, karena tidak tersedianya tabung

pengamatan.

Grafik perbedaan kehilangan energi dari kedua pengukuran tersebut dapat

dilihat pada gambar 4.2:

4.2.2 Kehilangan Energi pada Pipa Lurus Diameter ¾“

Dari hasil analisis diketahui rata-rata kecapatan aliran sebesar 1.1032 m/dt.

rata-rata kehilangan energi dari pengamatan manometer adalah 0.03530 meter,

sedangkan rata-rata kehilangan energi dari analisis teori adalah 0.07857 meter

(Tabel 4.6).

Hubungan antara kecepatan aliran dengan kehilangan energi dapat dilihat

pada gambar 4.3:

Dari grafik diatas diketahui pada pengujian pertama (1); ke dua (2); ke tiga

(3); ke empat (4); ke luma (5) dan ke sepuluh (10) besarnya kecepatan aliran 1.0579

m/dt yang mengalami kehilangan energi 0.07352 m. Dan pada pengujian ke enam

(6); ke tujuh (7); ke delapan (8) dan ke sembilan (9) besarnya kecepatan aliran

1.1334 m/dt dan kehilangan energi 0.07857 m. Adanya perbedaan kecepatan aliran

dan kehilangan energi ini di pengaruhi oleh keterbatasan pengamatan, dimana

jalanya penelitian ini diperlukan empat (4) orang pengamat sekaligus dengan

keterbatasan pengamat yang berbeda-beda.

Dari hasil analisis diatas dianggap bahwa besarnya kehilangan energi pada

pipa lurus sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran, semakin besar kecepatan aliran

yang melalui pipa tersebut kehilangan energi semakin besar juga. Hal ini sesuai

dengan pendapat Bambang Triatmodjo (1996:58) bahwa kehilangan energi pada

pipa lurus berdiameter konstan sangat dipengaruhi oleh gesekan. Gesekan terjadi

karena ada kecepatan aliran dan menyebabkan kehilangan energi disepanjang pipa.

Koefisien gesekan pipa tergantung pada parameter aliran, apabila pipa adalah

hidrolis halus parameter tersebut adalah kecepatan aliran, diameter pipa dan

kekentalan zat cair dalam bentuk angka reynolds.

Kelemahan terjadi pada perbedaan kehilangan energi yang cukup besar

antara kehilangan energi hasil pengamatan manometer dan perhitungan secara teori

sebesar 0.04327 meter atau terjadi perbedaan sebesar 55,07 % dari kehilangan

energi teori ( tabel 4.6 ), hal ini dimungkinkan karena rekayasa alat yang dikerjakan

secara manual dengan alat dan bahan yang ada di laboratorium terutama pada :

4.2.2.1.Pemasangan kran manometer yang kurang memperhatikan standart

pemasangan.

4.2.2.2.Limpasan air yang tidak berfungsi pada bejana penampung air,

sehingga harus ada pengamat pada saat jalanya penelitian.

4.2.2.3.Ketelitian kesetabilan air dalam manometer, terutama disebabkan

oleh keterbatasan pengamatan.

4.2.2.4.Batasan tinggi air pada Aquaifer, karena tidak tersedianya tabung

pengamatan.

Grafik perbedaan kehilangan energi dari kedua pengukuran tersebut dapat

dilihat pada gambar 4.4:

4.2.3 Kehilangan Energi pada Pipa Lurus dengan Perubahan Penampang

Ekspansi (Pembesaran Penampang dari Diameter ½ “ ke ¾ “) Dari hasil

analisis diketahui rata-rata kecapatan aliran sebesar 3.0515 m/dt. rata- rata

kehilangan energi dari pengamatan manometer adalah 0.126 meter, sedangkan rata-

rata kehilangan energi dari analisis teori adalah 0.14464 meter (Tabel 4.7).

Hubungan antara kecepatan aliran dengan kehilangan energi dapat dilihat

pada gambar 4.5 :

Dari grafik pengujian pipa ekspansi di atas diketahui ada perbedaan

kecepatan dan kehilangan energi dari masing-masing pengujian yang membentuk

garis linier sehingga dapat disimpulkan bahwa kehilangan energi pada pipa lurus

mengalami perubahan penampang ekspansi sangat dipengaruhi oleh kecepatan

aliran, semakin besar kecepatan aliran yang melalui pipa tersebut kehilangan energi

semakin besar juga. Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang Triatmodjo (1996:58)

bahwa kehilangan energi pada pipa lurus yang mengalami perubahan penampang

sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran dan koefisien ekspansi.

Perubahan penampang mengakibatkan adanya tumbukan antara partikel zat

cair dan meningkatnya gesekan karena turbulensi serta tidak seragamnya distribusi

kecepatan pada suatu penampang pipa. Adanya lapisan batas terpisah dari dinding

pipa maka akan terjadi olakan atau pusaran air. Adanya olakan ini akan mengganggu

pola aliran laminer sehingga akan menaikan tingkat turbulensi.

Kelemahan terjadi pada perbedaan kehilangan energi yang cukup beasr

antara kehilangan energi hasil pengamatan manometer dan perhitungan secara teori

sebesar 0.01864 meter atau terjadi perbedaan sebesar 12,88 % dari kehilangan

energi secara teori (Tabel 4.7), hal ini dimungkinkan karena rekayasa alat yang

dikerjakan secara manual dengan alat dan bahan yang ada di laboratorium terutama

pada :

4.2.3.1.Pemasangan kran manometer yang kurang memperhatikan standart

pemasangan.

4.2.3.2.Limpasan air yang tidak berfungsi pada bejana penampung air,

sehingga harus ada pengamatan pada saat penelitian berjalan.

4.2.3.3.Ketelitian kesetabilan air dalam manometer, terutama disebabkan

oleh keterbatasan pengamat

4.2.3.4.Batasan tinggi air pada Aquaifer, karena tidak tersedianya tabung

pengamatan.

Grafik perbedaan kehilangan energi dari kedua pengukuran tersebut dapat

dilihat pada gambar 4.6 :

4.2.4 Kehilangan Energi pada Pipa Lurus dengan Perubahan Penampang

Kontraksi (Pengecilan Penampang dari Diameter ¾ “ ke ½ “) Dari analisis di

atas diketahui rata-rata kecapatan aliran sebesar 2.4322 m/dt. Rata-rata kehilangan

energi dari pengamatan manometer adalah 0.1407 meter, sedangkan rata-rata

kehilangan energi dari analisis teori adalah 0.13276 meter (tabel 4.8). Hubungan

antara kecepatan aliran dengan kehilangan energi dapat dilihat pada gambar 4.7 :

Dari grafik di atas diketahui ada perbedaan kecepatan dan kehilangan energi

dari masing-masing pengujian yang membentuk garis linier sehingga dapat

disimpulkan bahwa kehilangan energi pada pipa lurus mengalami perubahan

penampang kontraksi juga sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran, semakin besar

kecepatan aliran yang melalui pipa tersebut kehilangan energi semakin besar juga.

Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang Triatmodjo (1996:58) bahwa kehilangan

energi pada pipa lurus yang mengalami perubahan penampang sangat dipengaruhi

oleh kecepatan aliran dan koefisien kontraksi.

Perubahan penampang mengakibatkan adanya tumbukan antara partikel zat

cair dan meningkatnya gesekan karena turbulensi serta tidak seragamnya distribusi

kecepatan pada suatu penampang pipa. Adanya lapisan batas terpisah dari dinding

pipa maka akan terjadi olakan atau pusaran air. Adanya olakan ini akan mengganggu

pola aliran laminer sehingga akan menaikan tingkat turbulensi.

Perbedaan kehilangan energi antara kehilangan energi hasil pengamatan

manometer dan perhitungan secara teori sebesar 0.00794 meter atau terjadi

perbedaan sebesar 5,98 % dari kehilangan energi secara teori dan dimungkinkan

karena rekayasa alat dan pemasangan kran manometer yang dikerjakan secara

manual dengan alat dan bahan yang ada di laboratorium hidrolika. Untuk lebih jelas

perbedaan hasil dari kedua pengukuran tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Pada pengujian pipa ½ ” diketahui rata – rata kecepatan aliran sebesar

2.1252 m/dt yang mengalami kehilangan energi 0.36064 meter. dan

kecepatan aliran 2.0402 m/dt dengan mengalami kehilangan energi

0.33379 meter.

2. Pada pengujian pipa ¾ ” diketahui rata – rata kecepatan aliran sebesar

1.0579 m/dt yang mengalami kehilangan energi 0.07352 meter. dan

kecepatan aliran 1.1334 m/dt dengan kehilangan energi 0.07857 meter.

3. Pada pengujian pipa ekspansi ½ “ ke ¾ “ diketahui rata – rata kecepatan

aliran sebesar 3.0535 m/dt yang mengalami kehilangan energi 0.1446 m.

4. Pada pengujian pipa kontraksi ¾ “ ke ½ ” diketahui rata – rata kecepatan

aliran sebesar 2.4322 m/dt yang mengalami kehilangan energi 0.1327 m.

5. Pada pengujian pipa lurus mengalami perubahan penampang terjadi

perbedaan kecepatan aliran dan kehilangan energi yang membentuk

persamaan garis linier yang berarti bahwa kehilangan energi sangat

dipengaruhi oleh kecepatan aliran air dan perubahan penampang

(koefisien perubahan penampang).

6. Ada perbedaan kehilangan energi hasil pengamatan manometer dengan

kehilangan energi analisis teori, pada pipa ½” kehilangan energi

manometer 0,172 m dan teori 0,3499 m sehingga besarnya perbedaan

0.1777 m atau 50,78 % dari kehilangan energi secara teori, pada pipa ¾”

kehilangan energi manometer 0,0343 m dan teori 0,07655 m sehingga

besarnya perbedaan 0.04327 m atau 55,07 % dari kehilangan energi teori,

pada pipa ekspansi ½” ke ¾” kehilangan energi manometer 0,126 m dan

teori 0,1446 m sehingga besarnya perbedaan 0.01864 m atau 12,88 % dari

kehilangan energi secara teori, pada pipa kontraksi ¾” ke ½” kehilangan

energi manometer 0,139 m dan teori 0,1327 m sehingga besarnya

perbedaan 0.00794 m atau 5,98 % dari kehilangan energi secara teori. Hal

ini dimungkinkan karena faktor sesitifitas alat dan proses pengamatan

selama pengukuran.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta.

Kodoatie, Robert. 2002. Hidrolika Terapan, Aliran Pada Saluran Terbuka dan

Pipa. Yogyakarta : Andi Offset.

Krist, Thomas. 1991. Hidraulika (Terjemahan Dines Ginting). Jakarta: Erlangga

Streeter, Victor L dan Wylie, Benjamin E. 1999. Mekanika Fluida Jilid 1.

Terjemahan Arko Prijono . Jakarta: Erlangga

Sudjana. 1992. Metoda Statistik. Bandung : Tarsito.