alergi pernapasan

168
RESUME SKENARIO 4 BLOK 7 DAFTAR ISI A. SISTEM IMUNITAS..........……………………………………………………………..2 B. REAKSI HIPERSENSITIVITAS…………………………………..…………………..11 C. TONSILITIS……………………………………………………………………………20 D. RHINITIS………………………………………………………………………………24 E. FARINGITIS…………………………………………………………………………...40 F. SINUSITIS……………………………………………………………………………..45 G. ASMA BRONKIAL……………………………………………………………………59 H. STATUS ASMATIKUS……………………………………………………………….75 I. POLIP NASI…………………………………………………………………………..82 J. PEMERIKSAAN PENUNJANG ALERGI…………………………………………..104 K. EDUKASI………………………………………………………………………….…114 2012 Page 1

Upload: dea-resita-azharini

Post on 20-Oct-2015

86 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Makalah Alergi Pernapasan

TRANSCRIPT

Page 1: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

DAFTAR ISI

A. SISTEM IMUNITAS..........……………………………………………………………..2

B. REAKSI HIPERSENSITIVITAS…………………………………..…………………..11

C. TONSILITIS……………………………………………………………………………20

D. RHINITIS………………………………………………………………………………24

E. FARINGITIS…………………………………………………………………………...40

F. SINUSITIS……………………………………………………………………………..45

G. ASMA BRONKIAL……………………………………………………………………59

H. STATUS ASMATIKUS……………………………………………………………….75

I. POLIP NASI…………………………………………………………………………..82

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG ALERGI…………………………………………..104

K. EDUKASI………………………………………………………………………….…114

2012 Page 1

Page 2: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

A. SISTEM IMUNITAS

SISTEM IMUN NON-SPESIFIK

1. Non Spesifik

1. Peradangan

Rangkaian Peristiwa:

a. Produksi Faktor- Faktor Kimia Vasoaktif

Meliputi: Histamin (dari sel mast), serotonin (dari trombosit), derifat asam

arakidonat (leukotrien, prostaglandin, dan tromboksan), kinin (protein plasma

teraktivasi)

Efeknya:

Vasodilatasi pada area yang rusak

Peningkatan permeabilitas kapiler

Pembatasan area cidera

b. Kemotaksis

Gerakan fagosit kea rah cidera, terjadi dalam satu jam setelah permulaan

inflamasi

Migrasi perlekatan fagosit (neutrofil dan monosit) ke dinding endotel

kapiler yang rusak

Diapedesis migrasi fagosit melalui dinding kapiler menuju cidera, yang

pertama kali sampai adalah neutrofil kemudian disusul monosit yang

akhirnya menjadi makrofag

c. Fagositosis

Neutrofil dan magkrofag akan terurai secara enzimatik dan mati setelah

menelan sejumlah besar mikroorganisme

Leukosit mati, sel jaringan mati dan berbagai bentuk cairan tubuh

membentuk pus yang terus terbentuk sampai infeksi teratasi

Abses/ granuloma terbentuk jika respon inflamasi tidak dapat mengatasi

cidera atau invasi

d. Pemulihan

Melalui regenerasi jaringan atau pembentukkan jaringan parut

2. Respon interferon

2012 Page 2

Page 3: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Protein yang menjaga tubuh dari infeksi virus, dibuat dan dikeluarkan oleh sel- sel

system imun (Contoh: sel- sel darah putih, sel pembunuh alami, fibroblast-

fibroblast, dan sel epithelia)

Jenis Interferon:

IFN α diproduksi oleh leukosit yang terinfeksi virus

INF β diproduksi oleh fibroblast- fibroblast yang terinfeksi virus

INF γ diproduksi oleh dua jenis limfosit imun

3. Respon sel nk

Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara:

Pertama, protein dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang

terinfeksi, yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel

terinfeksi dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK

serupa dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir

dari reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi.

Kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-γ (IFN-γ) yang

akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama dalam

memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba dan

mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk mensekresi

IFN-γ, dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba

yang sudah dimakan tersebut.

4. Respon komplemen

Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu:

Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan

mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein

pengatur komplemen (protein ini terdapat pada sel tuan rumah).

Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau antigen

lain. Jalur ini merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik.

Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin pengikat

manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di permukaan

mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik, tetapi

karena aktivasinya tidak membutuhkan antibodi maka jalur lektin dianggap

sebagai bagian dari imunitas non spesifik.

Selain itu, mekanisme lain dari sistem imunitas non spesifik antara lain :

Fisik

2012 Page 3

Page 4: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Kulit memiliki pertahanan non spesifik pertama dalam tubuh, flora-flora

normal yang dimiliki kulit sangat kompetitif untuk menghalangi masuknya

mkroorganisme jahat ke dalam tubuh.

Silia pada hidung bertugas untuk menyaring debu-debu yang masuk dan juga

mengeluarkannya.

Batuk serta bersin juga merupakan bentuk pertahanan tubuh dalam upaya

mengeluarkan benda asing yang diterima tubuh.

Larut

Biokimia

- Lisozim yang terdapat pada keringat, air ludah, air mata dan ASI

melindungi tubuh kita dengan merusak membrane sel mikroorganisme

- HCl memiliki enzim proteolitik yang dapat membunuh bakteri yang

masuk ke dalam lambung

- Asam laktat dan asam lemak yang dikeluarkan oleh kelenjar sebasea

melindungi tubuh dari masuknya bakteri.

Humoral

Komplemen

Peran : Membantu proses lisis mebran, sebagai opsonin (zat pengikat

antigen) yang meningkatkan fagositosis.

Interferon

Sifat : Antivirus, menginduksi sel-sel sekitar yang terinfeksi virus supaya

resisten terhadap virus, pengaktif sel NK untuk meminimalisasi penyebaran

virus/

Ada 3 macam interferon, yaitu :

o IFN α = IFN yang dihasilkan oleh keukosit yang terinveksi virus

o IFN β = IFN yang dihasilkan fibroblast yang terinveksi virus

o IFN φ = IFN yang diproduksi Sel T

CRP : Membantu pengaktifan komplemen

Selular

Fagosit

2012 Page 4

Page 5: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Sel utama yang berperan adalah sel mononuclear serta

polimorfonuklear (PMN) sel

Sel fagosit penting untuk menangkap antigen, mengolah dan

mempresentasikan antigen tersebut ke Sel T sehingga disebut APC ( antigen

presenting cell)

Mononuklear Cell

a) Monosit cell

Fungsi : - menyerang mikroba dan sel kanker

- APC

- Remodelling dan perbaikan jaringan

b) Makrofag cell

- Fungsi : Fagositosis dan pinositosis

- Sel makrofag merupakan monosit yang sudah differensiasi di jaringan

- Makrofag memiliki nama khusus di setiap jaringan, yaitu :

PMN

a) Neutrofil

- 70 % leukosit adalah neutrofil

- Jumlah lebih meningkat jika terkena infeksi,exercise

extreme,inflamasi, dan lain lain

- Neutrofil merupakan sel yang pertama menuju daerah inflamasi

- Pembunuh bakteri

b) Eosinofil

- Berperan pada sel yang terkena infeksi oleh parasit

- Diaktivasioleh allergen / mediator inflamasi dengan IgE

Sel NK

- NK sel merupakan 5-a5 % dari leukosit sirkulasi

- Membunuh sel yang terinfeksi virus dan cacing

- Diaktivkan oleh sitokin yang berasal dari makrofag sehingga sel-sel

yang terinfeksi lisis

Basofil dan Sel Mast

2012 Page 5

Page 6: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

- Jumlah basofil < 5 % dari leukosit

- Sel mast adalah sel yang mirip basofil di jaringan

- Merupakan sel mediator karena melepas banyak mediator.

SISTEM IMUN SPESIFIK

Kekebalan tubuh spesifik adalah system kekebalan yang diaktifkan oleh

kekebalan tubuh nonspesifik dan merupakan system pertahanan tubuh yang ketiga.

Ciri-cirinya: Bersifat selektif terhadap bendaasing yang masuk ke dalam tubuh.

Sistem reaksi ini tidak memiliki reaksi yang sama terhadap semua jenis benda asing,

Menurut Anwar (2009) komponen yang terlibat dalam kekebalan tubuh

spesifik adalah:

a. Antigen:

Merupakan zat kimia asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat merangsang

terbentuknya antibody.Antigen memiliki struktur tiga dimensi sengan dua atau

lebih determinant site. Determinant site merupakan bagian dari antigen yang dapat

melekat pada bagian sisi pengikatan pada antibody.Antigen dapat berupa

protein ,sel bakteri,atau zat kimia yang dikeluarkan mikroorganisme.

Jenis –jenis antigen:

Heteroantigen: antigen yang berasal dari spesies lain

Isoantigen: Antigen dari spesies sama tetapi struktur genetiknya berbeda

Autoantigen: Antigen yang berasal dari tubuh itu sendiri.

b. Hapten:

Merupakan suatu determinant site yang lepas dari struktur antigen. Hapten hanya

dapat berikatan dengan antibody apabila disuntikkan ke dalam tubuh.

c. Antibodi ( Imunoglobulin / Ig):

Merupakan zat kimia( protein plasma ) yang dapat mengidentifikasi antigen.

Antibodi dihasilkan oleh sel limfosit B. Ketika sel limfosit B mengidentifikasi

antigen,dengan cepat sel akan bereplikasi untuk menghasilkan sejumlah besar sel

plasma.Sel plasma lalu akan menghasilkan antibody dan melepaskanya ke dalam

cairan tubuh. Sel limfosit B juga menghasilkan sel memori B, dengan struktur

yang sama dengan sel limfositB,dan dapat hidup lebih lama daripada sel plasma.

Sistem kekebalan spesifik. ada 2 jenis kekebalan spesifik, yaitu

a. kekebalan selular (sel limfosit T)

b. kekebalan humoral (sel limfosit B yang memproduksi antibodi).

2012 Page 6

Page 7: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Sistem imun spesifik dapat mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda

asing yang pertama timbul dalam badan akan dikenal dengan cepat dan segera dihancurkan

bila benda asing tersebut telah masuk ke tubuh host untuk yang kedua kalinya karena sistem

imun spesifik ini mempunyai memori. Pada saat ada antigen yang mensensitisasinya maka

sistem imun jenis ini akan memperbanyak pasukannya.Sistem imun spesifik dibagi menjadi :

Sistem Imun Spesifik Humoral

Sistem imun spesifik humoral diperankan oleh sel B. Sel B bila dirangsang akan berpoliferasi

membentuk Sel Plasma, Sel Plasma inilah yang nantinya akan mengeluarkan zat Antibodi

( Ab) . Antibodi/ imunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk oleh sel plasma

akibat kontak dengan antigen. Antibodi akan mengikat antigen secara spesifik. Macam-

macam Imunoglobulin (Ig) adalah sebagai berikut :

a. Ig G

Ig G merupakan komponen utama dalam serum. Dengan BM 160000 D. Kadarnya sekitar

75% dari total kandungan dalam serum.Ig G dapat menembus plasenta oleh karena itu

berperan dalam imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan.. Kadar Ig G dapat meningkat pada

infeksi kronis maupun autoimun. Ig G dapat mengaktifkan komplemen waktu terjadi reaksi

antigen-antibodi dengan membentuk opsonin. Opsonin efektif pada sel fagosit, monosit yang

mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dr IgG.

b. Ig A

Terdapat 2 bentuk, yaitu serum IgA dan sekresi IgA ( sIgA ). Kadarnya sebagai serum Ig A

sedikit dibandingkan kadarnya sebagai sIgA pada ASI, sekresi saluran pencernaan, saluran

kemih, saluran pernapasan , air mata, keringat, dan ludah. Selain itu IgA juga dapat bereaksi

dengan molekul adhesi dari patogen potensial dan mencagah adhesi dan kolonisasi pada sel

host, melakukan Opsonin, menetralkan toksin yang diakibatkan oleh cacing pita.

c. Ig M

Ig M mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Ig M merupakan

antibodi yang mengikan komplemen pada jalur klasik dengan kuat. Ig M merupakan petanda

bahwa infeksi sedang berlangsung dan Mencagah gerakan mikroorganisme patogen,

memudahkan fagositosis, aglutinator poten Ag. Ig M tidak dapat menembus plasenta.

d. Ig D

Ig D ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah. Ig D tidak mengikat

komplemen , mempunyai aktifitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan

2012 Page 7

Page 8: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

autoantigen seperti komponen nukleus. Antibodi terhadap Antigen berbagai makanan dan

autoantigen.

e. Ig E

IgE ditemukan dalam serum dengan jumlah sangat sedikit dan akan meningkat pada alergi,

cacing, skistosomiasis. IgE mudah diikat oleh sel mast, basophil dan eosinophil yang pada

permukaannya punya reseptor Fc IgE. IgE Dibentuk oleh sel plasma dalam mukosa saluran

napas dan saluran cerna

Sistem Imun Spesifik Seluler

Sistem imun spesifik seluler diperankan oleh limfosit T atau sel T. Sel tersebut juga berasal

dari sel multipoten sama seperti sel B. Tetapi poliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam

kelenjar Thimus. Berbeda dangan sel B, sel T terdiri atas beberapa subset yang mempunyai

fungsi berlainan, yaitu :

f. Sel Th (T helper)

Sel Th membantu sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk membentuk antibodi,

kebanyakan antigen (T dependent antigent) harus dikenal terlebih dahulu, baik oleh sel T

maupun sel B. Sel Th berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terkena virus dan

jaringan cangkok alogenik. Istilah sel T inducer dipakai untuk menunjukkan aktifitas sel Th

yang mengaktifkan subset Sel T lainnya. Sel T juga melepas limfokin yang mengaktifkan

makrofag dan sel-sel lain.

g. Sel Ts (T supresor)

Sel Ts menekan aktivitas sel T lain dan sel B. Menurut funsinya sel Ts dapat dibagi menjadi

sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts non spesifik.

h. Sel Tdh atau Td (T delayed hypersensitivity)

Sel Tdh adalah sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke

tempat terjadinya reaksi infeksi.

i. Sel Tc (T cytotoxic)

Sel Tc adalah Sel T yang mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel

sasaran yang mengandung virus. Sel Th dan sel Ts disebut sebagai sel T regulator, sedangkan

sel Tdh dan sel Tc disebut sebagai sel efektor.

Mekanisme Sitem Imun Spesifik

a. Mekanisme Imunitas Humoral

2012 Page 8

Page 9: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Keterangan:

Langakah pertama adalah pengenalan antigen asing oleh makrofag dan sel B serta sel T

Helper. Sel T helper yang tersentisasi menyajikan antigen pada sel B. Sel B yang teraktivasi

mulai membelah berkali-kali yang membentuk sel B memori yang mengingat antigen spesifik

dan sel plasma yang menghasilkan antibodi. Antibodi kemudian berikatan dengan antigen.

Ikatan kompleks ini menyebabkan opsonisasi yang berarti bahwa antigen sekarang di label

untuk di fagosit oleh makrofag atau neutrofil, kompleks antigen antibodi juga menstimulasi

fiksasi komplemen.

Jika antigen asingnya seluler maka protein komplemen mengikat komplek antigen antibogi

lalu berikatan satu sama lain dan menyusun cincin enzimatik yang membentuk suatu lubang

dalam sel yang dapat menyebabkan kematian sel. Fiksasi ini disebut fiksasi komplet. Apabila

antigen asin bukan sel misal virus maka beberapa komplemen berikatan dengan kompleks

antigen antibodi yang merupakan kemotaktik (sinyal kimia) bagi makrofag untuk memangsa

dan merusak virus. Bila antigen asing asing telah di rusak , sel T supresor tersensitisasi untuk

menghentikan respon imun

2012 Page 9

Page 10: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

b. Mekanisme Imunitas Selular

Keterangan :

Langkah pertama adalah pengenalan antigen asing oleh makrofag dan sel T helper yang

membuat sel T menjadi teraktivasi. Sel T yang teraktivasi akan membelah berkali-kali

membentuk sel T memori yang berfungsi mengingat antigen asing, sel T sitotoksik yang

yang secara kimiawi mampu merusak antigen asing dengan merusak membrannya. Selain itu

sel T akan memproduksi sitokin yan secara kimiawi menarik makrofag ke area tersebut dan

mengaktifkan makrofag untuk memfagosit antigen asing, sel T yang teraktivasi juaga akan

membentuk sel T supresor yang menghentikan respon imun ketika gen asing telah dirusak.

2012 Page 10

Page 11: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

B. REAKSI HIPERSENSITIVITAS

1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat (secara

khusus hanya dalam bilangan menit) stelah terjadi interaksi antaraalergen dengan antibody IgE

yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang

tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi sebagai

reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan

(asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).

Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut:

Fase sensitasi

Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh reseptor

spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil

Fase aktivasi

Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel

mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

Fase efektor

Yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator

yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik

Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan

secara jelas:

Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan

spesme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga

30 menit stelah terpajan oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit.

Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan

berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan

infiltrasi eosinofil serta sel radang akut dan kronis lainnya yang lebih

hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan

dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Mediator Primer

Setelah pemicuan IgE,  mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast

dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamin, yang

merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas

vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator

2012 Page 11

Page 12: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

lain yang segera dilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan bronkokonstriksi dan

menghambat agregasi trombosit) serta factor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil.

Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease

netral (misalnya triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen

komplemen untuk menghasilkan factor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya),

C3a).

Mediator Sekunder

Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin. Mediator

lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid membrane sel

mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan

senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.

Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam

arakhidonat dan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1.

Leukotrien tipe C4 dan D4 merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal

paling poten; pada dasar molar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif

daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam

menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik

untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.

Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur

siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat

serta meningkatkan sekresi mucus.

Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,

mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme.

Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun

produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk

metabolism asam arakhidonat.

Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan

kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui

kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF

merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi

leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan

untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

2012 Page 12

Page 13: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Manifestasi Klinis

Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali

hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Emberian antigen protein atau obat

(misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan

anafilaksis. Dalam beberapa menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan

muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti

kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat

dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan

menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Salian itu, otot semua saluran

pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa

intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita

dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit.

Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai

dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus

gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan

bronkokonstriksi).

Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan

istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi

terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma)

seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic

atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan

dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

Manifestasi: Antibodi terhadap sel

Mekanisme: Ig G atau Ig M

Disebut juga: reaksi sitotoksik

Mekanisme:

Ag → masuk tubuh → menempel pada sel tertentu → ditangkap makrofag →

dikenalkan kepada sel t → sel t merangsang sel limfosit B untuk membentuk Ig G

atau Ig M → mengaktifkan komplemen → menimbulkan lisis

Mediator yang dihasilkan makrofag dapat merangsang sel NK dan sel NK sendiri

menimbulkan lisis

Contoh: reaksi transfusi, anemia hemolitik, reaksi obat

2012 Page 13

Page 14: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit Antigen target Mekanisme Manifestasi klinopatologi

Anemia hemolitik autoimun 

Protein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh)

Opsonisasi dan fagositosis eritrosit

Hemolisis, anemia

Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik) 

Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa)

Opsonisasi dan fagositosis platelet

Perdarahan

Pemfigus vulgaris Protein pada hubungan interseluler pada sel epidermal (epidemal cadherin) 

Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interseluler

Vesikel kulit (bula)

Sindrom Goodpasture Protein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paru 

Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Nefritis, perdarahan paru

Demam reumatik akut Antigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardium 

Inflamasi, aktivasi makrofag

Artritis, miokarditis

Miastenia gravis Reseptor asetilkolin Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi

Kelemahan otot, paralisis

2012 Page 14

Page 15: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

reseptor 

Penyakit Graves Reseptor hormon TSH Stimulasi reseptor TSH diperantarai antibodi 

Hipertiroidisme

Anemia pernisiosa Faktor intrinsik dari sel parietal gaster

Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamin B12

Eritropoesis abnormal, anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila

kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh

darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG

sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.

Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang

mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan

pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa

enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.

Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten

(malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik

ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan

antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.

Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :

1. Infeksi persisten

Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap

adalah organ yang diinfektif dan ginjal.

2. Autoimunitas

Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah

ginjal, sendi, dan pembuluh darah.

3. Ekstrinsik

Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat

kompleks yang mengendap adalah paru.

2012 Page 15

Page 16: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan

antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen

diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini

akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh

darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan

leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan

reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari

granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase

dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein

polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme

mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan

memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.

Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah

diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu,

trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang

menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat

mengakibatkan iskemia setempat.

Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai

berikut :

1. Aktivasi komplemen

a. Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk

melepas histamine

b. Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang

melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik

2. Menimbulkan agregasi trombosit

a. Menimbulkan mikrotrombi

b. Melepas amin vasoaktif

3. Mengaktifkan makrofag

Melepas IL-1 dan produk lainnya

Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :

1) Reaksi Arthus

Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara

intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi

2012 Page 16

Page 17: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang

mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan

adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena

Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di

dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat

yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.

Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah

besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut

dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat

besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain

yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai

menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran

darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama

dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease,

kolagenase, dan bahan vasoaktif.

2) Reaksi serum sickness

Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai

konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus

dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar

digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan

menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari

setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu,

pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-

sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi

komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.

Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian

memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini

kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh

dari reaksi ini adalah :

a) Demam reuma

2012 Page 17

Page 18: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan

jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam

membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tulang

rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi

terhadap streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan

mengakibatkan inflamasi.

b) Artritis rheumatoid

Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang

berupa IgM) dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan

kerusakan yang khas.

c)  Infeksi lain

Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen

mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa

tempat.

d) Farmer’s lung

Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak

spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan

pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut,

diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete termofilik dan

membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.

4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitifitas lambat (>24 jam)

Di bagi menjadi:

2012 Page 18

Page 19: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

1. Delayed Type Hypersensitivity(melalui sel CD4+ yg berfungsi mengaktifkan

makrofag dan berperan sebagai sel efektor)

2. T sel Mediated Cytolysis(melalui sel CD8+ spesifik untuk antigen dapat

membunuh sel dengan langsung)

Patogenesis DTH(Delayed Hypersensitivity)

Antigen merangsang T CD4+ menjadi Th1 Th1 melepaskan INF alfa

reaktif,oksida nitrat dan sitokin proinflamasikerusakan jaringan

Contoh: reaksi granuloma,dermatitis kontak

Patogenesis T cell Mediated Cytolisis

Sel CD8+ berubah CTL(yg membunuh)bertemu dengan jaringan tubuh yang

dikenal sebagai musuhkerusakan jaringan

Contoh:penyakit autoimun

C. TONSILITIS

Tonsilitis akut

a. Tonsillitis viral

Gejalanya seperti common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.

2012 Page 19

Page 20: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Penyebab paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus inflienzae.

Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga

mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat

nyeri dirasakan pasien.

Terapinya cukup istirahat, cukup minum, analgetika, dan antivirus jika

gejala berat.

b. Tonsillitis bakterial

Disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus hemolitikus.

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan

reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga

terbentuk detritus (kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang

terlepas)

Masa inkubasi 2-4 hari.

Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, nyeri

telan, demam, badan lesu, nyeri sendi, tidak nafsu makan, rasa nyeri di

telinga.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis, suara pasien

seperti mulut yang penuh dengan makanan, mulut berbau, adanya nyeri

tekan, kelenjar submandibula membengkak.

Terapinya dapat menggunakan antibiotika spektrum lebar penisilin,

eritromisin, antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan.

Komplikasi yang dapat ditimbulkan antara lain otitis media akut, sinusitis, abses

peritonsil, abses parafaring, bronchitis, glomerulonefritis akut, miokarditis,

arthritis, septikemia, pasien tidur bernafas melalui mulut, tidur mendengkur,

gangguan tidur karena sleep apnea

1. Tonsilitis Membranosa

1. Tonsilitis Septik

Tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri Streptokokus hemolitikus yang ada

dalam susu sapi. Penyakit ini jarang ditemukan karena susu sapi telah dimasak

terlebih dahulu dengan cara pasteurisasi

2. Tonsilitis Difteri

3. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)

No. Pembeda Tonsilitis Difteri Angina Plaut Vincent

2012 Page 20

Page 21: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

1. Etiologi Corynebacterium diphteriae Bakteri spirochaeta

Kurangnya higiene mulut

2. Gejala a. Gejala Umum

Demam subfebris

Nyeri kepala

Tidak nafsu makan

Badan lemah

Nadi lambat

Nyeri lambat

b. Gejala Lokal

Tonsil membengkak

dengan bercak putih

kotor

Kelenjar limfe

membesar

(Burgemeester’s hals)

c. Akibat eksotoksin

Miokarditis sampai

dekompensatio cordis

Demam sampai

39OC

Nyeri kepala

Badan lemah

Nyeri di mulut

Hipersalivasi

Gigi dan gusi mudah

berdarah

3. Diagnosis Pemeriksaan preparat

langsung kuman yang

diambil dari permukaan

bawah pseudomembran dan

ditemukan Corynebacterium

diphteriae

Mukosa mulut dan

faring hiperemis

Pseudomembran di

tonsil, uvula, dinding

faring, dan gusi

Mulut berbau

Kelenjar

submandibula

membesar

4. Terapi Anti Difteri Serum

dengan dosis 20.000-

100.000 unit

Antibiotik Penisilin /

Eritromisin dengan

dosis 25-50 mg/kg bb.

Antibiotik spektrum

lebar selama 1

minggu

Perbaiki higiene

mulut

2012 Page 21

Page 22: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Diminum 3 dosis

dalam 14 hari

Kortikosteroid dengan

dosis 1,2 mg/kg bb

Antipiretik

Istirahat dan isolasi

selama 2-3 minggu

Pemberian vitamin C

dan B kompeks

Tonsilitis kronis

1. Definisi

Tonsillitis yang onsetnya tiba-tiba, biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri atau

virus.

2. Etiologi

Kuman penyebab tonsillitis kronik dan akut adalah kuman golongan streptococcus

Beta Hemolitikus, Streptococcus Virridans, dan Streptococcus pyogenesis yang

merupakan penyebab pada 50% dari kasus.

Sisanya disebabkan oleh infksi virus yaitu Adenovirus Echo, Virus influenza,

serta Hervez. Cara infeksinya adalah percikan ludah (droplet infection). Penykit ini

ada kecenderungan residif secara berulang tetapi kadang-kadang berubah menjadi

kuman golongan gram negative

Faktor predisosisi timbulnya radang kronik adalah rangsangan yang menahun

(rokok dan makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat,

hygiene mulut yang buruk, dan kelelahan fisik.

3. Patofisiologi

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan

limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid digantioleh

jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara

klinik kripti ini diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul

tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.

Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.

4. Gejala

2012 Page 22

Page 23: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus

melebar, dan bebrapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di

tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.

2. Penatalaksanaan

Terapi lokal pada higiene mulut dengan obat kumur dan obat hisap. Pada kasus yang

sudah parah dilakukan tonsilektomi.

3. Komplikasi

Rinitis kronik

Sinusitis kronik

Otitis media

Bronkitis kronik

Odinofagia

Dispneu

7. DD

Angina Plaut Vincent, tonsilitis difteri, abses parafaring, toksemia, septikemia,

bronkhitis, nefritis akut, miokarditis, dan artritis.

2012 Page 23

Page 24: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

D. RHINITIS

1. RHINITIS ALERGI

DEFINISI

a. Merupakan Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasian

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik (Von Pirquet,1986)

b. Atau juga dapat diartikan sebagai Kelainan hidung dengan gejala bersin-

bersin,rinore,rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen

yang diperantarai oleh IgE (WHO ARIA,2001)

Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi

hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang

diperantarai IgE. Respons hidung terhadap stimuli dari luar diperankan pertama-

tama oleh mukosa kemudian baru oleh bentuk anatomi tulang. Fungsi utama

hidung adalah untuk saluran udara, penciuman, humidifikasi udara yang dihirup,

melindungi saluran napas bawah dengan cara filtrasi partikel, transport oleh silia

mukosa, mikrobisidal, antivirus, imunologik, dan resonan suara. Reaksi mukosa

hidung akan menimbulkan gejala obstruksi aliran udara, sekresi, bersin, dan rasa

gatal. Bila tidak terdapat deformitas tulang hidung maka sumbatan hidung

disebabkan oleh pembengkakan mukosa dan sekret yang kental. Penelitian

epidemiologik memperlihatkan bahwa penyakit alergi dapat diobservasi mulai

dari waktu lahir sampai kematian. Sesuai dengan umur penderita,  dapat

dibedakan penampakan dan lokalisasi jenis alergi.

Rinitis alergi merupakan salah satu bentuk rinitis yang mekanismenya

secara umum melalui sistem imun,  atau IgE secara khusus. Prevalensinya

berkisar antara 10-15% dari masyarakat. Penderitanya pun beragam, mulai dari

usia anak hingga dewasa. Gejalanya dapat berupa rinorea, hidung gatal, bersin

dan hidung tersumbat. Terkadang disertai rasa gatal di mata. Akibatnya,

mengganggu kualitas hidup penderitanya. Seperti, gangguan tidur, gangguan

aktivitas, hingga absen dari sekolah atau pekerjaan. Berdasarkan lama dan

seringnya gejala rinitis dapat diklasifikasikan sebagai rinitis alergi intermiten

2012 Page 24

Page 25: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

atau persisten. Dikatakan rinitis intermiten bila gejala berlangsung kurang dari

empat hari per minggu dan lamanya kurang dari empat minggu. Sedangkan rinitis

persisten gejala berlangsung lebih dari empat hari/ minggu dan lamanya lebih

dari empat minggu. Derajatnya dikatakan sedang atau berat bila gejalanya

menggangu kualitas hidup penderitanya. Yang perlu diwaspadai adalah

komplikasi terjadinya sinusitis, polip hidung, dan gangguan pendengaran.        

Rinitis alergi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya asma. Sering

pasien baru datang ke dokter jika telah terjadi komplikasi. Dengan pengobatan

yang baik, gejala rinitis dapat terkontrol. Sehingga kualitas hidup penderitanya

meningkat kembali dan menjalani hidup layaknya orang normal.

PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih

jelas.

Gejala rinitis alergik dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah pajanan

udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk

detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan

non spesifik.

Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan alergen

ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia.

Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan tenggorok

anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.

Pada kontak pertama dengan alergen (tahap sensitisasi )

1. Makrofag atau monosit (berperan sebagai APC >>Antigen presenting Cell)

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.Setelah diproses

antigen membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan HLA kelas II

membentuk MHC kelas II (Major Compactibility Complex) lalu dipresentasikan

pada sel T help (Th 0)

2. Sel penyaji melepaskan sitokin sperti IL 1 kemudian mengaktifkan Th 0 untuk

berproliferasi menjadi Th 1 dan Th2

3. Th 2 menghasilkan sitokin IL3,IL 4,IL5,IL 13

2012 Page 25

Page 26: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

4. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptor di permukaan Limfosit B,sehingga

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE

5. Ig E di sirkulasi masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di sel mastosit atau

sel basofil (sel mediator) sehingga aktif

6. Bila terpapar alergen yang sama (PROVOCATION)

7. Kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecagnya

dinding sel) mastosit atau basofil dan terlepasnya mediator kimia yang sudah

terbentuk (Performed Mediator)terutama histamin

8. Selain histamin dihasilkan juga PGD 2(Prostaglandin D2),Leukotrien D4 dan

C4,Bradikinin,PAF (Platelet Activiting Factor) dan berbagai sitokin( IL

3,IL4,IL5,IL6)

Reaksi alargi ada 2 :

a. RAFC (Reaksi Alergi Fase Cepat) >> terjadi sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya

b. RAFL (Reaksi Alergi Fase Lambat )>> terjadi 2-4 jam puncaknya 6-8 jam

Macam Rinitis Alergi :

a. Rinitis Alergi Musiman

1. Di Indonesia tidak dikenal istilah penyakit ini,hanya ada di negara yang punya

4 musim

2. Alergen penyebabnya adalah tepung sari (pollen),spora jamur

3. Dapat mengenai semua umur

4. Faktor herediter sangat berperan

b. Rinitis Alergi Perenial (tahunan)

1. Timbul intermitten atau terus – menerus

2. Penyebab tersering :

#alergen inhalan (debu buku yangditumpuk,gorden,selimut,kasur,jamur,pollen)

# alergen ingestan

Berdasarkan cara masuknya alergen di bagi atas :

1. Alergen Inhalan yang masuk bersama dengan udara pernapasan seperti

debu.

2. Alergen Ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan seperti

susu, telur, seafood, dll.

3. Alergen Injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan seperti

penisilin dan sengatan lebah.

2012 Page 26

Page 27: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

4. Alergen Kontaktan yang masuk melalui kontak kulit / jaringan mukosa,

misal bahan kosmetik, perhiasan.

GEJALA

Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor :

a. Alergen

Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis

alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen

hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada

bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting

b. Polutan

Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam

ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang

disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida.

1. Bersin berulang

a. Fisiologi >> proses membersihkan sendiri (self cleaning process)

b. Patofisiologi >> lebih dari 5 kali setiap serangan (RAFC)

2. Rinorea (sekret encer dan banyak)

3. Hidung tersumbat (kongesti nasal)

4. Hidung dan mata gatal

5. Air mata keluar (lakrimasi)

Keterangan : gejala di atas dialami oleh sebagian besar orang dewasa sedangkan

anak –anak hanya mengalami beberapa dari gejal di atas.Namun terdapat ciri khas

pada anak yaitu terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata

MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan

organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup untuk

melindungi saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung akan

dibersihkan oleh sistem mukosilia.

2012 Page 27

Page 28: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

a. Aspirin, Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis

alergika pada penderita tertentu.

b. Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal ini berbeda

dengan alergi saluran napas bagian bawah (lihat bab tentang asma bronkial dan

reaksi hipersensitivitas). Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin selular,

dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan

hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan

gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan

gejala beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul

segera setelah beberapa menit pasca pajanan alergen.

c. Refleks bersin dan hipersekresi sebetulnya adalah refleks fisiologik yang berfungsi

protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja pada

daerah mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa

hidung. Newly formed mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya

histamin, misalnya leukotrien (LTB4, LTC4), prostaglandin (PGD2), dan PAF.

Efek mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas

vaskular sehingga menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage),

meningkatnya sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental

(mucous rhinorrhoe). 

d. Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe

I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca pajanan alergen akibat

reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Prostaglandin (PGD2) banyak

terdapat di sekret hidung ketika terjadi fase cepat, tetapi tidak terdapat pada fase

lambat, karena mediator ini banyak dihasilkan oleh sel mast. Fase cepat diperankan

oleh sel mast dan basofil, sedangkan  fase lambat lebih diperankan oleh basofil.

Gejala rinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman,

dan hiperreaktivitas lebih diperankan oleh eosinofil. Mekanisme eosinofilia lokal

pada hidung masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa teori mekanisme

terjadinya eosinofilia antara lain teori meningkatnya kemotaksis, ekspresi molekul

adhesi atau bertambah lamanya hidup eosinofil dalam jaringan

Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya eosinofilia.

Sitokin biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel mast, basofil,

makrofag, dan epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B melakukan isotype

2012 Page 28

Page 29: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

switch untuk memproduksi IgE, di samping berperan juga meningkatkan ekspresi

molekul adhesi pada epitel vaskuler (VCAM-1) yang secara selektif mendatangkan

eosinofil ke jaringan. IL-3 berperan merangsang pematangan sel mast. IL-5

berperan secara selektif untuk diferensiasi dan pematangan eosinofil dalam

sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil untuk melepaskan mediator, dan

memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat meningkatnya eosinofil dalam

jaringan maka terjadilah proses yang berkepanjangan dengan keluhan hidung

tersumbat, hilangnya penciuman, dan hiperreaktivitas hidung.

Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi

dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi

yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit,

perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya

tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular yang

meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel.

Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES

berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan

inflamasi alergi

Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel

CD4+T, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi

peningkatan ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9,

IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-

4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin akan mengadakan

upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES menyebabkan infiltrasi

eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama

dipengaruhi oleh IL-5.

Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan

cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika

menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan

kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan

alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative

Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin

Terdapat hubungan antara system imun dan sumsum tulang. Fakta ini

membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF)

dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi

2012 Page 29

Page 30: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons

imun di atas, merupakan tanda penting rinitis alergika

TANDA DAN GEJALA KLINIS

Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan

hidung. Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan

menjadi rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial

allergic rhinitis), dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat

mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga

meliputi perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut

selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah

kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema

konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan

spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah

dan kebiru-biruan (boggy and bluish).

Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan

masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya,  kecemasan, dan disfungsi

keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas.

Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif.

Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin

berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak

diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi

intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.

Manifestasi klinis rinitis alergik baru ditemukan pada anak berusia di atas 4-5

tahun dan insidensnya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-15%

pada usia dewasa. Manifestasi gejala klinis rinitis alergik yang khas ditemukan pada

orang dewasa dan dewasa muda. Pada anak manifestasi alergi dapat berupa

rinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis media, dan tonsilitis.

Sesuai dengan patogenesisnya, gejala rinitis alergik dapat berupa rasa gatal di

hidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat, dan bernapas melalui

mulut. Sekret hidung dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post nasal drip

yang ditelan. Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian.

Gejala bernapas melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat

menimbulkan gejala tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur, serta gejala

kelelahan pada siang hari. Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan

2012 Page 30

Page 31: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

penciuman dan pengecapan, dan gejala sinusitis. Gejala kombinasi bersin, ingusan,

serta hidung tersumbat adalah gejala yang paling dirasakan mengganggu dan

menjengkelkan.

Anak yang menderita rinitis alergik kronik dapat mempunyai bentuk wajah

yang khas. Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak

(bags) di bawah mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak,

sering terlihat mulut selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini

memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta

maloklusi. Anak yang sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan tanda

yang disebut allergic salute.

Menurut saat timbulnya, maka rinitis alergik dapat dibagi menjadi rinitis alergik

intermiten (seasonal-acute-occasional allergic rhinitis) dan rinitis alergik persisten

(perennial-chronic-long duration rhinitis).

Rinitis alergik intermiten

Rinitis alergik intermiten mempunyai gejala yang hilang timbul, yang hanya

berlangsung selama kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari empat

minggu. Rinitis alergik musiman yang sering juga disebut hay fever disebabkan oleh

alergi terhadap serbuk bunga (pollen), biasanya terdapat di negara dengan 4 musim.

Terdapat 3 kelompok alergen serbuk bunga yaitu: tree, grass serta weed yang tiap

kelompok ini berturut-turut terdapat pada musim semi, musim panas dan musim

gugur.

Penyakit ini sering terjadi yaitu pada sekitar 10% populasi, biasanya mulai

masa anak dan paling sering pada dewasa muda yang meningkat sesuai

bertambahnya umur dan menjadi masalah pada usia tua. Gejala berupa rasa gatal

pada mata, hidung dan tenggorokan disertai bersin berulang, ingus encer dan hidung

tersumbat. Gejala asma dapat terjadi pada puncak musim. Gejala ini akan memburuk

pada keadaan udara kering, sinar matahari, serta di daerah pedesaan.

Rinitis alergik persisten

Rinitis alergik persisten mempunyai gejala yang berlangsung lebih dari 4 hari

dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu. Gejala rinitis alergik ini dapat terjadi

sepanjang tahun, penyebabnya terkadang sama dengan rinitis non alergik.

Gejalanya sering timbul, akan tetapi hanya sekitar 2-4 % populasi yang mengalami

gejala yang berarti. Rinitis alergik biasanya mulai timbul pada masa anak,

sedangkan rinitis non alergik pada usia dewasa. Alergi terhadap tungau debu

2012 Page 31

Page 32: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

rumah merupakan penyebab yang penting, sedangkan jamur sering pada pasien

yang disertai gejala asma dan kadang alergi terhadap bulu binatang. Alergen

makanan juga dapat menimbulkan rinitis tetapi masih merupakan kontroversi. Pada

orang dewasa sebagian besar tidak diketahui sebabnya.

Gejala rinitis persisten hampir sama dengan gejala hay fever tetapi gejala gatal

kurang, yang mencolok adalah gejala hidung tersumbat. Semua penderita dengan

gejala menahun dapat bereaksi terhadap stimulus nonspesifik dan iritan.

Sedangkan klasifikasi rinitis alergik yang baru menurut ARIA terdapat dua jenis

sesuai dengan derajat beratnya penyakit. Rinitis alergik dibagi menjadi rinitis

alergik ringan (mild) dan rinitis alergik sedang-berat (moderate-severe). Pada

rinitis alergik ringan, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (seperti

bersekolah, bekerja, berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada

gejala yang berat. Sebaliknya pada rinitis alergik sedang-berat, aktivitas sehari-hari

pasien tidak dapat berjalan dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang

berat

DIAGNOSA 

Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan

uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat

keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas

merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik

meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah

pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan

eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada

bidang penelitian.

Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergik yang

terpenting pada anak. Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti

allergic salute, allergic crease, Dennie’s line, allergic shiner dan allergic face seperti

telah diuraikan di atas, namun demikian tidak satu pun yang patognomonik.

Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi kaku atau

fleksibel, sekaligus juga dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal

atau tumor. Pada rinitis alergik ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat

kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang sedang

dalam serangan. Tanda lain yang mungkin ditemukan adalah otitis media serosa atau

hipertrofi adenoid.

2012 Page 32

Page 33: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit kurang bermakna

pada anak berusia di bawah 3 tahun. Alergen penyebab yang sering adalah inhalan

seperti tungau debu rumah, jamur, debu rumah, dan serpihan binatang piaraan,

walaupun alergen makanan juga dapat sebagai penyebab terutama pada bayi. Susu

sapi sering menjadi penyebab walaupun uji kulit sering hasilnya negatif. Uji

provokasi hidung jarang dilakukan pada anak karena pemeriksaan ini tidak

menyenangkan.

Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang

meningkat >3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil segmen akan

lebih dominan. Gambaran sitologi sekret hidung yang memperlihatkan banyak sel

basofil, eosinofil, juga terdapat pada rinitis eosinofilia nonalergik dan mastositosis

hidung primer

DIAGNOSA BANDING 

Rinitis alergika harus dibedakan dengan :

1. Rinitis vasomotorik

2. Rinitis bacterial

3. Rinitis virus

KOMPLIKASI 

1. Sinusitis kronis (tersering)

2. Poliposis nasal

3. Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive

terhadap aspirin)

4. Asma

5. Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah

6. Hipertyopi tonsil dan adenoid

7. Gangguan kognitif

PEMERIKSAAN

a. Anamnesis : + 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja

b. Pemeriksaan rinoskopi anterior ( mukosa edema,basah,berwarna pucat,livid,sekret

encer yang banyak)

c. Pemeriksaan naso endoskopi

2012 Page 33

Page 34: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

d. Pemeriksaan sitologi hidung

1. ditemukan jumlah eosinofil ( )

2. ditemukan jumlah basofil ( )

3. ditemukan jumlah PMN ( )

e. Hitung eosinofil dalam darah tepi

f. Uji Kulit

4. Biasanya yang sering dipakai adalah Prick Test

5. Teknis : mencukit epidermis dengan blood lancet (jangan sampai terjadi

pendarahan) pada bagian volar lengan bawah yang telah ditetesi dengan

alergen dan histamin

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,

farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam

penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan

bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat

diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang

kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama

dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan

kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya

adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan

obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan

andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-

obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang

sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.

a. Pemilihan obat-obatan

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara

lain :

1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.

2. Tidak menimbulkan takifilaksis.

3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun

demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.

2012 Page 34

Page 35: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan

dengan adanya efek samping sistemik

b. Terapi

1. Terapi yang ideal dengan menghindari kontak alergen penyebab dan eliminasi

2. Simtomatis

b. Antihistamin

A.H GENERASI 1 (KLASIK) A.H GENERASI 2

Lipofilik Lipofobik

Dapat menembus sawar darah otak,plasenta Sulit menembus sawar darah otak

Punya efek kolinergik Tidak punya efek

antikolinergik,antiadrenergik,nonsedatif

Ex : difenhidramin,klorfeniramin,prometasin Ex : astemisol,terfenadin,fexonadin

c. Preparat simpatomimetik

d. Preparat kortikosteroid (bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase

lambat tidak berhasil diobati

e. Operasi konkotomi

2. RHINITIS VASOMOTOR

DEFINISI

Adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,

alegi, eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat.

2012 Page 35

Page 36: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

ETIOLOGI

Tidak spesifik, diduga akibat gangguan keseimbangan fungsi vaso-motor Tidak spesifik, diduga akibat gangguan keseimbangan fungsi vaso-motor

dimana fungsi para simpatis bertambah.dimana fungsi para simpatis bertambah.

Faktor yang mempengaruhi :

1. Obat-obatan yang menekan kerja saraf simpatis misalnya anti hipertensi, Obat-obatan yang menekan kerja saraf simpatis misalnya anti hipertensi,

ergotamin, CPZ, vaso konstriktor topicalergotamin, CPZ, vaso konstriktor topical

2. Faktor fisik a.l. udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, asap rokokFaktor fisik a.l. udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, asap rokok

3. Faktor endokrin a.l. bumil, pemakaian pil KB, hypothyroidFaktor endokrin a.l. bumil, pemakaian pil KB, hypothyroid

4. Faktor psikisFaktor psikis

PATOFISIOLOGI

Adanya pengaruh saraf parasimpatis yang akan menyebabkan vasodilatasi

pembuluh darah yang nantinya akan mengakibatkan edema mukosa, dan

permeabilitas vaskuler menurun sehingga terjadi transudasi secret yang berlebih.

GEJALA

Berdasarkan gejala yang menonjol dibedakan 3 golongan yaitu gol obstruksi

(blokers), rhinore (runners) dan sneezers

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan fisik : edema, mukosa berwarna merah gelap

TERAPI

Hindari faktor pencetus

Simptomatis : dekongestan, diatermi, kaustik, kortiko-steroid topikal.

operasi

1. DD

Rinitis alergi

Rinitid infeksi

2012 Page 36

Page 37: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

2. KOMPLIKASI

Sinusitis akut maupun kronis

3. PERBEDAAN RINITIS ALERGI DAN VASOMOTOR

RINITIS ALERGI RINITIS VASOMOTOR

Mulai serangan Belasan tahun (terdapat

riwayat terpapar alergen)

Decade 3-4 (tidak terdapat

riwayat terpapar alergen)

Etiologi Reaksi Ag-Ab terhadap

rangsangan spesifik

Reaksi neurovaskuler

terhadap beberapa

rangsangan mekanis atau

kimia, psikologis

Penampakan Mukosa tampak pucat Mukosaya biru

Septum nasinya pink

Gatal dan bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal di mata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negative

Secret hidung Peningkatan eosinofil Eosinifil tidak meningkat

Eosinofil darah Meningkat Normal

Ig E Meningkat Tidak meningkat

Neurektomi n. vidianus Tidak membantu Membantu

3. RINITIS MEDIKAMENTOSA

DEFINISI

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan

respons normal vasomotoryang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor

2012 Page 37

Page 38: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

topical(tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,

sehingga menyebabkan sumbatan hidungyang menetap.

ETIOLOGI

“rebound effect “ ( pemakaian tetes hidung yang lama )

PATOFISIOLOGI

Pemakaian topical vasokonstriktor yang berulang dalam waktu lama akan

menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah fase

konstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Pada keadaan ini ditemukan kadar

agonis alfa adrenergic yang tinggi di ukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan

penurunan sensitivitas reseptor alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi

suatu toleransi. Aktivitas dari simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi

menghilang.

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung

dalam waktu yang lama ialah: silia rusak, sel goblet berubah ukuran, membrane

basal menebal, pembuluh darah melebar, stroma tampak edema, hipersekresi

kelenjar mucus dan perubahan pH secret hidung, lapisan submuksa menebal,

lapisan periostium menebal. Oleh karena itu, pemakaian obat sebaiknya tidak lebih

dari 1 minggu dan bersifat isotonic dengan secret hidung normal.

GEJALA

hidung tersumbat terus-menerus

rhinorea

PEMERIKSAAN

Pada pemeriksaan fisik tampak:

- Mukosa tampak udim, hiperemi

- Konka nasi hipertrofi

- Secret hidung berlebihan

1. TERAPI

2012 Page 38

Page 39: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

- Hentikan pemakaian obat

- kortiko-steroid

- Dekongestan oral

2. DD

a. Rinitis vasomotor

b. Rinitis medikamentosa

c. Rinitis infeksi

d. Common cold

3. KOMPLIKASI

Sinusitis

E. FARINGITIS

a. Definisi

Adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya, biasanya timbul bersama dengan tonsillitis, rhinitis, dan laryngitis.

2012 Page 39

Page 40: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring.

b. Etiologi

Bakteri streptococcus pyogenes (streptococcus group A hemoliticus)

Streptokokus group C

Corynebacteria diphteriae

Neisseria gonorrhoe

Non bakteri misalnya adenovirus, influenza virus, parainfluenza, rhinovirus,

RSV, echovirus, coxsackievirus, herpes simplex virus, EBV,dll.

Kebanyakan disebabkan oleh virus, termasuk virus penyebab common cold,

flu, adenovirus, mononukleosis atau HIV (40-60%).

Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah streptokokus grup A, korine

bakterium, arkano bakterium, Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia

pneumonia (5-40%).

Bisa juga karena alergi, toksin, dan trauma.

c. Patofisiologi

Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula - mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak.

d. Gejala

o Demam tiba-tiba

o Faring, palatum, tonsil berwarna merah dan bengkak

o Nyeri tenggorokan

o Terdapat eksudat purulen

o Nyeri telan

o Leukositosis dan dominasi neutrofil

2012 Page 40

Page 41: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

o Adenopati servikal

o Malaise

o Mual

Khusus untuk Faringitis oleh streptokokus :

o Demam tiba-tiba

o Sakit kepala

o Anoreksia

o Nyeri tenggorokan

o Nyeri abdomen

o Rash/urtikaria

o Tonsillitis eksudatif

o Muntah

o Adenopati servical anterior

o Malaise

Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri, tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi karena bakteri.

2012 Page 41

Page 42: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

No FARINGITIS VIRUS FARINGITIS BAKTERI

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Biasanya tidak ditemukan nanah di tenggorokan

Demam ringan atau tanpa demam

Jumlah sel darah putih normal atau agak meningkat

Kelenjar getah bening normal atau sedikit membesar

Tes apus tenggorokan memberikan hasil negative

Pada biakan di laboratorium tidak tumbuh bakteri

Sering ditemukan nanah di tenggorokan

Demam ringan sampai sedang

Jumlah sel darah putih normal – sedang

Pembengkakan ringan sampai sedang pada kelenjar getah bening

Tes apus tenggorokan memberikan hasil positif untuk strep throat

Pada biakan di laboratorium tumbuh bakteri

e. Pemeriksaan

Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah streptokokus atau virus yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanapun, terdapat banyak tumpang tindih dalam tanda-tanda  serta gejala penyakit tersebut dan secara klinis seringkali sukar untuk membedakan satu bentuk faringitis dari bentuk lainnya.Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan yang relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan nafsu makan disertai rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada tenggorokan dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai terasa satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan mencapai puncaknya pada hari ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya sekalipun, peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi kadang-kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang faring. Eksudat-eksudat dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari eksudat-eksudat yang ditemukan pada penyakit yang disebabkan oleh streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal akan membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri tekan atau tidak. Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini tetapi trakea, bronkus-bronkus dan paru-paru jarang terkena. Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel polimorfonuklear menonjol merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini penyakit tersebut. Karena itu jumlah leukosit hanya kecil artinya dalam melakukan pembedaan penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri. Seluruh masa sakit dapat

2012 Page 42

Page 43: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya tidaka kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit lainnya jarang ditemukan.Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih dari 2 tahun, seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit kepala, nyeri abdomen dan muntah-muntah. Gajala-gajala tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya demam yang dapat mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan suhu tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah keluhan-keluhan awal maka tenggorokan penderita mulai terasa sakit dan pada sekitar sepertiga penderita mengalami pembesaran kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi serta eritem faring. Derajat rasa nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari yang sedikit hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para penderita sukar menelan. Dua per tiga dari para penderita mungkin hanya mengalami eritema tanpa pembesaran khusus kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung hingga 1-4 hari; pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap dapat sakit hingga 2 minggu. Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang disebabkan oleh virus. Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada diagnosis infeksi virus.Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus2,4. Menurut Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A adalah kultur tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur dengan media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus menggunakan monospot. Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis. Anamnesa

- Tenggorok terasa kering dan panas, kemudian timbul nyeri menelan di

bagian tengah tenggorok.

- Demam, sakit kepala, malaise.

Pemeriksaan

2012 Page 43

Page 44: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Tampak folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau terletak lebih lateral menjadi radang dan membengkak. Tampak hiperemi, serta sekresi mucus meningkat.

f. Tata laksana

Untuk mengurangi nyeri tenggorokan diberikan obat pereda nyeri (analgetik).

Obat hisap atau berkumur dengan larutan garam hangat.

Aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak dan remaja yang berusia

dibawah 18 tahun karena bisa menyebabkan sindroma Reye.

Jika diduga penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik.

Untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi (misalnya demam rematik).

Jika penyebabnya streptokokus, diberikan tablet penicillin. Jika penderita

memiliki alergi terhadap penicillin bisa diganti dengan erythromycin atau

antibiotik lainnya.

Anti panas bila penderita panas

Makanan lembek, panas & pedas dilarang

g. Komplikasi

Sinusitis

Otitis media

Mastoidis

Abses Peritonsilar

Demam rematik

Glomerulonefritis

Komplikasi terpenting yaitu Deman Rematik (DR). Merupakan penyakit

peradangan akut yang menindak lanjuti faringitis yang disebabkan oleh

Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Penyakit ini cenderung berulang dan

dipandang sebagai penyebab penyakit jantung didapat pada anak dan dewasa

muda.

F. SINUSITIS

2012 Page 44

Page 45: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

BERDASARKAN ETIOLOGI

1. SINUSITIS DENTOGEN

Definisi

peradangan pada sinus merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronis

Etiologi dan patofisiologi

infeksi gigi rahang atasseperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan

periodontal menyebar secara langsung ke sinus atau ke pembuluh darah dan

limfe.

Gejala

o hidung tersumbat disertai nyeri tekan pada muka.

o Ingus purulen

o demam, lesu.

o Sakit kepala, hiposmia

o batuk dan sesak pada anak

Pemeriksaan

Pada rhinoskopi anterior, posterior dan nasoendoskopi ditemukan

adanya pus di meatus medius atau di meatus superior, mukosa edema dan

hiperemis. Selain itu dilakukan foto polos dan CT SCAN untuk melihat

adanya perselubungan, batas udara-cairan atau penebalan mukosa.

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram

atau gelap.

Pada pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan

mengambil sekret dari meatus medius atau superior untuk mendapat antibiotik

yang tepat guna.

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding media sinus

maksila melalui meatus inferior dengan alat endoskop bisa di lihat kondisi

sinus maksila yang sebenarnya.

Terapi

2012 Page 45

Page 46: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga

drainase dan ventilasi sinus pulih kembali. antibiotik untuk menghilangkan

infeksi.

Dekongestan untuk menghilangkan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus. Selain itu, jika diperlukan dapat di beri

terapi analgesik, mukolitik, steroid oral atau topikal, pencucian rongga hidung

dengan NaCl atau pemanasan.

Bila ada alergi sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke 2. Irigasi

sinus maksila juga merupakan terapi tambahan yang sangat bermanfaat.

Jika tidak sembuh dengan terapi diatas maka dilakukan tindakan operasi bedah

sinus endoskopi fungsional.

Komplikasi

Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paransala yang berdekatan

dengan mata. Kelainan intra kranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural

atau subdural dan abses otak.

Osteomielitis dan abses superiostal. Paling sering timbul akibat

sinusitis frontal kronis.

Kelainan paru seperti bronkitis kronis dan bronkiektasis.

2. SINUSITIS JAMUR

Definisi

adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak jarang

ditemukan.

Etiologi

jamur aspergillus dan Candida.

Patofisiologi

Sinusitis jamur dibagi menjadi bentuk invasif dan noninvasif. Sinusitis

jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronis indolen.

Sinusitis jamur invasif akut ada invasi jamur ke jaringan dan vaskuler.

2012 Page 46

Page 47: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan

imunologi. Bersifat kronis progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbital

atau intra kranial.

Sinusitis jamur noni nvasif merupakan kumpulan jamur didalam

rongga sinus tanpa invasi kedalam mukosa dan tidak mendekstruksi tulangf.

Gejala

rhinore purulen

post nasal drip

nafas berbau

massa jamur di cavum nasi

Terapi

pembedahan

debridemen

anti jamur sistemik dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya

obat standart adalah amfoterisin B, rifampicin atau flucitocin.

BERDASARKAN LOKASI

1. SINUSITIS MAKSILARIS

Berdasarkan waktunya dibedakan :

1. Sinusitis maks. Akut : < 4 mgg didapatkan tanda-tanda radang akut

2. Sinusitis maks. Sub akut : 4mgg-3 bln tanda akut (-)

3. Sinusitis maks. Kronis : > 3 bln perub. Mukosa hidung sinus irrev.

( polip, kista, fibrosis)

Sinusitis maks paling sering dijumpai oleh karena :

Letak ostiumnya tinggi

Letak ostiumnya paling rendah diantara sinus lain

Dasar S.M adalah dasar akar gigi ( proc. Alveolaris )

Terdapat 2 sumber infeksi yaitu :

– Rhinogen :

• Dari rinitis akut oleh karena buang ingus yang salah

• Sept. deviasi

• Polip nasi / rinitis alergi

– Dentogen :

2012 Page 47

Page 48: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

• Karies gigi P2 - M3

• Abses gigi

• Post ekstraksi gigi→ fistel oro anthral

1. Sinusitis Maksilaris akut

• Gejala :

– Pdu didahului kel. Rinitis akut

– Febris / sub febris

– Pipi kemeng, sefalgi t.u sore hari

– Pilek 1 sisi kadang bercampur darah dan berbau

• Pemeriksaan fisik :

– Inspeksi : - Udim di daerah pipi

- Hiperemi di daerah pipi terutama jika kulit putih – Palpasi : - nyeri tekan pada drh fossa kanina

– Rinoskopi anterior : - Mukosa cavum Nasi udim, hiperemi

- Pus di meatus med. Transluminasi : pdu gelap pada sisi yang sakit

– Untuk sinus maxillaris dan frontalis

– Apabila hasil menunjukkan gelap di daerah infraorbital berarti pada sinus

terisi pus atau mukosa menebal atau ada neoplasma di dalam antrum

– Dilakukan di kamar gelap

– Lampu bertangkai dimasukkan ke dalam rongga mulut, sinar lampu akan

menembus rongga sinus maksila, terlihat di pipi, bandingkan kanan dan kiri.

Sinus yang terisi cairan tampak suram/gelap

– Bermakna bila ada perbedaan kanan & kiri

2012 Page 48

Page 49: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Kamar gelap

Gambaran Pemeriksaan Penunjang Transiluminasi

X foto water’s : perselubungan pd sisi yang sakit

Tx :

– A B

– Dekongestan lokal = TH

– Analgetik

– Hilangkan faktor penyebab

2. Sinusitis Maksilaris sub akut

2012 Page 49

Page 50: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

• Gx : seperti sinusitis maks. akut hanya tanda-tanda radang akut sudah reda

• Tx :

– Irigasi sinus

– TH

– Diatermi SWD : Short Wave Diathermy

– Hilangkan faktor penyebab

3. Sinusitis Maksilaris Kronis

• Terjadi perubahan mukosa sinus : degenerasi cystous, polip, fibrosis, metaplasi.

• Sering terjadi pada Penyakit alergi

• Dapat merupakan lanjutan dari SMA yang tidak diobati

• Gx bervariasi ;

– Pilek berbau 1 sisi

– Gejala tenggorok : rasa tidak nyaman, batuk

– Sakit kepala 1 sisi

• Pemeriksaan RA : terdapat pus di meatus med.

• Pemeriksaan RP : Post nasal drip

• Tx :

– Medika mentosa

– Irigasi SM 1x/minggu

– Op. Caldwell luc/ Claue

– Hilangkan faktor penyebab

• Komplikasi : Osteomyelitis, selulitis orbita – abses orbita

• DD : Ca Sinus Maksilaris

– Orang tua

– Nyeri kontinu & progresif

– Sakit geraham tapi obyektif tak ada

– Sekret hemorhagis

2. SINUSITIS FRONTALIS

2012 Page 50

Page 51: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Sinus frontalis akut hampir bersama-sama dengan infeksi dengan infeksi sinusitis etmoidalis anterior. Sinusitis ini berkembang dari sel-sel udara etmoidalis anterior dan duktus nasalis frontalis yang berlekuk-lekuk.

Gejalanya :

- Nyeri kepala yg khas. Nyeri ini berlokasi di alis mata biasanya pada

pagi hari dan memburuk pada menjelang tengah hari, dan kemudian

perlahan-lahan mereda pada malam hari.

- Dahi terasa nyeri bila disentuh dan terdapat pembengkakakn

supraorbita.

Pengobatan :

Pemberian antibiotic yang tepat, dekongestan dan tetes hidung vasokonstriktor.

Terapi :operasi ( hilangkan faktor obstruksi)

Komplikasi:

- osteomyelitis frontalis

- infiltrat/ abses orbitainfiltrat/ abses orbita

- trombosis sinus kavernosustrombosis sinus kavernosus

- endo kranialendo kranial

BERDASARKAN LAMA TERJADINYA

1. SINUSITIS AKUT

5. Sinusitis Akut

• Berdasarkan waktunya dibedakan :

1. Sinusitis maksilaris Akut : < 4 mgg didapatkan tanda-tanda radang akut

2. Sinusitis maksilaris Sub akut : 4mgg-3 bln tanda akut (-)

3. Sinusitis maksilaris Kronis : > 3 bln perub. Mukosa hidung sinus

irreversibel ( polip, kista, fibrosis)

• Sinusitis maksilaris paling sering dijumpai oleh karena :

– Letak ostiumnya tinggi

– Letak ostiumnya paling rendah diantara sinus lain

– Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi ( proc. Alveolaris )

• Terdapat 2 sumber infeksi yaitu :

2012 Page 51

Page 52: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

– Rhinogen :

• Dari rinitis akut oleh karena buang ingus yang salah

• Sept. deviasi

• Polip nasi / rinitis alergi

– Dentogen :

• Karies gigi P2 - M3

• Abses gigi

• Post ekstraksi gigi→ fistel oro anthral

2. SINUSITIS KRONIS

Defenisi

Sinusitis kronis adalah sinusitis yang berlangsung lebih 3 bulan.

Etiologi

Infeksi kronis pada sinusitis kronis dapat disebabkan :

- Gangguan drainase. Gangguan drainase dapat disebabkan obstruksi mekanik dan

kerusakan silia.

- Perubahan mukosa. Perubahan mukosa dapat disebabkan alergi, defisiensi

imunologik, dan kerusakan silia.

- Pengobatan. Pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna.

Sebaliknya, kerusakan silia dapat disebabkan oleh gangguan drainase, perubahan

mukosa, dan polusi bahan kimia.

- Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa

hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi

imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis

apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.

Gejala Subjektif

Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

2012 Page 52

Page 53: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

- Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal

(post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit

tersumbat.

- Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.

- Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba

eustachius.

- Ada nyeri atau sakit kepala.

- Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

- Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau

bronkhiektasis atau asma bronkhial.

- Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

Gejala Objektif

Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat

pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental,

purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor

atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di

nasofaring atau turun ke tenggorok.

Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan

etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris.

Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.

Pemeriksaan Mikrobiologi

Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman

aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus

dan fuso bakterium.

Diagnosis Sinusitis Kronis

Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :

1. Anamnesis yang cermat

2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior

2012 Page 53

Page 54: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

3. Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada

daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.

4. Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan

Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan

tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara

menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh

permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus

maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan

posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.

5. Pungsi sinus maksilaris

6. Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus,

apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan

bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis

akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi

terganggu.

7. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan

sinoskopi.

8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-

endoskopi.

9. Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan

sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan

tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak

homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan

sklerotik (pada kasus-kasus kronik).

Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada

pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar

membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama

makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.

b) Polip yang mengisi ruang sinus

c) Polip antrokoanal

d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus

2012 Page 54

Page 55: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh

massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan

sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran

perifer.

f) Tumor

Terapi

Terapi untuk sinusitis kronis :

a) Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang

sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian

antibiotik mencukupi 10-14 hari.

b) Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut

lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan,

diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan

teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi

kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak

membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan

bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka

evaluasi diagnosis.

c) Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

d) Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis

ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.

e) Pembedahan

1. Radikal

- Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.

- Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

- Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.

2. Non Radikal

- Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan

membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

2012 Page 55

Page 56: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

KOMPLIKASI SINUSITIS

CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan

derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini

harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.

2. Komplikasi orbita

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita

yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi

ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di

dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

a) Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita

akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama

ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan

orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok

umur ini.

b) Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif

menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.

c) Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding

tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

d) Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur

dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis

optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak

otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva

merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin

bertambah.

e) Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri

melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian

terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :

2012 Page 56

Page 57: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Oftalmoplegia.

Kemosis konjungtiva.

Gangguan penglihatan yang berat.

Kelemahan pasien.

Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan

dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

3. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam

sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai

kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar

dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi

sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke

lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan

penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel

meskipun lebih akut dan lebih berat.

Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua

mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

4. Komplikasi Intra Kranial

a) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah

meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang

saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding

posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel

udara ethmoidalis.

b) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,

sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga

pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul

mampu menimbulkan tekanan intra kranial. Abses subdural adalah kumpulan

2012 Page 57

Page 58: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang

timbul sama dengan abses dura.

c) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi,

maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.

Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase

secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan

penyebaran infeksi.

5. Osteomielitis dan abses subperiosteal

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang

frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.

Gejala sistemik berupa malaise, demam dan mengigil.

2012 Page 58

Page 59: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

G. ASMA BRONKIAL

a. Definisi

Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible

dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma

bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon bronkus

terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas

yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil

dari pengobatan (The American Thoracic Society).

Asma merupakan penyakit yang hilang – timbul, dengan eksaserbasi akut

menyebar. Umumnya waktu serangan pendek, terjadi antara beberapa menit

hingga beberapa jam, dan secara klinis pasien dapat pulih sempurna setelah

serangan. Walaupun jarang terjadi, serangan akut dapat menimbulkan kematian.

b. Faktor Resiko

1. Genetik

2. Faktor atopi

3. Airwayhipperresponsivness

4. Alergen indoor

5. Alergen outdoot

6. Occupational sensitizer

7. Asap rokok

8. Polusi udara

9. Infeksi pernafasan

10. Infeksi parasit

11. Status sosioekonomi

12. Jumlah keluarga

13. Diet dan obat-obatan

14. Obesitas

a. Etiologi

Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori

sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan

parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada

reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).

2012 Page 59

Page 60: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3

tipe, yaitu :

Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus

yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan

(antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan

dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika

ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan

terjadi serangan asma ekstrinsik.

Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus

yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga

disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma

ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat

berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan

mengalami asma gabungan.

Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari

bentuk alergik dan non-alergik.

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya

serangan asma bronkhial.

Faktor Predisposisi Genetik.

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi

biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena

adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial

jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran

pernafasannya juga bisa diturunkan.

Faktor presipitasi

– Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang,

serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)

Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)

2012 Page 60

Page 61: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan

jam tangan)

- Rangsangan Farmakologis

Obat yang paling sering berhubungan dengan fase akut asma adalah

aspirin (NSAIDs), zat warna seperti tartazin, antagonis ß-adrenergik, dan

senyawa sulfit. Tipe yang sensitif aspirin terutama pada orang dewasa,

walaupun terdapat juga pada anak-anak. Terdapat reaktivitas silang antara

aspirin dengan NSAIDs yang menginhibisi prostaglandin G/H sintase 1.

Pasien dengan sensitivitas terhadap aspirin dapat didesensitisasi dengan

pemberian aspirin harian, sehingga terjadi toleransi silang dengan NSAIDs

lainnya.

Antagonis ß-adrenergik pada individ dengan asma dapat menghambat

saluran napas dengan meningkatkan reaktivitas saluran napas dan harus

dihindari. Bahkan antagonis ß-adrenergik selektif beta 1 memiliki

kecenderungan tersebut dalam dosis yang lebih tinggi. Terdapat fakta bahwa

penggunaan lokal penghambat beta 1 pada mata untuk mengobati glaukoma

berhubungan dengan memburuknya asma.

- Senyawa sulfit, yang digunakan secara luas pada makanan dan industri

farmasi sebagai zat untuk sanitasi dan pengawet, dapat menimbulkan

penyumbatan saluran napas bagi orang yang sensitif. Paparan terjadi karena

memakan makanan dan obat-obatan yang mengandung zat-zat tersebut.

– Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.

Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan

asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim

hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin

serbuk bunga dan debu.

– Stress

Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga

bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma

yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami

stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah

2012 Page 61

Page 62: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum

bisa diobati.

– Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal

ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di

laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini

membaik pada waktu libur atau cuti.

– Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan

aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah

menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi

segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Atopi merupakan faktor resiko yang paling banyak dalam perkembangan asma. Asma

alergik seringkali dihubungkan dengan riwayat penyakit individu dan/atau keluarga

seperti rhinitis, urtikaria, dan eksim; dengan reaksi bengkak dan rasa terbakar pada

kulit terhadap injeksi ekstrak antigen dari udara secara intradermal; dengan

peningkatan kadar IgE dalam serum; dan/atau dengan respon positif terhadap tes

provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.

Penderita asma tanpa riwayat alergi individu maupun keluarga, dengan tes kulit yang

negatif, dan dengan kadar IgE serum yang normal, yang oleh karena itu tidak dapat

dikelompokkan menurut mekanisme imunologis yang telah dijelaskan sebelumnya,

disebut asma idiosinkratik atau asma nonatopik. Pada umumnya, asma yang terjadi

pada usia anak-anak memiliki komponen alergik yang kuat, sedangkan asma yang

berkembang kemudian memiliki etiologi nonalergik atau campuran.

Hal-hal yang dapat meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas (HSN) adalah :

a. Inflamasi saluran napas

Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan pada proses inflamasi,

seperti histamine, prostaglandin, leukotrien, platelet activating factor (PAF),

bradikinin, tromboksin,dll. Akan memengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan

peningkatan permeabilitas vascular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang,

sekresi mucus dan fibrosis sel epitel dan akhirnya terjadilah hiperreaktivitas saluran

pernapasan.

2012 Page 62

Page 63: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

b. Kerusakan Epitel

Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Kerusakan tersebut

akan meningkatkan penetrasi allergen, mediator inflamasi serta iritasi ujung-ujung

saraf otonom. Sel epitel bronkus sendiri mengandung mendiator yang bersifat

bronkodilator. Kerusakan sel epitel tersebut menyebabkan bronkokonstriksi lebih

mudah terjadi

c. Mekanisme neurologis

Pada pasien asma, terjadi peningkatan respon saraf parasimpatis

d. Gangguan intrinsik

Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos diduga berpengaruh pada

HSN

e. Obstruksi saluran napas

a. Patofisiologi

Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang

menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas

bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma

tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi

mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal

dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan

antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast

yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan

bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang

tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel

mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,

diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan

leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.

Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal

pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen

2012 Page 63

Page 64: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan

saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada

selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa

menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian,

maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang

menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma

biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali

melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional

dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat

kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan

barrel chest.

Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak

dan tidak dapat diekspirasi, dan terjadi peningkatan volume residu, kapasitas

reidu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi

mendekati kapasitas total paru (KTP). Keadaan hiperinflasi bertujuan agar saluran

napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancer. Untuk mempertahankan

keadaan hiperinflasi tersebut diperlukan otot-otot bantu pernapasan.

Gangguan yang berupa obstruksi saluran npas dapat dilihat secara

obyektis secara obyektif dengan VEP1(volume ekspirasi paru detik pertama ) atau

APE ( Arus Puncak Ekspirasi ), sedangkan penurunan KVP ( Kapasitas Vital Paru)

menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Gejala mengi menandakan ada

penyempitan di saluran napas besar, sedangkan batuk dan sesak lebih dominan

dibanding mengi.

Proses inflamasi kronis yang kompleks, melibatkan dinding saluran nafas

dengan mengakibatkan hambatan aliran udara dan peningkatan airway

responsivness, yang selanjutnya merupakan predisposisi penyempitan sluran

nafas sebagai respon terhadap berbagai stimuli. Karakteristik inflamasi saluran

nafas ditandai adanya peningkatan jumlah eosinofil teraktifasi, sel mast,

makrofag, dan limfosit T (terutama sub tipe Th2) pada mukosa saluran nafas,

yang disebut conductor of inflamation orchestra. Proses ini berlangsung terus

bahkan saat asma asymptomatik. Bersamaan dengan proses inflamasi kronik,

2012 Page 64

Page 65: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

jejas pada epitel bronkus merangsang proses perbaikan yang berakibat pada

perubahan struktur dan fungsi yang dikenal sebagai remodelling. Inflamasi,

remodiling, dan perubahan kantrol saraf sluran nafas berperan dalam

eksaserbasi asma dan obstruksi aliran udara lebih permanen.

b. Klasifikasi

Derajat Gejala Gejala malam Faal

paru

Intermite

n

Gejala kurang dari 1x/minggu

Asimtomatik

Kurang dari 2 kali

dalam sebulan

APE >

80%

Mild

persistan

-Gejala lebih dari 1x/minggu tapi

kurang dari 1x/hari

-Serangan dapat menganggu

Aktivitas dan tidur

Lebih dari 2 kali

dalam sebulan

APE

>80%

Moderate

persistan

-Setiap hari,

-serangan 2 kali/seminggu, bisa

berahari-hari.

-menggunakan obat setiap hari

-Aktivitas & tidur terganggu

Lebih 1 kali dalam

seminggu

APE 60-

80%

Severe

persistan

- gejala Kontinyu

-Aktivitas terbatas

-sering serangan

Sering APE

<60%

STATUS

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan

etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan

aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat

penyakit penting bagi pengobatan dan

perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,

semakin berat asma semakin tinggi tingkat

pengobatan. Derajat asma

Gejala Fungsi Paru

I. Intermiten Siang hari < 2 kali per Variabilitas APE < 20%

2012 Page 65

Page 66: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

minggu

Malam hari < 2 kali per

bulan

Serangan singkat

Tidak ada gejala antar

serangan

Intensitas serangan

bervariasi

VEP1 > 80% nilai

prediksi

APE > 80% nilai

terbaik

II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per

minggu, tetapi < 1 kali

per hari

Malam hari > 2 kali per

bulan

Serangan dapat

mempengaruhi aktifitas

Variabilitas APE 20 -

30%

VEP1 > 80% nilai

prediksi

APE > 80% nilai

terbaik

III. Persisten Sedang Siang hari ada gejala

Malam hari > 1 kali per

minggu

Serangan

mempengaruhi aktifitas

Serangan > 2 kali per

minggu

Serangan berlangsung

berhari-hari

Sehari-hari

menggunakan inhalasi

β2-agonis short acting

Variabilitas APE > 30%

VEP1 60-80% nilai

prediksi

APE 60-80% nilai

terbaik

c. Gejala Klinis

Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang

meluas pada saluran udara pernafasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh

dengan terapi. Penyakit ini brsifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi

oleh periode tanpa gejala.

2012 Page 66

Page 67: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Keluhan utama penderita asma adalah sesak napas mendadak disertai inspirasi

yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi

mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan.

Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat

dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin

meningkat atau tiba-tiba menjadi berat. Hal ini sering terjadi terutama pada

penderita dengan rhinitis alergika atau radang saluran napas bagian atas.

Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernapas

disertai rasa tidak enak di daerah retrosternal.

f. Diagnosis banding

Bronkitis kronis

Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun

paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya

terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk

di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan

jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.

Emfisema paru

Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang

menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema

biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat

melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong,

gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat

lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.

Gagal jantung kiri

Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai

paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena

sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.

Emboli paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan

tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah,

nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik

didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop,

sianosis, dan hipertensi.

2012 Page 67

Page 68: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

g. Diagnosis asma bronkial

Anamnesa

– Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk

berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.

– Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible.

– Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit

alergi yang lain.

Pemeriksaan Fisik

– Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih

nyaman dalam posisi duduk.

– Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.

– Paru :

Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke

bawah.

Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.

Perkusi : hipersonor

Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri

- Pemeriksaan Penunjang :

a. Spirometri

Melihat respon saluran napas setelah pemakaian

bronkodilator sebelum dan sesudah pemakaian,peningkatan VEP1

atau KVP sebanyak 20 % menunjukkan diagnosis asma. Jika kurang

dari 20 % tidak berarti itu bukan asma, tapi kemungkinan itu

merupakan asma yang akan sembuh

b. Uji provokasi bronkus.

Menguji reaksi bronkus dengan berbai variabel

c. Pemeriksaan sputum

Eosinofil sangat karakterisitik untuk asma sedangkan neutrofil

sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya

eosinofil,Kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curcsmann,pemeriksaan

penting untuk melihat Aspergillus fumigatus

d. Pemeriksaan eosinofil total

2012 Page 68

Page 69: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Penting untuk melihat seberapa besar kebutuhan untuk pemakain

kortikosteroid

e. Uji kulit allergen

f. Pemeriksaan kadar IgE Total dan IgE spesifik dalam sputum

g. Foto dada

h. Analisis gas darah

i. Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :

Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis

deviasi dan clock wise rotation.

Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya

RBBB ( Right bundle branch block).

Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,

SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.

j. Scanning paruDengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa

redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

Pemeriksaan laboratorium

– Darah rutin didapat peningkatan eosinofil dan IgE

– Sputum didapat adanya eosinofil, spiral crushman, kristal charcot Leyden.

– Foto toraks dapat normal diluar serangan, hiperinflasi saat serangan,

adanya penyakit lain

– Faal paru (spirometri /peak flow meter) menilai berat obstruksi,

reversibilitas, variabilitas

Uji provokasi bronkus untuk membantu diagnosis

h. PrognosisAngka kematian akibat asma adalah kecil. Gambaran terakhir menunjukkan

kurang dari 5.000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-

kira 10 juta. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota yang memiliki

fasilitas kesehatan terbatas.

2012 Page 69

Page 70: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan prognosis yang baik,

terutama pada penderita dengan penyakit asma ringan dan asma pada anak-anak.

Jumlah anak yang masih menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosa awal

bervariasi antara 26-78%, rata-rata 46 %, persentasi anak-anak yang berlanjut

dengan penyakit yang berat relatif rendah yaitu 6-19 %.

Walaupun ada laporan pasien asma mengalami perubahan ireversibel pada

fungsi paru-paru, pasien-pasien ini biasanya memiliki stimulus komorbid seperti

merokok. Walaupun tidak diobati, penderita asma tidak berkembang dari bentuk

ringan menjadi bentuk berat selama perjalanan waktu. Perjalanan kliniknya terdiri

dari eksaserbasi dan remisi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi spontan

terjadi pada kira-kira 20 % pada pasien yang menderita penyakit asma pada saat

sudah dewasa, dan kira-kira 40 % dapat diharapkan membaik dengan serangan yang

lebih ringan dan lebih jarang saat pasien menjadi semakin tua.

i. Pencegahan

Serangan eksaserbasi akut asma dapat dicegah dengan menghindari faktor

pencetus asma yang tergantung pada penyebab asma masing-masing pasien.

Identifikasi dan penghindaran alergen di rumah dan tempat kerja harus sebisa

mungkin dilakukan. Penghindaran yang benar-benar terhadap paparan tungau debu

rumah, hewan-hewan peliharaan, dan faktor pekerjaan berhubungan dengan

perbaikan nyata pada gejala-gejala pernapasan, fungsi paru-paru dan

hiperresponsivitas saluran napas. Membuang hewan peliharaan, terutama kucing,

dari dalam rumah akan sangat efektif bila disertai pembersihan dan pencucian

rumah untuk menghilangkan alergen yang mungkin tertinggal yang bisa tetap berada

pada konsentrasi yang cukup untuk merangsang asma dalam waktu yang lama.

j. TerapiTerapi medikasi asma dibagi menjadi 2 kategori, yaitu quick relief dan medikasi kontrol jangka panjang.

Quick relief :

- mengatasi eksaserbasi akut asma

- Beta agonis aksi pendek, antikolinergik dan kortikosteroid sistemik.

- Pemulihan cepat dari eksaserbasi akut

Medikasi kontrol jangka panjang :

2012 Page 70

Page 71: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

- kortikosteroid inhalasi

- cromolyn sodium

- nedocromil

- beta agonis jangka panjang

- methylxantine

- leukotrien antagonis

Bronkodilator

Merupakan pengobatan simptomatis dari bronkospasme pada eksaserbasi akut asma/

kontrol gejala jangka panjang : Albuterol, levalbuterol, salmeterol, ipratropium (atrovent),

teofilin.

Antagonis reseptor leukotrien

Antagonis direk dari mediator yang menyebabkan inflamasi jalan napas pada asma.

Alternatif pengobatan jangka panjang selain kortikosteroid inhalasi dosis rendah :

montelukast

Kortikosteroid

Obat pilihan untuk pengobatan asma kronis dan pencegahan eksaserbasi akut asma.

Beberapa kortikosteroid inhalasi yang digunakan pada asma : beclomethasone, budenoside,

turbuhaler, flunisolide, fluticasone, triamcinolone.

Mast cell stabilizer

Mencegah pelepasan mediator dari sel mast yang menyebabkan inflamasi jalan napas

dan bronkospasme. Diindikasikan untuk terapi rumatan untuk asma ringan hingga

moderat :cromolyn

k. Komplikasi

Pneumothorax

Pneumomediastinum dan empysema sub kutis

Atelektaksis

Aspergilosis

Bronkopulmoner

Alergik

Gagal nafas

Bronkitis

2012 Page 71

Page 72: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

l. Pengobatan

Sampai sejauh ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan asma, karena itu

dipakai istilah terkendali dalam pengobatan asma. Suatu asma dikatakan terkendali jika,

gejala asma kronik minimal, termasuk gejala asma malam, serangan eksaserbasi akut

minimal, kebutuhan agonis beta 2 sangat minimal, tidak ada keterbatasan

aktivitas,variasi APE kurang dari 20 %, nilai APE normal, efek samping obat minimal,

ridak memerlukan pertolongan gawat darurat.

Berikut ini adalah metode pengobatan berdasarkan system anak tangga

a. Asma intermitten

Gambaran klini sebelum pengobatan:

Gejala intermitten ( < satu kali seminggu)

Serangan singkat ( beberapa jam sampai hari )

Gejala asma < 2x sebulan

Nilai APE dan VEP1 > 80 % dari nilai prediksi, variabilitas < 20 %

Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergntung serangan bila berat tambah

kortikosteroid oral

b. Asma persisten ringan

Gambaran klini sebelum pengobatan:

Gejala > satu kali seminggu, tapi < 1x perhari

Serangan menggangu aktivitas dan tidur

Gejala asma >2x sebulan

Nilai APE dan VEP1 > 80 % dari nilai prediksi, variabilitas 20-30 %

Obat yang dipakai tiap hari adalah obat pencegah,agonis beta 2 hirup bila

perlu.

c. Asma persisten sedang

Gambaran klinis sebelum pengobatan:

Gejala setiap hari

Serangan menggangu aktivitas dan tidur

Gejala asma >1x seminggu

2012 Page 72

Page 73: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Nilai APE dan VEP1 60-80 % dari nilai prediksi, variabilitas > 30 %

Obat yang dipakai setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup), bronkodilator

kerja jangka panjang.

d. Asma persisten berat

Gambaran klinis sebelum pengobatan:

Gejala terus menerus, sering mendapat serangan.

Gejala asma malam sering

Aktivitas fisik terbatas

Serangan menggangu aktivitas dan tidur

Gejala asma >2x sebulan

Nilai APE dan VEP1 < 80 % dari nilai prediksi, variabilitas >30 %

Obat yang dipakai tiap hari adalah obat pencegah, dosis tinggi, korikosteroid hirup,

bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid kerja panjang

Pengobatan dapat juga dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Mencegah ikatan alergen dengan IgE.

a. Menghindari alergen

b. Hiposensitisasi

Dosis alergen ditingkatkan → disuntikkan dengan dosis kecil

→merangsang tubuh membentuk IgG → mencegah alergen berikatan

dengan IgE.

2. Mencegah pelepasan mediator.

a. Pemberian natrium kromolin (hanya untuk terapi pemeliharaan tidak

pada saat spasme otot)

b. Golongan agonis beta 2

c. Golongan teofilin

3. Melebarkan saluran nafas dengan broncodilator

a. Simpatomimetik :

Golongan agonis beta 2 contoh : salbutanol, terbutalin, fenoterol,

procaterol.

2012 Page 73

Page 74: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Diberikan secara inhalasi melalui MDI (metere dosed inhaler) dan

nebulizer

Epinefrin

Pengganti golongan beta 2 pada serangan asma yang berat

b. Aminofilin :

Dipakai sewaktu serangan asma akut

c. Kortikosteroid :

Melebarkan saluran napas padasaat asma akut atau terapi pemeliharaan

d. Antikolinergik (ipatropium bromide)

Sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2

4. Menguasai respon dengan jalan meredam inflamasi saluran napas

ASMA CARDIACA gaa ada bahan dr kelp F

Gaa sesuai mapping

OTITIS gaa ada bahan dr kelp G

H. STATUS ASMATIKUS

a. Definisi

2012 Page 74

Page 75: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan iritan nonspesifik dapat menunjang episode ini. Epidsode akut mungkin dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap penisilin.

b. Etiologi

Banyak faktor pencetus status asmatikus yakni asma berat. Status asmatikus diawali serangan asam biasa, yang dalam perjalannya kemudian resisten terhadap bronkudilator jadi kebanyakan status asmatikus ditimbulkan oleh faktor-faktor pencetus yang biasa seperti :

1. Infeksi alat pertnafasan

Bakterial

Nonbakterial

2. Alergen

o Inhalan : debu rumah, tungau, tepung sari, serpihan binatang, bulu,jamur.

o Ingestan : susu sapi, telur, ikan, biah-biahan, biji-bijian dan sebagainya.

3. Kegiatan Jasmani

Terutam lari : diperberat bila cuaca dingin

4. Keadaan emosi

o Emosi yang meluap

o Marah, takut

o Tertawa/menagis

5. Konflik dalam keluarga

Ketegangan di rumah

Proteksi yang berlebihan

6. Cuaca

o Perubahan cuaca

o Kabut, angin

o Cuaca dingin

7. Lain-lain.

Aspirin

Anti biotik dan sebagainya

2012 Page 75

Page 76: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

c. Patofisiologi

Karakteristik dasar dari asma ( konstriksi otot polos bronchial, pembengkakan mukosa bronchial, dan pengentalan sekresi ) mengurangi diameter bronchial dan nyata pada status asmatikus. Abnormalitas ventilasi – perfusi yang mengakibatkan hipoksemia dan respirasi alkalosis pada awalnya, diikuti oleh respiratori asidosis.

Terhadap penurunan PaO2 dan respirasi alkalosis dengan penurunan PaCO2 dan peningkatan pH. Dengan meningkatnya keparahan status asmatikus, PaCO2 meningkat dan pH turun, mencerminkan respirasi asidosis.

d. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik status asmatikus adalah sama dengan manifestasi yang terdapat pada asma hebat – pernapasan labored, perpanjangan ekshalasi, perbesaran vena leher, mengi. Namun, lamanya mengi tidak mengindikasikan keparahan serangan. Dengan makin besarnya obstruksi, mengi dapat hilang, yang sering kali menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan.

Mengenal suatu serangan suatu asma akut pada dasarnya sangat mudah. Dengan pemeriksaan klinis saja diagnosis sudah dapat ditegakkan, yaitu dengan adanya sesak napas mendadak disertai bising mengi yang terdengar diseluruh lapangan paru. Namun yang sangat penting dalam upaya penganggulangannya adalah menentukan derajat serangan terutama menentukan apakah asam tersebut termasuk dalam serangan asma yang berat.

Asma akut berat yang mengancam jiwa terutama terjadi pada penderita usia pertengahan atau lanjut, menderita asma yang lama sekitar 10 tahun, pernah mengalami serangan asma akut berat sebelumnya dan menggunakan terapi steroid jangka panjang. Asma akut berat yang potensial mengancam jiwa, mempuyai tanda dan gejala sebagai berikut.

a. Bising mengi dan sesak napas berat sehingga tidak mampu menyelesaikan satu

kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak.

b. Frekuensi napas lebih dari 25 x / menit

c. Denyut nadi lebih dari 110x/menit

d. Arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai

tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit

e. Penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi. Pulsus paradoksus,

lebih dari 10 mmHg.

2012 Page 76

Page 77: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

e. Evaluasi Diagnostik1. Pemeriksaan fungsi paru

Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan napas akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah ( respirasi asidosis ), mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis, adalah criteria lain yang menandakan kebutuhan akan perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.

2. Pemeriksaan gas darah arteri

Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis ( CO2 rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik. Peningkatan PCO2 ( ke kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi asidosis ) seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal napas. Adanya hipoksia berat, PaO2 < 60 mmHg serta nilai pH darah rendah.

3. Arus puncak ekspirasi

APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data yang objektif dalam menentukan derajat beratnya penyakit. Dinyatakan dalam presentase dari nilai dungaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai. Apabila kedua nilai itu tidak diketahui dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.

4. Pemeriksaan foto thoraks

Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis, pneumonia, dan pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang meurun. Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan hilangnya serangan asma tersebut.

5. Elektrokardiografi

Tanda – tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan. 

f. Penatalaksanaan

Semua penderita yang dirawat inap di rumah sakit memperlihatkan keadaan obstruktif jalan napas yang berat. Perhatian khusus harus diberikan dalam

2012 Page 77

Page 78: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

perawatan, sedapat mungkin dirawat oleh dokter dan perawat yang berpengalaman. Pemantauan dilakukan secara tepat berpedoman secara klinis, uji faal paru ( APE ) untuk dapat menilai respon pengobatan apakah membaik atau justru memburuk. Perburukan mungkin saja terjadi oleh karena konstriksi bronkus yang lebih hebat lagi maupun sebagai akibat terjadinya komplikasiseperti infeksi, pneumothoraks, pneumomediastinum yang sudah tentu memerlukan pengobatan lainnya. Efek samping obat yang berbahaya dapat terjadi pada pemberian drips aminofilin. Dokter yang merawat harus mampu dengan akurat menentukan kapan penderita meski dikirim ke unit perawatan intensif.

Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim dari UGD dilakukan penatalaksaanan sebagai berikut :

Pemberian terapi oksigen dilanjutkan

Terapi oksigen dilakukan megnatasi dispena, sianosis, danhipoksemia. Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik dengan masker Venturi atau kateter hidung diberikan. Aliran oksigen yang diberikan didasarkan pada nilai – nilai gas darah. PaO2 dipertahankan antara 65 dan 85 mmHg. Pemberian sedative merupakan kontraindikasi. Jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan berulang, dibutuhkan perawatan di rumah sakit.

Agonis β2

Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis tiap jam, kemudian dapat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan yang jelas. Sebagian alternative lain dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dengan nebuhaler / volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi perburukan, diberikan drips salbutamol atau terbutalin.

Aminofilin

Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5 – 0,9 mg/kg BB / jam. Pemberian per drip didahului dengan pemberian secara bolus apabila belum diberikan. Dosis drip aminofilin direndahkan pada penderita dengan penyakit hati, gagal jantung, atau bila penderita menggunakan simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis tinggi diberikan pada perokok. Gejala toksik pemberian aminofilin perlu diperhatikan. Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis harus diturunkan. Bila terjadi konfulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera dihentikan karena terjadi gejala toksik yang berbahaya.

Kortikosteroid

Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap 2 – 8 jam tergantung beratnya keadaan serta kecepatan respon. Preparat pilihan adalah hidrokortison 200 – 400 mg dengan dosis keseluruhan 1 – 4 gr / 24 jam. Sediaan yang lain dapat juga diberikan sebagai alternative adalah triamsiolon 40 – 80 mg, dexamethason / betamethason 5 – 10 mg. bila tidak tersedia kortikosteroid

2012 Page 78

Page 79: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

intravena dapat diberikan kortikosteroid per oral yaitu predmison atau predmisolon 30 – 60 mg/ hari.

Antikolonergik

Iptropium bromide dapt diberikan baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan agonis β2 secara inhalasi nebulisasi terutama penambahan – penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian agonis β2 sudah memberikan hasil yang baik.

Pengobatan lainnya

a. Hidrasi dan keseimbangan elektrolit

Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis metabolic. Ringer laktat dapat diberikan sebagai terapi awal untuk dehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolic diberikan Natrium Bikarbonat.

b. Mukolitik dan ekpetorans

Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan obstruksi jalan berat ekspektorans seperti obat batuk hitam dan gliseril guaikolat dapat diberikan, demikian juga mukolitik bromeksin maupun N-asetilsistein.

c. Fisioterapi dada

Drainase postural, fibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi lainnya hanya dilakukan pada penderita hipersekresi mucus sebagai penyebab utama eksaserbasi akut yang terjadi.

d. Antibiotic

Diberikan kalau jelas ada tanda – tanda infeksi seperti demam, sputum purulent dengan neutrofil leukositosis.

e. Sedasi dan antihistamin

Obat – obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di ruang perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti bermanfaat dalam pengobatan asma akut berat malahan dapat menyebabkan pengeringan dahak yang mengakibatkan sumbatan bronkus.

Terapi serangan asma akut

Berat

ringannya

serangan

Terapi Lokasi

Ringan Terbaik : agonis beta 2 inhalasi diulang setia 1 jam

Di rumah

2012 Page 79

Page 80: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Alternatif : agonis beta 2 oral 3 X 2

mg

Sedang Terbaik : oksigen 2-4 liter/menit dan agonis beta 2 inhalasi

Alternatif : agonis beta 2

IM/adrenalin subkutan. Aminofilin 5-

6mg/kgbb

- Puskesmas

- Klinik rawat jalan

- IGD

- Praktek dokter umum

- Rawat inap jika tidak

ada respons dalam 4 jam.

Berat Terbaik :

- Oksigen 2-4 liter/menit

- Agonis beta 2 nebulasi diulang s/d 3

kali dalam 1 jam pertama

- Aminofilin IV dan infuse

- Steroid IV diulang tiap 8 jam

- IGD

- Rawat inap apabila

dalam 3 jam belum ada

perbaikan

- Pertimbangkan masuk

ICU jika keadaan

memburuk progresif.

Mengancam jiwa

Terbaik

- Lanjutkan terapi sebelumnya

- Pertimbangkan intubasi dan

ventilasi mekanik

ICU

Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :

o Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum

dan pola penyakit asma sendiri)

o Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma

sendiri/asma mandiri)

o Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan

mengontrol asma

g. Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat :1. Keterlambatan penanganan.2. Penanganan yang tidak adekuat.

2012 Page 80

Page 81: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :1.Akut :- Dehidrasi- Gagal nafas- Infeksi saluran nafas

2. Kronis :- Kor-pulmonale- PPO kronis- Pneumotorak.

- Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.- Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa.- Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.

h. Prognosis

Tergantung pada tipe awal : manifestasi alergik mungkin akan berkurang

dengan bertambahnya usia.

Pengobatan diantara waktu seranga sering mencegah seranga akut.

Status asmatikus tetap merupakan sindrom yang mengancam jiwa pasien.

i. Pencegahan

Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi

Menghindari kelelahan

Menghindari stress psikis

Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin

Olahraga renang, senam asma

I. POLIP NASI

2012 Page 81

Page 82: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

DEFINISI

Polip nasi ialah massa lunak yang bertangkai di dalam rongga hidung yang terjadi

akibat inflamasi mukosa. Permukaannya licin, berwarna putih keabu-abuan dan agak

bening karena mengandung banyak cairan. Bentuknya dapat bulat atau lonjong, tunggal

atau multipel, unilateral atau bilateral. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki

maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di

bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau

meningoensefalokel.

Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit

atopi, tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli

sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan

pasti.

Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,

berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak

bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan penyakit

tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering

dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma.

Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik, rhinitis

alergi, fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi pada setiap

individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang besar ataupun polip

multipel yang dapat merupakan lesi jinak atau merupakan suatu keganasan seperti:

glioma, hemangioma, papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma, karsinoma

nasofaring dan papiloma inverted.

Kita harus mewaspadai setiap anak dengan polip jinak yang multipel yang

dihubungkan dengan fibrosis kistik dan asma.

Polip yang paling sering dibahas adalah jinak lesi hidung semitransparan (lihat

gambar di bawah) yang timbul dari mukosa rongga hidung atau dari satu atau lebih dari

sinus paranasal, sering pada saluran keluar dari sinus.

2012 Page 82

Page 83: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Kaku endoskopik pandangan pandangan hidung kiri, rongga endoskopi shRigid dari

rongga hidung kiri, menunjukkan septum di sebelah kiri. Polip dengan beberapa darah dan

perdarahan berada di atas mereka di bagian tengah. Tepi putih 01:00-04:00 menunjukkan

depan hidung dinding lateral. Polip menutupi turbinate inferior, yang sebagian terlihat

pada 4 dan 5 pagi.

Endoskopi pandangan rongga hidung kiri, menunjukkan pandangan Endoskopi dari

rongga hidung kiri, menunjukkan polip menonjol dari proses uncinate. The turbinate

tengah adalah ke kiri. Sebuah hisap terlihat di atas bagian inferior proses uncinate dan

bagian inferior dari polip. Dinding nasal lateral adalah di paling kanan.

Polip ini langsung di pusat dan pucat, berkilau, dan putih. Endoskopi pandangan

meatus tengah kiri. Pandangan sepEndoscopic dari meatus tengah kiri. Septum adalah di

paling kiri. The turbinate tengah adalah sebelah septum di sebelah kiri. A, besar berkilau,

2012 Page 83

Page 84: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

polip tembus terlihat di tengah layar berikutnya ke turbinate tengah. Dinding nasal lateral

adalah di sisi kanan layar. The turbinate rendah nub posterior adalah di sudut kanan

bawah.

Beberapa polip dapat terjadi pada anak-anak dengan sinusitis kronis, rhinitis alergi, cystic

fibrosis (CF), atau sinusitis jamur alergi (AFS). Sebuah polip individu dapat menjadi polip

antral-choanal, polip besar jinak, atau tumor jinak atau ganas (misalnya, encephaloceles,

glioma, hemangioma, papillomas, remaja angiofibromas nasofaring, rhabdomyosarcoma,

limfoma, neuroblastoma, sarkoma, Chordoma, karsinoma nasofaring, papiloma pembalik).

Mengevaluasi semua anak dengan polyposis hidung jinak ganda untuk CF dan asma.

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika insiden polip nasi pada anak adalah 0,1%, namun insiden ini

meningkat pada anak-anak dengan fibrosis kistik yaitu 6-48%.

Insiden pada orang dewasa adalah 1-4% dengan rentang 0,2-28%. Insiden di

seluruh dunia tidak jauh berbeda dengan insiden di Amerika

Polip nasi terjadi pada semua ras dan kelas ekonomi. Walaupun ratio pried an

wanita pada dewasa 2-4: 1, ratio pada anak – anak tidak dilaporkan. Dilaporkan

prevalensinya sebanding dengan pasien dengan asma.

Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi dihubungkan

dengan turunnya kualitas hidup seseorang. Tidak ada perbedaan insiden polip nasi

yang nyata diantara

2012 Page 84

Page 85: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

bangsa-bangsa di dunia dan diantara jenis kelamin. Polip multipel yang jinak

biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan lebih sering pada usia diatas 40 tahun. Polip

nasi jarang ditemukan pada anak usia dibawah 10 tahun

HISTOPATOLOGI

Secara makroskopik polip merupakan massa

dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau

lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular,

dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila

ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip

yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya

aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau

proses peradangan warna polip dapat berubah

menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi

kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas

hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus

etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas

pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari

penelitian Stammberger didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus

unsinatus, konka media dan infundibulum.

Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut

polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut

juga polip antro-koana. Menurut Stammberger polip antrokoana biasanya berasal dari

kista yang terdapat pada dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koana

yang berasal dari sinus etmoid posterior atau resesus sfenoetmoid.

Berdasarkan histologisnya terdapat 4 tipe dari polip nasi:

a. Eosinofilik edematous Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak ditemui yang

meliputi kira-kira 85% kasus. Tipe ini ditandai dengan adanya stroma yang edema,

2012 Page 85

Page 86: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

peningkatan sel goblet dalam jumlah normal, jumlah eosinofil yang meningkat tinggi,

sel mast dalam stroma, dan penebalan membran basement.

b. Polip inflamasi kronik Tipe ini hanya terdapat kurang dari 10% kasus polip nasi. Tipe

ini ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan jumlah dari sel

goblet. Penebalan dari membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi

mungkin dapat ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri

atas fibroblas.

c. Polip dengan hiperplasia dari glandula seromusinous. Tipe ini hanya terdapat kurang

dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe ini adalah adanya glandula dan

duktus dalam jumlah yang banyak.

d. Polip dengan atipia stromal  Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat

mengalami misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan

gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu

neoplasma.2

Pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi

ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar

IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah

memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.

Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin

merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000

konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip

adalah Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ

menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya

bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β

yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat

dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan

mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan

menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan

terjadinya edema submukosa pada polip nasi.

ETIOLOGI

2012 Page 86

Page 87: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi

alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum

diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau

sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal

dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian

menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak

mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak

mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang

dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan

gejala dari kistik fibrosis.

Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :

Faktor- faktor predisposisi

Setiap kondisi yang memicu peradangan kronis di saluran hidung atau sinus,

seperti infeksi atau alergi, dapat meningkatkan resiko terkena polip hidung.

Kondisi sering dikaitkan dengan faktor resiko terbentuknya polip hidung antara

lain:

Asma

Asma merupakan penyakit yang menyebabkan peradangan

saluran napas secara keseluruhan dan penyempitan

Asma yang dimulai pada saat usia dewasa , dimana sekitar 20-

40% orang dengan polip hidung juga memiliki asma.

Rhinitis alergi

Rhinitis alergi adalah pilek yang disebabkan oleh reaksi alergi

dimana merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh

reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya telah

tersensitasi dengan alergen yang sama.

Tanda dan gejala rinitis alergi sangat beragam mulai dari hidung,

mata bahkan sampai ke telinga dan tenggorokan. Gejala dan

tanda pada hidung seperti hidung mengeluarkan air/ingus

(rinore), hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal pada hidung,

berkurangnya indera penciuman, Gejala dan tanda pada mata

seperti gatal pada mata, mata kemerahan, bengkak dan

berwarna biru kegelapan pada kulit di bawah mata yang disebut

2012 Page 87

Page 88: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

dengan istilah allergic shiners. Gejala dan tanda pada telinga dan

tenggorokan seperti nyeri tenggorokan, suara serak, gatal pada

tenggorokan atau telinga dan bengkak pada telinga

Cystic fibrosis

Cystic fibrosis merupakan suatu kelainan genetik yang

diturunkan secara autosomal resesif yang menyebabkan

produksi dan sekresi dari mukus dan lendir yang abnormal,

lengket, cair dan tebal dari membran mukosa hidung dan sinus.

Produksi mukus yang abnormal ini akan menyebabkan

mudahnya terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga dapat

menimbulkan peradangan atau inflamasi.

Penyakit ini bersifat resesif, sehingga apabila kedua orang tua

merupakan carier (pembawa) gen penyakit ini, maka satu dari

empat anak mereka kemungkinan dapat menderita cystic

fibrosis.

Sekitar 25% orang dengan cystic fibrosis kemungkinan

menderita polip hidung.

Rhinosinusitis Kronis

Rhinosinusitis Kronis merupakan suatu proses peradangan yang

melibatkan satu atau lebih sinus paranasal yang biasanya terjadi

setelah reaksi alergi atau infeksi virus pernapasan atas. Dalam

beberapa kasus, rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya

peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga sinus.

Gejala penyakit ini dapat berupa rasa sakit pada wajah terutama

apabila di tekan, demam, sakit kepala, mulut berbau, batuk,

sakit tenggorokan dan dapat komplikasi ke telinga sehingga

dirasakan nyeri dan penuh pada telinga.

Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,

yaitu :

1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.

2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.

3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.

2012 Page 88

Page 89: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat

yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan

yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema

mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip

kebanyakan berasal dari daerah yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di

meatus medius. Walaupun demikian polip juga dapat timbul dari tiap bagian mukosa

hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral dan multipel.

Selain dari fenomena Bernouli terdapat beberapa hipotesa lainnya.

1. Perubahan Polisakarida

Di postulatkan pada 1971 oleh Jackson dan Arihood.

2. Infeksi

Infeksi berulang pada sinus predisposisi pada mukosa menjadi

perubahan polipoid.

3. Alergi

Alergi telah di implikasikan sebagai penyebab, sejak sekresi hidung

mengandung eosinofil dan pasien mempunyai gejala alergi, sering dikaitkan

dengan asma dan atopi.

4. Teori vasomotor

Gangguan keseimbangan otonomik di duga mungkin sebagai penyebab pada

individu non atopi.  Juga di kaitkan dengan mediator inflamasi, faktor

anatomi lokal, dan tumor. Predisposisi genetik diketahui sebagai penyebab

polipoid pada fibrosis kistik.

Peradangan kronis (dari sumber apapun) ternyata memiliki peran awal

dalam patogenesis polip hidung. Beberapa polip terjadi pada anak-anak

dengan sinusitis kronis, rhinitis alergi, CF, dan AFS. Sebuah polip terisolasi

bisa menjadi polip antral-choanal, polip besar jinak, kista duktus nasolacrimal

(seperti yang ditunjukkan di bawah), atau lesi kongenital atau tumor jinak atau

ganas tercantum di bawah ini.

Nasolacrimal ductus cysts

Frontal duktus bayi 2-hari-tua dengan

pembengkakan pandangan iFrontal dari bayi 2-

2012 Page 89

Page 90: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

hari-tua dengan pembengkakan di daerah canthal rendah medial pada kedua belah

pihak. Sisi kanan tampak lebih menonjol pada gambar ini. CT scan menunjukkan

terinfeksi kista duktus lakrimal hidung.

Kaku endoskopik pandangan rongga hidung kiri. Pandangan endoskopik

rongga hidung kiri. Septum adalah di sebelah kiri, dan dinding nasal lateral adalah

di sebelah kanan. The turbinate inferior di tengah gambar, dan turbinat tengah

terlihat di bagian tengah tubuh superior dari gambar. Kista duktus hidung

lacrimalis adalah lesi melebar kuning di bawah turbinate inferior.

Axial CT scan bagian melalui orbit, menunjukkan Axial CT scan melalui bagian

orbit, menunjukkan saluran hidung membesar lacrimal di daerah anterior medial

dibandingkan dengan orbit. Skala di kanan bawah dalam sentimeter.

2012 Page 90

Page 91: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Axial CT scan melalui rongga hidung inferior, Axial CT scan melalui rongga

hidung rendah, menunjukkan hidung kista membesar saluran lakrimal di lokasi

rendah. Skala di kanan bawah dalam sentimeter. Kista membesar berada di tengah

gambar.

Sebuah tampilan frontal dari pandangan hidung didekompresi lacrimal Sebuah

frontal dari saluran-saluran didekompresi lacrimal hidung mengikuti marsupialization

bedah. Pembengkakan di daerah rendah canthal medial sebelum operasi tidak lagi

terlihat.

Encephaloceles (lihat gambar di bawah)

2012 Page 91

Page 92: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Seorang bayi 3-bulan-tua dengan hipertelorisme dan bulginA 3-bulan-tua bayi

dengan hipertelorisme dan menonjol dari dorsum hidung, sekunder untuk

encephalocele.

Glioma (lihat gambar di bawah)

Interior view dari hidung dan rongga hidung. Untuk tInterior pandangan hidung

dan rongga hidung. Di sebelah kanan lubang hidung kiri pasien, rongga hidung kanan

memiliki halangan. Di sebelah kiri gambar, polip kemerahan terlihat. Massa

kemerahan adalah glioma hidung.

Sebuah tampilan close-up dari rongga hidung kanan dan poliA close-up

pandangan rongga hidung kanan dan polip # 5 pada bayi 5-bulan-tua. Polip

menghalangi terlihat kemerahan. Ini adalah glioma intranasal yang timbul dari

lampiran anterior turbinate rendah, itu transnasally dihapus.

Dermoid tumor (lihat gambar di bawah)

2012 Page 92

Page 93: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Pandangan lateral dari seorang anak preteenaged menunjukkan pandangan

infectLateral seorang anak preteenaged menunjukkan dermoid hidung terinfeksi.

Perhatikan tonjolan dari dorsum hidung.

Axial CT scan (jendela tulang) menunjukkan 5-bulan-oldAxial CT scan (jendela

tulang) menunjukkan bayi 5-bulan-tua dengan hidung dermoid anterior ke tulang

hidung dan rahang. Tidak ada dehiscence tulang atau kelainan tulang yang terlihat.

Scan MRI koronal melalui dermoid hidung dari scan MRI A koronal melalui dermoid

hidung bayi 5-bulan-tua. Skala di sebelah kiri adalah 2 mm per bar kecil dan 1 cm per

batang tinggi. Panah menunjuk ke lesi. Lesi muncul menjadi sekitar 6-7 mm dalam

dimensi ini. Pandangan interoperative penghapusan dermoid dari pandangan

interoperative 5AN penghapusan dermoid dari bayi 5-bulan-tua.

Hemangioma

2012 Page 93

Page 94: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Papiloma (lihat gambar di bawah)

Anterior hidung papilloma yang timbul dari septum. Anterior hidung papilloma

yang timbul dari septum. Kulit dari depan hidung terlihat sekitar papilloma di tengah

gambar.

Juvenile nasofaring angiofibromas

Rhabdomyosarcoma

Limfoma

Neuroblastomas

Sarkoma

Chordomas

Nasofaring karsinoma

Inverting papilloma

Mengevaluasi semua anak dengan polyposis hidung jinak untuk CF dan asma

PATOGENESIS

Mekanisme patogenesis yang

bertanggungjawab terhadap pertumbuhan

2012 Page 94

Page 95: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

polip nasi sulit ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan

polip, antara lain:

1. Proses inflamasi yang disebabkan penyebab multifaktorial termasuk familiar dan

faktor herediter

2. Aktivasi respon imun lokal

3. Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.

Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE

merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan

tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi,

dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.

Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin

merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000

konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip

adalah Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ

menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya

bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang

umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam

menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini

pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan

permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada

polip nasi.

Fenomena bernouli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang

sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan

yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip,

fenomena ini dapat menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di

kompleks osteomatal.

Patogenesis polip pada awalnya ditemukan bengkak selaput permukaan yang

kebanyakan terdapat pada meatus medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan

interseluler sehingga selaput permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila

proses terus membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk

2012 Page 95

Page 96: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

tangkai sehingga terjadi Polip.

Polip sering ditemukan pada penderita:

a. Asma Bronkiale, 20-50% penderita asma mengalami polip

b. Ciystic Fibrosis - Polyps terjadi sekitar  6-48% pada penderita CF

c. Rinitis ALERGI

d. allergic fungal sinusitis - Terjadi sekitar  85%

e. Rinosinusitis kronik

f. Primary ciliary dyskinesia

g. Aspirin intolerance - Terjadi sekitar   8-26% pada penderita polip

h. Alcohol intolerance – Terjadi sekitar   50% pada penderita polip

i. Churg-Strauss syndrome – Terjadi sekitar   50 % pada penderita Churg-Strauss

syndrome

j. Young syndrome (chronic sinusitis, nasal polyposis, azoospermia)

k. Nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome (NARES) – Terjadi sekitar   20 %

pada penderita NARES

GEJALA KLINIS

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.

Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada

sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini

menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis

dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.

Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di

hidung. Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan hidung yang

meningkat, hiposmia sampai anosmia, perubahan pengecapan, dan drainase post nasal

persisten. Sakit kepala dan nyeri pada muka jarang ditemukan dan biasanya pada

daerah periorbita dan sinus maksila. Pasien polip dengan sumbatan total rongga

hidung atau polip tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif

dan pernafasan lewat mulut yang kronik.

Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala obstruktif

hidung yang dapat berubah dengan perubahan posisi. Walaupun satu atau lebih polip

2012 Page 96

Page 97: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

yang muncul, pasien mungkin memperlihatkan gejala akut, rekuren, atau rinosinusitis

bila polip menyumbat ostium sinus. Beberapa polip dapat timbul berdekatan dengan

muara sinus, sehingga aliran udara tidak terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap

dalam sinus. Dalam hal ini dapat timbul perasaan penuh di kepala, penurunan

penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus yang terperangkap tadi cenderung

terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin perdarahan pada

hidung.

Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil mungkin

tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan rutin.

Polip yang terletak posterior biasanya tidak teridenfikasi pada waktu pemeriksaan

rutin rinoskopi posterior. Polip yang kecil pada daerah dimana polip biasanya tumbuh

dapat menimbulkan gejala dan menghambat aliran saluran sinus, menyebabkan

gejala-gejala sinusitis akut atau rekuren.

GEJALA SUBJEKTIF

a. Hidung terasa tersumbat

b. Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)

c. Nyeri kepala

d. Rhinore

e. Bersin

f. Iritasi di hidung (terasa gatal)

g. Post nasal drip

h. Nyeri muka

i. Suara bindeng

j. Telinga terasa penuh

k. Mendengkur

l. Gangguan tidur

m. Penurunan kualitas hidup

GEJALA  OBJEKTIF

a. Oedema mukosa hidung

b. Submukosa hipertropi dan tampak sembab

2012 Page 97

Page 98: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

c. Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau

d. Kebiruan

e. Bertangkai

DIAGNOSIS

ANAMNESA

Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung tersumbat.

Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering

mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala

lain adalah gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah disertai

kelainan organ didekatnya berupa: adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka,

suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan

penurunan kualitas hidup.

Selain itu juga harus di tanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi

terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan.

PEMERIKSAAN FISIK

a. Inspeksi

Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Dapat

dijumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari sel-sel etmoid.

b.   Rinoskopi Anterior

Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum

membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip

multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior,

yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan efedrin 1%

(vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah akan mengecil,

sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus

etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.

c. Rinoskopi Posterior

Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya

berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang menandakan

adanya rinosinusitis.

2012 Page 98

Page 99: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

d. Naso endoskopi

Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus baru.

Polip stadium awal tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi

tampak dengan pemeriksaan

nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat terlihat tangkai polip

yang berasal dari ostium assesorius sinus maksila.

e. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi waters, lateral, Caldwell dan AP) dapat

memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,

tetapi sebenarnya kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat

memberikan kesan positif palsu atau negative palsu dan tidak dapat memberikan

informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah

kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk

melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada

proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal.

Terutama pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika

ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama

bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan koronal,

sedangkan polip yang rekuren juga diperlukan potongan aksial.

f. Tes alergi

Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi

lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.

g.  Laboratorium

Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sinusitis alergi

ditemukan eosinofil pada swab hidung, sedang pada non alergi ditemukannya

neutrofil yang menandakan adanya sinusitis kronis.

h. Temuan histologis

1. Pseudostratified ciliated columnar epithelium

2. Epithelial basement membrane yang menebal

3. Oedematous stroma

DIAGNOSIS BANDING

2012 Page 99

Page 100: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya

sebagai berikut:

a. Tidak bertangkai

b. Sukar digerakkan

c. Nyeri bila ditekan dengan pinset

d. Mudah berdarah

e. Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan

konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati – hati

pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan

vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien

dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.

Polip Polipoid mukosa

Bertangkai, dapat digerakkan Tidak bertangkai, sukar digerakkan

Konsistensi lunak Konsistensi keras

Tidak nyeri bila ditekan Nyeri pada penekanan

Tidak mudah berdarah Mudah berdarah

Berwarna putih kebiruan Berwarna merah muda

Tidak mengecil pada pemberian

vasokonstriktor (adrenalin)

Mengecil pada pemberian

vasokonstriktor

2.9 PENATALAKSANAAN

Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka

penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang tidak spesifik. Pada terapi

medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan secara

sistemik ataupun intranasal.

Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu

yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan

kontraindikasi.

Kortikosteroid oral adalah pengobatan paling efektif untuk pengobatan jangka pendek

2012 Page 100

Page 101: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

dari polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik dalam

mengurangi inflamasi polip.

Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray

steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang kecil,

tetapi secara relatif tidak efektif untuk polip yang masif. Steroid intranasal paling

efektif pada periode post operatif untuk mencegah atau mengurangi relaps.

Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip

yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin

oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang

ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik.

a. Pengobatan Medis sebagai berikut :

1. Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip.

Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit

keuntungan. Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis

alergi, tapi bila di gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah

ada, pemberian antibiotik bila terjadi superimposed infeksi bakteri.

2. Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun sistemik.

Injeksi langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food and Drug Administration

karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan penglihatan unilateral

setelah injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan mungkin

tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang besar seperti

Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit yang di pindahkan ke area

intrakranial. Hindari injeksi langsung ke dalam pembuluh darah.

3. Steroid oral paling efektif pada pengobatan medis untuk nasal polipoid. Pada

dewasa penulis banyak menggunakan prednison (30-60mg) selama 4-7 hari dan

diturunkan selama 1-3 minggu. Variasi dosis pada anak-anak, tetapi maksimum

biasanya 1mg/kb/hari selama 5-7 hari dan diturunkan selama 1-3 minggu.

4. Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya eosinofilia, jadi

pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya respon dengan

pengobatan ini.

2012 Page 101

Page 102: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

5. Pasien dengan polip yang sedikir eosinofil mungkin tidak respon terhadap

steroids. Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena

efek sampingnya yang merugikan ( seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes

Melitus, hipertensi, gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma,

osteoporosis)

6. Pemberian topikal kortikosteroid di berikan secara umum karena lebih sedikit

efek yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya

yang terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan kombinasi

dengan kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko penekanan hipotalamus-pituari-

adrenal aksis, pembentukan katarak, gangguan pertumbuhan, perdarahan hidung,

dan pada jarang kasus terjadi perforasi septum.

b. Pembedahan dilakukan jika:

1. Polip menghalangi saluran nafas

2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus

3. Polip berhubungan dengan tumor

4. Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang gagal

pengobatan   maksimum dengan obat- obatan.

Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan

menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum

memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki

gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang tersembunyi atau polip yang

sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic Sinus Surgery) merupakan teknik yang

lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus

media, yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu

mengurangi angka kekambuhan. Surgical micro debridement merupakan prosedur

yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi

perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik.

Untuk persiapan prabedah, sebaiknya lebih dulu diberikan antibiotik dan

kortikosteroid untuk meredakan inflamasi sehingga pembengkakan dan perdarahan

berkurang, dengan demikian lapang-pandang operasi lebih baik dan kemungkinan

trauma dapat dihindari.

2012 Page 102

Page 103: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Pasca bedah perlu kontrol yang baik dan teratur mengunakan endoskop, dan

telah terbukti bahwa pemberian kortikosteroid intranasal dapat menurunkan

kekambuhan.

PROGNOSIS

Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut.

Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel.  Polip tunggal

yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps.

Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga

perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada

rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.

Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa

dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau

tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama

dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang

menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang

memuaskan.

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG ALERGI

Tes Cukit ( Tes Cukit ( Skin Prick TestSkin Prick Test ) pada Diagnosis Penyakit Alergi ) pada Diagnosis Penyakit Alergi

PendahuluanPendahuluan

Lebih dari 1 abad tes kulit sudah sering dilakukan untuk mendiagnosis alergi, saat ini test

alegi pada kulit banyak dilakukan pada penyakit alergi seperti Hay fever, asma, rinitis alergi dan

2012 Page 103

Page 104: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

dermatitis. Tes kulit merupakan alat diagnosis yang paling banyak digunakan untuk membuktikan

adanya IgEspesifik yang terikat pada sel mastosit dan memiliki sensitivitas yang tinggi. 1,2

Untuk pasien penderita alergi dan dokter pemeriksa, diagnosis alergi dengan skin prick test

punya banyak keuntungan. Tes ini relatif mudah dan nyaman untuk pasien serta tidak mahal. Untuk

dokter hasil pemeriksaan bisa didapatkan hanya dalam waktu 20 menit sehingga penjelasan bisa

diberikan kepada pasien seketika itu juga. 2

Efek samping dan resiko skin prick test amat jarang, dapat berupa reaksi alergi yang

memberat dan benjolan pada kulit yang tidak segera hilang. Pemberian oral antihistamain dan

kortikosteroid bisa dilberikan apabila terjadi reaksi yang tidak diinginkan tersebut.3

Untuk lebih informatif terhadap pasien, maka anamnesis dan pemeriksaan klinis tetap harus

mendahului tes cukit ini. Dokter juga harus waspada akan kemungkinan terjadinya false-positive dan

false-negative dalam menginterpreasikan hasil tes cukit ini.

Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan penyegaran kembali

kepada sejawat residen mengenai skin prick test yang selama ini sudah kita laksanakan untuk

diagnostik alergi di klinik THT RS. Dokter Kariadi. Kami berharap tulisan ini dapat bermanfaat untuk

keakuratan hasil test dan penyampaian serta edukasi terhadap pasien.

Tes Alergi pada Kulit

Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi :1

- Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena

alergen inhalan, makanan atau bisa serangga.

- Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga

- Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak

Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan

oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit.

Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat

menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul

flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut.1

Kelebihan Skin Prick Test dibanding Test Kulit yang lain : 2

a. karena zat pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat

pembawa berupa air.

2012 Page 104

Page 105: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

b. Mudah dialaksanakan dan bisa diulang bila perlu.

c. Tidak terlalu sakit dibandingkan suntik intra dermal

d. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena volume yang masuk ke kulit sangat

kecil.

e. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap banyak alergen, tes ini mampu dilaksanakan

kurang dari 1 jam.

Tujuan Tes Kulit pada alergi:

Tes kulit pada alergi ini untuk menentukan macam alergen sehingga di kemudian hari bisa

dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.1

Indikasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ) : 4

o Rinitis alergi : Apabila gejala tidak dapat dikontrol dengan medikamentosa sehingga

diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis alergen maka di kemudian hari alergen tsb bisa

dihindari.

o Asthma : Asthma yang persisten pada penderita yang terpapar alergen (perenial).

o Kecurigaan alergi terhadap makanan. Dapat diketahui makanan yang menimbulkan reaksi

alergi sehingga bisa dihindari.

o Kecurigaan reaksi alergi terhadap sengatan serangga.

Persiapan Tes Cukit ( Skin Prick Test)

Sebagai dokter pemeriksa kita perlu menanyakan riwayat perjalanan penyakit pasien, gejala

dan tanda yang ada yang membuat pemeriksa bisa memperkirakan jenis alergen, apakah alergi ini

terkait secara genetik dan bisa membedakan apakah justru merupakan penyakit non alergi, misalnya

infeksi atau kelainan anatomis atau penyakit lain yang gambarannya menyerupai alergi. 4

2012 Page 105

Page 106: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Persiapan Tes Cukit :1,4

1. Persiapan bahan/material ekstrak alergen.

o gunakan material yang belum kedaluwarsa

o gunakan ekstrak alergen yang terstandarisasi

2. Pesiapan Penderita :

o Menghentikan pengobatan antihistamin 5-7 hari sebelum tes.

o Menghentikan pengobatan jenis antihistamin generasi baru paling tidak 2-6 minggu

sebelum tes.

o Usia : pada bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi.

o Jangan melakukan tes cukit pada penderita dengan penyakit kulit misalnya urtikaria,

SLE dan adanya lesi yang luas pada kulit.

o Pada penderita dengan keganasan,limfoma, sarkoidosis, diabetes neuropati juga

terjadi penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes kulit ini.

3. Persiapan pemeriksa :

o Teknik dan ketrampilan pemeriksa perlu dipersiapan agar tidak terjadi interpretasi

yang salah akibat teknik dan pengertian yang kurang difahami oleh pemeriksa.

o Ketrampilan teknik melakukan cukit

o Teknik menempatkan lokasi cukitan karena ada tempat2 yang reaktifitasnya tinggi

dan ada yang rendah. Berurutan dari lokasi yang reaktifitasnya tinggi sampai

rendah : bagian bawah punggung > lengan atas > siku > lengan bawah sisi ulnar > sisi

radial > pergelangan tangan.

Prosedur Tes Cukit :1,6

Tes Cukit ( Skin Prick Test ) seringkali dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Pertama-

tama dilakuakn desinfeksi dengan alkohol pada area volar, dan tandai area yang akan kita tetesi

dengan ekstrak alergen. Ekstrak alergen diteteskan satu tetes larutan alergen ( Histamin/ Kontrol

positif ) dan larutan kontrol ( Buffer/ Kontrol negatif)menggunakan jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G

atau blood lancet.

Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0 menembus lapisan epidermis dengan

ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan

sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang

timbul.

Mekanisme Reaksi pada Skin TestMekanisme Reaksi pada Skin Test

2012 Page 106

Page 107: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Dibawah permukaan kulit terdapat sel mast, pada sel mast didapatkan granula-granula yang

berisi histamin. Sel mast ini juga memiliki reseptor yang berikatan dengan IgE. Ketika lengan IgE ini

mengenali alergen (misalnya house dust mite) maka sel mast terpicu untuk melepaskan granul-

granulnya ke jaringan setempat, maka timbulah reaksi alergi karena histamin berupa bentol (wheal)

dan kemerahan (flare).5

A C

B B

Gambar 1. A. Cara menandai ekstrak alergen yang diteteskan pada lengan

B. Sudut melakukan cukit pada kulit dengan lancet

C. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit

Kesalahan yang Sering terjadi pada Kesalahan yang Sering terjadi pada Skin Prick TestSkin Prick Test

a. Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )

b. terjadi perdarahan, yang memungkinkan terjadi false positive.

2012 Page 107

Page 108: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

c. Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit kurang,

memungkinkan terjadinya false-negative.

d. Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes.

Faktor-faktor yang mempengaruhi skin testFaktor-faktor yang mempengaruhi skin test

1. Area tubuh tempat dilakukannya tes

2. Umur

3. Sex

4. Ras

5. Irama sirkardian

6. Musim

7. Penyakit yang diderita

8. Obat-obatan yang dikonsumsi

Interpretasi Tes Cukit ( Skin Prick Test ): 1,6

Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of Northern

(Scandinavian) Society of Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat alergen

dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai

berikut :

- Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)

- Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)

- Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara bentol

histamin dan larutan kontrol.

- Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin dinilai ++++

(+4).

Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Rusmono sebagai

berikut :1,3

- 0 : reaksi (-)

- 1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)

- 2+ : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)

- 3+ : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)

2012 Page 108

Page 109: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

- 4+ : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.

Tes kulit dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu karena tehnik yang

salah atau faktor material/bahan ekstrak alergennya yang kurang baik.6

Jika Histamin ( kontrol positif ) tidak menunjukkan gambaran wheal/ bentol atau

flare/hiperemis maka interpretasi harus dipertanyakan , Apakah karena sedang mengkonsumsi obat-

obat anti alergi berupa anti histamin atau steroid. Obat seperti tricyclic antidepresan,

phenothiazines adalah sejenis anti histamin juga. 6

Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena kualitas dan potensi alergen yang buruk,

pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi, penyakit-penyakit tertentu, penurunan

reaktivitas kulit pada bayi dan orang tua, teknik cukitan yang salah (tidak ada cukitan atau cukitan

yang lemah ).1 Ritme harian juga mempengaruhi reaktifitas tes kulit. Bentol terhadap histamin atau

alergen mencapai puncak pada sore hari dibandingkan pada pagi hari, tetapi perbedaan ini sangat

minimal. 6

Hasil positif palsu disebabkan karena dermografisme, reaksi iritan, reaksi penyangatan

(enhancement) non spesifik dari reaksi kuat alergen yang berdekatan, atau perdarahan akibat

cukitan yang terlalu dalam. 6

Dermografisme terjadi pada seseorang yang apabila hanya dengan penekanan saja bisa

menimbulkan wheal/bentol dan flare/kemerahan. Dalam rangka mengetahui ada tidaknya

dermografisme ini maka kita menggunakan larutan garam sebagai kontrol negatif. Jika Larutan

garam memberikan reaksi positif maka dermografisme.6

Semakin besar bentol maka semakin besar sensitifitas terhadap alergen tersebut, namun

tidak selalu menggambarkan semakin beratnya gejala klinis yang ditimbulkan. Pada reaksi positif

biasanya rasa gatal masih berlanjut 30-60 menit setelah tes.6

Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan kesahihannya dibandingkan

alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Skin test untuk alergen makanan seringkali negatif

palsu.6

Daftar Obat-obatan yang dapat mempengaruhi tes kulit sehingga harus dibebaskan beberapa hari

sebelumnya :2

2012 Page 109

Page 110: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Anti histamin generasi I dibebaskan

klorfeniramin 1-3 hari

klemastin 1-10 hari

ebastin 3-10 hari

hidroksisin 1-10 hari

ketotifen 3-10 hari

mequisatin 3-10 hari

Antihistamin generasi II setirisin

3-10 hari

loratadin

feksofenadin

desloratadin

Astemizole 6 minggu

Antidepresan Imipramin

10 hariFenotiazine

Kortikosteroid jangka pendek

< 1 minggu

Cimetidin juga

mempengaruhi tes

kulitRanitidin

Kromolin tidak

mempengaruhi tes

kulit.B 2 adrenergik agonis

Teofilin

2012 Page 110

Page 111: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

Ringkasan

1. Tes kulit merupakan alat diagnosis yang paling banyak digunakan untuk membuktikan

adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit dan memiliki sensitivitas yang tinggi,

mudah murah dan cepat.

2. Efek samping dan resiko skin prick test amat jarang, dapat berupa reaksi alergi yang

memberat dan benjolan pada kulit yang tidak segera hilang. Pemberian oral antihistamain

dan kortikosteroid bisa dilberikan apabila terjadi reaksi yang tidak diinginkan tersebut.

3. Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan kesahihannya dibandingkan

alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Skin test untuk alergen makanan seringkali

negatif palsu.

4. Pentingnya pemahaman test alergi mengenai indikasi, teknik dan interpretasinya dapat

meningkatkan kemampuan kita dalam menerangkan pasien dan melakukan terapi

selanjutnya.

TES ALERGI (SKIN PRICK TEST)

A. Kelebihan

1. Lebih stabil karena zat pembawanya berupa gliserin

2. Mudah dilakukan dan bisa berulang

3. Tidak terlalu sakit dibandingkan dengan suntik intradermal

4. Resiko alergi sistemik lebih kecil

5. Tes mampu dilakukan dengan cepat, kurang dari 1 jam

B. Indikasi

1. Rinitis alergi

2. Asma yang persisten

3. Kecurigaan alergi pada makanan

4. Kecurigaan alergi pada sengatan serangga

C. Faktor yang mempengaruhi

1. Area tubuh yang dilakukan tes harus bebas dari urtikaria dan lesi

2. Umur. Pada bayi dan usia lanjut kurang merespon dari tes alergi

3. Sex

4. Ras

5. Irama sirkadian

6. Musim

7. Penyakit yang diderita

2012 Page 111

Page 112: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

8. Obat yang dikonsumsi

D. Interpretasi hasil

The Standarization of Northern Society of Allergology1. Besarnya bentol sama dengan histamin : +++ (+3)

2. Besarnya bentol sama dengan larutan kontrol : negatif

3. Besarnya bentol diantara histamin dan larutan kontrol : + (+1) atau ++ (+2)

4. Besarnya bentol dua kali dari histamin : ++++ (+4)

Bosquet1. 0 : tidak ada respon

2. +1 : besarnya bentol 1mm > kontrol negatif

3. +2 : besarnya bentol 1-3mm > kontrol negatif

4. +3 : besarnya bentol 3-5mm > kontrol negatif

5. +4 :besarnya bentol 5mm > kontrol negatif

1. PATCH TEST Untuk memeriksa alergi kontak terhadap bahan kimia. Dilakukan di kulit punggung Hasil diketahui dalam waktu 48 jam setelah pemeriksaan. Bila positif timbul bercak kemerahan. Syarat sebelum tes dalam keadaan sehat, tidak boleh melakukan aktivitas yang

berkeringat selama tes berlangsung, dan 2 hari sebelum tes tidak boleh mengkonsumsi steroid

2. RADIO ALLERGO SORBENT TEST Untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan misalnya debu,

tungau, udang, dsb. Sampel tes menggunakan serum darah 2cc Hasil diketahui dalam waktu 4 jam setelah pemeriksaan. Kelebihannya bisa dilakukan pada usia berapapun tidak dipengaruhi oleh obat-

obatan

3. TES PROVOKAS Untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup, obat dan makanan. Tes terhadap alergen hirup atau provokasi bronkial dan provokasi makanan jarang

digunakan karena beresiko menimbulkan serangan asma dan syok. Tes provokasi obat menggunakan metode uji samar ganda dengan menaikkan dosis

pemberian obat secara bertahap dengan interval 15-30 menit dalam 1 hari satu macam obat.

Hasil diketahui dalam waktu 48 jam setelah pemeriksaan.

2012 Page 112

Page 113: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

K. EDUKASI

Atasi alergi bukan dengan obat tapi identifikasi dan hindari penyebabnya.

Menghindari faktor-faktor penyebab dan diskusi pada pasien ini penatalaksanaan yang

diberikan dapat berupa farmakologis maupun non farmakologis/edukasi. Hal yang perlu

diperhatikan adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen

penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul. Serta identifikasi agen-agen penyebab

dan jauhlan pasien dari paparan, walaupun seringkal hal ini sukar, khususnya pada kasus

kronik.

2012 Page 113

Page 114: Alergi Pernapasan

RESUME SKENARIO 4 BLOK 7

2012 Page 114