al-qur’an dan kelestarian alam (studi kasus...

109
AL-QUR’AN DAN KELESTARIAN ALAM (STUDI KASUS PEMAKNAAN AL-QUR’AN SURAH Al-RÛM AYAT 41 DAN AL-A’RAF AYAT 56 DI PESANTREN AGROEKOLOGIS BIHARUL ULUM BOGOR) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Oleh : Muhammad Yusuf Ramadhan NIM : 1112034000073 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 30-Oct-2019

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

AL-QUR’AN DAN KELESTARIAN ALAM (STUDI KASUS PEMAKNAAN

AL-QUR’AN SURAH Al-RÛM AYAT 41 DAN AL-A’RAF AYAT 56 DI

PESANTREN AGROEKOLOGIS BIHARUL ULUM BOGOR)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh :

Muhammad Yusuf Ramadhan

NIM : 1112034000073

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019 M

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada

“Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017

tentang pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”.

A. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b Be ب

t Te ت

ts te dan es ث

j Je ج

ẖ h dengan garis bawah ح

kh Ka dan ha خ

d De د

dz De dan zet ذ

r Er ر

z Zet ز

s Es س

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

ض ḏ de dengan garis bawah

ط ṯ te dengan garis bawah

viii

ẕ zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

f Ef ف

q Ki ق

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ن

w We و

h Ha ه

Apsotrof ' ء

y Ye ي

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tungga atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatẖah

I Kasrah

U Ḏommah

ix

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

نا â a dengan topi di atas

ني î i dengan topi di atas

نو û u dengan topi di atas

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf الdialih aksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah.

Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.

E. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ـــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

x

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-

darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

F. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut

diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/

(lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقة 1

al-jâmî’ah al-Islâmiyyah الجامعةاالسالمية 2

waẖdat al-wujûd وحدةالوجود 3

G. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf

kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al -Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-

Kindi bukan Al-Kindi.

xi

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd

al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al -Dîn al-Rânîrî.

ABSTRAK

Muhammad Yusuf Ramadhan

Al-Qur’an dan Kelestarian Alam (Studi Kasus Pemaknaan

al-Qur’an Surah al-Rûm Ayat 41 dan al-A’raf Ayat 56 di

Pesantren Agroekologis Biharul Ulum Bogor).

Skripsi ini membahas tentang suatu fenomena yang terjadi

di Lereng Utara Pegunungan Halimun Bogor, yaitu aktivitas

Living Qur’an yang dijalani oleh warga pesantren agroekologis

dalam upayanya menjaga kelestarian alam dengan menggunakan

ayat al-Qur’an sebagai sumber inspirasinya.

Dengan mengaplikasikan metode deskriptif analitik

penulis menjabarkan persoalan nilai atau norma yang terkandung

dalam Q.S. Al-Rûm: 41 dan al-A’raf: 56 yang

terimplementasikan melalui upaya Pondok Pesantren

Agroekologis Bogor dalam menjaga serta melestarikan alam.

Penelitian ini menemukan bahwa proses Living Qur’an

diawali dari adanya aktivitas pertambangan di Kawasan Halimun

Utara Kabupaten Bogor, sebagian besar masyarakat menyadari

bahwa keberadaan aktivitas pertambangan tersebut merusak tidak

hanya relasi sosial antar warga, namun juga merusak alam sekitar

yang merugikan banyak pihak. Dengan pijakan al-Qur’an surat

ar-Rum ayat 41 dan al-A’raf ayat 56 warga melakukan aksi nyata

berupa aktivitas pelestarian alam. Hal pertama yang dilakukan

adalah membangun pesantren. Melalui pesantren mereka

melakukan praktek pelestarian alam di kawasan Halimun Utara

Kabupaten Bogor yang sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an.

Diantara upaya yang telah dilakukan pesantren adalah

mengadakan pengajian kitab fiqih bi’ah (lingkungan) di pesantren

dan lingkungan masyarakat, pembangunan manusia melalui

penyadaran kritis masyarakat, membentuk kader inti pesantren

untuk menjaga alam dan masyarakat dari kerusakan, bersama

masyarakat membuat ulu-ulu (sanitasi air bersih), memberikan

pendidikan pertanian organik, mendayagunakan lahan terlantar

perhutani bersama masyarakat, dan menjalin relasi dengan

kelompok/institusi atau individu yang satu visi dengan pesantren

dan masyarakat.

Berdiri pada tahun 2014, pondok pesantren ini dibangun

sebagai usaha untuk memperkenalkan dan mengedukasi

masyarakat tentang reforma agraria dan ekologi. Menisbahkan

diri sebagai pesantren berbasis Agro-Ekologis yang memadukan

kegiatan pertanian dan tetap menjaga keberlangsungan ekosistem.

Dengan menggandeng berbagai pihak baik warga asli di sekitar

kawasan Halimun Utara maupun masyarakat luar, cita-cita

mereka agar desa bisa berdaulat dan berdaya diharapkan bisa

segera terlaksana.

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis.

Berkat izin dari-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta

salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kita

termasuk umatnya yang istiqamah menjalani perintahnya, dan mendapatkan

syafa’at pada hari kiamat kelak.

Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “Al-Qur’an dan

Kelestarian Alam (Studi Kasus Pemaknaan Qur’an Surah Ar-Rum ayat 41

dan Al-A’raf ayat 56 di Pesantren Agroekologis Biharul Ulum Bogor)” ini

tidak akan selesai jika hanya mengandalkan daya dan upaya yang penulis miliki.

Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang yang secara langsung maupun tidak

langsung telah banyak membantu penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini

penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir dan Bapak Fachrizal Mahdi, Lc. MIRKH. selaku

Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Usshuluddin

UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.

iii

4. Bapak Kusmana, M.A, Ph.D, selaku dosen pembimbing akademik

yang telah memberikan banyak nasihat dan kemudahan bagi penulis

dalam mengurus administrasi dan penyelesaian skripsi.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman

berharga kepada penulis.

6. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Dedi Supryadi dan Ibu Yuni

yang selalu mendoakan kebaikan dalam setiap aktivitas penulis, yang

tidak henti-hentinya memberikan motivasi kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini. Yang dengan sabar menunggu dalam

menyelesaikan masa studi penulis. Juga kakak serta adik-adik tercinta

yang berkat merekalah aku semangat menyelesaikan tugas akhir ini,

Yudhi Nugraha, Dini Chairyah, S. Kom., Siti Rohani (the muyus) dan

Dd Iib, Afi, Aa Iki.

7. Keluarga Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2012, terkhusus

bagi kawan-kawan TH B, semoga silaturrahim kita tetap selalu terjaga

dan takkan retak walaupun jarak memisahkan kita.

8. Sahabat dan sahabati PMII, terkhusus Pak Umam, Pak Rasyidi, Tum

Idham Kholid, Ipunk Brader. Serta kawan-kawan Gerakan di FMK

dan SSDEM, yang telah banyak berkontribusi dalam membangun

keintelektualan penulis dengan kajian dan diskusi, serta kesadaran

penulis agar selalu peka dan peduli terhadap lingkungan, baik lokal

maupun nasional.

iv

9. Teman- teman seperjuangan Muhammad Isrop, Sugih Hidayatullah,

Riswan Sulaiman, Muhammad Lazuardi, Syahroni, Ichal Blues,

Arsyad Prayogi, Hendri Mohammad, Fahri, Konde, Sabiq, Irfan

Maulana, Hadi Jawa, dan yang lainnya, yang menemani serta berjuang

bersama dalam meyelesaikan skripsi ini.

Sekali lagi penulis haturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu penulis. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan yang berlipat

ganda dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.

Ciputat, 17 Juli 2019

Muhammad Yusuf Ramadhan

xiv

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... v

ABSTRAK…….. ................................................................................... x

KATA PENGANTAR ........................................................................... xi

DAFTAR ISI…... ................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan

Masalah ................................................................................ 7

1. Identifikasi Masalah ....................................................... 7

2. Perumusan Masalah........................................................ 8

3. Pembatasan Masalah ...................................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penilitan .............................................. 10

D. Metodologi Penelitian .......................................................... 10

1. Metode Penelitian .......................................................... 10

2. Subjek dan Objek Penelitian .......................................... 11

3. Macam dan Sumber Data ............................................... 11

4. Teknik Pengumpulan Data ............................................. 11

5. Teknik Pengambilan Sempel .......................................... 13

6. Teknik Analisis Data ...................................................... 13

7. Waktu dan Tempat Penelitia .......................................... 13

E. Tinjauan Kepustakaan .......................................................... 14

F. Sistematika Penulisan .......................................................... 19

BAB II KELESTARIAN ALAM, AL-QUR’AN, TAFSIR DAN LIVING

QUR’AN ................................................................................................. 21

A. Teori Kelestarian Alam ........................................................ 21

1. Pengertian Kelestarian Alam .......................................... 21

2. Ruang Lingkup Kelestarian Alam .................................. 24

3. Problematika Kelestarian Alam Di Era Modern ........... 27

B. Ayat-ayat al-Qur’an tentang Kelestarian Alam .................... 29

C. Tafsir Ayat-ayat Kelestarian Alam ....................................... 33

xv

1. Tafsir Klasik .................................................................... 33

2. Tafsir Modern.................................................................. 39

D. Living Qur’an ........................................................................ 42

1. Pengertian Living Qur’an ................................................ 42

2. Sejarah Living Qur’an ..................................................... 43

3. Definisi Operasional Living Qur’an................................ 45

BAB III PONDOK PESANTREN AGROEKOLOGI BIHARUL

ULUM .................................................................................................... 47

A. Sejarah dan Perkembangan Pesantren Agroekologi Biharul

Ulum .................................................................................... 47

B. Visi, Misi dan Struktur dan Kegiatan Pondok Pesantren ... 52

C. Kerusakan Sosial Ekologis Di Kawasan Lereng Utara Gunung

Halimun .............................................................................. 54

BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN (PEMAKNAAN PESANTREN

AGROEKOLOGI BIHARUL ULUM ATAS AYAT-AYAT

KELESTARIAN ALAM ...................................................................... 58

A. Aktivitas Pelestarian Alam di Pondok Pesantren dan Sekitarnya

.............................................................................................. 58

B. Pemaknaan Warga Pesantren Biharul Ulum atas Surat ar-Rum

ayat 41 dan Surat al-A’raf ayat 56 ..................................... 65

C. Analisis Hubungan antara Visi, Misi, dengan Program

Kegiatan Pondok Pesantren ................................................. 69

D. Relevansi Program Kegiatan Pelestarian Alam di Pesantren

Agroekologis dengan Wacana Kelestarian Alam di Indonesia

............................................................................................. 76

BAB V PENUTUP ................................................................................. 84

A. Kesimpulan ........................................................................ 84

B. Saran .................................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 90

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kerusakan alam yang terjadi dewasa ini khususnya di bumi Indonesia

tidak bisa diabaikan begitu saja, kematian anak di lubang tambang yang terjadi di

Kalimantan beberapa waktu silam masih menyisakan duka yang cukup

mendalam.1 Pembangunan pabrik semen di Rembang yang membabat gunung

Kendeng dan menghabisi mata air2 masih belum menemui solusi yang tepat yang

tidak merugikan warga sekaligus tidak merusak alam. Proyek pembangunan

infrastruktur yang masif terjadi di bumi Indonesia bukan tanpa akibat bagi

keberlangsungan ekosistem jika kita mau melihatnya lagi lebih jauh sampai ke

1 Data terakhir dari JATAM menunjukkan bahwa sudah ada 31 anak yang mati di lubang tambang.

Dan tidak hanya di Kalimantan, hampir di semua galian bekas tambang di Jambi dinyatakan

berbahaya karena kandungan air terkontaminasi partikel logam bekas tambang. Awal November

2015, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Walhi Jambi, melakukan pelatihan riset air

pasca tambang batubara di Jambi. Lima kolam tambang PT. Sarolangun Prima Coal diuji.

Hasilnya, PH 3,4, electric conductivity (daya hantar listrik) 320, dan total padatan terlarut

mencapai 150. Tingkat keasaman air tinggi mengindikasikan ada kandungan logam berat seperti

Fe (besi), Mn (mangan), Pb (timbal), As (arsenik), Hg (merkuri), Se (selenium) dan B (boron)

dalam kolam itu. Lihat. Yitno Suprapto, “Lubang-lubang Tambang Batubara Ancaman

Mematikan bagi Warga Jambi”, diakses pada 11 Februari 2019

https://www.mongabay.co.id/2016/09/14/lubang-lubang-tambang-batubara-ancaman-mematikan-

bagi-warga-jambi/ diakses pada 11 Februari 2019

2 Pembangunan pabrik semen di Rembang ditolak oleh masyarakat karena memiliki

dampak negatif yang ditimbulkan. Pertama, dari segi lingkungan Kawasan Pegunungan

Kendeng mempunyai Cekungan Air Tanah (CAT), sehingga hal tersebut menjadikan

Pegunungan Kendeng sebagai sumber kehidupan bagi warga sekitar. Dengan kehadiran PT

Semen Indonesia, dikhawatirkan akan mengeruk habis air yang ada akibat dari penambangan

yang dilakukan. Selain itu penambangan dapat mengakibatkan polusi suara maupun udara.

Udara yang mengandung debu mengakibatkan penyakit baik manusia maupun tumbuhan.

Kedua, dari segi Ekonomi, mayoritas pekerja warga yang tinggal disekitar Pegunungan

Kendeng adalah petani, sehingga air merupakan hal yang sangat penting. Selain itu

penambangan yang dilakukan akan membutuhkan penggunaan lahan yang banyak, sehingga

lahan pertanian warga nantinya akan sebagain tergerus proyek penambangan. Ketiga, adanya

perubahan pola hubungan antara masyarakat yang pro dan yang kontra, yang menyebabkan

renggangnya hubungan kekeluargaan antar masyarakat. Lihat. Rendy Rily Juniarto “Dinamika

Konflik Pembangunan Pabrik PT. Semen Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa

Tengah)”, Jusuf Kalla School of Government (Mei 2018): h…

2

persoalan-persoalannya: pembangunan kereta api cepat Jakarta- Bandung,

pembangunan jalan tol di Jawa Tengah, pembakaran hutan, penambangan emas di

gunung-gunung, penebangan-penebangan kayu di hutan baik legal maupun ilegal,

reklamasi pantai, penambangan minyak dan gas yang terjadi di darat dan di laut,

dan masih banyak lagi yang dapat kita saksikan dimana proyek pembangunan baik

yang dilakukan pemerintah maupun pengusaha mengabaikan kelestarian alam dan

lingkungan. Hal tersebut harus segera menjadi perhatian publik, baik kalangan

akademisi lingkungan maupun sarjana al-Qur‟an dan Hadis.

Secara global, isu yang berkembang dan marak dibicarakan kalangan

akademisi dan aktifis adalah isu tentang Climate Change. Dengan naiknya

temperatur global di atas 1.5 celcius saat ini diprediksi akan mengakibatkan

bencana dahsyat terjuadi jika dalam 12 tahun ke depan temperatur ini tidak

menurun. Imbas dari iklim global ini sudah bisa dirasakan sekarang. Di Malaysia,

akibat kian hangatnya suhu bumi, curah hujan turun tak menentu, dan banyak pagi

gagal panen.3 Salah satu penyebabnya adalah 18 juta hektar hutan di seluruh dunia

dibakar pertahunnya. Di Amazon saja, 17 % areal hutannya sudah dibabat dalam

5 dekade terkahir. Padahal begitu krusialnya hutan karena pepohonan dapat

menyerap gas karbondioksida (C02) di atmosfer. Maka, pembabatan hutan secara

masif akan melepas banyak gas C02 ke atmosfer dan meningkatkan suhu bumi.

Meningkatnya suhu bumi berdampak pula pada melelehnya gletser dan es di

Kutub Utara dan Selatan, sehingga berakibat naiknya permukaan laut (sea level)

secara global. Pada 2017, rata-rata permukaan laut naik setinggi 77 mm. tertinggi

3 Sawsan Morrar, “Akibat Perubahan Iklim, Manusia Kini Makin Kesulitan Menanam

Padi”, diakses pada 26 Maret 2019 https://www.vice.com/id_id/article/43azgd/akibat-perubahan-

iklim-manusia-kini-makin-kesulitan-menanam-padi.

3

dalam sejarah sejak 1993.4 Penyebab utama dari semua ini, menurut laporan IPCC

(Intergovernmental Panel on Climate Change) tentang „Global Warming of 1,5 C‟

adalah manusia, sebagai faktor determinan dari meningkatnya suhu 1,5 derajat

celcius hari ini.5

Penciptaan manusia sekaligus peran yang diembannya sebagaimana

disebutkan dalam al-Qur‟an yakni sebagai Khalifah (Pengganti6 Tuhan) di muka

bumi tidaklah bermakna bahwa manusia menempati posisi sentral dimana dapat

mengubah dan mengotak-atik bumi dan seluruh isinya semau-maunya tanpa

memperhatikan akibatnya. Perhatian terhadap kelestarian lingkungan tentu harus

juga menjadi fokus utama bagi aktivitas manusia dalam mengeskplorasi bumi

demi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Sebab, kesalahan dalam pengelolaan

bumi dan segala isinya tidak saja akan merusak dan mengancam kelangsungan

bumi, tetapi juga dapat berakibat fatal bagi kehancuran umat manusia itu sendiri.

Pengelolaan yang sewenang-wenang terhadap bumi dan seluruh isinya tidak

disukai oleh Tuhan sebagai pencipta segala keseimbangan di semesta ini,

sebagaimana termaktub dalam al-Qur‟an:

لوكم ف ما آتاكم إن ربك وىو الذي جعلكم خالئف األرض ورفع ب عضكم ف وق ب عض درجات ليب ﴾٥٦١سريع العقاب وإنو لغفور رحيم﴿

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia

meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa

derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.

4 Rebecca Lindsey, “Climate Change: Global Sea Level”, diakses pada 26 Maret 2019

https://www.climate.gov/news-features/understanding-climate/climate-change-global-sea-level. 5 Myles Allen, dkk, SPECIAL REPORT Global Warming of 1.5 ºC, diakses pada 26

Maret 2019 https://www.ipcc.ch/sr15/

6 Kata Khalîfah diterjemahkan dengan “pengganti”. Lihat Ahmad Warson Munawwir, al-

Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984),

h. 392.

4

Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-An‟âm [6]:165)

Larangan untuk tidak merusak bumi pun secara tegas dinyatan Allah

dalam al-Qur‟an:

ن وال ت فسدوا ف األرض ب عد إصالحها وادعوه خوفا وطمعا إن رحت اللو قريب م ﴾١٦﴿ المحسني

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)

memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan

diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah

amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-A‟raf [7]:56)

Peringatan tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di darat dan di laut

akibat ulah tangan manusia sudah diperingati oleh Allah dalam al-Qur‟an jauh

sebelum kerusakan seperti sekarang terjadi. Tidak sedikit pula ayat al-Qur‟an

menjelaskan bagaimana kerusakan itu terjadi diakibatkan oleh perbuatan manusia

itu sendiri. Allah berfirman dalam al-Qur‟an:

ذي عملوا لعلهم ظهر الفساد ف الب ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض ال ﴾١٥﴿ ي رجعون

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena

perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka

sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan

yang benar).” (QS. al-Rûm [30]:41)

Penafsiran ayat di atas dalam lintasan tafsir klasik cenderung seragam.

Misalnya Ibnu Katsir dalam Tafsîr Ibnu Katsîr, dan Abû Bakr al-Jazairi, dalam

Aisir al-Tafâsîr dalam menafsirkan ayat di atas cenderung menyatakan bahwa

5

yang dimaksud dengan kerusakan (fasad) adalah perbuatan syirik, pembunuhan,

maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah.7

Al-Quran dan sunnah memperingatkan umat Islam agar tidak mencelakai

diri dan sekitarnya ( ال و ار ر ر ر ال ). Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang

berbicara tentang lingkungan dan larangan merusaknya.8 Hal ini menunjukkan

besarnya perhatian al-Quran terhadap pemeliharaan lingkungan. Untuk lebih

mengetahui bagaimana al-Quran mengatur etika pengelolaan lingkungan dan

memandang tindakan pengrusakan sebagai tindakan yang menimbulkan bahaya

bagi keberlangsungan hidup makhluk hidup, maka selain diperlukan penafsiran

terhadap ayat-ayat al-Quran melalui pendekatan tafsir, juga diperlukan tindakan

konkret untuk menanggulangi kerusakan yang sudah terlanjur terjadi. Pendekatan

ini dibutuhkan untuk memformulasikan ayat atas tindakan pengrusakan dan

eksploitasi lingkungan dan apa saja yang harus dilakukan untuk menanggulangi

kerusakan yang sudah terjadi. Atas dasar itulah ide tentang kelestarian alam yang

basisnya dari al-Qur‟an ini muncul atas respon rusaknya alam yang sudah kita

huni ribuan ini.

Kelestarian alam erat kaitannya dengan keserasian lingkungan hidup, dan

ada dua kata kunci yang sangat erat kaitannya dengan hal ini yang juga akan kita

bahas dalam skripsi ini lebih lanjut, yakni ekologi dan ekosistem. Kata ekologi

(ecology) berasal dari bahasa Yunani, oikos yang berarti rumah tangga dan logos

7 Ahmad Suhendera, “Menelisik Ekologis dalam al-Qur‟an”, ESENSIA , Vol. XIV No. 1

(April 2013): h. 70. 8 Mantan Rais Aam PBNU KH Ali Yafie mengatakan, sekitar 95 ayat Al-Quran berbicara

tentang lingkungan hidup beserta larangan-larangan Allah SWT untuk berbuat kerusakan. Antara

lain Surah Al-Baqarah [2]: 11, 12, 27, 30, 60, 220, 251; Ali Imrân [3] : 63; Al-Mà'idah [5]: 64; dan

Al-A„râf [7] : 56, 74, 85, 86, 103, 127, 142. Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqh Lingkungan Hidup

(Jakarta: UFUK Press, 2006), 20.

6

yang berarti ilmu. Jadi ekologi bisa dikatakan sebagai sebuah studi tentang rumah

tangga makhluk hidup. Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang interaksi

antar makhluk hidup dan lingkungannya, termasuk benda mati yang ada di

sekitarnya.9

Dalam konteks inilah penulis melihat salah satu pesantren yang didirikan

pada tahun 2014 lalu itu layak diperhatikan. Kerusakan lingkungan yang terjadi di

Gunung Halimun Bogor Utara menjadi penyebab yang melatari berdirinya

pesantren tersebut. Fiqh Bi‟ah yang dikeluarkan oleh para ulama se-Indonesia

menjadi acuan bagi pesantren tersebut dalam menjalankan praktik kesehariannya

dengan alam. Secara ontologis, ayat al-Qur‟an surat al-Rûm [30] ayat 41 dan al-

A‟raf [ 7] ayat 56 menjadi landasan dari berdirinya pesantren tersebut.10

Pemahaman para kyai dan santri serta warga di sana atas tafsir al-Qur‟an layak

untuk dijadikan rujukan dan contoh baik sebagai respon atas berbagai kejadian

kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini di Indonesia khususnya, dan semoga

dapat menjadi contoh baik bagi negara-negara berpenduduk masyoritas islam

khususnya untuk mempraktekkan perilaku yang tidak merusak alam dan

bagaimana menyikapi kerusakan alam yang sedang terjadi.

Skripsi ini penulis anggap penting karena selain untuk menunjukkan

kepada khalayak luas bahwa nilai-nilai al-Qur‟an sejalan dengan prinsip-prinsip

kelestarian alam atau lingkungan hidup yang harus diemban oleh manusia sebagai

khalifah fî al- arḏ, juga menjadi objek kajian yang cukup penting dalam kajian al-

9 Mardiana, “Kajian Tafsir Tematik tentang Pelestarian Lingkungan Hidup” Jurnal AL-

FIKR, Vol 17 nomor 1 ( 2013): h. 139. 10

Almuzani, “Dakwah Transformatif, Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam

Upaya Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara.” (S1 Fakultas Dakwah dan

Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 82-84.

7

Qur‟an yakni living qur‟an yang sedang ramai dikaji di kalangan akademisi tafsir

hadis. Sejalan dengan apa yang didefiniskan bahwa living qur‟an juga mengacu

pada suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya menggunakan al-Qur‟an

sebagai tarkitab acuannya. Mereka hidup dengan mengikuti apa-apa yang

diperintahkan al-Qur‟an dan menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya,

sehingga masyarakat tersebut seperti “al-Qur‟an yang hidup”, al-Qur‟an yang

mewujud dalam kehidupan sehari-hari mereka.11

Skripsi ini hendak menelusuri lebih dalam lagi pemahaman masyakarat di

pesantren agroekologis tentang kerusakan lingkungan yang sudah diperingati

dalam al-Qur‟an, bagaimana pemimpin pondok pesantren disana memaknai

Qur‟an Surat ar-Rum ayat 41 dan Surat as-al-A‟raf ayat 56, dan bagaimana

mereka menerapkan ayat-ayat ekologis untuk mencegah kerusakan lingkungan

sekaligus berperan aktif dalam pemeliharaannya. Selain itu, skripsi ini juga

penulis anggap penting guna memberikan solusi kongkrit yang didasarkan pada

al-Qur‟an tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam, dan

bagaimana merespon berbagai macam kerusakan yang terjadi saat ini.

B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dalam ajaran Islam, memelihara lingkungan (hifzi al-bi‟ah) merupakan

salah satu tujuan diturunkannya sayariat islam. Islam mengajarkan umatnya untuk

bersikap santun dan bersahabat dengan alam. Alam harus dipahami sebagai

ciptaan dan nikmat Allah yang harus dijaga dan dipelihara dalam rangka ketaatan

dan rasa cinta kepada Pencipta. Maka perhatian atas alam menjadi salah satu

11

Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living al-Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”

Jurnal Walisong, Vol. 20 ( Mei 2012): h. 236-237.

8

tanggung jawab umat Islam khususnya, karena sudah tertulis jelas di dalam al-

Qur‟an.

Keberadaan pesantren agroekologi di Bogor sejak tahun 2014 silam dapat

menjadi contoh yang baik bagaimana ayat al-Qur‟an yang mendorong kelestarian

alam dengan menjaganya dari pengrusakan dan memeliharanya dari hawa nafus

eksploitatif manusia, dipraktekkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

2. Perumusan Masalah

Sebagaimana terurai dalam uraian Identifikasi Masalah di atas, maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a) Bagaimana Living Qur‟an di Pesantren Agroekologis dalam upaya

menjaga kelestarian alam di kawasan Halimun Utara Bogor yang

tercermin dalam aktivitas atau program pesantren?

b) Bagaimana pemaknaan warga pesantren atas ayat-ayat al-Qur‟an tentang

kelestarian alam khususnya surah al-Rûm [30] ayat 41 dan Surah al-A‟raf

[7] ayat 56?

3. Pembatasan Masalah

Untuk memfokuskan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis perlu

memberikan batasan-batasan yang akan diteliti, adapun beberapa kegiatan yang

mencerminkan living Qur‟an atau everyday life of the Qur‟an, sebagai berikut:

a. Al-Qur‟an dibaca secara rutin dan diajarkan di tempat-tempat ibadah

(Masjid dan Surau/Langgar/Mushalla), bahkan di rumah-rumah, sehingga

menjadi acara rutin everyday, apalagi di pesantren-pesantren menjadi

bacaan wajib, terutama selepas shalat maghrib. Khusus malam Jum`at

yang dibaca adalah surat Yasin dan kadang ditambah surah al-Waqi`ah.

9

b. Al-Qur‟an senantiasa dihafalkan, baik secara utuh ataupun sebagiannya (1

juz hingga 30 juz), meski ada juga yang hanya mehafal ayat-ayat dan surah

tertentu dalam juz „Amma untuk kepentingan bacaan dalam shalat dan

acara-acara tertentu.

c. Menjadikan potongan-potongan ayat satu ayat ataupun beberapa ayat

tertentu dikutip dan dijadikan hiasan dinding rumah, masjid, makam

bahkan kain kisywah ka‟bah (biasanya ayat Kursy, al-Ikhlas, al-Fatihah

dsb.) dalam bentuk kaligrafi dan sekarang tertulis dalam ukiran-ukiran

kayu, kulit binatang, dan lain-lain.

d. Living Qur‟an juga mengacu pada suatu masyarakat yang kehidupan

sehari-harinya menggunakan al-Qur‟an sebagai kitab acuannya. Mereka

hidup dengan mengikuti apa-apa yang diperintahkan al-Qur‟an dan

menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya, sehingga masyarakat tersebut

seperti “al-Qur‟an yang hidup”, al-Qur‟an yang mewujud dalam kehidupan

sehari-hari mereka.12

untuk itu peneliti membatasi penelitian ini pada kegiatan living Qur‟an

berdasarkan suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya menggunakan al-

Qur‟an sebagai kitab acuannya, penelitian ini dilakukan di Pesantren

Agroekologis Biharul Ulum atas surah ar-Ruum ayat 41 dan Surat as-al-A‟raf ayat

56.

12

Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living al-Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”

Jurnal Walisong Vol. 20 (Mei 2012): h. 236-237.

10

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan dari penelitian ini adalah:

a) Untuk mengetahui proses Living Qur‟an di Pesantren Agroekologis dalam

menjaga kelestarian alam di kawasan Halimun Utara Bogor

b) Untuk mengetahui bagaimana pemaknaan warga pesantren atas ayat-ayat

kelestarian alam dalam al-Qur‟an, khususnya ar-Rum ayat 41 dan Surat as-

al-A‟raf ayat 56

2. Manfaat Penelitian:

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a) Manfaat akademis

Penelitian diharapkan dapat mengembangkan kajian ilmu Living Qur‟an

bagi jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir fakultas Ushuluddin terutama pada

mata kuliah ulumul Qur‟an

b) Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi penelitian serupa di masa

mendatang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan

peranan yang dimainkan kalangan muslim dalam menerapkan nilai-nilai

ekologis dalam al-Qur‟an, serta menjadi acuan bagi kelompok muslim

dalam melakukan transformasi sosial khususnya di bidang kelestarian

alam.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang dikemukakan dalam

peneltian di atas mengenai al-Qur‟an dan Kelestarian Alam (Studi Kasus

11

Pemaknaan al-Qur‟an Surah ar-Rum Ayat 41 dan al-A‟raf 56 di Pesantren

Agroekologi Biharul Ulum Bogor). Maka pendekatan yang dilakukan penulis

adalah pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif yakni upaya

pengolahan data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat.

Ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat

tentang fakta-fakta dan objek tertentu. Pengumpulan data yang dilakukan peneliti

adalah dengan cara terjun langsung ke situasi yang sesungguhnya. Dalam hal ini

peneliti akan menjelaskan dan menjabarkan data-data yang sesuai dengan keadaan

yang sebenarnya atau yang terjadi di lapangan.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian adalah Pesantren Agroekologi Biharul Ulum. Sedangkan

Objek penelitiannya adalah proses living qur‟an dan pemaknaan warga pesantren

agroekologi atas ayat-ayat kelestarian alam dalam al-Qur‟an

3. Macam dan Sumber Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, peneliti

menggunakan data primer dan sekunder.

a) Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan berupa

hasil temuan penelitian observasi dan wawancara dengan pihak pesantren.

b) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis

yang terdapat dalam buku ataupun dokumentasi dan literatur lain yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data adalah:

12

a) Observasi, adalah pengamatan dan pengumpulan data dimana penulis

melakukan pengamatan terhadap gejala dan objek yang diteliti.13

Dalam

hal ini penulis melakukan pengamatan di lapangan dengan cara

berhadapan langsung dengan subjek yang akan diteliti yaitu pihak

pesantren.

b) Wawancara, adalah sebuah teknik pengumpulan data dengan cara

mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada

informan dan jawaban yang dihasilkan akan dicatat dan direkam dengan

alat perekam.14

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan

mewawancarai langsung pengurus Pesantren Agroekologis Biharul Ulum.

Juga mengumpulkan berbagai informasi yang dapat menunjang data yang

diperlukan.

c) Studi Dokumentasi, adalah penelitian pengumpulan, membaca, dan

mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah atau jurnal) yang

terdapat diperpustakaan, internet atau instansi lain yang dapat dijadikan

analisis dalam penelitian.15

Penulis mengumpulkan data-data yang

berkaitan dengan Pesantren Agroekologis Biharul Ulum. Selain itu penulis

juga membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis yang dapat

dari buku, website, foto-foto, serta rekaman video, sehingga dijadikan

analisis dalam penelitian ini.

13

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1980), h. 102. 14

Irawan Suharto, Metode Penelitian Sosial, cet 4 (Bandung: PT Remaja Rosdakrya,

2000), h.67. 15

Rakhmat Kryanto, Teknik Praktisi Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Perdana Group,

2007), h. 116.

13

5. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan bola

salju/berantai (Snowball/chain sampling): pengambilan sampel dilakukan secara

berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau

dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya.16

6. Teknik Analisa Data

Dari data yang sudah diperoleh, maka penulis mempelajari berkas yang

telah terkumpul kemudian peneliti melakukannya dengan cara editing, yaitu

dengan mempelajari berkas-berkas data yang terkumpul sehingga keseluruhan

berkas itu dapat diketahui dan dapat dinyatakan dengan baik agar dapat

dipersiapkan proses selanjutnya.

Penelitian deskriptif ditunjukkan untuk: (1) mengumpulkan informasi

aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengindentifikasi

masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat

perbandingan dan evaluasi, (4) menentukan yang dilakukan orang lain dalam

menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk

menetapkan rencana atau keputusan pada waktu yang akan datang.17

7. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Agroekologis Biharul Ulum,

yaitu di Kampung Legok Kiara, Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten

Bogor. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2019 sampai April 2019.

16 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, cet-5

(Depok: LPSP3 2013), h.117. 17

Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2009), h. 248.

14

E. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian ini penulis juga menggunakan disertasi dan skripsi yang

memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini, sebagai

referensi dan rujukan bagi penulis dalam merumuskan permasalahan, dan

sekaligus sebagai referensi tambahan selain dari buku, Jurnal, dan internet.

Penulis mengklasifikasikannya berdasarkan kajian yang terkait dengan tema-tema

yang dibahas penulis. Yakni sebagai berikut:

Penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi yang pertama menginspirasi penulis

dalam mengkaji tema ayat-ayat al-Qur‟an tentang kelestarian alam dalam

perspektif Living Qur‟an di Pesantren Agroekologis Bogor adalah skripsi

Almuzani, “Dakwah Transformatif, Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam

Upaya Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara.”18

Banyak

kesamaan yang telah dibahas dalam skripsi ini, melihat bahwa penulisan skripsi

ini juga berfokus pada Pesantren Agroekologis yang sedang diteliti juga oleh

penulis. Namun, dalam skripsi ini Almuzani menjelaskan proses dakwah yang

sedang dijalankan oleh pihak pesantren kepada warga sekitar dengan model

dakwah yang disebut dakwah transformatif. Sedangkan penulisan skripsi ini

mencoba mengkaji basic analisa pesantren tersebut atas al-Qur‟an sehingga

pesantren melakukan dakwah dengan model dakwah transformatif. Penulis

mengkaji dari sudut pandang yang disebut living quran karena fenomena sosial ini

mau bagaimanapun tidak lepas dari ajaran al-Qur‟an yang dipegang teguh oleh

pesantren.

18

Almuzani, “Dakwah Transformatif, Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam

Upaya Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara.”(Skripsi S1 Fakultas

Dakwah dan Komunikasi,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018)

15

Dalam upaya meneliti lebih lanjut tentang kelestarian alam dalam al-

Qur‟an, penulis mencantumkan beberapa tulisan baik buku maupun jurnal,

sebagai berikut:

Mujiyono Abdillah, Agama ramah lingkungan: perspektif Al-Qur'an

Volume 6 dari Seri disertasi.19

Banyak tulisan baik buku, jurnal maupun karya

ilmiah lainnya yang bicara masalah lingkungan dari perpsektif al-Qur‟an, namun

semua tinggal jadi debu yang melayang kesana kemari tak tentu arah jika apa

yang ditulis tidak pernah benar-benar dipraktekkan dalam keseharian masyarakat

khususnya umat islam. Namun buku ini tetap penting guna memberikan landasan

dari perpsektif al-Qur‟an tentang bagiamana seharusnya alam diperlakukan oleh

manusia menurut ajaran agama.

Ahmad Suhendera, Menelisik Ekologis dalam al-Qur‟an.20

Dalam jurnal

ini penulis menguraikan banyak wawasan al-Qur‟an terkait ekologi. Seperti

peringatan untuk tidak merusak bumi, dan memberi batas-batas tertentu tentang

bagaimana Islam memberikan nilai ekologis kepada seluruh umatnya melalui al-

Qur‟an. Dengan menggunakan analisa semantik-hermeneutis, penulis mencoba

untuk mengetahui makna setiap kata-kata yang tersusun dalam al-Qur‟an terkait

nilai-nilai ekologis dalam al-Qur‟an. Namun, operasional ayat yang diharapkan

dapat membantu mewujudkan cita-cita ekologis al-Qur‟an belum terjabarkan.

Agus Iswanto, Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam al-Qur‟an.

Upaya membangun Eco-Theology.21

Tulisan ini dapat menjadi rujukan penulisan

19 Mujiyono Abdillah, Agama ramah lingkungan: perspektif Al-Qur'an (Jakarta:

Paramadina, 2001).

20

Ahmad Suhendera, Menelisik Ekologis dalam al-Qur‟an, ESENSIA , Vol. XIV No. 1,

(April, 2013).

21

Agus Iswanto, “Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam al-Qur‟an. Upaya

membangan Eco-Theology” Balai Litbang Agama, Jakarta, Vol. 6, No. 1, (2013).

16

skripsi ini karena dalam artikel ini dijelaskan bagaimana relasi manusia dengan

lingkungan dalam al-Qur‟an. Diawali dengan enam pandangan mengenai relasi

manusia dengan lingkungan. Kemudian penulis mengeksplorasi relasi manusia

dengan lingkungan dalam al-Qur‟an melalui dua konsep: tujuan penciptaan alam

semesta dan tujuan penciptaan manusia.

Reflita, Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan (Istinbath Hukum

atas Ayat-ayat Lingkungan22

Jurnal ini menjelaskan secara teoritik bagaimana

kerusakan alam terjadi akibat pemahaman manusia yang kurang komperehensif

tentang teks keagamaan, minimnya pengetahuan tentang alam, serta pandangan

antroposentrik yang hanya memandang alam semesta diciptakan semata untuk

manusia. Penjabaran secara teoritik dengan al-Qur‟an sebagai referensi utamanya

dapat membantu penulisan skripsi ini yang berfokus pada penerapan teori-teori

tersebut dalam masyarakat khususnya warga Pesantren Agroekologis.

Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi

Islam dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan

Hidup.23

Berangkat dari satu asumsi yang sudah lama diyakini oleh umat manusia,

yakni manusia sebagai sentral dari alam semesta, sehingga manusia menganggap

bahwa dirinya bisa melakukan apa saja terhadap alam yang dihuninya, tulisan ini

memberikan landasan yang justru kebalikannya. Bahwa manusia adalah penyebab

dari kerusakan alam yang terjadi dewasa ini, maka buku ini hadir untuk

memberikan penjelasan baik secara sains sosial maupun sains agama, bahwa

manusia tidak bisa bertindak semaunya terhadap alam untuk kepentingan

22

Reflita, “Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan (Istinbath Hukum atas Ayat-ayat

Lingkungan)” Substantia, Vol. 17, No. 2 (Oktober 2015) 23

Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi Islam dalam

Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan Hidup, (Bandumg: Grafindo

Khazanah Ilmu, 2007).

17

ekonomisnya saja. Buku ini menjadi rujukan utama penulis karena berisis konsep

dan strategi dalam pengelolaan, pemeliharaan, dan penyelamatan lingkungan

hidup.

Penjelasan selanjutnya yang akan penulis bahas yakni tentang kajian

Living Qur‟an sebagai studi khusus tentang pemaknaan ayat-ayat al-Qur‟an yang

dipahami maupun yang dipraktekkan oleh masyarakat di suatu tempat. Penulis

merujuk pada beberapa buku, atikel maupun jurnal, sebagai berikut:

Farid Esack, Samudera Al-Qur‟an”.24

Pada dasarnya buku ini adalah

pengantar ilmu al-Qur‟an. Namun berbeda dengan buku tentang studi Qur‟an

pada umumnya, terdapat beberapa keistimewaan di dalamnya. Pertama, karena

gaya penuturannya yang bersifat naratif. Kedua, buku ini lebih komperehensif

karena berusaha melihat dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut

pandang orang dalam (umat islam) tapi juga dari sudut pandang orang luar.

Ketiga, buku ini banyak mengungkapkan sisi-sisi The Living Qur‟an yakni

tentang bagaimana umat islam mengekspresikan hubungannya dengan al-Qur‟an

dalam kehidupan sehari-hari, sebuah tema yang marak dibicarakan saat ini, dan

terkhusus lagi karena menjadi pokok pembahasan dalam skripsi penulis ini.

M. Mansyur, Sahiron Syamsuddin, Metodologi penelitian living Qur'an &

Hadis.25

Buku pertama yang hadir di Indonesia dan ditulis oleh sarjana Tafsir

Indonesia ini memberikan sumbangan penting bagi berdirinya kajian al-Qur‟an

dengan coraknya yang baru, yakni Living Qur‟an. Buku ini memberikan landasan

teoritis tentang metodologi yang harus digunakan oleh peneliti living qur‟an

24

Farid Esack, Samudera al-Qur‟an, terj. Nuril Hidayah. (Yogyakarta: Diva Press,

2008). 25

M. Mansyur dan Sahiron Syamsuddin, Metodologi penelitian living Qur'an & Hadis (

Yogyakarta: TH-Press, 2007).

18

ketika meneliti fenomena living qur‟an di ranah sosial. Meskipun penulis buku

telah merumuskan metodenya, penulis juga membuka peluang bagi siapa saja

yang ingin mengembangkan bukan hanya metode living qur‟annya tetapi juga

pengertian dan aplikasi dari living qur‟an itu sendiri. Buku ini berguna bagi

perkembangan kajian living qur‟an yang hendak dirumuskan oleh penulis skripsi

ini.

Heddy Shri Ahimsa-Putra, The Living al-Qur‟an: Beberapa Perspektif

Antropologi.26

Jurnal ini memberikan sedikit banyak perspektif antropologi dalam

kajian living qur‟an. Seperti paradigma akulturasi dalam living qur‟an, paradigma

fungsional, paradigma struktural dan lain-lain. Namun, jurnal ini hanya

menjelaskan teori dan memberikan sedikit contoh dalam kajian living qur‟an

untuk dijadikan rujukan oleh siapa saja yang sedang menjalani penelitian living

qur‟an, tanpa memberikan contoh bagaimana paradigma tersebut beroperasi dalam

kehidupan sosial masyarakat.

Didi Junaedi, Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-

Qur‟an.27

Artikel ini membahas tentang metode Living Qur‟an sebagai sebuah

pendekatan baru dalam kajian al-Qur‟an dalam mengkaji dan meneliti peristiwa

sosial secara ilmiah. Pendekatan ini berusaha memotret proses interaksi

masyarakat terhadap al-Qur‟an. Namun penjelasan dalam artikel ini lebih

memfokuskan pada ritual pembacaan teks-teks al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-

hari. Meskipun ayat-ayat yang dibaca atau dipahami tidak berhubungan dengan

konteks masyarakat.

26

Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living al-Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”

Jurnal Walisong, Vol. 20 ( Mei 2012) 27

Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi

Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”

Jurnal of Qur‟an and Hadith Studies Vol. 4, No. 2 ( 2015)

19

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang masing-masing bab terdiri atas

beberapa sub bab yang saling berkaitan, sehingga menjadi satu kesatuan utuh.

Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, yang mencakup Latar Belakang Masalah, Perumusan dan

pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,

tinjauan pustaka serta sistematika penulisan. Dengan adanya bab ini, penulis ingin

mengemukakan alasan dasar, atau basis argumentasi dari penulis yang menjadi

objek kajian pada skripsi ini. Kemudian landasan pada bab selanjutnya barulah

dikemukan landasan teoritis dari skripsi ini.

BAB II Landasan teoritis yang terdiri dari Kelestarian Alam, al-Qur‟an, Tafsir dan

Living Qur‟an. Sebagaimana dikemukakan pada bab I, pada bab ini penulis

memberikan uraian tentang teori-teori yang dikemukakan oleh para pakar yang

fokus dalam bidang keilmuan yang sedang penulis telusuri. Sehingga dapat

mengantarkan penulis pada bahasan yang akan dibahas pada bab inti yakni bab

IV.

BAB III Pondok Pesantren Agroekologi, meliputi Sejarah dan Perkembangan,

Visi Misi, Kegiatan Pondok dan Aktivitas Pelestarian Alam di Pondok Pesantren

Agroekologi dan sekitarnya. Profil lembaga yang penulis jabarkan pada bab ini,

tepatnya profil Pondok Pesantren Agroekologis adalah subjek utama dari

penelitian ini. Dengan menggunakan kajian Living Qur‟an penulis ingin

menjelajahi lebih lanjut apa yang mendasari pondok pesantren yang dalam

programnya itu menggambarkan tindak atau laku pelestarian alam dan dengan al-

20

Qur‟an sebagai sumber inspirasinya mampu menahan laju perusakan alam yang

dilakukan oleh pihak penambang, yakni PT ANTAM.

BAB IV Analisi dan Temuan (Pemaknaan Pesantren Agroekologi Biharul Ulum

Atas Ayat-Ayat Kelestarian Alam). Setelah mengetahui program kegiatan yang

dijalankan oleh pesantren dalam rangka pelestarian alam, penulis menganalisa

pemahaman pesantren dalam hal ini pimpinan pondok tentang sumber dasar al-

Qur‟an yang kemudian terwujud dalam program pelestarian alam.

BAB V Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Saran. Pada bab ini berisi jawaban

atas rumusan masalah yang telah dijabarkan oleh penulis di bab 1.

21

BAB II

KELESTARIAN ALAM, AL-QUR’AN, TAFSIR DAN LIVING QUR’AN

A. Teori Kelestarain Alam

1. Pengertian Kelestarian Alam

Kelestarian alam erat kaitannya dengan keserasian lingkungan hidup, dan

ada dua kata kunci yang sangat erat kaitannya dengan hal ini, yakni ekologi dan

ekosistem. Kata ekologi (ecology) berasal dari bahasa Yunani, oikos yang berarti

rumah tangga dan logos yang berarti ilmu. Ekologi sendiri bisa dikatakan sebagai

sebuah studi tentang rumah tangga makhluk hidup. Ilmu pengetahuan yang

membicarakan tentang interaksi antar makhluk hidup dan lingkungannya,

termasuk benda mati yang ada di sekitarnya.1

Istilah ekologi, muncul pertama kali pada tahun 1866. Seorang ahli ilmu

biologi dari Jerman, Ernst Haeckel, memperkenalkan istilah oekologi, yang

kemudian hari ini dikenal sebagai ekologi.2 Istilah ini berasal dari bahasa Yunani,

oekos berarti rumah dan logi atau logos berarti ilmu. Sehingga secara harfiah

ekologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau

dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumahtangga makhluk hidup.

Dalam perkembangannya, ekologi yang sejak awal memfokuskan

kajiannya pada hubungan interaksi manusia dengan rumahtangganya, yakni

dengan alam dan seluruh isinya yang saling berkait-kelindan, memunculkan

kajian yang lebih spesifik lagi, yaitu Etika Lingkungan. Etika lingkungan yang

paling awal tumbuh dan hinggap dalam peradaban manusia adalah Etika

1 Mardiana, ―Kajian Tafsir Tematik tentang Pelestarian Lingkungan Hidup‖ Jurnal AL-

FIKR, Vol 17, No1 (2013): h, 139. 2 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia )Bogor: IPB, 2007), h. 33.

22

Lingkungan Dangkal (Shallow Environmental Ethics), atau yang dikenal sebagai

antroposentrisme. Menginjak pertengahan abad ke-20, sebagai gugatan terhadap

antroposentrisme, berkembang Etika Lingkungan Medium (Intermediate

Environmental Ethics) atau yang dikenal sebagai biosentrisme. Selanjutnya, pada

awal 1970an. etika biosentrisme ini diperluas oleh Arne Naess menjadi Etika

Lingkungan Dalam (Deep Environmental Ethics) atau yang dikenal sebagai

ekosentrisme.3

Pertama, Etika antroposentrisme. Menurut buku Ekologi Manusia,

antroposentrisme dapat dikatakan berakar dari: (i) teologi kristen (terutama dari

kisah penciptaan dunia sebagaimana dimuat dalam kitab kejadian); (ii) tradisi

pemikiran liberal yang diletakkan oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene

Descartes dan Immanuel Kant; dan (iii) cara pandang atau paradigma ilmu

pengetahuan yang bersifat mekanistik sebagaimana telah diutarakan sebelumnya.

Antroposentrisme adalah etika lingkungan yang memandang manusia

sebagai pusat dari alam semesta. Hanya manusia dan kepentingannya sajalah yang

mempunyai nilai. Manusia dipandang sebagai penguasa alam yang boleh

melakukan apa saja. ia dianggap berada di luar, di atas, dan terpisah dari alam.

Segala sesuatu yang hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh mendukung

dan demi kepentingan manusia. Sehingga alam beserta seluruh isinya hanya

dipandang sebagai objek, sumberdaya, alat, atau sarana bagi pemenuhan

kepentingan, kebutuhan dan tujuan manusia. Dalam pandangan antroposentris ini

dikonstruksikan tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.4

3 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia, h. 9.

4 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia, h. 9.

23

Kedua, Etika biosentrisme. Diperkenalkan pertama kali oleh Albert

Schweitzer (pemenang Nobel 1952). Etika ini menggugat cara pandang

antroposentrisme. Menurut biosentrisme adalah hal yang tidak benar bila hanya

manusia yang mempunyai nilai. Alam juga mempunyai nilai yang melekat pada

dirinya sendiri. terlepas dari kepentingan manusia. Etika ini berpandangan bahwa

setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai yang melekat pada dirinya

sendiri, sehingga makhluk hidup selain manusia yang ada di alam ini perlu

diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai atau tidak. Sebagai

konsekuensinya, alam semesta adalah suatu komunitas moral, dimana setiap

kehidupan alam semesta ini, baik manusia maupun bukan manusia sama-sama

mempunyai nilai moral. Dengan demikian, etika tidak hanya dipahami atau

diberlakukan sebatas pada komunitas manusia, tetapi juga berlaku bagi seluruh

komunitas biotik: manusia dan makhluk hidup lainnya. Setiap makhluk hidup,

baik manusia maupun hewan, pada dasarnya mempunyai hak hidup demikian pula

sistem kehidupan. Implikasi lebih lanjut, agar antroposentrisme berubah menjadi

biosentrisme, maka sesuatu yang bersifat hirarkis harus dihindari, dengan cara

menyatu dengan, dan bukan berada di atas, organisme lain.5

Ketiga, Ekosentrisme. Merupakan perluasan dari etika biosentrisme.

Kedua teori ini sering disamakan karena adanya kesamaan. Baik biosentrisme

maupun ekosentrisme menolak cara pandang ekosentrisme yang memandang etika

hanya berlaku bagi komunitas manusia. Pada biosentrisme etika diperluas

mencakup makhluk hidup. Sementara pada ekosentrisme, etika diperluas ke

seluruh sistem ekologi, baik yang hidup (biotik) maupun yang tak hidup (abiotik).

5 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia. h. 10.

24

Pandangan ekosentrisme ini berangkat dari pemahaman bahwa secara ekologis

makhluk hidup dan lingkungan abiotiknya satu sama lain saling terkait, tidak

dapat dipisah. Sehingga kewajiban dan tanggungjawab moral manusia tidak hanya

dibatasi pada makhluk hidup, melainkan juga berlaku pada seluruh realita ekologi.

Teori ekosentrisme ini. Teori ekosentrisme ini dikembangkan oleh Arne Ness,

filsuf Norwegia, pada tahun 1973, yang kemudian menjadi tokoh utama gerakan

‗Ekologi Dalam‘ (Deep Ecology). Ness membedakan gerakan lingkungan yang

berangkat dari pemahaman yang dangkal atas makna ekologi, dengan berangkat

dari pemahaman yang pekat pada ekologi.6

Prinsip dasar paham ‖ekologi dalam‖ adalah menyelamatkan SDA dan

lingkungannya dari kerusakan pengembangan etika dan moral manusia. Karena

itu, membangun etika dan moral menjadi sangat penting mengingat peran SDA

dan lingkungan sebagai penyangga sistem kehidupan.

2. Ruang Lingkup Kelestarian Alam

Secara umum yang dimaksud dengan pelestarian alam adalah segala benda,

kondisi atau keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati

dan mempengaruhi hal-hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.7 Dalam

pelestarian alam terdapat sebuah komponen keberhasilan seperti adanya pengaruh

dan dukugan dari pemerintah dan masyarakat. Karena sebuah keberhasilan

pelestarian alam itu merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengatur dan

masyarakat untuk membantu dalam mensukseskan acara –acara pelestarian alam

tersebut. Pemerintah yang mempunyai program dalam upaya pelestarian alam,

sebagai salah satu program seperti Cagar alam yang mempunyai ciri khas

6 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia. h. 11.

7 M. Tholhan Hasan, Islam Dalam Persefektif Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora Press,

2004), h. 315.

25

tumbuhan,satwa dan ekosistem,yang perkembanganya dan digunakan untuk

membudayakan flora dan fauna yang punah, ini merupakan salah satu upaya

program pemerintah, selain itu Indonesia kaya akan pelestarian alam yang bisa di

manfaatkan untuk melestarikan dan bermanfaat sebagai tempat objek wisata,

sebagai ilmu pegetahuan dan budaya Indonesia yang harus dipertahankan.

Masyarakat akan membantu dalam keberhasilan pelestarian alam degan upaya

membatasi atau bahkan menghentikan kegiatan penebagan hutan-hutan yang

semakin gundul, menghentikan pengambilan hewan langka, di hutan-hutan. Jika

sebuah lingkugan alam semesta ini rusak, akan berdampak pada diri manusia itu

sendiri.

Segala ciptaan Tuhan di jagad raya ini dengan berbagai karakteristik

melambangkan betapa manusia hidup di bumi ini tidak sendirian, melainkan

hidup bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Makhluk

hidup yang lain itu bukannya sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara

netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada

mereka, tanpa mereka manusia tidak akan dapat hidup. Kenyataan ini dengan

mudah dapat kita lihat dengan mengandaikan di bumi ini tidak ada tumbuhan dan

hewan. Dari manakah mendapat oksigen dan makanan? Tentu harus kita akui

bahwa oksigen yang kita hirup merupakan hasil dari potosintesis tumbuhan hijau

yang sangat bermanfaat bagi manusia.8

Karena itu anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang paling berkuasa

merupakan suatu pemahaman yang keliru melainkan manusia hanya sebagai

pengatur apa yang ada di muka bumi. Seyogyanya kita menyadari dan mengakui

8 Otto Soemarno, Ekologi: Lingkungan Hidup dan Pembangunan¸ (Jakarta: Midas Surya

Grafindo, 1986), h. 20.

26

bahwa kita dengan lingkungan alam memiliki hubungan timbal balik yang saling

membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Manusia berinteraksi dengan

lingkungannya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Ia

membentuk dan terbentuk oleh lingkungannya manusia seperti ia adanya, yaitu

yang disebut fenotipe, adalah perwujudan yang dihasilkan oleh interaksi sifat

keturunannya dengan faktor lingkungan. Sifat keturunan yang terkandung di

dalam gen yang merupakan bagian kromosom di dalam masing-masing sel tubuh,

menentukan potensi perwujudan manusia, yaitu genotipe. Sifat dalam genotipe itu

akan terwujud tergantung dengan ada atau tidaknya faktor lingkungan yang sesuai

untuk perkembangan sifat itu. Manusia memerlukan udara untuk pernafasan, air

untuk minum, keperluan rumah tangga dan keperluan lain, tumbuhan dan hewan

untuk makan, tenaga dan kesenangan, serta lahan untuk tempat tinggal dan

produksi pertanian. Oksigen yang kita hirup dari udara dalam pernafasan kita,

sebagian besar berasal dari tumbuhan dari proses fotosintesis dan sebaliknya gas

karbondioksida yang kita hasilkan dalam pernafasan digunakan oleh tumbuhan

untuk proses fotosintesis.9

Manusia adalah bagian integral lingkungan hidupnya. Ia tidak dapat

dipisahkan daripadanya, manusia tanpa lingkungan suatu abstraksi belaka. 38

Sungguh, manusia bukan hanya makhluk sosial yang saling membutuhkan antar

sesama manusia, namun manusia pun sangat membutuhkan lingkungan dalam

kehidupannya. Keberadaan hidup manusia bersama-sama dengan makhluk lain

yang di luar dirinya itu, itulah yang disebut dengan lingkungan hidup manusia.

Ruang lingkup wilayah lingkungan hidup serupa itu bersifat relatif, artinya dapat

9 Erwati Aziz, Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Agama Islam

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 42.

27

berbentuk ruangan yang sempit seperti sebuah rumah dengan pekarangannya, atau

lebih luas, mencakup beberapa daerah di kawasan suatu pulau, dan bahkan lapisan

bumi dan udara yang ada penghuninya pun dapat di anggap suatu lingkungan

hidup yang besar yang disebut ―biosfir‖. Tidak hanya itu, tata surya kita, bahkan

seluruh alam semsta ini dapat disebut rung lingkup lingkungan.10

Lingkungan yang digambarkan itu ada yang sudah diciptakan Tuhan seperti:

air, udara, tanah, hewan, tumbuhan dan lainnya, ini disebut dengan ―lingkungan

alami‖ dan ada sebaliknya yang diciptakan oleh manusia, seperti waduk, taman,

tempat rekreasi dan sebagainya, ini disebut dengan ―lingkungan buatan‖.

3. Problematika Kelestarian Alam di Era Modern

Masalah kelestarian alam di indonesia pada masa sekarang merupakan

masalah yang serius, dan merupakan masalah yang kompleks di mana lingkungan

bergantung pada tingkah laku manusia yang semakin lama semakin menurun

kepedulian terhadap lingkungan, sedangkan kita sebagai umat Islam seharusnya

menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak terjadi kerusakan di dalam

lingkungan ini. Dengan dalih untuk kepentingan atau kelangsungan hidup

manusia melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan hidup tanpa

mempertimbangkan kelangsungan (kontinueitas) lingkungan hidup itu sendiri,

pada akhirnya menimbulkan kerusakkan lingkungan. Fenomena lingkungan

dewasa ini menunjukan tingkat kerusakkan yang besar, dan pada gilirannya akan

mengancam kelangsungan hidup manusia itu sendiri Beberapa sebagai contoh

kerusakkan lingkungan di Indonesia.11

10

Erwati Aziz, Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Agama Islam,

h. 42. 11

Johan Iskandar, Manusia Budaya dan Lingkungan, (Jakarta: HUP, 1990), h. 2.

28

1. Perkiraan sekarang tanah rusak di Indonesia mencapai kurang lebih 42 juta Ha

atau 1/5 luas daratan Indonesia. Tanah rusak ini berupa tanah alangalang, hutan-

hutan rusak, dan tanah-tanah gundul. Hal ini menunjukkan terutama akibat

kehidupan manusia lebih dominan pengaruhnya jika dibandingkan dengan

makhluk hidup lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan sehingga timbul

ketidakseimbangan yang mengakibatkan kerusakkan lingkungan,

2. Daerah sekitar danau toba dan aliran sungai asahan terdapat tanah kritis yang

sangat mempengaruhi persediaan air danau tersebut, bila dibiarkan beberapa tahun

saja akan mempengaruhi debit air Danau Toba

3. Kota Jakarta yang merupakan kota yang kompleks di Indonesia mempunyai

masalah pencemaran lingkungan mulai dari pertambahan penduduk yang sangat

cepat, masalah permukiman yang kurang memenuhi syarat baik kesehatan,

maupun lokasinya, disiplin mental warga kota dalam pemeliharaan sarana-sarana

kota. Ditambah dengan kemiskinan, kekurangan gizi, kondisi perumahan dan

sanitasi yang kurang baik akan memudahkan penyebaran penyakit,

4. Kota Bandung yang daerahnya dikelilingi pegunungan tinggi merupakan daerah

yang cukup rawan bila terjadi pencemaran udara, karena daerah yang cukup

rawan ini bisa menimbulkan cukup banyak kesulitan akibat udara yang

mengandung bahan pencemaran terperangkap, tidak bisa naik dan tetap berada di

sana dalam waktu yang cukup lama. Sebagai contoh pencemaran oleh gas CO

yang berasal dari kendaraan-kendaraan bermotor di pusat-pusat keramaian

menunjukkan angka 50-150 ppm. Untuk kota Bandung kadar ini sudah harus

mendapat perehatian.

29

Di negara maju, masalah lingkungan umumnya di akibatkan oleh berbagai

kegiatan industri modern yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Misalnya: pencemaran udara, air, tanah, dan hujan asam: efek gas rumah,

kebocoran reaktor nuklir, serta kasus buangan toksik lainnya terhadap

lingkungan.12

Berada dengan kasus-kasus negara maju, di negara berkembang

seperti Indonesia, pada umumnya penyebab masalah lingkungan antara lain,

dampak negatif dari kemiskinan, juga kegiatan industri. Berbagai masalah

kerusakkan hutan, erosi tanah, kepunahan satwa liar (fauna), penurunan stok ikan

dan udang, serta pencemaran limbah rumah tangga seta pabrik. Kerusakkan

lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi di berbagai tempat dan

ekosistem, misalnya ekosistem pertanian, hutan, pesisir, dan laut.13

B. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Kelestarian Alam

Lingkungan dengan seluruh makhluk hidup erat hubungannya, artinya

lingkungan sangat tergantung atas sesama makhluk hidup lainnya. Bahkan secara

sentral manusia sebagai pemegang peranan dalam sistem ekologi pun sangat

tergantung kepada kebberadaan lingkungannya. Begitupula lingkungan itu akan

tetap memiliki mutu yang baik tidak lepas pula dari tangan manusia terdapat

dalam firman Allah sebagai berikut:

ما وإذ قال ربك للمالئكة إني جاعل ف األرض خليفة قالوا أتعل فيها من ي فسد فيها وي سفك الديس لك قال إني أعلم ما ال ت علمون ونن ﴾﴿ نسبيح بمدك ون قدي

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi

itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan

12

Supardi, Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya, (Bandung: Alumni, 2003), h. 141 13

Supardi, Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya, h. 149.

30

darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan

mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui

apa yang tidak kamu ketahui".

Dari penjelasan ayat di atas mengatakan bahwa manusia sebagai sentral

dari lingkungan, yang berarti manusia memiliki kedudukan yang paling tinggi

dibandingkan makhluk hidup yang lain yaitu manusia ditunjuk oleh Allah sebagai

khalifah di muka bumi ini. Khalifah menurut pemahaman al-Islam merupakan

pemimpin di muka bumi ini mempunyai tugas mampu memimpin dirinya darn

mengelola lingkungannya dengan baik. Oleh karena itu dalam persepsi agama

merupakan tugas pokok manusia dalam menjaga keberadaannya. Kebaikan

lingkungan tergantung dari kebaikan manusia. Manusia bertindak dengan baik

untuk sesama manusia dan lingkungannnya.14

Arus hubungan timbal balik mengandung makna bahwa lingkungan

dengan manusia dan sebaliknya manusia dengan lingkungannya adalah integratif.

Artinya satu sumber yakni Allah sebagai penciptanya, satu hakekat yakni saling

bermanfaat dan satu pengembangan dalam konteks pembangunan kehidupan

manusia atau dengan kata lain integrasi kejadian, integrasi kemanfaatan dan

integrasi kepentingan.

Dari pengalaman hidup sehari-hari, ternyata manusia tidak dapat

terpisahkan oleh kedua jenis lingkungan tersebut. Dengan kata lain, kelangsungan

hidup manusia atau eksistensinya sebagai manusia sangat bergantung dengan

kedua hal tersebut, oleh karenanya, apabila pelestarian kedua lingkungan ini tidak

14

M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik

Podogogik (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 87.

31

terpelihara dengan baik, maka eksistensi manusia tersebut akan berakhir. Hal ini

sesuai dengan Firman Allah Swt dalam Surah Sâd [38]: 27, sebagai berikut:

ن هما باطال ذلك ما واألرض وما ب ي ظن الذين كفروا ف ويل ليلذين كفروا من وما خلقنا الس ﴾﴿ النار

Artinya: ―dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada

antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan

orangorang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka

akan masuk neraka‖. (Q.S Sâd: 27).

Maksud dari ayat ini adalah, Allah Swt menciptakan segala sesuatunya

tentu memiliki maksud dan tujuannya masing-masing, sepereti halnya manusia

tidak dapat hidup sendirian, dia memerlukan makhluk yang lainnya guna untuk

kelangsungan hidupnya, hal ini digambarkan langsung oleh kehidupan manusia

itu sendiri, manusia tidak akan mendapat oksigen dan makanan apabila tidak ada

hewan dan tumbuhan.15

Sungguh sangat ironis jika tangan-tangan manusia tega

mengeksploitir alam lingkungannya secara tidak manusiawi, dan di sisi lain

kelangsungan hidupnya amat tergantung kepada kelestarian ekosistem atau

hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Allah Swt

berfirman dalam surah al- A’râf [7]: 10 sebagai berikut:

ا تشكرون ناكم ف األرض وجعلنا لكم فيها معايش قليال م ﴾﴿ ولقد مك Artinya: ―Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di

muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber)

penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur‖ (Q.s. al-A’Râf [7]: 10).

Nikmat yang besar ini wajib dihargai dan diterima dengan penuh rasa

syukur serta keimanan. Akan tetapi karena mereka dibesarkan di dalam nikmat

15

Erwati Aziz, Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Agama Islam,

h. 78.

32

dan karena kecinta mereka yang sangat besar terhadap nikamat, maka mereka

hanya dapat menikmatinya dan tanpa bersyukur kepada Rabb penciptanya.40

Sementara itu Mustafâ Al-Marâgî, di dalam karyanya yang berjudul Tafsîr Al-

Marâghî menafsirkan bahwa maksud dari surah al-Hijr [15] ayat 20 tersebut

adalah di sini terdapat isyarat bahwa Allah Swt memberikan rezeki kepada

mereka, bukan mereka yang memberikan rezeki itu. Di sini benar-benar terdapat

pemberian dan karunia yang besar serta rahmat yang luas bagi hambaNya.16

Bahkan Allah Swt tidak menyediakan untuk manusia itu nikmat yang ada di bumi

saja, melainkan Allah juga menyediakan bahan-bahan keperluan hidup apa yang

ada di langit seperti: matahari, bintang-bintang, udara, hujan dan bendabenda lain

yang ditundukan Allah Swt bagi kemudahan manusia dalam mengelola kebutuhan

hidupnya. Sebagaimana firman-Nya:

ن يعا مي ماوات وما ف األرض ج ا ف الس ر لكم م رون وسخ ﴾﴿ و إن ف ذلك ليات لقوم ي ت فك Artinya:―dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa

yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan Allah)

bagi kaum yang berfikir‖. (Q.S. al-Jâtsiyah [45]: 13).

Tuhan begitu kuasa dalam melakukan semua itu, manusia harus pandai

berIqra ciptaan-ciptaan-Nya karena merupakan ayat-ayat kauniyah selain ayat

kauliyah Tuhan yang ditulis dalam 30 Juz al-Qur‘an yang semuanya itu punya

makna tersendiri yang hanya didapat melalui iqro (Al-‘Alaq [96]: 1-5). Banyak

yang mengasumsikan bahwa untuk membuktikan adanya tuhan bercerminlah pada

16

Muhammad Syaltut, Tafsir al-Qur’an karim pendekatan Syaktut Dalam Menggali

Esensi al-Qur’an, Seri 3 (Bandung: CV. Diponegoro, 1990), h.821.

33

ciptaan-ciptaan-Nya yang begitu sempurna dan semua itu tidaklah sia-sia karena

penciptaan segala sesuatu mempunyai maksud dan tujuan tertentu misalnya saja

dalam teori-teori sacral Tuhan Qur‘an surah al-Dzâriyât [51]: 56 disitu Tuhan

menerangkan dengan jelas tujuan penciptaan manusia dan jin. Pada kesempatan

ini akan dibahas dua jenis ciptaan Tuhan berdasarkan ruang lingkupnya yakni

alam besar (makrokosmos) dan alam kecil (mikrokosmos).17

C. Tafsir Ayat-ayat Kelestarian Alam

1. Tafsir Klasik

a. Tafsir Ibnu Katsir Surah al-Rûm ayat 41

ظهر الفساد ف الب ري والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ﴾﴿ ي رجعون

―Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena

perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka

sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan

yang benar).‖ (QS. Al-Rûm [30]: 41)

Ibn ‗Abbâs, ‗Ikrimah, al-Dahhak, al-Saddî serta lain-lainnya mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan istilah al-barr dalam ayat ini ialah padang sahara,

dan yang dimaksud dengan istilah bahr dalam ayat ini ialah kota-kota besar dan

semua kota lainnya.

Menurut riwayat lain dari Ibnu Abbas dan Ikrimah, al-bahr artinya negeri-

negeri dan kota-kota yang terletak di pinggir sungai.

Ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan al-barr ialah daratan

seperti yang kita kenal ini, dan yang dimaksud dengan al-bahr ialah lautan.

Zaid ibnu Rafi' mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Telah

tampak kerusakan. (al-Rûm [30]: 41) Yakni dengan terputusnya hujan yang tidak

17

34

menyirami bumi, akhirnya timbullah paceklik; sedangkan yang dimaksud dengan

al-bahr ialah hewan-hewan bumi. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan

oleh Ibnu Abu Hatim.

Ibn Abû Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad

Ibn ‗Abdullâh Ibn Yazid Ibn al-Muqri, dari Sufyân, dari Hamid ibn Qais Al-A'raj,

dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Telah tampak kerusakan di

darat dan di laut. (al-Rûm [30]: 41) Bahwa yang dimaksud dengan rusaknya

daratan ialah terbunuhnya banyak manusia, dan yang dimaksud dengan rusaknya

lautan ialah banyaknya perahu (kapal laut) yang dirampok.

Menurut Ata al-Khurrasânî, yang dimaksud dengan daratan ialah kota-kota

dan kampung-kampung yang ada padanya, dan yang dimaksud dengan lautan

ialah pulau-pulaunya.

Pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat dan didukung oleh

kebanyakan ulama, serta diperkuat oleh apa yang dikatakan oleh Muhammad ibnu

Ishaq di dalam kitab Sirah-nya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah

mengadakan perjanjian perdamaian dengan Raja Ailah dan

menetapkan jizyah atas bahr-nya, yakni negerinya.

Firman Allah Swt.:

...كسبت أيدي الناس ظهر الفساد ف الب ري والبحر با

―Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan

manusia.‖ (al-Rûm [30]: 41)

Yaitu dengan berkurangnya hasil tanam-tanaman dan buah-buahan karena

banyak perbuatan maksiat yang dikerjakan oleh para penghuninya.

35

Abul Aliyah mengatakan bahwa barang siapa yang berbuat durhaka

kepada Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena

terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu,

disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang

bunyinya:

لد ي قام ف األرض أحب إل أىلها من أن يطروا أربعني صباحا

―Sesungguhnya suatu hukuman had yang ditegakkan di bumi lebih disukai

oleh para penghuninya daripada mereka mendapat hujan selama empat

puluh hari.‖

Dikatakan demikian karena bila hukuman-hukuman had ditegakkan, maka

semua orang atau sebagian besar dari mereka atau banyak dari kalangan mereka

yang menahan diri dari perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang

diharamkan. Apabila perbuatan-perbuatan maksiat ditinggalkan, maka hal itu

menjadi penyebab turunnya berkah dari langit dan juga dari bumi.

Oleh sebab itulah kelak di akhir zaman bila Isa putra Maryam a.s.

diturunkan dari langit, ia langsung menerapkan hukum syariat yang suci ini

(syariat Islam), antara lain membunuh semua babi, semua salib ia pecahkan,

dan jizyah (upeti) ia hapuskan. Maka tidak diterima lagi upeti, melainkan Islam

atau perang.

Dan bila di masanya Allah telah membinasakan Dajjal beserta para

pengikutnya, juga Ya'juj dan Ma'juj telah dimusnahkan, maka dikatakan kepada

bumi, "Keluarkanlah semua berkah (kebaikan)mu!" Sehingga sebuah delima dapat

dimakan oleh sekelompok orang, dan kulitnya dapat mereka pakai untuk berteduh.

36

Hasil perahan seekor sapi perah dapat mencukupi kebutuhan minum sejumlah

orang. Hal itu tiada lain berkat dilaksanakannya syariat Nabi Muhammad Saw.

Manakala keadilan ditegakkan, maka berkah dan kebaikan akan banyak di dapat.

Karena itulah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui salah satu hadisnya

yang mengatakan,

واب جر والد إن الفاجر إذا مات تستيح منو العباد والبالد، والش"Apabila seorang pendurhaka mati, maka merasa gembiralah semua

hamba, negeri, pepohonan, dan hewan-hewan dengan kematiannya itu."

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad

dan al-Husain. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aûf, dari

Abû Mikhdam, bahwa pernah ada seorang lelaki di masa Ziad atau Ibnu Ziad

menemukan sebuah kantung berisikan biji-bijian, yakni biji jewawut yang

besarnya seperti biji buah kurma setiap bijinya, tertuliskan padanya kalimat

berikut, "Ini adalah hasil tanaman di suatu masa yang ditegakkan padanya prinsip

keadilan."

Malik telah meriwayatkan dari Zaid Ibn Aslam, bahwa yang dimaksud

dengan kerusakan dalam ayat ini ialah kemusyrikan, tetapi pendapat ini masih

perlu diteliti lagi.

Firman Allah Swt.:

...ليذيقهم ب عض الذي عملوا―Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan

mereka.‖ (al-Rûm [30]: 41)

37

Maksudnya, agar Allah menguji mereka dengan berkurangnya harta dan

jiwa serta hasil buah-buahan, sebagai suatu kehendak dari Allah buat mereka dan

sekaligus sebagai balasan bagi perbuatan mereka.

...لعلهم ي رجعون ―agar mereka kembali (ke jalan yang benar).‖ (al-Rûm [30]: 41)

Yakni agar mereka tidak lagi mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat,

sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

ييئات لعلهم ي رجعون ... ﴾﴿ وب لوناىم بالسنات والس―Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik

dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada

kebenaran).‖ (Al- A’râf : 168)18

b. Tafsîr Ibn Katsîr Surah al- A’râf [7] ayat 56

ن وال ت فسدوا ف األرض ب عد إصالحها وادعوه خوفا وطمعا إن رحت اللو قريب مي ﴾﴿ المحسنني

―Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah)

memperbaikinya dan berdoalah kepadanya rasa takut (tidak akan diterima)

dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat

kepada orang-orang yang berbuat baik.‖ (QS al- A’râf [7] : 56)

Penjelasan maksud ayat tersebut dalam tafsir Ibnu katsir adalah, ―Allah

Swt. melarang perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan hal-hal

yang membahayakan kelestariannya sesudah diperbaiki. Karena sesungguhnya

apabila segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kelestariannya, kemudian

18

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, tahqîq, Sâmî Muhammad al-Salâmah Katsîr,

Jilid 5 (Makkah: Dâr Ṯaibâh al-Nasyr wa al-Tauji, 1997), h. 429.

38

terjadilah pengerusakan padanya, hal tersebut akan membahayakan semua hamba

Allah. Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, dan memerintahkan

kepada mereka untuk menyembah-Nya dan berdoa kepada-Nya serta berendah

diri dan memohon belas kasihan-Nya.‖ Untuk itulah Allah Swt. Berfirman:

...وادعوه خوفا وطمعا...―dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan

harapan (akan dikabulkan).‖ (Al- A’râf [7]: 56)

Yakni dengan perasaan takut terhadap siksaan yang ada di sisi-Nya dan

penuh harap kepada pahala berlimpah yang ada di sisi-Nya. Kemudian dalam

firman selanjutnya disebutkan:

ن ... ...إن رحت اللو قريب مي―Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat

baik.‖ (al- A’râf [7]: 56)

Maksudnya, sesungguhnya rahmat Allah selalu mengincar orang-orang

yang berbuat kebaikan, yaitu mereka yang mengikuti perintah-perintah-Nya dan

menjauhi larangan-larangan-Nya. Seperti pengertian yang terdapat di dalam

firman-Nya:

ق ... ...ون ورحت وسعت كل شي فسأكتب ها للذين ي ت ―Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan

rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.‖ (al- A’râf [7]: 156)

Dalam ayat ini disebutkan qaribun dan tidak disebutkan qaribatun

mengingat di dalamnya (yakni lafaz rahmat) terkandung pengertian pahala atau

39

karena disandarkan kepada Allah, karena itu disebutkan qaribun minal

muhsinin (amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik).

Matr Al-Warraq pernah mengatakan, "Laksanakanlah janji Allah dengan

taat kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia telah menetapkan bahwa rahmat-Nya

amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."19

4. Tafsir Modern

Al-Qur‘an merupakan kitab petunjuk yang di dalamnya tidak hanya

berbicara tentang hal-hal yang bersifat metafisis-eskatologis, tetapi juga berbicara

tentang alam semesta yang dihuni oleh manusia dan makhluk lainnya. Alquran

memuat pedoman tentang bagaimana menyantuni alam semesta dan lingkungan

sekitarnya.20

Keberadaan alam dan seluruh isinya merupakan satu kesatuan yang tidak

bisa dipisahkan, semuanya saling terkait dan saling melengkapi. Kelangsungan

hidup satu unsur dalam alam semesta terkait dengan kelangsungan unsur lain.

Oleh karena itu perlu adanya hubungan harmonis antara manusia dan alam

sekitarnya. Manusia tidak hanya dituntut memberikan perhatian dan cintanya

kepada sesama manusia, namun juga kepada seluruh makhluk di alam raya ini.

Eksistensi gunung, laut, air dan tumbuh-tumbuhan yang merupakan bagian dari

alam raya harus dihormati, dengan menjaga dan memelihara kelestariannya.

Sebab kerusakan alam juga akan berakibat pada rusaknya kehidupan manusia itu

sendiri.

Dalam beberapa ayatnya, al-Qur‘an melarang segala bentuk perusakan

lingkungan dan eksploitasi alam secara berlebihan. Seperti; tidak berbuat

19

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, h. 429. 20

Uraian lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok

Alquran, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), 95-116.

40

kerusakan di bumi setelah adanya perbaikan (Hûd [11]: 85), memperhatikan

akibat yang diterima oleh umat-umat terdahulu yang melakukan perusakan di

bumi (al-A‘ràf [7]: 86), kerusakan di bumi sebagai akibat perbuatan manusia (al-

Rûm [30]: 41) dan menghindari sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan (al-

Baqarah [2]: 11-12). Sekalipun, alam diciptakan untuk manusia untuk

dimamfaatkan demi keberlangsungan hidup mereka, namun manusia dituntut

bersikap arif dalam mengelola alam, tidak berlebihan dan bertindak semena mena

dalam memamfaatkannya sehingga mengakibat kerusakan dan kehancuran.

Kerusakan lingkungan yang terjadi sedikit banyak disebabkan oleh sikap manusia

yang tidak menghargai lingkungan, akibat keserakahan manusia yang

mengeksploitasi alam lingkungannya secara membabi buta. Al-Qur‘an

menyebutkan dalam Surah al-Rûm [30]: 41.

ظهر الفساد ف الب ري والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ﴾﴿ ي رجعون

―Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena

perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka

sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan

yang benar).‖

Term fasâd bermakna ج و ر خ ن ع ي الش ال د ت ع ال (sesuatu yang keluar dari

keseimbangan). Hal ini menyangkut jiwa/rohani, badan/fisik, dan apa saja yang

menyimpang dari keseimbangan/yang semestinya.21

Dalam al-Qur‘an, bila term

21

al-Asfahânî, al-Mufradàt fî Garîbil-Qur'àn (Bayrût: Dàr-al-Ma‗rifah, t. th), h. 379.

Penggunaan term fasàd dalam al-Qur‘an memiliki banyak pengertian, yaitu: perilaku menyimpang

dan tidak bermanfaat al-Baqarah [2]: 11), ketidakteraturan/berantakan, al-Anbiyà' [21]: 22,

perilaku destruktif/merusak, al-Naml [27]: 34, menelantarkan atau tidak peduli, al-Baqarah [2]:

41

fasâd berbentuk masdar dan berdiri sendiri, maka menunjukkan kerusakan yang

bersifat hissi/fisik, seperti banjir, pencemaran udara, dan lain-lain; dan jika berupa

kata kerja (fi‘il) atau bentuk masdar namun sebelumnya ada kalimat fi‘il, maka

yang terbanyak adalah menunjukkan arti kerusakan yang bersifat non

fisik/ma‘nawi, seperti kafir, syirik, munafik, dan semisalnya.

Para mufassir menjelaskan bentuk-bentuk kerusakan di darat dan laut,

dengan tafsiran yang berbeda-beda, antara lain; al-Râzî, dalam Mafâtih al-Ghaib

menafsirkannya dengan banjir besar, musim paceklik, kekurangan air. Ibnu

‗Asyùr, at Tahrìr wa at-Tanwìr, menafsirkannya dengan kematian sia-sia,

kebakaran, kezaliman, perilaku-perilaku sesat. Al-Zamaksyâriî, dalam Tafsîr al-

Kasysyâf ‘an Haqâ'iq al-Tanzâl wa ‘Uyun al-Aqâwil, menafsirkannya dengan

Gagal panen dan krisis ekonomi.

Terjadinya kerusakan alam dan penyimpangan alam yang melahirkan

bencana disebabkan oleh perbuatan manusia, sebagaimana disebutkan dengan

redaksi yang sangat jelas (bimâ kasabat aidin-nâs). Meski begitu, redaksi tersebut

dipahami oleh sebagian ahli tafsir bukan hanya menunjukkan perilaku manusia

secara langsung dalam konteks kerusakan alam, seperti illegal loging, membuang

sampah secara sembarangan, membuang limbah industri tanpa memperhatikan

ekosistem, dan lain-lain, tetapi juga mengacu kepada perilaku non fisik, seperti

kemusyrikan, kemunafikan dan segala bentuk maksiat. Artinya, penyimpangan

akidah dan perilaku maksiat itulah yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan.

Hanya saja al-Ràziy memberikan penegasan bahwa kemusyrikan dan kekufuran di

220, kerusakan lingkungan al-Rùm [30]: 40. Term lain yang menunjukkan kerusakan lingkungan

adalah term ‗halaka’ dan ‗sa‘a‘. Hanya saja kedua kata ini tidak selalu menunjukkan makna

kerusakan lingkungan. Makna kerusakan lingkungan, hanya bisa ditemui dalam beberapa ayat

misalnya dalam al-Baqarah [2]: 205.

42

sini bukan hanya dalam tataran akidah tetapi perilaku, sehingga fasiq pun

dianggap sebagai syirik dalam konteks perbuatan bukan keyakinan.22

B. Living Qur’an

1. Pengertian Living Qur‘an

Studi Al-Qur‘an sebagai sebuah upaya sistematis terhadap hal-hal yang

terkait langsung atau tidak langsung dengan al-Qur‘an pada dasarnya sudah

dimulai sejak zaman Rasul. Hanya saja pada tahap awalnya semua cabang ‗ulûm

al-Qur‘ân dimulai dari praktek yang dilakukan generasi awal terhadap dan demi

al-Qur‘an, sebagai wujud penghargaan dan ketaatan pengabdian. Ilmu

Qirâ’at, rasm al-Qur‘ân, tafsîr al-Qur’ân, asbâb al-nuzûl, dan sebagainya dimulai

dari praktek generasi pertama al-Qur‘an (Islam). Baru pada era takwîn atau

formasi ilmu-ilmu keislaman pada abad berikutnya, praktek-praktek terkait

dengan al-Qur‘an ini disistematiskan dan dikodifikasikan, kemudian lahirlah

cabang-cabang ilmu al-Qur‘an. Terkait dengan lahirnya cabang-cabang ilmu al-

Qur‘an ini, ada satu hal yang perlu dicatat, yakni bahwa sebagian besar, kalau

tidak malah semuanya, berakar dari problem-problem tekstualitas al-Qur‘an.

Cabang-cabang ilmu al-Qur‘an ada yang terkonsentrasi pada aspek internal teks,

ada pula yang memusatkan perhatiannya pada aspek eksternalnya seperti asbâb

al-nuzûl, dan târîkh al-Qur’ân yang menyangkut penulisan, penghimpunan hingga

penerjemahannya. Sementara praktek-praktek tertentu yang berwujud penarikan

22

Fakhr al-Dîn al-Ràziî, Mafàtih al-Gaib, jilid 5 (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 387.

43

al-Qur‘an ke dalam kepentingan praksis dalam kehidupan umat di luar aspek

tekstualnya nampak tidak menarik perhatian para peminat studi Qur‘an klasik.23

Dengan kata lain, living Qur‘an yang sebenarnya bermula dari

fenomena Qur‘an in Everyday Life, yakni makna dan fungsi al-Qur‘an yang riil

dipahami dan dialami masyarakat muslim, belum menjadi objek studi bagi ilmu-

ilmu al-Qur‘an konvensional. Adapun bahwa fenomena ini sudah ada embrionya

sejak masa yang paling dini dalam sejarah Islam adalah benar adanya, tetapi bagi

dunia Muslim yang saat itu belum terkontaminasi oleh berbagai pendekatan ilmu

sosial yang notabene produk dunia Barat, dimensi sosio kultural yang

membayang-bayangi kehadiran al-Qur‘an tampak tidak mendapat porsi sebagai

objek studi.24

2. Sejarah Living Qur‘an

Di dalam artikel Al-Qur‘an Sebagai Fenomena Yang Hidup (Kajian Atas

Pemikiran Para Sarjana Al-Qur‘an, yang ditulis oleh Hamam Faizin, disebutkan

bahwa tahun 2005, beliau terlibat dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir

Hadis se-Indonesia (FKMTHI). Pada tahun itu FKMTHI mengadakan kongres

yang didahului dengan seminar. Tema seminar yang diusung adalah Living

Qur‘an: Al-Qur‘an dalam kehidupan sehari-hari. Hamam terlibat dalam

mendiskusikan tema tersebut dengan beberapa dosen. Salah satu dosen yang

gencar mengusung tema ini adalah Muhammad Mansyur dan Ahmad Rofiq.

23 Syahiron Samsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:

TH Press, 2007), h. 5-6.

24 Syahiron Samsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, h. 9.

44

Setelah berdiskusi dengan mereka Hamam sempat membuat sebuah artikel

dengan tujuan melempar tema tersebut ke publik dan akademika studi al-Qur‘an,

supaya mendapatkan respons. Artikel tersebut berjudul Living Qur‘an: Sebuah

Tawaran, yang dimuat di kolom Kajian Utan Kayu Harian Jawa Pos, 10 Januari

2005. Inti artikel ini adalah mengajak akademik untuk mengembangkan kajian al-

Qur‘an yang tidak melulu memperlakukan al-Qur‘an sebagai teks (canon), tetapi

juga mengkaji al-Qur‘an sebagai fenomena yang hidup dalam masyarakat seperti

cara masyarakat (awam) berinteraksi dengan al-Qur‘an, memperlakukan al-

Qur‘an sebagai sesuatu yang bernilai dengan sendirinya.25

Meskipun artikel Hamam Faizin ini masih relatif abstrak —karena masih

berupa tawaran—, semingu setelah itu, yakni 16 Januari 2005, Islah Gusmian

(alumni TH dan Dosen STAIN Surakarta, penulis buku Khasanah Tafsir

Indonesia) menanggapi artikel penulis pada kolom dan harian yang sama dengan

tajuk Al-Qur‘an dalam Pergumulan Muslim Indonesia. Dengan kerangka teoretik

dan pendekatan yang berbeda dengan yang saya pakai, Islah Gusmian

melihat Living Qur‘an dari sisi sosial budaya dan mengajukan beberapa wilayah

kajiannya: Pertama, visual teks al-Qur‘an (kaligrafi) yang diposisikan sebagai

suatu subjek yang menghasilkan potensi seni yang sangat berharga. Kedua, aspek

wujud material al-Qur‘an yang dijadikan medan arsitektural dengan

menuliskannya dalam ukuran yang besar. Ketiga, aspek aksentuasi grafis pada

susunan teks al-Qur‘an yang ditampilkan dalam bentuk puitis. Keempat, perajutan

seni suara dalam keutamaan membaca al-Qur‘an. Kelima, pelestarian orisinalitas

teks al-Qur‘an dalam tradisi tahfidz. Keenam, teks al-Qur‘an sebagai

25

Eddy Shri Ahimsa-Putra, ―The Living Al-Qur‘an: Beberapa Perspektif Antropologi‖,

Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 1, (Mei 2012): h. 236-237.

45

mantra, hizb, wirid, yang diyakini bisa menjadi sarana mengobati penyakit atau

membentuk kekuatan magis. Artikel Islah Gusmian lebih memberikan contoh

detail tentang objek-objek yang bisa dijadikan kajian dalam living qur‘an.

3. Defenisi Operasional Living Qur‘an

Sebenarnya gambaran secara umum bagaimana kaum muslimin merespon

terhadap kitab sucinya (al-Qur‘an) tergambar dengan jelas sejak zaman Rasulullah

dan para sahabatnya. Tradisi yang muncul adalah al-Qur‘an dijadikan obyek

hafalan (tahfiz), listening (sima`i), dan kajian tafsir di samping objek

pembelajaran (sosialisasi) ke berbagai daerah dalam bentuk ―majlis al-Qur‘an‖

sehingga al-Qur‘an telah tersimpan di ―dada‖ (sudur) para sahabat. Setelah umat

Islam berkembang dan mendiami di seluruh belahan dunia, respon mereka

terhadap al-Qur‘an semakin berkembang dan bervariatif, tak terkecuali oleh umat

Islam Indonesia. Menurut pengamatan penulis, masyarakat Indonesia khususnya

umat Islam sangat respek dan perhatian terhadap kitab sucinya, dari generasi ke

generasi dan berbagai kalangan kelompok keagamaan di semua tingkatan usia dan

etnis. Fenomena yang terlihat jelas, bisa kita ambil beberapa kegiatan yang

mencerminkan everyday life of the Qur‘an, sebagai berikut:

a. Al-Qur‘an dibaca secara rutin dan diajarkan di tempat-tempat ibadah (Masjid

dan Surau/Langgar/Mushalla), bahkan di rumah-rumah, sehingga menjadi acara

rutin everyday, apalagi di pesantren-pesantren menjadi bacaan wajib, terutama

selepas shalat maghrib. Khusus malam Jum`at yang dibaca adalah surah Yâsîn dan

kadang ditambah surah al-Wâqi`ah.

46

b. Al-Qur‘an senantiasa dihafalkan, baik secara utuh ataupun sebagiannya (1 juz

hingga 30 juz), meski ada juga yang hanya mehafal ayat-ayat dan surah tertentu

dalam juz ‗Amma untuk kepentingan bacaan dalam shalat dan acara-acara

tertentu.

c. Menjadikan potongan-potongan ayat satu ayat ataupun beberapa ayat tertentu

dikutip dan dijadikan hiasan dinding rumah, masjid, makam bahkan kain kisywah

ka‘bah (biasanya ayat Kursyî, al-Ikhlâs, al-Fâtihah dsb.) dalam bentuk kaligrafi

dan sekarang tertulis dalam ukiran-ukiran kayu, kulit binatang, dan lain-lain.

d. Living Qur‘an juga mengacu pada suatu masyarakat yang kehidupan sehari-

harinya menggunakan al-Qur‘an sebagai kitab acuannya. Mereka hidup dengan

mengikuti apa-apa yang diperintahkan al-Qur‘an dan menjauhi hal-hal yang

dilarang di dalamnya, sehingga masyarakat tersebut seperti ―al-Qur‘an yang

hidup‖, al-Qur‘an yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari mereka.26

26

Heddy Shri Ahimsa-Putra, ―The Living al-Qur‘an: Beberapa Perspektif Antropologi‖

Jurnal Walisong, (Vol. 20, I Mei 2012): h. 236-237

47

BAB III

PROFIL PESANTREN AGROEKOLOGIS BIHARUL ULUM

A. Sejarah dan Perkembangan Pesantren Agroekologi Biharul Ulum

30 September tahun 2014, pesantren yang dinamakan Biharul Ulum

diresmikan untuk pertama kalinya. Dengan karakteristik Pesantren yang

dinisbahkan sebagai pesantren Agro Ekologis, pesantren ini berkomitmen untuk

memadukan kegiatan agama dengan kegiatan pertanian serta komitmen menjaga

ekosistem. Pendirian pesantren ini adalah juga sebagai sebuah usaha untuk

memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat sekitar tentang reformasi agraria

dan ekologi.

Kampung Legok Kiara, Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten

Bogor, merupakan tempat dimana pesantren ini berada. Pemandangan indah nan

elok, udara sejuk yang senantiasa diselumuti kabut, menjadi ciri utama dari tempat

yang berada di atas ketinggian 600-1500 meter dari permukaan laut, yang mampu

membuat hati siapa pun terasa damai jika berada di tengah alam ini. Berdasarkan

data monografi desa tahun 2013, desa cisarua memiliki luas wilayah mencapai

1.411 Ha. Wilayah ini dihuni oleh 9.828 jiwa, yang terdiri dari 2.064 KK dengan

komposisi 5.138 laki-laki dan 4.603 perempuan yang tersebar di 32 kampung, 6

Rukun Warga (RW) dan 33 Rukun Tetangga (RT). 68,01% warga disini

berprofesi sebagai petani. Kemudian sebagian besar warga (75%)nya menempuh

pendidikan hanya sampai tingkat SD (Data desa Cisarua 2011).1

Keberadaan pesantren ini, tidak bisa dilepaskan dari latar belakang masyarakat

disana yang sudah puluhan tahun hidup berdampingan dengan sebuah perusahaan

1 Arsip Kegiatan Pesantren Agroekologis Biharul Ulum tahun 2016

48

tambang emas milik negara, yakni PT ANTAM. Menurut salah satu pendiri

sekaligus pimpinan Pesantrennya saat ini, Muallim Atim, latar belakang dari

berdirinya pesantren ini adalah didasari pada kondisi sosial dan ekologi di

kawasan Lereng Utara Pegunungan Halimun Utara ini. Krisis sosial, krisis

ekonomi, maupun krisis ekologi terjadi akibat dari praktik kebijakan pemerintah

sejak Orde Baru, terutama tentang kawasan konservasi (Taman Nasional), berupa,

masuknya PT ANTAM Tbk milik BUMN. dan pihak pengelola dari pihak swasta

yakni PT HAPINDO yang menguasai lahan produksi dengan skala besar sehingga

mengakibatkan banyaknya penduduk asli beralih profesi yang awalnya petani

menjadi penambang emas ilegal atau dalam istilah masyarakat setempat yakni

sebagai Gurandil.2

Masuknya PT Antam ini sedikit banyaknya juga merubah pola hidup dan

perilaku masyarakat yang kian lama menjadi kian materialistis. Banyak dari

mereka yang enggan melanjutkan sekolah lantaran menjadi penambang lebih

menjanjijakan secara penghasilan ketimbang melanjutkan belajar sampai

pendidikan tinggi. Sekolah kian diukur dari seberapa banyaknya materi/ekonomi

yang akan didapat si pendidik. Keinginan menambang tidak hanya datang dari si

pemuda/I secara langsung, namun ada juga yang datang atas perintah orang tua si

anak, mengingat penghasilan dari tambang lebih menjanjikan bagi kelangsungan

hidup sekeluarga. Perubahan pola pikir maupun pola hidup masyarakat tadi

diiringi juga dengan meningkatnya angka pernikahan dini, gaya hidup ke-kota-

kotaan yang negatif secara mentah diadopsi oleh masyarakat, yang kesemuanya

itu berkaitan dengan gaya hidup yang isntan.

2 Almuzani, Dakwah Transformatif Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam Upaya

Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara. (S1 Fakultas Dakwah dan

Komunikasi,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2018), h. 52.

49

Seluruh aktivitas pertambangan baik yang dilakukan oleh PT. Antam Tbk

atau pertambangan ilegal yang dilakukan sebagian masyarakat sangat berdampak

pada lingkungan, sebab dalam proses pengolahannya menggunakan zat kimia

berbahaya seperti Mercury (Hg), Cyanida (Cn), Soda Api (Kostik) yang mana

limbah hasil proses pengolahan emas tadi disadari atau tidak dibuang/dialiri ke

area pemukiman masyarakat melalui saluran air untuk dikonsumsi, area

persawahan seperti saluran irigasi, begitupun dengan tanah tempat atau sisa

galian, banyak meninggalkan lubang sehingga terjadi longsor, bahkan tidak jarang

aktivitas pertambangan kerap menelan korban jiwa, seperti yang terjadi pada 16

Februari 2017 lalu misalnya, beberapa penambang ada yang terkubur hidup-hidup

di dalam lobang galiannya.3

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, Mu’alim Atim Haetami

bersama sebagian masyarakat Desa Cisarua dan Lembaga Swadaya Masyarakat

setempat, mendirikan pesantren berkarakter Agroekologis. Upaya melakukan

transformasi sosial di daerah tersebut sudah dilakukan oleh Atim dan masyarakat

sejak 1990-an. Mualim Atim lahir pada tahun 1966, menyelesaikan pendidikan

dasar pada tahun 1980, sebelum berangkat mondok, 1980-1984 Atim

menggembala kerbau, baru pada tahun 1985 beliau melanjutkan pendidikannya ke

Leuwi Sadeng untuk ngaji di Pesantren Nurul Hidayah, kemudian pada tahun

1987 berangkat ke Sidamulya melanjutkan belajar di cabang Pesantren Nurul

Hidayah (Leuwi Sadeng) sampai 1988, lalu pulang dan mendirikan pesantren dan

Majlis Ta’lim Al-Mahfuziah.

3 Almuzani, Dakwah Transformatif Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam Upaya

Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara, h 53.

50

Tanah pesantren yang digunakan oleh Mualim Atim dan sebagian

masyarakat di Nanggung sebenarnya adalah tanah dari hasil perjuangan

masyarakat dalam melawan pengambilalihan tanah demi terwujudnya reformasi

agraria. Sejak berdirinya kelompok tani SEKARSARI pada tahun 2007 dan Atim

menjadi ketua kelompok tani tersebut, Atim dan masyarakat terus berjuang.

Kemudian pada tahun 2011 Mualim Atim bersama masyarakat Desa Cisarua

bergabung dengan organisasi masyarakat se-kecamatan Nanggung, AMANAT

(Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif) yang salah satu konsennya adalah

untuk memberikan payung hukum atas tanah terlantar eks HGU PT Hapindo yang

telah dikelola sekaligus diambil alih oleh sejumlah masyarakat Kecamatan

Nanggung Bogor dan Atim ditunjuk untuk menjadi koordinator kampung

(KORKAM). Termasuk tanah yang diatasnya berdiri pesantren agroekologi saat

ini, adalah hasil dari pendudukan tanah eks HGU PT Hapindo.

Menggunakan Pesantren sebagai salah satu medianya. Selain krisis sosial-

ekologis, landasan teologis adalah salah satu alasan Pesantren Agroekologi

Biharul Ulum dalam upaya pemulihan krisis sosial-ekologi di kawasan tersebut,

sebagaimana dikatakan Mualim Atim saat diwawancarai. Beliau mengatakan

sebagai agama Rahmatan lil ‘alamîn, islam adalah agama yang memerintahkan

umatnya untuk berfikir kritis dalam menyikapi realita kehidupan, sebagaimana

Allah berfirman dalam al-Qur’an:

ث ر يا أي ها ﴾١﴿ المد ﴾٢﴿ قم فأنذر

Artinya: 1. Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), 2. Bangunlah,

lalu berilah peringatan! (Q.S. al-Muddatsir [74]: 1-2)

51

الذي عملوا لعلهم ظهر الفساد ف الب ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض ﴾١١﴿ ي رجعون

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena

perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka

sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan

yang benar)”. (QS. al-Rûm [30]:41)

Berdasarkan ayat diatas, Mualim Atim mengatakan:

“kita itu disuruh membuka mata melihat ke segala arah terhadap realitas yang kita

hadapi, apabila kita menemukan suatu hal yang negatif maka tugas kita adalah

memberi peringatan serta melakukan tindakan terhadap persoalan tersebut”4

Di Pesantren ini, kajian kitabnya tidak jauh berbeda dengan Ponpes lain

pada umumnya, di sini kitab kuning juga menjadi kitab yang dikaji, ada juga

latihan ceramah, (Muhadharah). Namun terlepas dari itu semua, pesantren

agroekologi ini memilki fokus lain sesuai dengan namanya, yakni berupa

pembelajaran tentang pertanian dan pemahaman seputar ekologi, dengan

memberikan keterampilan kepada santri tentang bertani organik, yang bertujuan

agar para santri menjadi generasi petani muda, disamping juga harus memiliki

akhlak mulia dan kemampuan hidup bermandiri. Selain itu, harapannya juga

adalah agar para santri dapat menjadi contoh di masyarakatnya masing-masing

khususnya masyarakat sekitar lereng utara Halimun Bogor, agar mau kembali

berprofesi sebagai petani, sebagai suatu aktivitas produksi yang tidak memiliki

resiko tinggi (baik untuk pribadi maupun lingkungan sekitar) dan potensi merusak

4 Wawancara dengan Mualim Atim, Pimpinan Pondok Pesantren Agro-Ekologi Biharul

Ulum pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.45-22.30 WIB.

52

alam. Serta agar dapat merevitalisasi tradisi lokal yaitu peduli terhadap kelestarian

alam.5

B. Visi, Misi, Struktur dan Kegiatan Pondok Pesantren

1. Visi

Terciptanya lembaga pendidikan untuk santri dan seluruh masyarakat

sebagai pusat tafaqqahu fiddin berakhlakul karimah dan melahirkan Khoirul

ummah (umat terbaik)

2. Misi

a) Menyelenggarakan pendidikan, dan keislaman secara holistik dan komperehensif

bagi santri melalui kitab klasik maupun kontemporer;

b) Menciptakan dan mengembangkan kemandirian berfikir dan mengaplikasikan

ilmu pengetahuan dalam semua sisi kehidupan dengan tidak melupakan kearifan

lokal;

c) Mewujudkan lembaga pendidikan berbasis masyarakat dengan semangat

gotong royong dan belajar bersama.

3. Struktur Organisasi

Struktur kepengurusan Pesantren Agro-Ekologi Biharul Ulum adalah

sebagai berikut:

Pimpinan : Mu’alim M.Atim Haetami

Dewan Pesantren : Ustadz Eddy Shamsy

: Ustadz Dadang

: Ustadz Abdul Majid

: Bapak Adih

5 Wawancara dengan Mualim Atim, Pimpinan Pondok Pesantren Agro-Ekologi Biharul

Ulum pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.45-22.30 WIB.

53

: Bapak Amil Adang

: Noer Fauzi Rahman

: Yuslam Fikri Anshori

: Indra Agustiani

: Hendro Sangkoyo

Sekretaris : Pepen Supendi

Bendahara : Ili Agus Somantri

Dewan Guru : M. Atim Haetami

: Eddy Shamsy

: Ton Badawi Munir

: Siti Khodijah

Koordinator Santri : Abdul Manaf

4. Kegiatan Pondok Pesantren

Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan di Pesantren Agroekologi

Biharul Ulum menggunakan gaya yang demokratis, terbuka dan fleksibel. Gaya

pembelajaran ini dikembangkan karena menempatkan setiap santri dalam proses

pengajian sebagai subjek yang memiliki status dan hak yang setara.

Selain itu, gaya pengajaran ini juga memberikan perhatian kepada

keragaman gaya belajar santri yang adil dan setara dengan memperhatikan

kecenderungan yang kuat dari santri dalam aspek pendengaran (auditory),

penglihatan (visual), ataupun aspek gerak (kinestethic).

Dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut, maka Pesantren

Agroekologi Biharul Ulum menyelenggarakan beberapa materi dasar dalam

kegiatan pembelajarannya, yaitu: Pendidikan iman dan taqwa

54

a) Pendidikan moral dan akhlak

b) Pendidikan fisik dan psikologis

c) Pendidikan rasio dan penalaran

d) Pendidikan interaksi sosial atau kemasyarakatan

e) Pendidikan kewirausahaan

f) Pendidikan pertanian

g) Pemahaman tentang keseimbangan ekosistem (ekologis)

Kedelapan materi tersebut diaplikasikan dengan beberapa kegiatan, yaitu:

a) FGD (Focus Group Discussion) di internal pesantren dan bersama

masyarakat

b) Praktik ceramah

c) Praktik bertani

d) Keorganisasian

e) Tadabbur alam

Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren agroekologi juga beragam, diantaranya

adalah: Alfiyah, Jurûmiyah, ‘Awâmil, ‘Imrîṯî, Naẕm al-Maqsud, Ta’limuta’lim,

Akhlaku lilbanin, Fathulqoriib, Sullamuttaufiq, ‘Uqululjain, KifâyaH al-Ashab,

Riyâḏ al-Badi’ah, Fiqh al-Bi’ah, Tanqih al-Qoul.

C. Kerusakan Sosial-Ekologis di Kawasan Lereng Utara Gunung Halimun

Dari hasil observasi lapangan, kerusakan sosial-ekologis yang dialami

masyarakat di Kawasan Lereng Utara Gunung Halimun sebagai berikut:

a) Perubahan pola pikir masyarakat yang asalnya bertani dan berladang

menjadi pemburu emas, padahal pada kenyataannya berdasarkan fakta

yang terjadi di lapangan memburu emas memiliki resiko yang sangat besar

55

bahkan bisa membahayakan dirinya, sementara yang dihasilkan oleh

mereka tidak seberapa, bahkan di antara mereka banyak yang menumpuk

hutang akibat dari kepercayaan dirinya bahwa mencari emas itu hal yang

mudah.

b) Minimnya penguasaan atas tanah. Masyarakat kesulitan untuk bertani dan

berladang sehubungan sebagian besar tempat mereka diambil alih oleh

pemerintah dan diberikan kepada perusahaan BUMN maupun perusahaan

swasta untuk dijadikan lahan perkebunan, taman nasional dan

pertambangan. Saat ini mereka berharap tanah yang dulu mereka gunakan

untuk bertani dikembalikan lagi agar mereka bisa bertani kembali dan

meninggalkan kegiatan menambang.

c) Kemiskinan. Sejak dahulu, tepatnya sebelum masuknya perusahaan-

perusahaan tambang, 95% masyarakat yang tinggal di wilayah Desa

Cisarua, Malasari, Bantar Karet Kecamatan Nanggung merupakan

masyarakat petani. Mereka hidup rukun dengan menjunjung budaya turun

temurun, mereka bertani dengan menggarap lahan adat yang ada di sekitar

mereka, yang pada akhirnya diklaim sebagai Wilayah Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak. Sejak saat itulah masyarakat kesulitan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Secara ekonomi mereka sudah

kehilangan penghasilan dari hasil hutan dan pertanian yang biasa mereka

gunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Lahan milik masyarakat

tidak sebanding dengan luas lahan untuk memenuhi kebutuhan mereka,

bahkan yang terparah adalah tidak memiliki lahan garapan atau tanah

untuk bertani, mereka hanya memiliki tanah yang di atasnya berdiri

56

bangunan untuk mereka tinggali. Memang sebagian dari mereka yang giat

bekerja dengan menambang, mampu memenuhi kebutuhan keluarganya,

tetapi muncul masalah kemiskinan baru yang berhubungan dengan

masalah sosial yang terjadi, diantaranya:

1) Muncul budaya konsumtif di kalangan masyarakat yang

kehadirannya beringingan dengan semakin banyaknya barang-

dagangan yang tersedia di sekitar kawasan tambang;

2) Lunturnya etika kearifan lokal;

3) Pendidikan menjadi tidak penting, yang terpenting menggali emas

dan mendapatkan uang, sehingga banyak anak putus sekolah;

4) Kesehatan tubuh yang menurun sebagai dampak dari bahan kimia

yang digunakan untuk mengolah hasil tambang seperti mercury

(Hg), Cyanid (CN), Carbon, dan Soda Api (Kostik);

5) Pemukiman kumuh dengan sanitasi yang rendah.

d) Keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha yang terbatas. Di

daerah pedesaan selain bertani di sawah dan di ladang terkadang sulit

untuk mendapatkan pekerjaan lain, terlebih diiringi dengan latar belakang

pendidikan yang rendah dan skill yang tidak memadai. Memang sebagian

kecil masyarakat pedesaan memiliki kemampuan untuk berdagang namun

itu pun dengan modal seadanya. Sebab yang lebih menggiurkan bagi

mereka adalah mendapatkan emas walau ada dalam bayang-bayang

fatamorgana, karena sebenarnya mereka terjerumus ke dalam kemalasan

dan kemiskinan.6

6 Arsip kegiatan Pesantren Agroekologi Biharul Ulum tahun 2016

57

e) Terjadinya kerusakan alam dan lingkungan. Dampak dari pertambangan

membuat alam dan lingkungan di wilayah Lereng Utara Gunung Halimun

menjadi rusak. Ribuan hektar hutan menjadi gundul dan tandus, padahal

lahan tersebut merupakan lahan Taman Nasional yang seharusnya dijaga

dan dilestarikan.

f) Pencemaran lingkungan akibat limbah hasil pengolahan emas yang

mengalir ke sungai-sungai, ke sawah dan mencemari resapan air yang

mengairi sumur-sumur warga.

g) Terjadinya krisis air bersih. Membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan

air yang layak untuk dikonsumsi sehari-sehari. Untuk mendapatkan air

bersih dan layak, mereka harus mencari sumber air yang jauh dari tempat

pemukimannya hingga 3-16 km. Sebagai contoh, masyarakat Kampung

Parigi dan sekitarnya menarik air bersih dari Mata Air Cibitung yang

berjarak 3 km, itu pun tidak melayani seluruh warga. Menurut aparatur

pemerintah desa setempat, sedang direncanakan untuk menarik air bersih

dari aliran hulu sungai Cikocopok yang berjarak.

58

BAB IV

PEMAKNAAN PESANTREN AGROEKOLOGI BIHARUL ULUM

ATAS AYAT-AYAT KELESTARIAN ALAM

A. Aktivitas Pelestarian Alam di Pondok Pesantren dan Sekitarnya

Aktivitas pelestarian alam di pondok pesantren ini jelas berbeda dengan

aktivitas di pesantren-pesantren pada umumnya, selain karena pesantren ini secara

khusus menamai dirinya dengan pesantren agroekologis, sehingga seperti

disebutkan di atas bahwa bertani adalah aktivitas utama pesantren, juga karena

pesantren ini mengutamakan perspektif ekologis sebagai landasan utama. Selain

itu, latar belakang berdirinya pesantren ini, yakni kondisi krisis lingkungan dan

sosial seperti telah disebutkan di muka, menjadi landasan utama dari segala

kegiatan pelestarian alam yang dilakukan di pesantren. Diantaranya sebagai

berikut:

1. Pengajian Kitab-Kitab Klasik di Pesantren dan Lingkungan Masyarakat

Khususnya Ngaji Kitab Fiqh Bi’ah

Serupa dengan pesantren pada umumnya, pengajian kitab klasik

merupakan identitas bagi setiap pesantren, khususnya pesantren Salaf

(tradisional), seperti kitab fikih, tauhid, tasawuf, ilmu alat (nahwu dan sharaf)

tentunya berbagai macam kitab klasik dengan pengarang yang berbeda namun

tetap satu aliran atau madzhab. Meski terdapat banyak kesamaan dengan

pesantren pada umumnya, namun ada salah satu pengajian kitab yang menjadi ciri

khas bagi pesantren ini, yang jarang sekali diajarkan di pesantren pada umumnya,

yaitu pengajian kitab Fiqh al-Bi’ah (fikih lingkungan/ekologi). Kitab fikih ekologi

59

ini adalah hasil konsorsium dari perwakilan beberapa tokoh pondok pesantren

pada tahun 2003 silam, yang diselenggarakan di Lido Sukabumi Jawa Barat yang

kemudian dibukukan.

Cikal-bakal adanya kitab Fiqh Bi’ah tersebut ialah berangkat dari

keinginan untuk bersama-sama memikirkan upaya pengelolaan sumber daya alam

secara arif ditinjau dari agama islam. Indonesia Forest & Media Campaign

(INFORM) bekerjasama dengan P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan

Pendidikan Masyarakat) mengadakan pertemuan “Menggagas Fikih Lingkungan”

pada 9-12 Mei 2004. Pertemuan yang berlangsung di Hotel Lido Lakes,

Sukabumi, Jawa Barat ini dihadiri oleh 31 Kyai Pimpinan pondok pesantren yang

ada di Pulau Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.1

Selain sebagai wadah diskusi antara kalangan permerhati lingkungan,

pertemuan ini juga menjadi sarana bagi para ulama pesantren guna menggali dan

mengkaji aspek pelestarian alam dan lingkungan berdasarkan al-Qur‟an, hadis,

dan kitab-kitab ulama klasik (kitab kuning). Hasil dari kajian ini kemudian

dirumuskan dalam bentuk “Pernyataan Bersama Para Ulama Pesantren mengenai

Fikih Lingkungan” yang memuatu pernyataan sikap serta rekomendasi para ulama

terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi. Dengan demikian ulama dapat

menjadi pemeran utama dalam upaya pelestarian lingkungan hidup yang pada

akhirnya diharapkan dapat memberi perubahan mendasar bagi alam dan

lingkungan.

Sebagai contoh, penjelasan tentang lingkungan hidup yang disampaikan

oleh KH. Drs. Asyhari Abta (perwakilan dari Pondok Pesantren al-Munawwir,

1 KH. Asyhari Abta, Konsep Islam Tentang Pelestarian Lingkungan, dalam Ahsin Sakho

Muhammad, et al. (ed.), Fikih Ekologi (al-biah) (Jakarta, Conservation International:2006), cet-2.

H. 2.

60

Krapyak, Yogyakarta. Konsep Islam Tentang Pelestarian Lingkungan, dalam

Kitab Fiqh al-Bi’ah. Menurutnya, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruangan

dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya

manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan

kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Semua makhluk hidup

sebenarnya bertempat tinggal didalam suatu lingkungan yang semuanya

merupakan struktur dasar ekosistem.2

Kemudian dalam sudut lingkungan hidup, pokok perhatian dewasa ini

berkisar pada beberapa aspek yang dirasakan sebagai tekanan krisis yang

membahayakan kelangsungan hidup manusia khususnya manusia Indonesia.

Komersialisasi berbagai sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang

banyak yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.

Berbagai eksploitasi terhadap waduk, mata air, dan tanah-tanah adat yang

mengandung tambang yang kemudian dikuasi oleh perusahaan, baik dalam negeri

maupun asing, telah mengakibatkan langkanya sumber daya air dan rusaknya

sumber daya alam Indonesia serta menyengsarakan rakyat sekitarnya.3

2. Pembangunan Manusia Melalui Penyadaran Kritis Masyarakat

Upaya yang dilakukan pesantren agroekologis untuk membangun sebuah

masyarakat yang kritis, peduli terhadap lingkungan dan tidak instan atau

materialistis dalam memandang hidup, agar bersama-sama masyarakat membuka

mata dan pikiran serta berpijak pada pengembalian kesadaran sesuai fitrahnya

yaitu untuk memanusia manusia (humanisasi) dan menjaga kelestarian alam

2 Ahsin Sakho Muhammad, et al. (ed.), Fikih Ekologi (al-biah) (Jakarta, Conservation

International:2006), cet-2. H. 76 3 Ahsin Sakho Muhammad, et al. (ed.), Fikih Ekologi (al-biah) (Jakarta, Conservation

International:2006), cet-2. H. 76

61

sebagai rumah tempat tinggalnya bergantung, pesantren menyusun langkah belajar

agar santri dan masyarakat mampu membaca fenomena yang ada dan terjadi di

sekitar ruang hidup bentang alam Lereng Utara Gunung Halimun, secara cerdas,

teliti dan tetap kritis. Sehingga dengan kemampuan membaca realitas tersebut,

masyarakat mampu menemukan relasi-relasi permasalahan krisis sosial ekologis

yang berdampak pada rerantai hidup berkelanjutan mereka.

Langkah-langkah yang dilakukan pesantren adalah mewarga4, dimana

setiap langkahnya menjadi daya dan upaya bersama untuk menyelesaikan setiap

permasalahan maupun solusi penanganannya. Konsep mewarga sebetulnya sama

dengan konsep Pendidikan Orang Dewasa (POD)5, dimana masyarakat belajar

menemukan berdasarkan pengalaman, memetakan, memutuskan, melakukan dan

mengevaluasi setiap kondisi sosial-ekologis serta lingkungan sekitar.

Konsep mewarga dijalankan untuk menelusuri isu-isu sosial-ekologis

berdasarkan pengalaman yang sudah atau yang sedang berlangsung di masyarakat,

sehingga mampu memetakan kondisi yang ada dan memutuskan suatu tindakan

yang bisa dilakukan bersama oleh pesantren dan masyarakat, sesuai cita-cita dan

tujuan awal didirikannya pesantren ini, yakni terciptanya alam dan lingkungan

yang harmonis dan lestari, baik antara hubungan sesama manusia maupun

hubungan manusia dengan alamnya.

3. Membentuk Kader Inti Pesantren untuk Menjaga Alam dan Masyarakat

Dari Kerusakan

4 Istilah “mewarga” merupakan bahasa politik Pesantren Agroekologis Biharul Ulum

dalam menyikapi masalah krisis sosial ekologis di kawasan Halimun Utara Bogor, dengan

mewarga, masyarakat diharapkan agar sadar betul akan identitas dirinya sebagai warga yang

berbudaya luhur serta menjaga kebersamaan dan berani mengambil andil dan tanggung jawab

dalam menyikapi setiap permasalahan yang terjadi di lingkungannya. 5 Lihat, Mansor Fakih et, al, PENDIDIKAN POPULAR Membangung Kesadaran Kritis,

cet. 4 (Yogyarakta: INSISTPress), h. X.

62

Untuk mewujudkan cita-cita bersama antar pesantren dan masyarakat

dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan menjaga alam tetap lestari, pesantren

membentuk kader inti yang biasanya didapati dari para pemuda, baik yang

awalnya adalah penambang liar maupun yang sudah putus sekolah. agar

melanjutkan pendidikannya sekaligus tinggal di pesantren (menjadi santri /

ngobong). Setelah mereka nyantri kemudian dibimbing secara perlahan agat aktif

di pesantren kemudia ikut membantu pesantren dalam mendampingi masyakat

dalam melaksanakan program-program yang telah dibuat seperti membuat

perkarangan, peternakan, pengajian umum yang sifatnya ‘ubudiyah atau fokus

pada isu-isu sosial-ekologis. Hal ini dilakukan pesantren dalam rangka

membentuk sumber daya manusia (SDM) yang sadar akan fitrahnya sebagai

pemimpin (khalifah) di muka bumi ini yang bertanggung jawab atas karunia yang

telah diberikan Allah SWT.

4. Bersama Masyarakat Membuat Ulu-Ulu (Sanitasi Air Bersih)

Dalam menjawab permasalahan krisis air bersih, akibat dari pencemaran

lingkungan oleh aktivitas pertambangan, pesantren bersama masyarakat setempat

membuat sarana air bersih. Pembuatan ulu-ulu ini, selain sebagai jawaban atas

kebutuhan air bersih, juga sebagai media penyambung silaturahmi antar

masyarakat. Tali silaturahmi yang sempat terputus semenjak aktivitas menambang

emas dijadikan sebagai sumber utama penyambung hidup, kini semenjak ada

aktivitas pembuatan sarana air bersih, dimana struktur pengurus ulu-ulunya

berasal dari masyarakat itu sendiri, berkoordinasi dengan pesantren, tali

silaturahmi itu terajut kembali.

63

Selain sebagai solusi dan salah satu media pemersatu masyarakat,

pembuatan sarana air bersih juga menjadi bagian strategi pesantren untuk

meyakinkan masyarakat bahwa keberadaan pesantren adalah benar-benar untuk

mengatasi masalah krisis sosial ekologis di kawasan tersebut. Sehingga jika ada

undangan dari pesantren, masyarakat lebih percaya diri oleh karenanya lebih

banyak yang hadir, karena merasa bahwa pesantren juga mewakili

kepentingannya sehari-hari.

5. Memberikan Pendidikan Pertanian Organik

Pendidikan bertani secara organik adalah salah satu cara pesantren untuk

melatih santrinya agar memiliki keterampilan sekaligus untuk bekal setelah selesai

dari pesantren. Selain keterampilan, bertani secara organik juga adalah bagian dari

alat perlawanan pesantren dan masyarakat terhadap krisis yang sedang dialami.

Sebab dengan bertani secara organik, kualitas hasil pertanian jauh lebih sehat

ketimbang hasil pertanian yang menggunakan bahan kimia, lalu kesuburan tanah

yang berkurang akibat penggunaan bahan-bahan kimia sebelumnya, dapat menjadi

subur kembali, sekaligus menjaga keseimbangan rantai makanan sebab selain

membuat tanah menjadi tandus, pupuk dan bahan pertanian yang menggunakan

kimia dapat mengurangi populasi biota kecil yang berfungsi sebagai penggembur

tanah seperti cacing dan sejenisnya, oleh sebab itu, bertani secara organik adalah

pilihan, ditambah bertani secara organik adalah merupakan budaya masyarakat

Lereng Pegunungan Halimun Utara yang semakin hari semakin berkurang

jumlahnya karena perubahan zaman, sebab menambang emas atau merantau ke

kota dengan menjadi kuli bangunan atau menjadi asisten rumah tangga di kota

sudah lama menjadi kebiasaan masyarakat Lereng Pegunungan Halimun Utara.

64

6. Mendayagunakan Lahan Terlantar PERHUTANI Bersama Masyarakat

Dari sekian banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pesantren

Agroekologis Biharul „Ulum dalam rangka melestarikan kembali alam di

Kawasan Pegunungan Halimun Utara Bogor, pesantren bersama masyarakat

menduduki (baca: mendayagunakan) tanah terlantar milik pemerintah yakni

PERHUTANI yang sudah habis masa kontraknya setelah disewa oleh PT.

Hapindo. Tanah HGU perusahaan yang telah habis masa kontraknya itu kini

digunakan oleh pesantren dan masyarakat untuk bertani, memelihara kembali

kebiasaan bertani serta menjaga alam agar tetap lestari, ketimbang dipakai untuk

menambang.

7. Menjalin Relasi dengan Kelompok/Institusi atau Individu yang Satu Visi

dengan Pesantren dan Masyarakat

Dalam rangka mewujudkan kembali generasi yang telah hilang, dan

mengembalikan kelestarian alam yang asri di Kawasan Pegunungan Halimun,

pihak pesantren mempersilahkan bagi setiap kelompok atau siapa saja yang

merasa memiliki visi yang sama dengan pesantren untuk turut membantu (baik

materil atau nonmateril). Contohnya, saat pemasangan Ulu-ulu atau sanitasi air

bersih, beberapa orang alumni dari ITB angkatan 74 memberi bantuan berupa

Pipa Air. Lalu ada juga dari kalangan LSM Jaringan Advokasi Tambang

(JATAM), dan SAINS (Sajogyo Institute) Bogor.

65

B. Pemaknaan Warga Pesantren Biharul Ulum atas Surat ar-Rum ayat 41 dan

Surat al-A’raf 56

Allah SWT. berfirman dalam al-Qur‟an

ظهر الفساد ف الب ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ﴾١﴿ ي رجعون

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena

perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka

sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan

yang benar).” (QS. al-Rûm [30]:41)

Dalam lintasan tafsir klasik, kata fasad dalam ayat di atas cenderung

ditafsirkan sebagai kerusakan yang berkaitan dengan perbuatan syirik,

pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah.6 Hal ini

disebabkan, pada saat itu belum terjadi kerusakan lingkungan seperti sekarang,

sehingga fasad (kerusakan) dimaknai sebagai kerusakan sosial dan kerusakan

spiritual semata.

Sedikit berbeda dari kedua tafsir di atas, Quraish Shihab memaknai fasad

sebagai kerusakan alam yang akan menimbulkan penderitaan kepada manusia.7 Di

dalam salah satu karya fenomenalnya, Tafsir al-Misbah, dijelaskan bahwa

terjadinya kerusakan merupakan akibat dari dosa dan pelanggaran yang dilakukan

oleh manusia, sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat dan di

laut.8

6 Ahmad Suhendera, Menelisik Ekologis dalam al-Qur‟an, ESENSIA , Vol. XIV No. 1, h.

70. 7 Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan, h. 20-21

8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 78

66

Muallim Atim, Pimpinan pondok pesantren menyebut surat al-Rum

sebagai ayat yang harus diingat dan dipelajari untuk mengingatkan kita pada

kelestarian alam, beliau mengatakan:

“sebagai orang islam, kita punya pedoman dalam menyikapi setiap

masalah yang ada termasuk soal lingkungan hidup, baik itu alam atau manusianya

sendiri, sudah ada itu dipesankan dalam al-Qur‟an misalnya surat al-A‟raf ayat

56, terus ada juga yang di surat al-Rum ayat 41, ya tinggal kita pelajari dan

mengamalkannya”9

Senada dengan pimpinan pondok, Eddy Shamsi selaku penggerak awal

bersama Mu‟allim Atim dalam gerakan pesantren agro-ekologi yang juga

menjabat sebagai Dewan Pesantren Agroekologi Biharul Ulum Bogor

mengatakan:

“landasan dibangunnya gerakan pesantren ini karena persoalan yang ada di

tengah masyarakat, pertama persoalan aqidah, kedua persoalan kebodohan,

persoalan kemiskinan, pendidikan, dan ada masalah lingkungan, dan itu semua

bertautan ketika pedesaan, lebih banyaknya persoalan-persoalan itu lebih jelas di

pedasaan ini sebagai masyarakat marginal, tidak diperhatikan dari segi

pendidikan. Kita belajar disini itu yang paling utama membangun kesadaran

bersama, karena kesadaran bersama ini sangat penting, membangun kesadaran

hidup bersama, dan juga memang landasan tentang dalil, yaitu yang pertama

disebutkan, dan dalilnya itu ada beberapa, baik dari al-Qur‟an, kalau landasan

lingkungannya itu ya ayat al-Qur‟an itu, surat al-Rum dan nyambungnya itu ayat

yang lainnya, walâ tufsidû Fî al-Arḏ ba’da Islâhihâ, sama Ẕahara al-Fasâd fl al-

9 Wawancara bersama Edhi Shamsi salah satu pengurus Pondok Pesantren Agroekologi

Biharul Ulum Bogor

67

Barri wa al-Bahri bimâ kasabat aydî al-Nâs, itu salah satu dalil kenapa pesantren

ini ada”10

Pondok pesantren agro-ekologi, sebagaimana nama dan karakternya,

memiliki fokus lain yaitu berupa pembelajaran tentang pertanian dan pemahaman

seputar ekologi, dengan memberikan keterampilan kepada santri tentang bertani

organik, yang bertujuan agar para santri memiliki akhlak mulia dan memiliki

kemampuan hidup mandiri, sekaligus menciptakan generasi petani muda dan

dengan harapan menjadi contoh bagi masyarakat sekitar lereng utara pegunungan

halimun utara khususnya untuk kembali mau beralih profesi yang tidak memiliki

resiko tinggi (baik untuk pribadi maupun lingkungan sekitar) dan tidak potensi

merusak alam, serta agar dapat merevitalisasi tradisi lokal yaitu peduli terhadap

kelestarian alam.11

“jangan heran kalau bencana sering terjadi, banyak orang hidupnya susah

dan tidak sehat, ya inilah akibat manusia tidak mau memperlakukan alam dengan

baik, otomatis alam juga gak mau memberikan yang baik, makanya kita perlu

banyak belajar ayat-ayat Allah, baik yang tersurat maupun yang tersirat”

Penyumbang krisis sosial ekologis di kawasan Pegunungan Halimun Utara

tersebut ternyata tidak hanya dari praktek pertambangan oleh masyarakat saja,

justru sebagian besar adalah yang dilakukan perusahaan milik pemerintah PT.

ANTAM, Tbk (Aneka Tambang), yang melakukan penambangan di kawasan

tersebut sejak tahun 1997 hingga sekarang sekaligus menjadi sumber inspsirasi

utama masyarakat untuk menambang.

10

Wawancara bersama Edhi Shamsi salah satu pengurus Pondok Pesantren Agroekologi

Biharul Ulum Bogor 11

Wawancara Al-Muzani bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren

Agroekologi Biharul Ulum Bogor pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.45-22.30 WIB.

68

“sebelum PT. ANTAM datang masyarakat disini sumber pendapatan

ekonominya bertani, berternak kambing dan memelihara ikan. Jadi yang ngajarin

masyarakat menambang itu ya PT. ANTAM itu”12

Berdasarkan kondisi krisis yang terjadi di kawasan tersebut maka

Pesantren Agroekologis Biharul Ulum melakukan berbagai macam upaya untuk

menanggulangi permasalahan-permasalahan yang saat ini sedang dialami oleh

alam dan masyarakat sekitar Pegunungan Halimun Utara Bogor.

Mua‟llim Atim, beranggapan bahwa saat ini, tidak banyak para muballigh

atau para ustadz yang mau terjun langsung ke masyarakat dan bersama

masyarakat mengatasi berbagai permasalahan yang dialami. Menurutnya,

masyarakat harus dibangkitkan kembali semangat gotong royongnya yang telah

hilang. Oleh karena itu, bersama sebagian masyarakat desa yang punya visi yang

sama, ia mendirikan pondok pesantren yang bertujuan untuk dijadikan pusat

kegiatan ataupun wadah aspirasi masyarakat agar berguna untuk membangkitkan

semangat gotong royong dan turut serta berperan aktif dalam pembentukan mental

generasi penerus agar peduli terhadap tanah kelahirannya.

Seirama dengan pimpinan pondok pesantren, Kang Eddy Shamsi

berpendapat:

“bahwa pesantren ini mengajarkan ilmu kembali bukan ilmu pergi, sebab

melihat kebiasaan dewasa ini banyak dijumpai di banyak tempat terutama di

pedesaan, pemuda desa yang belajar keluar desa atau merantau melanjutkan

pendidikannya, enggan untuk “kembali”, kembali disini dengan artian mau benar-

12

Wawancara bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren Agroekologi Biharul

Ulum Bogor

69

benar peduli dan terlibat langsung untuk mengatasi permasalahan di tanah

kelahirannya”13

C. Analisis Hubungan antara Visi, Misi, dengan Program Kegiatan Pondok

Pesantren

Sebelumnya, telah dipaparkan dan diperlihatkan berdasarkan hasil

observasi tentang bagaimana pesantren memadukan kegiatan ekologis yang

berdasarkan perintah al-Qur‟an dengan kegiatan sehari-hari pesantren, kegiatan-

kegiatan tersebut yakni, Pengajian Kitab-Kitab Klasik di Pesantren dan

Lingkungan Masyarakat Khususnya Ngaji Kitab Fikih Bi‟ah, Pembangunan

Manusia Melalui Penyadaran Kritis Masyarakat, Membentuk Kader Inti Pesantren

untuk Menjaga Alam dan Masyarakat Dari Kerusakan, Bersama Masyarakat

Membuat Ulu-Ulu (Sanitasi Air Bersih), Memberikan Pendidikan Pertanian

Organik, Mendayagunakan Lahan Terlantar PERHUTANI Bersama Masyarakat,

Menjalin Relasi dengan Kelompok/Institusi atau Individu yang Satu Visi dengan

Pesantren dan Masyarakat.

Pertama, terkait pengajian Kitab Fikih al-Bi‟ah, kitab fikih ekologi ini

adalah hasil konsorsium dari perwakilan beberapa tokoh pondok pesantren pada

tahun 2003 silam, yang diselenggarakan di Lido Sukabumi Jawa Barat yang

kemudian dibukukan. Cikal-bakal adanya kitab Fikih Bi‟ah tersebut ialah

berangkat dari keinginan untuk bersama-sama memikirkan upaya pengelolaan

sumber daya alam secara arif ditinjau dari agama islam. Indonesia Forest & Media

Campaign (INFORM) bekerjasama dengan P4M (Pusat Pengkajian

Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat) mengadakan pertemuan “Menggagas

13

Wawancara bersama Edhi Shamsi salah satu pengurus Pondok Pesantren Agroekologi

Biharul Ulum Bogor

70

Fikih Lingkungan” pada 9-12 Mei 2004. Pertemuan yang berlangsung di Hotel

Lido Lakes, Sukabumi, Jawa Barat ini dihadiri oleh 31 Kyai Pimpinan pondok

pesantren yang ada di Pulau Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan dan

Sulawesi.14

Berangkat dari keresahan para ulama yang menyaksikan pengelolaan

sumber daya alam dengan sangat tidak bijak, sehingga malah memunculkan

masalah kerusakan lingkungan yang dampaknya jauh lebih berbahaya ketimbang

kepentingan ekonomis semata, para ulama yang hadir pada konferensi tersebut

merumuskan berbagai macam konsep khususnya terkait manusia dengan tugasnya

sebagai khalifah fil ard. Komersialisasi sumber daya alam yang menyangkut hajat

hidup orang banyak, yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk

kesejahteraan rakyat, seperti eksploitasi terhadap waduk, mata air, dan tanah-

tanah adat yang mengandung tambang yang kemudian dikuasai oleh perusahaan,

baik dalam negeri maupun asing, telah mengakibatkan langkanya sumber daya air

dan rusaknya sumber daya alam serta menyengsarakan rakyat sekitarnya.15

Sebagaimana pandangan yang dikemukakan oleh para ulama yang hadir dan

merumuskan Fikih Bi‟ah.

Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk

merawat ikut memelihara, dan melestarikan berbagai fasilitas alam yang telah

disediakan Allah untuk manusia. Memang Allah telah membolehkan manusia

untuk menggunakan semua sumber daya alam yang tersedia untuk menggunakan

14

KH. Asyhari Abta, Konsep Islam Tentang Pelestarian Lingkungan, dalam Ahsin Sakho

Muhammad, et al. (ed.), Fikih Ekologi (al-biah) (Jakarta, Conservation International:2006), cet-2.

H. 2. 15

K.H. Asyhari Abta, Konsep Islam tentang Pelestarian Lingkungan, dalam Ahsin Sakho

Muhammad, et al. (ed.), Fiqh Ekologi (al-Biah) (Jakarta, Conservation International: 2006), cet-2.

Hal. 76.

71

seluruh sumber ini sebagai sumber rezeki bagi manusia dan seluruh makhluk

hidup yang ada di atasnya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an:

بي وما من دآبة ف األرض إال على اللو رزق ها وي علم مست ق ﴾٦﴿ رىا ومست ودعها كل ف كتاب م

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah

yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu

dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata

(Lauh mahfuzh).” (QS. HUD [11]: 6)16

Pada prinsipnya, menurut Eddy Samsi, beliau adalah pengurus pondok,

menyatakan bahwa fikih agraria mengajarkan tentang bagaimana mengelola

lahan, mengatur tata batas lahan, pola produksi dan pola konsumsi untuk

kedaulatan pangan sesuai dengan syariat Islam. Kang Eddy dengan lugas

menyatakan bahwa pesantren yang ia kelola berparadigma Agro-Ekologis.

Artinya, berbicara tentang ekologi tak terlepas dari persoalan lingkungan yang

terjadi di kawasan penambangan emas dan sebagai upaya dalam pembalikan

krisis.

Kedua, program pembangunan manusia melalui penyadaran kritis

masyarakat. Program yang dijalankan oleh pesantren dalam upaya membangun

kesadaran kritis masyarakat merupakan sebuah upaya yang bisa disebut sebagai

dakwah transformatif. Sejalan dengan apa yang didefinisikan oleh Quraish Shihab

bahwa dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah

16

K.H. Asyhari Abta, Konsep Islam tentang Pelestarian Lingkungan, dalam Ahsin Sakho

Muhammad, et al. (ed.), Fiqh Ekologi (al-Biah). Hal. 77.

72

situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik pribadi maupun

masyarakat.17

Program pembangunan manusia melalui penyadaran kritis masyarakat,

adalah suatu upaya untuk merubah situasi yang tadinya rusak atau jauh dari nilai-

nilai al-Qur‟an menjadi situasi yang lebih baik dan sejalan dengan nilai-nilai al-

Qur‟an. Seruan untuk berdakwah dan menyampaikan apa yang benar menurut

ajaran islam sudah disampaikan dalam al-Qur‟an diantaranya:

يول ب ي المرء يا أي ها الذين آمنوا استجيبوا للو وللرسول إذا دعاكم لما يييكم واعلموا أن اللو ﴾١﴿ نو إليو تشرون وق لبو وأ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan

seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi

kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah

membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah

kamu akan dikumpulkan” (QS. al- Anfal [8]:24)

ي لو عليهم آياتو وي زك ن أنفسهم ي ت هم وي علمهم لقد من اللو على المؤمني إذ ب عث فيهم رسوال مبي الكتاب والكمة وإن كانوا من ق بل لفي ضالل ﴾٦١﴿ م

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang

beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari

golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat

Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al

Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,

mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. alî ‘Imrân

[3]: 164)

دونو مكتوبا ي الذي ي يل يأمرىم بالمعروف الذين ي تبعون الرسول النب األم وراة واإلن عندىم ف الت هم إصرىم ل لم الطيبات ويرم عليهم البآئث ويضع عن هاىم عن المنكر وي واألغالل الت وي ن

بو وعزروه ونصروه وات ب عوا النور الذي أنزل معو أولئك ىم كانت عليهم فالذين آمنوا ﴾٥٧﴿ المفلحون

17

Edi Amin, “Pemikiran Dakwah Bediuzzaman Said Nursi”, Jurnal Kajian Dakwah dan

Kemasyarakan, Vol. 21, No, 1 (2017): h. 7.

73

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang

(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi

mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang

mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka

segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan

membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada

pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya.

memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang

diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang

beruntung.” (QS. al-A’râf [30]: 157)

Ketiga, terkait program memberikan pendidikan pertanian organik dan

pendayagunaan lahan terlantar perhutani bersama masyarakat. Sebagaiman

dipaparkan di bab sebelumnya, bahwa Pesantren Agroekologis Biharul Ulum

Bogor berdiri di atas tanah HGU PT. Antam TBK. Pendirian pesantren ini tidak

lain adalah untuk mengamalkan apa yang dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa bumi

ini disediakan oleh Allah untuk manusia mengais rezeki agar tetap mampu secara

jasmani maupun rohani dalam menjalankan ibadah yang sudah ditetapkan Allah

dan RasulNya, dengan tanpa merusak bumi itu sendiri.

Dengan berdirinya PT. ANTAM, sebagian masyarakat yang sebelumnya

bertani menjadi tidak bertani lagi, lantaran tanah yang harusnya digunakan untuk

lahan pertanian telah dialihfungsikan menjadi pertambangan. Hal ini dijelaskan

oleh pimpinan pesantren Pak Muallim Hatim Haetami,

74

“masyarakat disini kalau bertani kan tanahnya ga ada, kalaupun ada posisi

tanahnya sangat terjal, makanya kita manfaatin aja lahan yang terlantar punya

pemerintah, soalnya tujuan pemerintah kan untuk melindungi hutan dan satwa

yang terancam punah seperti macan tutul, dan elang jawa, masa hewan aja yang

dilindungi tapi manusia sebagai warganya gak dilindungin?, makanya waktu itu

kita duduki aja tanah Taman Nasional yang dikontrak sama PT. Hapindo,

kebetulan kontraknya juga udah habis.”18

Apa yang dilakukan oleh pesantren dan

warga, senada dengan yang dipaparkan dalam Kitab Suci al-Qur‟an.

ا تشكرون ناكم ف األرض وجعلنا لكم فيها معايش قليال م ﴾﴿ ولقد مك

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi

dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat

sedikitlah kamu bersyukur” (Q.S. al-A’Râf [7]: 10).

ماء ماء فأخرج بو من الثمرات ماء بناء وأنزل من الس رزقا لكم الذي جعل لكم األرض فراشا والس ﴾﴿ فال تعلوا للو أندادا وأنتم ت علمون

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit

sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia

menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki

untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi

Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 22)

ماء فسواىن سبع ساوات يعا ث است وى إل الس ا ف األرض ج وىو بكل ىو الذي خلق لكم م ﴾٢﴿ شيء عليم

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan

Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.

Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 29)

18

Wawancara bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren Agroekologi Biharul

Ulum Bogor

75

ماء ماء فأخرجنا بو ن بات كل شيء فأخرجنا منو خضرا نرج منو ح وىو با الذي أنزل من السان مش ن أعناب والزي تون والرم وان دانية وجنات م ت راكبا ومن النخل من طلعها قن ر متشابو ت م بها وغي

﴾٢٢﴿ انظروا إل ثره إذا أثر وي نعو إن ف ذلكم آليات لقوم ي ؤمنون “Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan

dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari

tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari

tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma

mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan

(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak

serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan

(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian

itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”

(QS. al-An’âm [6]: 99)

Jelaslah disini bahwa, Allah SWT. ingin agar manusia memanfaatkan

bumi sebaik-baiknya melalui bertani dan melakukan segala hal yang manfaat dan

tidak merusak bumi seperti aktivitas pertambangan yang jelas sekali memiliki

dampak yang merusak. Padahal, Allah swt bekali-kali mengancam manusia yang

merusak alam, seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 60, QS. al-A’râf [7]: 56 dan 85,

QS. Al-Qassas [28]: 88, QS. al-Syu’arâ [26]: 183. Tindakan merusak alam

merupakan bentuk kezaliman dan kebodohan manusia. Semua perbuatan manusia

yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan

kemungkaran. Maka, setiap insan, baik secara individu maupun kelompok, yang

melihat tindakan tersebut, maka wajib menghentikannya melalui segala cara yang

mungkin dan dibenarkan.

76

D. Relevansi Program Kegiatan Pelestarian Alam di Pesantren Agroekologis

dengan Wacana Kelestarian Alam di Indonesia

Seperti telah penulis jabarkan sebelumnya, Pesantren Agroekologis

Biharul Ulum berfokus pada dan berkomitmen atas kegiatan pertanian dan

menjaga ekosistem. Dilatarbelakangi oleh krisis sosial-ekologis di Lereng Utara

Pegunungan Halimun Utara karena masuknya perusahaan-perusahaan tambang,

sehingga mengakibatkan banyak penduduk beralih profesi dari petani menjadi

penambang ilegal. Dampaknya, tak hanya terjadi kerusakan lingkungan, pola

hidup masyarakat pun sedikit banyak berubah. Berangkat dari permasalahan ini,

Pesantren Agroekologis Biharul Ulum membuat beberapa program jangka

panjang untuk mengatasinya.

Pertanyaan pentingnya, sudah sejalan atau relevankah program-program

ini dengan wacana kelestarian alam di Indonesia? Untuk menganalisis hal

tersebut, penulis akan melihatnya dalam kerangka hukum yang diturunkan melalui

kebijakan-kebijakan pemerintah karena menurut penulis, melalui perangkat

hukumlah suatu wacana dapat dibaca dan dianalisis, meski ia bukan satu-satunya

cara. Secara spesifik, hukum yang dimaksud adalah hukum lingkungan, yakni

hukum yang mengatur tatanan lingkungan yang mencakup semua benda dan

kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat

dalam ruang dimana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta

kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UUD 1945 telah

mengamanatkan negara, dalam hal ini pemerintah bahwa “Setiap orang berhak

77

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan

hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.19

Di

samping, pemerintah juga telah meratifikasi Deklarasi Stockholm tahun 1972

mengenai pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup yang merupakan

kewajiban segenap umat manusia dan setiap pemerintah di seluruh dunia.

Berdasarkan amanat UUD 1945 dan Deklarasi Stockholm ini, pemerintah

kemudian membuat tiga produk Undang-Undang yang masing-masing memiliki

paradigma berbeda,20

yakni UU No. Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberi pedoman antar pemangku

kebijakan, UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang

memberikan arahan untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, dan terakhir

UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UU PPLH).21

UU PPLH adalah upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan, dan penegakkan hukum.22

Dengan kata lain,

dimasukkannya unsur perlindungan dalam UU PPLH menandai pergeseran

paradigma pemerintah dalam melihat persoalan lingkungan hidup yang sudah

semakin mengkhawatirkan. Selain diatur secara khusus dalam UU PPLH,

kerangka hukum lingkungan hidup terdapat dalam beberapa produk hukum: 1

19

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 H ayat (1). 20

Hartuti Purnaweni, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara

Provinsi Jawa Tengah”, Jurnal Ilmu Lingkungan Vol. 12, (Agustus, 2014): h. 54. 21

Hartuti Purnaweni, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara

Provinsi Jawa Tengah” h. 55 22

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009.

78

TAP MPR, 22 Undang-Undang, 15 Peraturan Pemerintah, 8 Keputusan dan

Peraturan Presiden, dan 13 Keputusan Menteri. Kemudian, secara lebih terperinci,

Pasal 3 UU PPLH menyebutkan tentang tujuan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup:

a. Melindungi wilayah NKRI dari pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup;

b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian

ekosistem;

d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan

hidup;

f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa

depan;

g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup

sebagai bagian dari hak asasi manusia;

h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;

i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan

j. Mengantisipasi isu lingkungan global.

UU PPLH juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan

hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk

hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

79

lain.23

Berkaitan dengan itu, lingkungan hidup dapat dibagi menjadi tiga kategori:

(1) lingkungan fisik, yakni segala sesuatu di sekitar manusia yang berbentuk

benda mati seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air, dan lain lain; (2)

lingkungan biologis, yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang

berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri; dan (3) lingkungan sosial,

yaitu manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, seperti tetangga, teman,

bahkan orang lain yang belum dikenal.24

Sebab itu, karena lingkungan hidup

bukan hanya tentang benda fisik, melainkan juga makhluk hidup dan organisme-

organisme lain, maka pelestarian lingkungan hidup harus memperhatikan

keseimbangan dan keselarasan melalui pengurangan bahkan peniadaan dampak

negatif proses pembangunan.25

Jika UU PPLH adalah landasan hukum bagi setiap kebijakan yang akan

diambil pemerintah, maka bentuk strategisnya dapat dilihat dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai pelaksanaan Pasal

19 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional yang nantinya akan diturunkan menjadi Rencana Strategis (Renstra) di

tiap-tiap kementerian. Beberapa kalangan sipil mengkritik RPJMN 2015-2019

karena dianggap tidak atau kurang mengakomodir berbagai isu terkait lingkungan

hidup dan sumber daya alam.26

Penulis mengamini kritikan tersebut dengan

23

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2009 Pasal 1 ayat (1). 24

Tasbi Husin, Skripsi, “Penyalahunaan Pengelolaan Pertambangan Terhadap

Kerusakan Lingkungan Hidup Kecamatan Kluet Tengah: Studi Analisis Fiqh Lingkungan”, hlm.

20. 25

Dr. H. M. Arba, “Konsepsi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam

UUPR dan RTRW Se-Provinsi Nusa Tenggara Barat”, Jurnal Media Hukum Vol. 20 No. 2., h.

238. 26

Ady, “RPJMN 2015-2019 Kurang Perhatikan Lingkungan”, artikel diakses pada 20 Juli

2019 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b7786e91685/rpjmn-2015-2019-kurang

perhatikan-lingkungan/.

80

melihat, misalnya, dalam 7 poin yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 tidak

secara spesifik menyebutkan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai

pemangku kebijakan di bidang lingkungan hidup menurunkan RPJMN 2015-2019

ke dalam tiga butir Renstra 2015-2019, yakni:

1. Menjaga kualitas lingkungan hidup untuk meningkatkan daya dukung

lingkungan, ketahanan air, dan kesehatan masyarakat;

2. Memanfaatkan potensi sumber daya hutan dan lingkungan hidup

secara lestari untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat yang berkeadilan; dan

3. Melestarikan keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati

serta keberadaan sumber daya alam sebagai sistem penyangga

kehidupan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.27

Poin terakhir di atas, yakni mengenai pembangunan adalah poin krusial

dalam melihat bagaimana wacana perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup di Indonesia dilakukan. Prinsip pelestarian yang dipakai dalam UU PPLH

menyatu dengan prinsip berkelanjutan.28

Prinsip berkelanjutan ini jugalah yang

dipakai dalam aspek pembangunan (disebut pembangunan berkelanjutan) sebagai

upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan

ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan

hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi

27

Rencana Strategis Tahun 2015-2019, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan

Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 28

H. M. Arba, “Konsepsi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam

UUPR dan RTRW Se-Provinsi Nusa Tenggara Barat”, Jurnal Media Hukum, vol. 20, No 2

(Desember, 2013): h. 239.

81

masa kini dan generasi masa depan.29

Pembangunan yang membutuhkan sumber

daya alam melalui proses pertambangan memang menjadi dilema tersendiri bagi

pemerintah maupun rakyat dalam persoalan pengelolaan lingkungan hidup.

Dilemanya adalah di satu sisi prinsip pelestarian berkelanjutan harus

memperhatikan seluruh aspek terkait lingkungan hidup dan manusia, namun di

sisi lain prinsip ini menyiratkan bahwa pelestarian lingkungan hidup dapat

berjalan serasi, seimbang, dan selaras dengan pembangunan, yang mana

pembangunan ini tentu membutuhkan adanya eksploitasi sumber daya alam.

Meski penulis tidak berarti menolak pembangunan an sich, namun seperti terlihat

di Pegunungan Halimun Utara, pertambangan untuk menopang pembangunan

yang tidak didasarkan pada kebutuhan akan menjadi momok mengerikan berupa

krisis sosial-ekologis.

Aktivitas pertambangan yang dilakukan PT. ANTAM Tbk. dan PT

HAPINDO sejak era Orde Baru, yang pada gilirannya menginspirasi masyarakat

untuk melakukan pertambangan ilegal, membuat rusaknya relasi antarmanusia dan

manusia dengan alam sehingga diperlukan satu terobosan, baik secara teoritik

maupun praktek, untuk mengatasinya. Secara umum, hukum pertambangan

mempunyai hubungan yang sangat erat dengan lingkungan karena setiap usaha

pertambangan umum maupun pertambangan minyak dan gas bumi diwajibkan

memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, atau

yang lazim disebut dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup.30

Secara spesifik,

29

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2009 Pasal 1 ayat (3). 30

Pasal 1 ayat (6) UU No. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

82

regulasi yang mengatur mengenai pertambangan termaktub dalam UU No. 4/2009

Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Setelah melihat bagaimana wacana perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup melalui perangkat hukum dan kebijakan di atas, penulis

berargumen bahwa wacana ini telah dijalankan dalam visi besar Pesantren

Agroekologis Biharul Ulum dengan tidak memisahkan makhluk hidup dengan

lingkungan (bersifat relasional). Dalam pengelolaan lingkungan hidup yang

tercantum dalam UU PPLH, setidaknya digunakan empat indikator, yakni

Planning, Organizing, Actuating, Controlling (POAC).31

Oleh Pesantren

Agroekologi Biharul Ulum, Planning atau perencanaan dilakukan melalui

program pengajian kitab-kitab klasik di pesantren dan lingkungan masyarakat;

Organizing atau pengorganisiran dilakukan melalui program penjalinan relasi

dengan kelompok/institusi atau individu yang satu visi dengan pesantren dan

masyarakat; Actuating atau pelaksanaan dilakukan melalui program membuat

ulu-ulu (sanitasi air bersih) bersama masyarakat, memberikan pendidikan

pertanian organik, dan mendayagunakan lahan terlantar PERHUTANI bersama

masyarakat; dan.Controlling atau pengendalian dilakukan melalui program

pembangunan manusia melalui penyadaran kritis masyarakat dan membentuk

kader inti pesantren untuk menjaga alam dan masyarakat dari kerusakan. Ketujuh

program ini merupakan upaya yang dilakukan secara sadar dan konsisten tentang

bagaimana memaknai lingkungan hidup, menciptakan generasi petani muda untuk

menjadi harapan masyarakat, dan merevitalisasi tradisi lokal yaitu peduli terhadap

31

Hartuti Purnaweni, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara

Provinsi Jawa Tengah”, h. 55.

83

kelestarian alam32

, yang mana menurut penulis sudah sejalan dan relevan dengan

wacana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia yang

dicantumkan dalam produk-produk hukumnya.

32

Wawancara Al-Muzani bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren

Agroekologi Biharul Ulum Bogor pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.45-22.30 WIB.

84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah diuraikan secara sistematis pembahasan tentang “Al-Qur’an dan

Kelestarian Alam (Studi Kasus Pemaknaan al-Qur’an Surat ar-Rum Ayat 41 dan

Al-A’raf ayat 56 di Pesantren Agroekologi Biharul ‘Ulum Bogor), pada bab ini

akan dikemukakan kesimpulan hasil penelitian berdasarkan perumusan masalah

yang telah penulis cantumkan pada bab pertama, adalah sebagai berikut:

Proses Living Qur‟an diawali dari adanya aktivitas pertambangan di

Kawasan Halimun Utara Kabupaten Bogor, sebagian besar masyarakat menyadari

bahwa keberadaan aktivitas pertambangan tersebut merusak tidak hanya relasi

sosial antar warga, namun juga merusak alam sekitar yang merugikan banyak

pihak. Dengan pijakan al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 41 dan al-A‟raf ayat 56 warga

melakukan aksi nyata yang kemudian tertuang dalam sebuah praktik keseharian

maupun dalam program serta kegiatan rutin mereka, diantaranya hal pertama yang

dilakukan adalah membangun pesantren guna melestarikan alam khususnya

lingkungan di sekitar kawasan Halimun Utara Kabupaten Bogor yang sesuai

dengan nilai-nilai al-Qur‟an, Adapun upaya yang telah dilakukan pesantren dalam

melestarikan alam sesuai pemaknaan mereka terhadap al-Qur‟an diantaranya

adalah:

a. Pengajian Kitab Fiqih Bi‟ah (lingkungan) di Pesantren dan Lingkungan

Masyarakat.

85

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa cikal-bakal

adanya kitab Fiqih Bi‟ah tersebut ialah berangkat dari keinginan untuk

bersama-sama memikirkan upaya pengelolaan sumber daya alam secara

arif ditinjau dari agama islam. Indonesia Forest & Media Campaign

(INFORM) bekerjasama dengan P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan

dan Pendidikan Masyarakat) mengadakan pertemuan “Menggagas Fikih

Lingkungan” pada 9-12 Mei 2004. Pertemuan yang berlangsung di Hotel

Lido Lakes, Sukabumi, Jawa Barat ini dihadiri oleh 31 Kyai Pimpinan

pondok pesantren yang ada di Pulau Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan

dan Sulawesi.

b. Pembangunan Manusia Melalui Penyadaran Kritis Masyarakat

Aktivitas yang mewujud dalam program ini adalah suatu hal

menarik yang hemat penulis merupakan sebuah metode aksi baru dalam

perubahan masyarakat menuju ke arah kebaikan. Sebab masyarakat

sebagai pemeran utama kehidupan dilibatkan secara aktif dalam

memikirkan serta menjalani persoalannya secara khidmat, tidak semata-

mata dianggap sebagai pemulus kotak suara atau kepentingan praktis apa

pun, sehingga tidak hanya elit-elit msayarakat lah yang dilibatkan.

Langkah-langkah yang dilakukan pesantren adalah mewarga, dimana

setiap langkahnya menjadi daya dan upaya bersama untuk menyelesaikan

setiap permasalahan maupun solusi penanganannya.

c. Membentuk Kader Inti Pesantren untuk Menjaga Alam dan Masyarakat

Dari Kerusakan

86

Untuk mewujudkan cita-cita bersama antar pesantren dan

masyarakat dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan menjaga alam

tetap lestari, pesantren membentuk kader inti yang biasanya didapati dari

para pemuda, baik yang awalnya adalah penambang liar maupun yang

sudah putus sekolah. agar melanjutkan pendidikannya sekaligus tinggal di

pesantren (menjadi santri / ngobong). Setelah mereka nyantri kemudian

dibimbing secara perlahan agat aktif di pesantren kemudia ikut membantu

pesantren dalam mendampingi masyakat dalam melaksanakan program-

program yang telah dibuat seperti membuat perkarangan, peternakan,

pengajian umum yang sifatnya ‘ubudiyah atau fokus pada isu-isu sosial-

ekologis.

d. Bersama Masyarakat Membuat Ulu-Ulu (Sanitasi Air Bersih)

Dalam menjawab permasalahan krisis air bersih, akibat dari

pencemaran lingkungan oleh aktivitas pertambangan, pesantren bersama

masyarakat setempat membuat sarana air bersih. Pembuatan ulu-ulu ini,

selain sebagai jawaban atas kebutuhan air bersih, juga sebagai media

penyambung silaturahmi antar masyarakat. Tali silaturahmi yang sempat

terputus semenjak aktivitas menambang emas dijadikan sebagai sumber

utama penyambung hidup, kini semenjak ada aktivitas pembuatan sarana

air bersih, dimana struktur pengurus ulu-ulunya berasal dari masyarakat itu

sendiri, berkoordinasi dengan pesantren, tali silaturahmi itu terajut

kembali.

e. Memberikan Pendidikan Pertanian Organik

87

Pendidikan bertani secara organik adalah salah satu cara pesantren

untuk melatih santrinya agar memiliki keterampilan sekaligus untuk bekal

setelah selesai dari pesantren. Selain keterampilan, bertani secara organik

juga adalah bagian dari alat perlawanan pesantren dan masyarakat

terhadap krisis yang sedang dialami. Sebab dengan bertani secara organik,

kualitas hasil pertanian jauh lebih sehat ketimbang hasil pertanian yang

menggunakan bahan kimia, lalu kesuburan tanah yang berkurang akibat

penggunaan bahan-bahan kimia sebelumnya, dapat menjadi subur kembali,

sekaligus menjaga keseimbangan rantai makanan sebab selain membuat

tanah menjadi tandus, pupuk dan bahan pertanian yang menggunakan

kimia dapat mengurangi populasi biota kecil yang berfungsi sebagai

penggembur tanah seperti cacing dan sejenisnya, oleh sebab itu, bertani

secara organik adalah pilihan.

f. Mendayagunakan Lahan Terlantar PERHUTANI Bersama Masyarakat

Dari sekian banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pesantren

Agroekologis Biharul „Ulum dalam rangka melestarikan kembali alam di

Kawasan Pegunungan Halimun Utara Bogor, pesantren bersama

masyarakat menduduki (baca: mendayagunakan) tanah terlantar milik

pemerintah yakni PERHUTANI yang sudah habis masa kontraknya

setelah disewa oleh PT. Hapindo. Tanah HGU perusahaan yang telah habis

masa kontraknya itu kini digunakan oleh pesantren dan masyarakat untuk

bertani, memelihara kembali kebiasaan bertani serta menjaga alam agar

tetap lestari, ketimbang dipakai untuk menambang.

88

B. Saran

Peringatan Allah tentang kerusakan alam yang terjadi akibat ulah tangan

manusia sepantasnya menjadi pertanda pada kita bahwa manusia, siapapun ia,

pengusaha atau bahkan rakyat jelata, memiliki potensi merusak alam,

sebagaimana yang tertera dalam surat ar-Rum ayat 41. Maka bagi kita, larangan

untuk tidak merusak alam sebagaimana tertera dalam surat al-A‟raf ayat 56, harus

dijalani semaksimal mungkin, sebagaimana kita menjalani perintah-perintahnya

yang lain.

Selain itu, dalam upaya mengembangkan wacana keislaman yang

menyangkut dengan problem-problem keseharian yang ada saat ini. Penulis

memberi beberapa saran sebagai berikut:

Pertama, mengenai kajian Living Qur‟an. Cabang-cabang ilmu al-Qur‟an

ada yang terkonsentrasi pada aspek internal teks, ada pula yang memusatkan

perhatiannya pada aspek eksternalnya seperti asbâb al-nuzûl, dan târîkh al-Qur‟ân

yang menyangkut penulisan, penghimpunan hingga penerjemahannya, sementara

praktek-praktek tertentu yang berwujud penarikan al-Qur‟an ke dalam

kepentingan praksis dalam kehidupan umat di luar aspek tekstualnya nampak

tidak menarik perhatian para peminat studi Qur‟an klasik. Oleh karenaya Living

Qur‟an yang sebenarnya bermula dari fenomena Qur‟an in Everyday Life, yakni

makna dan fungsi al-Qur‟an yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim,

harus sudah menjadi objek studi bagi ilmu-ilmu al-Qur‟an konvensional.

Kedua, ada banyak pondok pesantren atau wilayah pemukiman yang

dalam praktek kesehariannya mencerminkan apa yang tertera dalam al-Qur‟an,

dan secara jujur, bisa dikatakan bahwa ada banyak pula kebalikannya, yakni

89

praktek keseharian masyarakat atau institusi yang diisi oleh banyak orang, yang

dalam praktek kesehariannya tidak mencerminkan nilai ajaran al-Qur‟an. Sebagai

contoh PT ANTAM dan PT Hapindo yang menambang di kawasan Lereng Utara

Pegunungan Halimun Bogor, pembuktian apakah aktivitas mereka itu merusak

lingkungan, yang artinya tidak peduli terhadap peringatan-peringatan al-Qur‟an,

perlu juga diperkuat dengan cara melakukan penelitan terhadap mereka, dimana

mereka sebagai objeknya.

84

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Mujiyono. “Agama ramah lingkungan: perspektif Al-Qur'an”

Volume 6 dari Seri disertasi”. Paramadina, 2001.

Abta, Asyhari, Konsep Islam tentang Pelestarian Lingkungan, dalam

Ahsin Sakho Muhammad, et al. (ed.), Fiqh Ekologi (al-Biah).

Ady. “RPJMN 2015-2019 Kurang Perhatikan Lingkungan”. Artikel

diakses pada 20 Juli 2019

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b7786e91685/r

pjmn-2015-2019-kurang-perhatikan-lingkungan/.

Ahimsa-Putra, Shri Heddy. “The Living al-Qur’an: Beberapa Perspektif

Antropologi” Jurnal Walisong. Vol. 20, I Mei 2012.

Almuzani, “Dakwah Transformatif, Pesantren Agroekologis Biharul

Ulum dalam Upaya Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di

Kawasan Halimun Utara.” S1 Fakultas Dakwah dan

Komunikasi,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta 2018.

Arba, H. M. Konsepsi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup Dalam UUPR dan RTRW Se-Provinsi Nusa Tenggara

Barat”, Jurnal Media Hukum.

Arsip Kegiatan Pesantren Agroekologis Biharul Ulum tahun 2016.

Aziz, Erwati. Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui

Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Esack, Farid. Samudera al-Qur’an, Terjemahan Nuril Hidayah.

Yogyakarta: Diva Press, 2008.

Fakih, Mansor et, al, PENDIDIKAN POPULAR Membangung

Kesadaran Kritis. Yogyarakta: INSISTPress.

Ghazali, M. Bahri. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan

Psikologik Podogogik. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.

85

Hasan, M. Tholhan. Islam Dalam Persefektif Sosio Kultural. Jakarta:

Lantabora Press, 2004.

https://www.climate.gov/news-features/understanding-climate/climate-

change-global-sea-level diakses pada 26 Maret 2019.

https://www.ipcc.ch/sr15/ diakses pada 26 Maret 2019.

https://www.mongabay.co.id/2016/09/14/lubang-lubang-tambang-

batubara-ancaman-mematikan-bagi-warga-jambi/ diakses

pada 11 Februari 2019.

https://www.vice.com/id_id/article/43azgd/akibat-perubahan-iklim-

manusia-kini-makin-kesulitan-menanam-padi diakses 26

Maret 2019

Husin, Tasbi. “Penyalahunaan Pengelolaan Pertambangan Terhadap

Kerusakan Lingkungan Hidup Kecamatan Kluet Tengah: Studi

Analisis Fiqh Lingkungan”. Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan

Hukum, UIN al-Raniri Aceh, 2017.

Ibn Katsir, Ibnu Katsir. 2003, Jilid 1-7. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.

Iskandar, Johan. Manusia Budaya dan Lingkungan. Jakarta, HUP,

1990.

Iswanto, Agus. “Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam al-Qur’an.

Upaya membangan Eco-Theology” Balai Litbang Agama,

Jakarta. Vol. 6, No. 1, 2013.

Junaedi, Didi. “Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian

al-Qur’an (Studi Kasus di Pondok Pesantren Hasan, Siroj.

(Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)” Jurnal of

Qur’an and Hadith Studies. Vol. 4, No. 2, 2015.

Juniarto, Rily Rendy. “Dinamika Konflik Pembangunan Pabrik PT.

Semen Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa

Tengah)”, Jusuf Kalla School of Government, Mei 2018.

86

Kryanto, Rakhmat. Teknik Praktisi Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana

Perdana Group, 2007.

Mansyur, M. Syamsuddin, Sahiron “Metodologi penelitian living

Qur'an & Hadis”. TH-Press : Teras, 2007.

Mardiana, “Kajian Tafsir Tematik tentang Pelestarian Lingkungan

Hidup” Jurnal AL-FIKR Vol 17 nomor 1 Tahun 2013.

Mardiana, “Kajian Tafsir Tematik tentang Pelestarian Lingkungan

Hidup” Jurnal AL-FIKR Vol 17 nomor 1 Tahun 2013.

Moeleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.

Muhammad Sakho, Ahsin. Fikih Ekologi (al-biah). Jakarta,

Conservation International:2006.

Munawwir, Warson Ahmad. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia.

Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.

Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Depok: LPSP3 2013.cet-5.

Purnaweni, Hartuti. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan

Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah, Jurnal Ilmu

Lingkungan Vol. 12. Agustus, 2014.

Ramly, Nadjamuddin. “Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi

Islam dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan

Lingkungan Hidup”, Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.

Reflita, “Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan (Istinbath

Hukum atas Ayat-ayat Lingkungan)” Substantia. Vol. 17, No.

2, Oktober 2015.

Samsuddin, Syahiron. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis.

Yogyakarta: TERAS, 2007.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah.

87

Soemarno,Otto. Ekologi: Lingkungan Hidup dan Pembangunan.

Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1986.

Suharto, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja

Rosdakrya, 2000.

Suhendera, Ahmad. Menelisik Ekologis dalam al-Qur’an, ESENSIA ,

Vol. XIV No. 1.

Supardi, Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya. Bandung: Alumni,

2003.

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito,

1980.

Syaltut, Muhammad. Tafsir al-Qur’an karim pendekatan Syaktut

Dalam Menggali Esensi al-Qur’an. Bandung: CV.

Diponegoro, 1990, Seri: 3.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Wawancara Al-Muzani bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok

Pesantren Agroekologi Biharul Ulum

Wawancara bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren

Agroekologi Biharul Ulum Bogor pada tanggal 04 Mei 2019.

Wibowo, Adi Soeryo. Ekologi Manusia, Fakultas Ekologi Manusia-

Institut Pertanian Bogor, Bogor, Agustus 2007.

Yafie, Ali. Menggagas Fiqh Lingkungan Hidup. Jakarta: UFUK Press,

2006.