al-qur’an dan kelestarian alam (studi kasus...
TRANSCRIPT
AL-QUR’AN DAN KELESTARIAN ALAM (STUDI KASUS PEMAKNAAN
AL-QUR’AN SURAH Al-RÛM AYAT 41 DAN AL-A’RAF AYAT 56 DI
PESANTREN AGROEKOLOGIS BIHARUL ULUM BOGOR)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh :
Muhammad Yusuf Ramadhan
NIM : 1112034000073
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
“Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017
tentang pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”.
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh Ka dan ha خ
d De د
dz De dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
ش sy es dan ye
ص s es dengan garis bawah
ض ḏ de dengan garis bawah
ط ṯ te dengan garis bawah
viii
ẕ zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apsotrof ' ء
y Ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tungga atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatẖah
I Kasrah
U Ḏommah
ix
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
نا â a dengan topi di atas
ني î i dengan topi di atas
نو û u dengan topi di atas
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf الdialih aksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah.
Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.
E. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ـــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
x
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-jâmî’ah al-Islâmiyyah الجامعةاالسالمية 2
waẖdat al-wujûd وحدةالوجود 3
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al -Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
xi
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al -Dîn al-Rânîrî.
ABSTRAK
Muhammad Yusuf Ramadhan
Al-Qur’an dan Kelestarian Alam (Studi Kasus Pemaknaan
al-Qur’an Surah al-Rûm Ayat 41 dan al-A’raf Ayat 56 di
Pesantren Agroekologis Biharul Ulum Bogor).
Skripsi ini membahas tentang suatu fenomena yang terjadi
di Lereng Utara Pegunungan Halimun Bogor, yaitu aktivitas
Living Qur’an yang dijalani oleh warga pesantren agroekologis
dalam upayanya menjaga kelestarian alam dengan menggunakan
ayat al-Qur’an sebagai sumber inspirasinya.
Dengan mengaplikasikan metode deskriptif analitik
penulis menjabarkan persoalan nilai atau norma yang terkandung
dalam Q.S. Al-Rûm: 41 dan al-A’raf: 56 yang
terimplementasikan melalui upaya Pondok Pesantren
Agroekologis Bogor dalam menjaga serta melestarikan alam.
Penelitian ini menemukan bahwa proses Living Qur’an
diawali dari adanya aktivitas pertambangan di Kawasan Halimun
Utara Kabupaten Bogor, sebagian besar masyarakat menyadari
bahwa keberadaan aktivitas pertambangan tersebut merusak tidak
hanya relasi sosial antar warga, namun juga merusak alam sekitar
yang merugikan banyak pihak. Dengan pijakan al-Qur’an surat
ar-Rum ayat 41 dan al-A’raf ayat 56 warga melakukan aksi nyata
berupa aktivitas pelestarian alam. Hal pertama yang dilakukan
adalah membangun pesantren. Melalui pesantren mereka
melakukan praktek pelestarian alam di kawasan Halimun Utara
Kabupaten Bogor yang sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an.
Diantara upaya yang telah dilakukan pesantren adalah
mengadakan pengajian kitab fiqih bi’ah (lingkungan) di pesantren
dan lingkungan masyarakat, pembangunan manusia melalui
penyadaran kritis masyarakat, membentuk kader inti pesantren
untuk menjaga alam dan masyarakat dari kerusakan, bersama
masyarakat membuat ulu-ulu (sanitasi air bersih), memberikan
pendidikan pertanian organik, mendayagunakan lahan terlantar
perhutani bersama masyarakat, dan menjalin relasi dengan
kelompok/institusi atau individu yang satu visi dengan pesantren
dan masyarakat.
Berdiri pada tahun 2014, pondok pesantren ini dibangun
sebagai usaha untuk memperkenalkan dan mengedukasi
masyarakat tentang reforma agraria dan ekologi. Menisbahkan
diri sebagai pesantren berbasis Agro-Ekologis yang memadukan
kegiatan pertanian dan tetap menjaga keberlangsungan ekosistem.
Dengan menggandeng berbagai pihak baik warga asli di sekitar
kawasan Halimun Utara maupun masyarakat luar, cita-cita
mereka agar desa bisa berdaulat dan berdaya diharapkan bisa
segera terlaksana.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis.
Berkat izin dari-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kita
termasuk umatnya yang istiqamah menjalani perintahnya, dan mendapatkan
syafa’at pada hari kiamat kelak.
Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “Al-Qur’an dan
Kelestarian Alam (Studi Kasus Pemaknaan Qur’an Surah Ar-Rum ayat 41
dan Al-A’raf ayat 56 di Pesantren Agroekologis Biharul Ulum Bogor)” ini
tidak akan selesai jika hanya mengandalkan daya dan upaya yang penulis miliki.
Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang yang secara langsung maupun tidak
langsung telah banyak membantu penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini
penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir dan Bapak Fachrizal Mahdi, Lc. MIRKH. selaku
Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Usshuluddin
UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
iii
4. Bapak Kusmana, M.A, Ph.D, selaku dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan banyak nasihat dan kemudahan bagi penulis
dalam mengurus administrasi dan penyelesaian skripsi.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman
berharga kepada penulis.
6. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Dedi Supryadi dan Ibu Yuni
yang selalu mendoakan kebaikan dalam setiap aktivitas penulis, yang
tidak henti-hentinya memberikan motivasi kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Yang dengan sabar menunggu dalam
menyelesaikan masa studi penulis. Juga kakak serta adik-adik tercinta
yang berkat merekalah aku semangat menyelesaikan tugas akhir ini,
Yudhi Nugraha, Dini Chairyah, S. Kom., Siti Rohani (the muyus) dan
Dd Iib, Afi, Aa Iki.
7. Keluarga Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2012, terkhusus
bagi kawan-kawan TH B, semoga silaturrahim kita tetap selalu terjaga
dan takkan retak walaupun jarak memisahkan kita.
8. Sahabat dan sahabati PMII, terkhusus Pak Umam, Pak Rasyidi, Tum
Idham Kholid, Ipunk Brader. Serta kawan-kawan Gerakan di FMK
dan SSDEM, yang telah banyak berkontribusi dalam membangun
keintelektualan penulis dengan kajian dan diskusi, serta kesadaran
penulis agar selalu peka dan peduli terhadap lingkungan, baik lokal
maupun nasional.
iv
9. Teman- teman seperjuangan Muhammad Isrop, Sugih Hidayatullah,
Riswan Sulaiman, Muhammad Lazuardi, Syahroni, Ichal Blues,
Arsyad Prayogi, Hendri Mohammad, Fahri, Konde, Sabiq, Irfan
Maulana, Hadi Jawa, dan yang lainnya, yang menemani serta berjuang
bersama dalam meyelesaikan skripsi ini.
Sekali lagi penulis haturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu penulis. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan yang berlipat
ganda dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.
Ciputat, 17 Juli 2019
Muhammad Yusuf Ramadhan
xiv
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... v
ABSTRAK…….. ................................................................................... x
KATA PENGANTAR ........................................................................... xi
DAFTAR ISI…... ................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan
Masalah ................................................................................ 7
1. Identifikasi Masalah ....................................................... 7
2. Perumusan Masalah........................................................ 8
3. Pembatasan Masalah ...................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penilitan .............................................. 10
D. Metodologi Penelitian .......................................................... 10
1. Metode Penelitian .......................................................... 10
2. Subjek dan Objek Penelitian .......................................... 11
3. Macam dan Sumber Data ............................................... 11
4. Teknik Pengumpulan Data ............................................. 11
5. Teknik Pengambilan Sempel .......................................... 13
6. Teknik Analisis Data ...................................................... 13
7. Waktu dan Tempat Penelitia .......................................... 13
E. Tinjauan Kepustakaan .......................................................... 14
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 19
BAB II KELESTARIAN ALAM, AL-QUR’AN, TAFSIR DAN LIVING
QUR’AN ................................................................................................. 21
A. Teori Kelestarian Alam ........................................................ 21
1. Pengertian Kelestarian Alam .......................................... 21
2. Ruang Lingkup Kelestarian Alam .................................. 24
3. Problematika Kelestarian Alam Di Era Modern ........... 27
B. Ayat-ayat al-Qur’an tentang Kelestarian Alam .................... 29
C. Tafsir Ayat-ayat Kelestarian Alam ....................................... 33
xv
1. Tafsir Klasik .................................................................... 33
2. Tafsir Modern.................................................................. 39
D. Living Qur’an ........................................................................ 42
1. Pengertian Living Qur’an ................................................ 42
2. Sejarah Living Qur’an ..................................................... 43
3. Definisi Operasional Living Qur’an................................ 45
BAB III PONDOK PESANTREN AGROEKOLOGI BIHARUL
ULUM .................................................................................................... 47
A. Sejarah dan Perkembangan Pesantren Agroekologi Biharul
Ulum .................................................................................... 47
B. Visi, Misi dan Struktur dan Kegiatan Pondok Pesantren ... 52
C. Kerusakan Sosial Ekologis Di Kawasan Lereng Utara Gunung
Halimun .............................................................................. 54
BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN (PEMAKNAAN PESANTREN
AGROEKOLOGI BIHARUL ULUM ATAS AYAT-AYAT
KELESTARIAN ALAM ...................................................................... 58
A. Aktivitas Pelestarian Alam di Pondok Pesantren dan Sekitarnya
.............................................................................................. 58
B. Pemaknaan Warga Pesantren Biharul Ulum atas Surat ar-Rum
ayat 41 dan Surat al-A’raf ayat 56 ..................................... 65
C. Analisis Hubungan antara Visi, Misi, dengan Program
Kegiatan Pondok Pesantren ................................................. 69
D. Relevansi Program Kegiatan Pelestarian Alam di Pesantren
Agroekologis dengan Wacana Kelestarian Alam di Indonesia
............................................................................................. 76
BAB V PENUTUP ................................................................................. 84
A. Kesimpulan ........................................................................ 84
B. Saran .................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kerusakan alam yang terjadi dewasa ini khususnya di bumi Indonesia
tidak bisa diabaikan begitu saja, kematian anak di lubang tambang yang terjadi di
Kalimantan beberapa waktu silam masih menyisakan duka yang cukup
mendalam.1 Pembangunan pabrik semen di Rembang yang membabat gunung
Kendeng dan menghabisi mata air2 masih belum menemui solusi yang tepat yang
tidak merugikan warga sekaligus tidak merusak alam. Proyek pembangunan
infrastruktur yang masif terjadi di bumi Indonesia bukan tanpa akibat bagi
keberlangsungan ekosistem jika kita mau melihatnya lagi lebih jauh sampai ke
1 Data terakhir dari JATAM menunjukkan bahwa sudah ada 31 anak yang mati di lubang tambang.
Dan tidak hanya di Kalimantan, hampir di semua galian bekas tambang di Jambi dinyatakan
berbahaya karena kandungan air terkontaminasi partikel logam bekas tambang. Awal November
2015, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Walhi Jambi, melakukan pelatihan riset air
pasca tambang batubara di Jambi. Lima kolam tambang PT. Sarolangun Prima Coal diuji.
Hasilnya, PH 3,4, electric conductivity (daya hantar listrik) 320, dan total padatan terlarut
mencapai 150. Tingkat keasaman air tinggi mengindikasikan ada kandungan logam berat seperti
Fe (besi), Mn (mangan), Pb (timbal), As (arsenik), Hg (merkuri), Se (selenium) dan B (boron)
dalam kolam itu. Lihat. Yitno Suprapto, “Lubang-lubang Tambang Batubara Ancaman
Mematikan bagi Warga Jambi”, diakses pada 11 Februari 2019
https://www.mongabay.co.id/2016/09/14/lubang-lubang-tambang-batubara-ancaman-mematikan-
bagi-warga-jambi/ diakses pada 11 Februari 2019
2 Pembangunan pabrik semen di Rembang ditolak oleh masyarakat karena memiliki
dampak negatif yang ditimbulkan. Pertama, dari segi lingkungan Kawasan Pegunungan
Kendeng mempunyai Cekungan Air Tanah (CAT), sehingga hal tersebut menjadikan
Pegunungan Kendeng sebagai sumber kehidupan bagi warga sekitar. Dengan kehadiran PT
Semen Indonesia, dikhawatirkan akan mengeruk habis air yang ada akibat dari penambangan
yang dilakukan. Selain itu penambangan dapat mengakibatkan polusi suara maupun udara.
Udara yang mengandung debu mengakibatkan penyakit baik manusia maupun tumbuhan.
Kedua, dari segi Ekonomi, mayoritas pekerja warga yang tinggal disekitar Pegunungan
Kendeng adalah petani, sehingga air merupakan hal yang sangat penting. Selain itu
penambangan yang dilakukan akan membutuhkan penggunaan lahan yang banyak, sehingga
lahan pertanian warga nantinya akan sebagain tergerus proyek penambangan. Ketiga, adanya
perubahan pola hubungan antara masyarakat yang pro dan yang kontra, yang menyebabkan
renggangnya hubungan kekeluargaan antar masyarakat. Lihat. Rendy Rily Juniarto “Dinamika
Konflik Pembangunan Pabrik PT. Semen Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah)”, Jusuf Kalla School of Government (Mei 2018): h…
2
persoalan-persoalannya: pembangunan kereta api cepat Jakarta- Bandung,
pembangunan jalan tol di Jawa Tengah, pembakaran hutan, penambangan emas di
gunung-gunung, penebangan-penebangan kayu di hutan baik legal maupun ilegal,
reklamasi pantai, penambangan minyak dan gas yang terjadi di darat dan di laut,
dan masih banyak lagi yang dapat kita saksikan dimana proyek pembangunan baik
yang dilakukan pemerintah maupun pengusaha mengabaikan kelestarian alam dan
lingkungan. Hal tersebut harus segera menjadi perhatian publik, baik kalangan
akademisi lingkungan maupun sarjana al-Qur‟an dan Hadis.
Secara global, isu yang berkembang dan marak dibicarakan kalangan
akademisi dan aktifis adalah isu tentang Climate Change. Dengan naiknya
temperatur global di atas 1.5 celcius saat ini diprediksi akan mengakibatkan
bencana dahsyat terjuadi jika dalam 12 tahun ke depan temperatur ini tidak
menurun. Imbas dari iklim global ini sudah bisa dirasakan sekarang. Di Malaysia,
akibat kian hangatnya suhu bumi, curah hujan turun tak menentu, dan banyak pagi
gagal panen.3 Salah satu penyebabnya adalah 18 juta hektar hutan di seluruh dunia
dibakar pertahunnya. Di Amazon saja, 17 % areal hutannya sudah dibabat dalam
5 dekade terkahir. Padahal begitu krusialnya hutan karena pepohonan dapat
menyerap gas karbondioksida (C02) di atmosfer. Maka, pembabatan hutan secara
masif akan melepas banyak gas C02 ke atmosfer dan meningkatkan suhu bumi.
Meningkatnya suhu bumi berdampak pula pada melelehnya gletser dan es di
Kutub Utara dan Selatan, sehingga berakibat naiknya permukaan laut (sea level)
secara global. Pada 2017, rata-rata permukaan laut naik setinggi 77 mm. tertinggi
3 Sawsan Morrar, “Akibat Perubahan Iklim, Manusia Kini Makin Kesulitan Menanam
Padi”, diakses pada 26 Maret 2019 https://www.vice.com/id_id/article/43azgd/akibat-perubahan-
iklim-manusia-kini-makin-kesulitan-menanam-padi.
3
dalam sejarah sejak 1993.4 Penyebab utama dari semua ini, menurut laporan IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) tentang „Global Warming of 1,5 C‟
adalah manusia, sebagai faktor determinan dari meningkatnya suhu 1,5 derajat
celcius hari ini.5
Penciptaan manusia sekaligus peran yang diembannya sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur‟an yakni sebagai Khalifah (Pengganti6 Tuhan) di muka
bumi tidaklah bermakna bahwa manusia menempati posisi sentral dimana dapat
mengubah dan mengotak-atik bumi dan seluruh isinya semau-maunya tanpa
memperhatikan akibatnya. Perhatian terhadap kelestarian lingkungan tentu harus
juga menjadi fokus utama bagi aktivitas manusia dalam mengeskplorasi bumi
demi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Sebab, kesalahan dalam pengelolaan
bumi dan segala isinya tidak saja akan merusak dan mengancam kelangsungan
bumi, tetapi juga dapat berakibat fatal bagi kehancuran umat manusia itu sendiri.
Pengelolaan yang sewenang-wenang terhadap bumi dan seluruh isinya tidak
disukai oleh Tuhan sebagai pencipta segala keseimbangan di semesta ini,
sebagaimana termaktub dalam al-Qur‟an:
لوكم ف ما آتاكم إن ربك وىو الذي جعلكم خالئف األرض ورفع ب عضكم ف وق ب عض درجات ليب ﴾٥٦١سريع العقاب وإنو لغفور رحيم﴿
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
4 Rebecca Lindsey, “Climate Change: Global Sea Level”, diakses pada 26 Maret 2019
https://www.climate.gov/news-features/understanding-climate/climate-change-global-sea-level. 5 Myles Allen, dkk, SPECIAL REPORT Global Warming of 1.5 ºC, diakses pada 26
Maret 2019 https://www.ipcc.ch/sr15/
6 Kata Khalîfah diterjemahkan dengan “pengganti”. Lihat Ahmad Warson Munawwir, al-
Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984),
h. 392.
4
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-An‟âm [6]:165)
Larangan untuk tidak merusak bumi pun secara tegas dinyatan Allah
dalam al-Qur‟an:
ن وال ت فسدوا ف األرض ب عد إصالحها وادعوه خوفا وطمعا إن رحت اللو قريب م ﴾١٦﴿ المحسني
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-A‟raf [7]:56)
Peringatan tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di darat dan di laut
akibat ulah tangan manusia sudah diperingati oleh Allah dalam al-Qur‟an jauh
sebelum kerusakan seperti sekarang terjadi. Tidak sedikit pula ayat al-Qur‟an
menjelaskan bagaimana kerusakan itu terjadi diakibatkan oleh perbuatan manusia
itu sendiri. Allah berfirman dalam al-Qur‟an:
ذي عملوا لعلهم ظهر الفساد ف الب ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض ال ﴾١٥﴿ ي رجعون
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).” (QS. al-Rûm [30]:41)
Penafsiran ayat di atas dalam lintasan tafsir klasik cenderung seragam.
Misalnya Ibnu Katsir dalam Tafsîr Ibnu Katsîr, dan Abû Bakr al-Jazairi, dalam
Aisir al-Tafâsîr dalam menafsirkan ayat di atas cenderung menyatakan bahwa
5
yang dimaksud dengan kerusakan (fasad) adalah perbuatan syirik, pembunuhan,
maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah.7
Al-Quran dan sunnah memperingatkan umat Islam agar tidak mencelakai
diri dan sekitarnya ( ال و ار ر ر ر ال ). Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang
berbicara tentang lingkungan dan larangan merusaknya.8 Hal ini menunjukkan
besarnya perhatian al-Quran terhadap pemeliharaan lingkungan. Untuk lebih
mengetahui bagaimana al-Quran mengatur etika pengelolaan lingkungan dan
memandang tindakan pengrusakan sebagai tindakan yang menimbulkan bahaya
bagi keberlangsungan hidup makhluk hidup, maka selain diperlukan penafsiran
terhadap ayat-ayat al-Quran melalui pendekatan tafsir, juga diperlukan tindakan
konkret untuk menanggulangi kerusakan yang sudah terlanjur terjadi. Pendekatan
ini dibutuhkan untuk memformulasikan ayat atas tindakan pengrusakan dan
eksploitasi lingkungan dan apa saja yang harus dilakukan untuk menanggulangi
kerusakan yang sudah terjadi. Atas dasar itulah ide tentang kelestarian alam yang
basisnya dari al-Qur‟an ini muncul atas respon rusaknya alam yang sudah kita
huni ribuan ini.
Kelestarian alam erat kaitannya dengan keserasian lingkungan hidup, dan
ada dua kata kunci yang sangat erat kaitannya dengan hal ini yang juga akan kita
bahas dalam skripsi ini lebih lanjut, yakni ekologi dan ekosistem. Kata ekologi
(ecology) berasal dari bahasa Yunani, oikos yang berarti rumah tangga dan logos
7 Ahmad Suhendera, “Menelisik Ekologis dalam al-Qur‟an”, ESENSIA , Vol. XIV No. 1
(April 2013): h. 70. 8 Mantan Rais Aam PBNU KH Ali Yafie mengatakan, sekitar 95 ayat Al-Quran berbicara
tentang lingkungan hidup beserta larangan-larangan Allah SWT untuk berbuat kerusakan. Antara
lain Surah Al-Baqarah [2]: 11, 12, 27, 30, 60, 220, 251; Ali Imrân [3] : 63; Al-Mà'idah [5]: 64; dan
Al-A„râf [7] : 56, 74, 85, 86, 103, 127, 142. Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqh Lingkungan Hidup
(Jakarta: UFUK Press, 2006), 20.
6
yang berarti ilmu. Jadi ekologi bisa dikatakan sebagai sebuah studi tentang rumah
tangga makhluk hidup. Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang interaksi
antar makhluk hidup dan lingkungannya, termasuk benda mati yang ada di
sekitarnya.9
Dalam konteks inilah penulis melihat salah satu pesantren yang didirikan
pada tahun 2014 lalu itu layak diperhatikan. Kerusakan lingkungan yang terjadi di
Gunung Halimun Bogor Utara menjadi penyebab yang melatari berdirinya
pesantren tersebut. Fiqh Bi‟ah yang dikeluarkan oleh para ulama se-Indonesia
menjadi acuan bagi pesantren tersebut dalam menjalankan praktik kesehariannya
dengan alam. Secara ontologis, ayat al-Qur‟an surat al-Rûm [30] ayat 41 dan al-
A‟raf [ 7] ayat 56 menjadi landasan dari berdirinya pesantren tersebut.10
Pemahaman para kyai dan santri serta warga di sana atas tafsir al-Qur‟an layak
untuk dijadikan rujukan dan contoh baik sebagai respon atas berbagai kejadian
kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini di Indonesia khususnya, dan semoga
dapat menjadi contoh baik bagi negara-negara berpenduduk masyoritas islam
khususnya untuk mempraktekkan perilaku yang tidak merusak alam dan
bagaimana menyikapi kerusakan alam yang sedang terjadi.
Skripsi ini penulis anggap penting karena selain untuk menunjukkan
kepada khalayak luas bahwa nilai-nilai al-Qur‟an sejalan dengan prinsip-prinsip
kelestarian alam atau lingkungan hidup yang harus diemban oleh manusia sebagai
khalifah fî al- arḏ, juga menjadi objek kajian yang cukup penting dalam kajian al-
9 Mardiana, “Kajian Tafsir Tematik tentang Pelestarian Lingkungan Hidup” Jurnal AL-
FIKR, Vol 17 nomor 1 ( 2013): h. 139. 10
Almuzani, “Dakwah Transformatif, Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam
Upaya Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara.” (S1 Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 82-84.
7
Qur‟an yakni living qur‟an yang sedang ramai dikaji di kalangan akademisi tafsir
hadis. Sejalan dengan apa yang didefiniskan bahwa living qur‟an juga mengacu
pada suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya menggunakan al-Qur‟an
sebagai tarkitab acuannya. Mereka hidup dengan mengikuti apa-apa yang
diperintahkan al-Qur‟an dan menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya,
sehingga masyarakat tersebut seperti “al-Qur‟an yang hidup”, al-Qur‟an yang
mewujud dalam kehidupan sehari-hari mereka.11
Skripsi ini hendak menelusuri lebih dalam lagi pemahaman masyakarat di
pesantren agroekologis tentang kerusakan lingkungan yang sudah diperingati
dalam al-Qur‟an, bagaimana pemimpin pondok pesantren disana memaknai
Qur‟an Surat ar-Rum ayat 41 dan Surat as-al-A‟raf ayat 56, dan bagaimana
mereka menerapkan ayat-ayat ekologis untuk mencegah kerusakan lingkungan
sekaligus berperan aktif dalam pemeliharaannya. Selain itu, skripsi ini juga
penulis anggap penting guna memberikan solusi kongkrit yang didasarkan pada
al-Qur‟an tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam, dan
bagaimana merespon berbagai macam kerusakan yang terjadi saat ini.
B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dalam ajaran Islam, memelihara lingkungan (hifzi al-bi‟ah) merupakan
salah satu tujuan diturunkannya sayariat islam. Islam mengajarkan umatnya untuk
bersikap santun dan bersahabat dengan alam. Alam harus dipahami sebagai
ciptaan dan nikmat Allah yang harus dijaga dan dipelihara dalam rangka ketaatan
dan rasa cinta kepada Pencipta. Maka perhatian atas alam menjadi salah satu
11
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living al-Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”
Jurnal Walisong, Vol. 20 ( Mei 2012): h. 236-237.
8
tanggung jawab umat Islam khususnya, karena sudah tertulis jelas di dalam al-
Qur‟an.
Keberadaan pesantren agroekologi di Bogor sejak tahun 2014 silam dapat
menjadi contoh yang baik bagaimana ayat al-Qur‟an yang mendorong kelestarian
alam dengan menjaganya dari pengrusakan dan memeliharanya dari hawa nafus
eksploitatif manusia, dipraktekkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
2. Perumusan Masalah
Sebagaimana terurai dalam uraian Identifikasi Masalah di atas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a) Bagaimana Living Qur‟an di Pesantren Agroekologis dalam upaya
menjaga kelestarian alam di kawasan Halimun Utara Bogor yang
tercermin dalam aktivitas atau program pesantren?
b) Bagaimana pemaknaan warga pesantren atas ayat-ayat al-Qur‟an tentang
kelestarian alam khususnya surah al-Rûm [30] ayat 41 dan Surah al-A‟raf
[7] ayat 56?
3. Pembatasan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis perlu
memberikan batasan-batasan yang akan diteliti, adapun beberapa kegiatan yang
mencerminkan living Qur‟an atau everyday life of the Qur‟an, sebagai berikut:
a. Al-Qur‟an dibaca secara rutin dan diajarkan di tempat-tempat ibadah
(Masjid dan Surau/Langgar/Mushalla), bahkan di rumah-rumah, sehingga
menjadi acara rutin everyday, apalagi di pesantren-pesantren menjadi
bacaan wajib, terutama selepas shalat maghrib. Khusus malam Jum`at
yang dibaca adalah surat Yasin dan kadang ditambah surah al-Waqi`ah.
9
b. Al-Qur‟an senantiasa dihafalkan, baik secara utuh ataupun sebagiannya (1
juz hingga 30 juz), meski ada juga yang hanya mehafal ayat-ayat dan surah
tertentu dalam juz „Amma untuk kepentingan bacaan dalam shalat dan
acara-acara tertentu.
c. Menjadikan potongan-potongan ayat satu ayat ataupun beberapa ayat
tertentu dikutip dan dijadikan hiasan dinding rumah, masjid, makam
bahkan kain kisywah ka‟bah (biasanya ayat Kursy, al-Ikhlas, al-Fatihah
dsb.) dalam bentuk kaligrafi dan sekarang tertulis dalam ukiran-ukiran
kayu, kulit binatang, dan lain-lain.
d. Living Qur‟an juga mengacu pada suatu masyarakat yang kehidupan
sehari-harinya menggunakan al-Qur‟an sebagai kitab acuannya. Mereka
hidup dengan mengikuti apa-apa yang diperintahkan al-Qur‟an dan
menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya, sehingga masyarakat tersebut
seperti “al-Qur‟an yang hidup”, al-Qur‟an yang mewujud dalam kehidupan
sehari-hari mereka.12
untuk itu peneliti membatasi penelitian ini pada kegiatan living Qur‟an
berdasarkan suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya menggunakan al-
Qur‟an sebagai kitab acuannya, penelitian ini dilakukan di Pesantren
Agroekologis Biharul Ulum atas surah ar-Ruum ayat 41 dan Surat as-al-A‟raf ayat
56.
12
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living al-Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”
Jurnal Walisong Vol. 20 (Mei 2012): h. 236-237.
10
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Untuk mengetahui proses Living Qur‟an di Pesantren Agroekologis dalam
menjaga kelestarian alam di kawasan Halimun Utara Bogor
b) Untuk mengetahui bagaimana pemaknaan warga pesantren atas ayat-ayat
kelestarian alam dalam al-Qur‟an, khususnya ar-Rum ayat 41 dan Surat as-
al-A‟raf ayat 56
2. Manfaat Penelitian:
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a) Manfaat akademis
Penelitian diharapkan dapat mengembangkan kajian ilmu Living Qur‟an
bagi jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir fakultas Ushuluddin terutama pada
mata kuliah ulumul Qur‟an
b) Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi penelitian serupa di masa
mendatang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan
peranan yang dimainkan kalangan muslim dalam menerapkan nilai-nilai
ekologis dalam al-Qur‟an, serta menjadi acuan bagi kelompok muslim
dalam melakukan transformasi sosial khususnya di bidang kelestarian
alam.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang dikemukakan dalam
peneltian di atas mengenai al-Qur‟an dan Kelestarian Alam (Studi Kasus
11
Pemaknaan al-Qur‟an Surah ar-Rum Ayat 41 dan al-A‟raf 56 di Pesantren
Agroekologi Biharul Ulum Bogor). Maka pendekatan yang dilakukan penulis
adalah pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif yakni upaya
pengolahan data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat.
Ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat
tentang fakta-fakta dan objek tertentu. Pengumpulan data yang dilakukan peneliti
adalah dengan cara terjun langsung ke situasi yang sesungguhnya. Dalam hal ini
peneliti akan menjelaskan dan menjabarkan data-data yang sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya atau yang terjadi di lapangan.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah Pesantren Agroekologi Biharul Ulum. Sedangkan
Objek penelitiannya adalah proses living qur‟an dan pemaknaan warga pesantren
agroekologi atas ayat-ayat kelestarian alam dalam al-Qur‟an
3. Macam dan Sumber Data
Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, peneliti
menggunakan data primer dan sekunder.
a) Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan berupa
hasil temuan penelitian observasi dan wawancara dengan pihak pesantren.
b) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis
yang terdapat dalam buku ataupun dokumentasi dan literatur lain yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data adalah:
12
a) Observasi, adalah pengamatan dan pengumpulan data dimana penulis
melakukan pengamatan terhadap gejala dan objek yang diteliti.13
Dalam
hal ini penulis melakukan pengamatan di lapangan dengan cara
berhadapan langsung dengan subjek yang akan diteliti yaitu pihak
pesantren.
b) Wawancara, adalah sebuah teknik pengumpulan data dengan cara
mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada
informan dan jawaban yang dihasilkan akan dicatat dan direkam dengan
alat perekam.14
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan
mewawancarai langsung pengurus Pesantren Agroekologis Biharul Ulum.
Juga mengumpulkan berbagai informasi yang dapat menunjang data yang
diperlukan.
c) Studi Dokumentasi, adalah penelitian pengumpulan, membaca, dan
mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah atau jurnal) yang
terdapat diperpustakaan, internet atau instansi lain yang dapat dijadikan
analisis dalam penelitian.15
Penulis mengumpulkan data-data yang
berkaitan dengan Pesantren Agroekologis Biharul Ulum. Selain itu penulis
juga membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis yang dapat
dari buku, website, foto-foto, serta rekaman video, sehingga dijadikan
analisis dalam penelitian ini.
13
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1980), h. 102. 14
Irawan Suharto, Metode Penelitian Sosial, cet 4 (Bandung: PT Remaja Rosdakrya,
2000), h.67. 15
Rakhmat Kryanto, Teknik Praktisi Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Perdana Group,
2007), h. 116.
13
5. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan bola
salju/berantai (Snowball/chain sampling): pengambilan sampel dilakukan secara
berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau
dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya.16
6. Teknik Analisa Data
Dari data yang sudah diperoleh, maka penulis mempelajari berkas yang
telah terkumpul kemudian peneliti melakukannya dengan cara editing, yaitu
dengan mempelajari berkas-berkas data yang terkumpul sehingga keseluruhan
berkas itu dapat diketahui dan dapat dinyatakan dengan baik agar dapat
dipersiapkan proses selanjutnya.
Penelitian deskriptif ditunjukkan untuk: (1) mengumpulkan informasi
aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengindentifikasi
masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat
perbandingan dan evaluasi, (4) menentukan yang dilakukan orang lain dalam
menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk
menetapkan rencana atau keputusan pada waktu yang akan datang.17
7. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Agroekologis Biharul Ulum,
yaitu di Kampung Legok Kiara, Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten
Bogor. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2019 sampai April 2019.
16 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, cet-5
(Depok: LPSP3 2013), h.117. 17
Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009), h. 248.
14
E. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini penulis juga menggunakan disertasi dan skripsi yang
memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini, sebagai
referensi dan rujukan bagi penulis dalam merumuskan permasalahan, dan
sekaligus sebagai referensi tambahan selain dari buku, Jurnal, dan internet.
Penulis mengklasifikasikannya berdasarkan kajian yang terkait dengan tema-tema
yang dibahas penulis. Yakni sebagai berikut:
Penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi yang pertama menginspirasi penulis
dalam mengkaji tema ayat-ayat al-Qur‟an tentang kelestarian alam dalam
perspektif Living Qur‟an di Pesantren Agroekologis Bogor adalah skripsi
Almuzani, “Dakwah Transformatif, Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam
Upaya Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara.”18
Banyak
kesamaan yang telah dibahas dalam skripsi ini, melihat bahwa penulisan skripsi
ini juga berfokus pada Pesantren Agroekologis yang sedang diteliti juga oleh
penulis. Namun, dalam skripsi ini Almuzani menjelaskan proses dakwah yang
sedang dijalankan oleh pihak pesantren kepada warga sekitar dengan model
dakwah yang disebut dakwah transformatif. Sedangkan penulisan skripsi ini
mencoba mengkaji basic analisa pesantren tersebut atas al-Qur‟an sehingga
pesantren melakukan dakwah dengan model dakwah transformatif. Penulis
mengkaji dari sudut pandang yang disebut living quran karena fenomena sosial ini
mau bagaimanapun tidak lepas dari ajaran al-Qur‟an yang dipegang teguh oleh
pesantren.
18
Almuzani, “Dakwah Transformatif, Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam
Upaya Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara.”(Skripsi S1 Fakultas
Dakwah dan Komunikasi,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018)
15
Dalam upaya meneliti lebih lanjut tentang kelestarian alam dalam al-
Qur‟an, penulis mencantumkan beberapa tulisan baik buku maupun jurnal,
sebagai berikut:
Mujiyono Abdillah, Agama ramah lingkungan: perspektif Al-Qur'an
Volume 6 dari Seri disertasi.19
Banyak tulisan baik buku, jurnal maupun karya
ilmiah lainnya yang bicara masalah lingkungan dari perpsektif al-Qur‟an, namun
semua tinggal jadi debu yang melayang kesana kemari tak tentu arah jika apa
yang ditulis tidak pernah benar-benar dipraktekkan dalam keseharian masyarakat
khususnya umat islam. Namun buku ini tetap penting guna memberikan landasan
dari perpsektif al-Qur‟an tentang bagiamana seharusnya alam diperlakukan oleh
manusia menurut ajaran agama.
Ahmad Suhendera, Menelisik Ekologis dalam al-Qur‟an.20
Dalam jurnal
ini penulis menguraikan banyak wawasan al-Qur‟an terkait ekologi. Seperti
peringatan untuk tidak merusak bumi, dan memberi batas-batas tertentu tentang
bagaimana Islam memberikan nilai ekologis kepada seluruh umatnya melalui al-
Qur‟an. Dengan menggunakan analisa semantik-hermeneutis, penulis mencoba
untuk mengetahui makna setiap kata-kata yang tersusun dalam al-Qur‟an terkait
nilai-nilai ekologis dalam al-Qur‟an. Namun, operasional ayat yang diharapkan
dapat membantu mewujudkan cita-cita ekologis al-Qur‟an belum terjabarkan.
Agus Iswanto, Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam al-Qur‟an.
Upaya membangun Eco-Theology.21
Tulisan ini dapat menjadi rujukan penulisan
19 Mujiyono Abdillah, Agama ramah lingkungan: perspektif Al-Qur'an (Jakarta:
Paramadina, 2001).
20
Ahmad Suhendera, Menelisik Ekologis dalam al-Qur‟an, ESENSIA , Vol. XIV No. 1,
(April, 2013).
21
Agus Iswanto, “Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam al-Qur‟an. Upaya
membangan Eco-Theology” Balai Litbang Agama, Jakarta, Vol. 6, No. 1, (2013).
16
skripsi ini karena dalam artikel ini dijelaskan bagaimana relasi manusia dengan
lingkungan dalam al-Qur‟an. Diawali dengan enam pandangan mengenai relasi
manusia dengan lingkungan. Kemudian penulis mengeksplorasi relasi manusia
dengan lingkungan dalam al-Qur‟an melalui dua konsep: tujuan penciptaan alam
semesta dan tujuan penciptaan manusia.
Reflita, Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan (Istinbath Hukum
atas Ayat-ayat Lingkungan22
Jurnal ini menjelaskan secara teoritik bagaimana
kerusakan alam terjadi akibat pemahaman manusia yang kurang komperehensif
tentang teks keagamaan, minimnya pengetahuan tentang alam, serta pandangan
antroposentrik yang hanya memandang alam semesta diciptakan semata untuk
manusia. Penjabaran secara teoritik dengan al-Qur‟an sebagai referensi utamanya
dapat membantu penulisan skripsi ini yang berfokus pada penerapan teori-teori
tersebut dalam masyarakat khususnya warga Pesantren Agroekologis.
Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi
Islam dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan
Hidup.23
Berangkat dari satu asumsi yang sudah lama diyakini oleh umat manusia,
yakni manusia sebagai sentral dari alam semesta, sehingga manusia menganggap
bahwa dirinya bisa melakukan apa saja terhadap alam yang dihuninya, tulisan ini
memberikan landasan yang justru kebalikannya. Bahwa manusia adalah penyebab
dari kerusakan alam yang terjadi dewasa ini, maka buku ini hadir untuk
memberikan penjelasan baik secara sains sosial maupun sains agama, bahwa
manusia tidak bisa bertindak semaunya terhadap alam untuk kepentingan
22
Reflita, “Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan (Istinbath Hukum atas Ayat-ayat
Lingkungan)” Substantia, Vol. 17, No. 2 (Oktober 2015) 23
Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi Islam dalam
Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan Hidup, (Bandumg: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2007).
17
ekonomisnya saja. Buku ini menjadi rujukan utama penulis karena berisis konsep
dan strategi dalam pengelolaan, pemeliharaan, dan penyelamatan lingkungan
hidup.
Penjelasan selanjutnya yang akan penulis bahas yakni tentang kajian
Living Qur‟an sebagai studi khusus tentang pemaknaan ayat-ayat al-Qur‟an yang
dipahami maupun yang dipraktekkan oleh masyarakat di suatu tempat. Penulis
merujuk pada beberapa buku, atikel maupun jurnal, sebagai berikut:
Farid Esack, Samudera Al-Qur‟an”.24
Pada dasarnya buku ini adalah
pengantar ilmu al-Qur‟an. Namun berbeda dengan buku tentang studi Qur‟an
pada umumnya, terdapat beberapa keistimewaan di dalamnya. Pertama, karena
gaya penuturannya yang bersifat naratif. Kedua, buku ini lebih komperehensif
karena berusaha melihat dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut
pandang orang dalam (umat islam) tapi juga dari sudut pandang orang luar.
Ketiga, buku ini banyak mengungkapkan sisi-sisi The Living Qur‟an yakni
tentang bagaimana umat islam mengekspresikan hubungannya dengan al-Qur‟an
dalam kehidupan sehari-hari, sebuah tema yang marak dibicarakan saat ini, dan
terkhusus lagi karena menjadi pokok pembahasan dalam skripsi penulis ini.
M. Mansyur, Sahiron Syamsuddin, Metodologi penelitian living Qur'an &
Hadis.25
Buku pertama yang hadir di Indonesia dan ditulis oleh sarjana Tafsir
Indonesia ini memberikan sumbangan penting bagi berdirinya kajian al-Qur‟an
dengan coraknya yang baru, yakni Living Qur‟an. Buku ini memberikan landasan
teoritis tentang metodologi yang harus digunakan oleh peneliti living qur‟an
24
Farid Esack, Samudera al-Qur‟an, terj. Nuril Hidayah. (Yogyakarta: Diva Press,
2008). 25
M. Mansyur dan Sahiron Syamsuddin, Metodologi penelitian living Qur'an & Hadis (
Yogyakarta: TH-Press, 2007).
18
ketika meneliti fenomena living qur‟an di ranah sosial. Meskipun penulis buku
telah merumuskan metodenya, penulis juga membuka peluang bagi siapa saja
yang ingin mengembangkan bukan hanya metode living qur‟annya tetapi juga
pengertian dan aplikasi dari living qur‟an itu sendiri. Buku ini berguna bagi
perkembangan kajian living qur‟an yang hendak dirumuskan oleh penulis skripsi
ini.
Heddy Shri Ahimsa-Putra, The Living al-Qur‟an: Beberapa Perspektif
Antropologi.26
Jurnal ini memberikan sedikit banyak perspektif antropologi dalam
kajian living qur‟an. Seperti paradigma akulturasi dalam living qur‟an, paradigma
fungsional, paradigma struktural dan lain-lain. Namun, jurnal ini hanya
menjelaskan teori dan memberikan sedikit contoh dalam kajian living qur‟an
untuk dijadikan rujukan oleh siapa saja yang sedang menjalani penelitian living
qur‟an, tanpa memberikan contoh bagaimana paradigma tersebut beroperasi dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Didi Junaedi, Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-
Qur‟an.27
Artikel ini membahas tentang metode Living Qur‟an sebagai sebuah
pendekatan baru dalam kajian al-Qur‟an dalam mengkaji dan meneliti peristiwa
sosial secara ilmiah. Pendekatan ini berusaha memotret proses interaksi
masyarakat terhadap al-Qur‟an. Namun penjelasan dalam artikel ini lebih
memfokuskan pada ritual pembacaan teks-teks al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-
hari. Meskipun ayat-ayat yang dibaca atau dipahami tidak berhubungan dengan
konteks masyarakat.
26
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living al-Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”
Jurnal Walisong, Vol. 20 ( Mei 2012) 27
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”
Jurnal of Qur‟an and Hadith Studies Vol. 4, No. 2 ( 2015)
19
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang masing-masing bab terdiri atas
beberapa sub bab yang saling berkaitan, sehingga menjadi satu kesatuan utuh.
Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, yang mencakup Latar Belakang Masalah, Perumusan dan
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,
tinjauan pustaka serta sistematika penulisan. Dengan adanya bab ini, penulis ingin
mengemukakan alasan dasar, atau basis argumentasi dari penulis yang menjadi
objek kajian pada skripsi ini. Kemudian landasan pada bab selanjutnya barulah
dikemukan landasan teoritis dari skripsi ini.
BAB II Landasan teoritis yang terdiri dari Kelestarian Alam, al-Qur‟an, Tafsir dan
Living Qur‟an. Sebagaimana dikemukakan pada bab I, pada bab ini penulis
memberikan uraian tentang teori-teori yang dikemukakan oleh para pakar yang
fokus dalam bidang keilmuan yang sedang penulis telusuri. Sehingga dapat
mengantarkan penulis pada bahasan yang akan dibahas pada bab inti yakni bab
IV.
BAB III Pondok Pesantren Agroekologi, meliputi Sejarah dan Perkembangan,
Visi Misi, Kegiatan Pondok dan Aktivitas Pelestarian Alam di Pondok Pesantren
Agroekologi dan sekitarnya. Profil lembaga yang penulis jabarkan pada bab ini,
tepatnya profil Pondok Pesantren Agroekologis adalah subjek utama dari
penelitian ini. Dengan menggunakan kajian Living Qur‟an penulis ingin
menjelajahi lebih lanjut apa yang mendasari pondok pesantren yang dalam
programnya itu menggambarkan tindak atau laku pelestarian alam dan dengan al-
20
Qur‟an sebagai sumber inspirasinya mampu menahan laju perusakan alam yang
dilakukan oleh pihak penambang, yakni PT ANTAM.
BAB IV Analisi dan Temuan (Pemaknaan Pesantren Agroekologi Biharul Ulum
Atas Ayat-Ayat Kelestarian Alam). Setelah mengetahui program kegiatan yang
dijalankan oleh pesantren dalam rangka pelestarian alam, penulis menganalisa
pemahaman pesantren dalam hal ini pimpinan pondok tentang sumber dasar al-
Qur‟an yang kemudian terwujud dalam program pelestarian alam.
BAB V Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Saran. Pada bab ini berisi jawaban
atas rumusan masalah yang telah dijabarkan oleh penulis di bab 1.
21
BAB II
KELESTARIAN ALAM, AL-QUR’AN, TAFSIR DAN LIVING QUR’AN
A. Teori Kelestarain Alam
1. Pengertian Kelestarian Alam
Kelestarian alam erat kaitannya dengan keserasian lingkungan hidup, dan
ada dua kata kunci yang sangat erat kaitannya dengan hal ini, yakni ekologi dan
ekosistem. Kata ekologi (ecology) berasal dari bahasa Yunani, oikos yang berarti
rumah tangga dan logos yang berarti ilmu. Ekologi sendiri bisa dikatakan sebagai
sebuah studi tentang rumah tangga makhluk hidup. Ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang interaksi antar makhluk hidup dan lingkungannya,
termasuk benda mati yang ada di sekitarnya.1
Istilah ekologi, muncul pertama kali pada tahun 1866. Seorang ahli ilmu
biologi dari Jerman, Ernst Haeckel, memperkenalkan istilah oekologi, yang
kemudian hari ini dikenal sebagai ekologi.2 Istilah ini berasal dari bahasa Yunani,
oekos berarti rumah dan logi atau logos berarti ilmu. Sehingga secara harfiah
ekologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau
dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumahtangga makhluk hidup.
Dalam perkembangannya, ekologi yang sejak awal memfokuskan
kajiannya pada hubungan interaksi manusia dengan rumahtangganya, yakni
dengan alam dan seluruh isinya yang saling berkait-kelindan, memunculkan
kajian yang lebih spesifik lagi, yaitu Etika Lingkungan. Etika lingkungan yang
paling awal tumbuh dan hinggap dalam peradaban manusia adalah Etika
1 Mardiana, ―Kajian Tafsir Tematik tentang Pelestarian Lingkungan Hidup‖ Jurnal AL-
FIKR, Vol 17, No1 (2013): h, 139. 2 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia )Bogor: IPB, 2007), h. 33.
22
Lingkungan Dangkal (Shallow Environmental Ethics), atau yang dikenal sebagai
antroposentrisme. Menginjak pertengahan abad ke-20, sebagai gugatan terhadap
antroposentrisme, berkembang Etika Lingkungan Medium (Intermediate
Environmental Ethics) atau yang dikenal sebagai biosentrisme. Selanjutnya, pada
awal 1970an. etika biosentrisme ini diperluas oleh Arne Naess menjadi Etika
Lingkungan Dalam (Deep Environmental Ethics) atau yang dikenal sebagai
ekosentrisme.3
Pertama, Etika antroposentrisme. Menurut buku Ekologi Manusia,
antroposentrisme dapat dikatakan berakar dari: (i) teologi kristen (terutama dari
kisah penciptaan dunia sebagaimana dimuat dalam kitab kejadian); (ii) tradisi
pemikiran liberal yang diletakkan oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene
Descartes dan Immanuel Kant; dan (iii) cara pandang atau paradigma ilmu
pengetahuan yang bersifat mekanistik sebagaimana telah diutarakan sebelumnya.
Antroposentrisme adalah etika lingkungan yang memandang manusia
sebagai pusat dari alam semesta. Hanya manusia dan kepentingannya sajalah yang
mempunyai nilai. Manusia dipandang sebagai penguasa alam yang boleh
melakukan apa saja. ia dianggap berada di luar, di atas, dan terpisah dari alam.
Segala sesuatu yang hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh mendukung
dan demi kepentingan manusia. Sehingga alam beserta seluruh isinya hanya
dipandang sebagai objek, sumberdaya, alat, atau sarana bagi pemenuhan
kepentingan, kebutuhan dan tujuan manusia. Dalam pandangan antroposentris ini
dikonstruksikan tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.4
3 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia, h. 9.
4 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia, h. 9.
23
Kedua, Etika biosentrisme. Diperkenalkan pertama kali oleh Albert
Schweitzer (pemenang Nobel 1952). Etika ini menggugat cara pandang
antroposentrisme. Menurut biosentrisme adalah hal yang tidak benar bila hanya
manusia yang mempunyai nilai. Alam juga mempunyai nilai yang melekat pada
dirinya sendiri. terlepas dari kepentingan manusia. Etika ini berpandangan bahwa
setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai yang melekat pada dirinya
sendiri, sehingga makhluk hidup selain manusia yang ada di alam ini perlu
diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai atau tidak. Sebagai
konsekuensinya, alam semesta adalah suatu komunitas moral, dimana setiap
kehidupan alam semesta ini, baik manusia maupun bukan manusia sama-sama
mempunyai nilai moral. Dengan demikian, etika tidak hanya dipahami atau
diberlakukan sebatas pada komunitas manusia, tetapi juga berlaku bagi seluruh
komunitas biotik: manusia dan makhluk hidup lainnya. Setiap makhluk hidup,
baik manusia maupun hewan, pada dasarnya mempunyai hak hidup demikian pula
sistem kehidupan. Implikasi lebih lanjut, agar antroposentrisme berubah menjadi
biosentrisme, maka sesuatu yang bersifat hirarkis harus dihindari, dengan cara
menyatu dengan, dan bukan berada di atas, organisme lain.5
Ketiga, Ekosentrisme. Merupakan perluasan dari etika biosentrisme.
Kedua teori ini sering disamakan karena adanya kesamaan. Baik biosentrisme
maupun ekosentrisme menolak cara pandang ekosentrisme yang memandang etika
hanya berlaku bagi komunitas manusia. Pada biosentrisme etika diperluas
mencakup makhluk hidup. Sementara pada ekosentrisme, etika diperluas ke
seluruh sistem ekologi, baik yang hidup (biotik) maupun yang tak hidup (abiotik).
5 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia. h. 10.
24
Pandangan ekosentrisme ini berangkat dari pemahaman bahwa secara ekologis
makhluk hidup dan lingkungan abiotiknya satu sama lain saling terkait, tidak
dapat dipisah. Sehingga kewajiban dan tanggungjawab moral manusia tidak hanya
dibatasi pada makhluk hidup, melainkan juga berlaku pada seluruh realita ekologi.
Teori ekosentrisme ini. Teori ekosentrisme ini dikembangkan oleh Arne Ness,
filsuf Norwegia, pada tahun 1973, yang kemudian menjadi tokoh utama gerakan
‗Ekologi Dalam‘ (Deep Ecology). Ness membedakan gerakan lingkungan yang
berangkat dari pemahaman yang dangkal atas makna ekologi, dengan berangkat
dari pemahaman yang pekat pada ekologi.6
Prinsip dasar paham ‖ekologi dalam‖ adalah menyelamatkan SDA dan
lingkungannya dari kerusakan pengembangan etika dan moral manusia. Karena
itu, membangun etika dan moral menjadi sangat penting mengingat peran SDA
dan lingkungan sebagai penyangga sistem kehidupan.
2. Ruang Lingkup Kelestarian Alam
Secara umum yang dimaksud dengan pelestarian alam adalah segala benda,
kondisi atau keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati
dan mempengaruhi hal-hal yang hidup termasuk kehidupan manusia.7 Dalam
pelestarian alam terdapat sebuah komponen keberhasilan seperti adanya pengaruh
dan dukugan dari pemerintah dan masyarakat. Karena sebuah keberhasilan
pelestarian alam itu merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengatur dan
masyarakat untuk membantu dalam mensukseskan acara –acara pelestarian alam
tersebut. Pemerintah yang mempunyai program dalam upaya pelestarian alam,
sebagai salah satu program seperti Cagar alam yang mempunyai ciri khas
6 Soeryo Adi Wibowo, Ekologi Manusia. h. 11.
7 M. Tholhan Hasan, Islam Dalam Persefektif Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora Press,
2004), h. 315.
25
tumbuhan,satwa dan ekosistem,yang perkembanganya dan digunakan untuk
membudayakan flora dan fauna yang punah, ini merupakan salah satu upaya
program pemerintah, selain itu Indonesia kaya akan pelestarian alam yang bisa di
manfaatkan untuk melestarikan dan bermanfaat sebagai tempat objek wisata,
sebagai ilmu pegetahuan dan budaya Indonesia yang harus dipertahankan.
Masyarakat akan membantu dalam keberhasilan pelestarian alam degan upaya
membatasi atau bahkan menghentikan kegiatan penebagan hutan-hutan yang
semakin gundul, menghentikan pengambilan hewan langka, di hutan-hutan. Jika
sebuah lingkugan alam semesta ini rusak, akan berdampak pada diri manusia itu
sendiri.
Segala ciptaan Tuhan di jagad raya ini dengan berbagai karakteristik
melambangkan betapa manusia hidup di bumi ini tidak sendirian, melainkan
hidup bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Makhluk
hidup yang lain itu bukannya sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara
netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada
mereka, tanpa mereka manusia tidak akan dapat hidup. Kenyataan ini dengan
mudah dapat kita lihat dengan mengandaikan di bumi ini tidak ada tumbuhan dan
hewan. Dari manakah mendapat oksigen dan makanan? Tentu harus kita akui
bahwa oksigen yang kita hirup merupakan hasil dari potosintesis tumbuhan hijau
yang sangat bermanfaat bagi manusia.8
Karena itu anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang paling berkuasa
merupakan suatu pemahaman yang keliru melainkan manusia hanya sebagai
pengatur apa yang ada di muka bumi. Seyogyanya kita menyadari dan mengakui
8 Otto Soemarno, Ekologi: Lingkungan Hidup dan Pembangunan¸ (Jakarta: Midas Surya
Grafindo, 1986), h. 20.
26
bahwa kita dengan lingkungan alam memiliki hubungan timbal balik yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Manusia berinteraksi dengan
lingkungannya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Ia
membentuk dan terbentuk oleh lingkungannya manusia seperti ia adanya, yaitu
yang disebut fenotipe, adalah perwujudan yang dihasilkan oleh interaksi sifat
keturunannya dengan faktor lingkungan. Sifat keturunan yang terkandung di
dalam gen yang merupakan bagian kromosom di dalam masing-masing sel tubuh,
menentukan potensi perwujudan manusia, yaitu genotipe. Sifat dalam genotipe itu
akan terwujud tergantung dengan ada atau tidaknya faktor lingkungan yang sesuai
untuk perkembangan sifat itu. Manusia memerlukan udara untuk pernafasan, air
untuk minum, keperluan rumah tangga dan keperluan lain, tumbuhan dan hewan
untuk makan, tenaga dan kesenangan, serta lahan untuk tempat tinggal dan
produksi pertanian. Oksigen yang kita hirup dari udara dalam pernafasan kita,
sebagian besar berasal dari tumbuhan dari proses fotosintesis dan sebaliknya gas
karbondioksida yang kita hasilkan dalam pernafasan digunakan oleh tumbuhan
untuk proses fotosintesis.9
Manusia adalah bagian integral lingkungan hidupnya. Ia tidak dapat
dipisahkan daripadanya, manusia tanpa lingkungan suatu abstraksi belaka. 38
Sungguh, manusia bukan hanya makhluk sosial yang saling membutuhkan antar
sesama manusia, namun manusia pun sangat membutuhkan lingkungan dalam
kehidupannya. Keberadaan hidup manusia bersama-sama dengan makhluk lain
yang di luar dirinya itu, itulah yang disebut dengan lingkungan hidup manusia.
Ruang lingkup wilayah lingkungan hidup serupa itu bersifat relatif, artinya dapat
9 Erwati Aziz, Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Agama Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 42.
27
berbentuk ruangan yang sempit seperti sebuah rumah dengan pekarangannya, atau
lebih luas, mencakup beberapa daerah di kawasan suatu pulau, dan bahkan lapisan
bumi dan udara yang ada penghuninya pun dapat di anggap suatu lingkungan
hidup yang besar yang disebut ―biosfir‖. Tidak hanya itu, tata surya kita, bahkan
seluruh alam semsta ini dapat disebut rung lingkup lingkungan.10
Lingkungan yang digambarkan itu ada yang sudah diciptakan Tuhan seperti:
air, udara, tanah, hewan, tumbuhan dan lainnya, ini disebut dengan ―lingkungan
alami‖ dan ada sebaliknya yang diciptakan oleh manusia, seperti waduk, taman,
tempat rekreasi dan sebagainya, ini disebut dengan ―lingkungan buatan‖.
3. Problematika Kelestarian Alam di Era Modern
Masalah kelestarian alam di indonesia pada masa sekarang merupakan
masalah yang serius, dan merupakan masalah yang kompleks di mana lingkungan
bergantung pada tingkah laku manusia yang semakin lama semakin menurun
kepedulian terhadap lingkungan, sedangkan kita sebagai umat Islam seharusnya
menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak terjadi kerusakan di dalam
lingkungan ini. Dengan dalih untuk kepentingan atau kelangsungan hidup
manusia melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan hidup tanpa
mempertimbangkan kelangsungan (kontinueitas) lingkungan hidup itu sendiri,
pada akhirnya menimbulkan kerusakkan lingkungan. Fenomena lingkungan
dewasa ini menunjukan tingkat kerusakkan yang besar, dan pada gilirannya akan
mengancam kelangsungan hidup manusia itu sendiri Beberapa sebagai contoh
kerusakkan lingkungan di Indonesia.11
10
Erwati Aziz, Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Agama Islam,
h. 42. 11
Johan Iskandar, Manusia Budaya dan Lingkungan, (Jakarta: HUP, 1990), h. 2.
28
1. Perkiraan sekarang tanah rusak di Indonesia mencapai kurang lebih 42 juta Ha
atau 1/5 luas daratan Indonesia. Tanah rusak ini berupa tanah alangalang, hutan-
hutan rusak, dan tanah-tanah gundul. Hal ini menunjukkan terutama akibat
kehidupan manusia lebih dominan pengaruhnya jika dibandingkan dengan
makhluk hidup lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan sehingga timbul
ketidakseimbangan yang mengakibatkan kerusakkan lingkungan,
2. Daerah sekitar danau toba dan aliran sungai asahan terdapat tanah kritis yang
sangat mempengaruhi persediaan air danau tersebut, bila dibiarkan beberapa tahun
saja akan mempengaruhi debit air Danau Toba
3. Kota Jakarta yang merupakan kota yang kompleks di Indonesia mempunyai
masalah pencemaran lingkungan mulai dari pertambahan penduduk yang sangat
cepat, masalah permukiman yang kurang memenuhi syarat baik kesehatan,
maupun lokasinya, disiplin mental warga kota dalam pemeliharaan sarana-sarana
kota. Ditambah dengan kemiskinan, kekurangan gizi, kondisi perumahan dan
sanitasi yang kurang baik akan memudahkan penyebaran penyakit,
4. Kota Bandung yang daerahnya dikelilingi pegunungan tinggi merupakan daerah
yang cukup rawan bila terjadi pencemaran udara, karena daerah yang cukup
rawan ini bisa menimbulkan cukup banyak kesulitan akibat udara yang
mengandung bahan pencemaran terperangkap, tidak bisa naik dan tetap berada di
sana dalam waktu yang cukup lama. Sebagai contoh pencemaran oleh gas CO
yang berasal dari kendaraan-kendaraan bermotor di pusat-pusat keramaian
menunjukkan angka 50-150 ppm. Untuk kota Bandung kadar ini sudah harus
mendapat perehatian.
29
Di negara maju, masalah lingkungan umumnya di akibatkan oleh berbagai
kegiatan industri modern yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Misalnya: pencemaran udara, air, tanah, dan hujan asam: efek gas rumah,
kebocoran reaktor nuklir, serta kasus buangan toksik lainnya terhadap
lingkungan.12
Berada dengan kasus-kasus negara maju, di negara berkembang
seperti Indonesia, pada umumnya penyebab masalah lingkungan antara lain,
dampak negatif dari kemiskinan, juga kegiatan industri. Berbagai masalah
kerusakkan hutan, erosi tanah, kepunahan satwa liar (fauna), penurunan stok ikan
dan udang, serta pencemaran limbah rumah tangga seta pabrik. Kerusakkan
lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi di berbagai tempat dan
ekosistem, misalnya ekosistem pertanian, hutan, pesisir, dan laut.13
B. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Kelestarian Alam
Lingkungan dengan seluruh makhluk hidup erat hubungannya, artinya
lingkungan sangat tergantung atas sesama makhluk hidup lainnya. Bahkan secara
sentral manusia sebagai pemegang peranan dalam sistem ekologi pun sangat
tergantung kepada kebberadaan lingkungannya. Begitupula lingkungan itu akan
tetap memiliki mutu yang baik tidak lepas pula dari tangan manusia terdapat
dalam firman Allah sebagai berikut:
ما وإذ قال ربك للمالئكة إني جاعل ف األرض خليفة قالوا أتعل فيها من ي فسد فيها وي سفك الديس لك قال إني أعلم ما ال ت علمون ونن ﴾﴿ نسبيح بمدك ون قدي
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
12
Supardi, Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya, (Bandung: Alumni, 2003), h. 141 13
Supardi, Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya, h. 149.
30
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui".
Dari penjelasan ayat di atas mengatakan bahwa manusia sebagai sentral
dari lingkungan, yang berarti manusia memiliki kedudukan yang paling tinggi
dibandingkan makhluk hidup yang lain yaitu manusia ditunjuk oleh Allah sebagai
khalifah di muka bumi ini. Khalifah menurut pemahaman al-Islam merupakan
pemimpin di muka bumi ini mempunyai tugas mampu memimpin dirinya darn
mengelola lingkungannya dengan baik. Oleh karena itu dalam persepsi agama
merupakan tugas pokok manusia dalam menjaga keberadaannya. Kebaikan
lingkungan tergantung dari kebaikan manusia. Manusia bertindak dengan baik
untuk sesama manusia dan lingkungannnya.14
Arus hubungan timbal balik mengandung makna bahwa lingkungan
dengan manusia dan sebaliknya manusia dengan lingkungannya adalah integratif.
Artinya satu sumber yakni Allah sebagai penciptanya, satu hakekat yakni saling
bermanfaat dan satu pengembangan dalam konteks pembangunan kehidupan
manusia atau dengan kata lain integrasi kejadian, integrasi kemanfaatan dan
integrasi kepentingan.
Dari pengalaman hidup sehari-hari, ternyata manusia tidak dapat
terpisahkan oleh kedua jenis lingkungan tersebut. Dengan kata lain, kelangsungan
hidup manusia atau eksistensinya sebagai manusia sangat bergantung dengan
kedua hal tersebut, oleh karenanya, apabila pelestarian kedua lingkungan ini tidak
14
M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik
Podogogik (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 87.
31
terpelihara dengan baik, maka eksistensi manusia tersebut akan berakhir. Hal ini
sesuai dengan Firman Allah Swt dalam Surah Sâd [38]: 27, sebagai berikut:
ن هما باطال ذلك ما واألرض وما ب ي ظن الذين كفروا ف ويل ليلذين كفروا من وما خلقنا الس ﴾﴿ النار
Artinya: ―dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan
orangorang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka
akan masuk neraka‖. (Q.S Sâd: 27).
Maksud dari ayat ini adalah, Allah Swt menciptakan segala sesuatunya
tentu memiliki maksud dan tujuannya masing-masing, sepereti halnya manusia
tidak dapat hidup sendirian, dia memerlukan makhluk yang lainnya guna untuk
kelangsungan hidupnya, hal ini digambarkan langsung oleh kehidupan manusia
itu sendiri, manusia tidak akan mendapat oksigen dan makanan apabila tidak ada
hewan dan tumbuhan.15
Sungguh sangat ironis jika tangan-tangan manusia tega
mengeksploitir alam lingkungannya secara tidak manusiawi, dan di sisi lain
kelangsungan hidupnya amat tergantung kepada kelestarian ekosistem atau
hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Allah Swt
berfirman dalam surah al- A’râf [7]: 10 sebagai berikut:
ا تشكرون ناكم ف األرض وجعلنا لكم فيها معايش قليال م ﴾﴿ ولقد مك Artinya: ―Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di
muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur‖ (Q.s. al-A’Râf [7]: 10).
Nikmat yang besar ini wajib dihargai dan diterima dengan penuh rasa
syukur serta keimanan. Akan tetapi karena mereka dibesarkan di dalam nikmat
15
Erwati Aziz, Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Agama Islam,
h. 78.
32
dan karena kecinta mereka yang sangat besar terhadap nikamat, maka mereka
hanya dapat menikmatinya dan tanpa bersyukur kepada Rabb penciptanya.40
Sementara itu Mustafâ Al-Marâgî, di dalam karyanya yang berjudul Tafsîr Al-
Marâghî menafsirkan bahwa maksud dari surah al-Hijr [15] ayat 20 tersebut
adalah di sini terdapat isyarat bahwa Allah Swt memberikan rezeki kepada
mereka, bukan mereka yang memberikan rezeki itu. Di sini benar-benar terdapat
pemberian dan karunia yang besar serta rahmat yang luas bagi hambaNya.16
Bahkan Allah Swt tidak menyediakan untuk manusia itu nikmat yang ada di bumi
saja, melainkan Allah juga menyediakan bahan-bahan keperluan hidup apa yang
ada di langit seperti: matahari, bintang-bintang, udara, hujan dan bendabenda lain
yang ditundukan Allah Swt bagi kemudahan manusia dalam mengelola kebutuhan
hidupnya. Sebagaimana firman-Nya:
ن يعا مي ماوات وما ف األرض ج ا ف الس ر لكم م رون وسخ ﴾﴿ و إن ف ذلك ليات لقوم ي ت فك Artinya:―dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa
yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang berfikir‖. (Q.S. al-Jâtsiyah [45]: 13).
Tuhan begitu kuasa dalam melakukan semua itu, manusia harus pandai
berIqra ciptaan-ciptaan-Nya karena merupakan ayat-ayat kauniyah selain ayat
kauliyah Tuhan yang ditulis dalam 30 Juz al-Qur‘an yang semuanya itu punya
makna tersendiri yang hanya didapat melalui iqro (Al-‘Alaq [96]: 1-5). Banyak
yang mengasumsikan bahwa untuk membuktikan adanya tuhan bercerminlah pada
16
Muhammad Syaltut, Tafsir al-Qur’an karim pendekatan Syaktut Dalam Menggali
Esensi al-Qur’an, Seri 3 (Bandung: CV. Diponegoro, 1990), h.821.
33
ciptaan-ciptaan-Nya yang begitu sempurna dan semua itu tidaklah sia-sia karena
penciptaan segala sesuatu mempunyai maksud dan tujuan tertentu misalnya saja
dalam teori-teori sacral Tuhan Qur‘an surah al-Dzâriyât [51]: 56 disitu Tuhan
menerangkan dengan jelas tujuan penciptaan manusia dan jin. Pada kesempatan
ini akan dibahas dua jenis ciptaan Tuhan berdasarkan ruang lingkupnya yakni
alam besar (makrokosmos) dan alam kecil (mikrokosmos).17
C. Tafsir Ayat-ayat Kelestarian Alam
1. Tafsir Klasik
a. Tafsir Ibnu Katsir Surah al-Rûm ayat 41
ظهر الفساد ف الب ري والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ﴾﴿ ي رجعون
―Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).‖ (QS. Al-Rûm [30]: 41)
Ibn ‗Abbâs, ‗Ikrimah, al-Dahhak, al-Saddî serta lain-lainnya mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan istilah al-barr dalam ayat ini ialah padang sahara,
dan yang dimaksud dengan istilah bahr dalam ayat ini ialah kota-kota besar dan
semua kota lainnya.
Menurut riwayat lain dari Ibnu Abbas dan Ikrimah, al-bahr artinya negeri-
negeri dan kota-kota yang terletak di pinggir sungai.
Ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan al-barr ialah daratan
seperti yang kita kenal ini, dan yang dimaksud dengan al-bahr ialah lautan.
Zaid ibnu Rafi' mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Telah
tampak kerusakan. (al-Rûm [30]: 41) Yakni dengan terputusnya hujan yang tidak
17
34
menyirami bumi, akhirnya timbullah paceklik; sedangkan yang dimaksud dengan
al-bahr ialah hewan-hewan bumi. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibn Abû Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
Ibn ‗Abdullâh Ibn Yazid Ibn al-Muqri, dari Sufyân, dari Hamid ibn Qais Al-A'raj,
dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut. (al-Rûm [30]: 41) Bahwa yang dimaksud dengan rusaknya
daratan ialah terbunuhnya banyak manusia, dan yang dimaksud dengan rusaknya
lautan ialah banyaknya perahu (kapal laut) yang dirampok.
Menurut Ata al-Khurrasânî, yang dimaksud dengan daratan ialah kota-kota
dan kampung-kampung yang ada padanya, dan yang dimaksud dengan lautan
ialah pulau-pulaunya.
Pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat dan didukung oleh
kebanyakan ulama, serta diperkuat oleh apa yang dikatakan oleh Muhammad ibnu
Ishaq di dalam kitab Sirah-nya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
mengadakan perjanjian perdamaian dengan Raja Ailah dan
menetapkan jizyah atas bahr-nya, yakni negerinya.
Firman Allah Swt.:
...كسبت أيدي الناس ظهر الفساد ف الب ري والبحر با
―Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan
manusia.‖ (al-Rûm [30]: 41)
Yaitu dengan berkurangnya hasil tanam-tanaman dan buah-buahan karena
banyak perbuatan maksiat yang dikerjakan oleh para penghuninya.
35
Abul Aliyah mengatakan bahwa barang siapa yang berbuat durhaka
kepada Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena
terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu,
disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang
bunyinya:
لد ي قام ف األرض أحب إل أىلها من أن يطروا أربعني صباحا
―Sesungguhnya suatu hukuman had yang ditegakkan di bumi lebih disukai
oleh para penghuninya daripada mereka mendapat hujan selama empat
puluh hari.‖
Dikatakan demikian karena bila hukuman-hukuman had ditegakkan, maka
semua orang atau sebagian besar dari mereka atau banyak dari kalangan mereka
yang menahan diri dari perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang
diharamkan. Apabila perbuatan-perbuatan maksiat ditinggalkan, maka hal itu
menjadi penyebab turunnya berkah dari langit dan juga dari bumi.
Oleh sebab itulah kelak di akhir zaman bila Isa putra Maryam a.s.
diturunkan dari langit, ia langsung menerapkan hukum syariat yang suci ini
(syariat Islam), antara lain membunuh semua babi, semua salib ia pecahkan,
dan jizyah (upeti) ia hapuskan. Maka tidak diterima lagi upeti, melainkan Islam
atau perang.
Dan bila di masanya Allah telah membinasakan Dajjal beserta para
pengikutnya, juga Ya'juj dan Ma'juj telah dimusnahkan, maka dikatakan kepada
bumi, "Keluarkanlah semua berkah (kebaikan)mu!" Sehingga sebuah delima dapat
dimakan oleh sekelompok orang, dan kulitnya dapat mereka pakai untuk berteduh.
36
Hasil perahan seekor sapi perah dapat mencukupi kebutuhan minum sejumlah
orang. Hal itu tiada lain berkat dilaksanakannya syariat Nabi Muhammad Saw.
Manakala keadilan ditegakkan, maka berkah dan kebaikan akan banyak di dapat.
Karena itulah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui salah satu hadisnya
yang mengatakan,
واب جر والد إن الفاجر إذا مات تستيح منو العباد والبالد، والش"Apabila seorang pendurhaka mati, maka merasa gembiralah semua
hamba, negeri, pepohonan, dan hewan-hewan dengan kematiannya itu."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
dan al-Husain. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aûf, dari
Abû Mikhdam, bahwa pernah ada seorang lelaki di masa Ziad atau Ibnu Ziad
menemukan sebuah kantung berisikan biji-bijian, yakni biji jewawut yang
besarnya seperti biji buah kurma setiap bijinya, tertuliskan padanya kalimat
berikut, "Ini adalah hasil tanaman di suatu masa yang ditegakkan padanya prinsip
keadilan."
Malik telah meriwayatkan dari Zaid Ibn Aslam, bahwa yang dimaksud
dengan kerusakan dalam ayat ini ialah kemusyrikan, tetapi pendapat ini masih
perlu diteliti lagi.
Firman Allah Swt.:
...ليذيقهم ب عض الذي عملوا―Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka.‖ (al-Rûm [30]: 41)
37
Maksudnya, agar Allah menguji mereka dengan berkurangnya harta dan
jiwa serta hasil buah-buahan, sebagai suatu kehendak dari Allah buat mereka dan
sekaligus sebagai balasan bagi perbuatan mereka.
...لعلهم ي رجعون ―agar mereka kembali (ke jalan yang benar).‖ (al-Rûm [30]: 41)
Yakni agar mereka tidak lagi mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
ييئات لعلهم ي رجعون ... ﴾﴿ وب لوناىم بالسنات والس―Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik
dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada
kebenaran).‖ (Al- A’râf : 168)18
b. Tafsîr Ibn Katsîr Surah al- A’râf [7] ayat 56
ن وال ت فسدوا ف األرض ب عد إصالحها وادعوه خوفا وطمعا إن رحت اللو قريب مي ﴾﴿ المحسنني
―Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepadanya rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.‖ (QS al- A’râf [7] : 56)
Penjelasan maksud ayat tersebut dalam tafsir Ibnu katsir adalah, ―Allah
Swt. melarang perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan hal-hal
yang membahayakan kelestariannya sesudah diperbaiki. Karena sesungguhnya
apabila segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kelestariannya, kemudian
18
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, tahqîq, Sâmî Muhammad al-Salâmah Katsîr,
Jilid 5 (Makkah: Dâr Ṯaibâh al-Nasyr wa al-Tauji, 1997), h. 429.
38
terjadilah pengerusakan padanya, hal tersebut akan membahayakan semua hamba
Allah. Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, dan memerintahkan
kepada mereka untuk menyembah-Nya dan berdoa kepada-Nya serta berendah
diri dan memohon belas kasihan-Nya.‖ Untuk itulah Allah Swt. Berfirman:
...وادعوه خوفا وطمعا...―dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan).‖ (Al- A’râf [7]: 56)
Yakni dengan perasaan takut terhadap siksaan yang ada di sisi-Nya dan
penuh harap kepada pahala berlimpah yang ada di sisi-Nya. Kemudian dalam
firman selanjutnya disebutkan:
ن ... ...إن رحت اللو قريب مي―Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat
baik.‖ (al- A’râf [7]: 56)
Maksudnya, sesungguhnya rahmat Allah selalu mengincar orang-orang
yang berbuat kebaikan, yaitu mereka yang mengikuti perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Seperti pengertian yang terdapat di dalam
firman-Nya:
ق ... ...ون ورحت وسعت كل شي فسأكتب ها للذين ي ت ―Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan
rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.‖ (al- A’râf [7]: 156)
Dalam ayat ini disebutkan qaribun dan tidak disebutkan qaribatun
mengingat di dalamnya (yakni lafaz rahmat) terkandung pengertian pahala atau
39
karena disandarkan kepada Allah, karena itu disebutkan qaribun minal
muhsinin (amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik).
Matr Al-Warraq pernah mengatakan, "Laksanakanlah janji Allah dengan
taat kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia telah menetapkan bahwa rahmat-Nya
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."19
4. Tafsir Modern
Al-Qur‘an merupakan kitab petunjuk yang di dalamnya tidak hanya
berbicara tentang hal-hal yang bersifat metafisis-eskatologis, tetapi juga berbicara
tentang alam semesta yang dihuni oleh manusia dan makhluk lainnya. Alquran
memuat pedoman tentang bagaimana menyantuni alam semesta dan lingkungan
sekitarnya.20
Keberadaan alam dan seluruh isinya merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan, semuanya saling terkait dan saling melengkapi. Kelangsungan
hidup satu unsur dalam alam semesta terkait dengan kelangsungan unsur lain.
Oleh karena itu perlu adanya hubungan harmonis antara manusia dan alam
sekitarnya. Manusia tidak hanya dituntut memberikan perhatian dan cintanya
kepada sesama manusia, namun juga kepada seluruh makhluk di alam raya ini.
Eksistensi gunung, laut, air dan tumbuh-tumbuhan yang merupakan bagian dari
alam raya harus dihormati, dengan menjaga dan memelihara kelestariannya.
Sebab kerusakan alam juga akan berakibat pada rusaknya kehidupan manusia itu
sendiri.
Dalam beberapa ayatnya, al-Qur‘an melarang segala bentuk perusakan
lingkungan dan eksploitasi alam secara berlebihan. Seperti; tidak berbuat
19
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm, h. 429. 20
Uraian lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok
Alquran, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), 95-116.
40
kerusakan di bumi setelah adanya perbaikan (Hûd [11]: 85), memperhatikan
akibat yang diterima oleh umat-umat terdahulu yang melakukan perusakan di
bumi (al-A‘ràf [7]: 86), kerusakan di bumi sebagai akibat perbuatan manusia (al-
Rûm [30]: 41) dan menghindari sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan (al-
Baqarah [2]: 11-12). Sekalipun, alam diciptakan untuk manusia untuk
dimamfaatkan demi keberlangsungan hidup mereka, namun manusia dituntut
bersikap arif dalam mengelola alam, tidak berlebihan dan bertindak semena mena
dalam memamfaatkannya sehingga mengakibat kerusakan dan kehancuran.
Kerusakan lingkungan yang terjadi sedikit banyak disebabkan oleh sikap manusia
yang tidak menghargai lingkungan, akibat keserakahan manusia yang
mengeksploitasi alam lingkungannya secara membabi buta. Al-Qur‘an
menyebutkan dalam Surah al-Rûm [30]: 41.
ظهر الفساد ف الب ري والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ﴾﴿ ي رجعون
―Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).‖
Term fasâd bermakna ج و ر خ ن ع ي الش ال د ت ع ال (sesuatu yang keluar dari
keseimbangan). Hal ini menyangkut jiwa/rohani, badan/fisik, dan apa saja yang
menyimpang dari keseimbangan/yang semestinya.21
Dalam al-Qur‘an, bila term
21
al-Asfahânî, al-Mufradàt fî Garîbil-Qur'àn (Bayrût: Dàr-al-Ma‗rifah, t. th), h. 379.
Penggunaan term fasàd dalam al-Qur‘an memiliki banyak pengertian, yaitu: perilaku menyimpang
dan tidak bermanfaat al-Baqarah [2]: 11), ketidakteraturan/berantakan, al-Anbiyà' [21]: 22,
perilaku destruktif/merusak, al-Naml [27]: 34, menelantarkan atau tidak peduli, al-Baqarah [2]:
41
fasâd berbentuk masdar dan berdiri sendiri, maka menunjukkan kerusakan yang
bersifat hissi/fisik, seperti banjir, pencemaran udara, dan lain-lain; dan jika berupa
kata kerja (fi‘il) atau bentuk masdar namun sebelumnya ada kalimat fi‘il, maka
yang terbanyak adalah menunjukkan arti kerusakan yang bersifat non
fisik/ma‘nawi, seperti kafir, syirik, munafik, dan semisalnya.
Para mufassir menjelaskan bentuk-bentuk kerusakan di darat dan laut,
dengan tafsiran yang berbeda-beda, antara lain; al-Râzî, dalam Mafâtih al-Ghaib
menafsirkannya dengan banjir besar, musim paceklik, kekurangan air. Ibnu
‗Asyùr, at Tahrìr wa at-Tanwìr, menafsirkannya dengan kematian sia-sia,
kebakaran, kezaliman, perilaku-perilaku sesat. Al-Zamaksyâriî, dalam Tafsîr al-
Kasysyâf ‘an Haqâ'iq al-Tanzâl wa ‘Uyun al-Aqâwil, menafsirkannya dengan
Gagal panen dan krisis ekonomi.
Terjadinya kerusakan alam dan penyimpangan alam yang melahirkan
bencana disebabkan oleh perbuatan manusia, sebagaimana disebutkan dengan
redaksi yang sangat jelas (bimâ kasabat aidin-nâs). Meski begitu, redaksi tersebut
dipahami oleh sebagian ahli tafsir bukan hanya menunjukkan perilaku manusia
secara langsung dalam konteks kerusakan alam, seperti illegal loging, membuang
sampah secara sembarangan, membuang limbah industri tanpa memperhatikan
ekosistem, dan lain-lain, tetapi juga mengacu kepada perilaku non fisik, seperti
kemusyrikan, kemunafikan dan segala bentuk maksiat. Artinya, penyimpangan
akidah dan perilaku maksiat itulah yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan.
Hanya saja al-Ràziy memberikan penegasan bahwa kemusyrikan dan kekufuran di
220, kerusakan lingkungan al-Rùm [30]: 40. Term lain yang menunjukkan kerusakan lingkungan
adalah term ‗halaka’ dan ‗sa‘a‘. Hanya saja kedua kata ini tidak selalu menunjukkan makna
kerusakan lingkungan. Makna kerusakan lingkungan, hanya bisa ditemui dalam beberapa ayat
misalnya dalam al-Baqarah [2]: 205.
42
sini bukan hanya dalam tataran akidah tetapi perilaku, sehingga fasiq pun
dianggap sebagai syirik dalam konteks perbuatan bukan keyakinan.22
B. Living Qur’an
1. Pengertian Living Qur‘an
Studi Al-Qur‘an sebagai sebuah upaya sistematis terhadap hal-hal yang
terkait langsung atau tidak langsung dengan al-Qur‘an pada dasarnya sudah
dimulai sejak zaman Rasul. Hanya saja pada tahap awalnya semua cabang ‗ulûm
al-Qur‘ân dimulai dari praktek yang dilakukan generasi awal terhadap dan demi
al-Qur‘an, sebagai wujud penghargaan dan ketaatan pengabdian. Ilmu
Qirâ’at, rasm al-Qur‘ân, tafsîr al-Qur’ân, asbâb al-nuzûl, dan sebagainya dimulai
dari praktek generasi pertama al-Qur‘an (Islam). Baru pada era takwîn atau
formasi ilmu-ilmu keislaman pada abad berikutnya, praktek-praktek terkait
dengan al-Qur‘an ini disistematiskan dan dikodifikasikan, kemudian lahirlah
cabang-cabang ilmu al-Qur‘an. Terkait dengan lahirnya cabang-cabang ilmu al-
Qur‘an ini, ada satu hal yang perlu dicatat, yakni bahwa sebagian besar, kalau
tidak malah semuanya, berakar dari problem-problem tekstualitas al-Qur‘an.
Cabang-cabang ilmu al-Qur‘an ada yang terkonsentrasi pada aspek internal teks,
ada pula yang memusatkan perhatiannya pada aspek eksternalnya seperti asbâb
al-nuzûl, dan târîkh al-Qur’ân yang menyangkut penulisan, penghimpunan hingga
penerjemahannya. Sementara praktek-praktek tertentu yang berwujud penarikan
22
Fakhr al-Dîn al-Ràziî, Mafàtih al-Gaib, jilid 5 (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 387.
43
al-Qur‘an ke dalam kepentingan praksis dalam kehidupan umat di luar aspek
tekstualnya nampak tidak menarik perhatian para peminat studi Qur‘an klasik.23
Dengan kata lain, living Qur‘an yang sebenarnya bermula dari
fenomena Qur‘an in Everyday Life, yakni makna dan fungsi al-Qur‘an yang riil
dipahami dan dialami masyarakat muslim, belum menjadi objek studi bagi ilmu-
ilmu al-Qur‘an konvensional. Adapun bahwa fenomena ini sudah ada embrionya
sejak masa yang paling dini dalam sejarah Islam adalah benar adanya, tetapi bagi
dunia Muslim yang saat itu belum terkontaminasi oleh berbagai pendekatan ilmu
sosial yang notabene produk dunia Barat, dimensi sosio kultural yang
membayang-bayangi kehadiran al-Qur‘an tampak tidak mendapat porsi sebagai
objek studi.24
2. Sejarah Living Qur‘an
Di dalam artikel Al-Qur‘an Sebagai Fenomena Yang Hidup (Kajian Atas
Pemikiran Para Sarjana Al-Qur‘an, yang ditulis oleh Hamam Faizin, disebutkan
bahwa tahun 2005, beliau terlibat dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir
Hadis se-Indonesia (FKMTHI). Pada tahun itu FKMTHI mengadakan kongres
yang didahului dengan seminar. Tema seminar yang diusung adalah Living
Qur‘an: Al-Qur‘an dalam kehidupan sehari-hari. Hamam terlibat dalam
mendiskusikan tema tersebut dengan beberapa dosen. Salah satu dosen yang
gencar mengusung tema ini adalah Muhammad Mansyur dan Ahmad Rofiq.
23 Syahiron Samsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
TH Press, 2007), h. 5-6.
24 Syahiron Samsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, h. 9.
44
Setelah berdiskusi dengan mereka Hamam sempat membuat sebuah artikel
dengan tujuan melempar tema tersebut ke publik dan akademika studi al-Qur‘an,
supaya mendapatkan respons. Artikel tersebut berjudul Living Qur‘an: Sebuah
Tawaran, yang dimuat di kolom Kajian Utan Kayu Harian Jawa Pos, 10 Januari
2005. Inti artikel ini adalah mengajak akademik untuk mengembangkan kajian al-
Qur‘an yang tidak melulu memperlakukan al-Qur‘an sebagai teks (canon), tetapi
juga mengkaji al-Qur‘an sebagai fenomena yang hidup dalam masyarakat seperti
cara masyarakat (awam) berinteraksi dengan al-Qur‘an, memperlakukan al-
Qur‘an sebagai sesuatu yang bernilai dengan sendirinya.25
Meskipun artikel Hamam Faizin ini masih relatif abstrak —karena masih
berupa tawaran—, semingu setelah itu, yakni 16 Januari 2005, Islah Gusmian
(alumni TH dan Dosen STAIN Surakarta, penulis buku Khasanah Tafsir
Indonesia) menanggapi artikel penulis pada kolom dan harian yang sama dengan
tajuk Al-Qur‘an dalam Pergumulan Muslim Indonesia. Dengan kerangka teoretik
dan pendekatan yang berbeda dengan yang saya pakai, Islah Gusmian
melihat Living Qur‘an dari sisi sosial budaya dan mengajukan beberapa wilayah
kajiannya: Pertama, visual teks al-Qur‘an (kaligrafi) yang diposisikan sebagai
suatu subjek yang menghasilkan potensi seni yang sangat berharga. Kedua, aspek
wujud material al-Qur‘an yang dijadikan medan arsitektural dengan
menuliskannya dalam ukuran yang besar. Ketiga, aspek aksentuasi grafis pada
susunan teks al-Qur‘an yang ditampilkan dalam bentuk puitis. Keempat, perajutan
seni suara dalam keutamaan membaca al-Qur‘an. Kelima, pelestarian orisinalitas
teks al-Qur‘an dalam tradisi tahfidz. Keenam, teks al-Qur‘an sebagai
25
Eddy Shri Ahimsa-Putra, ―The Living Al-Qur‘an: Beberapa Perspektif Antropologi‖,
Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 1, (Mei 2012): h. 236-237.
45
mantra, hizb, wirid, yang diyakini bisa menjadi sarana mengobati penyakit atau
membentuk kekuatan magis. Artikel Islah Gusmian lebih memberikan contoh
detail tentang objek-objek yang bisa dijadikan kajian dalam living qur‘an.
3. Defenisi Operasional Living Qur‘an
Sebenarnya gambaran secara umum bagaimana kaum muslimin merespon
terhadap kitab sucinya (al-Qur‘an) tergambar dengan jelas sejak zaman Rasulullah
dan para sahabatnya. Tradisi yang muncul adalah al-Qur‘an dijadikan obyek
hafalan (tahfiz), listening (sima`i), dan kajian tafsir di samping objek
pembelajaran (sosialisasi) ke berbagai daerah dalam bentuk ―majlis al-Qur‘an‖
sehingga al-Qur‘an telah tersimpan di ―dada‖ (sudur) para sahabat. Setelah umat
Islam berkembang dan mendiami di seluruh belahan dunia, respon mereka
terhadap al-Qur‘an semakin berkembang dan bervariatif, tak terkecuali oleh umat
Islam Indonesia. Menurut pengamatan penulis, masyarakat Indonesia khususnya
umat Islam sangat respek dan perhatian terhadap kitab sucinya, dari generasi ke
generasi dan berbagai kalangan kelompok keagamaan di semua tingkatan usia dan
etnis. Fenomena yang terlihat jelas, bisa kita ambil beberapa kegiatan yang
mencerminkan everyday life of the Qur‘an, sebagai berikut:
a. Al-Qur‘an dibaca secara rutin dan diajarkan di tempat-tempat ibadah (Masjid
dan Surau/Langgar/Mushalla), bahkan di rumah-rumah, sehingga menjadi acara
rutin everyday, apalagi di pesantren-pesantren menjadi bacaan wajib, terutama
selepas shalat maghrib. Khusus malam Jum`at yang dibaca adalah surah Yâsîn dan
kadang ditambah surah al-Wâqi`ah.
46
b. Al-Qur‘an senantiasa dihafalkan, baik secara utuh ataupun sebagiannya (1 juz
hingga 30 juz), meski ada juga yang hanya mehafal ayat-ayat dan surah tertentu
dalam juz ‗Amma untuk kepentingan bacaan dalam shalat dan acara-acara
tertentu.
c. Menjadikan potongan-potongan ayat satu ayat ataupun beberapa ayat tertentu
dikutip dan dijadikan hiasan dinding rumah, masjid, makam bahkan kain kisywah
ka‘bah (biasanya ayat Kursyî, al-Ikhlâs, al-Fâtihah dsb.) dalam bentuk kaligrafi
dan sekarang tertulis dalam ukiran-ukiran kayu, kulit binatang, dan lain-lain.
d. Living Qur‘an juga mengacu pada suatu masyarakat yang kehidupan sehari-
harinya menggunakan al-Qur‘an sebagai kitab acuannya. Mereka hidup dengan
mengikuti apa-apa yang diperintahkan al-Qur‘an dan menjauhi hal-hal yang
dilarang di dalamnya, sehingga masyarakat tersebut seperti ―al-Qur‘an yang
hidup‖, al-Qur‘an yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari mereka.26
26
Heddy Shri Ahimsa-Putra, ―The Living al-Qur‘an: Beberapa Perspektif Antropologi‖
Jurnal Walisong, (Vol. 20, I Mei 2012): h. 236-237
47
BAB III
PROFIL PESANTREN AGROEKOLOGIS BIHARUL ULUM
A. Sejarah dan Perkembangan Pesantren Agroekologi Biharul Ulum
30 September tahun 2014, pesantren yang dinamakan Biharul Ulum
diresmikan untuk pertama kalinya. Dengan karakteristik Pesantren yang
dinisbahkan sebagai pesantren Agro Ekologis, pesantren ini berkomitmen untuk
memadukan kegiatan agama dengan kegiatan pertanian serta komitmen menjaga
ekosistem. Pendirian pesantren ini adalah juga sebagai sebuah usaha untuk
memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat sekitar tentang reformasi agraria
dan ekologi.
Kampung Legok Kiara, Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten
Bogor, merupakan tempat dimana pesantren ini berada. Pemandangan indah nan
elok, udara sejuk yang senantiasa diselumuti kabut, menjadi ciri utama dari tempat
yang berada di atas ketinggian 600-1500 meter dari permukaan laut, yang mampu
membuat hati siapa pun terasa damai jika berada di tengah alam ini. Berdasarkan
data monografi desa tahun 2013, desa cisarua memiliki luas wilayah mencapai
1.411 Ha. Wilayah ini dihuni oleh 9.828 jiwa, yang terdiri dari 2.064 KK dengan
komposisi 5.138 laki-laki dan 4.603 perempuan yang tersebar di 32 kampung, 6
Rukun Warga (RW) dan 33 Rukun Tetangga (RT). 68,01% warga disini
berprofesi sebagai petani. Kemudian sebagian besar warga (75%)nya menempuh
pendidikan hanya sampai tingkat SD (Data desa Cisarua 2011).1
Keberadaan pesantren ini, tidak bisa dilepaskan dari latar belakang masyarakat
disana yang sudah puluhan tahun hidup berdampingan dengan sebuah perusahaan
1 Arsip Kegiatan Pesantren Agroekologis Biharul Ulum tahun 2016
48
tambang emas milik negara, yakni PT ANTAM. Menurut salah satu pendiri
sekaligus pimpinan Pesantrennya saat ini, Muallim Atim, latar belakang dari
berdirinya pesantren ini adalah didasari pada kondisi sosial dan ekologi di
kawasan Lereng Utara Pegunungan Halimun Utara ini. Krisis sosial, krisis
ekonomi, maupun krisis ekologi terjadi akibat dari praktik kebijakan pemerintah
sejak Orde Baru, terutama tentang kawasan konservasi (Taman Nasional), berupa,
masuknya PT ANTAM Tbk milik BUMN. dan pihak pengelola dari pihak swasta
yakni PT HAPINDO yang menguasai lahan produksi dengan skala besar sehingga
mengakibatkan banyaknya penduduk asli beralih profesi yang awalnya petani
menjadi penambang emas ilegal atau dalam istilah masyarakat setempat yakni
sebagai Gurandil.2
Masuknya PT Antam ini sedikit banyaknya juga merubah pola hidup dan
perilaku masyarakat yang kian lama menjadi kian materialistis. Banyak dari
mereka yang enggan melanjutkan sekolah lantaran menjadi penambang lebih
menjanjijakan secara penghasilan ketimbang melanjutkan belajar sampai
pendidikan tinggi. Sekolah kian diukur dari seberapa banyaknya materi/ekonomi
yang akan didapat si pendidik. Keinginan menambang tidak hanya datang dari si
pemuda/I secara langsung, namun ada juga yang datang atas perintah orang tua si
anak, mengingat penghasilan dari tambang lebih menjanjikan bagi kelangsungan
hidup sekeluarga. Perubahan pola pikir maupun pola hidup masyarakat tadi
diiringi juga dengan meningkatnya angka pernikahan dini, gaya hidup ke-kota-
kotaan yang negatif secara mentah diadopsi oleh masyarakat, yang kesemuanya
itu berkaitan dengan gaya hidup yang isntan.
2 Almuzani, Dakwah Transformatif Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam Upaya
Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara. (S1 Fakultas Dakwah dan
Komunikasi,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2018), h. 52.
49
Seluruh aktivitas pertambangan baik yang dilakukan oleh PT. Antam Tbk
atau pertambangan ilegal yang dilakukan sebagian masyarakat sangat berdampak
pada lingkungan, sebab dalam proses pengolahannya menggunakan zat kimia
berbahaya seperti Mercury (Hg), Cyanida (Cn), Soda Api (Kostik) yang mana
limbah hasil proses pengolahan emas tadi disadari atau tidak dibuang/dialiri ke
area pemukiman masyarakat melalui saluran air untuk dikonsumsi, area
persawahan seperti saluran irigasi, begitupun dengan tanah tempat atau sisa
galian, banyak meninggalkan lubang sehingga terjadi longsor, bahkan tidak jarang
aktivitas pertambangan kerap menelan korban jiwa, seperti yang terjadi pada 16
Februari 2017 lalu misalnya, beberapa penambang ada yang terkubur hidup-hidup
di dalam lobang galiannya.3
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, Mu’alim Atim Haetami
bersama sebagian masyarakat Desa Cisarua dan Lembaga Swadaya Masyarakat
setempat, mendirikan pesantren berkarakter Agroekologis. Upaya melakukan
transformasi sosial di daerah tersebut sudah dilakukan oleh Atim dan masyarakat
sejak 1990-an. Mualim Atim lahir pada tahun 1966, menyelesaikan pendidikan
dasar pada tahun 1980, sebelum berangkat mondok, 1980-1984 Atim
menggembala kerbau, baru pada tahun 1985 beliau melanjutkan pendidikannya ke
Leuwi Sadeng untuk ngaji di Pesantren Nurul Hidayah, kemudian pada tahun
1987 berangkat ke Sidamulya melanjutkan belajar di cabang Pesantren Nurul
Hidayah (Leuwi Sadeng) sampai 1988, lalu pulang dan mendirikan pesantren dan
Majlis Ta’lim Al-Mahfuziah.
3 Almuzani, Dakwah Transformatif Pesantren Agroekologis Biharul Ulum dalam Upaya
Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di Kawasan Halimun Utara, h 53.
50
Tanah pesantren yang digunakan oleh Mualim Atim dan sebagian
masyarakat di Nanggung sebenarnya adalah tanah dari hasil perjuangan
masyarakat dalam melawan pengambilalihan tanah demi terwujudnya reformasi
agraria. Sejak berdirinya kelompok tani SEKARSARI pada tahun 2007 dan Atim
menjadi ketua kelompok tani tersebut, Atim dan masyarakat terus berjuang.
Kemudian pada tahun 2011 Mualim Atim bersama masyarakat Desa Cisarua
bergabung dengan organisasi masyarakat se-kecamatan Nanggung, AMANAT
(Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif) yang salah satu konsennya adalah
untuk memberikan payung hukum atas tanah terlantar eks HGU PT Hapindo yang
telah dikelola sekaligus diambil alih oleh sejumlah masyarakat Kecamatan
Nanggung Bogor dan Atim ditunjuk untuk menjadi koordinator kampung
(KORKAM). Termasuk tanah yang diatasnya berdiri pesantren agroekologi saat
ini, adalah hasil dari pendudukan tanah eks HGU PT Hapindo.
Menggunakan Pesantren sebagai salah satu medianya. Selain krisis sosial-
ekologis, landasan teologis adalah salah satu alasan Pesantren Agroekologi
Biharul Ulum dalam upaya pemulihan krisis sosial-ekologi di kawasan tersebut,
sebagaimana dikatakan Mualim Atim saat diwawancarai. Beliau mengatakan
sebagai agama Rahmatan lil ‘alamîn, islam adalah agama yang memerintahkan
umatnya untuk berfikir kritis dalam menyikapi realita kehidupan, sebagaimana
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
ث ر يا أي ها ﴾١﴿ المد ﴾٢﴿ قم فأنذر
Artinya: 1. Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), 2. Bangunlah,
lalu berilah peringatan! (Q.S. al-Muddatsir [74]: 1-2)
51
الذي عملوا لعلهم ظهر الفساد ف الب ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض ﴾١١﴿ ي رجعون
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)”. (QS. al-Rûm [30]:41)
Berdasarkan ayat diatas, Mualim Atim mengatakan:
“kita itu disuruh membuka mata melihat ke segala arah terhadap realitas yang kita
hadapi, apabila kita menemukan suatu hal yang negatif maka tugas kita adalah
memberi peringatan serta melakukan tindakan terhadap persoalan tersebut”4
Di Pesantren ini, kajian kitabnya tidak jauh berbeda dengan Ponpes lain
pada umumnya, di sini kitab kuning juga menjadi kitab yang dikaji, ada juga
latihan ceramah, (Muhadharah). Namun terlepas dari itu semua, pesantren
agroekologi ini memilki fokus lain sesuai dengan namanya, yakni berupa
pembelajaran tentang pertanian dan pemahaman seputar ekologi, dengan
memberikan keterampilan kepada santri tentang bertani organik, yang bertujuan
agar para santri menjadi generasi petani muda, disamping juga harus memiliki
akhlak mulia dan kemampuan hidup bermandiri. Selain itu, harapannya juga
adalah agar para santri dapat menjadi contoh di masyarakatnya masing-masing
khususnya masyarakat sekitar lereng utara Halimun Bogor, agar mau kembali
berprofesi sebagai petani, sebagai suatu aktivitas produksi yang tidak memiliki
resiko tinggi (baik untuk pribadi maupun lingkungan sekitar) dan potensi merusak
4 Wawancara dengan Mualim Atim, Pimpinan Pondok Pesantren Agro-Ekologi Biharul
Ulum pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.45-22.30 WIB.
52
alam. Serta agar dapat merevitalisasi tradisi lokal yaitu peduli terhadap kelestarian
alam.5
B. Visi, Misi, Struktur dan Kegiatan Pondok Pesantren
1. Visi
Terciptanya lembaga pendidikan untuk santri dan seluruh masyarakat
sebagai pusat tafaqqahu fiddin berakhlakul karimah dan melahirkan Khoirul
ummah (umat terbaik)
2. Misi
a) Menyelenggarakan pendidikan, dan keislaman secara holistik dan komperehensif
bagi santri melalui kitab klasik maupun kontemporer;
b) Menciptakan dan mengembangkan kemandirian berfikir dan mengaplikasikan
ilmu pengetahuan dalam semua sisi kehidupan dengan tidak melupakan kearifan
lokal;
c) Mewujudkan lembaga pendidikan berbasis masyarakat dengan semangat
gotong royong dan belajar bersama.
3. Struktur Organisasi
Struktur kepengurusan Pesantren Agro-Ekologi Biharul Ulum adalah
sebagai berikut:
Pimpinan : Mu’alim M.Atim Haetami
Dewan Pesantren : Ustadz Eddy Shamsy
: Ustadz Dadang
: Ustadz Abdul Majid
: Bapak Adih
5 Wawancara dengan Mualim Atim, Pimpinan Pondok Pesantren Agro-Ekologi Biharul
Ulum pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.45-22.30 WIB.
53
: Bapak Amil Adang
: Noer Fauzi Rahman
: Yuslam Fikri Anshori
: Indra Agustiani
: Hendro Sangkoyo
Sekretaris : Pepen Supendi
Bendahara : Ili Agus Somantri
Dewan Guru : M. Atim Haetami
: Eddy Shamsy
: Ton Badawi Munir
: Siti Khodijah
Koordinator Santri : Abdul Manaf
4. Kegiatan Pondok Pesantren
Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan di Pesantren Agroekologi
Biharul Ulum menggunakan gaya yang demokratis, terbuka dan fleksibel. Gaya
pembelajaran ini dikembangkan karena menempatkan setiap santri dalam proses
pengajian sebagai subjek yang memiliki status dan hak yang setara.
Selain itu, gaya pengajaran ini juga memberikan perhatian kepada
keragaman gaya belajar santri yang adil dan setara dengan memperhatikan
kecenderungan yang kuat dari santri dalam aspek pendengaran (auditory),
penglihatan (visual), ataupun aspek gerak (kinestethic).
Dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut, maka Pesantren
Agroekologi Biharul Ulum menyelenggarakan beberapa materi dasar dalam
kegiatan pembelajarannya, yaitu: Pendidikan iman dan taqwa
54
a) Pendidikan moral dan akhlak
b) Pendidikan fisik dan psikologis
c) Pendidikan rasio dan penalaran
d) Pendidikan interaksi sosial atau kemasyarakatan
e) Pendidikan kewirausahaan
f) Pendidikan pertanian
g) Pemahaman tentang keseimbangan ekosistem (ekologis)
Kedelapan materi tersebut diaplikasikan dengan beberapa kegiatan, yaitu:
a) FGD (Focus Group Discussion) di internal pesantren dan bersama
masyarakat
b) Praktik ceramah
c) Praktik bertani
d) Keorganisasian
e) Tadabbur alam
Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren agroekologi juga beragam, diantaranya
adalah: Alfiyah, Jurûmiyah, ‘Awâmil, ‘Imrîṯî, Naẕm al-Maqsud, Ta’limuta’lim,
Akhlaku lilbanin, Fathulqoriib, Sullamuttaufiq, ‘Uqululjain, KifâyaH al-Ashab,
Riyâḏ al-Badi’ah, Fiqh al-Bi’ah, Tanqih al-Qoul.
C. Kerusakan Sosial-Ekologis di Kawasan Lereng Utara Gunung Halimun
Dari hasil observasi lapangan, kerusakan sosial-ekologis yang dialami
masyarakat di Kawasan Lereng Utara Gunung Halimun sebagai berikut:
a) Perubahan pola pikir masyarakat yang asalnya bertani dan berladang
menjadi pemburu emas, padahal pada kenyataannya berdasarkan fakta
yang terjadi di lapangan memburu emas memiliki resiko yang sangat besar
55
bahkan bisa membahayakan dirinya, sementara yang dihasilkan oleh
mereka tidak seberapa, bahkan di antara mereka banyak yang menumpuk
hutang akibat dari kepercayaan dirinya bahwa mencari emas itu hal yang
mudah.
b) Minimnya penguasaan atas tanah. Masyarakat kesulitan untuk bertani dan
berladang sehubungan sebagian besar tempat mereka diambil alih oleh
pemerintah dan diberikan kepada perusahaan BUMN maupun perusahaan
swasta untuk dijadikan lahan perkebunan, taman nasional dan
pertambangan. Saat ini mereka berharap tanah yang dulu mereka gunakan
untuk bertani dikembalikan lagi agar mereka bisa bertani kembali dan
meninggalkan kegiatan menambang.
c) Kemiskinan. Sejak dahulu, tepatnya sebelum masuknya perusahaan-
perusahaan tambang, 95% masyarakat yang tinggal di wilayah Desa
Cisarua, Malasari, Bantar Karet Kecamatan Nanggung merupakan
masyarakat petani. Mereka hidup rukun dengan menjunjung budaya turun
temurun, mereka bertani dengan menggarap lahan adat yang ada di sekitar
mereka, yang pada akhirnya diklaim sebagai Wilayah Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak. Sejak saat itulah masyarakat kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Secara ekonomi mereka sudah
kehilangan penghasilan dari hasil hutan dan pertanian yang biasa mereka
gunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Lahan milik masyarakat
tidak sebanding dengan luas lahan untuk memenuhi kebutuhan mereka,
bahkan yang terparah adalah tidak memiliki lahan garapan atau tanah
untuk bertani, mereka hanya memiliki tanah yang di atasnya berdiri
56
bangunan untuk mereka tinggali. Memang sebagian dari mereka yang giat
bekerja dengan menambang, mampu memenuhi kebutuhan keluarganya,
tetapi muncul masalah kemiskinan baru yang berhubungan dengan
masalah sosial yang terjadi, diantaranya:
1) Muncul budaya konsumtif di kalangan masyarakat yang
kehadirannya beringingan dengan semakin banyaknya barang-
dagangan yang tersedia di sekitar kawasan tambang;
2) Lunturnya etika kearifan lokal;
3) Pendidikan menjadi tidak penting, yang terpenting menggali emas
dan mendapatkan uang, sehingga banyak anak putus sekolah;
4) Kesehatan tubuh yang menurun sebagai dampak dari bahan kimia
yang digunakan untuk mengolah hasil tambang seperti mercury
(Hg), Cyanid (CN), Carbon, dan Soda Api (Kostik);
5) Pemukiman kumuh dengan sanitasi yang rendah.
d) Keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha yang terbatas. Di
daerah pedesaan selain bertani di sawah dan di ladang terkadang sulit
untuk mendapatkan pekerjaan lain, terlebih diiringi dengan latar belakang
pendidikan yang rendah dan skill yang tidak memadai. Memang sebagian
kecil masyarakat pedesaan memiliki kemampuan untuk berdagang namun
itu pun dengan modal seadanya. Sebab yang lebih menggiurkan bagi
mereka adalah mendapatkan emas walau ada dalam bayang-bayang
fatamorgana, karena sebenarnya mereka terjerumus ke dalam kemalasan
dan kemiskinan.6
6 Arsip kegiatan Pesantren Agroekologi Biharul Ulum tahun 2016
57
e) Terjadinya kerusakan alam dan lingkungan. Dampak dari pertambangan
membuat alam dan lingkungan di wilayah Lereng Utara Gunung Halimun
menjadi rusak. Ribuan hektar hutan menjadi gundul dan tandus, padahal
lahan tersebut merupakan lahan Taman Nasional yang seharusnya dijaga
dan dilestarikan.
f) Pencemaran lingkungan akibat limbah hasil pengolahan emas yang
mengalir ke sungai-sungai, ke sawah dan mencemari resapan air yang
mengairi sumur-sumur warga.
g) Terjadinya krisis air bersih. Membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan
air yang layak untuk dikonsumsi sehari-sehari. Untuk mendapatkan air
bersih dan layak, mereka harus mencari sumber air yang jauh dari tempat
pemukimannya hingga 3-16 km. Sebagai contoh, masyarakat Kampung
Parigi dan sekitarnya menarik air bersih dari Mata Air Cibitung yang
berjarak 3 km, itu pun tidak melayani seluruh warga. Menurut aparatur
pemerintah desa setempat, sedang direncanakan untuk menarik air bersih
dari aliran hulu sungai Cikocopok yang berjarak.
58
BAB IV
PEMAKNAAN PESANTREN AGROEKOLOGI BIHARUL ULUM
ATAS AYAT-AYAT KELESTARIAN ALAM
A. Aktivitas Pelestarian Alam di Pondok Pesantren dan Sekitarnya
Aktivitas pelestarian alam di pondok pesantren ini jelas berbeda dengan
aktivitas di pesantren-pesantren pada umumnya, selain karena pesantren ini secara
khusus menamai dirinya dengan pesantren agroekologis, sehingga seperti
disebutkan di atas bahwa bertani adalah aktivitas utama pesantren, juga karena
pesantren ini mengutamakan perspektif ekologis sebagai landasan utama. Selain
itu, latar belakang berdirinya pesantren ini, yakni kondisi krisis lingkungan dan
sosial seperti telah disebutkan di muka, menjadi landasan utama dari segala
kegiatan pelestarian alam yang dilakukan di pesantren. Diantaranya sebagai
berikut:
1. Pengajian Kitab-Kitab Klasik di Pesantren dan Lingkungan Masyarakat
Khususnya Ngaji Kitab Fiqh Bi’ah
Serupa dengan pesantren pada umumnya, pengajian kitab klasik
merupakan identitas bagi setiap pesantren, khususnya pesantren Salaf
(tradisional), seperti kitab fikih, tauhid, tasawuf, ilmu alat (nahwu dan sharaf)
tentunya berbagai macam kitab klasik dengan pengarang yang berbeda namun
tetap satu aliran atau madzhab. Meski terdapat banyak kesamaan dengan
pesantren pada umumnya, namun ada salah satu pengajian kitab yang menjadi ciri
khas bagi pesantren ini, yang jarang sekali diajarkan di pesantren pada umumnya,
yaitu pengajian kitab Fiqh al-Bi’ah (fikih lingkungan/ekologi). Kitab fikih ekologi
59
ini adalah hasil konsorsium dari perwakilan beberapa tokoh pondok pesantren
pada tahun 2003 silam, yang diselenggarakan di Lido Sukabumi Jawa Barat yang
kemudian dibukukan.
Cikal-bakal adanya kitab Fiqh Bi’ah tersebut ialah berangkat dari
keinginan untuk bersama-sama memikirkan upaya pengelolaan sumber daya alam
secara arif ditinjau dari agama islam. Indonesia Forest & Media Campaign
(INFORM) bekerjasama dengan P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan
Pendidikan Masyarakat) mengadakan pertemuan “Menggagas Fikih Lingkungan”
pada 9-12 Mei 2004. Pertemuan yang berlangsung di Hotel Lido Lakes,
Sukabumi, Jawa Barat ini dihadiri oleh 31 Kyai Pimpinan pondok pesantren yang
ada di Pulau Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.1
Selain sebagai wadah diskusi antara kalangan permerhati lingkungan,
pertemuan ini juga menjadi sarana bagi para ulama pesantren guna menggali dan
mengkaji aspek pelestarian alam dan lingkungan berdasarkan al-Qur‟an, hadis,
dan kitab-kitab ulama klasik (kitab kuning). Hasil dari kajian ini kemudian
dirumuskan dalam bentuk “Pernyataan Bersama Para Ulama Pesantren mengenai
Fikih Lingkungan” yang memuatu pernyataan sikap serta rekomendasi para ulama
terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi. Dengan demikian ulama dapat
menjadi pemeran utama dalam upaya pelestarian lingkungan hidup yang pada
akhirnya diharapkan dapat memberi perubahan mendasar bagi alam dan
lingkungan.
Sebagai contoh, penjelasan tentang lingkungan hidup yang disampaikan
oleh KH. Drs. Asyhari Abta (perwakilan dari Pondok Pesantren al-Munawwir,
1 KH. Asyhari Abta, Konsep Islam Tentang Pelestarian Lingkungan, dalam Ahsin Sakho
Muhammad, et al. (ed.), Fikih Ekologi (al-biah) (Jakarta, Conservation International:2006), cet-2.
H. 2.
60
Krapyak, Yogyakarta. Konsep Islam Tentang Pelestarian Lingkungan, dalam
Kitab Fiqh al-Bi’ah. Menurutnya, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruangan
dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Semua makhluk hidup
sebenarnya bertempat tinggal didalam suatu lingkungan yang semuanya
merupakan struktur dasar ekosistem.2
Kemudian dalam sudut lingkungan hidup, pokok perhatian dewasa ini
berkisar pada beberapa aspek yang dirasakan sebagai tekanan krisis yang
membahayakan kelangsungan hidup manusia khususnya manusia Indonesia.
Komersialisasi berbagai sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang
banyak yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.
Berbagai eksploitasi terhadap waduk, mata air, dan tanah-tanah adat yang
mengandung tambang yang kemudian dikuasi oleh perusahaan, baik dalam negeri
maupun asing, telah mengakibatkan langkanya sumber daya air dan rusaknya
sumber daya alam Indonesia serta menyengsarakan rakyat sekitarnya.3
2. Pembangunan Manusia Melalui Penyadaran Kritis Masyarakat
Upaya yang dilakukan pesantren agroekologis untuk membangun sebuah
masyarakat yang kritis, peduli terhadap lingkungan dan tidak instan atau
materialistis dalam memandang hidup, agar bersama-sama masyarakat membuka
mata dan pikiran serta berpijak pada pengembalian kesadaran sesuai fitrahnya
yaitu untuk memanusia manusia (humanisasi) dan menjaga kelestarian alam
2 Ahsin Sakho Muhammad, et al. (ed.), Fikih Ekologi (al-biah) (Jakarta, Conservation
International:2006), cet-2. H. 76 3 Ahsin Sakho Muhammad, et al. (ed.), Fikih Ekologi (al-biah) (Jakarta, Conservation
International:2006), cet-2. H. 76
61
sebagai rumah tempat tinggalnya bergantung, pesantren menyusun langkah belajar
agar santri dan masyarakat mampu membaca fenomena yang ada dan terjadi di
sekitar ruang hidup bentang alam Lereng Utara Gunung Halimun, secara cerdas,
teliti dan tetap kritis. Sehingga dengan kemampuan membaca realitas tersebut,
masyarakat mampu menemukan relasi-relasi permasalahan krisis sosial ekologis
yang berdampak pada rerantai hidup berkelanjutan mereka.
Langkah-langkah yang dilakukan pesantren adalah mewarga4, dimana
setiap langkahnya menjadi daya dan upaya bersama untuk menyelesaikan setiap
permasalahan maupun solusi penanganannya. Konsep mewarga sebetulnya sama
dengan konsep Pendidikan Orang Dewasa (POD)5, dimana masyarakat belajar
menemukan berdasarkan pengalaman, memetakan, memutuskan, melakukan dan
mengevaluasi setiap kondisi sosial-ekologis serta lingkungan sekitar.
Konsep mewarga dijalankan untuk menelusuri isu-isu sosial-ekologis
berdasarkan pengalaman yang sudah atau yang sedang berlangsung di masyarakat,
sehingga mampu memetakan kondisi yang ada dan memutuskan suatu tindakan
yang bisa dilakukan bersama oleh pesantren dan masyarakat, sesuai cita-cita dan
tujuan awal didirikannya pesantren ini, yakni terciptanya alam dan lingkungan
yang harmonis dan lestari, baik antara hubungan sesama manusia maupun
hubungan manusia dengan alamnya.
3. Membentuk Kader Inti Pesantren untuk Menjaga Alam dan Masyarakat
Dari Kerusakan
4 Istilah “mewarga” merupakan bahasa politik Pesantren Agroekologis Biharul Ulum
dalam menyikapi masalah krisis sosial ekologis di kawasan Halimun Utara Bogor, dengan
mewarga, masyarakat diharapkan agar sadar betul akan identitas dirinya sebagai warga yang
berbudaya luhur serta menjaga kebersamaan dan berani mengambil andil dan tanggung jawab
dalam menyikapi setiap permasalahan yang terjadi di lingkungannya. 5 Lihat, Mansor Fakih et, al, PENDIDIKAN POPULAR Membangung Kesadaran Kritis,
cet. 4 (Yogyarakta: INSISTPress), h. X.
62
Untuk mewujudkan cita-cita bersama antar pesantren dan masyarakat
dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan menjaga alam tetap lestari, pesantren
membentuk kader inti yang biasanya didapati dari para pemuda, baik yang
awalnya adalah penambang liar maupun yang sudah putus sekolah. agar
melanjutkan pendidikannya sekaligus tinggal di pesantren (menjadi santri /
ngobong). Setelah mereka nyantri kemudian dibimbing secara perlahan agat aktif
di pesantren kemudia ikut membantu pesantren dalam mendampingi masyakat
dalam melaksanakan program-program yang telah dibuat seperti membuat
perkarangan, peternakan, pengajian umum yang sifatnya ‘ubudiyah atau fokus
pada isu-isu sosial-ekologis. Hal ini dilakukan pesantren dalam rangka
membentuk sumber daya manusia (SDM) yang sadar akan fitrahnya sebagai
pemimpin (khalifah) di muka bumi ini yang bertanggung jawab atas karunia yang
telah diberikan Allah SWT.
4. Bersama Masyarakat Membuat Ulu-Ulu (Sanitasi Air Bersih)
Dalam menjawab permasalahan krisis air bersih, akibat dari pencemaran
lingkungan oleh aktivitas pertambangan, pesantren bersama masyarakat setempat
membuat sarana air bersih. Pembuatan ulu-ulu ini, selain sebagai jawaban atas
kebutuhan air bersih, juga sebagai media penyambung silaturahmi antar
masyarakat. Tali silaturahmi yang sempat terputus semenjak aktivitas menambang
emas dijadikan sebagai sumber utama penyambung hidup, kini semenjak ada
aktivitas pembuatan sarana air bersih, dimana struktur pengurus ulu-ulunya
berasal dari masyarakat itu sendiri, berkoordinasi dengan pesantren, tali
silaturahmi itu terajut kembali.
63
Selain sebagai solusi dan salah satu media pemersatu masyarakat,
pembuatan sarana air bersih juga menjadi bagian strategi pesantren untuk
meyakinkan masyarakat bahwa keberadaan pesantren adalah benar-benar untuk
mengatasi masalah krisis sosial ekologis di kawasan tersebut. Sehingga jika ada
undangan dari pesantren, masyarakat lebih percaya diri oleh karenanya lebih
banyak yang hadir, karena merasa bahwa pesantren juga mewakili
kepentingannya sehari-hari.
5. Memberikan Pendidikan Pertanian Organik
Pendidikan bertani secara organik adalah salah satu cara pesantren untuk
melatih santrinya agar memiliki keterampilan sekaligus untuk bekal setelah selesai
dari pesantren. Selain keterampilan, bertani secara organik juga adalah bagian dari
alat perlawanan pesantren dan masyarakat terhadap krisis yang sedang dialami.
Sebab dengan bertani secara organik, kualitas hasil pertanian jauh lebih sehat
ketimbang hasil pertanian yang menggunakan bahan kimia, lalu kesuburan tanah
yang berkurang akibat penggunaan bahan-bahan kimia sebelumnya, dapat menjadi
subur kembali, sekaligus menjaga keseimbangan rantai makanan sebab selain
membuat tanah menjadi tandus, pupuk dan bahan pertanian yang menggunakan
kimia dapat mengurangi populasi biota kecil yang berfungsi sebagai penggembur
tanah seperti cacing dan sejenisnya, oleh sebab itu, bertani secara organik adalah
pilihan, ditambah bertani secara organik adalah merupakan budaya masyarakat
Lereng Pegunungan Halimun Utara yang semakin hari semakin berkurang
jumlahnya karena perubahan zaman, sebab menambang emas atau merantau ke
kota dengan menjadi kuli bangunan atau menjadi asisten rumah tangga di kota
sudah lama menjadi kebiasaan masyarakat Lereng Pegunungan Halimun Utara.
64
6. Mendayagunakan Lahan Terlantar PERHUTANI Bersama Masyarakat
Dari sekian banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pesantren
Agroekologis Biharul „Ulum dalam rangka melestarikan kembali alam di
Kawasan Pegunungan Halimun Utara Bogor, pesantren bersama masyarakat
menduduki (baca: mendayagunakan) tanah terlantar milik pemerintah yakni
PERHUTANI yang sudah habis masa kontraknya setelah disewa oleh PT.
Hapindo. Tanah HGU perusahaan yang telah habis masa kontraknya itu kini
digunakan oleh pesantren dan masyarakat untuk bertani, memelihara kembali
kebiasaan bertani serta menjaga alam agar tetap lestari, ketimbang dipakai untuk
menambang.
7. Menjalin Relasi dengan Kelompok/Institusi atau Individu yang Satu Visi
dengan Pesantren dan Masyarakat
Dalam rangka mewujudkan kembali generasi yang telah hilang, dan
mengembalikan kelestarian alam yang asri di Kawasan Pegunungan Halimun,
pihak pesantren mempersilahkan bagi setiap kelompok atau siapa saja yang
merasa memiliki visi yang sama dengan pesantren untuk turut membantu (baik
materil atau nonmateril). Contohnya, saat pemasangan Ulu-ulu atau sanitasi air
bersih, beberapa orang alumni dari ITB angkatan 74 memberi bantuan berupa
Pipa Air. Lalu ada juga dari kalangan LSM Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM), dan SAINS (Sajogyo Institute) Bogor.
65
B. Pemaknaan Warga Pesantren Biharul Ulum atas Surat ar-Rum ayat 41 dan
Surat al-A’raf 56
Allah SWT. berfirman dalam al-Qur‟an
ظهر الفساد ف الب ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ﴾١﴿ ي رجعون
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).” (QS. al-Rûm [30]:41)
Dalam lintasan tafsir klasik, kata fasad dalam ayat di atas cenderung
ditafsirkan sebagai kerusakan yang berkaitan dengan perbuatan syirik,
pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah.6 Hal ini
disebabkan, pada saat itu belum terjadi kerusakan lingkungan seperti sekarang,
sehingga fasad (kerusakan) dimaknai sebagai kerusakan sosial dan kerusakan
spiritual semata.
Sedikit berbeda dari kedua tafsir di atas, Quraish Shihab memaknai fasad
sebagai kerusakan alam yang akan menimbulkan penderitaan kepada manusia.7 Di
dalam salah satu karya fenomenalnya, Tafsir al-Misbah, dijelaskan bahwa
terjadinya kerusakan merupakan akibat dari dosa dan pelanggaran yang dilakukan
oleh manusia, sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat dan di
laut.8
6 Ahmad Suhendera, Menelisik Ekologis dalam al-Qur‟an, ESENSIA , Vol. XIV No. 1, h.
70. 7 Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan, h. 20-21
8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 78
66
Muallim Atim, Pimpinan pondok pesantren menyebut surat al-Rum
sebagai ayat yang harus diingat dan dipelajari untuk mengingatkan kita pada
kelestarian alam, beliau mengatakan:
“sebagai orang islam, kita punya pedoman dalam menyikapi setiap
masalah yang ada termasuk soal lingkungan hidup, baik itu alam atau manusianya
sendiri, sudah ada itu dipesankan dalam al-Qur‟an misalnya surat al-A‟raf ayat
56, terus ada juga yang di surat al-Rum ayat 41, ya tinggal kita pelajari dan
mengamalkannya”9
Senada dengan pimpinan pondok, Eddy Shamsi selaku penggerak awal
bersama Mu‟allim Atim dalam gerakan pesantren agro-ekologi yang juga
menjabat sebagai Dewan Pesantren Agroekologi Biharul Ulum Bogor
mengatakan:
“landasan dibangunnya gerakan pesantren ini karena persoalan yang ada di
tengah masyarakat, pertama persoalan aqidah, kedua persoalan kebodohan,
persoalan kemiskinan, pendidikan, dan ada masalah lingkungan, dan itu semua
bertautan ketika pedesaan, lebih banyaknya persoalan-persoalan itu lebih jelas di
pedasaan ini sebagai masyarakat marginal, tidak diperhatikan dari segi
pendidikan. Kita belajar disini itu yang paling utama membangun kesadaran
bersama, karena kesadaran bersama ini sangat penting, membangun kesadaran
hidup bersama, dan juga memang landasan tentang dalil, yaitu yang pertama
disebutkan, dan dalilnya itu ada beberapa, baik dari al-Qur‟an, kalau landasan
lingkungannya itu ya ayat al-Qur‟an itu, surat al-Rum dan nyambungnya itu ayat
yang lainnya, walâ tufsidû Fî al-Arḏ ba’da Islâhihâ, sama Ẕahara al-Fasâd fl al-
9 Wawancara bersama Edhi Shamsi salah satu pengurus Pondok Pesantren Agroekologi
Biharul Ulum Bogor
67
Barri wa al-Bahri bimâ kasabat aydî al-Nâs, itu salah satu dalil kenapa pesantren
ini ada”10
Pondok pesantren agro-ekologi, sebagaimana nama dan karakternya,
memiliki fokus lain yaitu berupa pembelajaran tentang pertanian dan pemahaman
seputar ekologi, dengan memberikan keterampilan kepada santri tentang bertani
organik, yang bertujuan agar para santri memiliki akhlak mulia dan memiliki
kemampuan hidup mandiri, sekaligus menciptakan generasi petani muda dan
dengan harapan menjadi contoh bagi masyarakat sekitar lereng utara pegunungan
halimun utara khususnya untuk kembali mau beralih profesi yang tidak memiliki
resiko tinggi (baik untuk pribadi maupun lingkungan sekitar) dan tidak potensi
merusak alam, serta agar dapat merevitalisasi tradisi lokal yaitu peduli terhadap
kelestarian alam.11
“jangan heran kalau bencana sering terjadi, banyak orang hidupnya susah
dan tidak sehat, ya inilah akibat manusia tidak mau memperlakukan alam dengan
baik, otomatis alam juga gak mau memberikan yang baik, makanya kita perlu
banyak belajar ayat-ayat Allah, baik yang tersurat maupun yang tersirat”
Penyumbang krisis sosial ekologis di kawasan Pegunungan Halimun Utara
tersebut ternyata tidak hanya dari praktek pertambangan oleh masyarakat saja,
justru sebagian besar adalah yang dilakukan perusahaan milik pemerintah PT.
ANTAM, Tbk (Aneka Tambang), yang melakukan penambangan di kawasan
tersebut sejak tahun 1997 hingga sekarang sekaligus menjadi sumber inspsirasi
utama masyarakat untuk menambang.
10
Wawancara bersama Edhi Shamsi salah satu pengurus Pondok Pesantren Agroekologi
Biharul Ulum Bogor 11
Wawancara Al-Muzani bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren
Agroekologi Biharul Ulum Bogor pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.45-22.30 WIB.
68
“sebelum PT. ANTAM datang masyarakat disini sumber pendapatan
ekonominya bertani, berternak kambing dan memelihara ikan. Jadi yang ngajarin
masyarakat menambang itu ya PT. ANTAM itu”12
Berdasarkan kondisi krisis yang terjadi di kawasan tersebut maka
Pesantren Agroekologis Biharul Ulum melakukan berbagai macam upaya untuk
menanggulangi permasalahan-permasalahan yang saat ini sedang dialami oleh
alam dan masyarakat sekitar Pegunungan Halimun Utara Bogor.
Mua‟llim Atim, beranggapan bahwa saat ini, tidak banyak para muballigh
atau para ustadz yang mau terjun langsung ke masyarakat dan bersama
masyarakat mengatasi berbagai permasalahan yang dialami. Menurutnya,
masyarakat harus dibangkitkan kembali semangat gotong royongnya yang telah
hilang. Oleh karena itu, bersama sebagian masyarakat desa yang punya visi yang
sama, ia mendirikan pondok pesantren yang bertujuan untuk dijadikan pusat
kegiatan ataupun wadah aspirasi masyarakat agar berguna untuk membangkitkan
semangat gotong royong dan turut serta berperan aktif dalam pembentukan mental
generasi penerus agar peduli terhadap tanah kelahirannya.
Seirama dengan pimpinan pondok pesantren, Kang Eddy Shamsi
berpendapat:
“bahwa pesantren ini mengajarkan ilmu kembali bukan ilmu pergi, sebab
melihat kebiasaan dewasa ini banyak dijumpai di banyak tempat terutama di
pedesaan, pemuda desa yang belajar keluar desa atau merantau melanjutkan
pendidikannya, enggan untuk “kembali”, kembali disini dengan artian mau benar-
12
Wawancara bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren Agroekologi Biharul
Ulum Bogor
69
benar peduli dan terlibat langsung untuk mengatasi permasalahan di tanah
kelahirannya”13
C. Analisis Hubungan antara Visi, Misi, dengan Program Kegiatan Pondok
Pesantren
Sebelumnya, telah dipaparkan dan diperlihatkan berdasarkan hasil
observasi tentang bagaimana pesantren memadukan kegiatan ekologis yang
berdasarkan perintah al-Qur‟an dengan kegiatan sehari-hari pesantren, kegiatan-
kegiatan tersebut yakni, Pengajian Kitab-Kitab Klasik di Pesantren dan
Lingkungan Masyarakat Khususnya Ngaji Kitab Fikih Bi‟ah, Pembangunan
Manusia Melalui Penyadaran Kritis Masyarakat, Membentuk Kader Inti Pesantren
untuk Menjaga Alam dan Masyarakat Dari Kerusakan, Bersama Masyarakat
Membuat Ulu-Ulu (Sanitasi Air Bersih), Memberikan Pendidikan Pertanian
Organik, Mendayagunakan Lahan Terlantar PERHUTANI Bersama Masyarakat,
Menjalin Relasi dengan Kelompok/Institusi atau Individu yang Satu Visi dengan
Pesantren dan Masyarakat.
Pertama, terkait pengajian Kitab Fikih al-Bi‟ah, kitab fikih ekologi ini
adalah hasil konsorsium dari perwakilan beberapa tokoh pondok pesantren pada
tahun 2003 silam, yang diselenggarakan di Lido Sukabumi Jawa Barat yang
kemudian dibukukan. Cikal-bakal adanya kitab Fikih Bi‟ah tersebut ialah
berangkat dari keinginan untuk bersama-sama memikirkan upaya pengelolaan
sumber daya alam secara arif ditinjau dari agama islam. Indonesia Forest & Media
Campaign (INFORM) bekerjasama dengan P4M (Pusat Pengkajian
Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat) mengadakan pertemuan “Menggagas
13
Wawancara bersama Edhi Shamsi salah satu pengurus Pondok Pesantren Agroekologi
Biharul Ulum Bogor
70
Fikih Lingkungan” pada 9-12 Mei 2004. Pertemuan yang berlangsung di Hotel
Lido Lakes, Sukabumi, Jawa Barat ini dihadiri oleh 31 Kyai Pimpinan pondok
pesantren yang ada di Pulau Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi.14
Berangkat dari keresahan para ulama yang menyaksikan pengelolaan
sumber daya alam dengan sangat tidak bijak, sehingga malah memunculkan
masalah kerusakan lingkungan yang dampaknya jauh lebih berbahaya ketimbang
kepentingan ekonomis semata, para ulama yang hadir pada konferensi tersebut
merumuskan berbagai macam konsep khususnya terkait manusia dengan tugasnya
sebagai khalifah fil ard. Komersialisasi sumber daya alam yang menyangkut hajat
hidup orang banyak, yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk
kesejahteraan rakyat, seperti eksploitasi terhadap waduk, mata air, dan tanah-
tanah adat yang mengandung tambang yang kemudian dikuasai oleh perusahaan,
baik dalam negeri maupun asing, telah mengakibatkan langkanya sumber daya air
dan rusaknya sumber daya alam serta menyengsarakan rakyat sekitarnya.15
Sebagaimana pandangan yang dikemukakan oleh para ulama yang hadir dan
merumuskan Fikih Bi‟ah.
Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
merawat ikut memelihara, dan melestarikan berbagai fasilitas alam yang telah
disediakan Allah untuk manusia. Memang Allah telah membolehkan manusia
untuk menggunakan semua sumber daya alam yang tersedia untuk menggunakan
14
KH. Asyhari Abta, Konsep Islam Tentang Pelestarian Lingkungan, dalam Ahsin Sakho
Muhammad, et al. (ed.), Fikih Ekologi (al-biah) (Jakarta, Conservation International:2006), cet-2.
H. 2. 15
K.H. Asyhari Abta, Konsep Islam tentang Pelestarian Lingkungan, dalam Ahsin Sakho
Muhammad, et al. (ed.), Fiqh Ekologi (al-Biah) (Jakarta, Conservation International: 2006), cet-2.
Hal. 76.
71
seluruh sumber ini sebagai sumber rezeki bagi manusia dan seluruh makhluk
hidup yang ada di atasnya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an:
بي وما من دآبة ف األرض إال على اللو رزق ها وي علم مست ق ﴾٦﴿ رىا ومست ودعها كل ف كتاب م
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata
(Lauh mahfuzh).” (QS. HUD [11]: 6)16
Pada prinsipnya, menurut Eddy Samsi, beliau adalah pengurus pondok,
menyatakan bahwa fikih agraria mengajarkan tentang bagaimana mengelola
lahan, mengatur tata batas lahan, pola produksi dan pola konsumsi untuk
kedaulatan pangan sesuai dengan syariat Islam. Kang Eddy dengan lugas
menyatakan bahwa pesantren yang ia kelola berparadigma Agro-Ekologis.
Artinya, berbicara tentang ekologi tak terlepas dari persoalan lingkungan yang
terjadi di kawasan penambangan emas dan sebagai upaya dalam pembalikan
krisis.
Kedua, program pembangunan manusia melalui penyadaran kritis
masyarakat. Program yang dijalankan oleh pesantren dalam upaya membangun
kesadaran kritis masyarakat merupakan sebuah upaya yang bisa disebut sebagai
dakwah transformatif. Sejalan dengan apa yang didefinisikan oleh Quraish Shihab
bahwa dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah
16
K.H. Asyhari Abta, Konsep Islam tentang Pelestarian Lingkungan, dalam Ahsin Sakho
Muhammad, et al. (ed.), Fiqh Ekologi (al-Biah). Hal. 77.
72
situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik pribadi maupun
masyarakat.17
Program pembangunan manusia melalui penyadaran kritis masyarakat,
adalah suatu upaya untuk merubah situasi yang tadinya rusak atau jauh dari nilai-
nilai al-Qur‟an menjadi situasi yang lebih baik dan sejalan dengan nilai-nilai al-
Qur‟an. Seruan untuk berdakwah dan menyampaikan apa yang benar menurut
ajaran islam sudah disampaikan dalam al-Qur‟an diantaranya:
يول ب ي المرء يا أي ها الذين آمنوا استجيبوا للو وللرسول إذا دعاكم لما يييكم واعلموا أن اللو ﴾١﴿ نو إليو تشرون وق لبو وأ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah
kamu akan dikumpulkan” (QS. al- Anfal [8]:24)
ي لو عليهم آياتو وي زك ن أنفسهم ي ت هم وي علمهم لقد من اللو على المؤمني إذ ب عث فيهم رسوال مبي الكتاب والكمة وإن كانوا من ق بل لفي ضالل ﴾٦١﴿ م
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al
Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. alî ‘Imrân
[3]: 164)
دونو مكتوبا ي الذي ي يل يأمرىم بالمعروف الذين ي تبعون الرسول النب األم وراة واإلن عندىم ف الت هم إصرىم ل لم الطيبات ويرم عليهم البآئث ويضع عن هاىم عن المنكر وي واألغالل الت وي ن
بو وعزروه ونصروه وات ب عوا النور الذي أنزل معو أولئك ىم كانت عليهم فالذين آمنوا ﴾٥٧﴿ المفلحون
17
Edi Amin, “Pemikiran Dakwah Bediuzzaman Said Nursi”, Jurnal Kajian Dakwah dan
Kemasyarakan, Vol. 21, No, 1 (2017): h. 7.
73
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya.
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. al-A’râf [30]: 157)
Ketiga, terkait program memberikan pendidikan pertanian organik dan
pendayagunaan lahan terlantar perhutani bersama masyarakat. Sebagaiman
dipaparkan di bab sebelumnya, bahwa Pesantren Agroekologis Biharul Ulum
Bogor berdiri di atas tanah HGU PT. Antam TBK. Pendirian pesantren ini tidak
lain adalah untuk mengamalkan apa yang dijelaskan dalam al-Qur‟an bahwa bumi
ini disediakan oleh Allah untuk manusia mengais rezeki agar tetap mampu secara
jasmani maupun rohani dalam menjalankan ibadah yang sudah ditetapkan Allah
dan RasulNya, dengan tanpa merusak bumi itu sendiri.
Dengan berdirinya PT. ANTAM, sebagian masyarakat yang sebelumnya
bertani menjadi tidak bertani lagi, lantaran tanah yang harusnya digunakan untuk
lahan pertanian telah dialihfungsikan menjadi pertambangan. Hal ini dijelaskan
oleh pimpinan pesantren Pak Muallim Hatim Haetami,
74
“masyarakat disini kalau bertani kan tanahnya ga ada, kalaupun ada posisi
tanahnya sangat terjal, makanya kita manfaatin aja lahan yang terlantar punya
pemerintah, soalnya tujuan pemerintah kan untuk melindungi hutan dan satwa
yang terancam punah seperti macan tutul, dan elang jawa, masa hewan aja yang
dilindungi tapi manusia sebagai warganya gak dilindungin?, makanya waktu itu
kita duduki aja tanah Taman Nasional yang dikontrak sama PT. Hapindo,
kebetulan kontraknya juga udah habis.”18
Apa yang dilakukan oleh pesantren dan
warga, senada dengan yang dipaparkan dalam Kitab Suci al-Qur‟an.
ا تشكرون ناكم ف األرض وجعلنا لكم فيها معايش قليال م ﴾﴿ ولقد مك
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi
dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat
sedikitlah kamu bersyukur” (Q.S. al-A’Râf [7]: 10).
ماء ماء فأخرج بو من الثمرات ماء بناء وأنزل من الس رزقا لكم الذي جعل لكم األرض فراشا والس ﴾﴿ فال تعلوا للو أندادا وأنتم ت علمون
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 22)
ماء فسواىن سبع ساوات يعا ث است وى إل الس ا ف األرض ج وىو بكل ىو الذي خلق لكم م ﴾٢﴿ شيء عليم
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 29)
18
Wawancara bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren Agroekologi Biharul
Ulum Bogor
75
ماء ماء فأخرجنا بو ن بات كل شيء فأخرجنا منو خضرا نرج منو ح وىو با الذي أنزل من السان مش ن أعناب والزي تون والرم وان دانية وجنات م ت راكبا ومن النخل من طلعها قن ر متشابو ت م بها وغي
﴾٢٢﴿ انظروا إل ثره إذا أثر وي نعو إن ف ذلكم آليات لقوم ي ؤمنون “Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan
dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari
tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari
tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma
mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan
(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak
serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. al-An’âm [6]: 99)
Jelaslah disini bahwa, Allah SWT. ingin agar manusia memanfaatkan
bumi sebaik-baiknya melalui bertani dan melakukan segala hal yang manfaat dan
tidak merusak bumi seperti aktivitas pertambangan yang jelas sekali memiliki
dampak yang merusak. Padahal, Allah swt bekali-kali mengancam manusia yang
merusak alam, seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 60, QS. al-A’râf [7]: 56 dan 85,
QS. Al-Qassas [28]: 88, QS. al-Syu’arâ [26]: 183. Tindakan merusak alam
merupakan bentuk kezaliman dan kebodohan manusia. Semua perbuatan manusia
yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan
kemungkaran. Maka, setiap insan, baik secara individu maupun kelompok, yang
melihat tindakan tersebut, maka wajib menghentikannya melalui segala cara yang
mungkin dan dibenarkan.
76
D. Relevansi Program Kegiatan Pelestarian Alam di Pesantren Agroekologis
dengan Wacana Kelestarian Alam di Indonesia
Seperti telah penulis jabarkan sebelumnya, Pesantren Agroekologis
Biharul Ulum berfokus pada dan berkomitmen atas kegiatan pertanian dan
menjaga ekosistem. Dilatarbelakangi oleh krisis sosial-ekologis di Lereng Utara
Pegunungan Halimun Utara karena masuknya perusahaan-perusahaan tambang,
sehingga mengakibatkan banyak penduduk beralih profesi dari petani menjadi
penambang ilegal. Dampaknya, tak hanya terjadi kerusakan lingkungan, pola
hidup masyarakat pun sedikit banyak berubah. Berangkat dari permasalahan ini,
Pesantren Agroekologis Biharul Ulum membuat beberapa program jangka
panjang untuk mengatasinya.
Pertanyaan pentingnya, sudah sejalan atau relevankah program-program
ini dengan wacana kelestarian alam di Indonesia? Untuk menganalisis hal
tersebut, penulis akan melihatnya dalam kerangka hukum yang diturunkan melalui
kebijakan-kebijakan pemerintah karena menurut penulis, melalui perangkat
hukumlah suatu wacana dapat dibaca dan dianalisis, meski ia bukan satu-satunya
cara. Secara spesifik, hukum yang dimaksud adalah hukum lingkungan, yakni
hukum yang mengatur tatanan lingkungan yang mencakup semua benda dan
kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat
dalam ruang dimana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UUD 1945 telah
mengamanatkan negara, dalam hal ini pemerintah bahwa “Setiap orang berhak
77
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.19
Di
samping, pemerintah juga telah meratifikasi Deklarasi Stockholm tahun 1972
mengenai pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup yang merupakan
kewajiban segenap umat manusia dan setiap pemerintah di seluruh dunia.
Berdasarkan amanat UUD 1945 dan Deklarasi Stockholm ini, pemerintah
kemudian membuat tiga produk Undang-Undang yang masing-masing memiliki
paradigma berbeda,20
yakni UU No. Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberi pedoman antar pemangku
kebijakan, UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
memberikan arahan untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, dan terakhir
UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH).21
UU PPLH adalah upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakkan hukum.22
Dengan kata lain,
dimasukkannya unsur perlindungan dalam UU PPLH menandai pergeseran
paradigma pemerintah dalam melihat persoalan lingkungan hidup yang sudah
semakin mengkhawatirkan. Selain diatur secara khusus dalam UU PPLH,
kerangka hukum lingkungan hidup terdapat dalam beberapa produk hukum: 1
19
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 H ayat (1). 20
Hartuti Purnaweni, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara
Provinsi Jawa Tengah”, Jurnal Ilmu Lingkungan Vol. 12, (Agustus, 2014): h. 54. 21
Hartuti Purnaweni, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara
Provinsi Jawa Tengah” h. 55 22
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009.
78
TAP MPR, 22 Undang-Undang, 15 Peraturan Pemerintah, 8 Keputusan dan
Peraturan Presiden, dan 13 Keputusan Menteri. Kemudian, secara lebih terperinci,
Pasal 3 UU PPLH menyebutkan tentang tujuan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup:
a. Melindungi wilayah NKRI dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan
hidup;
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.
UU PPLH juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
79
lain.23
Berkaitan dengan itu, lingkungan hidup dapat dibagi menjadi tiga kategori:
(1) lingkungan fisik, yakni segala sesuatu di sekitar manusia yang berbentuk
benda mati seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air, dan lain lain; (2)
lingkungan biologis, yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang
berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri; dan (3) lingkungan sosial,
yaitu manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, seperti tetangga, teman,
bahkan orang lain yang belum dikenal.24
Sebab itu, karena lingkungan hidup
bukan hanya tentang benda fisik, melainkan juga makhluk hidup dan organisme-
organisme lain, maka pelestarian lingkungan hidup harus memperhatikan
keseimbangan dan keselarasan melalui pengurangan bahkan peniadaan dampak
negatif proses pembangunan.25
Jika UU PPLH adalah landasan hukum bagi setiap kebijakan yang akan
diambil pemerintah, maka bentuk strategisnya dapat dilihat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai pelaksanaan Pasal
19 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional yang nantinya akan diturunkan menjadi Rencana Strategis (Renstra) di
tiap-tiap kementerian. Beberapa kalangan sipil mengkritik RPJMN 2015-2019
karena dianggap tidak atau kurang mengakomodir berbagai isu terkait lingkungan
hidup dan sumber daya alam.26
Penulis mengamini kritikan tersebut dengan
23
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2009 Pasal 1 ayat (1). 24
Tasbi Husin, Skripsi, “Penyalahunaan Pengelolaan Pertambangan Terhadap
Kerusakan Lingkungan Hidup Kecamatan Kluet Tengah: Studi Analisis Fiqh Lingkungan”, hlm.
20. 25
Dr. H. M. Arba, “Konsepsi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam
UUPR dan RTRW Se-Provinsi Nusa Tenggara Barat”, Jurnal Media Hukum Vol. 20 No. 2., h.
238. 26
Ady, “RPJMN 2015-2019 Kurang Perhatikan Lingkungan”, artikel diakses pada 20 Juli
2019 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b7786e91685/rpjmn-2015-2019-kurang
perhatikan-lingkungan/.
80
melihat, misalnya, dalam 7 poin yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 tidak
secara spesifik menyebutkan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai
pemangku kebijakan di bidang lingkungan hidup menurunkan RPJMN 2015-2019
ke dalam tiga butir Renstra 2015-2019, yakni:
1. Menjaga kualitas lingkungan hidup untuk meningkatkan daya dukung
lingkungan, ketahanan air, dan kesehatan masyarakat;
2. Memanfaatkan potensi sumber daya hutan dan lingkungan hidup
secara lestari untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat yang berkeadilan; dan
3. Melestarikan keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati
serta keberadaan sumber daya alam sebagai sistem penyangga
kehidupan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.27
Poin terakhir di atas, yakni mengenai pembangunan adalah poin krusial
dalam melihat bagaimana wacana perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia dilakukan. Prinsip pelestarian yang dipakai dalam UU PPLH
menyatu dengan prinsip berkelanjutan.28
Prinsip berkelanjutan ini jugalah yang
dipakai dalam aspek pembangunan (disebut pembangunan berkelanjutan) sebagai
upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan
ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan
hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi
27
Rencana Strategis Tahun 2015-2019, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan
Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 28
H. M. Arba, “Konsepsi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam
UUPR dan RTRW Se-Provinsi Nusa Tenggara Barat”, Jurnal Media Hukum, vol. 20, No 2
(Desember, 2013): h. 239.
81
masa kini dan generasi masa depan.29
Pembangunan yang membutuhkan sumber
daya alam melalui proses pertambangan memang menjadi dilema tersendiri bagi
pemerintah maupun rakyat dalam persoalan pengelolaan lingkungan hidup.
Dilemanya adalah di satu sisi prinsip pelestarian berkelanjutan harus
memperhatikan seluruh aspek terkait lingkungan hidup dan manusia, namun di
sisi lain prinsip ini menyiratkan bahwa pelestarian lingkungan hidup dapat
berjalan serasi, seimbang, dan selaras dengan pembangunan, yang mana
pembangunan ini tentu membutuhkan adanya eksploitasi sumber daya alam.
Meski penulis tidak berarti menolak pembangunan an sich, namun seperti terlihat
di Pegunungan Halimun Utara, pertambangan untuk menopang pembangunan
yang tidak didasarkan pada kebutuhan akan menjadi momok mengerikan berupa
krisis sosial-ekologis.
Aktivitas pertambangan yang dilakukan PT. ANTAM Tbk. dan PT
HAPINDO sejak era Orde Baru, yang pada gilirannya menginspirasi masyarakat
untuk melakukan pertambangan ilegal, membuat rusaknya relasi antarmanusia dan
manusia dengan alam sehingga diperlukan satu terobosan, baik secara teoritik
maupun praktek, untuk mengatasinya. Secara umum, hukum pertambangan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan lingkungan karena setiap usaha
pertambangan umum maupun pertambangan minyak dan gas bumi diwajibkan
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, atau
yang lazim disebut dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup.30
Secara spesifik,
29
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2009 Pasal 1 ayat (3). 30
Pasal 1 ayat (6) UU No. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
82
regulasi yang mengatur mengenai pertambangan termaktub dalam UU No. 4/2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Setelah melihat bagaimana wacana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup melalui perangkat hukum dan kebijakan di atas, penulis
berargumen bahwa wacana ini telah dijalankan dalam visi besar Pesantren
Agroekologis Biharul Ulum dengan tidak memisahkan makhluk hidup dengan
lingkungan (bersifat relasional). Dalam pengelolaan lingkungan hidup yang
tercantum dalam UU PPLH, setidaknya digunakan empat indikator, yakni
Planning, Organizing, Actuating, Controlling (POAC).31
Oleh Pesantren
Agroekologi Biharul Ulum, Planning atau perencanaan dilakukan melalui
program pengajian kitab-kitab klasik di pesantren dan lingkungan masyarakat;
Organizing atau pengorganisiran dilakukan melalui program penjalinan relasi
dengan kelompok/institusi atau individu yang satu visi dengan pesantren dan
masyarakat; Actuating atau pelaksanaan dilakukan melalui program membuat
ulu-ulu (sanitasi air bersih) bersama masyarakat, memberikan pendidikan
pertanian organik, dan mendayagunakan lahan terlantar PERHUTANI bersama
masyarakat; dan.Controlling atau pengendalian dilakukan melalui program
pembangunan manusia melalui penyadaran kritis masyarakat dan membentuk
kader inti pesantren untuk menjaga alam dan masyarakat dari kerusakan. Ketujuh
program ini merupakan upaya yang dilakukan secara sadar dan konsisten tentang
bagaimana memaknai lingkungan hidup, menciptakan generasi petani muda untuk
menjadi harapan masyarakat, dan merevitalisasi tradisi lokal yaitu peduli terhadap
31
Hartuti Purnaweni, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara
Provinsi Jawa Tengah”, h. 55.
83
kelestarian alam32
, yang mana menurut penulis sudah sejalan dan relevan dengan
wacana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia yang
dicantumkan dalam produk-produk hukumnya.
32
Wawancara Al-Muzani bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren
Agroekologi Biharul Ulum Bogor pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.45-22.30 WIB.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah diuraikan secara sistematis pembahasan tentang “Al-Qur’an dan
Kelestarian Alam (Studi Kasus Pemaknaan al-Qur’an Surat ar-Rum Ayat 41 dan
Al-A’raf ayat 56 di Pesantren Agroekologi Biharul ‘Ulum Bogor), pada bab ini
akan dikemukakan kesimpulan hasil penelitian berdasarkan perumusan masalah
yang telah penulis cantumkan pada bab pertama, adalah sebagai berikut:
Proses Living Qur‟an diawali dari adanya aktivitas pertambangan di
Kawasan Halimun Utara Kabupaten Bogor, sebagian besar masyarakat menyadari
bahwa keberadaan aktivitas pertambangan tersebut merusak tidak hanya relasi
sosial antar warga, namun juga merusak alam sekitar yang merugikan banyak
pihak. Dengan pijakan al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 41 dan al-A‟raf ayat 56 warga
melakukan aksi nyata yang kemudian tertuang dalam sebuah praktik keseharian
maupun dalam program serta kegiatan rutin mereka, diantaranya hal pertama yang
dilakukan adalah membangun pesantren guna melestarikan alam khususnya
lingkungan di sekitar kawasan Halimun Utara Kabupaten Bogor yang sesuai
dengan nilai-nilai al-Qur‟an, Adapun upaya yang telah dilakukan pesantren dalam
melestarikan alam sesuai pemaknaan mereka terhadap al-Qur‟an diantaranya
adalah:
a. Pengajian Kitab Fiqih Bi‟ah (lingkungan) di Pesantren dan Lingkungan
Masyarakat.
85
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa cikal-bakal
adanya kitab Fiqih Bi‟ah tersebut ialah berangkat dari keinginan untuk
bersama-sama memikirkan upaya pengelolaan sumber daya alam secara
arif ditinjau dari agama islam. Indonesia Forest & Media Campaign
(INFORM) bekerjasama dengan P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan
dan Pendidikan Masyarakat) mengadakan pertemuan “Menggagas Fikih
Lingkungan” pada 9-12 Mei 2004. Pertemuan yang berlangsung di Hotel
Lido Lakes, Sukabumi, Jawa Barat ini dihadiri oleh 31 Kyai Pimpinan
pondok pesantren yang ada di Pulau Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi.
b. Pembangunan Manusia Melalui Penyadaran Kritis Masyarakat
Aktivitas yang mewujud dalam program ini adalah suatu hal
menarik yang hemat penulis merupakan sebuah metode aksi baru dalam
perubahan masyarakat menuju ke arah kebaikan. Sebab masyarakat
sebagai pemeran utama kehidupan dilibatkan secara aktif dalam
memikirkan serta menjalani persoalannya secara khidmat, tidak semata-
mata dianggap sebagai pemulus kotak suara atau kepentingan praktis apa
pun, sehingga tidak hanya elit-elit msayarakat lah yang dilibatkan.
Langkah-langkah yang dilakukan pesantren adalah mewarga, dimana
setiap langkahnya menjadi daya dan upaya bersama untuk menyelesaikan
setiap permasalahan maupun solusi penanganannya.
c. Membentuk Kader Inti Pesantren untuk Menjaga Alam dan Masyarakat
Dari Kerusakan
86
Untuk mewujudkan cita-cita bersama antar pesantren dan
masyarakat dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan menjaga alam
tetap lestari, pesantren membentuk kader inti yang biasanya didapati dari
para pemuda, baik yang awalnya adalah penambang liar maupun yang
sudah putus sekolah. agar melanjutkan pendidikannya sekaligus tinggal di
pesantren (menjadi santri / ngobong). Setelah mereka nyantri kemudian
dibimbing secara perlahan agat aktif di pesantren kemudia ikut membantu
pesantren dalam mendampingi masyakat dalam melaksanakan program-
program yang telah dibuat seperti membuat perkarangan, peternakan,
pengajian umum yang sifatnya ‘ubudiyah atau fokus pada isu-isu sosial-
ekologis.
d. Bersama Masyarakat Membuat Ulu-Ulu (Sanitasi Air Bersih)
Dalam menjawab permasalahan krisis air bersih, akibat dari
pencemaran lingkungan oleh aktivitas pertambangan, pesantren bersama
masyarakat setempat membuat sarana air bersih. Pembuatan ulu-ulu ini,
selain sebagai jawaban atas kebutuhan air bersih, juga sebagai media
penyambung silaturahmi antar masyarakat. Tali silaturahmi yang sempat
terputus semenjak aktivitas menambang emas dijadikan sebagai sumber
utama penyambung hidup, kini semenjak ada aktivitas pembuatan sarana
air bersih, dimana struktur pengurus ulu-ulunya berasal dari masyarakat itu
sendiri, berkoordinasi dengan pesantren, tali silaturahmi itu terajut
kembali.
e. Memberikan Pendidikan Pertanian Organik
87
Pendidikan bertani secara organik adalah salah satu cara pesantren
untuk melatih santrinya agar memiliki keterampilan sekaligus untuk bekal
setelah selesai dari pesantren. Selain keterampilan, bertani secara organik
juga adalah bagian dari alat perlawanan pesantren dan masyarakat
terhadap krisis yang sedang dialami. Sebab dengan bertani secara organik,
kualitas hasil pertanian jauh lebih sehat ketimbang hasil pertanian yang
menggunakan bahan kimia, lalu kesuburan tanah yang berkurang akibat
penggunaan bahan-bahan kimia sebelumnya, dapat menjadi subur kembali,
sekaligus menjaga keseimbangan rantai makanan sebab selain membuat
tanah menjadi tandus, pupuk dan bahan pertanian yang menggunakan
kimia dapat mengurangi populasi biota kecil yang berfungsi sebagai
penggembur tanah seperti cacing dan sejenisnya, oleh sebab itu, bertani
secara organik adalah pilihan.
f. Mendayagunakan Lahan Terlantar PERHUTANI Bersama Masyarakat
Dari sekian banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pesantren
Agroekologis Biharul „Ulum dalam rangka melestarikan kembali alam di
Kawasan Pegunungan Halimun Utara Bogor, pesantren bersama
masyarakat menduduki (baca: mendayagunakan) tanah terlantar milik
pemerintah yakni PERHUTANI yang sudah habis masa kontraknya
setelah disewa oleh PT. Hapindo. Tanah HGU perusahaan yang telah habis
masa kontraknya itu kini digunakan oleh pesantren dan masyarakat untuk
bertani, memelihara kembali kebiasaan bertani serta menjaga alam agar
tetap lestari, ketimbang dipakai untuk menambang.
88
B. Saran
Peringatan Allah tentang kerusakan alam yang terjadi akibat ulah tangan
manusia sepantasnya menjadi pertanda pada kita bahwa manusia, siapapun ia,
pengusaha atau bahkan rakyat jelata, memiliki potensi merusak alam,
sebagaimana yang tertera dalam surat ar-Rum ayat 41. Maka bagi kita, larangan
untuk tidak merusak alam sebagaimana tertera dalam surat al-A‟raf ayat 56, harus
dijalani semaksimal mungkin, sebagaimana kita menjalani perintah-perintahnya
yang lain.
Selain itu, dalam upaya mengembangkan wacana keislaman yang
menyangkut dengan problem-problem keseharian yang ada saat ini. Penulis
memberi beberapa saran sebagai berikut:
Pertama, mengenai kajian Living Qur‟an. Cabang-cabang ilmu al-Qur‟an
ada yang terkonsentrasi pada aspek internal teks, ada pula yang memusatkan
perhatiannya pada aspek eksternalnya seperti asbâb al-nuzûl, dan târîkh al-Qur‟ân
yang menyangkut penulisan, penghimpunan hingga penerjemahannya, sementara
praktek-praktek tertentu yang berwujud penarikan al-Qur‟an ke dalam
kepentingan praksis dalam kehidupan umat di luar aspek tekstualnya nampak
tidak menarik perhatian para peminat studi Qur‟an klasik. Oleh karenaya Living
Qur‟an yang sebenarnya bermula dari fenomena Qur‟an in Everyday Life, yakni
makna dan fungsi al-Qur‟an yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim,
harus sudah menjadi objek studi bagi ilmu-ilmu al-Qur‟an konvensional.
Kedua, ada banyak pondok pesantren atau wilayah pemukiman yang
dalam praktek kesehariannya mencerminkan apa yang tertera dalam al-Qur‟an,
dan secara jujur, bisa dikatakan bahwa ada banyak pula kebalikannya, yakni
89
praktek keseharian masyarakat atau institusi yang diisi oleh banyak orang, yang
dalam praktek kesehariannya tidak mencerminkan nilai ajaran al-Qur‟an. Sebagai
contoh PT ANTAM dan PT Hapindo yang menambang di kawasan Lereng Utara
Pegunungan Halimun Bogor, pembuktian apakah aktivitas mereka itu merusak
lingkungan, yang artinya tidak peduli terhadap peringatan-peringatan al-Qur‟an,
perlu juga diperkuat dengan cara melakukan penelitan terhadap mereka, dimana
mereka sebagai objeknya.
84
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiyono. “Agama ramah lingkungan: perspektif Al-Qur'an”
Volume 6 dari Seri disertasi”. Paramadina, 2001.
Abta, Asyhari, Konsep Islam tentang Pelestarian Lingkungan, dalam
Ahsin Sakho Muhammad, et al. (ed.), Fiqh Ekologi (al-Biah).
Ady. “RPJMN 2015-2019 Kurang Perhatikan Lingkungan”. Artikel
diakses pada 20 Juli 2019
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b7786e91685/r
pjmn-2015-2019-kurang-perhatikan-lingkungan/.
Ahimsa-Putra, Shri Heddy. “The Living al-Qur’an: Beberapa Perspektif
Antropologi” Jurnal Walisong. Vol. 20, I Mei 2012.
Almuzani, “Dakwah Transformatif, Pesantren Agroekologis Biharul
Ulum dalam Upaya Pemulihan Krisis Sosial Ekologis di
Kawasan Halimun Utara.” S1 Fakultas Dakwah dan
Komunikasi,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2018.
Arba, H. M. Konsepsi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Dalam UUPR dan RTRW Se-Provinsi Nusa Tenggara
Barat”, Jurnal Media Hukum.
Arsip Kegiatan Pesantren Agroekologis Biharul Ulum tahun 2016.
Aziz, Erwati. Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui
Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Esack, Farid. Samudera al-Qur’an, Terjemahan Nuril Hidayah.
Yogyakarta: Diva Press, 2008.
Fakih, Mansor et, al, PENDIDIKAN POPULAR Membangung
Kesadaran Kritis. Yogyarakta: INSISTPress.
Ghazali, M. Bahri. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan
Psikologik Podogogik. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
85
Hasan, M. Tholhan. Islam Dalam Persefektif Sosio Kultural. Jakarta:
Lantabora Press, 2004.
https://www.climate.gov/news-features/understanding-climate/climate-
change-global-sea-level diakses pada 26 Maret 2019.
https://www.ipcc.ch/sr15/ diakses pada 26 Maret 2019.
https://www.mongabay.co.id/2016/09/14/lubang-lubang-tambang-
batubara-ancaman-mematikan-bagi-warga-jambi/ diakses
pada 11 Februari 2019.
https://www.vice.com/id_id/article/43azgd/akibat-perubahan-iklim-
manusia-kini-makin-kesulitan-menanam-padi diakses 26
Maret 2019
Husin, Tasbi. “Penyalahunaan Pengelolaan Pertambangan Terhadap
Kerusakan Lingkungan Hidup Kecamatan Kluet Tengah: Studi
Analisis Fiqh Lingkungan”. Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan
Hukum, UIN al-Raniri Aceh, 2017.
Ibn Katsir, Ibnu Katsir. 2003, Jilid 1-7. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Iskandar, Johan. Manusia Budaya dan Lingkungan. Jakarta, HUP,
1990.
Iswanto, Agus. “Relasi Manusia dengan Lingkungan dalam al-Qur’an.
Upaya membangan Eco-Theology” Balai Litbang Agama,
Jakarta. Vol. 6, No. 1, 2013.
Junaedi, Didi. “Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian
al-Qur’an (Studi Kasus di Pondok Pesantren Hasan, Siroj.
(Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)” Jurnal of
Qur’an and Hadith Studies. Vol. 4, No. 2, 2015.
Juniarto, Rily Rendy. “Dinamika Konflik Pembangunan Pabrik PT.
Semen Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah)”, Jusuf Kalla School of Government, Mei 2018.
86
Kryanto, Rakhmat. Teknik Praktisi Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Perdana Group, 2007.
Mansyur, M. Syamsuddin, Sahiron “Metodologi penelitian living
Qur'an & Hadis”. TH-Press : Teras, 2007.
Mardiana, “Kajian Tafsir Tematik tentang Pelestarian Lingkungan
Hidup” Jurnal AL-FIKR Vol 17 nomor 1 Tahun 2013.
Mardiana, “Kajian Tafsir Tematik tentang Pelestarian Lingkungan
Hidup” Jurnal AL-FIKR Vol 17 nomor 1 Tahun 2013.
Moeleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.
Muhammad Sakho, Ahsin. Fikih Ekologi (al-biah). Jakarta,
Conservation International:2006.
Munawwir, Warson Ahmad. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia.
Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Depok: LPSP3 2013.cet-5.
Purnaweni, Hartuti. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan
Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah, Jurnal Ilmu
Lingkungan Vol. 12. Agustus, 2014.
Ramly, Nadjamuddin. “Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi
Islam dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan
Lingkungan Hidup”, Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.
Reflita, “Eksploitasi Alam dan Perusakan Lingkungan (Istinbath
Hukum atas Ayat-ayat Lingkungan)” Substantia. Vol. 17, No.
2, Oktober 2015.
Samsuddin, Syahiron. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis.
Yogyakarta: TERAS, 2007.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah.
87
Soemarno,Otto. Ekologi: Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1986.
Suharto, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja
Rosdakrya, 2000.
Suhendera, Ahmad. Menelisik Ekologis dalam al-Qur’an, ESENSIA ,
Vol. XIV No. 1.
Supardi, Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya. Bandung: Alumni,
2003.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito,
1980.
Syaltut, Muhammad. Tafsir al-Qur’an karim pendekatan Syaktut
Dalam Menggali Esensi al-Qur’an. Bandung: CV.
Diponegoro, 1990, Seri: 3.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Wawancara Al-Muzani bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok
Pesantren Agroekologi Biharul Ulum
Wawancara bersama Muallim Atim Pimpinan Pondok Pesantren
Agroekologi Biharul Ulum Bogor pada tanggal 04 Mei 2019.
Wibowo, Adi Soeryo. Ekologi Manusia, Fakultas Ekologi Manusia-
Institut Pertanian Bogor, Bogor, Agustus 2007.
Yafie, Ali. Menggagas Fiqh Lingkungan Hidup. Jakarta: UFUK Press,
2006.