aktivitas antioksidan dan sifat organoleptik teh daun

72
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013 1 Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annona muricata Linn.) Berdasarkan Variasi Lama Pengeringan Antioxidant Activity and Organoleptic Charecteristic of Soursop (Annona muricata Linn.) Leaf Tea Based on Variants Time Drying Delvi Adri dan Wikanastri Hersoelistyorini Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang Korespondensi, email: [email protected] Abstract Soursop leaf has been used traditionally to treat a variety of diseases, because soursop leaf contain antioxidant compound. The research objective to be achieved is to measure and analyze the activity of antioxidant and organoleptic properties of Soursop Leaf Tea by variations in drying time 30, 60, 90, 120, and 150 minutes. Measurement of antioxidant activity using UV-Vis spectrophotometry method (λ 517 nm), whereas the organoleptic parameters : taste, color, aroma, and appearance. Result of studies that a treatment time of drying effect on antioxidant activity of Soursop Leaf Tea. Soursop leaf drying conditions at 50 o C with a temperature of 150 minutes give the highest level of antioxidant activity and the lowest EC50 value, but it has lowest a flavor organoleptic. Recommendations, drying temperature of 50 o C tailings with drying 150 minutes, and to increase flavor can be done with the added the essen. Key words: soursop leaf tea, antioxidants, drying, and organoleptic charecteristic. PENDAHULUAN Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.) berasal dari bahasa Belanda, yakni zuurzak berarti kantong asam. Daun sirsak banyak digunakan sebagai obat herbal untuk mengobati berbagai penyakit, antara lain : penyakit asma di Andes Peru, diabetes dan kejang di Amozania Peru (Zuhud, 2011). Kandungan senyawa dalam daun sirsak antara lain steroid/terpenoid, flavonoid, kumarin, alkaloid, dan tanin. Senyawa flavonoid berfungsi sebagai antioksidan untuk penyakit kanker, anti mikroba, anti virus, pengatur fotosintetis, dan pengatur tumbuh (Robinson, 1995). Masyarakat Indonesia menggunakan daun sirsak sebagai obat herbal untuk mengobati penyakit kanker, yaitu dengan cara meminum air rebusan daun sirsak segar. Air rebusan daun sirsak segar dapat menimbulkan efek panas seperti pada kemoterapi, namun air rebusan daun sirsak ini hanya membunuh sel-sel yang abnormal (kanker) dan membiarkan sel-sel normal tetap tumbuh. Hal ini berbeda dengan efek yang ditimbulkan pada pengobatan kemoterapi, dimana pengobatan kemoterapi ini tidak saja membunuh sel-sel abnormal (kanker) tetapi sel-sel yang normalpun ikut mati (Leny, 2006). Meskipun air rebusan daun sirsak segar telah lama digunakan sebagai obat herbal untuk

Upload: vuongkhuong

Post on 08-Dec-2016

279 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

1

Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annonamuricata Linn.) Berdasarkan Variasi Lama Pengeringan

Antioxidant Activity and Organoleptic Charecteristic of Soursop (Annonamuricata Linn.) Leaf Tea Based on Variants Time Drying

Delvi Adri dan Wikanastri Hersoelistyorini

Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah SemarangKorespondensi, email: [email protected]

Abstract

Soursop leaf has been used traditionally to treat a variety of diseases, because soursop leafcontain antioxidant compound. The research objective to be achieved is to measure and analyze theactivity of antioxidant and organoleptic properties of Soursop Leaf Tea by variations in drying time 30,60, 90, 120, and 150 minutes. Measurement of antioxidant activity using UV-Vis spectrophotometrymethod (λ 517 nm), whereas the organoleptic parameters : taste, color, aroma, and appearance. Resultof studies that a treatment time of drying effect on antioxidant activity of Soursop Leaf Tea. Soursopleaf drying conditions at 50o C with a temperature of 150 minutes give the highest level of antioxidantactivity and the lowest EC50 value, but it has lowest a flavor organoleptic. Recommendations, dryingtemperature of 50o C tailings with drying 150 minutes, and to increase flavor can be done with theadded the essen.

Key words: soursop leaf tea, antioxidants, drying, and organoleptic charecteristic.

PENDAHULUAN

Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.)

berasal dari bahasa Belanda, yakni zuurzak berarti

kantong asam. Daun sirsak banyak digunakan

sebagai obat herbal untuk mengobati berbagai

penyakit, antara lain : penyakit asma di Andes

Peru, diabetes dan kejang di Amozania Peru

(Zuhud, 2011). Kandungan senyawa dalam daun

sirsak antara lain steroid/terpenoid, flavonoid,

kumarin, alkaloid, dan tanin. Senyawa flavonoid

berfungsi sebagai antioksidan untuk penyakit

kanker, anti mikroba, anti virus, pengatur

fotosintetis, dan pengatur tumbuh (Robinson,

1995). Masyarakat Indonesia menggunakan daun

sirsak sebagai obat herbal untuk mengobati

penyakit kanker, yaitu dengan cara meminum air

rebusan daun sirsak segar. Air rebusan daun

sirsak segar dapat menimbulkan efek panas

seperti pada kemoterapi, namun air rebusan daun

sirsak ini hanya membunuh sel-sel yang abnormal

(kanker) dan membiarkan sel-sel normal tetap

tumbuh. Hal ini berbeda dengan efek yang

ditimbulkan pada pengobatan kemoterapi, dimana

pengobatan kemoterapi ini tidak saja membunuh

sel-sel abnormal (kanker) tetapi sel-sel yang

normalpun ikut mati (Leny, 2006).

Meskipun air rebusan daun sirsak segar

telah lama digunakan sebagai obat herbal untuk

Page 2: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

2

penyakit kanker, namun bentuk teh daun sirsak

belum banyak digunakan oleh masyarakat.

Karena itu perlu dilakukan kajian tentang analisis

antioksidan dalam teh daun sirsak, untuk

menggali potensi daun sirsak sebagai minuman

fungsional yang dapat difungsikan antara lain

sebagai obat herbal untuk penyakit kanker.

METODOLOGI

Bahan

Daun sirsak yang diambil mulai dari daun

ke-5 sampai daun ke-3 dari pangkal batang,

serbuk Mg, HCl pekat, Amil alkohol, larutan

Diphenylpicryl-hydrazyl (DPPH) 0,07 mM, dan

Metanol P.A.

Alat

Loyang, oven, spektrofotometer UV-Vis,

mortir, stamper, kertas saring, corong, pemisah

drupple plate, gelas kecil, sendok kecil, dan

kertas quisioner.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian meliputi: penyiapan

sampel, pembuatan teh daun sirsak, pembuatan

larutan teh daun sirsak, uji kadar air (AOAC,

1995), uji kualitatif senyawa fenolik dan

flavanoid (Lia, 2011), uji kuantitatif aktivitas

antioksidan (metode DPPH dan EC50), dan uji

sifat organoleptik (metode scoring).

1. Penyiapan Sampel

Daun sirsak diperoleh dari wilayah

Semarang dan diambil pada jam 05.00 WIB.

Kemudian daun sirsak dipisahkan dari

rantingnya.

2. Proses Pembuatan Teh Daun SirsakDaun sirsak dicuci bersih dan disortasi.

Daun sirsak dilakukan proses pelayuan dengan

suhu 70oC selama 4 menit, didinginkan selama 5

menit, dan dilakukan penggulungan. Setelah

digulung dilakukan proses pengeringan dengan

suhu 50oC dengan variasi lama pengeringan 30,

60, 90, 120, dan 150 menit dan dilakukan uji

kadar air.

3. Proses Pembuatan Larutan Teh DaunSirsak

Menimbang 100 mg serbuk daun sirsak dan

ditambahkan 10 mL air panas, kemudian

dimasukkan ke dalam penangas air, dan

dididihkan.

4. Uji Aktivitas Antioksidan

a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan

ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan 5 tetes

larutan FeCl3 5% dan dikocok kuat. Terbentuknya

warna biru kehitaman setelah penambahan FeCl3

5% menunjukkan adanya senyawa fenolik.

b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan

dalam tabung reaksi. Ditambah serbuk Mg, HCl

pekat 1 ml, dan Amyl alkohol 5 ml dan dikocok

kuat. Terbentuknya warna jingga dalam larutan

menunjukkan adanya flavonoid.

c. Uji Kuantitatif Aktivitas Antioksidan- Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH

(Pratiwi, 2009)Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan

dengan cara 4,0 mL larutan DPPH 0,07 mM

dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

ditambahkan 50 μL larutan uji teh daun sirsak dan

Page 3: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

3

dihomogenkan dengan vortex, sebagai kontrol

digunakan larutan DPPH tanpa penambahan

larutan uji. Selanjutnya larutan diukur dengan

alat spektrofotometer UV-VIS pada panjang

gelombang 517 nm dan operating time 40 menit.

- Uji Aktivitas Antioksidan dengan EffectiveConcentration (EC50) (Pratiwi, 2009)

Parameter yang dipakai untuk menunjukkan

aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi

efisien atau efficient concentration (EC50) yaitu

konsentrasi suatu zat antioksidan dapat

menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter

radikal bebasnya atau konsentrasi suatu zat

antioksidan yang memberikan % penghambatan

radikal bebas sampai 50%. Zat yang mempunyai

aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai

harga EC50 rendah (Molyneux, 2004).

5. Uji Sifat Organoleptik dengan MetodeSkoring (Rahayu, 2001)

Parameter pengujian organoleptik meliputi

rasa, warna, aroma, dan kenampakan. Panelis

memberikan penilaian berupa skor pada blangko

uji organoleptik teh daun sirsak dan minuman teh

daun sirsak.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah RAL

(Rancangan Acak Lengkap) dengan faktor

tunggal, dimana digunakan 1 level perlakuan.

Variabel independen adalah lama pengeringan teh

daun sirsak dan variabel dependen adalah

aktivitas antioksidan dan sifat organoleptik teh

daun sirsak. Jumlah perlakuan ditentukan 5

perlakuan (P) dan masing-masing perlakuan

dilakukan 4 kali pengulangan (U). Penentuan

ulangan menggunakan rumus galat = (P-1) x (U-

1). Jika dalam penelitian ini menggunakan 5 kali

perlakuan dan 4 kali ulangan maka jumlah galat =

(5-1) x (4-1) = 12.

Data hasil pengukuran aktivitas

antioksidan yang diperoleh, dianalisis uji

pengaruh menggunakan Anova (Analysis Of

Varian), sedangkan data hasil pengujian

organoleptik, ditabulasi dan dianalisis dengan uji

Friedman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan teh daun sirsak didasarkan pada

penelitian Tuminah (2004). Daun teh dilayukan

pada 70oC selama 4 menit. Kondisi operasi

pelayuan ini diacu sebagai kondisi optimum

pelayuan daun sirsak pada penelitian ini.

Sedangkan Proses pengeringan daun sirsak

dilakukan pada suhu 50oC, dengan variasi lama

pengeringan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Uji

yang dilakukan pada produk teh daun sirsak yang

dihasilkan meliputi: uji kadar air, uji aktivitas

antioksidan, serta sifat organoleptik.

1. Kadar Air

Kadar air mempunyai peranan penting

dalam menentukan karakteristik serta lama

simpan bahan pangan. Hasil analisis kadar air

pada teh daun sirsak berdasarkan waktu

pengeringan ditampilkan pada Gambar 1.

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa kadar air

tertinggi diperoleh pada perlakuan lama

pengeringan 30 menit, sebesar 34,13 % dan kadar

air terendah terdapat pada perlakuan lama

Page 4: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

4

pengeringan 150 menit, sebesar 8,13%. Hasil uji

statistik anova menggunakan α 0,05 diperoleh

data taraf signifikan p-value; 0,00 dimana p-value

< 0,01; sehingga dapat disimpulkan bahwa lama

pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap

kadar air.

Komposisi air pada bahan pangan seperti

air bebas dan air terikat, dapat berpengaruh pada

laju atau lama pengeringan bahan pangan. Air

terikat adalah air yang terdapat dalam bahan

pangan. Air bebas adalah air yang secara fisik

terikat dalam jaringan matriks bahan seperti

membran, kapiler, serat, dan lain lain (Winarno,

2002).

2. Uji Aktivitas Antioksidan

a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik

Menurut Sudjaji dan Rohman (2004), FeCl3

bereaksi dengan gugus fenolik membentuk

kompleks berwarna hijau, ungu sampai hitam.

Hasil uji sampel teh daun sirsak ditampilkan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Kualitatif Senyawa FenolikTeh Daun Sirsak

No Lamapengeringan

Senyawafenolik

1 30 menit +

2 60 menit +

3 90 menit +4 120 menit +5 150 menit +

Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel tehdaun sirsak positif mengandung senyawa fenolik.

b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid

Menurut Robinson (1995), senyawa

flavonoid bereaksi dengan serbuk magnesium dan

bantuan HCl pekat membentuk kompleks dengan

gugus flavonoid berwarna hijau sampai jingga.

Hasil uji dinyatakan positif, bila timbul warna

jingga dari kompleks Magnesium flavanoid

(Tabel 2).

Tabel 2. Hasil Uji Kualitatif SenyawaFlavanoid Teh Daun Sirsak

No Lamapengeringan

Senyawaflavonoid

1 30 menit +

2 60 menit +3 90 menit +

4 120 menit +

5 150 menit +

Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel teh daunsirsak positif mengandung senyawa flavanoid.

c. Uji Kuantitatif Antioksidan

1) Uji Kuantitatif Antioksidan dengan MetodeDPPH

Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak

dengan metode DPPH yang tersaji pada Gambar

2, diketahui bahwa semakin lama pengeringan

semakin tinggi aktivitas antioksidan. Aktivitas

antioksidan tertinggi terdapat pada sampel teh

daun sirsak dengan perlakuan lama pengeringan

150 menit, yaitu sebesar 76.06% dan terendah

53,17% pengeringan 30 menit . Hasil uji anova

menunjukkan p-value 0,00 dimana p-value < 0,01

sehingga dapat diketahui bahwa lama

pengeringan berpengaruh sangat nyata pada

aktivitas antioksidan. Kondisi tersebut disebabkan

pada proses pengeringan mengakibatkan

meningkatkan zat aktif yang terkandung dalam

daun teh (Winarno, 2004).

Page 5: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

5

2) Uji Aktivitas Antioksidan dengan NilaiEffective Concentration 50 (EC50)

Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak

dengan nilai Effective Concentration 50 (EC50)

yang tersaji pada Gambar 3, diketahui bahwa

semakin lama pengeringan semakin rendah nilai

EC50, sehingga nilai terendah pada pengeringan

150 menit sebesar 82,16 μg/mL dan tertinggi

117,86 μg/mL pada pengeringan 30 menit. Hasil

uji anova menghasilkan p-value 0,00 dimana p-

value < 0,01, sehingga dapat diketahui bahwa

lama pengeringan berpengaruh sangat nyata pada

nilai EC50.

Nilai EC50 umum digunakan untuk

menyatakan aktivitas antioksidan suatu bahan uji

dengan metode peredaman radikal bebas DPPH.

Harga EC50 berbanding terbalik dengan

kemampuan senyawa yang bersifat sebagai

antioksidan. Semakin kecil nilai EC50 berarti

semakin kuat daya antioksidannya (Molyneux,

2004).

3. Sifat Organoleptik

a. Organoleptik Teh Daun Sirsak

Tekstur

Tekstur teh yang baik adalah kasar (Dimas,

2008). Proses pengeringan pada daun teh dapat

menyebabkan perubahan asam pektat. Dimana

asam pektat akan mengering dan membentuk

semacam pernis sehingga permukaan teh

menjadi kering dan kasar. Hasil penelitian rata-

rata panelis terhadap tekstur teh daun sirsak

ditampilkan pada Gambar 4. Nilai organoleptik

tekstur teh tertinggi terdapat pada lama

pengeringan 30, 60, dan 120 menit, yaitu sebesar

2,9 ; sedangkan nilai terendah terdapat pada teh

dengan lama pengeringan 150 menit, yaitu

sebesar 2,6. Hasil uji Friedman menggunakan α

0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,46

dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui

tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap

tekstur teh daun sirsak.

Aroma

Menurut standar SNI 03-3836-2012 aroma

yang baik untuk teh daun sirsak adalah normal

yaitu harum khas teh. Menurut Ciptadi dan

Nasution, (1979); menyatakan bahwa senyawa

pembentuk aroma teh terutama terdiri dari

minyak atsiri yang bersifat mudah menguap dan

bersifat mudah direduksi sehingga dapat

menghasilkan aroma harum pada teh. Hasil

penelitian rata-rata panelis terhadap aroma teh

daun sirsak ditampilkan pada Gambar 5. Nilai

aroma tertinggi terdapat pada sampel teh dengan

lama pengeringan 30 menit, sebesar 3;

sedangkan nilai aroma terendah terdapat pada

sampel teh dengan lama pengeringan 150 menit,

sebesar 2,5. Hasil uji Friedman didapatkan p-

value 0,00 (p-value < 0,01) sehingga dapat

diketahui bahwa ada pengaruh sangat nyata lama

pengeringan terhadap aroma teh daun sirsak.

Warna

Menurut standar SNI 03-3836-2012 warna

teh yang baik adalah normal yaitu hijau

kecoklatan. Proses pengeringan menyebabkan

warna hijau khlorofil pada daun teroksidasi

menjadi coklat. Hal ini dikarenakan terjadi

peristiwa pencoklatan (Hernani, 2004). Hasil

Page 6: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

6

penilaian rata-rata panelis terhadap warna teh

daun sirsak tersaji pada Gambar 6. Nilai warna

tertinggi terdapat pada sampel teh dengan lama,

pengeringan 30 menit, sebesar 3,2. Sedangkan

nilai terendah terdapat pada sampel teh dengan

lama pengeringan 150 menit, sebesar 1,6. Hasil

uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana p-

value < 0,01 sehingga dapat diketahui ada

pengaruh sangat nyata lama pengeringan terhadap

warna teh daun sirsak.

b. Organoleptik Minuman Teh Daun Sirsak

Rasa

Menurut standar SNI 01-3143-1992 rasa

yang baik minuman teh daun sirsak adalah

normal yaitu rasa sepet. Katekin adalah tanin

yang tidak mempunyai sifat menyamak dan

menggumpalkan protein sehingga menghasilkan

rasa sepet. (Hafezi et al. 2006). Hasil rata-rata

penilaian panelis terhadap rasa teh daun sirsak

ditampilkan pada Gambar 7. Nilai rasa tertinggi

terdapat pada sampel dengan lama pengeringan

150 menit, sebesar 2,2. Sedangkan nilai terendah

terdapat pada sampel dengan lama pengeringan

30 menit, sebesar 2. Hasil uji Friedman

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

signifikan p-value 0,46 dimana p-value > 0,05

sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh

lama pengeringan terhadap rasa minuman teh

daun sirsak.

Aroma

Menurut standar SNI 01-3143-1992 aroma

minuman teh daun sirsak yang baik adalah

normal yaitu harum. Pada proses pengeringan

asam galat akan teroksidasi menjadi senyawa

thearubigin (TR). Senyawa thearubigin bertagung

jawab pada aroma harum (Kim et al. 2011). Hasil

penilaian rata-rata panelis terhadap aroma

minuman teh daun sirsak ditampilkan pada

Gambar 8. Nilai aroma minuman teh tertinggi

pada sampel dengan lama pengeringan 60 menit,

sebesar 3,0. Sedangkan nilai terendah terdapat

pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit,

sebesar 2,05. Hasil uji Friedman didapatkan p-

value 0,00 dimana p-value < 0,01 sehingga dapat

diketahui ada pengaruh sangat nyata lama

pengeringan terhadap aroma minuman teh daun

sirsak.

Warna

Menurut standar SNI 01-3143-1992 warna

minuman teh daun sirsak yang baik adalah

normal yaitu cerah. Menurut Arpah (1993),

senyawa teaflavin memberikan warna merah

kekuningan, terang dan berpengaruh terhadap

kejernihan seduhan. Hasil penilaian rata-rata

panelis terhadap warna minuman teh daun sirsak

ditampilkan pada Gambar 9. Nilai warna

minuman tertinggi terdapat pada sampel dengan

lama pengeringan 60 menit, sebesar 3,1.

Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel

dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 2.

Hasil uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana

p-value < 0,01 yang berarti ada pengaruh sangat

nyata lama pengeringan terhadap warna minuman

teh daun sirsak.

Kekentalan

Menurut standar SNI 01-3143-1992

kekentalan minuman teh daun sirsak yang baik

Page 7: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

7

adalah norrmal yaitu kental. Katekin teh

teroksidasi menjadi ortokuinon yang memadat

membentuk theaflavin (TF). Senyawa ini

bertanggung jawab terhadap kekentalan teh

(Hafezi et al. 2006). Hasil penelitian rata-rata

panelis terhadap kekentalan teh daun sirsak

ditampilkan pada Gambar 10. Nilai kekentalan

minuman teh tertinggi pada sampel dengan lama

pengeringan 30 dan 60 menit sebesar 2,05.

Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel

dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 1,6.

Hasil uji Friedman menggunakan α 0,05

diperoleh data taraf signifikan p-value 0,76

dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui

tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap

kekentalan minuman teh daun sirsak.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan

bahwa ada pengaruh lama pengeringan terhadap

aktivitas antioksidan teh daun sirsak. Kondisi

operasional pengeringan daun sirsak pada suhu

50o C dengan lama pengeringan 150 menit

menghasilkan teh daun sirsak dengan aktivitas

antioksidan tertinggi dan nilai EC50 terendah.

Namun pada kondisi operasional tersebut, teh

daun sirsak memiliki nilai organoleptik terendah,

khususnya rasa.

Untuk mendapatkan teh daun sirsak yang

baik dari segi aktivitas antioksidan maupun

organoleptiknya, perlu dilakukan penelitian

tentang pengaruh penambahan essen pada

pembuatan teh daun sirsak.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of TheAssociation of Analytical Chemists,Washington D.C.

Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan.Tarsito. Bandung.

Ciptadi, W. dan M. Z. Nasution. 1979.Mempelajari Cara Pemanfaatan Teh HitamMutu Rendah untuk Pembuatan Teh Dadak.IPB, Bogor.

Durance, T. D., A. Yousif, K. Hyun-Ock, and C.Scaman. 1999. Process for drying medicinalplants.http://www.wipo.int/pctdb/en/wo.jsp/o=2000074694. Diakses tanggal : 1 Desember2012.

Dimas, T. P. 2008. Teh dan Pengolahanya.Universitas Brawijaya: Malang.

Hafezi M, Nasernejad B, Vahabzadeh F. 2006.Optimation of fermentation time for Iranianblack tea production. Iran J Chem ChemEng 25: 39-44.

Hernani. 2004. Gandapura : Pengolahan,fitokimia, minyak atsiri, dan daya herbisida.Buletin Penelitian Tanaman Rempah danObat Vol. XV (2) : 32-40.

Kim Y, Goodner KL, Park J, Choi J, Talcott ST.2011. Changes in antioxidantphytochemical and volatile composition ofCamellia sinensis by oxidation during teafermentation. Food Chem 129: 1331-1342.

Leny, S. 2006. Bahan Ajar Metode Fitokimia.Laboratorium Kimia Organik Jurusan KimiaFMIPA Universitas Airlangga : Surabaya

Lia, K., 2011. Modul Praktikum Isolasi danStandarisasi Bahan Alam. Jilid I. SekolahTinggi Ilmu Farmasi: Semarang.

Molyneux, P. 2004. The use of the stable radicaldiphenylpicrylhydrazyl (DPPH) forestimating antioxidant activity. J. Sci.Technol. 26(2) : 211-219.

Pratiwi, D. 2009. Perbedaan Metode EkstraksiTerhadap Aktivitas Antioksidan Teh Hitam(Camellia sinensis (L.) dengan MetodeDPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil ).Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi:Semarang.

Rahayu, W.P. 2001. Penuntun PraktikumPenilaian Organoleptik. Fakultas TeknologiPertanian IPB, Bogor.

Page 8: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

8

Robinson T. 1995. Kandungan OrganikTumbuhan Tinggi (Penerjemah KosasihPadmawinata), penerbit ITB: Bandung.

SNI 03-3836-2012.Sudjadi dan Rohman, A. 2004. Analisa Obat dan

Makanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Tuminah, S. 2004. Teh [Camellia sinensis O.K.

var. Assamica (Mast)] sebagai Salah SatuSumber Antioksidan. Cermin DuniaKedokteran No. 144.

Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.Zuhud, E. 2011. Bukti Kedahsyatan Sirsak

Menumpas Kanker. Yunita Indah. Cet-1.Agromedia Pustaka: Jakarta.

Page 9: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

9

Gambar 1. Kadar Air Teh Daun Sirsak dengan Variasi Lama Pengeringan

Gambar 2. Aktivitas Atioksidan Teh Daun Sirsak dengan Lama Pengeringan

Gambar 3. Nilai EC50 Teh Daun Sirsak terhadap Lama Pengeringan

y = -0.198x + 34.89R² = 0.831

05

10152025303540

0 50 100 150 200

rata

-rat

a ka

dar a

ir(%

)

waktu pengeringan (menit)

y = 0.168x + 54.44R² = 0.763

0102030405060708090

0 50 100 150 200

nila

i akt

ivita

s an

tioks

idan

(%)

waktu pengeringan ( menit)

y = -0.263x + 115.4R² = 0.694

020406080

100120140

0 50 100 150 200

EC50

(μg

/mL)

waktu pengeringan (menit)

Page 10: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

10

Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak

Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak

Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak

2.9 2.9

2.452.5

2.552.6

2.652.7

2.752.8

2.852.9

2.95

30 60

nila

u ra

ta-r

ata

teks

tur t

eh

waktu pengeringan (menit)

2.2

2.4

2.6

2.8

3

30 60

3 2.95

nila

i rat

a-ra

taro

ma

teh

waktu pengeringan (menit)

0

1

2

3

4

30 60

3.2 3

nila

i rat

a-ra

taw

arna

teh

waktu pengeringan (menit)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

10

Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak

Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak

Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak

2.8

2.9

2.6

90 120 150waktu pengeringan (menit)

90 120 150

2.95

2.8

2.5 2.5

waktu pengeringan (menit)

60 90 120 150

3 2.8

1.851.6

waktu pengeringan (menit)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

10

Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak

Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak

Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak

Page 11: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

11

Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak

Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak

Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak

2

2.1

1.6

1.7

1.8

1.9

2

2.1

2.2

2.3

30

nila

i rat

a-ra

tara

sa m

inum

an te

hda

un si

rsat

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

30 60

2.753

nila

i rat

a-ra

taar

oma

min

uman

teh

daun

sirs

at

waktu pengeringan (menit)

0

1

2

3

4

30 60

2.9 3.1

nila

i rat

a-ra

taw

arna

min

uman

teh

daun

sirs

at

waktu pengeringan (menit)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

11

Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak

Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak

Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak

2.1 2.1

1.85

2.2

60 90 120 150waktu pengeringan (menit)

90 120 150

2.2 2.05 2.2

waktu pengeringan (menit)

90 120 150

2.262.85

2

waktu pengeringan (menit)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

11

Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak

Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak

Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak

Page 12: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

12

Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak

0

0.5

1

1.5

2

2.5

30 60 90

2.05 2.051.85

nila

i rat

a-ra

take

kent

alan

teh

waktu pengeringan (menit)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

12

Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak

90 120 150

1.851.6

1.9

waktu pengeringan (menit)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

12

Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak

Page 13: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

13

Chemical and the Acceptability of Chicken Nuggets as Functional Food withUtilization Rice Bran to Substitute Wheat Flour

C. Maliluan, Y. B. Pramono and B. Dwiloka

The Master of Animal Husbandry Science, Graduate ProgramFaculty of Animal Husbandry of Diponegoro University

Abstract

The purpose of this research was produce a product with the chemical properties andacceptability as well as having health benefits. The research was conducted from July to September 2012. The variables in this research were insoluble dietary fiber, antioxidant activity, and sensory test.Dietary fiber was measured using the total multienzyme method, antioxidant activity was measuredusing DPPH method and the acceptability for the sensory test. Completely Randomized Design (CRD)with 4 treatments and 5 replications were used in this research. Treatment in this research was the totalsubstitution of rice bran (w / w), consisting of : T0 = 0%, T1 = 25%, T 2 = 50%, T 3 = 75%, T4 =100. The data obtained were further processed by analysis of variance to determine the effect oftreatment. If there was any significant effect of treatment then it was followed by Duncan’s MultipleRange Test to determine the differences among the treatments. Based on the results of the study showedthat the use of rice bran increase insoluble dietary fiber.Similarly, the antioxidant activity, the higherutilization of rice bran, significantly (P <0.05) increased the antioxidant activity of rice branchicken nuggets. Overall, the use of rice bran as a substitute for wheat flour can improve the chemicalproperties but lower the acceptability of chicken nuggets as functional food.

Keywords: nuggets, rice bran, dietary fiber, antioxidants

INTRODUCTION

Chicken nuggets are products of processed

meat whom quite popular lately. Besides of the

delicious taste, chicken nugget is easy to serve

as a side dish. However, meat and processed

meat products like chicken nuggets, have a low

sources of dietary fiber and compounds that are

beneficial to health such as vitamins. Their

regular consumption is being associated with

various health disorders such as colon cancer,

obesity and cardiovascular diseases. Therefore,

additional sources of dietary fiber in meat

products need to be done to improve the

nutritional value (NCI, 1984; Eastwood, 1992;

Johnson and Southgate,

1994; Voskuil et al., 1997; Tarrant, 1998;

Larsson and Wolk, 2006). Dietary fiber is added

to meat products, in addition have a

physiological function / health for consumers, it

also provides functional benefits of the final

product that can be used as an auxiliary material

in the production process. Nugget has the

potential to be enriched with dietary fiber

(Darojat, 2010).

Ingredient of dietary fiber can be

produced from various types of plants, such as

rice bran from rice. Rice bran is the outside of

the rice that escapes into a fine powder in a rice

milling process. The outer layer is composed of

the aleurone layer of rice (rice

Page 14: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

14

kernel), endosperm, and germ. Although bran is

available in a large amount in Indonesia, but the

utilisation for human consumption as a source

of food and nutrition were limited. The

utilisation of rice bran limited as fodder

(Michwan, 2010).

Not many people know that rice bran has

a high nutrient content. Rice bran is rich in

vitamin B, vitamin E, essential fatty acids,

dietary fiber, protein, and ferulic acid

orizanol. Rice bran can be consumed as

functional food, when it prepared properly. Rice

bran, rich in phytokimia and c-

oryzanol, tocopherols and tocotrienols. C-

oryzanol mixture of esters derived from the

reaction of trans-ferulic acid with phytosterol

and triterpene alcohol (Lerma-

Garcia et al., 2009). C-oryzanol has natural

antioxidant properties and has also been shown

to have properties to reduce cholesterol (Sugano

and Tsuji, , 1997; Xu et al., 2001).

Rice bran chicken nuggets is expected to

become alternative of food functional in the

presence of dietary fiber, unsaturated fatty

acids, antioxidants and vitamins. Brice bran will

be used as a substitute for wheat flour in the

formulation of chicken nuggets. Beside of being

cheaper, rice bran is easier to obtain compared

with wheat flour and has a high nutritional

content. Rice bran chicken Nugget, will be

analyzed the chemical and Sensory

Characteristics (acceptability).

In this reserch, rice bran would be a

source of dietary fiber whom added to the

chicken nuggets with the aim to produce food

with the high content of dietary fiber, and has

the ability of antioxidant activity whom good

for our health.

METODOLOGY

Materials

Materials used in the manufacture of

Nugget is chicken meat without bones and skin,

rice bran, bread crumbs, wheat flour, skim milk,

vegetable oil, salt, garlic,onion, pepper, sugar

and water.

Stabilization Of Rice Bran

Rice bran processing is as follows: fresh

rice bran sifted 2-3 times. The size of sieve is

approximately 49 mesh, then heated

(sterilization) it by autoclave for 15-20 minutes,

121 ˚ C. After the sterilization, the rice bran

had to sifted before use.

Making chicken nuggets

Method of making chicken nuggets

include: chicken meat is cleaned from the skin

(chicken) and bone, then cut into pieces

approximately 2 cm3, and milled it. Chicken

meat plus flour, rice bran, water, and

seasonings, then stirred, so that it becomes

dough. The dough is formed with a mold, and

covered with aluminum foil, then steamed until

cooked. Dough that has been steamed and then

cooled. The dough is then cut approximately 2

cm3. Sliced nuggets at this stage, then smeared

with egg white and rolled in bread crumbs, then

fried for 2-3 minutes, until the colour is light

yellow (Bintoro, 2008).

Page 15: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

15

Chemical characteristics of chicken nuggets

Levels of insoluble dietary fiber

were analyzed using multienzyme method

(Asp et al., 1983). Antioxidant activity of

the chicken nuggets was measured by DPPH

method (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

(Carrapeiro et al., 2007).

Test of sensory characteristics of ChickenNugget (Acceptability)

Sensory test is using scoring method

with 15 untrained panelists. Panelists provide

assessments according the instructions (Kartika

et al., 1998).

Analysis of data

Data obtained from the test results of

chemical and physical characteristics were then

analyzed using various analysis (ANOVA),

with a significance level of 5%. If there was any

significant effect of treatment then it was

followed by Duncan’s Multiple Range Test to

determine the differences among the treatments.

(Dwiloka and Srigandono, 2006) to determine

differences between treatments. Sensory test

data were analyzed by non-parametric

analysis through hedonic Kruskal-Wallis test

(Saleh, 1996).

RESULTS AND DISCUSSION

Chemical characteristics of chicken nuggets

Chemical characteristics of rice bran

chicken nuggets whom have a functional

properties were dietary fiber and antioxidant

activity. Dietary fiber and antioxidants play an

important role in maintaining a healthy body.

Insoluble dietary fiber

Based on the data shown in Table 4, it

can be seen that the replacement of wheat flour

with rice bran increase the levels of insoluble

dietary fiber on chicken nugget products. The

results of this research, in accordance with the

results of Damayanthi et al., (2001), soluble

fiber of whole rice bran is 1.89% (dry matter)

and insoluble dietary fiber 15.55% (dry matter),

while the “kunci biru wheat respectively 2.44%

(dry matter) and 2.97% (dry matter). Thus, the

higher the addition of rice bran, the higher level

of insoluble dietary fiber. In the test of raw

material (rice bran), insoluble dietary fiber level

is 41.29% (bk). These results are higher than the

standard, due to the rest of bran and husk in the

rice bran. According to Damayanthi et

al., (2010) the commercial rice milling in

Indonesia will produce a mixture of bran (outer

brown rice - the rough) and rice bran (the inside

of the brown rice – the refined).

The antioxidant activity

Based on the data shown in Table 4, it

can be seen that the replacement of wheat flour

with rice bran affects to the antioxidant activity

of the chicken nugget products. The higher the

addition of bran, antioxidant activity increased

in the nugget, in addition, T0 has the lowest

antioxidant activity, as there is no addition of

rice bran. Crude rice bran (CRB), a by-product

of rice milling, is rich in phytochemicals of high

Page 16: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

16

nutritional value, such as c-oryzanol,

tocopherols and tocotrienols. c-Oryzanol

consists of a mixture of ester compounds

derived from the reaction of trans-ferulic acids

with phytosterols and triterpene alcohols

(Lerma-Garcia et al., 2009). c-Oryzanol has

natural antioxidant properties and has also been

shown to have remarkable cholesterol reducing

properties (Sugano and Tsuji, 1997; Xu et al.,

2001).

The higest antioxidant activity of the

chicken nugget at T3 treatment, whereas the T4

treatment decreased. It is alleged, the

antioxidants is a result of mailard reaction in the

frying process. Maillard reaction is a reaction

between the carbonyl group especially reducing

sugars with amino groups mainly of amino

acids, peptides and proteins (Whistler and

Daniel, 1985). One of the antioxidants produced

from processing can be produced from the

Maillard reaction (Bailey and Won Um, 1992).

Sensory characteristics of chicken nuggets

Organoleptic tests carried out to determine

the level of acceptance and assessment sample

by panelists, ie chicken nuggets with utilization

rice bran to substitute wheat flour. Based on the

statistic analysis using the non-parametric

Kruskal-Wallis test, the p-value of acceptability

test 0.007 <0.05 value of criticism, so the null

hypothesis is rejected, that shown there is a

difference in five groups of scores with the

acceptability chicken nuggets in each treatment.

A test score results showed chicken nuggets, the

highest ranking values is T0 (1.42- Extremely

acceptable) and the lowest T4 (2.10-

acceptable). According Damayanthi (2001), the

substitution rate of 40% bran flour on the pastry

snacks such as cucur, bolu kukus, nagasari and

risoles gives the best acceptance rate of

substitution among others. Higher utilisation pf

rice bran lower the level of preference on the

snacks. Garcia et al., (2002) mentions, the

addition of fiber cereals (wheat and oats) 1.5

and 3% and fruit (peaches, apples and oranges)

in dry fermented sausages significantly affect

the sensory properties of the product. Best

results obtained on the sausage with pork fat

content of 10% and 1.5% fiber fruit.

CONCLUTION

Based on these results, can be concluded

that the higher the use of rice bran as a

substitute for wheat flour increased insoluble

dietary fiber on chicken nuggets. Similarly, the

antioxidant activity, the higher the use of rice

bran, increase the antioxidant activity in rice

bran chicken nuggets. Overall, the use of rice

bran as a substitute for wheat flour can increase

the chemical characteristics (dietary fiber and

antioxidant activity) of chicken nuggets. Based

on the physicochemical and organoleptic

tes/sensory characterictic, the best treatment

with the use of 75% rice bran as a wheat flour

substitute.

REFERENCES

Asp, N-G., C-G. Johanson, H. Halmer, dan M.Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay

Page 17: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

17

of insoluble and soluble dietary fiber. J.Agric. Food. Chem. (31): 476-482.

Bailey ME, dan Won Um K. 1992. Maillardreaction and lipid oxidation. Di dalam:Angelo AJS. Lipid Oxidation in Food.ACS symposium series. .New York:August 25-30.

Bintoro, V. P. 2008. Teknologi PengolahanDaging dan Analisis Produk. BadanPenerbit Universitas Diponegoro,Semarang.

Carrapeiro et al. 2007. Effect of lycopene onbiomarkers of oxidative stress in ratssupplemented with R-3 polyunsaturatedfatty acid. Food Research International,40, 939-946.

Damayanthi E., I. R. Sofia, dan S. Madanijah.2001. Sifat Fisikokimia dan daya TerimaTepung Bekatul Padi Awet sebagaiSumber Serat Makanan. Dalam L. Nuraida& R. Dewanti-Riyadi(Eds). PanganTradisional Basis Bagi industri PanganFungsional dan Suplemen. IPB, Bogor.(hal 245-261).

Darojat, D. 2010. Manfaat penambahan seratpangan pada produk daging olahan. FoodReview, 5(7) : 52-53.

Dwiloka, B. dan B. Srigandono. 2006.Metodologi Penelitian; Aplikasinya dalamIlmu Pertanian dan Pangan. UniversitasDiponegoro, Semarang.

Eastwood, M. A. 1992. The physiological effectof dietary fibre: an update. An. Rev. ofNutr. 12, 19–35.

Johnson, I.T and D.A.T. Southgate. 1994.Dietary Fibre and related substance. In J.Edelman and S. Miller (Eds.) Food SafetySeries (pp. 39–65). London: Chopman &Hall.

Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1988.Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan.Pusat Antar Universitas Pangan dan GiziUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Larsson, S. C and A.Wolk. 2006. Meatconsumption and risk of colorectal cancer:A meta-analysis of prospective studies. IntJournal of Cancer, 119(11), 2657–2664.

Lerma-Garcia, M.J., J.M. Herrero-Martinez,E.F. Simo-Alfonso, C.R.B. Mendonca,and R. Ramis-Ramos. 2009. Composition,industrial processing and applications ofrice bran c-oryzanol. Food Chem. 115,389–404.

Michwan A. 2010. Potensi dan karakter ricebran oils. Food 5(7): 40-42.

NCI. 1984. Diet, Nutrition and CancerPrevention: A Guide to Food Calories.(NIG Pub. 85-2711). National CancerInstitute, US. Dept. of Health and HumanServices.

Saleh, S. 1996. Statistik Non Parametrik. BPFE,Yogyakarta.

Sugano, M., and E. Tsuji. 1997. Rice bran oiland cholesterol metabolism. Journal ofNutr. 127: 521S–524S.

Tarrant, P. V. 1998. Some recent advances andfuture priorities in research for the meatindustry. Meat Sci. 49, S1–S16.

Voskuil, D. W., E. Kampman, M. J. A. L.Grubben, R. A. Goldbohm, H. A. M.Brants, and H. F. A.Vasen. (1997). Meatconsumption, preparation and geneticsusceptibility in relation to colorectaladenomas. Cancer Letters, 114, 309–311.

Winarti, S. 2010. Makanan Fungsional. GrahaIlmu, Yogyakarta.

Whistler, R. dan Daniel JR. 1985.Carbohydrate. Di dalam: Fennema OR(eds). Food Chemistry. Marcel Dekker.Inc, New York.

Xu, Z., N. Ua, and J.S. Godber. 2001.Antioxidant activity of tocopherols,tocotrienols, and c-oryzanol componentsfrom rice bran against cholesteroloxidation accelerated by 2,20-azobis (2-

Page 18: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

18

methylpropionamidine) dihydrochloride.J. of Agric. and Food Chem. 49: 2077–2081.

Tabel 1. Composition of nugget ingridients (gr)

Materials TreatmentsTo T1 T2 T3 T4

Chicken Meat 400,00 400,00 400,00 400,00 400,00Filler- Wheat flour 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00- Rice Bran 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00Binder- Skim milk 40,00 40,00 40,00 40,00 40,00Seasoning- Garlic 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00- Onion 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00- Pepper powder 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00- Msg 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00- Salt 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00- Sugar 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00

T0 = Rice bran 0% (control) from filler total

T1 = Rice bran 25% from filler total

T2 = Rice bran 50% (from filler total

T3 = Rice bran 75% from filler total

T4 = Rice bran 100% from filler total

Tabel 2. Scores of acceptability

Score Acceptability1 Extremely acceptable2 acceptable3 Rather acceptable4 Not acceptable5 Extremely not acceptable

Tabel 3. Average of Insoluble dietary fiber and antioksidant activity of chicken nugget

VariableThe filler substitutions level of rice bran (%)

0 25 50 75 100Insoluble dietary fiber (%) 11.58 10.35 11.98 12.64 12.96Antioksidant activity(%) 0.72 2.29 3.01 5.35 2.48

Page 19: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

19

SIFAT- SIFAT GEL GELATIN TULANG CAKAR AYAM

Geling Properties of Chicken Shank Bone Gelatin

D. A. P. Puspitasari, V. P. Bintoro dan B. E. Setiani

Mahasiswa Magister Ilmu Ternak Program PascasarjanaUniversitas Diponegoro Semarang

Email Korespondensi: [email protected]

Abstract

The purpose of the study was to investigate the soaking effect of different HCl concentration,soaking time and the interaction on geling properties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt timeand gel of temperature and time) of chicken shank bone gelatin. The materials used were chicken shankbones, HCl, NaOH and liquid soda. The research design used was completely randomized design(CRD) factorial, in which factor A was the concentration of HCl (a1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% and a3

= HCl 5%) and factor B was soaking time (b1 = 24 hours, b2 = 36 hours and b3 = 48 hours). The resultshowed that the use of different HCl concentration, soaking time and the interaction affected gelingproperties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt time and gel of temperature and time) ofchicken shank bone gelatin. The best result came from the interaction of soaking chicken shank bone in5% concentration of HCl for 48 hours at 4 pH value, yield 1,31%, viscocity (40 – 60 OC) 1,62 – 3,03cP, gel strength 228,81 bloom, melt in 40 – 60 OC for 0,58 – 3,29 minutes, gel in 10,7 OC for 7,5minutes. In conclusion, according to GMIA (2012), gel properties of chicken shank bones gelatin bysoaking in 5% concentration of HCl for 48 hours recommended to become alternative food additive infood industry.

Key words: chicken shank bone, gelatin, gel properties.

PENDAHULUAN

Gelatin merupakan suatu produk hasil dari

proses hidrolisis parsial kolagen. Kolagen

merupakan protein fibrosa yang terdapat pada

tulang, kartilago dan kulit dan ketiga sumber

tersebut sulit untuk dicerna (Barbooti et al.,

2008; Guillen et al., 2011 dan Jayathikalan et

al., 2011). Penggunaan kulit babi dalam

manufaktur gelatin mencapai 46%, sedangkan

penggunaann kulit dan tulang sapi berturut-turut

adalah 29,4% dan 23,1% (Guillen et al., 2011).

Adanya isu dunia mengenai penyakit bovine

spongiform encephalopathy serta larangan dari

agama Islam

dan Yahudi mengenai bahan makanan dan

tambahan pangan yang berasal dari babi (Choi

and Regenstein, 2000; Oh, 2012) menjadikan

potensi tulang cakar ayam (TCA) sebagai salah

satu alternatif lain dalam pemilihan bahan baku

gelatin (Guillen et al., 2011). Potensi cakar

ayam dapat dilihat dari kandungan kolagen

didalamnya yaitu 5,64 – 31,39% dari total

protein (Liu et al., 2001) atau 28,73 - 36,83%

dari total protein (Prayitno, 2007).

Gelatin memiliki fisikokimia yang unik,

yaitu dapat larut dalam air, transparan, tidak

berbau, tidak memiliki rasa (Guillen et al.,

2011) serta memiliki sifat reversible dari bentuk

Page 20: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

20

sol ke gel, membengkak atau mengembang

dalam air dingin, membentuk film,

mempengaruhi viskositas suatu bahan dan dapat

melindungi sistem koloid (Junianto et al.,

2006). Kualitas gelatin ditentukan dengan gel

strength dan stabilitas termal (pembentukan gel

dan suhu leleh). Asam amino prolin dan

hidroksiprolin memberi peran penting terhadap

efek gel pada gelatin. Kemampuan membentuk

gel, viskositas dan sifat melt in the mouth

gelatin merupakan kunci dari luasnya aplikasi

gelatin di industri farmasi, kedokteran, fotografi

hingga pangan. (Guillen et al., 2011).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui sifat-sifat gel gelatin TCA (pH,

rendemen, viskositas, gel strength, waktu leleh,

suhu dan waktu jendal) yang dihasilkan dari

interaksi antara konsentrasi HCl dan lama

perendaman yang berbeda. Manfaat yang dapat

diperoleh dari penelitian ini adalah dapat

mengurangi limbah TCA, meningkatkan daya

jual TCA serta dapat mengurangi tingkat

kekhawatiran masyarakat akan ketidak halalan

gelatin sebagai bahan tambahan pangan.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan

September sampai bulan November 2012.

Proses pembuatan gelatin serta pengujian

karakteristiknya dilaksanakan di Laboratorium

Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan

dan Pertanian, Universitas Diponegoro.

Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

pola Faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan. Faktor

pertama adalah konsentrasi asam pengekstraksi

(A) (a1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% dan a3 = HCl

5%) dan faktor kedua adalah lama perendaman

(B) (b1 = 24 jam, b2 = 36 jam dan b3 = 48 jam).

Prosedur Pembuatan Gelatin Tulang CakarAyam

Bahan baku yang digunakan adalah tulang

cakar ayam (TCA) bagian femur sebanyak 27

sampel percobaan. Masing – masing sampel

telah mengalami pengacakan sebelum diberi

perlakuan sehingga semua sampel memiliki

kesempatan yang sama dalam memperoleh

salah satu kombinasi perlakuan konsentrasi HCl

dan lama perendaman. TCA yang telah diacak

kemudian dilanjutkan proses degreasing yaitu

proses penghilangan lemak dari jaringan tulang

yang masih tersisa, dilakukan pada suhu 60 OC

selama 2 jam, kemudian dilanjutkan proses

demineralisasi dengan menggunakan HCl 2%

dan direndam selama 24 jam.

Proses berikutnya demineralisasi,

dilakukan penetralan dengan menggunakan air

mengalir dan merendamnya selama 15 menit

dengan soda cair 0,01%. Penggunaan soda cair

ditujukan untuk mempercepat penetralan dan

menyempurnakan penghilangan sumsum tulang.

Proses selanjutnya dilanjutkan dengan proses

asam, yaitu merendam TCA dengan

menggunakan HCl dengan konsentrasi 2%,

3,5% dan 5% selama 24, 36 dan 48 jam, setelah

itu, ossein dinetralkan dengan air mengalir dan

Page 21: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

21

NaOH 0,1 N selama 15 menit. Ossein

diekstraksi secara bertahap dengan

menggunakan waterbath. Suhu yang digunakan

dalam proses ekstraksi berawal dari 65, 75 dan

85 OC, masing-masing selama 4 jam, kemudian

dipekatkan pada suhu 75 OC selama 2 jam,

supaya air yang masih terkandung di dalamnya

dapat menguap.

Gelatin yang sudah dikentalkan kemudian

dicetak. Pencetakan dilakukan dengan

menuangkan 15 ml (5 ml dalam sekali tuang).

Penuangan berikutnya dilakukan jika gelatin

sebelumnya sudah kering. Pengeringan

dilakukan dengan inkubator (kardus dengan

lampu bohlam 10 watt). (Modifikasi Hajrawati

(2006), Junianto et al. (2006), Yuniarifin et al.

(2006); Jayathikalan et al., 2011 dan Puspawati

et al., 2012).

Analisis terhadap gelatin tulang cakar

ayam meliputi pH (British Standard 757 1975),

Rendemen (AOAC, 1995), Viskositas

(menggunakan viscometer Ostwald 350

dihitung menggunakan rumus British Standard

757 197), Gel Strength (menggunakan Volland-

Stevens LFRA Texture Analizer), waktu leleh

gelatin (Suryaningrum dan Utomo, 2002), dan

suhu dan waktu jendal gelatin (Modifikasi

Schrieber dan Gareis, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap pH GelatinTulang Cakar Ayam

Nilai pH gelatin TCA yang dihasilkan dari

2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat

dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,

dan interaksi antara keduanya berpengaruh

nyata (p<0,05) terhadap pH gelatin. Hal ini

menunjukkan bahwa perendaman dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

mempengaruhi pH gelatin TCA dengan nilai

berkisar antara 3,5-4,14. Mengacu pada GMIA

(2012), pH gelatin TCA yang sesuai dengan

standar dihasilkan dari perendaman TCA

dengan menggunakan 2% HCl selama 24 jam

serta 2-5% HCl selama 48 jam dengan pH

berkisar 3,94-4,14. Seiring dengan

meningkatnya konsentrasi dan lama

perendaman pH gelatin akan menurun.

Naiknya pH pada perendaman dengan

HCl 2 – 5% selama 48 jam, diduga karena

sumsum TCA mengalami koagulasi pada pH 4

dan sumsum tulang tersebut dapat terangkat

secara sempurna sehingga gelatin yang

dihasilkan memiliki pH lebih tinggi dibanding

dengan perendaman dengan HCl 2 – 5% selama

24 – 36 jam. Kolagen kulit atau tulang akan

mengalami peregangan pada pH di bawah 4 dan

di atas 10. Pada pH tersebut, struktur tripel

heliks kolagen menjadi single heliks terjadi

secara maksimal (Li, 1993 dan Prayitno, 2007).

Pengaruh Perlakuan terhadap RendemenGelatin Tulang Cakar Ayam

Rendemen gelatin TCA yang dihasilkan

dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman

dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

Page 22: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

22

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,

dan interaksi antara keduanya berpengaruh

nyata (p<0,05) terhadap rendemen. Hal ini

menunjukan bahwa perendaman dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

mempengaruhi rendemen gelatin TCA sebanyak

0,38-3,25%. Tingginya rendemen gelatin

mengindikasikan bahwa perlakuan yang

diterapkan itu bekerja secara optimal dan efektif

(Miwada dan Simpen, 2007).

Tinggi rendahnya rendemen gelatin

diduga dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi

antara konsentrasi HCl dan lama perendaman.

Rendahnya rendemen pada pH 3,5 (perendaman

TCA dengan HCl 2% selama 36 jam) yaitu 0,88

% dan pH 4,14 (perendaman TCA dengan HCl

2% selama 24 jam) yaitu 0,38% menunjukkan

bahwa struktur kolagen mengembang dan

terbuka secara minimal pada pH 3,5 dan pH

4,14, sedangkan struktur kolagen akan

mengembang dan terbuka secara optimal pada

pH 3,76 (perendaman dengan HCl 5% selama

36 jam). Pengembangan dan terbukanya

struktur kolagen secara optimal ditandai dengan

rendemen yang dihasilkan tinggi yaitu 3,25%.

Pengaruh Perlakuan terhadap ViskositasGelatin Tulang Cakar Ayam

Viskositas gelatin TCA yang dihasilkan

dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman

dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,

dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

(p<0,05) terhadap viskositas. Hal ini

menunjukan bahwa perendaman dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

mempengaruhi viskositas gelatin TCA berkisar

antara 1,12-4,69 cP. Dengan

mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5) dan

viskositas (1,5-7,5 cP) dari GMIA (2012),

viskositas gelatin TCA terbaik dihasilkan dari

perendaman 2-5% HCl selama 48 jam dengan

viskositas sebesar 2-3,03 cP.

Tinggi rendahnya viskositas diduga

dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi antara

konsentrasi HCl dan lama perendaman.

Rendahnya viskositas gelatin TCA pada pH 3,5

(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36

jam) yaitu 1,51 cP dan pH 4,14 (perendaman

TCA dengan HCl 2% selama 24 jam) yaitu 1,32

cP menunjukan bahwa pada kisaran pH ini

memiliki nilai geser tinggi karena sedikit

mengandung gelatin sehingga viskositas yang

dihasilkan minimum. Viskositas optimum

diduga terjadi pada kisaran pH 3,62-3,68

(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24

jam).

Menurut See et al. (2010) viskositas

maksimum dihasilkan pada pH 3 dan 10,5.

Tingginya viskositas menunjukkan bahwa

gelatin memiliki nilai geser yang rendah serta

rantai asam amino yang panjang. Meskipun

gelatin yang dihasilkan dari perendaman dengan

HCl 3,5-5% selama 24 jam memiliki viskositas

optimum, akan tetapi memiliki pH yang tidak

sesuai standar GMIA (2012) yaitu 3,5 – 5,5.

Gelatin dengan viskositas terbaik dihasilkan

dari perendaman HCl 5% selama 48 jam dengan

pH 4 dan viskositas 3,03 cP.

Page 23: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

23

Pengaruh Perlakuan terhadap Gel strengthGelatin Tulang Cakar Ayam

Gel Strength gelatin TCA yang dihasilkan

dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman

dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,

dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

(p<0,05) terhadap gel strength. Hal ini

menunjukkan bahwa perendaman dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

mempengaruhi gel strength gelatin TCA dengan

nilai berkisar antara 0-1150,67 bloom. Dengan

mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5),

viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300

bloom) dari GMIA (2012), gel strength gelatin

TCA terbaik dihasilkan dari perendaman 3,5-

5% HCl selama 48 jam dengan gel strength

sebesar 263,07-228,81 bloom. Berdasarkan nilai

bloom-nya, gel strength gelatin TCA termasuk

dalam jenis medium-high bloom (Schrieber dan

Gareis, 2007). Berdasarkan standar GMIA

(2012), yaitu 50-300 bloom cocok untuk edible

film, food ingredient, soft and hard capsule.

Tinggi rendahnya gel strength yang

dihasilkan diduga dipengaruhi oleh pH dan

viskositas yang dihasilkan dari interaksi antara

konsentrasi HCl dan lama perendaman. Gel

strength gelatin TCA pada pH 3,5 dengan

viskositas 1,51 cP (perendaman TCA dengan

HCl 2% selama 36 jam) sebesar 63,87 bloom

dan pH 4,14 dengan viskositas 1,32 cP

(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 24

jam) sebesar 0 bloom menunjukan bahwa

dengan kisaran pH ini menghasilkan viskositas

minimum disertai dengan gel strength yang

rendah. Viskositas optimum pada kisaran pH

3,62-3,68 (perendaman dengan HCl 3,5-5%

selama 24 jam) juga disertai dengan gel

strength yang besar yaitu 1.150,67 bloom. Oleh

karena itu, gelatin yang dihasilkan dari

perendaman HCl 5% selama 48 jam merupakan

gelatin terbaik dan sesuai dengan standar GMIA

(2012) dengan pH 4, viskositas 3,03 cP dan gel

strength sebesar 422,2 bloom.

Pengaruh Perlakuan terhadap Waktu LelehGelatin Tulang Cakar Ayam

Waktu leleh gelatin TCA yang dihasilkan

dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman

dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman

dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

(p<0,05) terhadap waktu leleh. Hal ini

menunjukan bahwa perendaman dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

mempengaruhi waktu leleh gelatin TCA yaitu

berkisar antara 0-3,29 menit. Dengan

mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5),

viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300

bloom) dari GMIA (2012), waktu leleh gelatin

TCA terbaik (Tabel 1.) dihasilkan dari

perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan

waktu leleh sebesar 3,29 menit.

Tinggi rendahnya waktu leleh gelatin

TCA yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh

pH, viskositas dan gel strength yang dihasilkan

dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama

Page 24: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

24

perendaman. Gelatin TCA yang dihasilkan dari

perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36

jam (pH 3,5 dengan viskositas 1,51 cP dan gel

strength 63,87 bloom) memiliki waktu leleh

selama 1,4 menit dan gelatin TCA yang

dihasilkan dari perendaman TCA dengan HCl

2% selama 24 jam (pH 4,14 dengan viskositas

1,32 cP dan gel strength 0 bloom) memiliki

waktu leleh selama 0 menit. Hal ini menunjukan

bahwa dengan kisaran pH 3,5 dan 4,14

menghasilkan viskositas minimum yang disertai

dengan gel strength dan waktu leleh yang

rendah sedangkan pada viskositas optimum

yang terjadi pada kisaran pH 3,62-3,68

(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24

jam) yang disertai dengan gel strength yang

besar yaitu 1.150,67 bloom juga memiliki

waktu leleh yang rendah.

Rendahnya nilai pH, menyebabkan gelatin

yang terekstrak lebih banyak sehingga nilai

viskositas meningkat. Meningkatnya nilai

viskositas menunjukkan bahwa gelatin yang

dihasilkan memiliki rantai asam amino lebih

panjang, yang ditandai dengan nilai gel strength

yang besar (Ward dan Courts, 1977; Astawan

dan Aviana, 2003; Hafidz et al., 2011) dan

kandungan asam imino yang banyak (prolin dan

hidroksiprolin) yang merupakan penstabil

jaringan gel (Bustillos et al., 2006; Hafidz et al.,

2011; Tavakolipour, 2011).

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu danWaktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam

Suhu dan waktu jendal gelatin TCA yang

dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam

perendaman dapat dilihat secara ringkas pada

Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik,

penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama

perendaman, dan interaksi keduanya

berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap suhu dan

waktu jendal. Hal ini menunjukan bahwa

perendaman dengan menggunakan 2-5% HCl

selama 24-48 jam mempengaruhi suhu jendal

gelatin TCA yaitu 0-13,7 OC dengan waktu 0-

14,7 menit. Dengan mempertimbangkan standar

pH (3,8-5,5), viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel

strength (50-300 bloom) dari GMIA (2012) dan

waktu leleh gelatin TCA terbaik (Tabel 1.)

dihasilkan dari perendaman 5% HCl selama 48

jam dengan waktu leleh sebesar 3,29 menit,

maka suhu jendal terbaik dihasilkan dari

perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan

suhu jendal 10,7 OC selama 7,5 menit.

Meningkatnya suhu dan waktu leleh dan

jendal seiring dengan meningkatnya nilai

bloom, viskositas gelatin, berat molekul gelatin,

panjangnya rantai asam amino dan konsentrasi

gelatin yang digunakan (Choi dan Regenstein,

2000; Astawan et al., 2002; Schrieber dan

Gareis, 2007; Abustam et al., 2008).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian penggunaan

perbedaan konsentrasi, lama perendaman, dan

interaksinya mempengaruhi sifat-sifat gel

gelatin TCA. Interaksi yang dihasilkan dari

konsentrasi HCl dan lama perendaman yang

berbeda menghasilkan gelatin dengan

karakteristik pH yang berbeda. Perbedaan pH

ini diduga secara langsung mempengaruhi

rendemen dan sifat gel (rendemen, viskositas

Page 25: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

25

optimal, gel strength, waktu leleh serta suhu dan

waktu jendal) gelatin TCA dengan pH terendah

sebesar 3,5 dan tertinggi sebesar 4,14.

Rendemen tertinggi dihasilkan dari pH 3,76,

viskositas optimal dan gel strength besar terjadi

pada pH 3,62-3,68, waktu leleh serta suhu dan

waktu jendal tertinggi dihasilkan dari pH 4.

Berdasarkan sifat-sifat gel yang dihasilkan dan

mengacu pada standar GMIA (2012),

perendaman dengan interaksi antara HCl 5%

selama 48 jam menghasilkan gelatin TCA

terbaik dan dapat direkomendasikan sebagai

alternatif bahan tambahan pangan pada industri

pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abustam, E., H.M. Ali., M.I. Said dan J.CH.Likadja. 2008. Sifat fisik gelatin kulitkaki ayam melalui proses denaturasiasam, alkali dan enzim. SeminarNasional Teknologi Peternakan danVeteriner. 724 – 729.

Astawan M dan T. Aviana. 2003. Pengaruhjenis larutan perendaman serta metodepengeringan terhadap sifat fisik, kimiadan fungsional gelatin dari kulit cucut.Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan.XIV (1):7-13.

Astawan, M., P. Hariyadi dan A. Mulyani.2002. Analisis sifat reologi gelatin darikulit ikan cucut. Jurnal. Teknol. danIndustri Pangan. VIII (1): 38-46.

AOAC. 1995. Official Method of Analysis ofAssociation. Official AgriculturalChemist, Washington, DC.

Baker, R.C., P.W. Hahn, and Robbins, K.R.1994. Fundamentals of New FoodProduct Development. Elsevier ScienceB.V., New York.

Barbooti, M.M., S.R. Raouf and F.H.K. Al-Hamdani. 2008. Optimization ofproduction of food grade gelatin frombovine hide wastes. Eng and Tech.26(2): 240-253.

British Standard 757. 1975. Sampling andtesting of gelatin. Di dalam : Imeson,editor. Thickening and Gelling Agentsfor Food. New York :Academic Press.

Bustillos, R.J.A., C.W. Olsen., D.A. Olson, B.Chiou, E. Yee, P.J. Bechtel and T.H.McHugh. 2006. Water vaporpermeability of mammalian and fishgelatin films. Journal Of Food Science.71 (4): E202-E207.

Choi, S. and J.M. Regenstein. 2000.Physicochemical and sensorycharacteristics of fish gelatin. Journal ofFood Science. 65(2): 194-199

Gelatin Manufacturer Institute of America(GMIA). 2012. Gelatin Hand Book.America.

Guillen, M. C. G., B. Gimenez., M. E. L.Caballero and M. P. Montero. 2011.Functional and bioactive properties ofcollagen and gelatin from alternativesources. Food Hydrocolloids. 25: 1813-1827.

Hafidz, R.M.R.N., C.M. Yaakob, I. Amin, andA. Noorfaizan. 2011. Chemical andfunctional properties of bovine andporcine skin gelatin. International FoodResearch Journal. 18: 813–817.

Hajrawati. 2006. Sifat Fisik dan Kimia GelatinTulang Sapi dengan Perendaman AsamKlorida pada Konsentrasi dan LamaPerendaman yang Berbeda. TesisMagister Sains, Institut Pertanian Bogor,Bogor ().

Jayathikalan, K., K. Sultana, K. Radhakrishnaand A.S. Bawa. 2011. Utilization ofbyproducts and waste materials frommeat, poultry and fish processingindustries: a review. J Food Sci Technol: DOI 10.1007/s13197-011-0290-7.

Jellouli, K., R. Balti, A. Bougatef, N. Hmider,A. Barkia and M. Nasri. 2011. Chemicalcomposition and characteristic of skingelatin from grey triggerfish (Balistescapriscus). LWT-Food Science andTechnology. 44: 1965 – 1970.

Junianto, K. Haetami dan I. Maulina. 2006.Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan danPemanfaatannya Sebagai Bahan DasarPembuatan Cangkang Kapsul. HibahPenelitian Dirjen Dikti. Fakultas

Page 26: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

26

Perikanan dan Imu Kelautan,Universitas Padjajaran.

Kolodziejska. I., E. Skierka, M. Sadowska. W.Kolodziejska and C. Niecikowska. 2008.Effect of extracting time andtemperature on yield of gelatin fromdifferent fish offal. Food Chem. 107:700-706.

Li, Shu-Tung. 1993. Collagen biotechnologyand its medical application. Biomed.Eng. ppl.Baia Comm. 5: 646-657.

Liu, D.C, Y.K. Lin, and M.T. Chen, 2001.Optimum Condition of extrctingcollagen from Chicken feet and itscaracetristics. Asian-AustralasianJournal of Animal Science 14 : 1638-1644.

Miwada, I. N. S dan I. N. Simpen. 2007.Optimalisasi potensi ceker ayam (Shank)hasil limbah rpa melalui metodeekstraksi termodifikasi untukmenghasilkan gelatin. Majalah IlmiahPeternakan. 10 (1): 5-8.

Oh, J.H. 2012. Characteristic of edible filmfabricated with channel catfish(Istalurus punctatus) gelatin by cross-linking with transglutaminase. FishAquat. Sci. 15 (1): 9-14.

Prayitno. 2007. Ekstraksi kolagen cakar ayamdengan berbagai jenis larutan asam danlama perendaman. Animal Production. 9(2) : 99 – 104.

Puspawati, N.M., I.N. Simpen dan S. Miwada.2012. Isolasi gelatin dari kulit kaki ayam

broiler dan karakterisasi gugusfungsinya dengan spektrofotometeriFTIR. Jurnal Kimia. 6 (1) : 87 – 79.

Schrieber, R and H. Gareis. 2007. GelatinHandbook. Wiley-VCH Verlag GmbH& Co. KGaA, Germany.

See, S.F. Hong, P.K., Ng., K.L Wan Aida,W.M. and A.S Babdji. 2010.Physiscochemical properties of gelatinsextracted from skins of differentfreshwater fish species. InternationalFood Research Journal. 17 : 809 – 816.

Suryaningrum, T. D dan B.S.B. Utomo. 2002.Petunjuk Analisa Rumput Laut danHasil Olahannya. Pusat Risetpengolahan Produk dan Sosial EkonomiPerikanan dan Kelautan. Jakarta.

Tavakolipur, H. 2011. Extraction and evaluationof gelatin from silver carp waste. WorldJ. of Fish and Mar. Sci. 3 (1): 10-15.

Ward, A.G. and Courts, A. 1977. The Scienceand Technology of Gelatin. AcademicPress, New York.

Yuniarifin, H., V.P. Bintoro, dan A.Suwarastuti. 2006. Pengaruh berbagaikonsentrasi asam fosfat pada prosesperendaman tulang sapi terhadaprendemen, kadar abu dan viskositasgelatin. J. Indonesia Trop. Anim. Agric.31 (1) : 55 – 61.

Page 27: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

27

Tabel 1. Pengaruh Interaksi Konsentrasi HCl dan Lama Perendaman terhadap pH, Rendemen,Gel Strength, Waktu Leleh serta Suhu dan Waktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam

KonsentrasiHCl (%)

ParameterLama Perendaman (jam)

24 36 48

2

pH 4,14a 3,50d 4,08a

Rendemen (%) 0,38f 0,88ef 1,60cde

Viskositas (cP) 1,32d 1,51d 2,00bcd

Gel Strength (bloom) 0e 63,87e 422,20c

Waktu Leleh (menit) 0d 1,40c 1,92bc

Suhu Jendal (◦C) 0e 9cd 14,7a

Waktu jendal (menit) 0c 11,3ab 8,3b

3,5

pH 3,68cd 3,66cd 3,94ab

Rendemen (%) 2,55b 1,92bc 1,16de

Viskositas (cP) 3,30ab 1,82cd 2,11bcd

Gel Strength (bloom) 941,56b 142,79de 263,07d

Waktu Leleh (menit) 2,00bc 1,71bc 2,37b

Suhu Jendal (◦C) 12,3ab 8d 11,3ab

Waktu jendal (menit) 13,6a 8,6b 8,4b

5

pH 3,62cd 3,76bc 4,00a

Rendemen (%) 2,45b 3,25a 1,31cd

Viskositas (cP) 4,69a 1,88cd 3,03abc

Gel Strength (bloom) 1150,67a 118,20de 228,81d

Waktu Leleh (menit) 1,73bc 3,21a 3,29a

Suhu Jendal (◦C) 13,7a 11bc 10,7bc

Waktu jendal (menit) 8,0b 6,4b 7,5b

Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yangnyata (p<0,05)

Page 28: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

28

Page 29: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

29

Mutu Fisik, Kadar Serat dan Sifat Organoleptik Nata de CassavaBerdasarkan Lama Fermentasi

Physical quality, Dietary Fiber and Organoleptic Characteristicfrom Nata de Cassava Based time of Fermentation

Indah Putriana dan Siti Aminah

Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah SemarangKorespondensi, email: [email protected]

Abstract

Nata de cassava are product from cassava extract with fermentation bacteria speciesAcetobacter xylinum. Nata constitutes one of components in nutrients as a source of dietary fiber.Period of fermentation is one of essential factor in makings nata de cassava. The aim this research is toknow physical quality, and organoleptic characteristic from nata de cassava with period time offermentation. Thickness and yield best exists on 13th days fermentation 1,37 cm and 59,09 %respectively, meanwhile best brightness on 5th days fermentation around 64,70. Concentration of fiberis biggest in 7th days fermentation approximately 94,31 mg. Organoleptic quality perceives nata decassava delicate on 13th day fermentation.

Key Words: Nata de cassava, physical quality, dietary fiber, organoleptic characteritic

PENDAHULUAN

Singkong atau cassava berasal dari

benua Amerika. Tanaman singkong masuk ke

wilayah Indonesia tahun 1852. Saat ini di

Indonesia singkong menjadi makanan pokok

nomor tiga setelah padi dan jagung (Rukmana,

1997) dan produksi singkong Indonesia telah

mencapai 19.988.056 ton pada tahun 2007

(BPS, 2008).

Hasil olahan singkong yang sudah

dikembangkan di masyarakat diantaranya

adalah singkong rebus, singkong goreng, getuk,

tiwul, gatot, dan kripik. Tape singkong adalah

produk olahan singkong dalam bentuk

fermentasi, selain itu singkong dapat

difermentasi menjadi nata. Produk nata dari

singkong belum banyak dikenal oleh

masyarakat di Indonesia, karena umumnya

bahan baku nata adalah air kelapa yang dikenal

dengan sebutan nata de coco.

Menurut SNI (Standar Nasional

Indonesia) tahun 1996 karakteristik nata yang

harus diperhatikan adalah aroma, rasa, warna,

dan tekstur yang normal serta kandungan

seratnya. Salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi karakteristik nata adalah lama

fermentasi.

METODOLOGI

Penelitian ini adalah penelitan

eksperimental. Tempat penelitian adalah

Laboratorium Kimia Universitas Katolik

Page 30: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

30

Soegijapranoto Semarang dan Laboratorium

Teknologi Pangan Fakultas Ilmu Keperawatan

dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Semarang. Bahan utama dalam pembuatan nata

de cassava adalah singkong segar varietas kaliki

berumur ± 9-11 bulan yang diperoleh dari

petani di lapangan Graha Candi Golf Semarang

sedangkan starter nata diperoleh dari Balai

Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran

Industri Jl. Ki Mangunsarkoro 6 Semarang.

Bahan kimia yang digunakan adalah gula pasir,

asam asetat, amnium sulfat, H2SO4, NaOH,

H2SO4, aquades, dan air mineral yang dibeli di

toko bahan kimia Indra Sari Jl. Stadion Selatan

15 Semarang.

Peralatan dalam pembuatan nata de

cassava meliputi baki fermentasi, kertas lakmus

untuk mengukur pH, timbangan, pisau, gelas

ukur, blender, panci, kompor, pengaduk,

saringan, kertas koran, karet gelang. Alat untuk

analisa kadar serat adalah neraca analitik, gelas

ukur, pengaduk, pipet volum, erlenmeyer,

pendingin balik, kertas saring, kertas lakmus,

spatula, desikator, kurs porselin. Alat untuk uji

organoleptik terdiri dari formulir uji

organoleptik, bolpoin, piring kecil, dan gelas.

Alat untuk menguji mutu fisik yaitu warna

adalah chromameter, alat menghitung rendemen

adalah timbangan sedangkan mengukur

ketebalan menggunakan jangka sorong.

Penelitian ini menggunakan Rancangan

Acak Lengkap monofaktor (RAL monofaktor),

dengan perlakuan sebanyak 5 (lima) perlakuan.

Variabel dependen adalah mutu fisik, kadar

serat, sifat organoleptik dan variabel

independen adalah lama fermentasi. Masing-

masing percobaan dilakukan ulangan sebanyak

4 kali. Diagram alir proses pembuatan produk

nata de cassava tersaji pada Gambar 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Sifat Fisik

Ketebalan

Selama proses fermentasi berlangsung

ketebalan nata de cassava mengalami

peningkatan. Rata-rata hasil pengukuran

ketebalan nata de cassava tersaji pada Gambar

2. Gambar tersebut menjelaskan bahwa semakin

lama waktu fermentasi semakin tebal nata yang

dihasilkan. Ketebalan tertinggi terdapat pada

lama fermentasi hari ke 13 yaitu sebesar 1,37

cm.

Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa di peroleh p-value 0,001 < 0,05

sehingga dapat disimpulkan bahwa lama

fermentasi nata de cassava berpengaruh

terhadap ketebalan nata yang terbentuk. Hasil

uji lanjut menunjukkan bahwa lama fermentasi

hari ke-7 dan 9 tidak berbeda nyata sedangkan

perlakuan yang berbeda nyata adalah antara

lama fermentasi hari ke 5 dan ke-7, 5 dan 9, 5

dan 11, 5 dan 13, 7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11,

9 dan 13, 11 dan 13.

Hal ini dikarenakan aktivitas bakteri

Acetobacter xylinum dalam mengasilkan

selulosa dipengaruhi lama fermentasi. Bakteri

Acetobacter xylinum membentuk lapisan nata

yang semakin tebal sampai pada hari ke-13 dan

bakteri Acetobacter xylinum masih mampu

beraktivitas untuk tumbuh dan membentuk

Page 31: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

31

selulosa. Nata yang dipanen setelah hari ke-13

tidak akan terbentuk lapisan nata baru karena

aktivitas bakteri Acetobacter xylinum berhenti

akibat nutrisi yang habis di dalam media

fermentasi dan hasil metabolit berupa asam

asetat yang dapat mengganggu pertumbuhan

mikroba. Saccharomyces menguraikan gula

menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum

di rubah menjadi asam asetat, sehingga pH

medium menjadi lebih asam yaitu 3 dan aroma

juga menjadi asam.

Ashari (2007) menyatakan bahwa

bakteri Acetobacter xylinum dalam membentuk

nata di dalam media yang diperkaya karbon dan

nitrogen, penambahan asam asetat, sehingga

menstimulasi khamir S.Cerreviceae untuk

merombak sukrosa menjadi glukosa dan

kemudian difermentasi menjadi alkohol,

selanjutnya Accetobacter xylinum dan

Gluconobacter mengoksidasi alkohol menjadi

asam asetat sebagai metabolit utama.

Bakteri Accetobacter xylinum

menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat

menyusun (mempolimerisasi) zat gula (glukosa)

menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau

selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh

dalam media, akan dihasilkan jutaan lembar

benang-benang selulosa yang akhirnya nampak

padat berwarna putih hingga transparan, yang

disebut sebagai nata yang termasuk metabolit

sekunder (Nainggolan, 2009).

Pada fermentasi nata terjadi hubungan

saling membutuhkan antara khamir

S.Cerreviceae, Gluconobacer, dan Accetobacter

xylinum. Saccharomyces menguraikan gula

menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum

dan Gluconobacter di oksidasi menjadi asam

asetat dan air. Accetobacter xylinum

memerlukan waktu untuk fase adaptasi selama 1

hari , kemudian pertumbuhan meningkat (fase

logaritmik) sampai pada hari ke-5 dan ke-7

ditunjukkan dengan semakin tebal nata yang

terbentuk.

Nainggolan (2009) menyatakan bahwa

seiring dengan lama fermentasi pertumbuhan akan

menurun secara perlahan, karena berkurangnya

kadar gula dan timbulnya asam sebagai hasil

metabolit dari fermentasi tersebut. Ketebalan

paling baik terjadi pada lama fermentasi hari ke-

13, hal ini menggambarkan bahwa lama

fermentasi mempengaruhi aktivitas bakteri

Accetobacter xylinum dalam menghasilkan nata

de cassava.

Ketebalan nata de coco pada umumnya

adalah antara 1-1,5 cm sedangkan pada nata de

cassava 1,37 cm pada lama fermentasi hari ke-13

menunjukkan bahwa ketebalan nata de coco

dengan nata de cassava sama. Pada lama

fermentasi hari ke-5 sampai ke-11 ketebalan nata

de cassava belum mencapai 1 cm, hal ini

dipengaruhi oleh variasi substrat, komposisi

bahan, kondisi lingkungan, dan kemampuan

Accetobacter xylinum dalam menghasilkan

selulosa.

Rendemen

Rendemen nata de cassava ditentukan

berdasarkan perbandingan antara bobot nata

dengan bobot medium. Rata-rata rendemen nata

cassava tersaji pada Gambar 3. Gambar 3

menjelaskan bahwa rendemen nata de cassava

Page 32: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

32

pada lama fermentasi hari ke-5 sampai dengan

hari ke-13 mengalami peningkatan. Rendemen

nata de cassava tertinggi adalah 59,09% pada

lama fermentasi hari ke-13.

Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa diperoleh p-value 0,002 < 0,05 sehingga

dapat disimpulkan bahwa lama fermentasi nata

de cassava berpengaruh terhadap rendemen

nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut

menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5

dan ke-7, ke-7 dan ke-9 tidak berbeda nyata

sedangkan perlakuan yang berbeda nyata adalah

lama fermentasi ke-5 dan 9, 5 dan 11, 5 dan 13,

7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan

13.

Semakin lama waktu fermentasi maka

nata yang terbentuk semakin berat, sehingga

rendemen nata juga meningkat. Lama

fermentasi yang berbeda dihasilkan kadar

selulosa yang berbeda, lama fermentasi hari ke-

13 semakin tinggi kadar selulosa nata, sehingga

nata de cassava semakin berat dan rendemen

meningkat. Rendemen dipengaruhi oleh variasi

substrat, komposisi bahan, kondisi lingkungan,

dan kemampuan Accetobacter xylinum dalam

menghasilkan selulosa.

Warna

Warna nata de cassava diukur

menggunakan chromameter dengan satuan

L*a*b. L merupakan tingkat kecerahan,

semakin tinggi nilai L maka warna semakin

cerah dan semakin rendah nilai L warna

semakin gelap. Gambar 4 menunjukkan selama

proses fermentasi nilai kecerahan (L) nata de

cassava semakin menurun.

Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa

hasil pengukuran warna nata de cassava pada

lama fermentasi hari ke 5 sampai dengan hari ke

13 mengalami penurunan. Kecerahan nata de

cassava tertinggi adalah 64,70 pada lama

fermentasi hari ke 5, sedangkan kecerahan

terendah nata de cassava adalah 56,13 pada

lama fementasi hari ke 13.

Hasil uji statistik anova dengan

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

signifikan p-value 0,002 < 0,01 sehingga dapat

disimpulkan bahwa lama fermentasi nata de

cassava berpengaruh sangat nyata terhadap

warna nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut

menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5

dan ke-13 berbeda nyata sedangkan perlakuan

yang berbeda nyata adalah lama fermentasi ke-5

dan 7, 5 dan 9, 5 dan 11, 7 dan 9, 7 dan 11, 7

dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan 13. Hal ini

dikarenakan warna dipengaruhi oleh tebal nata,

semakin tebal nata maka warna yang dihasilkan

semakin gelap (keruh), sebaliknya semakin tipis

nata, warna yang dihasilkan semakin terang

(putih).

Menurut Susanti (2006) ketebalan nata

dipengaruhi oleh jumlah intensitas cahaya. Nata

yang tebal, intensitas cahaya yang masuk dan

diserap semakin banyak sehingga semakin

gelap (keruh), sebaliknya pada nata yang tipis,

intensitas cahaya yang masuk dan diserap

semakin sedikit sehingga warna semakin terang

(putih). Pada nata yang tebal pembentukan

jaringan selulosa semakin banyak dan rapat.

Page 33: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

33

Warna nata de coco adalah putih susu

tetapi pada nata de cassava putih agak keruh.

Warna nata de cassava dapat diperbaiki dengan

mempercepat lama fermentasi, karena lama

fermentasi yang semakin lama warna nata akan

menjadi lebih gelap yaitu dengan memodifikasi

bahan yang digunakan dalam pembuatan nata

de cassava.

b. Kadar Serat

Jenis serat pada nata de cassava adalah

serat kasar. Serat kasar merupakan hasil

perombakan gula pada medium fermentasi oleh

aktivitas A. xylinum (Anastasia, 2008).

Lama fermentasi nata menyebabkan

bakteri Acetobacter xylinum bekerja pada

perlakuan perbedaan jumlah nutrisi yang

mencukupi kebutuhannya. Pada kondisi yang

jumlah mutrisi mencukupi kebutuhannya

selulosa yang terbentuk dalam jumlah besar dan

pada kondisi yang jumlah nutrisi tidak

mencukupi kebutuhannya pertumbuhan bakteri

Acetobacter xylinum terhambat akibatnya

dihasilkan selulosa dalam jumlah kecil. Karena

selulosa yang terbentuk berbeda sehingga

menyebabkan perbedaan pada berat nata yang

dihasilkan. Hasil rata-rata kadar serat per 100 g

nata tersaji pada Gambar 5.

Gambar 5 dapat diketahui bahwa nilai

rata-rata kadar serat tertinggi terdapat pada

produk nata de cassava dengan lama fermentasi

hari ke-7 yaitu sebesar 94,31 mg. Hasil uji

statistik anova dengan menggunakan α 0,05

diperoleh data taraf signifikan p-value 0,543 >

0,05 sehingga dapat lama fermentasi nata de

cassava tidak berpengaruh terhadap kadar serat

nata yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena

pada lama fermentasi hari ke 7 bakteri

Acetobacter xylinum dalam fase eksponensial

karena bakteri Accetobacter xylinum

mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase

sebanyak banyaknya untuk menyusun polimer

glukosa menjadi selulosa sehingga matrik nata

lebih banyak diproduksi pada fase ini.

Pada lama fermentasi ke-9 dan 11

mengalami penurunan karena bakteri

Accetobacter xylinum dalam fase pertumbuhan

lambat karena ketersediaan nutrisi telah

berkurang dan terdapat terdapatnya metabolik

yang bersifat toksit yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri dan umur sel telah tua. Lama

fermentasi ke-13 meningkat karena matrik nata

lebih banyak diproduksi pada fase ini.

c. Sifat Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan dengan

menggunakan uji skoring dengan kriteria

semakin tinggi angka maka mutunya semakin

baik. Aspek yang dinilai meliputi tingkat

kesukaan terhadap tekstur, rasa dan aroma,

dimana panelis dimintai tanggapan pribadinya

tentang kesukaan atas suatu produk menurut

tingkatan-tingkatan tertentu. Panelis yang

digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak

15 orang dari mahasiswa Teknologi Pangan.

Tesktur

Tekstur yang baik untuk nata de cassava

adalah kenyal dan tidak keras. Hasil rata-rata

penilaian panelis tersaji pada Gambar 6. Pada

gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai

Page 34: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

34

rata-rata tekstur tertinggi terdapat pada produk

nata de cassava dengan lama fermentasi hari

ke-5 yaitu sebesar 3,23 dengan kriteri nilai yaitu

kenyal.

Hasil uji statistik Friedman dengan

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

signifikan p-value 0,926 > 0,05 sehingga dapat

disimpulkan lama fermentasi nata de cassava

tidak berpengaruh terhadap tekstur nata de

cassava. Panelis lebih menyukai nata de

cassava dengan tekstur kenyal yang diperoleh

dari nata de cassava sampai hari ke-5, hal ini

disebabkan selulosa yang terbentuk oleh bakteri

Acetobacter xylinum belum terlalu keras

sehingga tekstur menjadi kenyal. Semakin lama

fermentasi tekstur nata semakin lembek karena

lapisan nata yang terbentuk semakin tebal.

Rasa

Rasa yang baik untuk nata de cassava

adalah enak dengan ditambahkan larutan gula

10%. Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap

rasa tersaji pada Gambar 7. Berdasarkan

gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai

rata-rata rasa tertinggi terdapat pada lama

fermentasi hari ke-13 sebesar 3,23 yaitu enak,

sedangkan nilai terendah terdapat pada lama

fermentasi hari ke-7 sebesar 2,47.

Hasil uji statistik Friedman dengan

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

signifikan p-value 0,016 < 0,05 sehingga dapat

disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi

nata de cassava berpengaruh terhadap rasa nata

de cassava. Uji lanjut wilcoxon menunjukkan

bahwa lama fermentasi hari ke-7 berbeda nyata

dengan lama fermentasi hari ke-5 dan lama

fermentasi hari ke-13 berbeda nyata dengan

lama fermentasi hari ke-7.

Hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa panelis lebih menyukai nata de cassava

dengan rasa enak karena perbedaan lama

fermentasi menghasilkan citarasa nata enak

yang relatif sama, selain itu pada saat pengujian

organoleptik nata de cassava disajikan

menggunakan larutan gula sebesar 10%,

sehingga nata berasa manis dan enak.

Aroma

Aroma yang baik untuk nata de cassava

adalah tidak asam. Hasil rata-rata penilaian

panelis terhadap aroma tersaji pada Gambar 8.

Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa

nilai rata-rata aroma tertinggi terdapat pada

lama fermentasi hari ke-11 sebesar 3,13,

sedangkan nilai terendah terdapat pada lama

fermentasi hari ke-9 sebesar 2,67.

Hasil uji statistik Friedman dengan

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

signifikan p-value 0,901 > 0,05 sehingga dapat

disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi

nata de cassava tidak berpengaruh terhadap

aroma nata de cassava. Panelis lebih menyukai

nata de cassava dengan aroma tidak asam

karena pada saat dipanen, nata de cassava

dicuci lalu direbus selama 10 menit pada suhu

100°C sehingga aroma asam pada nata de

cassava hilang pada saat pencucian dan

perebusan.

Page 35: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

35

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

dapat disimpulkan bahwa singkong dapat

digunakan sebagai bahan baku pembuatan nata.

Produk nata de cassava terbaik dihasilkan pada

konsentrasi sari singkong sebesar 25% dengan

optimum lama fermentasi hari ke-13, dengan

ketebalan tertinggi yaitu sebesar 1,37 cm,

rendemen 59,09%, tingkat kecerahan yang

keruh (gelap) sebesar 56, 13 kadar serat 93,4

mg dan tingkat kesukaan panelis terhadap

tekstur, rasa, aroma dan warna adalah masih

dalam batas diterima secara organoleptik oleh

panelis. Untuk mempersingkat waktu

fermentasi dapat dimodifikasi lagi jumlah

komposisi bahan seperti sari singkong, urea,

gula dan asam asetat sehingga dapat dihasilkan

nata de cassava yang baik sebagai penelitian

lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, N., dan Eddy A. 2008. Mutu Nata DeSeaweed Dalam Berbagai KonsentrasiSari Jeruk Nipis. Prosiding SeminarNasional Sains dan Teknologi-II 2008Universitas Lampung, 17-18 November2008.

BPS. 2008. Produksi Umbi Ubi Kayu.

Lazuardi. 1994. Studi Pembuatan Nata De CocoDari Tiga Jenis Air Kelapa Dengan TigaJenis Gula Terhadap Produksi Nata DeCoco. Tesisi Sarjana Biologi, UniversitasAndalas Padang.

Luwiyanti, H. 2001. Pengaruh PenggunaanSumber Nitrogen Pada Medium FiltratKulit Buah Pisang Kepok Terhadap Berat,Tebal, dan Sifat Organoleptik Nata.

(Skripsi) Semarang : Program S1Teknologi Hasil Pertanian FakultasTeknologi Pertanian UniversitasSemarang.

Mahmud, dkk., 2009. Tabel Komposisi PanganIndonesia. Jakarta : PT Elex MediaKomputindo.

Nadiyah, Krisdianto, dan Aulia. 2005.Kemampuan Bakteri Acetobacter xylinumMengubah Karbohidrat Pada LimbahPadi (Bekatul) Menjadi Selulosa.Bioscientiae,Vol. 2, No. 2, Hal. 37 - 47.Diakses darihttp://bioscientiae.tripod.com.

Nainggolan, J. 2009. Kajian pertumbuhanBakteri Accetobacter sp. DalamKombucha-Rosela Merah (Hibiscussabdariffa) pada Kadar Gula dan LamaFermentasi yang Berbeda. (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Setyawati, R. 2009. Kualitas Nata De CassavaLimbah Cair Tapioka DenganPenambahan Gula Aren Dan LamaFermentasi Yang Berbeda. (Skripsi).Surakarta. Universitas MuhammadiyahSurakarta.

SNI 01- 4317- 1996. Nata dalam Kemasan.Jakarta : Departemen Perindustrian.

Soekarto. 1990. Penilaian Organoleptik UntukIndustri Pangan dan HasilPertanian.Jakarta: Bhatara Aksara.

Sumiyati. 2009. Kualitas nata de cassavalimbah cair tapioka Dengan penambahangula pasir dan lama Fermentasi yangberbeda. (Skripsi). Surakarta. UniversitasMuhammadiyah Surakarta.

Susanti, L. 2006. Perbedaan Penggunaan JenisKulit Pisang Terhadap Kualitas Nata.(Skripsi). Semarang. Universitas NegeriSemarang.

Warisno. 2004. Mudah dan Praktis MembuatNata de Coco. Jakarta : ArgomediaPustaka.

Page 36: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

36

Winarno. F. G, dkk. 1992. Pengantar TeknologiPangan. Jakarta : PT. Gramedia

Gula 3% dan amonium sulfat 6%dari volume total media

dari bahan yang digunakan

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan nata de cassava

Pemarutan

Penyaringan(sari singkong)

Perebusan70-80°C,10 menit

PendinginanSuhu ruang

Pemeraman

Pencucian

Starter 10%Dari total volume bahan

Asam asetatsampai pH 4

ampas singkong

Nata de cassava siap uji

Pengendapan Pati

Singkong 250 g

Pengenceran

Perendaman 2 hari

Perebusan

Air 1 l

Pemanenan

Sisa media fermentasi

Page 37: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

37

0

0.5

1

1.5

5 7

0.28 0.35

Kete

bala

n ( c

m )

Lama Fermentasi (hari)

Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

37

7 9 11 13

0.350.41

0.57

1.37

Lama Fermentasi (hari)

Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

37

Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Page 38: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

38

2.6

2.8

3

3.2

3.4

5 7

3.23

Peni

laia

n pa

nelis

terh

adap

teks

tur

Lama Fermentasi (hari)

0

2

4

5

3.2

Peni

laia

n pa

nelis

terh

adap

rasa

2.42.62.8

33.2

5

2.93

Peni

laia

n pa

nelis

terh

adap

aro

ma

Lama Fermentasi (hari)

Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava

Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava

Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava

909192939495

5 7

93.03

94.31

Kada

r ser

at (m

g/10

0gna

ta)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

38

7 9 11 13

3 3.07 3

2.87

Lama Fermentasi (hari)

5 7 9 11 13

3.2 2.47 2.8 3 3.23

Lama Fermentasi (hari)

7 9 11 13

3

2.67

3.13 3.07

Lama Fermentasi (hari)

Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava

Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava

Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava

7 9 11 13

94.31

92.2691.76

93.4

Lama Fermentasi (Hari)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

38

Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava

Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava

Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava

Page 39: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

39

TOTAL ASAM, TOTAL YEAST, DAN PROFIL PROTEIN KEFIR SUSUKAMBING DENGAN PENAMBAHAN JENIS DAN KONSENTRASI GULA

YANG BERBEDA

Total Acid, Total Yeast, Protein and Profile Kefir Goat Milk, With Addition Type andConcentration of Sugar in Different Level

Amanda Liana Aristya, Anang. M. Legowo, dan Ahmad N. Al-Baarri

Magister Ilmu Ternak Program PascasarjanaUniversitas Diponegoro Semarang

Email Korespondensi: [email protected]

Abstract

Research goat milk kefir with the addition of the type and concentration of sugar in differentlevel have been conducted in order to analyze the effect and interaction of the two treatments on totalacid, total yeast and protein profile of goat milk kefir. The experimental design was used the completelyrandomized design (CRD) factorial pattern consisting of 2 (two) factors, the first factor (A) is a type ofsugar consists of 3 (three) types of treatment (white sugar, brown sugar and D-Psicose) and The secondfactor (B) is the concentration of sugar consists of 3 (three) standard treatment (4%, 6%, and 8%), eachtreatment performed repetitions for 3 (three) times. Data results of total acid and total yeast wereanalyzed using analysis of variance to determine the effect and treatment interaction, while data fromthe protein profiles was used descriptive analysis. If there is a significant effect of treatment, therefore,continued by Duncan's test Dual region to determine differences among treatments. The results showedthat the treatment of sugar (granulated sugar, brown sugar, and D-Psicose), concentration (4%, 6%,and 8%) and the interaction between the two treatments has the affect significantly (p <0.05) to totalacid and total goat milk kefir yeast. Types of proteins and the molecular weight of goat milk kefir withthe addition of different types and concentrations of the lactoferrin (80kDa), Laktoferoksidase (70kDa),α-Casein (65kDa), and β-casein (45kDa).

Key words: Kefir, Goat Milk, Sugar

PENDAHULUAN

Susu kambing memiliki prospek yang

sangat baik untuk dikembangkan sebagai

minuman kesehatan. Susu kambing memiliki

karakteristik warna lebih putih, globula lemak

susunya relatif kecil sehingga lebih mudah

dicerna, dan mengandung mineral seperti

kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks

yang tinggi. Komposisi rata-rata susu kambing

adalah air 87,0%, lemak 4,25%, laktosa 4,27%,

protein 3,52%, abu 0,86% dan total bahan padat

13,0% (Blakely dan Bade, 1991).

Pengembangan produk susu kambing salah

satunya dengan mengolahnya menjadi kefir

susu kambing.

Kefir adalah susu yang difermentasi

oleh sejumlah mikroba, yaitu bakteri penghasil

asam laktat (BAL), bakteri penghasil asam

asetat, dan khamir. Kefir dibuat melalui proses

fermentasi menggunakan mikroba bakteria dan

yeast (Winarno dan Ivone, 2007). Kefir

mempunyai efek yang baik untuk kesehatan,

seperti mengontrol metabolisme kolesterol,

sebagai probiotik, antitumor bagi hewan,

antibakteri, antijamur, dan lain-lain (Farnworth,

Page 40: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

40

2003). Kefir mengandung 0,65-1,33 g/l CO2,

3,16-3,18% protein, 3,07-3,17% lemak, 1,8-

3,8% laktosa 0,5 - 1,5% etanol dan 0,7-1,0%

asam laktat (Ide, 2008).

Pada saat ini di Jepang telah banyak

dilakukan beberapa penelitian tentang rare

sugar, dimana rare sugar diartikan sebagai gula

langka jenis monosakarida dan derivatnya yang

jarang ada di alam seperti D-Psicose, D-Allose

dan D-Tagatose. Rare sugar mempunyai sifat

fungsional untuk diaplikasikan pada dunia

kesehatan dan industri pangan karena

mengandung zero kalori. Salah satu jenis rare

sugar yang digunakan dalam penelitian ini

adalah D-Psicose. D-Psicose merupakan

monosakarida yang digunakan sebagai pemanis

non-kalori yang telah terbukti menurunkan

kadar glukosa dalam darah (Matsuo et al.

2002). Penambahan rare sugar maupun gula

konvensional dalam proses pengolahan kefir

susu kambing dapat dapat akan menyebabkan

terjadinya reaksi maillard yang diawali dengan

proses glikasi. Menurut Sun et al. (2006a)

glikasi merupakan reaksi yang terjadi antara

gugus amino dari protein susu dengan gugus

karbonil dari gula pereduksi yang terbentuk

selama pemanasan. Reaksi glikasi

menghasilkan suatu senyawa antioksidan dan

berperan dalam pembentukan warna serta

flavor.

Penelitian mengenai rare sugar dalam

susu fermentasi belum pernah dilakukan,

sehingga perlu dilakukan uji karakteristik fisik

(total asam), mikrobiologis (total yeast) dan

kimia (profil protein) pada susu fermentasi yang

dihasilkan. Sebagai perbandingannya digunakan

gula pasir dan gula aren yang biasa digunakan

dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini

diharapkan dengan adanya penambahan jenis

dan konsentrasi gula yang berbeda dapat

meningkatkan kualitas kefir susu kambing.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis

pengaruh dan interaksi antara penambahan jenis

dan konsentrasi pemberian gula terhadap total

asam, total yeast, dan profil protein kefir susu

kambing.

METODOLOGI

Materi Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini terdiri dari susu kambing yang diperoleh dari

daerah Ungaran, susu Ultra High Temperature

(UHT) Ultra Milk, medium de Man Ragosa and

Shape (MRS) Broth yang diperoleh dari

Laboratorium Fisiologi dan Biokimia Fakultas

Peternakan, kultur starter Lactobacillus

acidophilus FNCC 0051 diperoleh dari Pusat

Antar Universitas (PAU) UGM, Saccharomyces

cerevisiae yang diperoleh dari UNIKA

Soegijapranata, Semarang, gula pasir, gula aren,

rare sugar D-Psicose, alkohol 95%, spirtus,

NaOH 0,1 N, larutan standar Asam Oksalat,

indikator PP 1%, HCl, Ammonium persulfat,

temed, SDS, glicine, bhromophenol blau,

glycerol, Acrylamide-Bis Acrylamide,

Comassie blue, SDS 10%, SDS 1%,

mercapthoetanol, larutan phosphat buffer pH

7.0, agar, MEA, antibiotik, CaCO3, alumunium

foil, kapas, kasa,dan aquades.

Page 41: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

41

Prosedur pembuatan kultur starter

Tahap pembuatan starter kultur

dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pembuatan

starter induk (mother starter) dan dilanjutkan

dengan pembuatan starter kerja (bulk starter).

Selanjutnya akan dilakukan pembuatan kefir

susu kambing dengan menggunakan L.

acidophilus dan S. cerevisiae pada saat

populasinya + 106-108 cfu/ml (Renoaji, 2007).

Pembuatan starter induk (mother starter)

L. acidophilus dimulai dengan pengenceran

MRS Broth sebanyak 5,2 g dengan 100 ml

aquades, kemudian dimasukkan ke dalam

tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu

disterilkan dengan suhu 121°C selama 15 menit.

Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat

bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam

tabung reaksi berisi MRS. Setelah itu dilakukan

inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.

Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri

dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 8-

10°C.

Pembuatan starter induk (mother starter)

S. cerevisiae dimulai dengan pembuatan

medium Pepton Glucose Yeast Extract (PGY).

Dengan komposisi : pepton 7,5 gram, glukosa

20 gram, ekstrak yeast 4,5 gram, dan aquadest 1

liter. Kemudian medium dimasukkan ke dalam

tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu

disterilkan dengan suhu 121°C selama 15 menit.

Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat

bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam

tabung reaksi berisi medium PGY. Setelah itu

dilakukan inkubasi pada suhu 35°C selama 24

jam. Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri

dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 8-

10°C. P

pembuatan bulk starter L. acidophilus

dan S. cerevisiae dimulai dengan menyiapkan

susu UHT kemasan. Kemudian dilakukan

sterilisasi susu UHT cair dengan autoklaf pada

suhu 121°C selama 15 menit. Setelah itu susu

skim cair didinginkan dengan cepat sampai

suhu 45°C. Selanjutnya diinokulasikan mother

starter sebanyak 10% dari volume susu. Susu

yang telah diinokulasikan kemudian diinkubasi

pada suhu 38°C untuk L. acidophilus dan S.

cerevisiae selama 9 jam. Setelah selesai, bulk

starter dimasukkan dalam lemari pendingin

bersuhu 8-10°C dan siap dijadikan starter kerja

saat populasinya + 106-108 cfu/ml untuk L.

acidophilus maupun S. cerevisiae. Tujuan

pembuatan bulk starter adalah sebagai

persediaan starter, untuk membuat volume

starter yang lebih banyak dan agar lebih efisien.

Prosedur pembuatan kefir

Proses pembuatan kefir susu kambing

diawali dengan mengukur susu kambing

menjadi 3 bagian sebanyak 200 ml ditambahkan

masing-masing jenis gula yang berbeda yaitu

gula pasir, gula aren, dan D-Psicose sebanyak

4% dan 6% kemudian dipasteurisasi. Setelah itu

susu kambing tersebut ditambahkan kultur

starter sebanyak 5% (3,5% BAL dan 1,5%

yeast), kemudian difermentasi selama 24 jam

pada suhu 39 0C hingga terbentuk kefir bening

dan terpisah dari padatannya (granula). Setiap 4

jam selama 24 jam diakukan analisis total asam

dan pH sehingga diperoleh waktu inkubasi

Page 42: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

42

selama 24 jam dimana proses fermentasi

dihentikan karena salah satu sampel telah

mencapai total asam 0,8%.

Pengujian total asam

Pengujian total asam dinyatakan

sebagai total asam. Keasaman diukur dengan

metode titrasi yang dinyatakan sebagai

persentase asam laktat (Devide,1977). Sampel

sebanyak 10 ml ditambahkan dengan 2-3 tetes

indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan

larutan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah

muda dan stabil, sesuai dengan larutan standar.

Keasaman titrasi dihitung dengan rumus :

Total Asam (%) = (ax0,009x100/b) ........................................................... (1)

Keterangan :

a = ml NaOH 0,1 N x N NaOH 0,1 N

b = berat sampel(g)

Profil protein

Menyiapkan seperangkat alat

elektroforesis protein kemudian membersihkan

plate kaca dengan methanol, lalu pasang klem

pada stand. Menyiapkan gradien gel 10% (10

ml gradien gel 10% + 6 µl temed + 50 µl APS),

di masukkan ke dalam plate yang telah

dipersiapkan, bagian atas ditutup dengan

butanol lalu dibiarkan + 30 menit hingga terjadi

polimerisasi gel. Butanol dibuang dan

dibersihkan dengan aquades hingga bersih lalu

pasang sisir untuk membuat sumuran.

Masukkan stacking gel yang telah disiapkan ( 5

ml stacking gel 3% + 3 µl temed + 25 µl APS)

di atas gel 10% kemudian biarkan + 30 menit.

Sisir yang terpasang lalu diangkat, kemudian

gel tersebut dimasukkan ke dalam tangki

elektroforesis yang telah berisi buffer elektroda.

Masukkan sample yang telah dipersiapkan (

Sampel : sampel buffer = 1 : 4) ke dalam

sumuran + 25 µl. Hubungkan elektroforesis

dengan power suplay pada 125 Volt/jam.

Setelah elektroforesis selesai gel diambil dan

ditempatkan dalam cawan yang telah berisi

larutan pewarna Coomassie Blue 0,1%. Gel

dicuci atau di destaining dengan larutan yang

terdiri dari Metanol : Asam asetat : H2O = 50 :

10 : 40 (Laemmli, 1970).

Pengujian total Yeast

Pencawanan dilakukan dengan

menggunakan media biakan MEA sebanyak 48

g ke dalam 1000 ml aquades, kemudian larutan

MEA tersebut dipanaskan hingga mendidih

dilanjutkan sterilisasai. Pencawanan dilakukan

dengan memipet 1 ml sampel hasil pengenceran

ke dalam cawan petri, pencawanan dilakukan

secara duplo dari pengenceran 10-4-10-6.

Kemudian dilakukan penghitungan yeast

menggunakan colony counter (Fardiaz, 1993)

setelah inkubasi 48 jam.

Analisis data

Data yang diperoleh dari hasil pengujian

total asam dan total yeast dianalisis

menggunakan analisis ragam (ANOVA)

menggunakan program SAS 6.12 for Windows,

dengan taraf signifikansi 5%. Apabila ada

pengaruh nyata dari perlakuan maka dilanjutkan

dengan uji Wilayah Ganda Duncan untuk

mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data

Page 43: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

43

hasil pengujian profil protein dianalisis secara

deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Asam

Uji keasaman dilakukan untuk

mengetahui tingkat keasaman pada kefir susu

kambing karena adanya aktivitas mikroba

penghasil asam yang mengubah karbohidrat

(laktosa) menjadi asam laktat. Hasil penelitian

penambahan jenis dan konsentrasi gula yang

berbeda terhadap total asam (%) kefir susu

kambing disajikan dalam Tabel 1. Rerata

kandungan total asam yang dihasilkan dari

berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi gula

yang berbeda berkisar antara 0,38 sampai 0,91

%. Berdasarkan hasil analisis ragam

menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan

jenis dan konsentrasi penambahan gula serta

interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh

nyata (p<0,05) terhadap total asam kefir susu

kambing.

Tabel 1 menunjukkan bahwa

penambahan jenis gula dan konsentrasi yang

berbeda secara bersama-sama dapat

meningkatkan total asam kefir susu kambing.

Kefir susu kambing dengan penambahan gula

aren dengan konsentrasi 8% dapat

menghasilkan kandungan total asam yang ideal

yaitu sebesar 0,89%. Menurut Ide (2008), kefir

memiliki nilai keasaman berkisar 0,85% hingga

1%. Peningkatan total asam kefir susu kambing

disebabkan adanya aktivitas BAL (L.

acidophilus) dan yeast (S. cerevisiae) yang

saling menguntungkan. Selama proses

fermentasi berlangsung L. acidophilus

memanfaatkan laktosa menjadi asam laktat,

yang kemudian dimanfaatkan S. cerevisiae

untuk menghasilkan etanol, gas CO2 dan

senyawa yang dapat menstimulir pertumbuhan

bakteri asam laktat.

Surono (2004) mengemukakan bahwa

bakteri asam laktat dan khamir bekerja secara

mutualisme yaitu saling menguntungkan,

dimana asam laktat yang dihasilkan bakteri

asam laktat yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri asam laktat lebih lanjut,

yang akan dimanfaatkan oleh khamir, dan H2O2

yang dihasilkan bakteri asam laktat akan

disingkirkan oleh katalase yang dihasilkan oleh

khamir. Selanjutnya khamir akan menghasilkan

senyawa yang menstimulir pertumbuhan bakteri

asam laktat.

Total Yeast

Hasil pengamatan total yeast pada kefir

susu kambing dengan jenis dan konsentrasi gula

yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan analisis ragam menunjukkan

bahwa perlakuan jenis dan konsentrasi

penambahan gula serta interaksi antara kedua

perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap

total yeast kefir susu kambing. Rata-rata total

yeast berkisar antara 3,742 log CFU/ml sampai

7,816 log CFU/m

Hasil Tabel 2. menunjukkan jenis gula

aren dengan bertambahnya konsentrasi 4%

hingga 8% secara bersamaan dapat

meningkatkan jumlah total yeast, sedangkan

jumlah total yeast semakin menurun pada jenis

Page 44: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

44

gula D-Psicose seiring dengan bertambahnya

konsentrasi 4% hingga 8%. Hal ini disebabkan

karena yeast S. cerevisiae memiliki karakteristik

lebih mudah mencerna sukrosa. Jenis gula pasir

dan gula aren yang sebagian besar mengandung

sukrosa menyebabkan pertumbuhan S.

cerevisiae lebih cepat meningkat dibandingkan

dengan gula D-Psicose. S. cereviseae juga

pengguna gula sederhana dan bukan pengguna

laktosa, sehingga S. cereviseae akan

menggunakan glukosa hasil pemecahan laktosa

oleh L. acidophilus. Hal ini sesuai dengan

pendapat Kwak (1996) bahwa contoh yeast

bukan pemfermentasi laktosa adalah S.

cereviseae.

Profil Protein

Metode analisis elektroforesis protein

merupakan metode analisis yang memisahkan

molekul protein berdasarkan berat molekulnya

(Bolag dan Edelstein, 1991). Hasil penelitian

terhadap profil protein kefir susu kambing

dengan perlakuan jenis gula (gula pasir, gula

aren, D-Psicose) dan konsentrasi penambahan

gula (4%, 6%, 8%) dengan metode SDS-PAGE

dapat dilihat pada Ilustrasi 1.

Protein dengan berat molekul yang lebih

besar akan tertahan diatas, sedangkan protein

dengan berat molekul yang lebih kecil akan

berada dibawah. Kandungan jenis dan berat

molekul protein yang dihasilkan setiap sampel

berbeda-beda dengan ditandai perbedaan warna

ketebalan pita atau band profil protein yang

terbentuk. Konsentrasi berat molekul protein

yang rendah akan menyebabkan pita atau band

profil protein yang terbentuk tidak terlalu tebal,

sebaliknya konsentrasi berat molekul protein

yang tinggi menyebabkan pita atau band profil

protein yang terbentuk tebal.

Albert et al., (2002) menjelaskan bahwa

ketebalan pita atau band protein menunjukkan

konsentrasi protein tersebut, dimana protein

dengan intensitas yang lebih tebal memiliki

konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat

dilihat dari ilustrasi 1. , dimana jenis gula pasir

dengan bertambahnya konsentrasi 4% hingga

8% secara bersamaan meningkatkan ketebalan

pita atau band profil protein, begitupula pada

jenis gula aren dan gula D-Psicose.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

berat molekul protein pada kefir susu kambing

berkisar 80 kDa hingga 25 kDa. Jenis protein

yang terkandung di dalam kefir susu kambing

yaitu Laktoferin (80kDa), Laktoferoksidase

(70kDa), - Kasein (65kDa), dan β-Kasein

(45kDa). Rasio berbandingan protein susu

kambing antara kasein dan whey sebesar 80%

dan 20% (Miranda et al.,2004). Protein yang

terkandung dalam susu kambing adalah -

Kasein, β-Kasein, - Kasein, β-Laktoglobulin,

- Laktalbumin, dan laktoferin (Tay and Gam,

2011).

Sampel kefir susu kambing tanpa

penambahan gula menghasilkan band profil

protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan

band profil protein whey dan kefir susu

kambing dengan penambahan gula pasir, gula

aren dan gula D-Psicose. Jenis protein

Laktoferin (80kDa) dan Laktoferoksidase

Page 45: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

45

(70kDa) tidak terlihat pada kefir susu kambing

dengan penambahan gula aren pada konsentrasi

4%, 6% dan 8%, dan konsentrasi berat molekul

protein α-Kasein (65kDa) lebih sedikit

dibandingkan dengan kefir susu kambing

dengan penambahan gula pasir maupun gula D-

Psicose. Kefir susu kambing dengan

penambahan gula D-Psicose dapat

menghasilkan konsentrasi berat molekul protein

Laktoferin (80kDa) dan Laktoferoksidase

(70kDa) lebih tinggi ditunjukkan dengan warna

pita profil protein yang lebih tebal.

Perbedaan jenis dan berat molekul

protein pada kefir susu kambing disebabkan

adanya proses glikasi antara gugus karbon gula

reduksi dengan gugus asam amino bebas protein

susu dalam reaksi maillard sehingga dapat

membentuk berat molekul protein yang lebih

berat. Hal ini sesuai dengan pendapat Diftis and

Kiosseoglou (2006) yang menjelaskan bahwa

reaksi maillard antara protein dengan

polisakarida dapat menghasilkan berat molekul

protein yang lebih tinggi. Menurut Van Boekel

(2001), faktor yang mempengaruhi hasil reaksi

maillard adalah waktu pemanasan, pH,

aktivitas air, sifat intrinsik protein dan gula, dan

rasio perbandingan gugus asam amino dengan

gula reduksi.

KESIMPULAN

Hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa jenis gula aren dengan konsentrasi 8%

menghasilkan total asam dan total yeast yang

optimum pada kefir susu kambing. Kefir susu

kambing dengan penambahan gula D-Psicose

dengan konsentrasi 8% dapat menghasilkan

konsentrasi berat molekul protein Laktoferin

(80kDa) dan Laktoferoksidase (70kDa) lebih

tinggi yang ditunjukkan dengan warna pita

profil protein yang lebih tebal.

DAFTAR PUSTAKA

Alberto M.R., M. A. R. Canavosio, and M.C.MNadra. 2006. Antimikrobial Effect ofPolifenol from Apple Skins on HumanBacterial Pathogen. Electronic journal ofBiotechnology. Pontificia UniversidadCatolica de Valparaiso, ConcepciónChile.

Blakely, J. and D. H. Bade. 1991. IlmuPeternakan. Gadjah Mada UniversityPress edisi ke-4, Yogyakarta.(Diterjemahkan oleh B. Srigandono danSoedarsono)

Devide, C.I. 1977. Laboratory Guide in DairyChemistry Practical. FAO Dairy,Training and Research InsituteUniversity of the Philipines at LosBranos College. Laguna

Diftis, N., and Kiosseoglou, V. (2006). Stabilityagainst heat-induced aggregation ofemulsions prepared with a dry-heatedsoy protein isolate–dextran mixture.Food Hydrocolloids, 20(6), 787–792.

Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Farnworth, E.R. (2003). Handbook ofFermented Functional Foods. CRCPress. USA.

Ide, P.2008. Health Secret of Kefir, MenguakKeajaiban Susu Asam untukPenyembuhan Berbagai Penyakit. PT.Elex Media Kompotindo, Jakarta.

Kwak, H.S., S.K. Park, and D.S. Kim. 1996.Biostabilization of Kefyr with aNonlactose Fermenting Yeast. J. DairyScience 79: 937-942.

Laemmli UK. 1970. Cleavage of StructuralProtein During The Assembly of Head

Page 46: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

46

of Bacteriophage T-4, J. Nature. 227:680-685.

Matsuo, T., H. Suzuki, M. Hashiguchi, and K.Izumori. 2002. D-Psicose is a rare sugarthat provides no energy to growing rats.J. Nutr. Sci. Vitaminol. 48, 77 – 80.

Renoaji, C. S. 2007. Uji Hedonik, Uji Kesukaandan Daya Leleh Es Krim ProbiotikMenggunakan Kombinasi Lactobacilluscasei dan Bifidobacterium bifidumdengan Penyimpanan Beku Selama 30hari. Program Sarjana UniversitasDiponegoro, Semarang. (Skripsi SarjanaPeternakan).

Sun, Y., S. Hayakawa, M. Chuamanochan, M.Fujimoto, A. Innun, and K. Izumori.(2006a). Anitioxidant effects of Maillardreaction products obtained fromovalbumin and different d-aldohexosesBiosci. Biotechnol. Biochem., 70, 598-605.

Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasidan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta.

Tay, Eek-Poei and L. H. Gam. 2011.Proteomics of human and the domesticbovine and caprine milk. J. Mol. Biol.Biotechnol., 19, 45-53.

Van Boekel, M. A. J. S. 2001. Kinetic aspectsof the Maillardreaction : A criticalreview. J. Nahrung. 45 : 150-159

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Winarno, F.G. dan I. E. Fernandez. 2007. Susudan Produk Fermentasinya. M-BRIOPRESS, Bogor.

Page 47: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

47

Gambar 1. Profil Protein Kefir Susu Kambing dengan Perlakuan Jenis dan Konsentrasi Gula yangBerberda, M (marker), W (whey), TG (tanpa gula), 4GP (gula pasir 4%), 6GP (gula pasir6%), 8GP (gula pasir 8%), 4GA (gula aren 4%), 6GA (gula aren 6%), 8GA (gula aren 8%),4PS (gula D-Psicose 4%), 6PS (gula D-Psicose 6%), dan 8PS (gula D-Psicose 8%).

Tabel 1.Rerata Total Asam Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yangBerbeda

Konsentrasi(B)

Jenis Gula (A)

Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3).................................................(%)..…….....................................

4% (B1)6% (B2)8% (B3)

0,66e±0,012 0,69f±0,005 0,38a±0,010,81h±0,005 0,78g±0,005 0,41b±0,0050,91j±0,005 0,89i±0,005 0,52d±0,005

Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Tabel 2.Rerata Total Yeast Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yangBerbeda

Konsentrasi(B)

Jenis Gula (A)Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3)

...........................................(log CFU/ml)..…….....................................4% (B1)6% (B2)8% (B3)

7,285e±0,214 6,594d±0,310 5,421c±0,3457,615ef±0,109 6,618d±0,110 4,361b±0,1357,566ef±0,136 7,816f±0,046 3,742a±0,106

Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Page 48: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

48

Page 49: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

49

TOTAL BAKTERI, PH, DAN KADAR AIR DAGING AYAM BROILERSETELAH DIRENDAM DENGAN EKSTRAK DAUN SENDUDUK

(Melastoma malabathricum L.) SELAMA MASA SIMPAN

An Effect of Soaking Senduduk (Melastoma malabathricum L.) leaf extract for BacteriaTotal, pH, and Water Content in Broiler Meat with During Storage

Melda Afrianti, Bambang Dwiloka, dan Bhakti Etza Setiani

Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Diponegoro SemarangEmail Korespondensi: [email protected]

Abstract

The purpose of this study was to determine the number of bacteria, pH, and water content inbroiler carcass with soaking senduduk leaf extract at 12 hours of storage at room temperature. Theexperimental design used was a completely randomized design (CRD) factorial with factor A as theconcentration of senduduk leaf extract (a1 = 0%, a2 = 10%, a3 = 15%, and a4 = 20%) and factor B asshelf life (b1 = 6 hours and b2 = 12 hours). The results showed that broiler carcass soaked withsenduduk leaf extract that gives real total bacteria effects. However, were not significantly affect the pHand water content. In broiler carsass is 3,21 x 103 total bacterial cfu / g after storage for 12 hours atroom temperature. However, this number is still below the limit of microbial contamination (No. SNI.01-6366-2000).

Key words: broiler carcass, senduduk leaf extract, storage

PENDAHULUAN

Daging memiliki kandungan gizi yang

tinggi, lengkap, dan seimbang. Namun,

kandungan gizi yang tinggi pada daging

merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

mikroba, sehingga daging merupakan salah satu

bahan pangan yang mudah rusak atau

perishable. Kerusakan pada daging dapat

disebabkan karena adanya benturan fisik,

perubahan kimia, dan aktivitas mikroba

(Soeparno, 2005). Akibat dari kerusakan

tersebut seperti pembentukan lendir, perubahan

warna, perubahan bau, perubahan rasa dan

terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan

atau oksidasi lemak daging. Salah satu proses

pengawetan dengan pemakaian antibakteri

dengan tujuan mempertahankan kualitas

maupun kuantitas daging ayam broiler adalah

dengan memanfaatkan bahan herbal.

Salah satu tanaman yang berkhasiat dan

dikenal masyarakat adalah senduduk

(Melastoma malabathricum) yang banyak

ditemukan di Riau. Namun, tanaman senduduk

tersebar luas dibeberapa pulau di Indonesia

yaitu di Sumatra, Jawa, Irian Jaya dan

Kalimantan (Gholib, 2009). Hasil skrining

fitokimia menunjukkan bahwa daun senduduk

(Melastoma malabathricum) mengandung

senyawa tanin, flavonoid, steroid, saponin, dan

glikosida yang berfungsi membunuh atau

Page 50: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

50

menghambat pertumbuhan mikroorganisme

(Robinson, 1995).

Hasil pengamatan terhadap masyarakat di

Riau menunjukkan bahwa daun senduduk telah

digunakan sebagai obat penyembuh luka dan

pengempuk dalam perebusan kulit kerbau.

Namun, belum adanya data yang spesifik

berkaitan dengan penggunaan daun senduduk

untuk pengawetan bahan pangan asal hewan.

Hasil penelitian pendahuluan yang

dilakukan menunjukkan bahwa karkas ayam

broiler dapat bertahan selama 18 jam pada suhu

ruang setelah dilakukan perendaman pada

esktrak daun senduduk. Tanda-tanda kebusukan

seperti bau, tekstur, warna, dan lendir baru

muncul pada jam ke-20. Nilai keasaman (pH)

yang secara alami terdapat dalam daun

senduduk sebesar 4,80 dan bersifat asam,

diduga berpotensi dalam menekan laju

pertumbuhan mikroba sehingga masa simpan

dapat lebih panjang. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui total bakteri pH, dan

kadar air daging ayam broiler dengan

perendaman ekstrak daun senduduk pada 12

jam penyimpanan di suhu ruang.

METODOLOGI

Materi yang digunakan untuk penelitian

ini adalah daging ayam broiler bagian dada

yang diperoleh dari Peternakan Boja,

Kabupaten Semarang dan daun senduduk yang

diperoleh dari Riau, Pekanbaru. Peralatan yang

digunakan untuk analisa adalah pH meter, oven,

desikator, timbangan analitik, cawan petri, pipet

tetes, pipet makro dan mikro, gelas ukur, dan

lampu Bunsen.

Rancangan percobaan yang digunakan

adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola

faktorial dengan faktor A sebagai konsentrasi

ekstrak daun senduduk (a1= 0%, a2=10%, a3=

15% dan a4= 20%) dan faktor B sebagai masa

simpan (b1= 6 jam dan b2= 12 jam). Data yang

diperoleh kemudian dianalisa menggunakan

anova (Analysiss of variance). Bila ada

pengaruh perlakuan yang nyata dilanjutkan

dengan Uji Wilayah Ganda Duncan untuk

mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel

dan Torrie, 1991).

Penilitian diawali dengan pembuatan

esktrak daun senduduk dengan konsentrasi 0%,

10%, 15%, dan 20%. Kemudian dilanjutkan

dengan pemotongan daging ayam bagian dada.

Selanjutnya dilakukan perendaman selama 30

menit, ditiriskan selama 15 menit, dan

kemudian disimpan di suhu ruang

menggunakan plastik PE (Polyethylen).

Selanjutnya, dilakukan pengamatan sesuai

dengan parameter yang diamati. ). Perhitungan

total bakteri dilakukan menurut (Fardiaz, 1993).

Pengukuran nilai pH menurut Apriyantono

(1989). Pengujian kadar air menurut (AOAC,

1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Bakteri

Rerata total bakteri daging ayam yang

direndam dengan daun senduduk dan disimpan

Page 51: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

51

pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada

Tabel 1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

total bakteri daging ayam dengan konsentrasi

yang berbeda memberikan pengaruh yang

nyata. Total bakteri daging ayam broiler secara

berturut-turut 0%, 10%, 15% dan 20% adalah

2,54 x 102, 3,05 x 103, 2,67 x 102 dan 3,21 x

102. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-

6366-2000 merekomendasikan batas maksimal

cemaran bakteri pada daging segar yaitu 1 x

104 CFU/g.

Total bakteri pada daging ayam masih di

bawah batasan cemaran bakteri pada daging

segar. Namun, tingginya konsentrasi tidak

menurunkan jumlah total bakteri pada daging.

Hal ini diduga bahwa penggunaan air sebagai

pelarut ekstraksi daun senduduk diduga belum

optimal dalam mengesktraksi senyawa aktif

seperti saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, dan

glikosida yang berfungsi sebagai antibakteri.

Hasil penelitian Suliantri et al., (2008)

menyatakan bahwa esktraksi senyawa aktif

pada tumbuhan dengan menggunakan air

mempunyai kemampuan bakteri uji paling

rendah dibandingkan etanol dan etil asetat. Hal

ini sesuai dengan penelitian Chou dan Yu

(1985), dimana pelarut etanol memberikan

aktivitas antimikotik ekstrak sirih yang baik dan

pelarut air mempunyai aktivitas paling rendah

terhadap beberapa jenis bakteri.

Hal ini juga disebabkan karena senyawa

yang aktif berupa saponin, tanin, flavonoid,

alkaloid hanya berperan menghambat bakteri

yang ada pada daging. Peran masing-masing

senyawa aktif yaitu senyawa saponin akan

merusak membran sitoplasma dan membunuh

sel (Assani, 1994). Tanin adalah polimer fenolik

yang biasanya digunakan sebagai bahan

penyegar, mempunyai sifat antimikroba dan

bersifat racun terhadap khamir, bakteri, dan

kapang. Kemampuan tanin sebagai antimikroba

diduga karena tanin akan berikatan dengan

dinding sel bakteri sehingga akan

menginaktifkan kemampuan menempel bakteri,

menghambat pertumbuhan, aktivitas enzim

protease dan dapat membentuk ikatan komplek

dengan polisakarida (Cowan, 1999).

Flavonoid dapat berperan secara

langsung sebagai antibiotik dengan menggangu

fungsi dari metabolissme mikroorganisme

seperti bakteri atau virus. Mekanisme antibiotik

flavonoid ialah dengan cara mengganggu

aktivitas transpeptidase peptidoglikan sehingga

pembentukan dinding sel bakteri atau virus

terganggu dan sel mengalami lisis. Alkaloid

mempunyai pengaruh sebagai bahan

antimikroba dengan mekanisme

penghambatannya adalah dengan cara

mengkelat DNA (Suliantri, et al., 2008).

Selain itu, juga disebabkan semakin

meningkatnya konsentrasi ekstrak daun

senduduk maka larutan semakin pekat dan

larutan ekstrak daun senduduk sulit berpenetrasi

pada otot daging. Perkembangbiakan

mikroorganisme juga dipengaruhi oleh faktor

kelembaban, temperatur, dan ketersediaan

oksigen (Lawrie, 2003). Ketersedian oksigen

Page 52: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

52

dipengaruhi oleh pengemas plastik pada saat

penyimpanan di suhu ruang. Buckle et al.,

(1987) menjelaskan bahwa daya tembus plastik

PE dengan ketebalan 2,1 (mm x 102) adalah

10,5 (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010. Menurut

Yanti et al., (2008), mengatakan bahwa

penggunaan plastik PP lebih efektif

dibandingkan PE, karena dapat menurunkan

total bakteri pada daging di pasar Arengka

Pekanbaru sebesar 5,5 x 105 dibandingkan

penggunaan plastik PE 6,5 x 105. Tidak ada

interaksi antara konsentrasi dan lama simpan

terhadap total bakteri daging ayam.

Nilai PH

Rerata pH daging ayam broiler yang

direndam dengan daun senduduk dan disimpan

pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada

Tabel 2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai pH daging ayam tidak berpengaruh nyata

terhadap konsentrasi daun senduduk namun

berpengaruh terhadap lama simpan daging

ayam (Tabel 2). Nilai pH yang didapat dari

perlakuan yaitu secara berturut-turut 6,79, 6,84,

6,84 dan 6,72. Nilai pH pada daging ayam

cukup tinggi namun masih dibawah nilai pH

produk pangan yang dianjurkan Standar

Nasional Indonesia yaitu 6-7. Hal ini diduga

bahwa nilai pH pada penelitian dipengaruhi

oleh nilai pH pada kedua bahan dasar yaitu,

daging ayam dan esktrak daun senduduk

masing-masing sebesar 6,50 dan 4,80. Nilai pH

yang hampir sama dari kedua bahan

menyebabkan pH pada perlakuan perendaman

daging ayam broiler menjadi tidak berbeda

terhadap pH daging ayam.

Perendaman dengan waktu 30 menit dan

lama penyimpanan belum mencukupi untuk

menurunkan pH daging. Selain itu juga

disebabkan karena struktur otot dari daging

yang terlalu rapat, menyulitkan penetrasi hingga

ke dalam jaringan (Buckle et al., 1987),

sehingga walau terbentuk asam di dalam daging

selama perendaman ataupun penyimpanan

tetapi karena waktunya belum tercukupi maka

asam yang terbentuk tidak dapat menembus

sampai ke dalam jaringan. Akibatnya pH daging

yang direndam larutan daun senduduk selama

30 menit dan lama penyimpanan tidak

mempengaruhi pH daging ayam broiler.

Lama penyimpanan berpengaruh nyata

terhadap penurunan pH. Penelitian ini sejalan

dengan hasil penelitian Surajadi (2004), yang

menunjukan bahwa penyimpanan pada

temperatur ruang selama 12 jam setelah

pemotongan ayam broiler, terjadi penurunan

keasaman (pH) daging ayam. Semakin lama

penyimpanan yang dilakukan maka pH akan

semakin menurun.

Penurunan pH akan mempengaruhi sifat

fisik daging, laju penurunan pH otot yang cepat

akan mengakibatkan rendahnya kapasitas

mengikat air, karena meningkatnya kontraksi

aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian

akan memeras cairan keluar dari dalam daging

dan menyebabkan penurunan nilai pH pada

Page 53: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

53

daging. Tidak ada interaksi antara konsentrasi

dan lama simpan pH daging ayam.

Kadar Air

Rerata kadar air daging ayam yang

direndam dengan daun senduduk dan disimpan

pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada

Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis

menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun

senduduk tidak berpengaruh nyata terhadap

kadar air daging ayam. Kadar air yang didapat

dari perlakuan yaitu secara berturut-turut

73,69%, 74,47%, 74,31% dan 73,95%.

Tingginya kadar air pada penelitian ini

karena kadar air daging ayam sudah tinggi pada

saat pemotongan. Kadar air daging ayam broiler

yaitu sebesar 65-80% (Forest et al., 1975). Hal

ini bahwa kadar air pada penelitian dipengaruhi

oleh kadar air pada kedua bahan dasar yaitu,

daging ayam dan esktrak daun senduduk

masing-masing sebesar 65-80% dan 71,7%.

Kadar air yang hampir sama dari kedua

bahan menyebabkan kadar air pada perlakuan

perendaman daging ayam broiler menjadi tidak

berbeda terhadap kadar air daging ayam. Oleh

karena itu, dengan penambahan ekstrak daun

senduduk dengan konsentrasi 10%, 15%, dan

20% tidak dapat menurunkan kadar air pada

daging. Hal ini juga disebabkan penggunaan

plastik pada penyimpanan di suhu ruang.

Menurut Soeparno (2005) permukaan

plastik PP lebih licin dan permeabilitasnya

terhadap oksigen lebih rendah dibandingkan

dengan plastik PE. Indonesia adalah negara

yang beriklim tropis dengan kelembaban udara

yang cukup tinggi, sehingga bila kemasan yang

digunakan tidak cukup kedap air maka produk

akan terkontaminasi oleh air yang diikuti oleh

berbagai jenis kerusakan lainnya (Syarief et

al.,1989).

Penelitian ini merupakan perendaman

tipe asam karena berdasarkan hasil pengujian

ekstrak daun senduduk mempunyai pH 4,80.

Namun rendahnya pH pada daun senduduk

belum dapat menurunkan kerusakan yang

disebabkan oleh mikroba pada daging. Tidak

ada interaksi antara konsentrasi daun senduduk

dan lama simpan terhadap kadar air daging.

KESIMPULAN

Total bakteri daging ayam setelah

perendaman dengan ekstrak daun senduduk

meningkat seiring dengan penambahan

konsentrasi ekstrak daun senduduk. Namun

jumlah total bakteri pada daging tidak melebihi

batas maksimal cemaran bakteri pada daging

segar yaitu 1 x 104 CFU/g. Sedangkan pH pada

daging ayam akan semakin menurun dengan

lama penyimpanan pada suhu ruang.

Penggunaan ekstrak daun senduduk untuk

penyimpanan daging ayam broiler pada suhu

ruang direkomendasikan pada konsentrasi 10-

15% berdasarkan data perhitungan total bakteri,

pH, dan kadar air.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC., 1995. Official Methods of Analysis 9th

edition. Association of OfficialAnalytical Chemist. Washinghton D.C.

Page 54: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

54

Assani, S. 1994. Mikrobiologi Kedokteran.Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia. Jakarta.

Apriyantono, A. 1989. Petunjuk LaboratoriumAnalisis Pangan. IPB Press, Bogor.

Badan Standardisasi Nasional. 2000. BatasMaksimal Cemaran Mikroba dan BatasResidu dalam Bahan Makanan AsalHewan. Standar Nasional IndonesiaNo. 01-6366-2000, Jakarta.

Buckle R.A., Edward G.H. Fleet and M.Wooton M. 1987. Ilmu Pangan.(Penerjemah H. Purnomo Adiono). UIPress. Jakarta.

Chou, C.C and Yu R.C. 1985. Efect Piper betleL and its extracts on the growth andaflatoxin productions by Aspergillusparaciticus. Pro Natl.Sci. CouneRepub.China. 8( 1): 30-35.

Cowan, M.M. 1999. Plant products asantimicrobial agents. ClinicalMicrobiology Reviews 12: 564–82.

Fardiaz, S 1989. Mikrobiologi Pangan. PusatAntar Universitas Pangan dan GiziIPB, Bogor.

Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M.D. Judge and R. A. Markell. 1975.Principle of Meat Sience. W. H.Freman and Co. San Fransisco.

Gholib, D. 2009. Uji Daya Hambat DaunSenggani (Melastoma malabathricumL.) terhadap Trichophytonmentagrophytees dan Candidaalbicans. Balai Besar PenelitianVeteriner. Bogor.

Lawrie, 2003. Ilmu Daging. (Penerjemah A.Parakkasi dan Yudha A). UniversitasIndonesia Press, Jakarta.

Syarief R, Sassya S, St Isyana B.1989.Teknologi Pengemasan Daging. Bogor:IPB.

Robinson, T. 1995. Kandungan OrganikTumbuhan Tinggi. (Terjemahan K.Padmawinata). Penerbit, ITB Bandung.

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.Edisi keempat. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip danProsedur Statistika Suatu PendekatanBiometrik. Penerbit PT. GramediaPustaka Utama, Jakarta. (PenerjemahB. Sumantri).

Suliantri, B.S.L. Jenie., M.T. Suhartono, dan A.Apriyantono. 2008. Aktivitasantibakteri esktrak sirih hijau (Piperbetle L) terhadap bakteri patogen.Jurnal dan Teknologi Industri Pangan.19 (1): 1-7.

Surajadi, K. 2004. Perubahan Sifat Fisik DagingAyam Broiler Post Mortem SelamaPenyimpanan Temperatur Ruang.Fakultas Peternakan UniversitasPadjadjaran. Bandung.

Yanti H, Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitasdaging sapi dengan kemasan plastik PE(Polyethylen) dan plastik PP(Polypropylen) di pasar Arengka KotaPekanbaru. Jurnal Peternakan 5 (1). 22-27.

Page 55: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

55

Tabel 1. Nilai Total Bakteri Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpanpada Suhu Ruang

LamaSimpan

Total Bakteri Daging Ayam Setelah diberi PerlakuanRerata

a1 a2 a3 a4

b1 2,56 x102CFU/g3,15 x 103 2,48 x 102 3,08 x 103 2,82 x 102

b2 2,52x 102 2,96 x 102 2,85 x 102 3,32 x 103 2,92 x 102

Rerata 2,54x 102 b 3,05 x 103 a 2,67x 102 b 3,21 x 103 a

Ket: Superskrip berbeda pada baris rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).

Tabel 2. Nilai pH Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan padaSuhu Ruang

PerlakuanLama Simpan

pH Daging Ayam setelah Diberi PerlakuanRerata

a1 a2 a3 a4b1 6,87 6,85 6,91 6,78 6,85a

b2 6,72 6,83 6,76 6,66 6,74b

Rerata 6,79 6,84 6,84 6,72Ket: Superskrip berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05).

Tabel 3. Nilai Kadar Air Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpanpada Suhu Ruang

Perlakuan LamaSimpan

Kadar Air Daging Ayam Setelah diberi PerlakuanRerata

a1 a2 a3 a4

b1 73,97(%)

74,32 74,26 74,22 74,19b2 73,42 74,63 74,34 73,67 74,07Rerata 73,69 74,47 74,31 73,95

Page 56: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

56

Page 57: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

57

Pengaruh Pengolahan terhadap Kandungan Poliphenol dan Antosianin BerasWulung yang Berpotensi sebagai Makanan Diet Penderita Diabetes Mellitus

Effect of Cooking on Polyphenols and Anthocyanins of Wulung rice Potentialy asFunctional Food for Patients with Diabetes Mellitus

Sri Hartati

Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun Nusantara SukoharjoE-mail : [email protected]

AbstractWulung rice called black rice in Java, it was believed the functional food for Diabetes Mellitus. Thepurpose studies was to determine the chemical content of rice like the moisture content, carbohydrate,protein, fat, ash and to know the changes in polyphenolic and anthocyanin levels after cooking and aflour product. The Results showed that is a carbohydrate (64.98% wb), protein 15.41% wb, fat 4.23%wb, minerals (ash) 2.04% wb, crude fiber 3.52% wb and moisture 13.34%. There were no differencesbetween the levels of phenols for whole grain that has been processed into rice, but there weresignificant differences with flour. Total phenol of whole grain, flour, and rice respectively are 0.76,0.55 and 0.84 mg. There were significant decreasing of anthocyanin in processing to the flour andrice. The decrease in anthocyanin 83.60% occur in the processing of rice. Anthocyanin of whole grain,flour and rice respectively: 2.8918, 2.4091 and 0.4741 mg/100g (% db).Keyword : wulung rice, poliphenol, antosianin, diabetes mellitus

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) tergolong

penyakit degeneratif yang prevalensinya cukup

tinggi. Angka insiden dan prevalensi DM

cenderung meningkat dari berbagai penelitian

epidemiology. Prevalensi DM di dunia menurut

International Diabetes Federation (IDF)

mencapai 246 juta tahun 2007 dan

diproyeksikan menjadi 380 juta pada tahun

2025. (Perkem Ind, 2006; Pimentel,P, 2007).

WHO memprediksi di Indonesia terdapat

kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

Prevalensi Diabetes type 2 meningkat secara

eksponensial, dan diperkirakan mencapai lebih

300 juta kasus pada tahun 2030 (Wild et al,

2004).

Berbagai penelitian telah dilakukan di

beberapa negara berkembang dan data WHO

menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi

jumlah pasien diabetes terjadi di Asia Tenggara

termasuk Indonesia yang menempati peringkat

ke-5 di dunia (Suyono, 2006). Kecenderungan

meningkatnya penyakit degeneratif diperlukan

suatu preventif melalui pengembangan

makanan/minuman yang menyehatkan.

Makanan (pangan) fungsional adalah

pangan yang selain bergizi juga mempunyai

pengaruh positif terhadap kesehatan seseorang

(Muchtadi dan Hanny, 1996). Meskipun

diharapkan memberikan manfaat bagi

kesehatan, makanan fungsional tidak dianggap

sebagai obat, melainkan dikategorikan tetap

sebagai makanan. Oleh karena itu makanan

fungsional seharusnya dikonsumsi sebagai

Page 58: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

58

layaknya makanan sehari-hari, bentuknya dapat

berupa makanan atau minuman (Fardiaz, 1997;

Hilliam, 2000).

Beras merupakan salah satu padi-padian

paling penting di dunia untuk dikonsumsi

manusia. Diantara varian beras dijumpai beras

hitam (Oryza sativa L. indica). Beras hitam ini,

memiliki nama yang berbeda-beda tergantung

di mana beras hitam tersebut berada. Beras

hitam yang ada di Solo dikenal dengan nama

"beras wulung". Menurut sejarahnya, dulunya

beras Wulung merupakan beras pilihan yang

hanya ditanam dan dipergunakan dalam

Keraton Kasunanan Surakarta, khusus

dikonsumsi di lingkungan para Raja dan

digunakan untuk jenis ritual tertentu,

(Kristamtini, 2009; Tri Dewanti, 2009).

Dilaporkan bahwa dalam dedak beras

hitam terdapat kandungan antosianin (salah satu

kelompok antioksidan) sebanyak 5,55 mg/g

bahan (Ono, et al., 2003). Pada lapisan kulit

terluar (outer layer), beras hitam memiliki

kandungan flavonoid yang di dalamnya

termasuk antosianin sebanyak 6,4 g/100 gr kulit

terluar. Pengaruh positif dari poliphenol

(termasuk di dalamnya flavonoid) pada

homeostatistik glukosa ditunjukkan dalam

sejumlah besar penilitian in vitro pada beberapa

hewan coba yang didukung dengan bukti-bukti

epidemiologi pada diet kaya poliphenol

(Hanhineva et al, 2010). Oleh karena itu beras

wulung diketahui mempunyai potensi dalam

penurunan gula darah sehingga sangat cocok

dikonsumsi sebagai makanan diet para

penderita Diabetes Mellitus (DM).

Belum diperoleh informasi seberapa

besar perubahan kandungan total poliphenol

dan kadar antosianin beras wulung setelah

dilakukan penanakan sehingga potensi sebagai

makanan diet terapi masih dipertahankan

setelah pemasakan. Selain dimasak menjadi

nasi, beras seringkali juga diproses menjadi

tepung untuk dipergunakan sebagai bahan

pembuatan makanan dalam bentuk selain nasi.

Belum diketahui, apakah pembuatan tepung

beras hitam juga akan mengubah komponen

poliphenol dan kadar antosianinya. Untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut

penelitian ini dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kandungan kimia beras wulung

meliputi kadar air, karbohidrat, protein, lemak,

dan abu serta mengetahui perubahan komponen

poliphenol (total phenol) dan kadar anthosianin

setelah dilakukan pemasakan menjadi nasi dan

menjadi tepung (powder) yang dibandingkan

tanpa pengolahan (kontrol). Pengamatan

meliputi analisa proksimat bahan baku (beras

wulung pecah kulit) dan pengamatan perubahan

kadar poliphenol dan kadar antosianin sebelum

pengolahan dan sesudah pengolahan.

METODOLOGI

Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimen yang dilaksanakan di Laboratorium

MIPA Universitas Veteran Bangun Nusantara

Sukoharjo. Bahan penelitian terutama beras

wulung varietas asal Boyolali diambil dari

Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN)

MARSUDI MULYO Dukuh Surodhuwur, Desa

Page 59: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

59

Tawangsari, Kecamatan Teras, Kabupaten

Boyolali.

Dari Gambar 1 terlihat bahwa penelitian

diawali dengan analisa proksimat untuk

mengetahui komponen kimia yang dikandung

dalam beras wulung meliputi : kadar air

(metode analisa Thermogravimetri), karbohidrat

(by different), protein (metode Kjeldahl), lemak

(metode Soxhlet), mineral total (cara kering)

serta serat kasar (hidrolisa asam kuat). Sebagai

pembanding dilakukan pula analisa proksimat

beras merah.

Beras wulung dimasak/diolah dengan dua cara

pengolahan yaitu diolah menjadi tepung beras

hitam dengan cara sangrai menggunakan media

pasir, dan diolah menjadi nasi hitam dengan alat

Rice Cooker. Analisa kandungan poliphenol

(total phenol) menggunakan metode yang

dikembangkan oleh Taga et al (1984) sedang

analisa kandungan total antosianin

menggunakan metode yang dikembangkan oleh

Markakis (1982). Analisa dilakukan baik pada

beras wulung sebelum dimasak (beras pecah

kulit), tepung beras wulung dan nasi beras

wulung untuk mengetahui pengaruh

perubahannya. Proses penanakan nasi dilakukan

seperti terlihat pada Gambar 2, sedang proses

pembuatan powder/tepung seperti tampak pada

Gambar 3. Analisa Kandungan Total Antosianin

(Markakis, 1982). Analisa Kandungan Total

Phenol (Taga et al, 1984)

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) Pola Searah. Perlakuan

(variabel tetap) adalah Metode/cara pengolahan

beras wulung (yaitu beras wulung pecah kulit

(tanpa pengolahan, pengolahan menjadi nasi

dan pengolahan menjadi tepung melalui proses

penyangraian). sedang variabel tergantung

adalah zat-zat potensi yaitu total phenol dan

total antosianin. Masing-masing perlakuan

diulang 2 kali, dengan analisa sampel adalah

triple. Data yang diperoleh dianalisis dengan

One Way Anova. Bila terdapat perbedaan antar

perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung

Sebelum beras wulung diolah, terlebih

dahulu dianalisis proksimat untuk mengetahui

komponen-komponen di dalamnya meliputi

analisis kadar air, mineral, lemak, protein,

karbohidrat dan serat kasar. Hasil analisa

proksimat komponen beras wulung dan beras

merah sebagaimana tampak pada Tabel 1.

Tabel 1 tampak bahwa pada semua

komponen yang diuji antara beras wulung

(beras hitam) dan beras merah tidak banyak

perbedaan. Tampak pula bahwa baik beras

wulung maupun beras merah komponen

terbesar adalah karbohidrat yaitu 64,98 % pada

beras wulung sedang beras merah adalah

65,59%.

Kadar protein baik pada beras wulung

maupun beras merah juga relatif tinggi yakni

15,41%. Hasil ini memperlihatkan jauh lebih

tinggi dibanding penelitian Sompong et al

(2011) yang menunjukkan dari 9 varietas beras

Page 60: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

60

merah yang diuji kadar maksimum kadar

protein adalah 10.36 ± 0.04 %. Pada 3 varietas

beras hitam yang diuji berkisar 8.17 ± 0.41 %

(minimum) dan 10.85 ± 0.09 % (maksimum).

Kadar lemak (4,23% pada beras wulung

dan 4,15% pada beras merah) serta kadar

mineral total (beras wulung 2,04% dan beras

merah 1,57%) pada sampel yang diuji diperoleh

hasil yang mirip dengan yang dilakukan

Sompong et al (2011) yang mempelihatkan

diantara sampel yang diuji bervariasi 2.85 ±

0.09 - 3.72 ± 0.06 % kadar lemak beras hitam

dan 1.74 sampai 1,48 g/100 g db) kadar

mineral. Sedang Deepa et al. (2008) dalam

penelitiannya terhadap beras Njavara, yaitu

beras berwarna merah yang dipercaya berkasiat

obat (a medicinal rice) di India mempunyai

komponen 73% Karbohidrat, 9.5% protein,

2.5% lemak, 1.4% abu.

Pengaruh Pengolahan Beras Wulungterhadap Kandungan Total Phenol

Pemasakan (pengolahan) beras menjadi

produk siap konsumsi dimaksudkan untuk

memudahkan proses pencernaan. Dalam

penelitian ini dilakukan 2 (dua) pengolahan

yaitu pengolahan beras wulung menjadi tepung

beras wulung dengan cara penyangraian

(penggorengan tanpa menggunakan minyak),

dalam hal ini menggunakan media pasir.

Pengolahan yang kedua adalah pengolahan

beras wulung menjadi nasi wulung dengan

menggunakan alat penanak nasi Rice cooker

selama 50 menit. Produk hasil penelitian

tampak sebagaimana pada Gambar 4.

Gambar 4 tampak bahwa terdapat

perubahan fisik yang sangat berbeda dari bahan

awal yaitu beras wulung pecah kulit baik

setelah diolah menjadi tepung beras wulung

maupun menjadi nasi wulung. Perbedaan terjadi

karena beras telah mengalami penambahan air

dan perlakuan panas. Selain perubahan fisik

tersebut beras wulung juga diuji perubahan

kimianya khususnya terhadap komponen

poliphenolnya (total phenol) dan kadar

antosianin.

Hasil penelitian terhadap kandungan

total phenol baik pada saat masih dalam bentuk

beras, setelah diolah menjadi tepung beras

wulung dengan cara sangrai serta diolah

menjadi nasi beras wulung dengan Rice cooker

tampak sebagaimana pada Gambar 5.

Gambar 5 menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan kadar total phenol antara

beras wulung (pecah kulit) dengan yang telah

diolah menjadi nasi wulung, namun terdapat

perbedaan yang signifikan (P<0,05) dengan

tepung beras wulung. Hal ini diduga

dikarenakan pada pengolahan tepung beras

wulung ini melalui suatu proses pengayakan (60

mesh) setelah diblender. Produk tepung beras

wulung yang diuji adalah tepung yang lolos

pengayakan. Kemungkinan bahan-bahan yang

tidak lolos pengayakan adalah bahan-bahan

yang sulit hancur dengan blender padahal

diduga masih mengandung bekatul yang cukup

tinggi. Bekatul adalah bagian beras yang

mengandung senyawa phenol tinggi.

Dibandingkan tepung beras pecah kulit (PK),

bekatul mengandung lebih banyak antioksidan

Page 61: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

61

dan berhubungan dengan nilai kapasitas

antioksidan yang tinggi pula (Aguilar-Garcia, et

al (2007). Sementara Randhir et al (2008)

menyatakan penurunan kandungan total phenol

yang diobservasi dalam soba (buckwheat)

kemungkinan dikarenakan degradasi dari

beberapa komponen phenol oleh proses

pemanasan.

Dari hasil penelitian terhadap kadar total

phenol dengan perhitungan basis basah (wet

basic) diperoleh kadar total phenol beras

wulung, tepung beras wulung, dan nasi beras

wulung berturut-turut adalah 0,656, 0,484 dan

0,27 mg ekuivalen asam gallat /100 g (%wb).

Namun setelah dilakukan perhitungan secara

basis kering (dry basic) diperoleh hasil

sebagaimana tampak pada Gambar 5. Kadar

total phenol beras wulung adalah 0,76 ±0,04

mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db), setelah

diolah menjadi tepung beras wulung kadar total

phenol adalah 0,55±0,02 mg ekuivalen asam

gallat /100 g (% db) dan setelah menjadi nasi

beras wulung total phenol sebesar 0,84 ±0,06

mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db). Kadar

air bahan berpengaruh terhadap kadar suatu

komponen per satuan bahan oleh karena untuk

melihat perubahan kandungan komponen

tersebut lazimnya dilakukan dalam dry basic

(db).

Pengaruh Pengolahan Beras Wulungterhadap Kandungan Antosianin

Pengaruh pemasakan beras wulung

menjadi nasi wulung dan tepung beras wulung

terhadap kadar antosianin yang dikandung

dalam masing-masing produk tampak

sebagaimana dalam Gambar 6. Dari Gambar 6

tersebut terlihat bahwa terdapat perubahan

kadar antosianin yang signifikan (P<0,05)

antara beras wulung (berupa beras pecah

kulit/PK) dengan tepung beras wulung maupun

nasi beras wulung.

Kadar antosianin beras wulung pecah

kulit sebesar 2,506±0,02 mg/100g sampel

(%wb), sedang tepung beras dan nasi berturut-

turut 2,133±0,06 dan 0,153±0,01 mg/100g

sampel (%wb). Dalam basis perhitungan dry

basis kadar antosianin beras wulung pecah kulit

adalah 2,8918 mg/100g, tepung beras wulung

2,4091 dan nasi beras wulung adalah 0.4741

mg/100g. Kadar antosianin tersebut berbeda

dengan kandungan antosianin beras hitam

setengah sosoh (SSH) dan pecah kulit (PK)

yang diteliti oleh Swasti dan Astuti (2007) yang

mempunyai kandungan antosianin 149 ± 11

mg/100g (db) dan 152 ± 16 mg/100g (db).

Beras wulung yang masih berupa beras

pecah kulit (Brs W.PK) memiliki kadar

antosianin yang paling tinggi, diikuti tepung

beras (Tep Brs W) dan nasi beras wulung (Nasi

Brs W). Hal ini dikarenakan produk berupa

beras pecah kulit belum mengalami perlakuan

panas dibanding dengan kedua produk yang

lain. Nasi beras wulung mengalami penurunan

kadar antosianin yang paling tinggi dikarenakan

proses pengolahan beras menjadi nasi

memerlukan perlakuan panas yang lebih tinggi

dan lebih lama dibanding dengan proses

pembuatan tepung beras wulung, disamping itu

Page 62: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

62

pada proses pembuatan tepung beras wulung

juga beras tidak mengalami proses pencucian

sehingga kemungkinan besar kandungan

antosianin tidak terikut terbuang bersama air

bekas pencucian.

Hasil penelitian ini dapat dikatakan

bahwa untuk mengambil manfaat dari beras

wulung khususnya terhadap kandungan

antosianin, sebaiknya pemasakan beras wulung

dilakukan dengan dibuat menjadi tepung

(powder). Pengolahan beras wulung menjadi

tepung hanya mengalami sedikit pemanasan

yaitu dengan penyangraian.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan

bahwa :

1. Komponen dominan dari beras wulung

(beras hitam) adalah karbohidrat (64,98

%wb). Kadar protein total 15,41%wb,

kadar lemak 4,23%wb, mineral (abu) 2,04

%wb, serat kasar 3,52 %wb serta kadar air

13,34%.

2. Tidak terdapat perbedaan kadar total

phenol antara beras wulung (pecah kulit)

dengan yang telah diolah menjadi nasi

wulung, namun terdapat perbedaan yang

signifikan dengan tepung beras wulung.

3. Terjadi perubahan penurunan kandungan

antosianin yang signifikan dalam

pengolahan beras wulung (beras hitam)

menjadi tepung beras wulung dan nasi

wulung. Penurunan kandungan antosianin

mencapai 83,60% terjadi pada pengolahan

dengan pemasakan menjadi nasi wulung.

Penelitian lanjut masih perlu terus

dilakukan untuk mengetahui cara pengolahan

yang tepat dari beras wulung untuk memperoleh

bukti bahwa beras wulung mempunyai potensi

sebagai diet penderita diabetes mellitus.

DAFTAR PUSTAKA

Aguilar-Garcia, C.; Gavino, G.; Baragano-Mosqueda, M.; Hevia, P.; Gavino, V.C. Correlation of tocopherol,tocotrienol, γ-oryzanol and totalpolyphenol content in rice bran withdifferent antioxidant capacity assays.Food Chem. 2007, 102, 1228-1232.

Anonim, 2010. Boyolali dalam Angka 2009.BPS Kab. Boyolali.

Deepa,G, Vasudeva Singh, K. AkhilenderNaidu., 2008. Nutrient Compositionand Physicochemical Properties ofIndian Medicinal Rice – Njavara. FoodChemistry 106 : 165–171

Fardiaz, Dedi, 1997. Makanan Fungsional danPengembangannya melalui MakananTradisional. Prosiding Seminar Tekn.Pangan, 5-8 Juli, Yogyakarta.

Hanhineva, Kati, Riitta Törrönen, IsabelBondia-Pons, Jenna Pekkinen,Marjukka Kolehmainen, HannuMykkänen and Kaisa Poutanen, 2010.Impact of Dietary Polyphenols onCarbohydrate Metabolism. Review. Int.J. Mol. Sci. 2010, 11, 1365-1402

Hiemori,Miki, Eunmi Koh and Alyson E.Mitchell, 2009. Influence of Cookingon Anthocyanins in Black Rice (Oryzasativa L. japonica var. SBR). J. Agric.Food Chem., (5): 1908-1914.

Hilliam, M. 2000. Functional Food : How big isthe Market? World of Food Ingredients12 : 50-53.

Kristamtini, 2009. Mengenal Beras Hitam dariBantul.http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/

Page 63: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

63

Lai,Phoency, Ken Yuon Li, Shin Lu, Hua HanChen, 2009. Phytochemicals andAntioxidant Properties of SolventExtracts from Japonica Rice Bran.Food Chem. 117:538-544

Markakis,Perieles, 1982. Anthocyanins as FoodColors. Academic Press, Inc, London.

Muchtadi, D, dan C. Hanny Wijaya, 1996.Pangan Fungsional : Pengenalan danPerancangan. Kursus singkat “Makanan Fungsional dan KeamananPangan” PAU PAngan dan Gizo,UGM, Yogyakarta.

Ono, K., Sugihara, N., Hirose, Y. dan Katagiri,K., 2003. An Examination of OptimalSolvents for Anthocyainin Pigmentsfrom Black Rice Produced in Gifu. J.Agric. Food Chem., 2003, 51 (18), pp5274–5279.

Perkem Ind (Perkumpulan EndokrinologiIndonesia), 2006. KonsensusPengelolaan dan Pencegahan DiabetesMellitus Tipe 2 di Indonesia 2006.Fakultas Kedokteran UI. Jakarta

Pimentel, P, 2007. Diabetes Prevalence Surgesto 246 milion. 19th World DiabetesCongress, 3-7 Desember 2006. CapeTown South Africa. Medical Tribune.February. pp 6.

Randhir,R., Young-In Kwon, Kalidas Shetty.,2008. Effect of Thermal Processing onPhenolics, Antioxidant Activity andHealth-Relevant Functionality ofSelect Grain Sprouts and SeedlingsInnovative Food Science and EmergingTechnologies 9 :355–364

Scalbert, A., Johnson, I.T., Saltmarsh, M., 2005.Polyphenols: antioxidants and beyond.American Journal of Clinical Nutrition81: 215S–217S.

Solopos, 2 April 2011. Boyolali KembangkanBeras Wulung.

Sompong,R, Siebenhandl-Ehn,S, G.Linsberger-Martin, E. Berghofer, (2011).Physicochemical and Antioxidativeproperties of Red and Black RiceVarieties from Thailand, China and SriLanka. Food Chemistry 124: 132–140

Suyono, S., 2006, Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam jilid III edisi 4, PusatPenerbitan Departemen Ilmu PenyakitDalam FK UI, Jakarta, hal. 1874-1878.

Swasti, Yuliana Reni dan Mary Astuti, 2007.Aktivitas Antioksidan AntosianinBeras Hitam Dalam Low-DensityLipoprotein (LDL) Plasma DarahManusia Secara In Vitro. Thesis.Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Taga, M.S., Miller, E.E. dan Pratt, D.E.,1984.Chia Sheeds as source of naturallipid antioxidants. Journal ofAmerican Oil Chemical Society 61:928-931)

Tri Dewanti W Mubandrio, 2009. Beras Hitam.http://terminalcurhat.blogspot.com/2009/10/beras-hitamberas-yang-menyehatkan.html

Wild, S.; Roglic, G.; Green, A; Sicree, R.; King,H., 2004. Global prevalence ofdiabetes: Estimates for the year 2000and projection for 2030. Diabetes Care27: 1047-1053.

Page 64: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

64

Beras wulung sosoh

Pencucian

Penanakan dalam RiceCooker, 50 menit

Air 1:4

Nasi beras wulung

Gambar .2. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi nasi hitam

Beras wulung pecah kulit

Pengolahan menjadi nasi Pengolahan menjadi tepung

Evaluasi kadar zat potensi

Analisis Data

Pelaporan

Gambar 1. Jalan penelitian secara keseluruhan

Analisis kadar total phenoldan Antosianin

Analisis kadar air,karbohidrat, protein, lemak,abu, total phenol dan kadarantosianin

Page 65: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

65

Beras wulung

Pencucian

Penyangraian dalam wajan stainlesssteel, 15 menit disertai pengadukan

Penggilingan dengan blender

Bubuk (powder) beras wulung

Gambar 3. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi tepung (powder)

Pengayakan

Pasir

Pengeringan(Penjemuran)

Page 66: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

66

Beras Wulung

Tepung Beras Wulung

Gambar 4. Beras wulung dan hasil olahannya

Nasi Beras Wulung

Page 67: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

67

Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (BrsW.PK= 0,76±0,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,55±0,02) dan nasi beras wulung(Nasi Brs W=0,84±06). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.

Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,89±0,02) menjaditepung beras Wulung (Tep Brs W=2,41±0,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi BrsW=0,47±0,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.

Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah

Komponen Beras Wulung (%,wb) Beras Merah (%,wb)Air 13,34 13,28Mineral Total 2,04 1,57Lemak 4,23 4,15Protein Total 15,41 15,41Karbohidrat 64,98 65,59Serat Kasar 3,52 2,33

00.10.20.30.40.50.60.70.80.9

Brs W. PK Tep Brs W

0.76totalphenol

Macam pengolahan

Perubahan kandungan total phenol selama pengolahan beras wulung

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

Brs W. PK

2.8918

kadar

antosianin

a

b

a

a

b

c

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

67

Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (BrsW.PK= 0,76±0,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,55±0,02) dan nasi beras wulung(Nasi Brs W=0,84±06). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.

Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,89±0,02) menjaditepung beras Wulung (Tep Brs W=2,41±0,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi BrsW=0,47±0,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.

Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah

Komponen Beras Wulung (%,wb) Beras Merah (%,wb)Air 13,34 13,28Mineral Total 2,04 1,57Lemak 4,23 4,15Protein Total 15,41 15,41Karbohidrat 64,98 65,59Serat Kasar 3,52 2,33

Tep Brs W Nasi Brs W

0.55

0.84

Macam pengolahan

Perubahan kandungan total phenol selama pengolahan beras wulung

Brs W. PK Tep Brs W Nasi Brs W

2.8918

2.4091

0.4741

macam pengolahan

a

b

a

a

b

c

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

67

Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (BrsW.PK= 0,76±0,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,55±0,02) dan nasi beras wulung(Nasi Brs W=0,84±06). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.

Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,89±0,02) menjaditepung beras Wulung (Tep Brs W=2,41±0,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi BrsW=0,47±0,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.

Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah

Komponen Beras Wulung (%,wb) Beras Merah (%,wb)Air 13,34 13,28Mineral Total 2,04 1,57Lemak 4,23 4,15Protein Total 15,41 15,41Karbohidrat 64,98 65,59Serat Kasar 3,52 2,33

a

b

a

a

b

c

Page 68: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

68

Page 69: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

69

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

A. FormatSeluruh bagian dari naskah narasi diketik dua spasi pada kertas HVS ukuran kuarto, batas atas-

bawah dan samping masing-masing 2,5 cm. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf bertipeTimes New Roman berukuran 12, dengan spasi ganda dan tidak bolak-balik. Gambar dan tabel daripublikasi sebelumnya dapat dicantumkan apabila mendapat persetujuan dari penulisnya. Setiap halamandiberi nomor secara berurutan termasuk halaman tabel/bagan/grafik/gambar/foto pada akhir naskah.Publikasi ilmiah ditulis 15-17 halaman (sekitar 3000 karakter), termasuk gambar dan tabel. Susunannaskah hasil penelitian dibuat sebagai berikut:1. Judul

Ada dua bahasa dalam penulisan judul, yaitu yang pertama menggunakan Bahasa Indonesia dankedua Bahasa Inggris. Judul menggunakan Bahasa Indonesia dicetak dengan huruf besar pada awal kata(kecuali kata sambung) bertipe Times New Roman berukuran 14 dan spasi satu, sedangkan yangberbahasa Inggris dengan huruf miring. Judul artikel ditulis singkat dan informatif dan mampumenerangkan isi tulisan dengan jumlah maksimal 15 kata. Hindari penggunaan kata yang mempunyaikesan umum seperti penelahaan, studi, pengaruh dan lain-lain. Tidak diperkenankan menggunakansingkatan dan penambahan nama latin.2. Nama dan Alamat Penulis

Penulisan nama ditulis semua nama yang terlibat dan lengkap tidak ada singkatan. Penulisannama tidak dilengkapi pangkat, kedudukan dan gelar akademik, dan diberi kode (1, 2, 3,...) pada bagianatas nama belakang dari masing-masing nama penulis. Bagian bawah nama diberi alamat korespodensi(alamat institusi) masing-masing nama, dengan mengikuti kode di atas, dan alamat e-mail lembaga yangmemungkinkan terjadi korespodensi dengan ilmuwan lain.3. Abstrak

Abstrak merupakan ringkasan yang lengkap dan menjelaskan keseluruhan isi artikel ilmiah.Abstrak ditulis sebaik mungkin agar pembaca dapat menangkap isi artikel tanpa harus mengacu keartikel lengkapnya. Abstrak ditulis dalam satu bahasa yaitu bahasa Inggris dengan judul“ABSTRACT”, paling banyak terdiri atas 200 kata dalam satu paragrap, diketik huruf miring denganspasi tunggal. Abstrak berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah (Pendahuluan,Metode Penelitian, Hasil, dan Kesimpulan) tanpa harus memberikan keterangan terperinci dari setiapbab. Abstrak tidak mencantumkan tabel, ilustrasi, rujukan dan singkatan. Untuk menghemat kata,jangan mengulang judul dalam abstrak.4. Kata Kunci

Kata kunci adalah kata-kata yang mengandung konsep pokok yang dibahas dalam artikel. Katakunci dengan judul “Key words” sebanyak 3 sampai 6 kata ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan dibawah abstract dalam satu baris dan cara pengurutannya dari yang spesifik ke yang umum. Kata kunciyang baik dapat mewakili topik yang dibahas dan digunakan untuk mengakses lewat komputer olehpembaca.5. Pendahuluan

Pendahuluan merupakan pengantar tentang substansi artikel sesuai dengan topik danmasalahnya, terutama alasan-alasan baik teoritis maupun empiris yang melatar belakangi kegiatanpenulisan artikel. Memuat secara ekplisit dengan singkat dan jelas tentang arah, maksud, tujuan sertakegunaan artikel agar substansi artikel tidak menimbulkan kerancuan pengertian, pemahaman dan

Page 70: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

70

penafsiran makna bagi pembacanya. Berisi penjelasan latar belakang atau problematika yang dikaji dantujuan penelitian dilakukan.

Kalimat-kalimat awal seharusnya merupakan hasil pemikiran sendiri, bukan kutipan. Penyajianharus runut secara kronologis, ada kaitan logika antara alinea pertama dengan berikutnya dengan jelas.Kerangka berpikir disajikan secara singkat dan jelas berdasarkan konsep-konsep teoritis yang digunakanuntuk membahas, menganalisis dan menafsirkan data, informasi serta temuan-temuan yang diperoleh.Penting dikemukakan pula konsep-konsep pemikiran yang berasal dari temuan-temuan peneliti sejenis,jika mungkin yang terbaru, yang telah dilakukan oleh peneliti atau penulis yang sebelumnya.

Pustaka yang digunakan benar-benar mendukung latar belakang yang diungkapkan. Sebaiknyatidak mengutip hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak dipublikasikan. Nama organisme(Indonesia/daerah) yang tidak umum harus diikuti dengan nama ilmiahnya pada pengungkapan pertamakali.6. Metodologi

Metode adalah cara-cara yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah. Metode tersebut harussesuai dengan metodologi yang digunakan pada saat melakukan penelitian. Berisi informasi teknis(deskripsi bahan, penarikan contoh, prosedur dan pengolahan data) dan diuraikan secara lengkap jikametode yang digunakan merupakan metode baru. Untuk metode yang sudah umum digunakan, cukupdengan menyebutkan pustaka yang diacu. Dalam menulis pelaksanaan teknis penelitian (prosedur) tidakmenggunakan kalimat perintah. Bahan kimia yang sangat penting dan khusus untuk analisis disebutkanprodusennya. Alat seperti gunting, gelas ukur, gelas kimia, pensil dan lain-lain tidak perlu ditulis, tetapiperalatan khusus untuk analisa (AAS, spektrofotometer, HPLC, GC, dan lain-lain) ditulis secara rincibahkan sampai ke tipenya.7. Hasil dan Pembahasan

Berisi pengungkapan hasil-hasil penelitian saja, yang dapat disajikan dalam bentuk tubuhtulisan, tabel/bagan/grafik/gambar/foto disertai keterangan yang jelas dan informatif. Penyajian dataharus sitematik, perlu dilihat tujuan dan langkah-langkah dalam metode. Narasi data berupa sarinyabukan menarasikan data seperti apa adanya. Penyajian data juga didukung oleh olahan data (bukan datamentah) dan ilustrasi yang baik. Pemberian nomor dibuat secara berurutan sesuai dalam naskah dandilampirkan secara terpisah dari naskah. Keterangan gambar ditulis di bawah gambar, sedangkanketerangan tabel ditulis di atas tabel dan harus dibatasi dalam tubuh tulisan. Gambar dan bentuk grafikdapat dibuat pada halaman terpisah.

Pembahasan bukan sekedar menarasikan data, tetapi berisi interprestasi hasil-hasil penelitianyang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang pernahdipublikasikan. Dalam menarasikan disesuaikan dengan tujuan dan hipotesa penelitian. Dalampembahasan juga dilakukan analisa atau tafsiran dan pengembangan gagasan atau argumentasi denganmengaitkan hasil, teori atau temuan sebelumnya.

Ada dua pendekatan dalam melakukan pembahasan dan analisis terhadap data, yaitu pendekatankuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif bersifat obyektif, positifistik dan bebas nilai,subyektifitas sedapat mungkin dihindari. Pendekatan kualitatif bersifat subyektif, relatifisme dan tidakbebas nilai. Hasil pembahasan dan analisis tidak berpretensi menghasilkan generalisasi, kalaupun adageneralisasi terbatas pada lingkup obyek penelitian.8. Kesimpulan

Simpulan ditulis secara kritis dan cermat dan dilakukan generalisasi (induktif) dibuat denganhati-hati. Nyatakan simpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat, padat, serta tanpa nomor urut.simpulan tidak mencantumkan kutipan dan analisa statistik.

Page 71: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

71

9. Ucapan Terima KasihPenulis dapat memberikan ucapan terima kasih kepada penyandang dana penelitian, maupun

kepada institusi serta orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. Nama institusi penyandangdana supaya dituliskan secara lengkap.10. Daftar Pustaka

Daftar pustaka ditulis memakai system nama dan disusun secara abjad. Beberapa contoh:a. Jurnal :Rueppel ML, Brightwell BB, Schaefer J, and Marvel JT. 1997. Metabolism and degradation of

glyphosate in soil and water. J Argric Food Chem 25:517-528.b. Buku :Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of the fungi. Ed Ke-3. New Jersey:Prenice Hall.d. Abstrak :Kooswardhono, M, Sehabudin. 2001. Analisis ekonomi usaha ternak sapi perah di wilayah Propinsi

Jawa Barat. Abstrak Seminar Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Bogor, 8-9 Agustus 2001. Bidang Sosial dan Ekonomi-15. hlm 189.

e. Prosiding :Lukiwati D.R. dan Hardjosoewignjo S. 1998. Mineral content improvement of Some tropical legumes

with Glamous fungi inoculation and rock phosphate fertilization. Di dalam: Proccedings of theInternal Workshop on Mycorrhiza. Guangzhou, PR China, 6 September – 31 August 1998. hlm77-79.

f. Skripsi/Tesis/Disertasi :Ismunadji M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah.

(Tesis). Bogor.Institut Pertanian Bogor.g. Informasi dari Internet :Hansel L. 1999. Non-target effect of Bt corn Pollen on the Monarch butterfly

(Lepidoptera:Danaidae).http://www.ent.iastate. edu/ensoc/ncb99/prog/abs/D81.html. (21Agustus 1999)

Acuan pustaka dalam teks ditulis dengan model nama dan tahun yang diletakkan dibelakangkata-kata, ungkapan atau kalimat yang diacu. Acuan yang ditulis dalam teks harus ada dalam daftarpustaka yang diacu dan sebaliknya bila ada dalam daftar pustaka juga harus ada dalam teks. Kata-kata,ungkapan atau kalimat yang ada alam teks tanpa sumber acuan dapat dianggap sebagai pendapat penulisdan bila ternyata sebenarnya mengacu dari pustaka lain, dapat dianggap plagiat.

B. Ketentuan Umum1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan, berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang

ditambah pemikiran penerapannya pada kasus tertentu dengan topik yang aktual dalam lingkuppangan dan gizi.

2. Penulis mengirimkan naskah dalam bentuk hard copy rangkap 2 dan soft copy dalam CD ataumelalui e-mail.

3. Jadual penerbitan adalah bulan Juli dan Desember.4. Naskah jurnal untuk edisi yang akan terbit, paling lambat diterima oleh redaksi tiga (3) bulan

sebelum jadwal penerbitan. Naskah akan dikoreksi oleh Mitra Bestari yang akan dijadikan dewanredaksi sebagai dasar dalam memutuskan diterima atau tidaknya naskah.

Page 72: Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

72