ahmad baswedan

7
ARGY PRADYPTA A.R. Baswedan ( 1908 -1986 ) 30 TOKOH LINTAS AGAMA PERUMUS INDONESIA

Upload: praditobhimo

Post on 31-Jul-2015

168 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ahmad Baswedan

arg

y pr

adyp

ta

A.R. Baswedan( 1908 -1986 )

30 TOKOH LINTAS AGAMA PERUMUS INDONESIA

AR Baswedan.indd 30 6/8/12 4:54:16 PM

Page 2: Ahmad Baswedan

31

29 AGUSTUS 2012 GATRA

EDISI KHUSUS HARI KEMERDEKAAN

KOLE

KSI K

ELUA

RGA

Suatu hari, Abdurrahman Baswedan kaget melihat ayahnya menunaikan salat dipimpin imam asli Madura, tukang sapu di toko ayahnya. Sang ayah, Awad Baswe­dan, lalu bertutur kepada Baswedan kecil itu. “Anakku, dia memang tukang sapu kita, tapi ketika salat, siapa pun

bisa jadi imam,” ujarnya.Riwayat itu diceritakan kembali oleh Samhari Baswedan,

putra bungsu Abdurrahman Baswedan, ketika ditemui Gatra di apartemennya, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, per­tengahan Juli lalu.

A.R. Baswedan, demikian ia dikenal, pasca­kemerdekaan

Tak hanya berjuang menghapus kasta tradisional peranakan Arab, A.R. Baswedan juga mengajak komunitasnya mengakui Indonesia sebagai tanah air. Merpersatukan dengan pendekat an Islam.

Pluralis dari Kampung Ampel

A.R. Baswedan dan Buya Hamka dalam sebuah acara di Jakarta

AR Baswedan.indd 31 6/8/12 4:36:47 PM

Page 3: Ahmad Baswedan

32

GATRA 29 AGUSTUS 2012

TOKOH LINTAS AGAMA PERUMUS INDONESIA

KOLE

KSI K

ELUA

RGA

kan Tionghoa, seperti Arab, Pakistan, atau India. Bagi setiap golongan, berlaku hukum sendiri-sendiri. Kenyataannya, plu-ralisme hukum itu tak ubahnya pembagian kasta, meniada-kan kesamaan kedudukan di depan hukum, dan bermuara pada ketidakadilan bagi bangsa pribumi.

Selain pengastaan yang diberlakukan pemerintah kolonial, komunitas Hadramaut sendiri ketika itu terpecah dalam struktur kasta tradisional: sayyid, gabili, syekh, dan masakin. Sayyid adalah strata tertinggi, dengan klaim keturunan putra Nabi, Husein. Gabili, suku pemegang senjata. Syekh, elite agama lokal. Adapun masakin --orang miskin, lemah, dan asal usulnya tak penting-- berada di strata paling bawah.

Kenyataannya, tak sedikit kaum masakin adalah pedagang kaya raya. Mereka lalu mulai menolak mengakui superioritas sayyid, yang di negeri asalnya harus dicium tangannya sebagai bentuk penghormatan. Mereka menganut ajaran Syekh Ahmad Sukarti Al-Anshori, ulama Afrika yang didatangkan ke Indonesia untuk menjadi Kepala Sekolah Al-Khoiriyah.

Sukarti berfatwa, ajaran Islam memandang semua manu-sia itu pada dasarnya sama, tidak ada perbedaan satu sama lain. Demikian pula, orang Arab yang satu tidak berbeda dengan orang Arab lainnya kecuali ketakwaannya. Fatwa itu menimbulkan kemarahan para sayyid, penguasa Al-Khairiyah, sehingga akhirnya Sukarti diberhentikan.

Namun paham itu didukung oleh perkumpulan Al-Irsyad (artinya penunjuk jalan yang benar). Dua pendapat itulah yang

dikenal sebagai Menteri Muda Penerangan masa Perdana Men-teri Sjahrir. Kakek tokoh pendidikan Anies Baswedan itu adalah seorang keturunan Arab Hadramaut, sebuah wilayah di Yaman Selatan. Baswedan lahir di sebuah perkampungan Arab, Kampung Ampel, Surabaya, pada 9 September 1908.

Ayahnya, Awad Baswedan, adalah seorang saudagar batik kaya yang juga lahir di tempat yang sama. Orang Hadrami, ke-turunan Hadramaut, menyebut Baswedan sebagai muwalad, generasi Hadrami yang dilahirkan di Indonesia. Ia bukan wulaiti, sebutan bagi orang Hadrami yang lahir di Hadramaut dan me-rantau ke Nusantara. Sedangkan ibunya, Aliyah binti Abdullah Jarhum, adalah perempuan Jawa.

A.R. Baswedan merupakan anak ketiga dari empat ber-saudara. Ia menikah saat berusia 17 tahun dengan Syaikhun binti Ahmad Baswedan, saudara jauhnya. Mereka dikarunia sembilan anak. Namun sang istri wafat pada 1948 karena terserang wabah malaria. A.R. Baswedan kemudian menikah lagi pada Agustus 1950 dengan Barkah Alganis, Ketua Partai Arab Islam Istri. Dari pernikahan kedua ini, Baswedan dikarunia dua anak, Havied Natsir Baswedan dan Samhari Baswedan. “Saya dan Havied ber-untung karena ketika saya dewasa, Bapak sudah pensiun dan full di rumah,” ujar Samhari.

Ketika Baswedan dilahirkan, Indonesia masih berada di bawah pendudukan kolonial Belanda, yang membagi penduduk Indonesia menjadi tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan pribumi. Golongan Timur Asing terdiri dari Tionghoa dan bu-

Bersama cucu saat lebaran di Taman Yuwono, 1980

AR Baswedan.indd 32 6/8/12 4:37:07 PM

Page 4: Ahmad Baswedan

33

29 AGUSTUS 2012 GATRA

EDISI KHUSUS HARI KEMERDEKAAN

kemudian menjadi pertentangan komunitas keturunan Arab di Indonesia pada masa itu.

***Sekalipun hidup dalam golongan kelas II di Ampel, se­

hari­hari A.R. Baswedan melihat bagaimana masyarakat Arab ber interaksi dengan pribumi berdasarkan sistem kelas. Namun, sebagaimana dikisahkan Samhari kepada Mira Febri Melliya dari Gatra, sejak kecil ayah Baswedan mengajarkan nilai­nilai persamaan dan demokrasi kepadanya. Itulah yang kemudian mem bawa A.R. Baswedan pada pemikiran nasionalisme yang ia serukan ketika dewasa.

Sebagai anak yang dibesarkan dalam lingkungan komuni­tas Arab Ampel, Baswedan selalu penasaran dengan yang ada di balik komunitasnya. Maklum, pada masa itu, keturunan Arab hidup tersendiri dan cenderung bergaul hanya dengan sesama keturunan. ‘’Hidup Bapak cuma sekitar sekolah, toko, rumah,’’

tutur Samhari (lihat: Berguru Pada Kitab dan Kamus).Untunglah, Baswedan memiliki paman seorang dalang.

Ahmad Jarhum namanya. Ia sering berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia. Kepada Baswedan, paman dari pihak ibu itu sering mendongeng tentang wayang, sejarah, dan keseharian masyarakat Indonesia di berbagai daerah yang pernah ia kun­jungi. Melalui cerita­cerita itu, Baswedan makin mengerti bahwa tanah air tempat ia lahir terdiri dari berbagai suku dan budaya. Ia pun memiliki keinginan besar untuk berinteraksi dengan mereka yang non­Arab, non­Ampel.

Keinginan itu mulai mendapat jawaban saat A.R. Baswedan berkenalan dengan KH Mas Mansoer, tokoh Islam kelahiran Surabaya. Saat itu, A.R. Baswedan mengenal pimpinan Sarekat Islam itu sebagai imam dan khatib di Masjid Ampel. “Bapak pertama kontak dengan sesuatu yang non­Arab adalah melalui kegiatan dakwah dengan Sarekat Islam,” ujar Samhari.

Berguru Pada Kitab dan Kamus

Sejak kecil, luapan semangat belajar A.R. Baswedan tak bisa di­bendung. Karena itu, ketika usianya menginjak lima tahun, tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya, diam­diam ia mengikuti

kakaknya, Ahmad, ke sekolah. Ahmad adalah murid kelas akhir di Madra­sah Alkhairiyah, sekolah yang berdekatan dengan Masjid Ampel di Surabaya.

Di dalam sekolah, Baswedan mengatakan sedang mencari kakaknya. Tentu saja Ahmad kaget ketika bertemu dengan adiknya. Apalagi, kepada Ahmad, Baswedan mengaku datang karena ingin ber­sekolah. Sejak itu, ia selalu mengikuti kakaknya bersekolah. Semua nasihat yang melarangnya agar tidak masuk kelas ia abaikan.

Namun justru di sekolah itu Baswedan menyaksikan bagaimana perlakuan diskriminatif terjadi semata­mata hanya karena perbedaan suku. Tak lama setelah bersekolah, ia melihat kakaknya berkelahi dengan seorang murid dari keluarga Alkatiri dari golongan bersenjata (galibi).

Sekalipun Ahmad hampir kena tikam, tak ada yang berani melerai perkelahian itu. Baswedan sendiri pernah kena palak anak­anak golong­an gabili dan sayyid. Ketika paman Baswedan mengadu kepada guru­gurunya, mereka tidak bertindak apa­apa. Akhirnya, oleh sang paman, Ahmad diajak keluar sekolah dan membantu orangtuanya di toko. Sedangkan Baswedan memilih pindah sekolah ke Madrasah Al­Irsyad di Jakarta.

Namun, ketika Baswedan pulang kampung di Surabaya, ayahnya tak mengizinkan ia kembali ke Jakarta. Jika Baswedan berkeras, ia dimin­ta memegangi dada ayahnya yang sedang sakit jantung hingga rantai jam di sakunya tampak bergerak­gerak akibat denyutannya yang cepat. “Apakah kau rela meninggalkan ayah yang sedang sakit?” Mendapat pertanyaan itu, akhirnya Baswedan terdiam dan tidak melanjutkan sekolahnya ke Jakarta.

Untunglah, ketika itu, di Surabaya berdiri sebuah pesantren Arab modern bernama Hadramaut School. Di sana, murid­muridnya memakai celana, bukan sarung. Mereka juga diajari sastra Arab. Di sekolah itulah Baswedan menemukan minatnya terhadap sastra Arab, yang kemudian ia buktikan lewat karya tulis hingga akhir hayatnya.

Masalahnya, Baswedan tidak cocok dengan direktur sekolah­nya, yang berasal dari golongan sayyid. Padahal, di Al­Irsyad, ia diajari demokrasi dan persamaan. Baswedan, misalnya, diajari supaya jangan

sampai mencium tangan orang Baalwi bergelar sayyid. Ajaran Al­Irsyad itu dibawa Baswedan ke sekolah barunya. Ia menolak mencium tangan seorang redaktur Hadramaut Courant. “Kenapa saya harus cium tangan? Dia bukan orangtua saya,” ujar Samhari Baswedan menirukan ucapan ayahnya. Sikapnya itu membuat Baswedan dipanggil direktur sekolah pada hari pertama di sekolah baru.

Baswedan kecil tak bisa dipisahkan dari buku. Sepulang sekolah, ia sering ditugasi membantu di toko ayahnya. Tapi ia lebih suka duduk sam­bil membaca buku. ‘’Kadang dia kabur ke toko buku. Orang­orang kenal betul kelakuannya itu,’’ kata Samhari kepada Mira Febri Mellya dari Gatra. Namun, di toko ayahnya, ia mendapat bimbingan agar menjadi orang yang rajin bekerja, hemat, dan tekun. Ia juga diajari membaca dan menulis huruf Latin, yang tidak diajarkan di sekolah Arab pada masa itu.

Baswedan tumbuh menjadi seorang kutu buku. Pengetahuan­nya luas karena ia membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab dan Belanda terbitan dalam dan luar negeri. Ia juga membaca buku­buku berbahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Kemampuan bahasa Belandanya diperoleh dari kursus Nederlands Verbond atas kemauannya sendiri, ketika ia berusia 12 tahun.

Sebenarnya kursus itu ditujukan untuk menyiapkan pegawai rendahan di Pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, tak ada anak­anak keturunan Arab sebayanya yang ikut. Sedangkan bagi Baswedan, bahasa Belanda adalah pintu menuju pengetahuan yang lebih luas. Karena itu, jika ditanya siapa gurunya, Baswedan menjawab kitab­kitab dan kamus. Sekolahnya sendiri terputus­putus.

Baswedan akhirnya keluar dari sekolah Hadramaut. Ia kemudian diterima bersekolah di Al­Irsyad (setingkat SMA) di Surabaya. Di sana, ia mulai bersahabat dengan Hamka. Begitu menamatkan sekolah, ia tampil sebagai lulusan terbaik. Sekalipun demikian, Baswedan tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Baru pada 1964, menurut Samhari, ketika usianya 58 tahun, Bas­wedan berkata, “Saya mau kuliah, mau tahu rasanya jadi mahasiswa.” Maka, kuliahlah ia di IAIN Yogyakarta. Itu pun setelah melobi panjang Rektor IAIN saat itu. Soalnya, ia tidak diizinkan kuliah berhubung usianya sudah “kedaluwarsa”.

Tapi Baswedan hanya bertahan kuliah delapan bulan. “Setiap pu­lang kuliah, Bapak marah­marah tentang dosennya yang ia anggap tak mumpuni. Akhirnya dia menyerah,” ujar Samhari. Karena itu, hingga akhir hayatnya, A.R. Baswedan tak punya gelar sarjana.

Rita Triana Budiarti

AR Baswedan.indd 33 6/8/12 4:37:29 PM

Page 5: Ahmad Baswedan

34

GATRA 29 AGUSTUS 2012

TOKOH LINTAS AGAMA PERUMUS INDONESIA

KOLE

KSI K

ELUA

RGA

Akhirnya A.R. Baswedan aktif dalam kegiatan dakwah anak muda Sarekat Islam. Karena sering diajak Koordinator Lapangan Sarekat Islam, Surowiyono, untuk memberi dakwah di berbagai wilayah Surabaya, ia pun mulai bersentuhan dengan masyarakat non-Arab. “Perkenalan Bapak dengan politik pertama kali lewat situ,” tutur Samhari.

***Menjelang dewasa, A.R. Baswedan mulai aktif di pergerak-

an. Salah satu perjuangannya adalah mempersatukan komunitas Hadramaut yang terpecah dalam struktur kasta tradisional. Pada 1932, ketika usianya menginjak 24 tahun, ia menyadari perlunya media untuk menyalurkan pemikiran tentang persatuan, persamaan, dan nasionalisme kepada keturunan Arab.

Bersama seorang rekan, ia lalu menerbitkan majalah Al-Yaum. Ia sepakat menyerahkan manajemen majalah itu kepada rekannya, karena ia mengurus redaksional. “Hak warisan milik-nya ditarik untuk membiayai penerbitan majalah,” kata Samhari. Sayangnya, pada penerbitan edisi ketiga majalah itu, ia terbentur masalah. “Bapak menandatangani kertas kosong, ternyata ia

ditipu,” ujar Samhari. Baswedan bangkrut seketika.Ia lalu pulang ke rumah mertuanya di Kudus untuk menge-

lola usaha keluarga. Suatu hari, ia bertemu dengan Liem Koen Hian, pemimpin sekaligus penanggung jawab harian Sin Tit Po. “Ternyata Liem sudah tahu sepak terjang Bapak,” kata Samhari. Baswedan lalu diajak bekerja di tempatnya.

Tulisan-tulisan A.R. Baswedan dikenal lugas dan tajam. Namun rupanya tulisannya dinilai terlalu menyerang Belanda. Akibatnya, Sin Tit Po kesulitan iklan. Tapi, ketimbang harus me-nuruti keinginan penjajah, Baswedan memilih angkat kaki dari Sin Tit Po. “Padahal, gajinya saat itu 75 gulden. See, money is nothing for him,” ujar Samhari (sebagai pembanding, saat itu harga 1 kuintal beras adalah 5 gulden).

Baswedan lalu bekerja di harian Soeara Oemom, milik dr. Soetomo, dengan gaji 10-15 gulden. Ia kemudian pindah lagi ke harian Matahari pimpinan Kwee Hing Tjiat di Semarang. Edisi pertama harian Matahari memuat tulisan Baswedan berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya”. Di sana, ia mengajak komunitas Arab untuk bersatu dan berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Ia juga mengajak masyarakat mereka untuk menganut asas ius soli,

Bersama pengasuh pengajian anak-anak Yogyakarta, 1979

AR Baswedan.indd 34 6/8/12 4:37:52 PM

Page 6: Ahmad Baswedan

35

29 AGUSTUS 2012 GATRA

EDISI KHUSUS HARI KEMERDEKAAN G

ATRA

/ARD

I WID

I YAN

SAH

yang artinya di mana saya lahir, di situlah tanah airku.Di samping tulisan itu, dimuat pula foto A.R. Baswedan

mengenakan blangkon dan baju Jawa. Di bawah potret itu terce­tak: ‘’Di kanan tuan A.R.A. Baswedan, penulis artikel ‘Peranakan Arab dan Totoknya’, yang telah dimuat dalam ‘Matahari’ nomor pertama, dalam artikel itu ia telah menerangkan perasaannya tatkala berpakaian begitu dengan keluarga Soeljoadikoesoemo yang populer di Malang. Apakah foto ini tidak merupakan per­anakan Arab dari generasi yang akan datang?!!!’’

Foto dan tulisan itu menggempar kan masyarakat keturun an Arab. Sebab mengenakan blangkon Jawa dianggap menurunkan harga diri keturunan Arab.

***A.R. Baswedan kemudian me nya lurkan idealismenya

dengan men dirikan Partai Arab Indonesia (PAI) pada 4 Oktober 1934, di usia 36 tahun. Berdirinya PAI ini didahului kongres pemuda Arab di Semarang, yang meng hasilkan Sumpah Pemuda Ke turunan Arab. Ide Baswedan untuk mengajak ke turunan Arab mengakui sebagai bangsa Indonesia lama­ke lamaan mendapat respons positif. PAI lantas menggema dan satu per satu keturunan Arab mulai mengakui sebagai bangsa Indonesia. Strata sosial di antara sesama keturunan Arab mulai pudar dan banyak tokoh Arab yang ikut berjuang untuk Indonesia.

Keberhasilan dan keteguhan usaha A.R. Baswedan untuk mem bangun kesadaran nasionalisme bagi mas ya rakat keturunan Arab di Indonesia diapresiasi sejarawan Anhar Gonggong. Pada

Sumbangan Pada Konstitusi

Pada 1945, A.R. Baswedan diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sanalah segenap pemikirannya tentang keindonesiaan

mendapatkan tempat secara legal formal. Dalam rapat besar Badan Penyelidik yang digelar di Gedung Pejambon, Jakarta Pusat, pada 11 Juli 1945, Ketua Sidang Dr. Rajiman Wedyodiningrat mempersilakan Baswedan angkat bicara.

Pada saat itu, sebagaimana terungkap dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid I (1971) yang disusun Prof. Muhammad Yamin, Baswedan menimpali pidato Oei Tjong Hauw. Ke­tua partai kaum peranakan Tionghoa di Indonesia itu bicara tentang kewarganegaraan keturunan Tionghoa.

Dalam forum itu, Baswedan menegaskan bahwa bangsa Arab sebenarnya tidak ada. Ia juga menjamin bahwa tidak ada keluarga komunitas Hadramaut yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan. Ia sendiri mengaku sehari­hari menggunakan bahasa Jawa Surabaya. “Tetapi, untuk mendidik kebangsaan Indonesia, saya memakai bahasa kebangsaan Indonesia sekarang,” ujarnya.

Ia lalu membeberkan data statistik pada masa itu. Intinya, jika diambil dari garis darah, secara kultural bangsa Arab di Indonesia sudah tidak ada. Secara politik pun, bangsa Arab yang pertama kali datang ke Indonesia tidak ada yang memiliki perlindungan negara lain. “Jadi, sebetulnya sampai sekarang ini benarlah kalau mereka dinamakan

staatloos, tidak punya kerajaan, tidak punya suatu negara,” tutur Baswedan.

Hadramaut sendiri, menurut Baswedan, tidak dikenal dalam pergaulan internasional. Hadramaut diyakini merupakan suatu wilayah di Yaman Selatan, tempat kelahiran orang­orang Hadrami. Kaum Hadrami yang lahir di sana dan merantau ke Nusantara disebut wulaiti. Sedangkan keturunan Hadrami yang lahir di Indonesia, seperti Baswedan, disebut muwalad. Bagi Baswedan, Hadramaut lebih berupa tempat feodalistik karena negaranya pun tidak ada.

Dalam forum itu, Baswedan kemudian mengusulkan agar sis­tem kewarganegaraan Indonesia menggunakan asas ius soli, yakni kewarganegaraan berdasarkan kelahiran. Dalam pidatonya, ia menya­takan: “... semangat agama Islam menentukan bahwa orang yang lahir dan tinggal di suatu tempat, terutama ia menjadi anak negara itu dan ia harus berjuang untuk negara itu, di mana ia hidup dan mendapat rezeki.”

Namun, di sisi lain, Baswedan juga mengusulkan agar komunitas Arab yang lahir di Jazirah Arab dimasukkan pula sebagai warga negara Indonesia. Ia berargumen, dalam Islam, kebangsaan tidak ditentukan berdasarkan keturunan, melainkan tempat ia tinggal.

Dalam pidato itu, secara pribadi ia mengaku memiliki pendirian sebagai seorang nasionalis Indonesia. “Apa sebabnya? Sebab saya seorang Islam, maka saya seorang nasionalis Indonesia. Itu disebabkan oleh riwayat Islam dan riwayat sejarah,” kata Baswedan.

Rita Triana Budiarti

Samhari Baswedan

AR Baswedan.indd 35 6/8/12 4:38:17 PM

Page 7: Ahmad Baswedan

36

GATRA 29 AGUSTUS 2012

TOKOH LINTAS AGAMA PERUMUS INDONESIA

zaman pergerakan nasional me­nuju kemerdekaan, menurut dia, A.R. Baswedan berani berjuang mengha dapi dua hal sulit: Belanda dan diri sen diri. Sebab, pada masa penjajahan itu, Indonesia belum menjadi bangsa mer deka. “Sudah tentu sulit untuk me miliki jiwa nasionalisme dan mengaku diri sebagai bangsa Indonesia, yang belum mendapat kemerdekaan,” kata Anhar.

Ditambah lagi, menurut Anhar, posisi keturunan Arab berada di strata lebih tinggi dibandingkan dengan pri bumi. Saat itu, kesediaan merumuskan dirinya sebagai sesuatu yang baru adalah hal sulit, karena membangsa Indonesia adalah baru. “Karena Jawa, Bugis, dan lainnya dulu juga sebuah bangsa. Itulah yang hebat dari A.R. Baswedan,” tutur Anhar, yang mengenal sosok Baswedan sejak 1968, ketika ia menjadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

PAI, menurut Anhar, me­rupakan sejarah penting Indonesia dalam proses meng indonesia dan menjadi nasionalis tisnya orang Arab. Hal yang juga harus di ga ­risbawahi dari Baswedan adalah pikiran pluralistiknya. “Itu yang penting dalam konteks sekarang dan harus dikembangkan terus,” kata Anhar.

Rita Triana BudiartiKOLE

KSI K

ELUA

RGA

A.R. Baswedan sedang mengikuti sidang BP KNIP di Malang, 1946

AR Baswedan.indd 36 6/8/12 4:38:38 PM