agh. muhammad as'ad (1906 - 1952)

70
Toko h AGH. MUHAMMAD AS'AD (1906 - 1952) Bermula dari Pengajian Halaqoh di Rumahnya Anre Gurutta (AG) H. M. As’ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari Gurutta Ambo Dalle (1900 - 1996), adalah putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah al- Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy. Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun. AG H. M. As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka. Membongkar tempat-tempat Penyembahan Berhala Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang. Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri- santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan

Upload: mbuhapa

Post on 18-Jun-2015

1.431 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Tokoh

AGH. MUHAMMAD AS'AD (1906 - 1952)Bermula dari Pengajian Halaqoh di Rumahnya

Anre Gurutta (AG) H. M. As’ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari Gurutta Ambo Dalle (1900 - 1996), adalah putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy.

Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun. AG H. M. As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya.

Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka.

Membongkar tempat-tempat Penyembahan BerhalaLangkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang.

Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu.

Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M.

Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo.

Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah: 1. Tahdiriyah, 3 tahun 2. Ibtidaiyah, 4 tahun 3. Tsanawiyah, 3 tahun 4. I’dadiyah, 1 tahun 5. Aliyah, 3 tahun Semua kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone.

Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Pengajian khalaqah (pesantren) yang diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Sengkang. Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang. Terus BerkembangSelain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu

Page 2: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang. Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang.

Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah. AG H. M. As’ad berpulang ke rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam usia 45 tahun.

Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan.

Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena jasa-jasa beliau yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As’ad. (Disadur kembali dari berbagai sumber)

Komentar:

jOUL menulis: Anak Satu2nya yg menerima Bintang Maha putra di Istana adalah Guru Besar Saya dan Beliau masih menjadi Imam besar di Masjid Darurrahmah Toddopuli 2 Makassar Sulawesi Selatan

Amirullah Arifin menulis: Insya Allah dng izin Allah SWT, kami senantiasa mendukung Syiar Islam Keseluruh Penjuru Indonesia,, dan Jazakullah kpd Bapak KH. AS'AD, dlm Syiarx yg hari ini kami ttp Istiqomah menjalankanx,,, Amin

Ajah Indra menulis: Al Hamdulillah masih ada kyai yang mau konsisten memerangi bid'ah, kebodohan dan khurafat. Semoga tetap Istiqomah dan 'BARO' dari semua ahli bid'ah. sehingga masyarakat awam tidak samar mana sunnah dan mana bid'ah. karena yang harus dibela dan dibinakan adalah Islam dan Sunnah , bukan organisasi atau tradisi. He.

Budi Ardianto menulis: Aslm, Hanya ingin menyapa,salam kenal saya Budi Ardianto dari Kebumen, semakin menaruh perhatian dengan warga NU, terima kasih. Waslmm

Page 3: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

KH ABDUL WAHID HASYIMSifat Manusiawi Sang Tokoh di Mata KH Syaifuddin Zuhri 28/07/2009

KH. Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 juni 1914 di Tebuireng Jombang. Membidani terbitnya majalah bulanan bernama “Suluh Nahdlatul Ulama” yang diasuh dan dikemudikan dari tengah-tengah Pesantren Tebuireng. Majalah ini menjadi mimbar dan sekaligus menara Nahdlatul Ulama (NU). Melalui penerbitan majalah inilah, KH. Abdul Wahid Hasyim mengakui rasa simpatinya pada karya-karya KH Saifuddin Zuhri yang tersebar di berbagai media NU seperti “Berita NU” di Surabaya, Majalah bulanan “Suara Ansor NU” di Surabaya, Majalah

bulanan “Trompet Pemuda” terbitan Ansor NU Cabang Kudus, Majalah bulanan berbahasa Jawa “Panggugah” diterbitkan Konsulat NU Banyumas dan Mingguan “Pesat” yang berisi berita-berita politik populer di Semarang.

Dari sinilah KH A. Wahid Hasyim kemudian meminta KH Syaifuddin Zuhri untuk menulis dalam “Suluh NU” yang  diasuhnya. Selama hampir 3 kemudian KH Syaifuddin Zuhri secara tetap, membantu menulis dalam “Suluh NU” hingga dilarang terbit oleh pemerintahan militer Jepang pada tahun 1942 M. Awalnya, KH. Abdul Wahid Hasyim berkiprah sebagai Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama pada tingkat Cabang Jombang, kemudian melompat menjadi Ketua Pengurus Pusat Ma’arif NU dan berkantor di Surabaya. Dalam

Mengenalnya dari DekatSemenjak berkenalan, KH Syaifuddin Zuhri sering sekali menyertai KH. A Wahid Hasyim dalam perjalanan perjuangan, menghadiri pertemuan politik, mengunjungi tokoh-tokoh ulama dan pemimpin pemimpin ormas dan lain sebagainya.

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A. Wahid Hasyim juga kemudain duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).

Hampir seluruh kota-kota di pulau Jawa mereka singgahi salama zaman  pendudukan militer Jepang dan zaman  Revolusi fisik (1945-1949), baik untuk urusan politik maupun pertahanan TAir selama perang kemerdekaan.

Selama kurang lebih 14 tahun KH Syaifuddin Zuhri memperoleh kesempatan untuk mengenal lebih dekat KH A. Wahid Hasyim. Sehingga KH A. Wahid Hasyim telah memberi bekas mendalam bagi pertumbuhan karakternya sebagai seorang pemuda yang berusia sekitar 25 tahun.

Perkenalan ini terus berjalan hingga 5 hari sebelum KH A. Wahid Hasyim wafat pada tanggal 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Wafat ketika sedang malakukan tugas selaku Ketua Umum Pengurus Besar NU (partai politik yang berusia 2 tahun setelah memisahkan diri dari partai Masyumi).

Musibah itu terjadi tatkala KH A. Wahid Hasyim mengalami kecelakan mobil di desa Cimindi dekat Cimahi Bandung dalam perjalanan menuju ke Sumedang. Pada hari wafatnya KH A. Wahid Hasyim telah lebih dari 7 tahun menjalani puasa sepanjang tahun, kecuali pada hari-hari yang dilarang oleh Islam untuk menjalani puasa (Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Tasriq)

Makanan dan PakaianKH A. Wahid Hasyim termasuk orang besar yang tidak pernah menyusahkan diri maupun orang lain dalam masalah makanan. Tentang makanan Nabi Besar Muhammad SAW bersabda, ”Kami adalah golongan orang-orang yang makan bila merasa lapar dan jika makan pun tidak sampai kenyang.”

Page 4: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Jika kebetulan dalam perjalanan KH A. Wahid Hasyim harus makan dalam sebuah restoran dan memesan berbagai jenis makanan ”kelas berat” aneka ragam, maka tujuannya hanyalah untuk menyenangkan teman dalam perjalanan. Termasuk bila di rumah, hanyalah untuk menghormati tamu saja.

Pada suatu hari KH Syaifuddin Zuhri menyertai KH A. Wahid Hasyim dalam suatu perjalanan perjuangan ke daerah Jawa Barat. Seharian penuh keduanya disibukkan dengan acara-acara yang sangat padat, sekalipun demikian, KH A. Wahid Hasyim tetap berpuasa (sunnat). Ketika tiba di hotel, waktu sahur telah datang, sementara KH Syaifuddin Zuhri baru menyadari kelengahannya. KH Syaifuddin Zuhri lupa menyediakan santapan sahur bagi KH A. Wahid Hasyim.

Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas teh bagian KH Syaifuddin Zuhri ketika sore. Dengan sebutir telur dan segelas teh itulah KH A. Wahid Hasyim bersahur. Padahal bila KH A. Wahid Hasyim mau lebih dari itu, KH Syaifuddin Zuhri masih bisa membelikannya di sebuah warung dekat hotel yang masih melayani para pembeli. Di sana masih bisa dipesan nasi goreng, sate ayam, gado-gado dan sebagainya.

Namun KH A. Wahid Hasyim tidak memperdulikan tawaran KH Syaifuddin Zuhri. Jawaban KH A. Wahid Hasyim hanya, ”Ah besok toh lapar juga sepanjang hari.” Sebutir telur itu bahkan hendak dibagi dengan KH Syaifuddin Zuhri, demi ”keadilan Sosial” katanya. Tetapi tentu saja KH Syaifuddin Zuhri tolak, toh KH Syaifuddin Zuhri tidak selalu puasa sunnat serutin KH A. Wahid Hasyim. Sambil menyelesaikan sebutir telur yang satu-satunya untuk sahur itu KH A. Wahid Hasyim berucap, ”Kita berlapar-lapar supaya tidak melupakan nasib kaum lapar,” yang dimaksud adalah pada hari kiamat kelak.

Sementara dalam hal berpakaian, KH A. Wahid Hasyim berpendirian, tidak asal berpakaian! Itu sebabnya KH A. Wahid Hasyim selalu berpenampilan necis dan harmonis. Di kalangan yang mengerti seni berpakaian ,K.H.A Wahid Hasyim termasuk bergolongan well dressed selalu rapih dalam berpakaian. Kualitas maupun warna baju, kemeja, dasi, celana, hingga sepatu dan kaos kaki selalu serasi, sedap dipandang. Begitu pula jika mengenakan kain sarung, kombinasi antara baju kemeja dan sarungnya mempunyai daya pikat dan mendatangkan rasa hormat. Warna-warna pakaian yang menjadi kegemarannya selamanya kalem, meskipun sesekali ada variast, namun tidak menimbulkan ‘kejutan’. Pernah KH Syaifuddin Zuhri menanyakan tentang ”falsafat” berpakaiannya, maka jawabannya adalah, ”Tugas kita menjalankan misi perjuangan ini adalah untuk menarik simpati orang banyak. Jika mereka belum tertarik pada ide atau gagasan kita, biarlah sekurang-kurangnya mereka tertarik pada kepribadian kita. Nah, berpakaian yang menyenangkan dalam pandangan orang, akan menimbulkan kesan mengenai kepribadian kita,” terang KH A. Wahid Hasyim.

KH A. Wahid Hasyim berpakaian dengan disertai cita rasa dan daya insting yang begitu kuat. KH A. Wahid Hasyim tahu benar mengenai kecocokan antara situasi dan keserasianpakaiannya. Mengerti tentang menggunakan setelan celana, dan setelan sarung dalam waktu yang tepat.    Pada suatu hari KH A. Wahid Hayim diundang Bung Karno ke Istana Presiden di Yogyakarta. Di sana telah berkumpul Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus salim, Mr. Muhammad Yamin, dan tokoh nasional lainnya. Perundingan politik sedang berlangsung berhubung atau situasi tanah air. Tiba di Istana Presiden, KH A. Wahid Hasyim langsung bercengkrama dengan yang tengah menantikan kedatangannya. Sedangkan KH Syaifuddin Zuhri yang mendampinginya duduk bersama para ajudan dan pengawal dalam jarak 20 meter. Tiap kali KH A. Wahid Hasyim mengemukakan pendapatnya dalam diskusi, maka para pejabat tinggi negara itu tergelak tertawa sebagai tanda persetujuan dalam suasana gembira.    Setelah kira-kira satu jam, pertemuan para pemimpin itu pun usai. KH A. Wahid Hasyim cepat-cepat meninggalkan mereka, meskipun tampaknya para koleganya ini masih

Page 5: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

hendak menahan agar bisa bercengkerama lebih lama lagi. Terasa adanya suasana kangen antara satu dengan lainnya. Tetapi KH A. Wahid Hasyim cepat-cepat menuju mobilnya. Dalam mobil KH Syaifuddin Zuhri menanyakan, mengapa menghadiri pertemuan tingkat tinggi itu, KH A. Wahid Hasyim cuma mengenakan sarung saja? Maka KH A. Wahid Hasyim menjawab, ”Kedatangn saya bukan karena atas keinginan saya, melainkan atas permintaan mereka. Buat mereka tidak menjadi persoalan pakaian yang saya kenakan. Kecuali itu saya sengaja memakai sarung untuk mengangkat harkat kaum bersarung!” Kemudian  KH A. Wahid Hasyim menyambung pernyataannya, ”Para kyai kadang-kadang tidak dihargai oleh mereka yang sok intilektual hanya karena sarungnya. Padahal lihatlah, Ki Sarmidi Mangunsarkoro selalu mengenakan sarung, padahal beliau menteri P dan K!” tandas KH A. Wahid Hasyim.

Membaca BukuKH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato. Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.

Meskipun tidak pernah sekolah formal di bangku sekolah pemerintah Belanda, sejak dari tingkat dasar sekalipun, namun KH A. Wahid Hasyim telah mulai belajar menulis dan membaca huruf latin sejak dini secara self studie. Dari cara belajar non formal inilah KH A. Wahid Hasyim mampu mempelajari berbagai buku dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Menurut cerita yang dituturkan kepada KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim merupakan pelanggan tetap sebuah perpustakaan di kota Surabaya. Tidak seperti orang kebanyakan yang datang keperpustakaan dengan memilih judul yang telah disiapkan dari rumahnya, KH A. Wahid Hasyim membaca buku apa saja tanpa memilih judul. Mengambil secara berurutan, buku-buku yang tersusun di rak hingga seluruh buku habis dibacanya. Karenanya, tidaklah mengherankan jika KH A. Wahid Hasyim mengetahui pengetahuan umum di bidang sejarah, pengetahuan alam, filsafat, politik, ekonomi, seni budaya, dan lain-lainnya.

KH A. Wahid Hasyim mengkritik orang-orang terpelajar yang tidak peka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Menurut KH A. Wahid Hasyim, mereka hanya bisa membaca buku-buku kecil dalam huruf-huruf kecil a-b-c-d atau alif-ba-ta-tsa, tetapi tidak bisa membaca buku-buku besar dengan huruf-huruf besar. Yang dimaksudkan di sini adalah kebanyakan orang pandai tidak mampu membaca tanda-tanda (fenomena) yang sedang bergejolak dalam masyarakat.

Dalam memori KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim menganggap bahwa membaca sejarah amatlah penting, tetapi jauh lebih penting lagi adalah membuat sejarah itu sendiri, atau setidak-tidaknya ikut membuat sejarah.

Bagi KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim telah membuktikan anggapannya ini. KH A. Wahid Hasyim telah terlibat dalam serangkaian tokoh-tokoh yang menjadi ujung sejarah kelahiran Indonesia bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA Maramis, Mr. Muhammad Yamin, Abikousno Cokrosuyoso dan KH. Abdulkahar Muzakkir dalam menyusun Jakarta Charter tertanggal 22 juni 1945 yang akhirnya manjelma menjadi pembukaan UUD 1945.

Pendidikan Agama

Pendidikan agama KH A. Wahid Hasyim diperoleh secara langsung dari asuhan ayahandanya, KH Hasyim Asy’ari, ulama terbesar Jawa pada zamannya. Lingkungan Pesantren Tebuireng dengan sendirinya merupakan faktor yang sangat penting di dalam menempa jiwa dan semangat KH A. Wahid Hasyim. Kecerdasan otaknya sangat menolongnya dalam mengembangkan jiwa kritis yang mendambakan kemajuan.

Sekedar contoh, konon sewaktu masih kanak-kanak, KH A. Wahid Hasyim gemar bermain main di halaman Masjid, dekat serambi tempat ayahandanya mengajar para

Page 6: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

santri. Meskipun tampaknya perhatian KH A. Wahid Hasyim kala itu hanya terpusat pada permainannya bersama teman-temannya, namun uraian kata sang ayah yang tengah mengajar itu dapat ditirukan serta merta sambil asik bermain-main.

KH A. Wahid Hasyim kecil mulai belajar bahasa Belanda sambil asyik bermain main dengan teman-temannya. Daya tangkap serta kecerdasan menjadikannya mudah mempelajari bahasa Belanda. Bukan saja”berguru” kepada Imam Sukarlan (guru prifatnya), namun KH A. Wahid Hasyim juga berguru kepada santri-santri lain yang mahir berbahasa Bseperti Abdul Aziz Diyar yang merangkap guru juga sebagai di Pesantren Tebuireng.

Menginjak usia sekitar 20-an tahun, KH A. Wahid Hasyim telah mulai sering membantu KH Hasyim Asy’ari menyiapkan kurikulum dalam pesantren dan menjawab surat-surat ayahandanya dalam bahasa Arab. Surat-surat ini banyak diterima dari para ulama di berbagai pelosok tanah air yang menanyakan beberapa masalah hukum Islam aktual yang sedang menjadi topik hanyag di masyarakat. Namanya mulai dikenal masyarakat seiring seringnya KH A. Wahid Hasyim mewakili ayahandanya menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah maupun ceramah-ceramah atas undangan pesantren-pesantren di daerah lain.

Kegemarannya KH A. Wahid Hasyim adalah menelaah kitab-kitab agama di bidang fikih, akidah, tafsir, tasawuf, serta buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Di tengah kesibukannya sebagai seorang pemimpin tingkat nasional, yang hari-harinya dipenuh dengan acara-acara  politik dan perjuangan, namun bila tiba waktunya menghafal Al-Qur’an maka disisipkanlah waktu beberapa menit untuk menghafal Al-Qur’an. Bahkan saat sedang menghadiri sidang kabinet atau sedang menyetir mobil sekalipun.

Watak Mulia dan SederhanaKH A. Wahid Hasyim telah memiliki sifat mulia sejak kecilnya. Sikap mulia dan sederhana ini tetap disandangnya hingga dirinya telah menjadi menteri negara. KH A. Wahid Hasyim tetap menulis surat-surat yang diketik sendiri kepada teman-temannya, baik yang masih sering berjumpa, apalagi yang sudah jarang bersua. Surat-suratnya biasanya berisi anjuran mempererat tali persaudaraan, paparan perkembangan masyarakat dan menasehatkan cara-cara menghadapi situasi terkini.

Surat-surat yang datang dari teman-teman maupun orang yang tak dikenalnya, selalu diperhatikan dan dijawab seperlunya. Diceritakan dalam suatu surat, si pengirim menyatakan dirinya adalah seorang petani miskin yang diperlakukan tidak adil oleh pamong desanya. KH A. Wahid Hasyim sangat antusias menerima surat dari orang yang tak dikenal itu, diambulnya mesin ketik dan seketika itu pula ditulis jawabannya dengan pendek.

”Surat Saudara sangat mengharukan saya. Harap dimaafkan, bahwa pada saat inii saya belum sempat membalas surat Saudara. Insya Allah saya akan perhatikan benar-benar. Bahkan saya berpikir akan datang kepada Saudara untuk turut memecahkan persoalan Saudara. Wassalam”

Benar juga, di hari lain KH A. Wahid Hasyim datang ke daerah Kediri untuk menjumpai si pengirim surat dan lalu datang kepada camat di daerahnya untuk mencari jalan penyelesaiannnya. Akhirnya masalah si pengirim surat dapat dipecahkan.

Sudah menjadi kebiasaan KH A. Wahid Hasyim, bila berkunjung kepada seorang teman, selalu membawa oleh-oleh, baik berupa buah-buahan maupun sebungkus kue dan rokok bila seorang yang dikunjungi adalah seorang perokok, meskipun KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak merokok. Di dalam sakunya selau ada korek api untuk memberi api teman bicaranya yang hendak merokok.    Pada suatu hari, KH A. Wahid Hasyim bertandang ke rumah KH Syaifuddin Zuhri. Seperti biasa jika KH A. Wahid Hasyim datang, maka kawan-kawan dan keluarga KH Syaifuddin Zuhri pun ikut mengerumuninya. Setelah orang-orang bubar untuk memberi kesempatan KH A. Wahid Hasyim beristirahat. KH Syaifuddin Zuhri pun menyiapkan kamar tidurnya untuk bermalam.

Page 7: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Sementara KH Syaifuddin Zuhri dan istrinya menyiapkan kamar tidur untuk tamunya ini, rupanya KH A. Wahid Hasyim justru asyik membersihkan meja yang terserak-serak, gelas-gelas bekas minuman dan puntung-puntung rokok yang ditinggalkan oleh para pengerumun sebentar tadi. KH A. Wahid Hasyim merapikan meja dan kursi dari asbak tempat menaruh bekas punting rokok. Sudah tentu KH Syaifuddin Zuhri amat terperanjat dan mencoba mencegah agar KH A. Wahid Hasyim tidak usah mengerjakan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh tuan rumah. Namun pada saat itu justru KH A. Wahid Hasyim menjawab dalam bahasa Arab, ”Khalash,” (sudah selesai).

Menurut KH A. Wahid Hasyim, ”Orang-orang tua tidak usah dilihat dari ilmu maupun kedudukannya, dari segi usia saja, orang yang lebih muda wajib memuliakannya.

Dalam kamus KH A. Wahid Hasyim, cara menghadapi kesombongan bukanlah dengan bersikap rendah hati. Menurut KH A. Wahid Hasyim orang-orang sombong dan angkuh hanya mengenal satu bahasa, yakni kesombongan. Mereka tidak mengenal rendah hati dan mengalah. ”Kita tidak usah menyombong, karena terkena najis tidak boleh dibersihkan air najis! kepada mereka harus kita perlihatkan bahwa diri kita adalah kuat dan sanggup mengalahkannya. Orang sombong maupun zalim harus ditolong.” Cara menolong orang sombong yang baiasa dipilih oleh KH A. Wahid Hasyim adalah dengan menyetop atau mencegah agar seseorang tidak sombong atau dzalim lagi.

Profil Seorang Pendidik, Ulama, dan Negarawan

Sebagai seorang pendidik KH A. Wahid Hasyim termasuk seorang pembaharu dalam lingkungan madrasah dan pesantren. Bagi KH A. Wahid Hasyim, metode sekolah dapat diterapkan dalam pembaharuan madrasah dan pesantren tanpa menghilangkan kepribadian yang menjadi ciri khas madrasah dan pesantren. Pembaharuannya dilakukan secara bijaksana dengan menanamkan pengertian serta kesadaran tentang arti penting pengoganiasaian (manajemen) yang baik. Pesanten sebagai dunia santri berbeda dengan perguruan tinggi atau sekolahan.Pesantren juga bukan sekedar asrama pelajar.

Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan serta kader vorming  yang telah mempunayi tradisi tersendiri. Pesantren inilah yang menimbulkan salah satu inspirasi bagi Ki Hajar Dewantara tatkala mencetuskan idenya membangun Perguruan Taman Siswa.

KH A. Wahid Hasyim senantiasa mengembangkan ide-ide pembaharuan pesantren dan madradsah melalui pendekatan kepada sahabat-sahabatnya dekatnya seperti KH.Hamid pemimpin Pesantern Termas Pacitan, KH Zarkasyi pemimpin Pesantren Gontor Ponorogo, KH. Ali Maskum pemimpin Pesantren Krapyak, Yogyakarta, KH Ajengan Ruhiyat pemimpin Pesantren Cipasung Tasikmalaya, KH Ali Mansur pemimpin Pesantren Lirboyo Kediri, KH R. As’ad pemimpin Pesantren Asembagus ,Situbonbo, dan lain-lain.

KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak sependapat dengan adanya bantuan keuangan dari pemerintah. Menurut KH A. Wahid Hasyim bantuan pemerintah justru akan menempatkan pesantren ke arah ketergantungan maupun merasa berhutang budi kepada pemerintah, baik secara terang-terangan maupun terselubung. KH A. Wahid Hasyim mengharapkan, pesantren dapat tumbuh dengan tetap berdikari, seperti tradisinya semenjak berabad-abad. Karena itulah, pada zaman kolonial Belanda, Tebuireng tidak pernah bersedia menerima subsidi dari pemerintah, meskipum sekolah-sekolah Muhammadiyah justru menerimanya dengan antusias. Pada zamannya, sikap Tebuireng ini merupakan pola panutan bagi seluruh pesantren yang berafiliasi kepada NU.

Perjuangan di zaman  Kolonial Belanda dan Jepang

Sebagai seorang tokoh Nahdlatul Ulama maka KH A. Wahid Hasyim bersikap anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan, KH A. Wahid Hasyim bersama tokoh-tokoh lain dalam NU, mempoerjuangkan hapusnya subsidi pemerintah kolonial kepada sekolah-sekolah Islam, memperjuangkaan keringanan beban-beban pembiayayan bagi para jamaah calon Haji di pulau Onrust dan sebagainya.

Page 8: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Penghapusan biaya korban penyembelihan korban pada Hari Raya Idul Adha, menuntut kepada pemerintah agar para pejabat yang diangkat dalam kedudukan-kedudukan pada kantor-kantor Kepenghuluan/Qadhi dipilih dari orang-orang yang memiliki standar pengetahuan hukum Islam dan akhlak Islam dan lain-lain.

Atas dorongan K.H. Mahfudz Shiddiq Ketua Umum PBNU yang dipilih selama 4 kali kongres (Orang kuat dalam NU), maka pada tahun 1939 KH A.Wahid Hasyim dipilih menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr. Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.

Selama zaman  kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Oleh karena KH Hasyim Asy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945)

Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman  Jepang ialah, mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman  Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim, dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segala yang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.

Perjuangan di Zaman  Revolusi Indonesia

Meskipun KH A. Wahid Hasyim sudah menjadi menteri sejak dalam kabinet pertama dan menjadi menteri pula di kabinet-kabinet sesudahnya, namun Beliau tidak melepaskan kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Adalah menjadi pendirianya yang tak tergoyahkan: tanpa seorang masyarakat seorang menteri tidak ada artinya dalam arti perjuangan dan pengabdian masyarakat.

Republik Indonesia yang mendapat pukulan-pukulan dari Nica yang hendak menegakkan kembali penjajahan Belanda atas bekas jajahannya, menyebabkan perlunya penggalangan Umat Islam Indonesia dalam satu kekuatan. Maka lahirlah Partai Politik Islam ”Masyumi” dalam suatu Kongres yang diselengarakan di Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta, pada November 1945. Nama Masyumi dipergunakan hanya sekedar nama, bukan dalam arti ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” seperti ketika masih di zaman  Jepang.

Partai Masyumi dipimpin oleh dr. Sukiman, sedang pimpinan Majelis Syuro-nya dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah selaku Wakilnya. Adapun KH A.Wahid Hasyim memegang jabatan Ketua Dewan Pertahanan Partai yang langsung memimpin Markas Tertinggi ”Hizbullah”, yang diketuai oleh Zainul Arifin dan Markas Tertinggi ”Barisan Sabillah” yang diketuai oleh KH. Masykur. Berhubung

Page 9: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

tugasnya di dalam partai ”Masyumi” yang membidani politik pertahanan (kemiliteran), maka KH A.Wahid Hasyim diangkat oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi penasehat pribadinya.

Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.

Ketika NU merasa sering dirugikan akibat mekanisme demokrasi yang timpang dalam Partai Masyumi, maka NU menginginkan berpisah dari Masyumi. Sebagian golongan yang mempunyai andil besar sering diabaikan aspirasinya disebabkan pimpinan politik lebih condong pada permainan otoriter berdasarkan klik sistem atau”konco-isme”. Kaum politisi sering mengabaikan pertimbangan Ulama padahal masalahnya menyangkut nilai Agama. NU berusaha memperbaiki ketimbangan yang terjadi di dalam Partai Masyumi, terutama ketika partai tersebut berada di bawah pimpinan Muhammad Natsir dengan grup elit politisi golongannya. Selama 4-5 tahun usaha NU mengadakan usaha-usaha dari dalam, tetapi tidak berhasil. Karena tidak ada jalan lain maka koreksi NU ditingkatkan.

Atas prakarsa KH A.Wahid Hasyim, Nahdlatul Ulama mendirikan Biro Pilitik yang bertugas melakukan perundingan dengan pihak Partai Masyumi untuk mencari jalan islah menuju mekanisme demokrasi secara sehat. Usaha ini pun mengalami kegagalan. Maka pada tahun 1950 dalan Kongres NU di Jakarta, Kongres memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi. Namun pelaksanaannya ditangguhkan untuk sementara waktu agar memberi kesempatan kepada Partai Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi NU.

Bagi NU, Partai Masyumi terlalu mengandalkan kekuatan grup elita politisinya, mengira bahwa Masyumi telah begitu kuat hingga memandang kecil terhadap kekuatan dan pengaruh NU. Tahun 1952 NU melangsungkan Kongres di Palembang, dr. Sukiman selaku ketua Partai Masyumi hadir dalam kongres itu atas undangan NU. Acara terpenting dalam kongres ialah: apakah NU tetap di dalam Masyumi atau keluar. Akhirnya kongres memutuskan NU menjelma menjadi partai politik sendiri lepas dari Partai Masyumi. Kongres juga memilih KH A.Wahid Hasyim menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Partai NU.

Sifat-sifat yang MenonjolSebagai pejuang KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang gigih mempertahankan prinsip, tetapi toleran, pantang menyerah dan tidak mengenal putus asa. Di kalangan para pemimpin, KH A. Wahid Hasyim terpuji keberaniannya atas perhitungan matang menimbulkan rasa hormat di kalangan lawan sekalipun. Menjadi kawan baik dari Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Sukiman, Pak Dirman, Bung tomo, Sungkono, Sukarno. Khoirul saleh, BM Diah, Jamaludin Malik, Anwar Cokroaminoto, Sidik Joyosukarto, dan segudang orang-orang terkemuka lainnya. Meskipun demikian, KH A. Wahid Hasyim sanggup berjam-jam mengobrol denga para supir, kondektur kereta api, dan montir di bengkel.

Tergolong orang berada (kekayaannya jangan dibandingkan dengan orang-orang kaya zaman kini), KH A. Wahid Hasyim seorang dermawan dan memiliki jiwa sosial tinggi, terutama orang-orang yang sedang dirundung kesusahan. Kewafatannya dalam syahid meninggal dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.

KH A. Wahid Hasyim sering menyatakan kepada orang-orang yang di dekatnya, ”Berusahalah mempunyai keuangan yang stabil, maka saudara akan hidup tanpa menyandarkan bantuan orang lain yang akan manjadikan saudara bisa dibeli dan akhirnya saudara haya menjadi seorang boneka dan alat orang lain saja.”

Page 10: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Demikian sekelumit saduran mengenai KH A. Wahid Hasyim yang dicatat oleh KH Syaifuddin Zuhri. Catatan-catatan ini banyak dirilis oleh KH Syaifuddin Zuhri dalam beragam edisi, seperti Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Kaleidoskop Politik di Indonesia. (Di sadur kembali oleh Syaifullah Amin)

Komentar:

agus ramadhan,universitas sunan giri surabaya menulis: kebesaran tokoh kita ini jauh-jauh hari sudah di prediksi oleh banyak orang,.salah satu alasannya adalah ketika beliau masih jabang bayi di bawalah beliau oleh sang ayah dan ibu menghadap sang guru tercintanya yaitu allamah syaikh Cholil yang konon terkenal kewaliannya,..dan sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa sang wali ini selalu bertingkah laku aneh bila kasyafnya melihat hal-hal luar biasa,pun begitu ketika ketika sang murid bersama sang istri dan anaknya yang masih jabang bayi menghadap tuk meminta doa berkah,waktu yang sedang hujan ketika mereka sowan malah tidak boleh berteduh ke rumah sang syaikh,..dan akhirnya sang bayi yang masih jabang bayi itupun kehujanan,tapi sang santri beserta istri yang sudah tahu tentang kekeramatan gurunya hanya menurut saja,dan inilah mungkin yang oleh orang2 yang tahu kejadian ketika itu di jadilah sebagai pertanda klak sang bayi akan menjadi orang besar,dan sejarah akhirnyapun mencatat dengan tinta emas tentang kebenaran hal tersebut.

Page 11: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

KH NUR AHMADUsulnya untuk Mengubah Waktu Haji Diterima Pemerintah Saudi Arabia 10/06/2009

Meski hampir setiap menjelang pelaksanaan puasa Ramadlan, Idul Fitri, dan Idul Adha umat Islam ribut dalam menentukan tanggalnya, namun rupanya tidaklah banyak ulama yang berkhidmah terhadap ilmu falak, ilmu tentang ilmu penanggalan. Dan di antara ulama khos yang sedikit ini adalah KH Nur Ahmad dari Jepara. Pada era KH Abdurrahman Wahid memimpin Nahdlatul Ulama, KH Nur Ahmad adalah perwakilan dari propinsi Jawa Tengah untuk Lajnah Falakiyah PBNU.

Terlahir di Robayan, Jepara pada tahun 1930 Nur Ahmad memulai pendidikannya di kampung halamannya sendiri, sebelum ia kemudian bersekolah ke Madrasah Taswiquth Thullab (TBS) Kudus. Selama belajar di TBS memang belum nampak keahliannya sebagai santri yang hebat. Namun selama belajar di TBS inilah Nur Ahmad mulai berkenalan dengan pelajaran falak dan berguru secara pribadi (sorogan) kepada KH Turaichan Kudus dengan memakai rubu’ (alat ukur berbentuk seperempat lingkaran) dan metode logaritma. Nur Ahmad belajar privat (sorogan) falak karena ia menyukai matematika.

Menurut penuturannya, Nur Ahmad menekuni pelajaran falak ketika duduk di bangku  tsanawiyah TBS (SMP). Tingkatan tertinggi, karena waktu itu belum ada tingkat Aliyah (SMU). Waktu itu di Jepara, madrasah setingkat SMP pun belum ada. Di rumah, Nur Ahmad belajar mencocokkan arloji. Karena terlalu sering diubah-ubah, maka arlojinya pun sering rusak.

Selama di Madrasah TBS Kudus, Nur Ahmad belajar ilmu falak menggunakan kitab falak karangan Kiai Mawardi Solo. Nur Ahmad menyalinnya dengan memakai tinta tutul. Yakni berupa alat tulis yang terdiri dari batang lidi aren lancip dengan tinta cair dalam botol. Memang demikianlah alat tulis para santri pada zaman itu. Alat ini memiliki keistimewaan awet, tahan lama dan tidak pudar. Sehingga, meski sekarang telah ada bolpoint yang praktis, namun banyak santri masih menggunakannya sebagai alat tulis sampai saat ini. 

Karena ketertarikannya pada pelajaran falak, Nur Ahmad tidak puas hanya belajar kepada satu guru saja, melainkan ia juga belajar falak secara sorogan (privat) kepada beberapa ulama di Kudus seperti kepada Kiai Rif’an Kudus. Keistimewaan cara belajar Nur Ahmad kepada Kiai Turaichan adalah, ia belajar langsung tanpa memakai kitab panduan. Tanpa kitab, sekali belajar harus langsung bisa.

Nur Ahmad memiliki jadwal rutin dengan Kiai Turaichan. Pernah, pada suatu ketika tidak dapat memenuhi jadwal hingga molor sampai kira-kira sebulan. Maka Nur Ahmad tidak berani kembali hingga ia bisa menguasai pelajaran selanjutnya. Dan ketika tiba ia kembali mengaji kepada Kiai Turaichan, maka dia ditanya, ”gimana kamu Nur?” Dan Nur Ahmad hanya menjawab, ”Sudah bisa Kiai”. Dan Kiai Turaichan pun melanjutkan pelajarannya.

Setelah menamatkan pendidikannya di Kudus, Nur Ahmad remaja kemudian berkelana ke pesantren-pesantren lain di Jawa. Di antaranya adalah ke Tebuireng, Jombang, ke Salatiga, ke Rembang, ke Lasem, dan ke Langitan, Tuban.

Perjalanannya menuntut ilmu falak ini dilakukan setelah mendapatkan restu dari gurunya, KH Turaichan. Yakni setelah Nur Ahmad dianggap telah cukup menguasai dasar-dasar falakiyah dan membutuhkan bersilaturrahim (mengaji) kepada guru-guru lain. Dari sinilah Nur Ahmad menguasai banyak metode falakiyah dan mempelajari banyak kitab-kitab falak seperti Hikmatul Wasaid dan Kurotul wafiyah.

Selama di Salatiga, Nur Ahmad belajar kepada Kiai Zubair, pengarang Khulasotul Wafiyah), dan di pesantren Widang Langitan, Nur Ahmad mengaji kepada Kiai Abdul Hadi dan akrab dengan Kiai Faqih Langitan yang merupakan teman satu angkatannya. 

Page 12: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Namun selama mengembara ke beberapa Kiai ini, Nur Ahmad selalu menyempatkan diri untuk mengaji kepada guru pertamanya, KH Turaichan di Kudus. Sehingga Nur Ahmad merupakan salah satu santri kesayangan sang maestro falak ini. 

Selain belajar secara jasmaniah/teknis, Nur Ahmad juga diperintahkan oleh gurunya, KH Turaichan untuk berguru secara ruhaniah. Cara berguru yang kedua ini berupa perjalanan ziarah kepada para ulama ahli falak yang telah wafat. Nur Ahmad sering mendapat perintah, untuk berziarah ke makam-makam ulama falak. Seperti ke pesarean (makam) Raden Dahlan, Semarang, seorang ulama ahli falak pada zamannya, Kiai Maksum Seblak, Jombang dan Asy’ari Bawean.

”Jika kamu ingin menguasai falak, berziarahlah kepada Kiai Ma’sum Jombang. Ber-hadharah (mengirim doa) kepada banyak Kiai, agar barokah,” kata Kiai Turaichan kepada muridnya ini. 

Setelah sekian lama belajar kepada Kia Turaichan, Nur Ahmad pun kemudian muncul sebagai salah satu ulama ahli falak di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Awalnya, sang guru, Kiai Turaichan Adjhuri es-Syarofi Kudus, sebagai ketua Markas penanggalan Jawa Tengah, diminta sebagai anggota Lajnah Falakiyah di PBNU dari perwakilan Jawa Tengah, tetapi tidak berkenan. Lalu Kiai Turaichan diminta untuk menunjuk perwakilannya. Maka sang guru ini pun menunjuk Kiai Nur Ahmad Jepara yang merupakan muridnya, sebagai wakilnya di Lajnah Falakiyah PBNU. Peristiwa ini ini terjadi pada tahun 1969. Maka jadilah KH Nur Ahmad sebagai salah satu pengurus Lajnah Falakiyah PBNU.

Mengubah Haji Akbar

Salah satu alasan, mengapa Nur Ahmad merupakan salah satu di antara para ulama ahli falak yang diperhitungkan adalah prestasinya mengubah keputusan pemerintah Saudi Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988.

Waktu itu, pemerintah Saudi Arabia berkeras ingin menentukan hari waktu wukuf haji menurut kehendaknya sendiri. Yakni dipaskan pada hari Jumuah (Jum’at), agar dapat menjadi momentum Haji Akbar. Pemerintah Saudai Arabiyah berusaha merekayasa agar wukuf pada musim haji kali ini dapat dilaksanakan pada hari Jumuah, sehingga dapat dianggap menjadi Haji Akbar.

Melihat gelagat ini, PBNU yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid pun secara resmi mengutus KH Nur Ahmad untuk meluruskan kesalahan pemerintah Saudi Arabia. Maka Nur Ahmad pun berada dalam rombongan haji para pengurus PBNU.

Di Makkah, KH Nur Ahmad kemudian membuat penuturan tertulis dalam bahasa Arab bahwa klaim Saudi Arabiya adalah salah. KH Nur Ahmad menyertakan berbagai pandangan hingga setebal delapan belas lembar. Penuturan KH Nur Ahmad ini kemudian dikirim ke beberapa pihak, termasuk pemerintah kerajaan Saudi Arabia dan Kedutaan Indonesia di sana.

Dalam penuturan tertulisnya ini, Nur Ahmad mendasarkan hitungannya pada perbedaan awal Dzulqo’dah. Yakni dengan menggenapkan bulan Syawal menjadi tiga puluh hari, karena bulan Ramadhan sebelumnya, hanya berjumlah dua puluh sembilan hari. Karena tidaklah mungkin terdapat penanggalan hijriyah dengan 29 hari dalam tiga bulan berturut-turut.  Selain itu, sebagai utusan PBNU, KH Nur Ahmad mengumpulkan orang-orang Indonesia yang bermukim di Makkah, untuk move/pressure politik. Kepada mereka KH Nur Ahmad berpesan, jika benar Kerajaan Saudi Arabia tetap memutuskan dan mengumumkan bahwa wukuf jatuh pada hari Jumuah, maka mereka harus tetap melaksanakan wukuf pada hari Sabtu. ”Tolong pinjami saya mobil dan sopirnya, nanti kalian ikut di dalamnya. Kita tetap akan wukuf pada hari sabtu,” kata Nur Ahmad kepada para mukimin tersebut, yang sebenarnya adalah para tetangganya dari demak, Lasem dan sekitarnya.

Page 13: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Akhirnya, pemerintah Saudi Arabia bersedia merubahnya pendiriannya dan jadilah akhirnya wukuf bersama-sama pada hari Sabtu. Untuk memastikan perubahan sikap pemerintah saudi Arabia ini, Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid pun menyusul ke Saudi Arabia.

”Dianggapnya pada waktu itu ahli falak di NU hanya Nur Ahmad Jepara saja. Padahal Nur Ahmad hanyalah Murid Kiai Turaichan Kudus saja.” katanya KH Nur Ahmad merendah.

Syamsul Hilal

KH Nur Ahmad ini pulalah yang merupakan ”saksi ahli” dalam kejadian penolakan melihat gerhana matahari secara langsung dengan mata telanjang, yang tetapkan oleh pemerintah. KH Nur Ahmad tentu tidak kaget ketika perintah keluar masjid dan melihat gerhana secara langsung dikeluarkan oleh gurunya dari atas mimbar khutbah gerhana. Bagaimana pun juga Nur Ahmad telah mengetahui sebelumnya, karenya dirinya merupakan orang yang sangat intens diajak berdiskusi oleh gurunya untuk urusan falakiyah.

Untuk mengukur sejauh mana kualitas keilmuan Nur Ahmad, dapatlah diukur dari kedekatannya dengan gurunya. Karena kepercayaan Kiai Turaichan kepada Nur Ahmad, maka ia sering diajak langsung untuk menemui tamu-tamu penting membicarakan urusan falakiyah, atau ketrlibatannya sebagai wakil Kiai Turaichan untuk urusan-urusan falakiyah.

Salah satu yang cukup membuatnya terkesan adalah ketika gurunya, KH Turaichan didatangi oleh seorang tamu bernama Sa’duddin Jambek dari Sumatera Barat. Tamu ini datang ke Kudus, tampaknya ingin mencoba menjajaki, sejauh mana ketinggian ilmu gurunya. Di sini Nur Ahmad adalah murid yang dilibatkan secara langsung untuk menemui sang tamu.

Tamu ini menanyakan, kitab apa yang digunakan untuk menghitung tinggi hilal (bulan sabit penanda awal tanggal baru) dari kaki langit (ufuk) terendah. Mengerti maksud kedatangan tamunya, Kiai Turaichan mulai menjawab dengan menunjukkan kitab falak yang dianggap paling dasar oleh kalangan santri, yakni Sullamun Nayiroin. Ketika sang tamu mengerti, maka Turaichan terus menunjukkan pada tingkat di atasnya. Demikian seterusnya, hingga ketika menunjukkan kitab Syamsul Hilal, sang tamu belum mengenalinya. Maka rupanya sedemikianlah kemampuan sang tamu. Padahal masih banyak kitab-kitab lain yang dianggap lebih tinggi daripada Syamsul Hilal.

Belajar kepada Syeikh Yasin Padang

Salah satu yang membuat KH Nur Ahmad merasa berkesan adalah ketika berguru kepada Syeikh Yasin Padang. KH Nur Ahmad berguru kepada Syeikh Yasin Padang di Makkah ketika sedang menunaikan ibadah haji.

Jika pada umumnya, seseorang membutuhkan waktu lama untuk mempelajari sebuah kitab, dengan Syeikh Yasin Padang, KH Nur Ahmad hanya membutuhkan 3 hari untuk menghatamkan satu kitab. Alhasil, KH Nur Ahmad pun memiliki banyak pengetahuan baru bersama Syeikh Yasin Padang.

Dengan cara belajar sepanjang masa inilah, KH Nur Ahmad menjalani kehidupannya yang sederhana dan bermanfaat. Meski telah memiliki banyak santri di rumahnya, namun KH Nur Ahmad masih tetap belajar kepada banyak guru dan menimba ilmu kepada para ulama lainnya.

KH Nur Ahmad mengabdikan sepanjang hidupnya untuk perjuangan ilmu Islam Ahlussunnah Waljamaah. Mengabdi untuk pada para santrinya, organisasi NU di Lajnah Falakiyah dan kepada masyarakat sekitarnya.

Page 14: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Syaifullah Amin(Ditulis berdasarkan penuturan KH Nur Ahmad kepada tim NU Online di rumahnya, Jepara, pada Sabtu 7 Maret 2009)

Komentar:

ali maftukin menulis: gus di atas ad pernyataan 'kalau pengen jadi ahli falak. ziarahlah ke makam ahli falak untuk berhadharah. supaya barokah". gus sekali-sekali aku di ajak ziarah dong!

erwan a menulis: dimanakah alamat beliau atau no telponny yg dapat kami hubungi mengingat sudah 1 tahun lebih arah kiblat mushollaku sudah 2x berubah....membingungkan umat

ANREGURUTTA DAUD ISMAIL (1907-2006)Ulama Pelestari Kearifan Lontara Bugis 02/05/2009

Suku Bugis yang berdiam di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, namun demikian suku ini juga menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar Anregurutta dapat diibaratkan sebagai professor di dunia kademik. . Jika orang luar Sulawesi Selatan mendengar seseorang warga yang menyebutkan Anregurutta kepada seorang tokoh, tentu sang tokoh  tersebut termasuk kategori ulama yang disegani. Anregurutta menempati

status sosialnya yang tinggi dan kedudukan terhormat di mata masyarakat Bugis.

Pemberian gelar Anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat, atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam dakwah keislaman. Tidak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anregurutta, tergantung dari tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan Anregurutta berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebut makarama.

Para muballigh misalnya, ada juga yang tetap dipanggil Ustadz, yaitu orang yang membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat. Namun belum bisa dijadikan sebagai suatu rujukan bertanya berbagai hal keagamaan. Sementara posisi tingkat Anregurutta ini dijadikan sebagai tempat bertanya berbagai persoalan dan kehidupan secara umum. Ustadz dikenal hanya dalam kelompok kecil, misalnya kelompok pengajian dan ceramah-ceramah umum.

Salah satu di antara para pejuang dakwah islamiyah di tanah Bugis yang digelarai Anregurutta ini adalah Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail. Sosok ulama besar Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Gurutta Daud Ismail juga dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Al-Qur’an sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis. Pendidikan OtodidakBeliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907 M., buah perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Daud Ismail mengawali pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al-Qur’an pada orang tua kandungnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren di

Page 15: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Sengkang. Dari sinilah Daud Ismail memiliki banyak guru dari kalangan ulama Sengkang.

Daud Ismail adalah seorang yang otodidak, sejak kecil belajar sendiri untuk mengenal aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, beliau juga pernah menimba ilmu pada banyak guru, baik di Soppeng (Kabupaten Soppeng) maupun di Soppeng Riaja (Kabupaten Barru), Sulawesi Selatan.

Antara tahun 1925 – 1929 Daud Ismail juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Daud Ismail belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula Daud Ismail belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.

Setelah Anregurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk belajar kepada Anregurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.

MAI ini merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang dikenal masyarakat di Sulawesi Selatan. MAI Sengkang Wajo didirikan pada bulan Zulkaidah 1348 H. atau bertepatan bulan Mei 1930 M. oleh Anregurutta As’ad yang baru saja kembali dari Mekkah pada tahun 1928 setelah menyelesaikan masa belajarnya pada Madrasah Al-Falah Mekah. Pada awal-awal berdirinya, MAI Sengkang Wajo hanya merupakan pengajian pesantren yang pelaksanaannya mengambil tempat di rumah kediaman Anregurutta As’ad sendiri. Setelah santrinya bertambah banyak tempat pelaksanaan pengajiannya dipindahkan ke Masjid Jami’ Sengkang.

Selama belajar di Sengkang Daud Ismail merasakan banyak sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arudh, Ilmu Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh Daud Ismail karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih maju dari metode yang didapatkan sebelumnya. Sehingga menurut pengakuan Daud Ismail, santri-santrinya cepat menguasai apa yang diajarkan.

Salah satu kesan mendalam Daud Ismail kepada Anregurutta As`ad, ketika gurunya ini mengajarkan ilmu Arudh yang diajarkan setelah Shalat Isya, hingga larut malam. Bahkan terkadang sampai sekitar jam satu malam. Anehnya, Gurutta Daud Ismail hanya diajarkan ilmu Arudh ini selama satu malam saja. Keesokan harinya beliau langsung diberi kitab untuk dipelajari sendiri.

Inilah salah satu kelebihan dan keunikan Anregurutta As`ad dalam mendidik santri-santrinya. Misalnya, ketika belajar ilmu Arudh ini, Anregurutta As’ad hanya memilih sejumlah santri pilihan untuk diajar satu malam saja memberikan penjelasan kepada santrinya tanpa buku pegangan. Namun keesokan harinya santri-santrinya telah mampu menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ilmu Arudh termasuk salah satu cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren.

Setelah belajar langsung kepada Anregurutta As`ad di Sengkang,  Daud Ismail kemudian dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau tetap belajar kepada Anregurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat Aliyah. Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta (panggilan kehormatan setingkat di bawah Anregurutta) Daud Ismail.

Bersama Gurutta Daud Ismail ini pula Anregurutta As’ad membentuk tim pengajar. Sehingga Anregurutta As`ad tidak lagi langsung berhadapan dengan santri-santri baru (yunior). Tapi hanya berhadapan langsung dengan beberapa santri senior. Dari santri senior inilah kemudian mengajarkan kepada santri yang lain sesuai tingkatan masing-masing.

Gurutta Daud Ismail temasuk santri yang paling disayangi oleh Anregurutta As`ad. Hal itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Gurutta Daud Ismail tidak

Page 16: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus meninggalkan Sengkang.

“Laing memetto gurutta Sade` usedding batena mappa`guru”, (Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anregurutta Muhammad As`ad - dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.

Wasiat Sang GuruPada tahun 1942, ketika pecah perang dunia II, merupakan masa sulit yang dialami Gurutta Daud Ismail. Kondisi tersebut membuatnya terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan berat Gurutta Daud Ismail yang ketika ini adalah waktu itu adalah berpulangnya istri pertama ke Rahmatullah.

Tak lama kemudian, pada tahun 1942 – 1943 beliau diminta mengajar di Al-Madrasatul Amiriyah Watang soppeng menggantikan Sayyed Masse. Dan waktu itu juga beliau diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Hingga akhirnya beliau memutuskan meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA).

Pada tahun 1942 M. ini pula Daud Ismail diangkat sebagai Imam Besar di Lalabata, Kabupaten Soppeng, sambil mengajar pada sebuah madrasah. Beliau juga pernah menjadi guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, tepatnya pada tahun 1944. Karena diakui sebagai seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud Ismail diangkat sebagai Kadhi (hakim) di Kabupaten Soppeng pada tahun 1947. Jabatan ini beliau sandang hingga tahun 1951. Kemudian antara tahun 1951-1953, beliau menjabat sebagai pegawai di bidang kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Bone. Sejak saat ini Daud Ismail telah mulai biasa disapa sebagai Anregurutta.

Sepeninggal Anregurutta As‘ad (1952 M), Anregurutta Daud Ismail diminta oleh para pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) untuk datang ke Sengkang melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan oleh Anregurutta Muhammad As‘ad. Pada tahun 1953 nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) diubah pada tahun 1953 menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Anregurutta M. As‘ad.

Kembali ke Sengkang merupakan wasiat dari Anregurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud Ismail harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko harus meninggalkan status pegawai negerinya, Anregurutta tetap memenuhi wasiat gurunya tersebut. Namun. Anregurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MAI Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali membina madrasah di daerahnya. apalagi waktu itu beliau merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan Anregurutta Daud Ismail.

Setelah meninggalkan Sengkang pada tahun 1961, Anregurutta Daud Ismail kembali ke Soppeng. Ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini Anregurutta Daud ismail juga diangkat  kembali menjadi Qadhi (untuk kedua kalinya) di Soppeng.

Menulis KitabSuku Bugis dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia yang sangat kental menganut dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Untuk keperluan itu, mereka sangat bergantung pada apa yang mereka peroleh dari al-Qur‘ân, sehingga tafsir al-Qur‘ân memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaannya.

Atas dasar yang demikian, maka Anregurutta Daud Ismail melahirkan sebuah karya tafsir berbahasa Bugis. Upaya ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat Bugis untuk lebih mudah mengakses dan memahaminya. Terutama sekali adalah agar adanya aksara Lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, tidak lekas punah.

Page 17: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Tujuan beliau menyusun buku tafsirnya adalah untuk memelihara bahasa Bugis dari kepunahan. Untuk itu, beliau berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid, sehingga jemaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.

Anregurutta Daud Ismail berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid, sehingga jamaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.

Sejarah eksistensi terjemah dan tafsir Al-Qur’an, di Sulawesi Selatan sendiri sudah cukup panjang. Upaya untuk menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Bugis telah dimulai sejak tahun 1948. Pada waktu itu, sebuah buku tafsir kecil terbit di Sengkang (Kab. Wajo) yang ditulis oleh Anregurutta M. As‘ad (w. 1952 M), guru dari Anregurutta Daud Ismail.

Karya lain yang pernah ditulis Anregurutta Daud Ismail, antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khaer (bahasa Bugis), Carana Puasae, kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Bugis. Sementara Tafsir dan Tarjamah Al-Qur’an 30 Juz dalam bahasa Bugis merupakan karya tulis terbesarnya.

Anregurutta Daud Ismail memimpin Pondok Pesantren YASRIB sampai menghembuskan napas terakhirnya. Anregurutta Daud Ismail menghadap ke hadirat Allah SWT dalam usia 99 tahun pada Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 WITA, setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar. Anregurutta Daud Ismail masih menjabat sebagai Kadhi di Kabupaten Soppeng. Selain itu amanah yang masih disandangnya adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005. Semoga Allah SWT meridhoi perjalanannya dan merahmati masyarakat yang ditinggalkannya. Amin. (Disadur oleh Syaifullah Amin dari berbagai sumber).

Komentar:

taukhid menulis: Subhanallah, sungguh luar biasa perjalanan yang telah ditempuh oleh ulama besar ini. Semoga Allah swt menguatkan kita untuk meneruskan langkahnya; "menjaga nilai-nilai Islam melalui proses belajar dan mengajarkannya kepada orang lain secara terus-menerus". Allahummaghfirlahu warhamhu wa'aafihi wa'fu 'anhu.

darusman hendra menulis: tolong jelaskan ajaran tauhidya

KH SALEH LATENG BANYUWANGIAnggota Formatur Pembentukan Pengurus NU Pertama 01/04/2009

Banyuwangi sebagai salah satu basis masyarakat santri di Tapal Kuda (pesisir timur pulau Jawa) menyimpan berbagai kisah heroik yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Dan sebagai daerah yang cukup jauh dari pusat kekuasaan, Banyuwangi menyimpan kharismanya sendiri. Banyuwangi merupakan salah satu daerah yang terkenal dengan kesaktian para kyainya. Salah satu di antara kyai-kyai sakti tersebut adalah KH Saleh Lateng, salah seorang pendekar sakti keturunan raja-raja Palembang

Sumatera.

Sejarah KeluargaPada kisaran perempat perteama abad ke-19, Kerajaan Palembang Darussalam telah kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri. Sultan Najamuddin dibuang oleh Belanda ke Banda Aceh dan pemerintahan palembang dikendalikan oleh seorang Residen Belanda. Banyak para bangsawan menyingkir keluar daerah, salah satunya adalah Kiagus Abdurrakhman, kakek Kyai Saleh Lateng. Kiagus Abdurrakhman ini kemudian menetap

Page 18: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

di Sumenep dan menikah dengan seorang perempuan setempat bernama Najihah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Namun hanya seorang yang kemudian meneruskan silsilah keturuanan, yakni Kiagus Abdul Hadi –ayahanda Kyai Saleh, yang kemudian pindah dan menetap di Banyuwangi.

Terlahir di Kampung Mandar Kota Banyuwangi pada hari Ahad, 6 Ramadhan 1278 H. bertepatan dengan 07 Maret 1862 M. dengan nama Kiagus Muhammad Saleh. Ibunya berasal dari Panderejo Banyuwangi bernama Aisyah. Nama Kyai Saleh ini yang terkenal selama hidup hingga sepeninggalnya. Meski setelah berhaji, namanya berganti menjadi H Muhammad Syamsuddin, namun dalam keseharian Beliau selalu menuliskan namanya dengan Saleh saja. Dengan demikian ia tetap dikenal oleh masyarakat sebagai Kyai Saleh saja.

Banyuwangi pada masa kecil Kiagus Muhammad Saleh berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, baik dari sisi material maupun secara spiritual. Rakyat miskin akibat penjajahan dan suasana pertengkaran antar kelompok masyarakat menjadikan suasana semakin menakutkan. Gank-gank yang terbukti tidak berdaya melawan kekuatan asing, saling terlibat permusuhan dan pertikaian untuk menaikkan gengsi pribadi dan golongan. Belum lagi hasutan politik adu domba Belanda yang menjadikan kondisi ini terus berlarut-larut.

Kendati terlahir di tengah kemerosotan moral masyarakat, namun masa kecil Kiagus Muhammad Saleh dilalui dengan cara-cara sangat islami. Sedari kecil Muhammad Saleh belajar mengaji kepada ibu dan bapaknya, serta lingkungan keluarganya. Pada usia remaja Saleh mulai belajar mengaji ke luar daerah. Pada usia 15 tahun, Saleh mondok di Kyai Mas Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Tak lama kemudian, ia meneruskan pelajarannya ke Bangkalan Madura, kepada Kyai Kholil. Di Bangkalan ini, Saleh menjadi khodim (pelayan) Kyai Kholil. Termasuk bersedia menemani anak Kyai kholil, Hasan mencari uang, untuk keperluan berangkat Haji.

Selama di bangkalan ini pula Saleh belajar berbagai ilmu, termasuk ilmu-ilmu kesaktian yang kelak akan digunakan secara langsung untuk memperbaiki masyarakatnya. Selain di Bangkalan, Saleh juga meneruskan pencarian ilmunya hingga ke Bali, yakni kepada Tuan Guru Muhammad Said Jembrana, Bali. 

Selepas menuntut ilmu di Bali, Saleh bertekad meneruskan pelajarannya ke Tanah Suci. Saleh menghabiskan masa belajarnya di Mekkah selama enam tahun sebelum diminta pulang oleh gurunya, Kyai Kholil Bangkalan. Kala itu, selain belajar, Saleh juga telah mengembangkan ilmunya kepada para pelajar lainnya di sana. Saleh telah membuka pengajian di Mekkah dengan menggunakan empat bahasa. Namun Saleh meminta waktu satu tahun lagi untuk Belajar di sana. Permintaan ini pun diijinkan oleh gurunya tersebut.

Setahun kemudian, kira-kira tahun 1900 M. sekitar umur 38 tahun, Kiagus Saleh kembali ke kampung halamannya di Banyuwangi. Kiagus Saleh kemudian menetap di kampung Lateng Banyuwangi, dan selanjutnya terkenal sebagai Kyai Saleh Lateng. Kyai Saleh secara resmi mendapatkan ijin mengajar di langgarnya di Lateng dari Bupati Banyuwangi, Koesoemonegoro pada 4 Maret 1909 M. Dari sinilah Beliau mulai mengabdikan dirinya untuk perbaikan kualitas masyarakat Banyuwangi. Sedikit-demi sedikit, wilayah dakwahnya semakin meluas hingga ke seluruh penjuru Banyuwangi.

Dalam pengajaran kepada murid-muridnya, Kyai Saleh Lateng sangat menjunjung sikap tegas terhadap penjajahan. Ia sering berpesan kepada santri-santrinya untuk berusaha keras menjadi orang pintar agar tidak terus dijajah oleh bangsa lain. Selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, Kyai Saleh juga mengajarkan kesaktian-kesaktian yang dipelajarinya sejak mondok di Bangkalan. Dengan demikian, murid-murid Kyai Saleh bukan hanya terdiri dari kaum santri yang taat beribadah. Melainkan juga para jagoan dan bromocorah-bromocorah setempat yang ingin menambah kesaktian. Sehingga banyak sekali algojo dan tanjak seblang di seluruh wilayah Banyuwangi yang menjadi santrinya.

Dari sinilah kemudian Kyai Saleh lateng muncul sebagai tokoh pemersatu masyarakat Blambangan. Kelompok-kelompok yang tadinya bertikai, mulai disatukan dengan alasan sesama murid dari lateng dilarang saling bermusuhan. Lambat laun para jagoan lokal dan

Page 19: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

para penyamun jalanan mulai menghentikan operasinya, karena mematuhi perintah Kyai Saleh Lateng. Semboyan “satu guru jangan saling mengganggu” rupanya mampu meredam perpecahan di antara masyarakat Banyuwangi kala itu. Sebagai sesama murid Kyai Saleh Lateng, mereka mulai menghentikan pertikaian dan permusuhan.

Kepada masyarakatnya, Kyai Saleh sangat mengayomi dan membuka konsultasi seluas-luasnya. Mengedepankan saling silaturrahim dan mendamaikan mereka yang sedang terlibat pertengkaran. Dengan demikian berangsur-angsur terbangunlah persatuan dan kesatuan Banyuwangi.

Kehidupan KeorganisasianSebagai salah satu tokoh kunci persatuan masyarakat Banyuwangi, Kyai Saleh memegang peranan cukup penting dalam membidani kelahiran Nahdlatul Ulama (NU), terutama di Wilayah Blambangan. Demi menyambung perjuangan keagamaan dan perjuangan kemerdekaan pada taraf yang lebih luas, Kyai Saleh bergabung dengan para ulama dari daerah lain. Baik melalui jaringan pertemanan sewaktu masih menjadi santri di Surabaya dan Madura maupun jalinan persaudaraan dengan teman-temannya selama menuntut Ilmu di Tanah Suci.

Dalam berorganisasi, Kyai Saleh Lateng bergabung dengan Sarekat Islam. Pada tahun 1913 Beliau memimpin Rapat Umum Sarekat Islam yang diadakan di Kawedanan Glenmere Banyuwangi. Selanjutnya, pada 16 Rajab 1344 H. bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. bersama dengan tokoh-tokoh ulama Nusantara lainnya, Kyai Saleh Lateng juga merupakan salah seorang yang naik di atas panggung (podium) untuk turut memberikan kontribusi dan dukungan pada pertemuan Komite Hijaz.

Pada hari yang kemudian dikenal sebagai hari kelahiran Nahdlatul Ulama ini, Kyai Saleh Lateng ditunjuk oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah untuk menjadi anggota Muassis-Mukhtasar (formatur) pembentukan pengurus Nahdlatul Ulama yang pertama. 

Sikap Anti PenjajahanDalam mendidik para santri dan masyarakatnya untuk menentang penjajahan, Kyai Saleh Lateng bersikap keras. Beliau memilih sikap konfrontatif hingga melarang anak-anaknya belajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah penjajahan. Kyai Saleh melarang keluarga dan para santrinya untuk memakai celana, melepas Kopyah dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan Belanda. Kyai Saleh juga mengutus beberapa anaknya ke medan perang gerilya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Selama masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Kyai Saleh aktif mengikuti perkembangan perjuangan rakyat Indonesia melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) dan surat kabar. Hal ini dilakukan untuk mengecek keberadaan santri-santrinya yang sedang dikirim ke garis depan pertempuran dan medan gerilya. Kyai Saleh menyokong perjuangan bersenjata melalui dukungan dana dan doa kepada santri-santrinya yang akan dikirim ke medan laga.

Karena tindakan-tindakannya membantu perjuangan kemerdekaan, Kyai Saleh juga sempat menghadapi kejaran Belanda dan harus menghindar keluar dari Lateng ke Pakistaji. Di sinilah, Beliau bertemu dengan salah seorang anggota pasukan yang pernah dipimpinnya. Anggota pasukan ini juga sedang di kejar-kejar oleh intel Belanda. Kyai Saleh pun kemudian menolongnya. Anggota inilah yang kemudian menceritakan bahwa sebenarnya, Kyai Saleh Lateng terlibat secara langsung di garis depan ketika memimpin sepasukan laskar rakyat dalam penyerbuan terbuka (saat berkumandangnya Resolusi Jihad) ke Surabaya.

Kyai Saleh lateng juga termasuk orang yang sangat tegas dalam menolak kompromi dengan pemerintah penjajah. Pernah pada masa-masa akhir penjajahan Belanda di Indonesia, Kyai Saleh ditawari oleh bantuan oleh Belanda untuk pembangunan pesantrennya. Bahkan konon, Van Der Plass sendiri yang datang menemui Beliau. Namun bantuan ini ditolak mentah-mentah oleh Kyai Saleh. 

Kyai Shaleh juga memiliki andil dalam pembentukan awal awal kementrian Republik

Page 20: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Indonesia. Menurut cerita, suatu ketika, Menteri Agama Republik Indonesia pertama KHA Wahid Hasyim mencari kitab yang akan digunakan sebagai pedoman pembentukan organ kementrian. Konon menteri agama mencarinya ke seluruh pondok pesantren kenalannya, namun belum juga menemukannya.

Maka KHA Wahid Hasyim kemudian mengutus seorang kurir untuk menanyakannya kepada Kyai Saleh Lateng yang pada waktu itu masih berada di tempat persembunyian di Pakisaji Kabat. Kurir tersebut meminta dengan membeli atau mengganti harga atas kitab tersebut. Maka Kyai Saleh Lateng pun kemudian memberikan kitab bernama Mu’jamul Buldan tersebut dengan bersedia menerima separo harga dari harga semestinya. Kitab ini merupakan salah satu sumbangan Kyai Saleh Lateng dalam pembangunan organ Departemen Agama Republik Indonesia. 

Kehidupan BermasyarakatSebagai seorang ulama yang telah dididik dalam norma-norma agama yang kuat, baik di lingkungan keluarga maupun di pesantren, Kyai Saleh selalu mengamalkan prinsip-prinsip pergaulan islami dalam bermasyarakat. Beliau memiliki sikap yang tegas dan berani dalam menyatakan kebenaran dan keadilan. Bahkan meski sering hal tersebut dianggap merugikan.

Sifat budi baik lainnya adalah, Kyai Saleh tidak memilih-milih dalam pergaulan kemasyarakatan. Beliau banyak memiliki santri dari berbagai kalangan, baik dari masyarakat santri yang taat maupun dari kelompok keluarga para bromocorah. Termasuk pula, Kyai Saleh tidak membeda-bedakan tingkat ekonomi para muridnya. Kyai Saleh tidak membedakan antara santri anak orang kaya, pejabat dan rakyat miskin kebanyakan.

Sebagaimana umumnya para ulama, Kyai Saleh sangat gemar membaca al-Qur’an ketika sedang sendirian dan sedang tidak mengajar santri. Kyai Saleh juga senantiasa mentradisikan pengadaan peringatan-peringatan hari besar Islam. Termasuk peringatan Haul gurunya, Kyai Kholil Bangkalan.

Kebiasaan-kebiasaan amar ma’ruf nahi mungkar dan disertai dengan keteladanan dalam mentradisikan kebajikan serta tolong-menolong antar sesama senantiasa melekat dalam diri Beliau, hingga akhir hayatnya.

Kyai Saleh Lateng berpulang ke Rahmatullah pada malam Rabu, tanggal 29 Dzulqo’dah 1371 H. bertepatan dengan 20 Agusrus 1952 dalam usia 93 tahun. Atas Izin bupati Banyuwangi, Usman, maka jenazahnya disemayamkan pada jarak kurang lebih sepuluh meter di sebelah selatan langgar, tempat Beliau biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya.

Dan untuk mengenang jasa-jasa beliau, maka pada tahun 1956 DPRD Kabupaten Banyuwangi menyepakati adanya seruas jalan dengan nama Jalan Kyai Saleh Lateng. Meski jasad Kyai Saleh Lateng telah tertimbun di tanah, namun jasa-jasanya senantiasa dikenang oleh seluruh masyarakat, dan perjuangannya akan senantiasa dilanjutkan oleh santri-santri penerusnya. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosanya dan melimpahkan rahmat untuk kemuliaan ruhnya. Amin Wallahu A'lam bisshowab. (Disadur dari buku Biografi Kyai Saleh, karya H. Abd, Manan Syah). Syaifullah Amin

Komentar:

Ihsan Sa'id menulis: sebagai pewaris para nabi, ulama (baca:kyai) memegang peranan penting dalam membentengi aqidah umat serta menjadi suri teladan bagi umatnya.

AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLEMengayuh Sepeda 70 km Demi Berdakwah 03/03/2009

Page 21: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa Ujung Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang. Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dalle yang berarti bapak yang memiliki banyak rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan

limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an.

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Bersekolah di Volk School (Sekolah Rakyat) pada pagi hari dan belajar mengaji pada sore dan malam harinya. Dalam dunia permainan anak-anak, Ambo dale adalah seorang penggiraing bola handal sehingga digelari “Si Rusa.”

Selama Belajar, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikih saja.. melainkan juga mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS dan pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.

Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Ambo dale segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah. Di antaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).

Keberuntungan dalam BelajarSuatu ketika, AGH. Muhammad As’ad yang biasa  disapa oleh masyarakat Bugis dengan Anregurutta Puang Aji Sade, menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak saat itu ia diangkat menjadi asisten. Sehingga pada tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama pada para syeikh di Mekkah.

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AGH. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Maka dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan AGH. As’ad dan ulama lainnya. Ambo Dalle bahkan kemudian diserahi tugas memimpin lembaga itu. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah), menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.

Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf

Page 22: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Maka ketika H.M.Yusuf Andi Dagong  ini diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, ia pun lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang: pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M. As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso.

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama. Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang.

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta HM.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle. Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso.

Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang.

Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Zaman JepangNamun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai

Page 23: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya. Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha.

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Di mana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat. Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso. Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya.

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi.

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung. Hal ini membuat pimpinan

Page 24: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya. Hijrah Ke Pare-pareTahun 1950, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said.

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan. Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman.

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar.

Diculik Kahar MuzakkarPerjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya. Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan

Page 25: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar.

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota. Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya.

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta. Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta.

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.

Kiprahnya dalam PerjuanganKeteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana). Hijrah Ke Kaballangan PinrangPada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru. Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya

Page 26: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara daripada harus berseberangan jalan.

Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI? Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan.

Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur. Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar Zaenal.

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani.

Kitab-kitab Karya GuruttaSebagai ulama, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt.

Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli. Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab. Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa

Page 27: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu)

AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun.

Kepribadian GuruttaSebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH. Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta.

Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan. Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta.

Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya. Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam.

Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab. Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan sebagian di tangan santrinya.

Detik-detik TerakhirGurutta KH. Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan

Page 28: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong.

Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya. (Disadur dari berbagai Sumber oleh syaifullah Amin)

Komentar:

cozy corner menulis: terimakasih

al-hugos menulis: subhanallah, pengorbanan beliau sungguh besar... menjadi pemantik semangat u/ terus belajar dan berbenah menjadi manusia yg bermanfaat u/ orang lain

Praditya menulis: Ulama Aswaja memang menyejukkan umat. Mereka berdakwah dengan kasih sayang. Semoga akan lahir ulama-ulama dan kiai-kiai yang seperti mereka kembali. Amin.

nurim menulis: Subhanallah. Bisa diceritakan juga kisah ulama karismatik yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan masa sekarang, agar terasa lebih dekat suasananya.

KH MUHAMMAD RAMLIQadhi Luwu dari Bone 01/02/2009

Terlahir di Bone, Sulawesi Selatan, tahun 1906 M (1325 H.) sebagai seorang anak dari pasangan H Masalah dan Hj, Aminah. Diasuh dan besarkan  dalam kultur keagamaan yang sangat kuat. Karena ia berasal dari keluarga agamis, maka ia pun menimba ilmu agama pertamanya dari kelaurga terdekat, yakni   kedua orang tuanya.

Banyak menimba ilmu dari para ulama terkenal di daerahnya, seperti KH Abdul Rasyid dan KH Abdul Hamid (Qadhi Bone). Selain itu, Ramli

kecil juga masuk pendidikan formal berupa Sekolah Rakyat (SR).

Setelah beranjak dewasa, Ramli berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan belajar ilmu agama selama tiga tahun di sana. Sepulangnya dari Mekkah pun Romli tetap tawadhu’ dan tidak menyombongkan dirinya. Ramli mengunjungi para ulama di Sulawesi Selatan dan kembali berguru kepada mereka, seperti KH Ahmad Bone, Syeikh mahmud al-Madani, Syeikh Radhi dan Syeikh Hasan al-Yamani.

Karirnya dimulai sebagai badal Syeikh jamaah haji Indonesia asal Sulawesi Selatan, kemudian diangkat menjadi Syeikh jamaah haji selama tiga tahun. Dari sinilah kemuadian KH Ramli diangkat menjadi Imam Masjid Kajuara oleh Arung Kajuara dan kemudian memangku Jabatan Qadhi di Luwu. Puncak kariernya dalah menjadi anggota konstituante dari fraksi NU dan diangkat menjadi Imam Masjid Raya Ujung Pandang (Makassar sekarang).

Pada tahun 1946 KH Muhammad Ramli berangkan menuju Bone untuk terlibat aktif dalam perjuangan Revolusi fisik. Kemudian bersama-sama dengan para ulama lainnya

Page 29: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

mendirikan perkumpulan yang dinamakan Rabithatul Ulama (RU). Di sini KH Ramli bertindak sebagai Ketua I sedangkan ketua Umum dijabat oleh KH Ahmad Bone.

Misi Dakwah AswajaDalam menjalankan misi dakwahnya, KH Ramli mengembangkan metode-metode ceramah dan pengajian dengan gaya yang menarik dan disukai oleh masyarakat. Beliau sangat memegang teguh prinsip-prinsip Ahussunnah Waljamaah. Aqidah inilah yang diterapkan, baik kepada santri-santrinya maupun kepada masyarakat secara luas.

KH Muhammad Ramli berprinsip bahwa hal paling pokok dalam Islama adalah akidah. Karenanya, ia berusaha semaksimal mungkin untuk menanamkan dasar-dasar akidah ini kepada masyarakat.

Dengan segala daya upaya, KH Muhammad Ramli memberantas segala kemusyrikan yang masih melanda masyarakat Luwu pada waktu itu. Pada waktu itu masyarakat di Luwu masih banyak yang menyembah pohon-pohon, sungai, batu dan lain sebagainya. Meski dilarang oleh agama, namun pada waktu itu penyembahan-penyembahan seperti ini masih ditolelir oleh pihak kerajaan. Dengan demikian KH Muhammad Ramli merasa berkewajiban untuk meluruskan kesalahan-kesalahan akidah masyarakatnya ini.

Beliau memberikan penerangan-penerangan dengan sikap yang tegas untuk menghilangkan seluruh praktek-praktek kemusyrikan yang masih melanda masyarakat di Sulawesi Selatan. Karena ketegasan-ketegasan sikap dalam setiap ceramah dan fatwa-fatwanya, maka kehidupan beragama Islam menurut tata cara Ahlussunnah Waljamaah di Luwu dapat dirasakan hingga saat ini.

Ketegasan KH Ramli dalam menata perikeagamaan di masyarakat Luwu, misalnya dapat kita lihat pada perubahan yang dilakukan oleh KH Ramli mengenai tata cara khutbah Jum’at. Meski gurunya, KHM As’ad mewajibkan khutbah harus dengan bahasa daerah, namun KH Ramli dengan mengacu pada kitab-kitab kuning, membolehkan khutbah dengan bahasa Arab.

Jadi menurut KH Ramli, khatib cukup membaca rukun khutbah dalam bahasa Arab, kemudian menerangkan dengan secukupnya tentang ajakan untuk menambah kebaikan dan ketaqwaan dalam bahasa daerah, bahsa yang dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat setempat. Menurut KH Ramli, ini adalah bentuk pelaksanaan dari perintah Rasulullah SAW untuk mengajak manusia pada kebaikan sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka masing-masing.

Pendosa Tidak Mesti MurtadKarena seringnya diundang dalam acara pernikahan, maka di sinilah KH Ramli banyak mengajarkan tata cara hidup yang Islami kepada masyarakat secara langsung. Beliau mengajarkan kepada masyarakat tentang Islam yang sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Ahlussunnah Waljamaah.

Suatu ketika, dalam pekerjaannya sebagai Qadhi, KH Ramli ditanya oleh warganya tentang tata cara penguburan terhadap seorang wanita Muslim. Dalam kasus ini wanita Muslim ini adalah isteri dari seorang lelaki non Muslim. Selama menjadi isteri, wanita ini tidak pernah terlihat melaksanakan syariat Islam, ada kemungkinan ia dilarang oleh suaminya yang non Muslim.

Mendapati kasus yang demikian, KH Ramli selaku Qadhi Kerajaan Luwu memerintahkan

Masyarakat untuk mengurus wanita tersebut menurut cara Islam. Argumen dari fatwanya ini adalah, ”Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. Al-An’am, 6:164) dan “Allah menjadikan isteri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang yang beriman,” (QS. At-Tahrim, 66:11).

Sebagaimana pandangan Aswaja, orang yang mempercayai kerasulan Muhamamd SAW dan mengakui keesaan Allah SWT tidaklah dapat dianggap murtad begitu saja meskipun ia memiliki banyak dosa, bahkan seandainya ia melakukan dosa besar, ia tetaplah seorang Muslim yang berhak dikubur dengan tata cara Islam ketika ia meningal dunia.

Page 30: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Dari sisi pergaulan hidup dan sikap keagamaan, meskipun KH Ramli berpandangan teguh, namun Beliau sangat menganjurkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam menampakkan sikap-sikap keagamaan, termasuk cara berdzikir yang dianggap berlebihan oleh masyarakat pada umumnya.

Tahun 1952 KHA Wahid Hasyim, yang waktu itu menjabat sebagai menteri agama, berkunjung ke markas RU dan merundingkan pembentukan partai politik Islam untuk menghadapi Pemilu 1955. Musyawarah ini memberikan mandat kepada KH Muhammad    Ramli untuk mendirikan partai NU di Sulawesi Selatan.

Melalui partai NU inilah KH Muhammad Ramli terpilih sebagai anggota konstituante dari fraksi NU. Ketika sedang menghadiri rapat konstituante di Bandung, rupanya KH Muhammad Ramli dipanggil menghadap Ilahi dalam usia 52 tahun. (semoga Allah mengampuni segala dosanya)

KH ABDUL CHALIM MAJALENGKA (1898-1972)Pengurus SI Hijaz Termuda 02/01/2009

Di balik setiap peristiwa-peristiwa penting sejarah, tentu terdapat nama-nama yang melambung. Nama-nama yang kemudian menjadi terkenal dan menjadikan figur-figur tertentu sebagai idola dan panutan di kemudian hari. Nama-nama inilah yang kemudian disebut sebagai tokoh. Beberapa di antaranya bahkan melegenda dan bertahan hingga beberapa generasi.

Namun tentu saja, tidak semua nama-nama yang terlibat dalam setiap peristiwa penting, kemudian ikut menjadi nama penting yang selalu

disebut-sebut khayalak setelahnya. Di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), terdapat nama-nama besar yang kemudian melegenda dan dikenang hingga beberapa generasi. Namun tentu saja ada nama-nama yang juga sangat berperan dalam proses kelahiran NU sembari tetap menjadi nama-nama yang bersahaja dan merakyat. Tetap menjadi nama yang tidak menimbulkan rasa menjauh dari dunia kelahirannya. Salah satu di antara nama-nama yang tetap menjadi dekat dengan rakyat, tetap menjadi nama rakyat adalah KH Abdul Chalim bin Kedung, Leuwimunding Majalengka.

Ulama kelahiran tahun 1898 ini merupakan bagian sejarah besar. Namun tidak serta-merta menjadikan dirinya melambung manjauh dari rakyat kebanyakan. Meski namanya tercatat dalam berbagai peristiwa penting, namun KH Abdul Chalim tetap dikenal sebagai bagian dari rakyat kebanyakan.

Pentingnya Solidaritas Sosial dan Moderat Hal ini dikarenakan KH Abdul Chalim menerapkan prinsip-prinsip solidaritas sosial sepanjang hidupnya. Solidaritas (ashobiyyah) inilah yang juga dididikkan kepada setiap santrinya. Solidaritas yang dianaut oleh KH Abdul Chalim ini berlaku dalam kelompok kecil maupun komunitas yang besar. Menurut KH Abdul Chalim, Solidaritas sangatlah penting dalam mempererat jalinan hubungan di antara komunitas-komunitas agama maupun politik. Tujuan gerakan keagamaan tidak akan tercapai tanpa adanya solidaritas politik.

Prinsip solidaritas juga perlu diterapkan sepanjang masa karena solidaritas merupakan salah satu barometer keseimbangan ibadah. Di mana ibadah yang dilakukan dengan benar sesuai dengan ketentuan syara’ dapat mendekatkan diri kepada Allah. Namun agar tidak terjebak dalam pengertian ibadah yang sempit, yakni ritual semta. Maka perlu dilakukan sebuah penyeimbangan. Nah menurut KH Abdul Chalim, penyeimbangan ini dapat dilaksanakan dengan terus menumbuhkan solidaritas dalam setiap sendi umat Islam.

Page 31: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Solidaritas ini sendiri, dapat berupa solidaritas politik maupun solidaritas sosial. Solidaritas politik artinya solidaritas bersama umat Islam untuk mencapai tujuan-tujuan kenegaraan dan kebangsaaan. Sedangkan solidaritas kemasyarakatan adalah  kebersamaan umat Islam dalam menciptakan harmonisasi kehidupan sehari-hari. Sehingga kehidupan umat Islam tidak monoton, memandang nilai ibadah bukan hanya dari sisi ibadah ritual mahdah saja. Namun keseluruhan kehendak dan usaha untuk mewujudkan kehidupan yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah juga merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Dalam pandangan KH Abdul Chalim, kepasrahan total dan tawakkal kepada Allah SWT adalah hal yang senantiasa diri dan seluruh keluarga serta murid-muridnya. Namun demikian, KH Abdul Chalim juga sangat mengedepankan kompromi dalam mencapai kesepakatan-kesepakatan melalui musyawarah.

Sifat terbuka yang dimiliki oleh KH Abdul Chalim ini tidak lepas dari pengaruh yang ditorehkan oleh guru tercintanya, KH Wahab Hasbullah Jombang. Selama berguru kepada KH Wahab Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan hidupnya demi perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan merupakan tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan menularkan kemempuan ilmiahnya.

Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dengan interaksi sosial keagamaan dalam Nahdlatul Wathan merupakan salah satu sumbangsih KH Abdul Chalim. Bagi KH Abdul Chalim pendekatan sosial kepada masyarakat untuk menerapkan kaidah-kaidah keilmuan syariat bagi kehidupan masyarakat menupakan sebuah terobosan yang sangat urgen dalam menyebarkan konsep-konsep keislaman yang membumi.

Kondisi perjuangan fisik kala itu menjadikan konsep-konsep yang ditawarkan oleh KH Abdul Chalim dapat diterima oleh rekan-rekannya di Nahdlatul Wathan. Konsep-konsep yang dimaksudkan sebagai pendekatan sosial adalah membuat perbandingan-perbandingan kiasan antara kondisi-kondisi yang digambarkan dalam kitab-kitab kuning dengan kenyataan hidup yang dialami oleh masyarakat Nusantara saat itu. Yakni merealisasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang dapat menaungi seluruh penduduknya dalam sebuah aturan yang disepakati bersama.

Dengan demikian, dalam pandangan KH Abdul Chalim, solidaritas warga tetap dapat dipertahankan setelah penjajahan berhasil dienyahkan dari Nusantara kelak. Pendapat-pendapatnya mengenai solidaritas masyarakat Muslim, khususnya di tanah jajahan Hindia Belanda ini didapatkannya dari pengalamannya selama berguru kepada para ulama. Sejak dari daerah sekitar tanah kelahirannya ketika kecil hingga ke darah-dararah lain di Jawa Barat maupun Jawa Timur. Di mana Pesantren Trajaya di Majalengka, Pesantren Kedungwuni di kadipaten dan Pesantren Kempek di Cirebon adalah tempat Abdul Chalim menimba ilmu semasa kecilnya.

Mendamaikan Sengketa para SeniorPada tahun 1914 ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, Abdul Chalim berkesempatan untuk menuntut menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz. Di sanalah Abdul Chalim sempat menimba ilmu secara langsung dari Abu Abdul Mu’thi, Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani yang lebih tersohor dengan sebutan Imam nawawi al-Bantani.

Ketika menuntut ilmu di Hijaz inilah KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai ulama Nusantara dari daerah-daerah lainnya. Dari sinilah beberapa ulama ini kemudian menjadi teman sekaligus gurunya. Salah satu di antara ulama yang paling akrab sebagai teman sekaligus gurrunya ini adalah KH Wahab Hasbullah Jombang. Saat itu Abdul Chalim adalah anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI), termuda di Hijaz. Di mana SI adalah organisasi para ulama Nusantara yang berkonsentrasi untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda di Nusaantara. Melalui SI, kebijakan-kebijakan pemerintah jajahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat, ditentang secara konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama pengurus SI kemudian menggabungkan diri ke NU setelah organisasi yang terakhir ini

Page 32: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

didirikan pada tahun 1926.

Selama menuntut ilmu di Mekkah inilah sifat moderat dan kompromi sebagi ulama yang berjiwa besar ditunjukkan oleh Abdul Chalim. KH Abdul Chalim-lah yang mendamaikan KH Wahab Hasbullah Jombang dan KHR Asnawi Kudus ketika keduanya terlibat sebuah persengketaan di Hijaz. Pada waktu itu kedua ulama yang sedang bersengketa ini merupakan senior sekaligus guru dari KH Abdul Chalim. Sementara itu Abdul Chalim juga patuh ketika KH Wahab Hasbullah menegurnya karena sering memperdengarkan kidung bergaya Pasundan ketika mereka sedang mengulang-ulang pelajaran.

Kelahirannya sebagai putra tunggal seorang kuwu di Majalengka menjadikan KH Abdul Chalim tidak cangung lagi ketika dilibatkan dalam berbagai kepengurusan di SI Hijaz. Demikian pun ketika ia kembali ke Tanah Air pada tahun 1917.

Sepulangnya dari tanah Suci, KH Abdul Chalim membantu orang tuanya di kampung untuk meringankan penderitaan rakyatnya akibat penjajahan belanda yang kian hari kian kejam saja.

Abdul Chalim terhitung menikahi empat orang wanita. Pada usia 21 tahun Abdul Chalim menikahi gadis Petalangan, Kuningan sebagai isteri pertama. Tiga tahun kemudian, Abdul Chalim menikahi Siti Noor, gadis asal Pasir Muncang Majalengka. Dalam perjalanan untuk mencari penghidupan ke daerah Jakarta sebagai pelayan toko dan kuli panggul di stasiun kereta api –meski dirinya adalah anak seorang kuwu, Abdul Chalim menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak di daerah Kramat Jati Jakarta. Ketika bekerja dan membuka pengajian di Kramat jati ini Abdul Chalim di dampingi oleh Istri keduanya, Siti Noor asal Majalengka.

Sedangkan isteri keempatnya dinikahi di tengah-tengah perjuangannya mengusir penjajahan Belanda seputar berkecamuknya pertempuran Surabaya ketika Resolusi Jihad dikumandangkan. Istrei ketiganya adalah Ny. Sidik Shindanghaji dari Leuwimunding. Sebelumnya, KH Abdul Chalim telah lebih dahulu menikahi Ny. Konaah sebagai isteri ketiga.

Tahun 1921 karena ayahnya meninggal dunia, maka KH Abdul Chalim kembali ke Majalengka dan memboyong istri pertamanya yang di Petalangan ke Leuwimunding. Sementara istri keduanya telah bercerai darinya. Namun karena situasi yang semakin tidak menentu, maka Abdul Chalim memulangkan kembali isterinya ini ke Petalangan demi alasan keamanan. Sementara Abdul Chalim sendiri kemudian mengabdikan diri sepenuhnya pada dunia pergerakan dan pendidikan.

Kenalkan Aswaja Hingga Level Terbawah Abdul Chalim kemudian mengembara ke Surabaya untuk bergabung dengan teman-teman seperjuangannya. Di Surabaya, atas jasa Kyai Amin Peraban, Abdul Chalim bertemu kembali dengan KH Wahab Hasbullah senior sekaligus gurunya selama di Hijaz. Karena hubungan baiknnya, KH Abdul Chalim kemudian dipercaya sebagai pengajar di Nahdlatul Wathan di kampong Kawatan VI Surabaya. Selain mengajar KH Abdul Chalim juga dipercaya sebagai pengatur administrasi dan inisiator kegiatan belajar mengajar seta pembukaan forum-forum diskusi.

Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu Balaghoh (sastra Arab kuno) maka KH Abdul Chalim kemudian banyak sekali menciptakan syair-syair berbahasa Arab untuk memompa semangat perjuangan santri-santri yang tergabung di dalam Nahdlatul Wathan.

Kedekatan KH Abdul Chalim dengan KH Wahab Hasbullah menjadikan yang pertama sebagai pengikut setia sekaligus semacam asisten bagi nama kedua. Melalui aktivitasnya di Nahdlatul Wathan inilah KH Abdul Chalim menerapkan gagasan-gagasan keagamannya tentang interaksi sosial dan solidaritas politik dan kebangsaan dalam masyarakat. Selain nahdlatul Wathan, KH Abdul Chalim juga tercatat sebagai pengajar di Tashwirul Afkar Surabaya.

Selama mengabdi di Surabaya, berkali-kali KH Abdul Chalim pulang ke Majalengka

Page 33: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

untuk menyampaikan kabar-kabar terbaru dari Surabaya yang kala itu merupakan pusat perjuangan kaum santri dalam membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan dan kebodohan umat. Setiap pulang ke Majalengka, KH Abdul Chalim selalu mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengajarkan dan memperkenalkan faham Ahlussunnah Waljamaah. KH Abdul Chalim selalu membagi-bagikan gambar-gambar dan surat kabar Swara Nahdlatoel Oelama kepada masyarakat di daerah Majalengka dan sekitarnya.

Tahun 1942 ketika ormas-ormas Islam dibekukan oleh pemerintah penjajahan Jepang, KH Abdul Chalim mendapat dua tantangan besar di daerahnya. Intervensi Jepang kepada para pemuda untuk bergabung dalam pasukan militer Jepang dan kebanggan para pemuda untuk menjadi komunis merupakan dilema yang sangat sulit dihadapi.

Dalam situasi inilah KH Abdul Chalim membentuk Hizbullah cabang majalengka bersama KH Abbas Buntet Cirebon. Hizbullah Majalengka kemudian bahu membahu bersama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya, baik dari laskar-laskar santri maupun laskar-laskar pemuda lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada tahun 1955 KH Abdul Chalim menjadi anggota DPR dari partai NU dari perwakilan Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul Chalim lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan masyarakat seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU) dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.

Pada suatu hari tanggal 11 April 1972 M., selepas menunaikan ibadah sholat KH Abdul Chalim menghadap Ilahi dengan tenang dan dimakamkan di kompleks pesantren Sabilul Chalim Leuwimunding, Majalengka. (Syaifullah Amin, Disarikan dari buku "KH Abdul Chalim Kenapa Harus Dilupakan?" karya J. Fikri Mubarok)

Komentar:

Abdul Qohar menulis: suatu artikel yang bagus dan perlu bagi generasi muda untuk mencontoh para tokoh dalam perbuatannya.

Ina menulis: artikel yang bagus, jika ada yang memiliki buku 'KH Abdul Chalim Kenapa Harus Dilupakan', bisa dibagi dengan saya?atau buku-buku lain yang menceritakan tentang beliau. terima ksaih untuk penulis, satu wawasan baru untuk saya Ina, [email protected]

Hendra menulis: Assalamu'alaikum Wr.Wb.. Artikelnya sangat bagus dan indah sekali smoga generasi penerusnya dapat berjuang terus demi kemaslahatan dunia. Saya minta artikel yang lain agar dimasukan. Ada permintaan dari saya mudah2an ada jawaban soalnya urgen sekali karena buat saya sendiri : 1. Saya minta artikel tentang tahlil dan jiarah ke makam orang tua dan doa-doanya. 2. Saya pingin bisa belajar qiraat dari Bayathi, Hijazz sampe dengan selesai, Kalo mp3 nya kalo ada minta dikirim via email saya. Buat NU semoga perjuangannya terus berkibar dalam menciptakan syariat islam dimuka bumi. Smoga Allah SWT selalu mendengar do'a kita. Amien.. Wassalam.

J. FIKRI MUBARAK menulis: pemesanan buku KH. Abdul Chalim kenapa harus di lupakan ? bisa kontak via 081809621915 (J. fikri Mubarak, Pimred Tabayun, PCNU Majalengka). Rp. 25.000 (bea Pengiriman + INFAQ)

Page 34: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

edi wasdi menulis: Assalaamu `Alaikum Wr. Wb. Perkenankanlah saya ingin menyampaikan rasa bangga atas ketokohan KH. Abdul Chalim terhadap perjuangan NU di Majalengka, ternyata di Majalengka yang selama ini kurang di kenal di tingkat Nasional ada tokoh besar yang patut diteladani langkah dan perjuangannya, Insya Allah kami selaku penerus akan bekerja keras untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangannya, Amin...

ramadlan menulis: Sirah, KH abdul Halim ini sangt sedikit dimunculkan. termasuk putra-putra beliau yang mungkin kini masih aktif di NU. mungkin bisa disebutkan..? Apkah ada hubungannya dengan KH Asep Syaifudin Halim Pengasuh PP Amanatul Umah Siwalankerto Surabaya yang juga mantan ketua PC NU Surabaya.?

zhack R menulis: Tulisan sejarah/biografi ini sangat mahal, untuk menambah wawasan atau pengingat bagi generasi penerus, mengenal sejarah berarti mau diajak maju, demi AGAMA, BANGSA dan NKRI

KH DIMYATIKomandan Hizbullah Pendiri Madrasah Pertama di Blambangan Selatan 01/12/2008

Pada zaman-zaman perjuangan merebut kemerdekaan, banyak sekali korban yang harus dipertaruhkan oleh bangsa Indonesia. Tak terhitung lagi korban yang telah dipersembahkan demi sebuah kemerdekaan. Bukan sekedar harta dan nyawa, namun juga perasaan terhinakan karena terus dikejar-kejar dan terusir dari kampung halaman. Namun tentu saja banyak sekali para pahlawan yang justru memanfaatkannya untuk berjuang di dua ranah, yakni perjuangan fisik dengan mengangkat senjata dan perjuangan

dakwah dengan mendidik generasi penerus bangsa.

Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan bangsa yang berjuang di dalam dua medan perjuangan sekaligus ini adalah KH Dimyati Banyuwangi. Seorang ulama kharismatik yang telah memiliki banyak jasa bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Beliau adalah salah satu di antara para ulama Nahdlatul Ulama dengan andil besar dalam perjuangan fisik yang berpuncak pada meletusnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. Salah satu bentuk sumbangsih nyata bagi perjuangan fisik merebut kemerdekaan adalah fatwa Beliau yang berbunyi, “seluruh santri santri di daerah Banyuwangi selatan (kawasan Blambangan lama) wajib masuk Hizbullah.” Fatwa ini memiliki konsekwensi yang cukup besar bagi santri-santri di kawasan Banyuwangi selatan. Dengan adanya fatwa ini, para santri memiliki tugas ganda. Pada malam hari mereka harus mengendap-endap untuk menyerang pos-pos keamanan tentara Belanda dan Jepang.

Sementara pagi harinya mereka kembali memeluk kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran agama. Walhasil sebenarnya mereka belajar di atas timbunan amunisi dan mesiu hasil rampasan dari tentara penjajah. Memang secara struktural, KH Dimyati adalah Komandan Hizbullah (laskar pejuang yang berafiliasi ke NU) untuk wilayah Blambangan selatan.

Kegiatan ganda semacam ini di jalani oleh KH Dimyati bersama dengan santri-santrinya di Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab. Bukan tanpa resiko, selain menantang bahaya pada malam hari, mereka juga selalu diintai bahaya pada keesokan hari ketika mereka sedang mengaji. Banyaknya intel penjajah yang berkeliaran membuat keselamatan mereka selalu dipertaruhkan setiap saat.

Page 35: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Selain mengasuh Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab, KH Dimyati juga dipercaya sebagai Rois Suriyah I Nahdlatul Ulama cabang Blambangan (saat itu Banyuwangi selatan). Sementara pada waktu tersebut Pengurus Tanfidiyah dipercayakan kepada K Syuja’i. Keduanya, bersama para ulama lain, bahu membahu memimpin penduduk di sana untuk melawan penjajahan. Baik secara fisik maupun melawan terhadap segala dampak buruk penindasan Belanda dan Jepang, termasuk kebudayaan negatif yang dibawa oleh setiap pemerintah penjajah.

Keadaan ini berlangsung terus hingga masa-masa setelah kemerdekaan. Dalam mempertahankan kemerdekaan, para santri terus melakukan penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos tentara Belanda pada malam hari.  Maka benar saja, lama kelamaan perlawanan mereka pun tercium oleh Belanda. Sehingga pondok pesantren yang dipimpinnya pun digerebek oleh tentara Belanda.

Seluruh bangunan dibakar, termasuk bangunan pesantren dan tempat tingaal KH Dimyati diratakan dengan tanah oleh Belanda. Seluruh kitab-kitab Beliau sebanyak dua lemari besar pun habis di makan api. Karena di bawah bangunan pesantren banyak tertanam amunisi dan mesiu hasil rampasan para santri ketika bergerilya malam hari, maka akibat pembakaran semakin menjadi-jadi. Mesiu-mesiu ini mengakibatkkan api yang melalap gedung pesantren semakin menyala menjadi-jadi dan menimbulkan ledakan-ledakan hebat.

Meski para santri telah diperintahkan menyingkir dan berpencar, salah seorang santri bernama Muhammad Fadlan tertembak dan gugur pada penyerangan Belanda tersebut. Muhammad Fadlan kemudian dikuburkan sebagai syuhada dan dipindahkan ke Makam Pahlawan Banyuwangi pada tahun 1962.

Sementara KH Dimyati ditangkap oleh Belanda dan ditahan selama 27 bulan hingga pertengahan tahun 1949. Komandan Hizbullah Blambangan selatan ini sebenarnya sudah hampir dieksekusi oleh Belanda. Namun menurut beberapa cerita, ketika menjelang hari-hari eksekusi, dokumen-dokumen pidananya oleh Belanda ternyata hilang dan tidak pernah ditemukan lagi. Sehingga eksekusi tidak pernah benar-benar dilaksanakan, sampai waktunya ia dibebaskan karena kekalahan-kelahan Belanda di Indonesia.

Lahan untuk para SantriSetelah keluar dari tahanan Belanda dan bangsa Indonesia kembali menata kehidupannya dengan merdeka, maka KH Dimyati kembali membangun pesantrennya.

Pada tahun 1950 KH Dimyati mengumpulkan para tokoh agama di wilayah Banyuwangi selatan, dan pada tahun 1951 beliau secara resmi mengasuh Pesantren Nahdlatut Thullab kembali. Pada tahun 1957 Beliau dan keluarganya mendirikan Yayasan Nahdlatut Thullab. Beberapa saudara-saudara dan relasi keluarga KH Dimyati kemudian mengajukan permohonan kepada Presiden Soekarno di Jakarta. Rupanya pengajuan ini berhasil dan mendapatkan dana yang cukup untuk membangun kembali kompleks pesantren yang telah dibumihanguskan Belanda tersebut.

Dana dari Presiden Soekarno ini rupanya diirit-irit oleh panitia pembangunan, sehingga memiliki sisa yang cukup untuk dibelikan sawah seluas 5 hektare yang kemudian dikelola oleh para santri untuk menunjang kehidupan mereka selama mondok di Pesantren Nahdlatut Thullab. 

Metode penggarapan sawah oleh santri ini merupakan perluasan manfaat yang didapatkan oleh KH Dimyati dari pengalamannya selama Beliau menuntut ilmu di berbagai pesantren di Jawa Timur.

Menurut ceritanya, dahulu sewaktu KH Dimyati menginjak masa-masa remaja, ia ingin menuntut ilmu ke luar dari wilayah Blambangan (Banyuwangi). Maka, ia pun mengutarakan maksudnya ini kepada ibundanya. Namun sang ibu menyatakan bahwa keluarganya sedang tidak memiliki bekal yang cukup untuk membiayai keinginannya. Keluarga di Banyuwangi hanya memiliki tanah persawahan yang tidak dapat diharapkan

Page 36: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

banyak karena sulitnya zaman akibat penjajahan.

Namun Dimyati nampaknya telah teguh dengan keinginannya. Ia menginginkan untuk menjual sawah yang menjadi bagain warisannya kelak ketika dewasa. Kendati terheran-heran dan ham[ir tak percaya, Ibunya pun kemudian menyangupi ketika melihat tekad bulat anaknya ini. Ibunya lebih heran lagi ketika melihat bahwa semua uang hasil penjualan sawah satu satu hektar bagiannya, ternyata seluruhnya dibelikan kitab. Saking herannya ibunya bahkan sempat mengatakan, ”Makan tuh kitab.”

Walhasil Dimyati pun segera meninggalkan rumahnya untuk modok ke Pesantren Termas, di Pacitan. Karena seluruh uangnya telah dibelikan kitab, maka ia hanya dibekali oleh ibunya dengan sekarung cengkaruk/karak campur jagung. Bahan makanan ini berupa bahan yang  menunjukkan betapa sebenarnya keluarga Dimyati di banyuwangi juga sama-sama susah akibat penjajahan Belanda.

Namun rupanya dengan bekal hanya sekarung cengkaruk ini, Dimyati mampu bertahan hingga tiga tahun di Pesantren Termas. Rupanya ia bertahan di Termas dengan cara bekerja ke sawah untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok. Karenanya KH Dimyati kemudian menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.

Selama mondok Dimyati memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah santri kesayangan sang pengasuh Pesantren Termas. Pada saat itu pondok Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyati. Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyati berganti namanya menjadi Dimyati, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari Pesantren Termas, ia pun menggunakan nama Dimyati. Sementara nama lahirnya, Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.

Dalam pandangan KH Dimyati, para santri sah-sah saja bekerja selama menimba ilmu di pesantren, karena justru akan membantu mereka untuk mandiri sejak dini dan tidak membebani orang tua di rumah. Pesantren dapat menyediakan lahan yang digunakan oleh para santri untuk bercocok tanam atau membuka usaha, asalkan tidak mengesampingkan tugas utamanya, yaitu belajar ilmu agama. Dengan demikian para santri dapat menopang sendiri hidupnya, sehingga tidak perlu dikirim oleh orangtua dari rumah.

Begitulah yang dijalaninya selama mengaji di tiga pesantren, yakni Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih dan Pesantren Idham Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja’. Kedua pesantren yang terakhir berada di wilayah Banyuwangi sendiri.

Maka demikian pun ia mempraktekkan ilmunya ketika telah mengasuh pesantren. Para santri di Nahdlatut Thullab tidak harus membawa bekal atau dibekali oleh orang tuanya dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat menopang kehidupan dan membiayai pendidikannya selama di pesantren. Karenanya, dana pembangunan pesantren yang dari Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak membebani orang tua masing-masing.

Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena entah kebetulan atau tidak, jumlah santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas lahan yang tersedia untuk menopang kehidupan dan kebutuhan belajar mereka. Sehingga KH Dimyati dapat benar-benar mendidik mereka dengan seksama, termasuk ketika harus membina mereka sebagai laskar Hizbullah pada kegelapan malam. Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk merangkul kitab kuning pagi harinya di pesantren.

Sorogan Tak-langsung dan Pendidikan Bilfi'liDalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyati mengandalkan lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan seksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyati adalah "sorogan tak langsung”. Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya. Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan seksama ketika sang kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.

Page 37: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyati di Pesantrennya adalah metode bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga pesantren-pesantren Nusantara lainnya.     Selama mengasuh pesantren, selain terlibat dalam perjuangan fisik secara langsung di malam hari, KH Dimyati juga sempat membuat karangan tentang akhlak (karakter) yang semestinya dimiliki oleh para remaja Islam. Karangan ini berbentuk nadzam (semacam pantun dalam bahasa Arab, yang menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan KH Dimyati ini berjudul Muidzotus Syibyan (Nasehat untuk para Remaja).

Pesantren Nahdlatut Thullab sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu dan shorof. Meski tentu saja kitab2 tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya. Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyati, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya. Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah ketuhanan kepada masyarakat di daerah alumni itu sendiri.

Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut dapat mereka kuasai secara ”ladunni”. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, namun setelah kelaur dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyati sewaktu di pesantren dahulu.

Metodenya pembelajaran KH Dimyati sebenarnya sangat sederhana sekali. Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktifitas mereka. Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya.

Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyati adalah pendidikan bilhal/bifi’li. Yakni pendidikan praktek langsung, bukan hanya teori. KH Dimyati terkenal suka mengajak para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.

Beberapa santri bahkan menyatakan, sifat kewiraan KH. Dimyati banyak menitis/menurun kepada anak didiknya. Mereka sering didatangi oleh KH Dimyati jika malakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran KH Dimyati. Jika mereka mengalami hambatan atau kendala dalam kehidupan, kemudian bertawassul kepada KH Dimyati, maka biasanya mereka kemudian segera menemukan solusi dari permasalahan mereka.

”Semasa masih di pondok, para santri seakan tidak merasakan keistimewaan menimba ilmu kepada KH Dimyati, namun setelah mereka kembali pulang ke daerahnya masing-masing, barulah mereka mengerti keistimewaan tinggal di pondok ini. Kebanyakan para santri baru menyadari manfaat menimba ilmu pesantren Nahdlatut Thullab, Kaliogoro Kepundungan Srono Banyuwangi, ini setelah berdakwah di rumah,” demikian diungkapkan KH Syaifullah Ali Subagiono, Pengasuh Pondok Pesantren al-Hikmah, Ketapang Banyuwangi.

Berbagi Relasi untuk para SantriMenurut Subagiono, KH Dimyati benar-benar menjadikan hidupnya sebagai pengabdian sepenuhnya kepada sesama, termasuk kepada orang-orang dari tanah kelahirannya, Yogyakarta. Di manapun para alumni berada, biasanya mereka mendapatkan solusi terkait relasi yang ditunjukkan oleh KH Dimyati. Hal ini dikarenakan KH Dimyati yang berasal dari keluarga Yogyakarta memang memiliki banyak relasi di Jakarta, Yogyakarta dan daerah-daerah lain. 

Luasnya jaringan relasi di kalangan para pemimpin bangsa, dibuktikan oleh kunjungan berkala dari ketiga menteri agama Republik Indoensia yangd ari NU, yakni KH A. Wahid

Page 38: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Hasyim, KH Syaifuddin Zuhri dan KH Ahmad Dahlan, termasuk KH Ahmad Syaikhu. Meski sudah menjadi pejabat negara di tingkat pusat, namun tamu-tamu ini tetap bersikap santai di pesantren. Mereka biasa tiduran dan bercengkerama dengan santri di pendopo pesantren.

Terpenting KH Dimyati selalu menanamkan jiwa ke-NU-an di hati anak didiknya. Beliau menyatakan ingin hidup sebagai orang NU dan kelak jika meninggal pun sebagai orang NU. KH Dimyati mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan NU.  Sementara untuk urusan anak-anaknya, ia menyatakan, toh mereka bisa mencari hidup sendiri-sendiri.

Tokoh Kharismatik dari Blambangan selatan ini, terlahir pada tahun 1912 dan dibawa pindah ke kawasan Blambangan selatan oleh keluarganya, yang berasal dari Wonokromo Yogyakarta, sekitar tahun 1915-an dan boyongan dari pesantren untuk mendirikan pesantren dan berdakwah di daerah Blambangan selatan pada tahun 1936. pada tahun 1959 setelah usai merampungkan pembangunan gedung pesantrennya dan menyediakan cukup lahan untuk para santrinya menopang kehidupan dan biaya belajar selama di sana, KH Dimyati berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Namun di sanalah rupanya Beliau datang untuk menghadap kepada Rabb-nya pada usia 47 tahun. Sebuah pemakaman tanpa penghormatan militer, meskipun Beliau selalu berada di garis terdepan dalam pertempuran melawan tentara-tentara Belanda. Selamat jalan Komandan Hizbullah Blambangan selatan. Semoga generasi masa kini dapat meneruskan perjuanganmu mengusir imperialisme dari bumi Nusantara (Puji Utomo/Syaif)

Komentar:

satibi menulis: Assalamu'alaikum Wr.Wb. ..........saya sebagai generasi penerus bangsa , sangat bangga pd sosok tokoh seperti beliau., ............. oh ya , kalau boleh aku pengen dong dikirimin buku - buku nya , tentang para tokoh tokoh NU , untuk mengambil pelajaran , dan buat referensi materi untuk LakMud IPNU dan IPPNU di SMP NU Cikedung - Indramayu - Jabar ..... makasih .... Wallaahul muwaafiiq ilaa aqwaamithoriiq ,Wassalamu'alaikum Wr.Wb

Hayban menulis: Subhanalloh... sungguh saya terkesan dengan jiwa patriotisme[keberanian semangat dan jiwa pantang menyerah] KH Dimyati meskipun dengan keadaan ekonomi yang kurang mendukung, pahlawan ku KH Dimyati tetap gigih berjuang menuntut ilmu, menegakkan syariat dan berjihad di bumi Indonesia ini. Yaa Allooh yaa rohmaan yaa rohiim rohmatkanlah jiwa semangat patriotisme yang seperti ini kepada saya. Astaghfirulloohal'adziim.Amiiin

Hendra menulis: Tolong kalau ada penjelasan Terutama karena ada yang menyampaiakan Isa Sebagai Terkemuka Dunia Akhirat dalam Alquran. Wassalam

SYEIKH MUHAMMAD ABDUL MALIKMursyid Sederhana dan Penyayang Santri Miskin 01/11/2008

Purwokerto adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang masih aktif di pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah.

Sementara kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa yang disebut sebagai budaya Banyumasan. Ciri khas ini

ditandai dengan kekhasan dialek bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya.

Page 39: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi).

Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.

Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini. 

Salah satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.

Silsilah dan PendidikanSudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir. Melihat hal ini, maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk pindah ke tempat tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan Muhammad Ash'ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur). Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum'at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash'ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto.

Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan ”Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.

Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.

Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.

Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya  ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja.

Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak

Page 40: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk.

Guru-GuruSyeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha' dan Sayyid Muhammad Syatha', keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya.

Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad'aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib 'Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.

Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira'ah sab'ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.

Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam suatu waktu. Di samping belajar di tanah Suci selama 15 tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak.

Perjuangan FisikAdalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya.

Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.

Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.

KepribadianDalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada

Page 41: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.

Setiap hari Selasa pagi, dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan. Acara ini merupakan  forum silaturrahim bagi para pengikut Thoriqah Naqsyabandiyah Kholidiyah Kedung paruk yang diisi dengan pengajian dan tawajjuhan.

Syeikh Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib, Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (Brani, Probolinggo), dan lain-lain.

Termasuk di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syeikh Abdul Malik ini adalah Syeikh Ma’shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Kholil (Sirampog, Brebes), KH Anshori  (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas). Para ulama ini merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, namun tetap belajar ilmu al-Qur’an kepada Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk.

Sementara itu, murid-murid langsung dari Syeikh Abdul Malik di antaranya adalah KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.

Keluarga Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).

Ada sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik berkata padanya, ”Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah.

Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, ”Pak Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.

Sedangkan istri ketiga-nya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.

Page 42: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Pesan dan BerpulangSalah seorang cucu Syeikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah  dicontohkan Rasululah SAW. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama'ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin.

Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur'an. Baca dan pelajari  setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur'an di mana pun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur'an dan qari'-qari'ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.   Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah SAW serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.

Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya' dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus.  Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto. (Zakki Amali/syf)

Komentar:

umam Affandy menulis: Allahmmaghfirlahu..... warhamhu...... alfaatihah............. amiiiiin

Muhammad Surya Ikhsanudin menulis: Illa Ridho ilah wakulli niatin Sholihah illa wabrotin Nabi Muhammad SAW Al-fatihah

Khushushon Syeikh Abdul malik Al-Fatihah

nuurkholiss menulis: subhanallah... Sungguh seorang wali dan kekasih Allah....

m.yasin menulis: laa illa ha illallaah muhammad rosullulloh

anams menulis: Kapan ya aku bisa seperti beliau.... :(...

MUHAMMAD SAIHUL MUFID menulis: MUDAH2AN ALLOH SENANTIASA MENGAMPUNI DOSA2 BELIAU DAN MENERIMA SEMUA AMAL BAIK BELIAU AMIIIIIIIIIIIIIIIIIIN YA ROBBAL AALAMIN ALFATIHAH

Rakhmadiansyah menulis: MUDAH MUDAN ALLAH MEANUGRAHKAN PADA BELIAU KEDUDUKAN YANG BAIK DISISINYA DAN MENGGANTIKAN BELIAU DENGAN SEORANG AULIA YANG LAINNYA. YANG BISA MEMBIMBING KITA.AMIN...................

Muhammad Badarudin menulis: Betapa mulianya amal ibadahnya...apakah generasi muda kita msh bisa seperti beliau..??

Page 43: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

semoga>>.Amin... ILAHADAROTI MBAH ABDUL MALIK ILYAS...ALFAAATIHAH

Basirun menulis: Subhanalloh, MasyaAlloh ... Allohummaj'alna wa ahlana min ahlil 'ilmi wal qur'an ..

Mudah-mudahan Alloh segera mengutus pengganti beliau, sosok yang super dan luar biasa. Amiin. Alfatihah ...

mul menulis: Kok generasi muda NU sekarang banyak yang tidak mengikuti generasi tua yang sangat taat pada Alloh dan Rosulnya, malah generasi muda NU sekarang buaanyak yang berfikiran melenceng dari tokoh tuanya. gimana peran tokoh tokoh tua untuk mendidik generasi muda NU agar tidak menjadi duri dalam daging . karena banyak generasi muda yang mengaku NU "Ulil,Enong, dan orang orang di AKKBB" menurut saya orang orang yang mengajarkan ajaran diluar kebiasaan NU itu sendiri.

aconk82 menulis: Saya iri dengan para auliya2 Allah yg penuh ke-Ikhlasan seperti beliau di atas,kapan yach....saya bisa seperti beliau???

Abdus Salam menulis: kalo tidak salah rasuluulah memvonis munafik bagi orang yang tidak sedih terhadap perginya orang shalih. mudah2an putra2 beliau bisa seperti beliau bahkan bisa melebihinya hingga NU dan umat islam tidak banyak kehilanganpembimbing yang shaleh. amin ya mujibasssa'ilin

Sutrisno menulis: untuk berkunjung ke makom Syek Muhammad Abdul Malik.. harap berhati-hati.. Bisa terjadi keanehan-keanehan dan keajaiban.................

YANTO menulis: BAGUS....BAGUSSS.......

sigit Prihantono menulis: mbah Abdul Malik bagus akhlaqnya,smg 4JJl merahmatinya,Semulia-mulianya Wali 4JJl adalah sahabat Abu Bakar,jangan engkau melihat karomah para Wali, ttp ikutilah kemulian akhlaqnya. 4JJl memuji Nabi Muhammad S.A.W di AL-QUR'AN." Sungguh enkau "Muhammad" hambaku yang berakhlaq mulia"

mufti menulis: allohuakbar sungguh kisah yang menakjubkan tentang kesolehan dan keistiqomahan dalam ibadah beliau.....

kKang menulis: Ya Allah,ya Robby semoga engkau dekatkan aku dengan orang-orang yang saleh

hijrah yanuar iskhaq menulis: Beliau sangat istiqamah,Maulana Habib Luthy Bin Ali Bin Yahya adalah murid kesayangan beliau..semoga Maulana Lutfhy menjadi penerus Mbah Malik..Amiin..

arif menulis: kuat iman kuat islam insa allah selamat dunia akherat jika urusan dunia lihatlah kebawah jika urusan akherat lihatlah keatas

robbah mahzumi menulis: ya Alla, pesan beliau mudah-mudahan dapat saya lakukan, amiiiiiiiiiiiin

Page 44: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

SYEIK SULAIMAN AR-RASULI AL-MINANGKABAWISelalu Konsisten dengan Madzhab Syafi'i 16/06/2008

Perkembangan agama Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kiprah para tokoh agama dan ulama besar yang giat menyebarkan ajarannya di berbagai wilayah. Sejauh ini, Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang melahirkan banyak ulama terkemuka. Di antara ulama terkemuka tersebut adalah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat, 1287 H./1871 M., wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H./1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang gigih mempertahankan madzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Beliau dipanggil dengan sebutan "Inyik Candung". Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di kampung halamannya.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.

Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M - 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dll.

Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M) dll.

Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Pattani. Guru-gurunya ketika di Mekah antara adalah, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana.

Perjuangan

Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kelahirannya di Bukit Tinggi, Sumatera. Beliau berusaha untuk mempertahankan pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928, namun kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.

Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia.

Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahlussunnah Waljamaah dan madzhab Syafi’i. Syeikh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham

Page 45: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

dan madzhab ini.

Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Baik dalam sistem pendidikan maupun perjuangannya, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yakni Madzhab Syafi’i.

Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafi’i.

Sedangkan para ulama Malaysia yang seangkatan dengan Sulaiman ar-Rasuli dan sama-sama belajar di Mekah adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921 M) dan Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M).

Dalam penentuan awal dan akhir puasa (Ramadhan), Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih menyetujui metode rukyah (melihat langsung bulan sabit). Ini merupakan sebentuk penegasan beliau untuk mempertahankan corak keislaman yang berakar pada tradisi Nusantara. Dalam banyak hal Syeikh Sulaiman ar-Rasuli beserta seluruh ulama Tarbiyah Islamiyah mempertahankan ciri-ciri dan cita-cita keislaman tradisional menurut manhaj Ahlussunnah Waljamaah bersama-sama dengan para ulama Nahdhatul Ulama (NU) dan semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab Syafi’i.

Menurut Hamka, Syeikh Sulaiman ar-rasuli merupakan seorang ulama yang sangat gigih memperjuangkan kehidupan Umat Islam. Mendidik bangsanya menjadi lebih maju dan berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Hamka melansir dalam bukunya yang berjudul Ayahku Menulis, "Cuma Beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih dalam satu perkara (dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli). Bahwa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau, ed.), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”

Karya-karya

Sebagai seorang ulama, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya, karya-karya ini banyak di pelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara lainnya.karya-karya tersebut antara lain adalah :

1. Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj2. Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.3. Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri Warrabithah5. Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah8. Perdamaian Adat dan Syara‘.9. Kisah Muhammad ’Arif

Dalam hal ini, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama besar yang jarang tandingannya, kukuh dan kuat mempertahankan agama berorientasikan Sunni Syafi`i. Syeikh Sulaiman pulalah yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium ”adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan kitabullah”.

Page 46: Agh. Muhammad as'Ad (1906 - 1952)

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli juga merupakan ulama yang gigih mempertahankan tatanan kemasyarakatan Minangkabau untuk tetap mempertahankan tradisi kesalehan Nusantara. Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari bagaimana Beliau memperjuangkan prinsip ”Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena musyawarah” serta ”Tungku tigo sajarangan” yang telah diyakini masyarakat Minang sebagai cara kebijakan paling berrurat akar dalam tradisi Nusantara serta sama seklai tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.

Pengaruh

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang mengunjunginya. Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa, sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafie. Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama. Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsybandiyah.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli merupakan salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.

Pada hari pengkebumian beliau, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Bendera Republik Indonesia dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut oleh Pemerintah dan rakyat Sumatera Barat, untuk menyatakan rasa turut berbelasungkawa dengan kepulangan al-’Alim al-’Allamah al-Fadhil Maulana Syaikh Sulaiman ar-Rasuli bin Angku Muhammad Rasul al-Minkabawi, kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan keredhaan kepadanya. (Syaifullah Amin)