advokasi strategi pengurangan kemiskinan daerah (spkd). panduan

88
Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan) : GAPRI/OXFAM, Jakarta 2003 (www.gapri.org) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan indikator kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, yakni pendapatan US$ 2.00 per hari sesuai Purchasing Power Parity (PPP), jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan per tahun 2006 mencapai 110 juta jiwa. Itu berarti jumlah penduduk miskin mencapai hampir separuh dari keseluruhan jumlah penduduk. Sementara angka yang dikeluarkan BPS tahun 2007, penduduk miskin berjumlah 16,68 persen atau sekitar 37,17 17 juta jiwa. Kondisi objektif tersebut mendorong pemerintah untuk lebih serius menanggulangi persoalan kemiskinan dan pemiskinan. Upaya pemerintah terhadap persoalan ini adalah merancang suatu Strategi Nasional Penanggulangan Kemsikinan (SNPK). Proses penyusunan SNPK memakan waktu tak kurang dari 5 tahun, dari proses persiapan(termasuk kelembagaan) hingga diluncurkannya pada 12 Oktober 2005. Proses penyusunan SNPK juga melibatkan masyarakat luas (termasuk kaum miskin), sehingga tidak mengherankan jika penuh dinamika. Di samping itu, partisipasi masyarakat secara luas bisa menimbulkan di dalam diri mereka rasa memiliki (sens of belonging) yang kuat atas upaya pemerintah dalam menanggulangi persoalan kemiskinan melalui SNPK. Kemauan politik pemerintah yang kuat untuk Penanggulangan Kemiskinan (PK) terbukti dengan diadopsikannya SNPK ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005 – 2010, yang tertuang dalam Bab XVI. Dengan demikian posisi SNPK cukup strategis, tidak hanya sekadar dokumen strategi nasional, melainkan terintegrasi ke dalam RPJMN. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan substansi SNPK. Adapun tujuan penyusunan SNPK 1 (1) mempertegas komitmen pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, swasta, lembaga internasional, dan pihak yang peduli untuk memecahkan masalah kemiskinan, (2) membangun konsensus bersama untuk mengatasi kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar (right based approach) serta pendekatan partisipatif dan kemitraan dalam perumusan strategi dan kebijakan, (3) Menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG’s) dan (4) menyelaraskan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh 1 Lihat Presentasi Pokja Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, 21 April 2005; Lihat juga SNPK, 2005

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Disiapkan oleh GAPRI/OXFAM, Jakarta 2003 (www.gapri.org)

TRANSCRIPT

Page 1: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Advokasi Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (Buku Panduan):

GAPRI/OXFAM, Jakarta 2003 (www.gapri.org)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Berdasarkan indikator kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, yakni pendapatan US$ 2.00 per hari sesuai Purchasing Power Parity (PPP), jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan per tahun 2006 mencapai 110 juta jiwa. Itu berarti jumlah penduduk miskin mencapai hampir separuh dari keseluruhan jumlah penduduk. Sementara angka yang dikeluarkan BPS tahun 2007, penduduk miskin berjumlah 16,68 persen atau sekitar 37,17 17 juta jiwa.

Kondisi objektif tersebut mendorong pemerintah untuk lebih serius menanggulangi persoalan kemiskinan dan pemiskinan. Upaya pemerintah terhadap persoalan ini adalah merancang suatu Strategi Nasional Penanggulangan Kemsikinan (SNPK). Proses penyusunan SNPK memakan waktu tak kurang dari 5 tahun, dari proses persiapan(termasuk kelembagaan) hingga diluncurkannya pada 12 Oktober 2005. Proses penyusunan SNPK juga melibatkan masyarakat luas (termasuk kaum miskin), sehingga tidak mengherankan jika penuh dinamika. Di samping itu, partisipasi masyarakat secara luas bisa menimbulkan di dalam diri mereka rasa memiliki (sens of belonging) yang kuat atas upaya pemerintah dalam menanggulangi persoalan kemiskinan melalui SNPK.

Kemauan politik pemerintah yang kuat untuk Penanggulangan Kemiskinan (PK) terbukti dengan diadopsikannya SNPK ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005 – 2010, yang tertuang dalam Bab XVI. Dengan demikian posisi SNPK cukup strategis, tidak hanya sekadar dokumen strategi nasional, melainkan terintegrasi ke dalam RPJMN. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan substansi SNPK.

Adapun tujuan penyusunan SNPK1 (1) mempertegas komitmen pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, swasta, lembaga internasional, dan pihak yang peduli untuk memecahkan masalah kemiskinan, (2) membangun konsensus bersama untuk mengatasi kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar (right based approach) serta pendekatan partisipatif dan kemitraan dalam perumusan strategi dan kebijakan, (3) Menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG’s) dan (4) menyelaraskan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh

1 Lihat Presentasi Pokja Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, 21 April 2005; Lihat juga SNPK, 2005

Page 2: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, swasta, lembaga internasional, dan pihak lain yang peduli.

Sesuai kerangka legal kelembagaan dan penyusunan SNPK (Inpres 5 tahun 2003, Perpres 54/2005, SK TKPK 05/KEP/MENKO/KESRA/II/2006, SE Mendagri 412.6/2179/SJ) serta status RPJMN (Bab XVI), daerah perlu menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) menurut proses dan prinsip penyusunan SNPK. SPKD juga harus diintegrasikan ke dalam RPJM Daerah (propinsi/kabupaten/kota) sesuai dengan RPJMN. Bagan 1.1 Hubungan MDGs, SNPK dan RPJM

Sumber : Presentasi Pokja Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, 21 April 2005; Lihat juga SNPK, 2005

Setelah peluncuran SNPK, selain pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang lebih bersifat teknis kelembagaan dan bersifat koordinatif, ternyata belum ada rujukan resmi menyangkut proses dan substansi penyusunan SPKD serta proses integrasinya ke dalam Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD). Mengingat strategisnya penyusunan SPKD, karena tidak semata merupakan pembelajaran penyususnan Strategi PK melainkan juga sebagai pembelajaran dalam rangka pembuatan kebijakan publik yang melibatkan publik secara luas, termasuk peran kaum miskin, maka diperlukan sumber bacaan yang berguna bagi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi SPKD.

Dalam penyusunan SPKD hendaknya tetap mengacu pada SNPK sebagai arah pandu. Adapun hal-hal mendasar yang perlu disimak dalam proses dan substansi penyusunan SNPK adalah: Kotak 1.1 Substansi SNPK

•Menggunakan pendekatan hak dasar sebagai pendekatan utama

•hak- dasar meliputi hak-hak atas 1) pangan; 2) pendidikan; 3) kesehatan; 4) pekerjaan; 5) perumahan dan permukiman; 6) tanah; 7) air bersih dan aman; 8) SDA dan LH; 9) rasa aman: dan 9) hak untuk berpartisipasi

•Pemenuhan hak dasar dilakukan secara bertahap melalui tiga tingkatan, yaitu penghormatan, perlindungan dan pemenuhan

•Menjadi acuan bagi stakeholders dalam melakukan PK

• Tujuan Pembangunan Millenium yang ingin dicapai pada tahun 2015

• Angka kemiskinan dan kelaparan ditargetkan mengalami penurunan menjadi 7,5% pada tahun 2015

•Penjabaran visi, misi dan program Presiden selama 5 tahun ke depan

•Menjadi acuan bagi 1) Kementrian/Lembaga dalam menyusun Rencana Strategis Kementrian/Lembaga; 2) Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM Daerah; dan 3) Pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah

•Kemiskinan menjadi salah satu sasaran dalam utama dalam agenda peningkatan kesejahteraan rakyat

MDGs SNPK RPJM

Renstra Kementrian/Lemb

aga Pemerintah

RPJM Daerah

Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

Page 3: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Sumber : SNPK, 2005

Hal-hal tersebut jelas merupakan paradigma baru dalam penanggulangan

kemiskinan sejak Indonesia merdeka. Implikasi dari paradigma baru ini menimbulkan beragam respon pada tataran pemerintah daerah, seperti halnya terjadi dalam proses penyusunan SNPK. Di situ terjadi tarik-menarik kepentingan akibat intrepretasi yang berbeda-beda pada hal-hal di atas. Belajar dari pengalaman tersebut, agar tidak terulang kembali kesalahan intrepretasi, dibutuhkan panduan umum advokasi SPKD. 1.2 Maksud dan Tujuan

Panduan ini dimaksudkan untuk menjadi bahan rujukan bagi organisasi masyarakat sipil (CSOs) yang melakukan advokasi dengan isu kemiskinan, khususnya dalam kerangka penyusunan SPKD atau dokumen strategis tentang anti kemiskinan-pemiskinan di daerah, baik sektoral, isu maupun lintas. Saat ini bahan rujukan untuk advokasi ini masih sangat terbatas, kecuali juklak/juknis dari suatu program atau proyek penanggulangan kemiskinan yang ada selama ini. Di samping maksud tersebut, secara khusus panduan ini bertujuan agar pembaca :

1. mengerti dan memahami mengenai berbagai isu kemiskinan 2. mengetahui proses penyusunan SPKD yang berbasis suara orang miskin 3. melakukan advokasi baik proses, substansi penyusunan maupun

implementasi SPKD 1.3 Keterbatasan Bacaan Ini

Keterbatasan utama dari bahan bacaan ini adalah data-data yang digunakan

bukan data terbaru. Kami sadar data terbaru akan (mungkin) menghasilkan analisis yang berbeda dengan data yang relatif lebih lama. Sebagai masyarakat sipil kami juga sadar bahwa tidak mudah mendapatkan data dari pemerintah. Ada saja alasan untuk tidak memberikan data-data tersebut. Ini juga dapat menjadi refleksi bersama, kenapa masyarakat sipil kesulitan menemukan data, sementara lembaga penelitian, akademisi, dan donor dapat dengan mudah memperoleh data yang mereka inginkan.

Keterbatasan lainnya, panduan ini telah digagas sejak awal tahun 2005, namun

karena berbagai hal belum dapat diterbitkan. Konteks tentu telah berubah, namun dengan segala keterbatasan yang ada, kami berusaha menyesuaikan data dengan realitas. Kami berharap, semoga bacaan ini memberi manfaat bagi semua yang membacanya.

Kemiskinan multidimenasi Pelibatan Si dan Kaum Miskin dalam formulasi kebijakan Pendekatan berbasis HAK Diagnosis kemiskinan Kajiulang kebijakan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan Strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan Skenario dan rencana aksi penanggulangan kemiskinan 5 tahun (pembiayaan) Mekanisme pelaksanaan rencana aksi Sistem monitoring dan evaluasi

Page 4: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

BAB II

RAGAM PANDANG KEMISKINAN (Konteks dan Perspektif)

2.1 Ragam Pandang

Konsep dan definisi kemiskinan merupakan titik tolak pembahasan yang penting, karena konsep kemiskinan melatarbelakangi pendekatan yang digunakan dalam menanggulangi kemiskinan dan pilihan indikator-indikator untuk memantau kondisi kemiskinan. Pengertian dan definisi tentang kemiskinan sangat beragam sesuai evolusi ilmu pengetahuan atau perkembangan ilmu sosial. Seorang ekonom akan mendefinisikan kemiskinan secara berbeda dengan ilmuwan lain; definisi seorang marxian akan berbeda dengan seorang weberian. Inilah fakta yang harus disadari sejak awal, bahwa definisi dari seorang teoretis mengandung paradigma atau ideologi tertentu sehingga tak ada kesempurnaan sejati, baik dalam hal konsep, pendekatan maupun modelnya. Namun demikian tidak berarti bahwa definisi, konsep dan model tersebut tidak ada gunanya, minimal menjadi sumber untuk memahami realitas dan bagaimana cara untuk menghadapi realitas kemiskinan.

Ragam pandang tersebut secara umum dapat kita kategorikan menjadi sepuluh pengertian yang meliputi:

a. kemiskinan dilihat dari hubungan dengan proses (alamiah vs ciptaan sosial atau ketersisihan)

b. kemiskinan sebagai gejala sosial (kultural vs struktural) c. kemiskinan ditandai oleh faktor ekonomis (kebutuhan dasar vs kebutuhan

aktualisasi) d. kemiskinan dilihat dari bobot dan derajatnya (kronis, rentan dan sementara) e. Kemiskinan dipandang dari sudut penilai (subjektif vs objektif) f. Kemiskinan ditengarai sebagai gejala penilaian matematis (absolut vs relatif) g. Kemiskinan ditinjau dari geopolitik (keterisolasian vs keterbelakangan dan

ketergantungan) h. Kemiskinan ditelaah dari aset (fenomena kehidupan vs hak dasar) i. Kemiskinan dalam perspektif ruang (lokal vs global) j. Kemiskinan secara individual (laki-laki vs perempuan; orang tua vs anak)

Dan mungkin lebih banyak lagi variannya bila kita karakteristikkan lebih rinci,

seperti kemiskinan berkaitan dengan kelembagaan, sejarah, dan nilai-nilai. Namun secara umum, kemiskinan biasa didefinisikan sebagai kondisi keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Definisi ini mengandung dua kata kunci, yaitu keterbatasan kemampuan dan hidup secara layak. Bentuk keterbatasan kemampuan sangat bervariasi, dan antara lain dapat berupa keterbatasan ketrampilan, kondisi kesehatan, penguasaan aset ekonomi dan keterbatasan informasi. Sedangkan ukuran hidup secara layak akan sangat bervariasi tergantung pada norma dan kesepakatan sosial.

2.2 Pemahaman Kemiskinan

Page 5: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks, bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Agar upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, hal pertama yang harus dilakukan adalah elaborasi pengertian kemiskinan secara komprehensif.

Hall dan Midgley (2004:14), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan

sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. John Friedman, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada) modal yang produktif atau assets (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lainnya) sumber-sumber keuangan, organisasi sosial danm politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang; pengetahuan, keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna (Friedmann, 1979: 101).

Pengertian kemiskinan memiliki dimensi meliputi ekonomi, sosial-budaya dan

politik. Dimensi kemiskinan yang bersifat ekonomi memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material manusia seperti pangan, sandang, papan dan sebagainya. Dimensi ini dapat diukur dengan nilai uang meskipun harganya akan selalu berubah tergantung pada tingkat inflasi yang terjadi.

Dimensi sosial dan budaya memandang kemiskinan sebagai pelembagaan dan

pelestarian nilai-nilai apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan sebagainya. Dalam kategori ini, lapisan masyarakat miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayaan kemiskinan. Sedangkan dimensi politik melihat kemiskinan sebagai ketakmampuan masyarakat dalam mengakses proses-proses politik karena tidak adanya lembaga yang mewakili kepentingan mereka menyebabkan terhambatnya kelompok masyarakat memperjuangkan aspirasinya. Dimensi kemiskinan berimplikasi pada upaya untuk mendefinisikan kemiskinan, termasuk ukuran-ukuran yang digunakan. Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial2 mendefinisiikan kemiskinan sebagai berikut :

“Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan social. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.”

Office of the High Commissioner for Human Rights, United Nations menyatakan

bahwa kemiskinan terjadi karena adanya pengingkaran hak-hak manusia, karena itu

2 World Summit for Social Development , Maret 1995 di Kopenhagen, dikutip dari: “Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Interim Poverty Reduction Strategy Paper) Sebuah Kerangka Proses Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan jangka Panjang”. Komite Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta, Januariu 2003, hal. 6.

Page 6: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

kemiskinan tidak mungkin diatasi tanpa realisasi hak-hak manusia. Asian Development Bank – ADB (1999) memahami masalah kemiskinan sebagai perampasan terhadap aset-aset dan kesempatan-kesempatan penting dimana individu pada dasarnya berhak atasnya. Dalam pendekatan baru ini diakui adanya hambatan-hambatan struktural yang menyebabkan tidak terealisasinya hak-hak orang miskin.

Secara umum definisi-definisi tentang kemiskinan di atas menggambarkan

kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau suatu keluarga berada dalam keadaan: “kekurangan dan atau ketidaklayakan hidup menurut standar-standar tertentu, ketidakmampuan atau keterbatasan fisik manusia, ketiadaan atau kekurangan akses dalam memperoleh pelayanan minimal dalam berbagai bidang kehidupan, serta sulit atau kurang memperoleh akses dalam proses-proses pengambilan kebijakan”.

Berbagai pemikiran baru tentang kemiskinan yang memasukkan aspek

ketidakberdayaan (powerlessness) dan keterkucilan (isolation), kerentanan (vulnerability) dan keamanan (security) muncul sebagai konsep yang banyak dikaitkan dengan kemiskinan. Selain itu juga dikembangkan pemahaman mengenai penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) (Ellis, 1998). Amartya Sen kemudian menekankan perlunya meningkatkan kemampuan individu yang memungkinkan mereka melaksanakan kegiatan dalam masyarakat. Belakangan juga dimasukkannya relasi gender dalam konsep kemiskinan. Akhirnya, pada 1990an konsep kemiskinan diperluas dengan munculnya gagasan mengenai kesejahteraan (well-being) dan ketersisihan sosial (social exclusion). Oleh karenanya, untuk dapat memahami kemiskinan secara utuh diperlukan pemahaman mengenai seluruh dimensi kehidupan manusia. Sifat multidimensi dari kemiskinan inilah yang dicoba untuk ditangkap melalui berbagai macam konsep kemiskinan.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, pengertian kemiskinan telah

melangkah ke arah hak asasi. GAPRI memandang kemiskinan sebagai sebuah pelanggaran hak asasi. Gagasan tersebut kemudian digunakan untuk mempengaruhi substansi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), 2004), yang mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (meliputi hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Kemiskinan Absolut dan Relatif Kemiskinan absolut dan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu

pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang/keluarga. Kedua istilah itu merujuk pada perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan. Perbedaannya adalah pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif, kategorisasi kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk. Kategori ini dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan konsumsi maupun kemiskinan keterbelakangan yang bersifat multidimensi.

Page 7: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Dalam kemiskinan absolut, standar kemiskinan dihitung berdasarkan nilai uang yang dibutuhkan untuk membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan kebutuhan non-makanan tertentu; Tingkat pendidikan yang dianggap tertinggal ditetapkan berdasarkan kemampuan membaca/menulis (melek huruf) atau kelulusan dari sekolah dasar. Standar-standar ini tidak akan berubah meskipun tingkat kemakmuran masyarakat berubah. Standar kemiskinan absolut digunakan untuk menganalisis angka kemiskinan oleh dunia dengan menetapkan garis kemiskinan $ 1 per orang per hari dan angka kemiskinan yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS).

Kemiskinan relatif memandang kemiskinan berdasarkan kondisi riil tingkat kemakmuran masyarakat. Garis kemiskinan ditetapkan sebesar 20% dari rata-rata pendapatan penduduk di suatu daerah; Ketertinggalan pendidikan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas.

Standar ini dapat berubah antar-waktu dan antar-tempat, sehingga seolah-olah kemiskinan akan selalu ada sepanjang waktu. Kemiskinan relatif dianggap sebagai alat penting untuk melihat isu ketimpangan yang sering mendapat sorotan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemiskinan absolut dapat dihapuskan, isu kemiskinan akan tetap disoroti jika standar hidup layak suatu masyarakat meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat.

Kemiskinan Objektif dan Subjektif Pendekatan objektif dan subjektif terhadap kemiskinan berkaitan erat dengan

perkembangan pendekatan kualitatif-partisipatoris. Kemiskinan bersifat subjektif ketika standarnya ditekankan pada selera dan pilihan-pilihan seseorang atau sekelompok orang dalam menilai pentingnya barang-barang dan jasa bagi mereka. Sebagai pembanding adalah kemiskinan objektif yang melihat kemiskinan berdasarkan penilaian normatif secara umum tentang apa yang dianggap sebagai unsur-unsur kemiskinan dan apa yang dibutuhkan untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan.

Kemiskinan dapat dipahami sebagai kondisi objektif ketika ditekankan pada kebutuhan untuk dapat memperbandingkan kondisi kemiskinan antar daerah, walaupun masyarakat di daerah-daerah tersebut mempunyai preferensi yang berbeda-beda. Pendekatan ini banyak digunakan para ekonom, misalnya melalui pengukuran kebutuhan nutrisi (kalori) meskipun pilihan jenis-jenis makanan yang dianggap penting atau yang dinilai lebih berharga akan berbeda-beda antarindividu atau antarkelompok masyarakat.

Kemiskinan subjektif lebih menekankan pemahaman pada konsep kemiskinan dari sudut pandang masyarakat miskin. Perkembangan ini distimulasi ketakmampuan pendekatan objektif dalam menangkap fenomena kemiskinan secara utuh. Pendekatan ini didukung oleh pengembangan analisis kemiskinan partisipatoris dimana kelompok miskin dilibatkan untuk menjawab dan menganalisis keadaannya sendiri, dan pada akhirnya untuk bersama-sama menentukan program penanggulangannya.

Kontribusi konsumsi 20% penduduk pengeluaran terendah Kontribusi konsumsi 20% penduduk pengeluaran tertinggi

Garis kemiskinan =

Page 8: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

BPS menggunakan pendekatan objektif dengan menetapkan nilai uang untuk

membeli makanan setara 2.100 dan satu set konsumsi non-makanan sebagai batasan garis kemiskinan. Di samping itu, untuk keperluan sensus kemiskinan ditetapkan 8 indikator yang meliputi luas lantai rumah, jenis lantai, jenis jamban, sumber air bersih, kepemilikan aset, konsumsi lauk-pauk, pembelian pakaian dan keikutsertaan dalam rapat RT/desa. Rumah tangga yang tidak memenuhi lima kriteria di atas dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Sedangkan kriteria kemiskinan yang digunakan oleh masyarakat sendiri, sebagaimana disajikan pada Kotak 2.1 didasarkan pada indikator yang berbeda-beda sesuai realitas daerah masing-masing.

Kemiskinan sebagai Keterbelakangan Fisiologis dan Sosiologis Konsep kemiskinan sebagai keterbelakangan fisiologis menitikberatkan

standar kemiskinan yang masih berbasis konsumsi dan pemenuhan kebutuhan dasar. Kemiskinan konsumsi didasarkan pada kegagalan pemenuhan kebutuhan makanan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya (pakaian, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya). Konsep kemiskinan konsumsi melatarbelakangi munculnya kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan, baik melalui penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, atau peningkatan produktivitas, serta kebijakan untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh orang miskin, seperti subsidi harga barang kebutuhan pokok dan penyediaan pelayanan pendidikan dan kesehatan murah. Konsep kemiskinan yang mengacu pada kegagalan pemenuhan kebutuhan dasar juga menyoroti tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mendasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih. Konsep ini cenderung mencetuskan upaya penyediaan pelayanan-pelayanan dasar yang murah dan terjangkau oleh penduduk miskin. Konsep ini beranjak dari pemikiran tentang ketimpangan struktural dan diskriminasi sebagai penyebabnya. Pemikiran ini dilandasi oleh kenyataan bahwa meskipun sumberdaya yang cukup besar telah disalurkan ke sektor-sektor yang didominasi masyarakat miskin, tetapi mereka tidak mendapat keuntungan dari sumberdaya tersebut karena adanya struktur yang menjadi penghalang. Penghalang utama berasal dari struktur kekuasaan dan tata pemerintahan, serta ketimpangan dan ketersisihan yang diciptakan melalui kebijakan ekonomi makro dan sistem distribusi. Konsep kemiskinan ini lebih dikenal sebagai konsep kemiskinan struktural yang cenderung mencetuskan perlunya perubahan-perubahan kebijakan dan struktur kekuasaan.

Konsep ini memandang sebagai kegagalan kapabilitas (human capability approach) menekankan peningkatan kemampuan masyarakat miskin untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Secara spesifik ini tidak hanya menyoroti kondisi keterbelakangan yang diderita masyarakat miskin, tetapi juga kurangnya peluang-peluang nyata akibat adanya hambatan sosial dan faktor-faktor individual. Dalam konsep ini pendapatan hanya merupakan salah satu komponen dari penguasaan sumber daya ekonomi. Komponen lainnya adalah penguasaan atas barang dan jasa yang disediakan publik (pemerintah); akses terhadap sumber daya yang dimiliki atau dikelola komunal; dan penguasaan terhadap sumberdaya yang dapat disediakan melalui jaringan dukungan formal dan informal. Untuk meningkatkan kapabilitas dalam menanggulangi kemiskinan, kebijakan harus diarahkan pada upaya-upaya pemberdayaan dan fasilitasi partisipasi masyarakat miskin dalam kegiatan masyarakat supaya tercipta peluang bagi mereka untuk meningkatkan taraf hidup. Konsekuensi dari konsep ini mengarah pada upaya

Page 9: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

pemberdayaan, partisipasi dan penciptaan iklim yang kondusif akan menciptakan tantangan baru bagi strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Salah satu tantangannya adalah belum adanya kesepakatan tentang bentuk pemberdayaan dan partisipasi yang ideal. Selain itu, isu-isu struktural seringkali dipandang mengaburkan permasalahan kemiskinan fisiologis yang ada. Oleh sebab itu, banyak pihak menyarankan untuk tidak mencampuradukkan kebijakan fisiologis dan kebijakan sosiologis dalam program pemberantasan kemiskinan.

Kemiskinan Sebagai Proses

Syaifuddin (2007), membagi cara berpikir yang memandang kemiskinan sebagai gejala absolut; dan, sebagai gejala relatif. Cara berfikir (model) mengenai kemiskinan sebagai gejala absolut memandang kemiskinan sebagai kondisi serba berkekurangan materi, hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki sarana untuk mendukung kehidupan sendiri. Cara pandang relativistik ini terdiri atas dua cara pandang, yakni cara pandang (model) kebudayaan, dan cara pandang (model) struktural. Kemudian, bermula pada tahun 1990an, terjadi perkembangan baru dalam pendekatan terhadap kemiskinan, yakni memandang kemiskinan sebagai proses. Pendekatan proses mengenai kemiskinan baru saja dikenal di Indonesia. Untuk sebagian besar, pendekatan yang digunakan di ruang ilmiah maupun praktis masih didominasi pendekatan kebudayaan dan struktural sebagaimana dibicarakan di atas. Kedudukan dan otoritas peneliti – dan pemerintah dalam konteks praktis – dominan dalam pendekatan kebudayaan (lihat, Lewis 1961, 1966) dan struktural (lihat, Valentine 1968) mengenai kemiskinan. Dengan kata lain, “orang miskin” dalam kedua model kemiskinan ini dilihat sebagai obyek, baik sebagai sasaran penelitian maupun sebagai sasaran program kebijakan.

Dalam pendekatan proses, peneliti berupaya mengungkapkan kemiskinan menurut apa yang sesungguhnya terjadi dalam realitas empirik. Orang miskin diposisikan sebagai subyek yang berpikir dan bertindak, mengembangkan strategi-strategi dan kiat-kiat agar bertahan hidup. Mengikuti cara berfikir proses tersebut, maka masalah penelitian ini adalah bahwa orang miskin – sebagaimana halnya orang yang tidak miskin – mengembangkan hubungan-hubungan sosial khusus di antara sesama orang miskin maupun orang-orang yang tidak miskin berdasarkan kompleks kepentingan satu sama lain, yakni mempertahankan hidup (dalam hal ini berarti memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendasar). Penulis berasumsi bahwa: Pertama, kompleks keterjalinan hubungan-hubungan sosial yang khas ini membangun suatu integrasi sosial orang-orang miskin dan tidak miskin sedemikian, sehingga batas-batas golongan miskin yang diasumsikan dalam pendekatan kebudayaan dan struktural di atas menjadi baur. Kedua, sebagai konsekuensi dari hubungan-hubungan sosial yang khas tersebut, maka akumulasi totalitas hubungan sosial dan tindakan sosial yang terwujud berimplikasi mundurnya kondisi kehidupan perkotaan, karena hubungan-hubungan sosial yang tidak formal semakin penting, dan bahkan kadang-kadang lebih penting daripada aturan-aturan formal dalam menentukan arah tindakan.

2.3 Konsep-Konsep

Ketimpangan (Inequality) Kemiskinan dan ketimpangan adalah konsep yang berbeda, tetapi keduanya

seringkali digunakan bersamaan dalam analisis kemiskinan karena adanya

Page 10: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

keterkaitan yang erat antara keduanya. Kemiskinan mengacu pada kondisi keterbelakangan dalam berbagai bentuk (pendapatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan kapabilitas), sedangkan ketimpangan mengacu pada distribusinya di antara anggota suatu kelompok masyarakat dan daerah. Dalam banyak kasus kemiskinan dipengaruhi oleh ketimpangan distribusi ekonomi baik oleh struktural maupun natural. Penggabungan indikator kemiskinan dan ketimpangan seringkali diwujudkan dalam analisis dan menilai kemiskinan, misalnya berdasarkan kelompok, gender, wilayah, atau etnis. Penggabungan ini merupakan keniscayaan karena memang kemiskinan tidak berdiri sendiri. Mencermati ketimpangan pada gilirannya akan dapat memotret seberapa besar gap antara satu kelompok, wilayah, gender dengan kelompok lainnya. Hasil yang diperoleh dari analisis keduanya adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Secara kuantitatif, Kedalaman kemiskinan berarti mengukur secara rata-rata

seberapa jauh jarak orang miskin dari garis kemiskinan. Secara singkat, pengukuran ini melihat seberapa miskinnya si miskin. Jika secara rata-rata konsumsi orang miskin hanya sedikit di bawah garis kemiskinan, maka kedalaman kemiskinan lebih kecil daripada jika rata-rata konsumsi orang miskin jauh di bawah garis kemiskinan. Secara kualitatif, kedalaman kemiskinan juga dapat ditunjukkan dengan gak antara klasifikasi kaum termiskin dengan kelompok-kelompok diatasnya. Demikian pula dengan Keparahan kemiskinan, secara kuantitatif dapat mengukur ketimpangan distribusi di antara orang miskin. Penghitungan kedalaman dan keparahan kemiskinan diperlukan karena ada beberapa program yang mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan tetapi mengurangi kedalaman maupun keparahan kemiskinan. Sementara ukuran secara kualitatif ketika kaum miskin tidak lagi hidup seperti biasanya, misalnya terpaksa makan nasi aking, mendorong anaknya bekerja, dan lainnya. Penggabungan indikator kemiskinan dengan ukuran ketimpangan mempertajam dan memperkaya gambaran mengenai sebaran permasalahan kemiskinan, sekaligus perilaku kaum miskin itu sendiri.

Kerentanan (Vulnerability)

Kemiskinan merupakan konsep yang selalu bergerak. Seseorang menjadi miskin sangat tergantung dari indikator yang ditetapkan, basis yang dimilki dan kebijakan pemerintah. Secara ekononomik, kemiskinan memiliki garis yang dapat berubah kapan saja, dan kelompok masyarakat yang tingkat pengeluarannya berada di sekitar garis kemiskinan akan cenderung keluar-masuk kategori miskin jika terjadi gejolak harga atau gejolak penghasilan. Kelompok ini ini biasanya disebut kemiskinan sementara (transient). Sementara masyarakat miskin yang lebih sering miskin dalam waktu yang lama dan mempunyai kecenderungan untuk dibawah garis tersebut disebut kemiskinan kronis. Adapun keluarga miskin yang sama sekali tidak pernah keluar dari kemiskinan dalam jangka waktu yang sangat lama disebut kemiskinan berkanjang (persistently poor). Keluar-masuknya kelompok sementara tersebut pada garis kemiskinan munculnya konsep kerentanan (vulnerability). Namun secara dominan kerentanan tersebut lebih didominasi faktor eksternal, terutama kebijakan pemerintah.

Kebijakan pemerintah misalnya menaikkan BBM jelas akan membuat kelompok sementara tersebut dapat menjadi miskin. Sementara yang sudah miskin akan bertambah menjadi miskin. Konsep kerentanan dilandasi bahwa guncangan ekonomi maupun non-ekonomi dapat memperparah permasalahan kemiskinan,

Page 11: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

misalnya krisis ekonomi. Kerentanan dapat diakibatkan oleh faktor eksternal seperti bencana alam yang terjadi sesaat, seperti gunung meletus dan tsunami; gejolak alam yang bersifat musiman, seperti kekeringan, banjir atau datangnya ombak besar; gejolak ekonomi makro yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja atau naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok; dan gangguan keamanan atau gejolak politik yang mengganggu kestabilan aktivitas kerja; serta kematian atau sakitnya anggota keluarga. Kerentanan juga dapat disebabkan oleh faktor internal berupa kondisi kesehatan, pendidikan dan ketrampilan yang kurang memadai, ataupun perilaku dan kebiasaan yang cenderung mengakibatkan terjadinya kemiskinan seperti kebiasaan berjudi atau pola hidup yang terlalu konsumtif dan tidak adanya kebiasaan menabung. Namun, dominan hal tersebut disebabkan oleh pihak eksternal, terutama pemerintah.

Konsep kerentanan pada akhirnya harus dipahami oleh pemerintah, sehingga dalam pembuatan kebijakannya mendasarkan kondisi yang ada. Perhatian terhadap peluang dan risiko yang ditimbulkan oleh berbagai bentuk guncangan mempengaruhi penyusunan kebijakan. Dalam kaitan dengan isu ketahanan pangan (food security), konsep kerentanan mengarahkan kebijakan ketahanan pangan agar tidak hanya memperhatikan masalah kekurangan gizi, tetapi juga pada ketersediaan pangan sepanjang musim atau peluang seseorang atau sekelompok orang untuk tidak mempunyai pangan yang mencukupi pada musim tertentu. Konsekuensi serupa juga dapat diaplikasikan pada isu-isu lainnya, seperti peluang putus sekolah, menderita penyakit atau tidak bekerja pada saat-saat tertentu.

Pemahaman tentang risiko dan kerentanan akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat rentan, dan membantu pemerintah menyusun kebijakan yang efektif untuk menanggulangi kemiskinan. Masyarakat dengan pendapatan rendah dan mempunyai kerentanan yang tinggi akan cenderung mempertahankan tingkat kehidupan subsisten dengan tidak memanfaatkan peluang untuk melakukan kegiatan yang berorientasi pasar, yang cenderung lebih fluktuatif. Fenomena semacam ini seringkali membuat frustrasi pembuat kebijakan yang berupaya meningkatkan kegiatan ekonomi berupa peningkatan produksi yang berorientasi pasar. Dengan adanya pemahaman tentang persepsi masyarakat terhadap kerentanan, kebijakan peningkatan produksi akan menjadi lebih efektif dengan menanggulangi kerentanan endemis di kalangan masyarakat rentan. Fenomena semacam ini dapat lebih dipahami melalui analisis kualitatif.

Analisis kualitatif mampu menjawab variabel-variabel yang tidak mampu

dijelaskan melalui analisis kuantitatif. Pendekatan kuantitatif memberikan gambaran yang representatif dan dapat digunakan untuk generalisasi karena ketepatannya dapat dihitung. Namun, ada variabel-variabel yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan tapi sulit dikuantifikasi (dengan menggunakan teknik-teknik statistik), misalnya: kultur/budaya, perilaku, identitas, persepsi, kepercayaan, nilai-nilai, ‘trust and reciprocity’. Kebijakan dan program untuk mengurangi angka kematian ibu dan meningkatkan kesehatan reproduktif perempuan misalnya, perlu memperhatikan hubungan jender dalam masyarakat dimana kebijakan dan program tersebut dilaksanakan. Jika dalam masyarakat tersebut suami (laki-laki secara umum) memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pengambilan keputusan baik dalam ranah domestik (rumah tangga) maupun dalam ranah publik maka para suami/bapak juga harus menjadi sasaran program tersebut. Dengan demikian penyuluhan tidak hanya dilakukan terhadap para istri/ibu tetapi juga harus

Page 12: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

dilakukan terhadap para suami/bapak sekalipun materinya bisa berbeda sesuai dengan strategi dan kebutuhan.

Ketersisihan (Exclusion) Konsep ketersisihan sosial mengacu pada berbagai norma dan proses yang

menghalangi (tidak mengikutsertakan) seseorang atau sekelompok orang untuk berpartisipasi secara efektif dan sederajat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, kultural dan politik di masyarakat. Konsep ini pada awalnya tumbuh dari konteks welfare state. Di sini, ketersisihan sosial dikaitkan dengan kelompok yang tidak punya akses terhadap berbagai program perlindungan sosial (asuransi kesehatan, pensiun/ jaminan hari tua, subsidi pendidikan, asuransi kecelakaan kerja) dan pelayanan publik. Namun belakangan ini, konsep social exclusion sering digunakan secara lebih luas dengan mencakup juga ketersisihan dari berbagai institusi ekonomi, sosial dan politis. Oleh sebab itu, konsep ini berguna untuk memahami berbagai bentuk keterbatasan (deprivation) yang disebabkan oleh diskriminasi terhadap kelompok sosial tertentu.

Ketersingkiran seseorang atau sekelompok orang atau setidaknya adanya perasaan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak diikutsertakan dalam berbagai aspek kehidupan sosial menyebabkan terjadinya kondisi ketersisihan sosial. Ketersisihan dapat terjadi di sektor tenaga kerja, sistem pendidikan, dan berbagai macam pelayanan publik atau partisipasi politik. Bentuk dan alasan ketersisihan dapat dilatarbelakangi oleh faktor gender, umur, ras, agama, etnis, lokasi, pekerjaan, penyakit, atau hirarki sosial.

Hubungan antara kemiskinan dan ketersisihan sangat variatif tergantung bagaimana keduanya didefinisikan. Jika kemiskinan didefinisikan sebatas kemiskinan material atau keterbelakangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, maka ketersisihan berbeda dengan kemiskinan, meskipun ketersisihan dapat menjadi salah satu penyebab dan dampak yang berkaitan erat dengan kemiskinan. Namun, jika kemiskinan didefinisikan sebagai kegagalan kapabilitas yang menekankan pada berbagai aspek kemampuan fisik, material, pengetahuan, dan sosial, maka ketersisihan merupakan salah satu unsur kemiskinan, karena ketersisihan mencerminkan keterbatasan kapabilitas untuk terlibat penuh dan memanfaatkan peluang yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat.

Pemahaman tentang fenomena ketersisihan sangat penting dalam analisis kemiskinan karena peranannya dalam memperlihatkan bagaimana relasi dan interaksi akan mempengaruhi kondisi kemiskinan. Pengaruh relasi dan interaksi ini tidak akan mampu ditangkap dari analisis yang hanya melihat kondisi keterbelakangan materi atau pemenuhan kebutuhan dasar semata. Pemahaman tentang relasi dan interaksi yang banyak digali dari analisis kualitatif ini banyak dipromosikan sebagai masukan yang sangat berharga dalam penyusunan kebijakan agar mampu menyentuh akar permasalahan kemiskinan yang lebih banyak terkait dengan kemiskinan dari sudut pandang sosiologis.

Budaya Kemiskinan

Oscar Lewis, mengembangkan konsep ‘budaya kemiskinan’ pada tahun 1959. Ia adalah ahli antropologi, yang melakukan penelitian di komunitas slum di Meksiko. Konsep ini menjelaskan bahwa kelompok miskin cenderung mengembangkan ‘budaya kemiskinan’ untuk melindungi diri dari ideologi

Page 13: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

akumulasi yang umumnya dianut oleh kelompok kelas menengah dan atas. Orang-orang yang terjerat kemiskinan dari generasi ke generasi tahu bahwa mereka hanya memiliki posisi pinggiran (marginal) dalam masyarakat yang individualistis dan terkotak-kotak dalam jenjang sosial. Kelompok miskin juga tahu bahwa masyarakat luas tidak menawarkan prospek kepada mereka untuk menaikkan posisi sosial-ekonomi. Untuk bertahan hidup, kelompok miskin mengembangkan strategi tersendiri karena masyarakat luas cenderung mengabaikan mereka. Strategi ini berupa seperangkat nilai, norma, pola perilaku yang berbeda dengan pola yang diikuti secara luas. Dalam pandangan Lewis, sekali budaya kemiskinan berkembang maka budaya itu akan berulang dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Konsep budaya kemiskinan telah diperdebatkan secara panjang lebar selama

beberapa dekade. Dalam pandangan Lewis, kultur kemiskinan bukanlah sesuatu yang telah ada secara intrinsik pada masyarakat miskin, melainkan suatu bentuk adaptasi yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu (yaitu kemiskinan yang parah dan lama). Yang menarik untuk dicacat adalah bahwa adaptasi ini tampaknya bisa memecahkan masalah dalam jangka waktu pendek tapi justru merugikan dalam jangka waktu panjang. Ini dapat menyebabkan orang terjerat kemiskinan. Saat adaptasi itu disosialisasikan pada generasi berikutnya, maka mereka mendapat tranfer minus (yaitu belajar strategi bertahan hidup yang tidak bisa membantu keluar dari kemiskinan).

Gender Konsep jender mengacu pada hal-hal yang lebih luas dan kompleks dari

sekedar perbedaan jenis kelamin (laki-laki – perempuan). Konsep ini berusaha mengangkat berbagai pembedaan yang dikaitkan dengan bagaimana menjadi ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ baik diranah publik maupun ranah domestik, dalam suatu konteks sosial, ekonomis, politis dan kultural tertentu. Pembedaan ini bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk dilakukan dengan berbagai cara dan diterapkan oleh berbagai institusi sosial. Berbagai literatur kemiskinan berargumen bahwa perempuan cenderung lebih terpuruk dalam kemiskinan dibanding laki-laki. Dalam perdebatan ini muncul konsep ‘feminisasi kemiskinan’ (feminization of poverty) yang berisi berbagai pemikiran dimana perempuan lebih sering mengalami kemiskinan lebih parah dari pada oleh laki-laki.

Adaptasi dan Modal Sosial

Konsep adaptasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang menempatkan manusia sebagai pelaku berupaya mencapai tujuan-tujuannya atau kebutuhan-kebutuhannya, untuk menghadapi lingkungan dan kondisi sosial yang berubah-ubah agar tetap bertahan. Sedang dalam proses adaptasi atau untuk mencapai tujuan dan kebutuhan secara individuil atau kelompok, ia dapat memobilisasi dan memanfaatkan sumber-sumber sosial, material, tehnologi serta pengetahuan kebudayaan yang dimiliki. Cara-cara yang dipilih biasanya mengadakan hubungan-hubungan sosial baik dengan pihak-pihak yang berada di dalam maupun di luar komunitas. Hubungan-hubungan tersebut selanjutnya dikenal dengan modal sosial. Putnam (1993:167) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan ('trust’), aturan-aturan ('norms') dan jaringan-jaringan kerja ('networks’) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi. Lebih lanjut dikatakan Putman bahwa kerjasama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial dalam

Page 14: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik danjaringan-jaringan kesepakatan antar warga.

Menurut Tonkiss (2000) bahwa modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Lebih jauh, Tonkiss mengatakan pula bahwa pada kenyataannya, jaringan sosial tidaklah begitu saja menciptakan modal fisik dan modal finansial yang belum pernah ada. Biasanya penduduk miskin memiliki pertalian-pertalian sosial yang kuat, namun ini terisolasi dari jaringan ekonomi dan sosial yang mendominasi (mainstream). Maka, dalam hal ini, “jaringan kemiskinan” tidaklah menunjuk kepada tiadanya atau lemahnya jaringan-jaringan sosial, melainkan karena menunjuk kepada sulitnya untuk mengakses peluang dan sumber daya melalui jaringan-jaringan yang ada.

Derajat Kemiskinan

Pada saat tertentu kondisi kemiskinan seseorang dapat berubah dari 0o

menjadi 180o. Situasi paling ringan disebut sebagai kemiskinan potensial (potential poor) atau hampir miskin (near poor). Sementara itu orang yang tengah mengalami kemiskinan ada dua macam: pertama, mereka mengalami kemiskinan untuk sementara waktu karena kondisi eksternal yang membawanya ke situasi seperti itu (kemiskinan sementara). Kedua, mereka mengalami dalam waktu yang lama dan sulit diubah ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi (kemiskinan kronis).

Kemiskinan potensial (potential poor), yaitu orang yang pendapatannya berada

sedikit di garis kemiskinan dan tidak melakukan investasi yang memadai, sehingga sedikit saja goncangan eksternal membuat mereka kehilangan pekerjaan atau berkurang perolehan pendapatannya sehingga jatuh dalam situasi kemiskinan yang lebih buruk. Orang yang berada pada situasi pendapatan seperti ini disebut hampir miskin (near poor). Potensi menjadi miskin rentan terjadi pada mereka yang memiliki latar pendidikan rendah, ketrampilan kerja terbatas,atau kemampuan inovasi atau produksi yang juga terbatas.Potensi menjadi miskin bisa juga berasal dari faktor-faktor eksternal, seperti tempat tinggal yang rentan terhadap bencana alam (banjir, tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, badai tsunami, dan sebagainya).Tatanan sosial yang rusak sehingga rentan mengalami konflik horisontal juga dapat menjadi potensi untuk terjadinya kemiskinan yang lebih buruk.

Kebijakan politik dan ekonomi yang mengguncang kemapanan sekaligus

berpengaruh pada menurunnya atau bahkan hilangnya pekerjaan (PHK, bangkrut, menurunnya produksi dan pendapatan). Kebijakan perusahaan dalam hubungan kerja kontraktual yang tidak setara, bencana alam yang datangnya tak diduga-duga dan secara langsung menghilangkan pekerjaannya, konflik sosial politik, dan kondisi kesehatan manusia yang semakin menurun, di tengah tiadanya jaminan sosial yang memadai bagi keberlangsungan kehidupan seseorang/keluarga, menjadi faktor-faktor krusial yang membuat seseorang atau keluarga rentan terhadap kemiskinan.

Kerentanan kemiskinan mengancam rakyat miskin karena ketidakjelasan

sistem dan kondisi yang tidak memihak kepada rakyat miskin. Tidak adanya jaminan sosial yang memadai atau adanya sistem kontrak kerja yang ditentukan sepihak oleh pemilik lapangan kerja/pemilik modal dimana pekerja tak memiliki

Page 15: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

posisi tawar setara di hadapan majikannya (atau dengan kata lain tetap berlangsung pola hubungan buruh majikan yang tidak setara sehingga setiap saat buruh terancam di-PHK. Krisis ekonomi yang berkepanjangan berakibat buruk pada ketersediaan lapangan kerja dan pada gilirannya akan menciptakan kerentanan penduduk untuk menjadi miskin.

Kemiskinan sementara (transient poverty), adalah kemiskinan yang terjadi

dalam waktu relatif sementara. Kemiskinan ini dialami oleh orang (keluarga) yang sebelumnya tidak miskin, tetapi karena kondisi eksternal tertentu (perang, konflik horisonatal dalam masyarakat, bencana alam, kecelakaan dan sebagainya), orang atau keluarga tersebut jatuh miskin. Mereka mungkin mempunyai latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang cukup memadai, atau memiliki etos kerja dan daya inovasi yang tinggi. Orang atau keluarga seperti ini dengan mudah dapat terbebas dari situasi miskin jika kondisi eksternal berubah ke arah yang lebih positif.

Kemiskinan kronis (cronic poverty). Kemiskinan dapat berlangsung secara

terus-menerus, atau lebih bersifat permanen. Di sini orang lahir dari keuarga miskin, hidup di masyarakat miskin, mungkin dengan kultur kemiskinan (fatalisme), atau tinggal di tempat yang tidak menguntungkan (tanah tandus, miskin sumber daya alam, terisolisasi secara spasial), sehingga sedikit kesempatan tersedia baginya untuk meningkatkan kualitas hidup. Kemiskinan kronis dapat diperparah oleh kebijakan negara yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin atau daerah tertinggal, atau oleh sistem pasar yang tidak memberi ruang bagi mereka untuk masuk sebagai tenaga kerja atau untuk menjual produk-produk mereka karena tidak bisa bersaing dengan produk-poruduk lain di pasar bebas. 2.4 Indikator dan Instrumen

Ukuran kemiskinan menjadi sangat penting. Selain untuk mengetahui tingkat kemiskinan, status kemiskinan suatu keluarga juga memiliki berbagai fungsi. Pertama, sebagai alat penargetan program-program penanggulangan kemiskinan. Kedua, sebagai alat untuk mengukur dampak suatu program penanggulangan kemiskinan. Jenis data yang dibutuhkan untuk ketiga jenis tujuan pengukuran kemiskinan di atas dapat berbeda, meskipun seluruhnya membutuhkan data pada tingkat keluarga dan/atau lingkungan. Selain itu, data yang dikumpulkan juga dapat berbeda menurut jenis metode pengukuran yang dipilih.

Jika ragam pandang di atas diterjemahkan ke dalam indikator dan instrumen,

maka dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni model matematis-statistik yang lebih bersifat kuantitatif dan model analitis yang lebih bersifat kualitatif. 2.4.1 Model Matematis-Statistik

Awalnya kemiskinan hanya diukur dari aspek makanan atau konsumsi,

dimana seseorang dikatakan miskin bila makanannya tidak memenuhi kriteria minimum yang dibutuhkan. Jumlah pemenuhan kebutuhan pangan yang minimum ini disebut garis kemiskinan. Kemudian bukan sekadar makanan, melainkan pada keperluan hidup lainnya, yang kemudian pada tahun 70-an berkembang dengan pengukuran kebutuhan dasar yang terdiri dari makanan dan non makanan. Jadi kemiskinan dipandang sebagai persoalan konsumsi atau ekonomis semata.

Page 16: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Sayogyo misalnya, pada pertengahan tahun 70-an menggunakan metode

daya beli beras untuk menghitung kemiskinan berdasarkan dugaan pengukuran pendapatan. Konsumsi beras merupakan ukuran yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kekayaan rumah tangga. Perbedaan desa-kota dilakukan dengan mendorong garis kemiskinan ke atas sebesar 50%. Berdasarkan metode itu kemiskinan rumah tangga dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: i) sangat miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di bawah nilai 240 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan, ii) miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di bawah nilai 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan, iii) hampir miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan dengan nilai antara 320-480 kg beras untuk pedesaan dan 480-720 kg beras untuk perkotaan, iv) tidak miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di atas nilai 480 kg beras untuk pedesaan dan 720 kg beras untuk perkotaan.

Sementara Badan Pusat Statistik menggunakan metode objektif untuk

mengukur kemiskinan dengan mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar. Garis kemiskinan BPS dibentuk oleh sejumlah rupiah untuk memenuhi kebutuhan 2.100 kalori perkapita per hari ditambah dengan kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan,kesehatan, transportasi dan sebagainya. Dalam menghitung garis kemiskinan, BPS menggunakan sumber data Modul Konsumsi Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS). Garis kemiskinan yang dihasilkan mencakup garis kemiskinan nasional, provinsi, perkotaan dan pedesaan. Garis kemiskinan Kabupaten/Kota dikembangkan dari garis kemiskinan propinsi3.

Sedangkan Bank Dunia (IBRD), merilis garis kemiskinan setara dengan US $

1dan US $ 2 berdasar PPP. Kemudian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengembangkan ukuran dalam program-program peningkatan kesejahteraan keluarga. Berdasarkan kriteria yang dikembangkan BKKBN terdapat empat katogori keluarga, yaitu keluarga prasejahtera, sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3 dan sejahtera 3 plus. Kategori keluarga pra-sejahtera atau kelompok miskin, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yang secara operasional tidak mampu memenuhi salah satu dari indikator sebagai berikut: (a) menjalankan ibadah sesusai dengan agamanya, (b) makan minimal dua kali sehari, (c) pakaian lebih dari satu pasang, (d) sebagain besar lantai rumah tidak dari tanah, dan (e) jika sakit dibawa ke sarana kesehatan.

Pengukuran kemiskinan kemudian dikembangkan lebih maju. bila sebelumnya hanya bertumpu pada garis kemiskinan, pengukuran lainnya menggunakan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan atau P1 dan P2. Tidak puas dengan pendekatan yang sudah ada, karena ternyata realitas kemiskinan masih lebih kompleks dari ukuran tersebut, UNDP, pada tahun 1990-an, dengan mempertimbangkan gagasan yang berkembang tentang kemiskinan menciptakan model Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang hanya mengukur standar pendapatan, harapan hidup dan melek huruf. Kemudian IPM disempurnakan dengan mengubah indikator IPM itu sendiri dan memasukkan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), dan Indeks Pembangunan Gender yang sampai saat ini digunakan sebagai standar untuk mengukur kemajuan tingkat kesejahteraan 3 Lihat penjelasan teknis Data Kemiskinan, BPS, 2004.

Page 17: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

dalam bentuk peringkat, baik pemda maupun antar bangsa. IKM merupakan indeks komposit yang mengukur keterbelakangan dalam tiga dimensi yaitu lamanya hidup yang memiliki indikator penduduk yang diperkirakan tidak berumur panjang, pengetahuan yang memiliki indikator ketertinggalan dalam pendidikan, dan standar hidup layak yang memiliki indikator keterbatasn akses terhadap layanan dasar.

Indikator pertama diukur dengan peluang populasi untuk tidak bertahan

kurang dari 40 tahun, sedangkan indikator kedua adalah angka buta huruf dewasa atau penduduk usia 15 tahun ke atas. Adapun keterbatasan akses pelayanan dasar diukur dengan persentase penduduk tanpa akses air bersih, penduduk yang tidak memiliki akses ke sarana pedesaan dan persentase balita yang tergolong dalan status gizi rendah dan menengah.

Profil Kemiskinan Profil kemiskinan dapat ditinjau dari beragam indikator, seperti pendapatan

rendah, kondisi kesehatan buruk, pendidikan rendah dan keahlian terbatas, akses terhadap tanah dan modal rendah, sangat rentan terhadap gejolak ekonomi, bencana alam, konflik sosial dan resiko lainnya, partisipasi rendah dalam proses pengambilan kebijakan, serta keamanan individu yang sangat kurang. Selain itu, profil kemiskinan juga dapat ditelaah dari tipologi kemiskinan di tingkat komunitas atau wilayah. Berikut penjelasan ringkas tentang indikator-indikator profil kemiskinan, dengan beberapa ilustrasi data dan intrepretasi.

Profil kemiskinan penting sebagai bahan kajian deskriptif yang memberikan informasi tentang keterkaitan kemiskinan (correlates of poverty) dengan karakteristik lain. Profil kemiskinan dapat ditinjau melalui kajian dua peubah (bi-variate analysis) yang membandingkan status kemiskinan rumahtangga atau individu menurut masing-masing kategori dalam setiap karakteristik tertentu dari rumahtangga atau individu tersebut.

Insiden atau angka kemiskinan. Insiden atau angka kemiskinan meliputi informasi tentang jumlah dan persentase penduduk miskin atau tingkat kemiskinan (head-count ratio atau P0), indeks ketimpangan kemiskinan (poverty gap index atau P1) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index atau P2). Ketiga indikator ini dihitung dengan menggunakan formula Foster, Greer, dan Thorbecke (FGT). Berdasarkan hitungan tersebut kita dapat mengetahui jumlah penduduk miskin, atau rata-rata pengeluaran konsumsi bulanan mereka di bawah garis kemiskinan. Selain itu kita juga dapat mengetahui kita juga dapat mengetahui head-count ratio baik yang tertinggi maupun yang terendah, mengatahui indeks ketimpangan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) yang terjadi antar daerah. Formula FGT juga dapat dimanfaatkan untuk estimasi alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk mengangkat taraf hidup semua penduduk miskin sampai dengan senilai garis kemiskinan di suatu daerah. Perlu dicatat bahwa besarnya alokasi bantuan tidak hanya tergantung pada jumlah absolut penduduk miskin, tetapi juga sangat tergantung pada garis kemiskinan, dan rata-rata ketimpangan kemiskinan di suatu wilayah.

Distribusi pendapatan. Analisis tentang pola distribusi pendapatan atau pengeluaran konsumsi dapat menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan (income inequality) di suatu negara, wilayah atau sub-kelompok penduduk, seperti

Page 18: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

yang diindikasikan oleh koefisien Gini (Gini coefficient). Koefisien Gini berkisar antara 0, yang mengindikasikan suatu kemerataan sempurna (perfect equality), dan 1, yang berarti suatu ketimpangan total (perfect inequality) dalam distribusi pendapatan atau pengeluaran. Distribusi pengeluaran dapat digolongkan sebagai ketimpangan rendah (less inequality) bila koefisien di bawah 0,35, sebagai ketimpangan sedang (medium inequality) jika koefisien berkisar antara 0,35 dan 0,50, dan sebagai ketimpangan tinggi (high inequality) jika koefisien di atas 0,50. Distribusi pengeluaran dalam suatu grafik juga berguna untuk melihat pola kemiringan distribusi sesuai dengan kecenderungan pengelompokan penduduk menurut kelas-kelas pengeluaran.

Karakteristik kemiskinan. Kajian deskriptif ini dapat menunjukkan perbandingan angka kemiskinan antara kategori-kategori atau klasifikasi dalam setiap indikator atau karakteristik yang diteliti. Misalnya indikator ukuran keluarga, tingkat kemiskinan di antara rumah tangga dengan ukuran kecil cenderung lebih rendah daripada rumah tangga dengan ukuran besar. Interpretasi serupa juga berlaku untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar kategori-kategori pada karakteristik-karakteristik lainnya, misalnya pendidikan, kondisi rumah, akses air, pekerjaan.

Pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga berguna untuk

melihat komposisi belanja rutin rumah tangga selama sebulan sebelum waktu survei. Kajian ini juga dapat memperlihatkan kecenderungan pengeluaran konsumsi rumah tangga apakah lebih besar untuk kebutuhan makanan atau bukan makanan yang sesuai dengan status kesejahteraannya.

Kemiskinan komunitas dan wilayah. Kajian kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama menggunakan pemetaan kemiskinan (poverty mapping) melalui sensus lengkap secara langsung, atau model regresi untuk estimasi angka kemiskinan di setiap wilayah (misalnya desa atau kecamatan) berdasarkan gabungan beberapa sumber data sekunder, seperti sensus penduduk dan survei-survei rumah tangga. Ini memungkinkan kita untuk memperoleh jumlah dan persentase penduduk miskin sampai dengan tingkat wilayah desa/kelurahan. Kedua mengidentifikasi kemiskinan atau ketertinggalan wilayah adalah berdasarkan data sekunder tentang potensi desa. Dari hasil PODES, misalnya, informasi yang diperoleh antara lain jumlah dan nama desa/kelurahan yang tergolong miskin karena sebagian besar penduduknya miskin, atau kumuh dari aspek lingkungan pemukiman penduduknya, atau tertinggal dari aspek pembangunan infrastruktur dasar di suatu wilayah. Sementara kemiskinan wilayah bermanfaat untuk melihat profil kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi di tingkat desa/kelurahan. Lebih penting lagi, hasil kajian ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi desa-desa miskin dan tertinggal menurut tipologinya. Dengan mempertimbangkan tipologi kemiskinan wilayah yang berbeda, hasil kajian ini tidak hanya memberikan informasi tentang jumlah desa/kelurahan miskin yang semestinya dicakup dalam program bantuan, tetapi kajian juga memungkinkan kita untuk mengembangkan program bantuan dengan fokus yang lebih spesifik. Kajian tentang kemiskinan wilayah juga bisa ditinjau dari berbagai aspek kewilayahan lainnya, seperti letak geografis, status daerah (perkotaan dan pedesaan). Perbandingan tingkat kemiskinan wilayah juga menarik untuk dikaji dengan melihat karakteristik sosial-demografi, ketersediaan sarana atau infrastruktur dasar dan potensi ekonomi desa, seperti jumlah penduduk, tingkat pendidikan sebagian besar penduduk,

Page 19: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

ketersediaan fasilitas gedung sekolah dan fasilitas kesehatan, prasarana transportasi, pasar, sumber penghidupan sebagian besar penduduk desa, dan lain-lain.

Faktor-faktor Penyebab Program penanggulangan kemiskinan dan kebijakan di Indonesia belum

banyak menggunakan kajian yang mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab kemiskinan. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan data dengan cakupan sampel yang memadai yang memuat informasi cukup komprehensif tentang kemiskinan dan faktor-faktor penentunya. Satu-satunya sumber data yang memadai untuk analisis determinan kemiskinan di Indonesia dapat ditemui pada Susenas Kor, meskipun cakupan datanya terbatas bahkan untuk kajian tingkat kabupaten/kota. Selain itu, kompleksitas dinamika kemiskinan di negara dengan keragaman sosial-budaya dan ekonomi seperti Indonesia. Di satu sisi, faktor-faktor sosial dan ekonomi yang terukur, seperti ukuran keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, status pekerjaan, akses terhadap air bersih, sanitasi dan listrik, serta kualitas bangunan tempat tinggal memungkinkan untuk dihitung derajat hubungan kausalnya dengan kemiskinan. Sebaliknya, faktor-faktor sosial-budaya seperti norma tradisional yang berlaku di suatu komunitas tentang kebersamaan dalam hidup senang dan susah (shared poverty), nilai ekonomi anak, modal sosial untuk kesejahteraan bersama sangat sulit diukur dampaknya secara kuantitatif terhadap perbedaan tingkat kemiskinan antar komunitas atau wilayah.

Analisis determinan kemiskinan digunakan untuk menelaah mengapa suatu rumah tangga dikategorikan miskin. Unit analisisnya adalah rumah tangga atau individu yang dicakup dalam observasi. Pada prinsipnya, kajian determinan kemiskinan dibedakan atas dua pendekatan. (1) Kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi atau menjelaskan adanya variasi (perbedaan) tingkat kemiskinan antar sub-kelompok penduduk atau wilayah. Unit analisis dalam kajian untuk pendekatan pertama ini adalah daerah, misalnya perbandingan antara kabupaten/kota di seluruh Indonesia. (2) Analisis faktor-faktor penentu (determinan) yang menyebabkan terjadinya kemiskinan rumah tangga atau individu. Metode analisis yang digunakan untuk kedua pendekatan pada dasarnya tidak berbeda, yaitu umumnya dengan analisis regresi ganda (multi-regression analysis) baik secara linier maupun non-linier.

Analisis bivariate perlu dilakukan untuk melihat arah dan derajat asosiasi

antara tingkat kemiskinan dan berbagai indikator sosial-ekonomi. Setelah itu bisa digunakan analisis regresi ganda untuk mengidentifikasi faktor determinan kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi angka kemiskinan semakin rendah indeks pembangunan manusia di suatu wilayah. Sebagai catatan, indikator-indikator yang mempunyai asosiasi kuat dengan kemiskinan, seperti IFS, TANAH, FOOD dan IPM seringkali dapat dipastikan akan muncul sebagai peubah-peubah penentu terhadap perubahan pada angka kemiskinan dalam analisis lanjutan regresi ganda.

Analisis regresi ganda juga bisa dilakukan dengan menggambarkan scatter diagram hubungan antara keduanya. Kajian diagram sebar ini sangat sederhana tetapi berguna untuk melihat kasus-kasus yang termasuk dalam trendline (best-fitted model dari hubungan tersebut), dan yang menyimpang jauh dari trendline.

Page 20: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Jika unit analisis adalah rumah tangga atau individu, bisa menerapkan analisis korelasi. Satu hal yang perlu diingat bahwa semua peubah yang dicakup dalam matriks korelasi harus diusahakan bersifat ordinal, di mana nilai atau kategorisasi peubah berbentuk urutan dari nilai terendah sampai dengan tertinggi. Beberapa contoh peubah dalam analisis korelasi kemiskinan pada tingkat individu: status kesejahteraan (tidak miskin -0, miskin -1), kelompok pengeluaran rumah tangga (<100.000, 100.000-199.999, 200.000-299.999, 300.000-399.999, 400.000-499.999 dst), ukuran keluarga (≤2, 3, 4-5, ≥6), tingkat pendidikan (<SD -0, SD -1, SLTP -2, SLTA+ -3), dan sebagainya.

Sementara kajian dua peubah memberikan hasil yang terbatas karena hanya

menunjukkan arah dan derajat hubungan antara kemiskinan dengan karakteristik tertentu pada suatu waktu tertentu. Kajian ini tidak mempertimbangkan kompleksitas faktor penyebab kemiskinan. Perlu dicatat, korelasi adalah hubungan antara dua faktor, tetapi tidak selalu berarti bahwa faktor yang satu menyebabkan perubahan atas faktor yang lain (causality). Oleh karena itu, analisis regresi ganda diterapkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang secara statistik mempengaruhi kemiskinan.

Nilai peubah tidak bebas yang diprediksi oleh model regresi tidak selalu

mendekati nilai estimasi sesungguhnya. Model regresi dihitung berdasarkan pola sebaran hubungan antara peubah tidak bebas dan peubah prediktornya. Oleh sebab itu, penghitungan ini menghasilkan suatu model yang paling cocok (best-fitted model) dengan pola sebaran data tersebut. Sebagai konsekuensinya, hanya sebagian kasus akan mempunyai nilai model yang mendekati dengan nilai estimasi survei, sedangkan sebagian kasus-kasus yang lain memiliki nilai-nilai model yang menyimpang dari nilai estimasinya.

Model ini dapat dimanfaatkan untuk prediksi angka kemiskinan berdasarkan berbagai skenario tentang nilai-nilai prediktor terpilih yang diharapkan dalam suatu kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Prinsip dasar dari model ini menggunakan bentuk variabel biner yang membedakan dua situasi atau kategori secara eksklusif terpisah: ‘miskin’ dengan nilai 1 dan ‘tidak miskin’ dengan nilai 0. Model regresi logit atau probit bertujuan untuk mengkonstruksi profil kemiskinan dalam suatu bentuk regresi dari status kemiskinan terhadap berbagai karakteristik sosio-demografi dan ekonomi rumahtangga. Status kemiskinan (miskin dan tidak miskin) didefinisikan sebagai peubah tidak bebas yang akan diprediksi oleh karakteristik-karakteristik rumahtangga sebagai peubah-peubah bebas. 2.4.2 Analisis Kualitatif

Pendekatan kualitatif dalam kajian kemiskinan adalah pendekatan untuk menggali pendapat masyarakat (subjektif), termasuk kelompok miskin, mengenai kemiskinan, aspek-aspek sosial dari perilaku dan pengalaman kelompok miskin, dan mengetahui secara mendalam gaya hidup komunitas dan pengalaman yang berarti pada kelompok tersebut. Pendekatan ini secara umum digunakan untuk mencari jawaban tentang how-bagaimana dan why-mengapa. Pendekatan yang sering

Page 21: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

digunakan para ahli sosial dan antropologi ini merupakan pendekatan aras mikro, yaitu pada wilayah terbatas, namun mendalam.

Analisis kualitatif sangat kaya dengan varibel indikator karena bertolak dari

individual dan kelompok beserta lapisan-lapisan relasinya, misalnya dalam relasi antar individual, keluarga ataupun hubungan produksi. Sebagai sebuah sistem kehidupan, analisis ini setidaknya akan menyangkut struktur, fungsi dan formasi masyarakat dalam kaitannya dengan kuasa dan kontrol dalam keluarga atau rumah tangga, serta dalam dinamika harmoni atau konflik. Analisis ini biasanya mengedepankan citra lokal yang kuat dan bercorak spesifik pada komunitas tertentu.

Dalam analisis kualitatif ada beberapa teknik analisis yang dapat dilakukuan,

diantara, yaitu: i) pemeringkatan (ranking, scoring), yaitu penilaian berdasarkan nilai tertentu, misalnya peringkat kesejahteraan (wealth ranking) merupakan sebuah cara untuk mengidentifikasi dan melakukan pemilahan rumah tangga di suatu komunitas ke dalam jenjang-jenjang berdasar aset atau kekayaannya. Dalam Kajian Kemiskinan Partisipatif, pemeringkatan ini adalah upaya untuk menggali kategori-kategori yang sesuai dengan pemahaman lokal. Pemeringkatan misalnya besarnya kekayaan, tingkat kesejahteraan, prioritas, pilihan/ preferensi; ii) qualitative qoding’, yaitu prosedur pemilahan (klasifikasi) data atau informasi ke dalam suatu kode yang umumnya berupa tema/topik/isu/kategori tertentu. Sekumpulan informasi tersebut bisa berbentuk rekaman video observasi, rekaman wawancara, transkrip wawancara, gambar/foto, atau benda-benda lain yang bisa diinterpretasikan; iii) matriks hubungan (aktifitas, sumberdaya, akses, pengaruh, kontrol), yaitu beberapa kolom yang mencoba memotret hubungan antara satu bagian dengan bagian lain yang berhubungan dengan kaum miskin; iv) diagram hubungan, lebih banyak dipahami sebagai hubungan sebab akibat antara satu dengan yang lain. Perlu ditegaskan bahwa hubungan dalam diagram tidak selalu sebab akibat, tetapi terkadang bersama, timbal-balik. Tema-tema Umum

Dalam analisis kualitatif agar lebih mudah dijalankan dan dipahami biasanya menggunakan tema umum. Tema umum ini selanjutnya diturunkan lebih spesifik agar lebih mendalam lagi dan seterusnya. Namun demikian tema-tema ini sifatnya hanya sebagai panduan saja karena konteks lapangan bisa saja berbeda dengan pikiran awal. Tema-tema umum paling tidak dapat digambarkan sebagai berikut:

Sosial-Budaya. Potret kemiskinan dapat dinalisis dari aspek budaya dengan

mengkaji dan memahami kenyataan kemiskinan-pemiskinan dari sudut pandang kultur masyarakat, misalnya tentang kebiasaan, adat istiadat, sikap mental, bahasa yang digunakan, simbol, kepercayaan, pengaruh alam, dan bagaimana masyarakat menyikapi hal-hal yang mistis. Kemiskinan akan membentuk cara hidup tertentu yang membentuk kebudayaan kaum miskin. Konsep ini sering disebut sebagai budaya kemiskinan, Lewis (1959). Budaya kemiskinan pada satu sisi merupakan strategi adaptif, dan pada sisi lain merupakan perlawanan yang bisa mereka lakukan.

Melalui kajian budaya, setidaknya kita dapat memotret dan memahami latar belakang terjadinya kemiskinan dari sudut pandang adat dan kebiasaan serta sikap

Page 22: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

mental dan kepercayaan masyarakat dan komunitas. Juga memahami ekspresi simbol dan konstruksi kebudayaan yang terjadi dan terus-menerus dikembangkan oleh golongan miskin, baik laki-laki maupun perempuan.

Relasi Sosial. Salah satu kelemahan mendasar analisis kuantitatif karena tidak bisa menjelasakan relasi sosial dengan kemiskinan. Kalaupun ada, studi tersebut hanya berupa angka yang kadang sangat jauh dari realitas sosial, menafikan setting dan tidak mendalam. Memetakan relasi sosial dalam masyarakat menjadi faktor penting untuk merumuskan aktor-aktor yang berkontribusi pada kemiskinan seseorang atau satu komunitas. Dengan demikian analisis relasi sosial sangat efektif digunakan untuk memahami bentuk-bentuk atau pola-pola hubungan antar-individu ataupun antar-kelompok yang terlibat dalam suatu situasi kemiskinan-pemiskinan.

Kajian mendalam relasi sosial ini diarahkan untuk menemukan aktor-aktor maupun lembaga, struktur sosial, pola hubungan yang ada, pola kemiskinan yang terjadi, pihak yang diuntungkan, strategi dan siasat yang digunakan dan dirugikan sekaligus kemungkinan terjadinya kolaborasi aktor dalam menyelesaikan atau bahkan melanggengkan kemiskinan yang terjadi.

Konteks Sejarah. Kemiskinan dapat dipahami dengan menelisik sejarah kaum miskin. Kita tahu (meski tidak semua) bahwa mereka yang terlanjur miskin agak sulit keluar dari kemiskinan karena telah mewarisi gaya hidup sebagai kaum miskin (tergenarasi). Melalui analisis sejarah diharapkan dapat mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang menjadi tonggak terjadinya situasi kemiskinan-pemiskinan, bagaimana itu terjadi, pengaruh-pengaruh cerita dan peristiwa-peristiwa penting kamiskinan-pemiskinan.

Ekonomi. Hal lain yang penting dilihat dalam analisis kualitatif juga masalah ekonomi. Analisis ini menelaah aktivitas ekonomi kaum miskin dan ekonomi yang dekat dengan realitas mereka. Pendekatan ini digunakan untuk memahami mengapa sebuah situasi kemiskinan-pemiskinan terjadi dari sudut pandang ketimpangan akses, kontrol, distribusi, dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi. Dengan analisis ini, kita dapat mengetahui peta sumberdaya yang selama ini digunakan untuk tetap hidup, aktor-aktor yang terlibat, keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan dan kontribusinya pada kehidupan keseharian mereka.

Politik. Kondisi kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari partisipasi politik, terutama politik di tingkat lokal. Tema politik diangkat dalam rangka menemukan hubungan antara kemiskinan dan politik yang terjadi pada suatu golongan masyarakat. Pemetaan politik penting untuk mengetahui pola hubungan yang terjadi antar kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan besar-kecilnya ‘kekuasaan’ dan ‘kepentingan’ yang dimiliki sebagai usaha untuk menguraikan aspek kehidupan politik yang berkaitan dengan kekuasaan dan pengambilan keputusan tentang pranata kehidupan masyarakat, misalnya dalam perencanaan pembangunan.

Gender. Kemiskinan dinyatakan sangat berwajah perempuan mengingat proporsi kemiskinan terbesar ada di pihak perempuan. Mendalami dimensi gender dalam konteks kemiskinan menjadi sangat penting, terutama untuk menemukan penyebab dan tawaran-tawaran strategis. Telah banyak bukti bahwa intervensi

Page 23: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

selama ini seringkali gagal karena ketidakmampuan dalam mengungkap dimensi perempuan-laki laki yang memang berbeda dari sisi kebutuhan.

Analisis gender adalah usaha menguraikan relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan untuk mengetahui struktur budaya patriarkal-matriarkal yang dikembangkan, pembagian yang terjadi, kebutuhan dan masalah perempuan secara khusus, akses dan kontrol kaum perempuan dan kelompok lain dalam pengambilan keputusan yang mulai dari diri perempuan, keluarga, pranata sosial dan negara serta menggali perbedaan pandangan antara perempuan dan laki-laki dalam menghadapi kemiskinan-pemiskinan dan strategi yang mereka kembangkan masing-masing.

Di kalangan NGO, analisis semacam ini dikenal dengan analisis sosial (berperspektif gender/feminis), di mana perangkat dominan yang digunakan adalah variabel kualitatif yang berhubungan dengan nilai, persepsi, kelembagaan dan relasi struktur atau lapisan serta proses-proses dominasi, eksploitasi dan hegemoni yang ada. Upaya-upaya untuk membumikan analisis ini mengalami kemandegan sejak tahun 90-an awal, di mana forum aliansi aktivis dan ilmuwan untuk upaya indiginisasi menjadi berantakan, namun setidaknya mereka memperkenalkan 4 pilar penting yakni: indiginisasi, partisipasi, konsientisasi dan emansipasi. INSIST yang berupaya mengisi kekosongan ruang ini juga mengalami langkah yang tersendat-sendat dan belum melangkah lebih jauh sekalipun produknya lebih meluas ketimbang forum ilmu sosial transformatif sebelumnya.

Page 24: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Bab III KEMISKINAN DAN PEMISKINAN

3.1 Kemiskinan Indonesia

Awalnya, kemiskinan merupakan pilihan hidup seseorang atau sekawanan komunitas atau sekte untuk memilih realitas kepapaan berdasarkan pandangan nilai tertentu. Kemiskinan yang semula sebagai pilihan sukarela menjadi pilihan terpaksa akibat berbagai hal yang bersifat kelembagaan dan spesialisasi kerja atau karena ketertundukkan secara fisik. Maka kemiskinan pun semakin menjadi rumit. Di zaman feodal, di mana kerajaan-kerajaan bertumbuh-kembang, fenomena kemiskinan semakin kompleks.

Kemiskinan di masa Hindia Belanda mulai menunjukkan wajah ekstrimnya, di mana banyak terjadi enclave. Politik tanam paksa dan komoditisas perkebunan telah menimbulkan penurunan kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Di wilayah-wilayah dengan sistem perkebunan dengan modal besar terdapat daerah-daerah kantong kemiskinan dan bahkan di beberapa daerah terjadi kelaparan. Berbagai laporan dan studi dilakukan pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian membuahkan kebijakan politik etis. Programnya, seperti diketahui, memang dalam beberapa hal menghilangkan kelaparan yang ekstrim, namun kemerosotan kesejahteraan terus berlanjut apalagi di masa malaise ekonomi. Kantong buruh makin banyak dan meluas, tidak hanya di Jawa. Di daerah Sumatera Timur juga berlangsung proletarisasi.

Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan sekadar sebagai gejala nasional, tetapi sudah terintegrasi ke dalam sistem dunia yang sedang bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diboncengi kolonialisme dan imperialisme. Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan sekadar manifestasi lebih lanjut dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan juga akibat kebijakan Hindia Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global yang sedang ganas-ganasnya berkembang. Dan pada masa selanjutnya sistem itu semakin berkembang pesat, sekalipun pernah dihambat melalui Program Banteng dan Nasionalisasi Perusahaan Asing di masa orde sebelum rezim Soeharto.

Dari masa Soeharto hingga SBY-JK, yang mengusung tema ”Melawan Kemiskinan melalui Washington Consensus”, jerat kapitalisme global semakin mencengkeram Indonesia ke dalam arus Neo Liberalisme (atau lazim disebut neokolim). Hutang luar negeri semakin menggerogoti kekayaan bangsa, bahkan untuk membiayai penanggulangan kemiskinan terpaksa bangsa kita harus mengutang. Perekonomian kita semakin distir oleh asing, dan karena itu kedaulatan sebagai negara-bangsa menjadi buram dan sulit dikenali untuk tidak menyebutkan tiada. Kekayaan kita telah dikuras oleh imperium asing, juga oleh antek-antek atau komparador asing melalui bisnis illegal di seluruh sektor ataupun oleh pengusaha nasional yang tidak bertanggung jawab yang kini melarikan diri ke luar negeri. 3.1.1 Realitas Kemiskinan Kontemporer

Page 25: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Wajah kemiskinan Indonesia sungguh memprihatinkan. Bentuknya tidak hanya sekadar kemiskinan ekonomi tetapi juga sampai pada perendahan martabat manusia. Ragam persepsi kemiskinan menurut kaum miskin seperti yang dilaporkan KIKIS merekam sketsa kemiskinan Indonesia kontemporer seperti berikut ini: Tabel 3.1 Persepsi dan Bentuk Kemiskinan

Sektor Persepsi Kemiskinan Bentuk Kemiskinan

Laha

n K

erin

g

1. Kemiskinan adalah kondisi ketidak-berdayaan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga karena tidak adanya jaminan penghasilan.

2. Kemiskinan adalah kondisi ketidak-mampuan memenuhi kebutuhan hidup karena hidup sebatang kara dan karena hubungan keluarga yang tidak harmonis.

3. Kemiskinan adalah ketidak-mampuan memanfaatkan peluang memperbaharui keadaan yang datang dari dalam dan luar akibat kemandegan dan kemenduaan (hipokrit) fungsi kepemimpinan dan kelembagaan masyarakat desa.

Miskin Informasi Kekurangan Pangan Rendahnya percaya diri Miskin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan Miskin Pendidikan (secara Formal) Berkurangnya ruang partisipasi.

Per

kebu

nan

1. Kemiskinan adalah kondisi hidup yang serba terbatas, terisolasi dari dunia luar, tidak adanya sarana pendidikan, kesehatan dan prasarana ekonomi, serta kesempatan berusaha dan bekerja hanya mengandalkan kebaikan dari pabrik.

2. Kemiskinan lebih merupakan bentuk ketidak-adilan atas tata kuasa terhadap tanah (lahan produksi) dan tata kelola atas pilihan jenis komoditas apa yang sebaiknya diusahakan dan teknologi apa yang cocok dan adaptif terhadap tradisi dan lingkungan sosial pedesaan

3. Kemiskinan merupakan derajat perampasan hak-hak manusia yang paling hakiki, tidak adanya pengakuan martabat dan harga diri manusia melalui perlindungan dan jaminan sosial.

4. Kemiskinan lebih merupakan hancurnya kepercayaan, kelembagaan dan jaringan sosial dan kerusakan ekosistem (lingkungan) sehingga harapan hidup lebih berorientasi pada hal-hal yang mistik dan pragmatis.

Menyempitnya kepemilikan lahan petani kebun. Hilangnya keberanian mengintroduksi

pelembagaan komoditi lain Rentan terhadap faktor harga pasar komoditi,

terhadap faktor alam (hama penyakit tanaman), bencana alam.

Lemahnya fungsi kelembagaan sosial. Ketergantungan sangat tinggi pada sarana

produksi. Lemahnya kontrol dan perlindungan kesehatan Rendahnya akses pendidikan Rendahnya derajat nutrisi/gizi pangan.. Hilangnya akses permodalan Rendahnya kualitas kesuburan tanah. Hilangnya kemampuan mengembangkan

keterampilan alternatif yang menunjang sumber pendapatan

Mis

kin

Kot

a

1. Kehidupan orang atau komunitas yang situasi hidupnya ditandai dengan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup yang pokok sebagaimana itu dialami oleh masyarakat secara normal, karena tidak berimbangnya pendapatan dengan jumlah kebutuhan yang dipenuhi (Pontianak)

2. Kehidupan yang serba kekurangan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan posisinya direndahkan oleh banyak orang (Medan)

Miskin informasi Miskin pada jaminan perlindungan sosial Miskin pada akses pelayanan publik Hilangnya akses pendidikan Miskin pada akses pekerjaan dan permodalan Hilangnya interaksi sosial dan relasi sosial

Page 26: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

P

ingg

ir H

utan

1. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang

menggambarkan : terbatasnya aset yang dimiliki (kepemilikan lahan, rumah tangga, modal); tidak memiliki mata pencaharian tetap; tidak adanya ketahanan pangan, rendahnya pendapatan dan ketergantungan yang tinggi terhadap hutang.

2. Kemiskinan juga terkait dengan terbatasnya akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan informasi sehingga komunitas hutan sangat akrab dengan sebutan ‘masyarakat pinggiran’.

3. Kemiskinan terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap segala perubahan yang terjadi terutama terkait dengan hal – hal yang menyangkut pengambilan keputusan dalam hubungannya dengan pengelolaan kawasan hutan.

4. Kemiskinan di komunitas ini terjadi karena tidak seimbangnya jumlah penduduk (kelahiran dan migrasi) dengan lapangan kerja yang tersedia, kurangnya keterampilan di luar sektor pertanian sehingga kawasan hutan menjadi alternatif masyarakat sebagai sumber kehidupan.

Semakin sempitnya lahan pertanian (Aceh dan

Lombok). Luas lahan pertanian yang tetap (Kuningan – Jawa

Barat) Menurunnya hasil produksi pertanian, karena

turunnya produktivitas lahan (hasil panen 1 – 1,2 ton per Ha; kasus di Sambas Kalimantan Barat)

Meningkatnya jumlah pengangguran. Rendahnya pendapatan yang diterima, sehingga

kaum miskin tidak mampu menghadapi gejolak ekonomi.

Terbatasnya lapangan kerja, sehingga banyak masyarakat yang mencari kerja ke luar desa (Kota dan Luar Negeri menjadi TKI/TKW).

Keterbatasan modal sehingga adanya praktek ijon dan ketergantungan yang tinggi terhadap hutang.

Intervensi terhadap kawasan hutan. Adanya stigmatisasi masyarakat miskin sebagi

masyarakat yang memiliki ‘etos kerja yang rendah’.

Sulitnya akses terhadap sarana dan prasarana : pemasaran, pendidikan dan kesehatan.

Miskin partisipasi.

Nel

ayan

1. Tidak terjaminnya dan semakin hilangnya hak Penguasaan Sumber Daya Alam dan aset

2. Tidak terjaminnya hak-hak dasar warga negara seperti : pendidikan, kesehatan, informasi, sarana dan prasarana.

3. Tidak berpihaknya sistem hukum dan kebijakan terhadap nelayan miskin.

4. Adanya sistem ekonomi yang timpang 5. Sistem sosial budaya yang menyudutkan

(stigmatisasi) si nelayan miskin.

Rendahnya akses pelayanan pendidikan dan kesehatan

Lemahnya akses pelayanan dalam memperolah permodalan yang sesuai dengan kebutuhan nelayan

Tidak mempunyai kekuatan dalam menetapkan harga

Rendahnya akses terhadap pasar Terbatasnya penguasaan alat produksi Terbatasnya tempat/wilayah penangkapan karena

keterbatasan alat produksi.

Bur

uh In

dust

ri

1. Kemiskinan adalah kondisi hilangnya motivasi mobilitas vertikal (keinginan untuk mencapai status yang lebih tinggi),

2. Kemiskinan adalah ketidakmampuan menjangkau pendidikan yang lebih tinggi,

3. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi.

Kurangnya pelayanan kesehatan Lemahnya solidaritas Tidak bisa menyuarakan kepentingan Tidak mempunyai kekuatan hukum untuk

menuntut hak-hak Rentan terhadap PHK Rentan terhadap bentuk eksploitasi dan

kekerasan (Fisik, psikologis, seksual) serta belum ada perlindungan hukum.

Ruang partisipasi yang kurang Putting out system (tenaga kerja kontarakan) yang

memperkecil peluang untuk menjadi buruh formal sehingga lemahnya perlindungan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja

Bur

uh M

igra

n

1. Kemiskinan adalah ketiadaan peluang kerja yang sesuai dengan kemampuan perempuan dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya

2. Kemiskinan adalah tidak adanya sumber penghasilan yang tetap

3. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan untuk menentukan pilihan jenis pekerjaan yang diinginkan

4. Kemiskinan adalah kerentanan trehadap eksploitasi dan kekerasan yang dilakukan oleh PJTKI dan Majikan

Kurangnya pelayanan kesehatan Lemahnya solidaritas Tidak mempunyai kekuatan hukum untuk

menuntut hak-hak Rentan terhadap bentuk eksploitasi dan

kekerasan (fisik, psikologis, seksual) serta belum ada perlindungan hukum.

Keterbatasan informasi Terpaksa menjadi PRT (Pekerja Rumah Tangga),

baik domestik maupun luar negeri

Sumber: Kikis, 2004

Berikut ini kita melihat realitas kemiskinan di Indonesia baik melalui garis

kemiskinan yang diformulasikan BPS maupun berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Page 27: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Gambar 3.1 di samping memperlihatkan bahwa pada daerah yang berwarna coklat jumlah penduduk yang berada dalam situasi kemiskinan berjumlah lebih dari dua juta jiwa, misalnya di daerah Pulau Jawa. Kemudian warna coklat kemerahan berjumlah anatara 1 hingga 2 juta jiwa; war na merah antara 0,5 hingga 1 juta; dan warna merah muda antara 250.000 hingga 0,5 juta jiwa. Berdasarkan jumlahnya, propinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk miskin yang besar. Sedangkan bila dilihat dari prosentasi jumlah penduduknya akan terjadi perubahan komposisi seperti berikut ini

Berdasarkan indikator IPM, sebaran kemiskinan digambarkan pada gambar 3.2. Bila dilihat dari indikator IPM, maka daerah Indonesia Timur merupakan daerah yang paling rendah tingkat pencapaian pembangunan manusianya. Data-data tersebut, entah dengan cara mematok garis kemiskinan atau secara relatif dengan menentukan

prosentase tertentu atau dengan indikator indeks tertentu, jelas masih belum memperlihatkan wajah kemiskinan yang sesungguhnya. Di balik angka-angka dan hitungan-hitungan itu ada kehidupan yang mengenaskan dan yang mengerikan, yakni kehidupan dari orang-orang miskin itu. 3.1.2 Pembangunan dan Pemiskinan

Di Indonesia, perbincangan soal pemiskinan pasti selalu berkaitan erat dengan pembangunan. Yang pertama mewakili analisis kualitatif kehidupan sosiologis dan yang terakhir mewakili analisis kuantitatif dan ekonomistik. Klaim pembangunan yang menganggap bisa menurunkan jumlah orang miskin dapat kita gugat dengan melihat Grafik 3.1 mengenai jumlah penduduk miskin.

Sources : Katalog BPS; 1508, Penduduk Fakir Miskin 2004Badan Pusat Stat istik - Departemen Sosial R.I

NUMBER OF POPULATION BELOW THE POVERTY LINE

231.8911.030.9251.152.542

557.660194.269229.570318.722189.063486.577

1.241.076418.462258.824396.198108.211707.558259.912

Bal iNusa Tenggara BaratNusa Tenggara TimurKalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan TimurSulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi SelatanSulawesi TenggaraGorontaloMalukuMaluku UtaraPapuaIri an Jaya Barat

17.18.19.20.21.22.23.24.25.26.27.28.29.30.31.32.

1.156.1381.799.918

473.878659.038325.599

1.397.106346.189

1.567.93191.67086.111

274.5254.654.1316.842.932

615.7887.315.600

778.325

Nanggroe Aceh DarussalamSumatera UtaraSumatera BaratRiauJambiSumatera SelatanBengkuluLampungKepulauan Bangka BelitungKepulauan RiauDKI JakartaJawa BaratJawa TengahD.I YogyakartaJawa TimurBanten

1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.

NUM BER OFPEOPLE

PROVINCESNONUMBER O FPEO PLE

PROVINCESNO

MAP - 10

Number of Population Below The Poverty Line

< 250.000 People

250.000 - 500.000 People

500.000 - 1.000.000 People

1.000.000 - 2.000.000 People

> 2.000.000 Peop le

NUMBER OF POPULATION BELOW THE POVERTY LINE - YEAR 2004

S e l a t Ma l a k a

KEPUL AUANRIAU

Kepulauan B onerate

Kepulauan T ukangbes i

P. Sula

P. Mongole

P. Numf or

P. Laut

Kepulauan T embelan

Kepulauan Anambas

M A L A Y S I A

M A L A Y S I A

B R U N E ID A R U S S A L A M

T I M O RL O R O S A E

S I N G A P U R A

P. S imeulue

P. N ias

P. Siberut

P. S ipura

P. Pagai Utara

P. P agai Selatan

P. Enggano

Kepulauan R iau

Kepulauan Lingga

P. BANGKA

P. B ELI TU NG

P. Natunabes ar

P. MA DURA

P. Selayar

P. K angean

Kepulauan T ogean

P. B utonP. Muna

P. Kabaena

P. Wowoni

P. P eleng

P. Sangi r

P. Talaud

P. LOM BOK P. S UMBAWA

P. FLORE S

P. S UM BA

P. Wet ar

P. A lorP. Antar

P. Lomblen

P. R oti

Kepulauan T animbar

Kepulauan Kai

Kepulauan A ru

P. Weigo

P. SERAM

P. BURU

P. Obi

P. Mi sol

P. S alawat i

P. B atanta

P. Morot ai

P. BacanP. B iak

P. Yapen

P. Dolak

NANGG ROE ACEHDARUSSALAM

SUMATERAUTAR A

RIAUSUMATERA

B ARAT

JAM BI

SUMATERASEL ATAN

BANGKABELITUNG

LAMPUNG

BENGKU LU

BANT ENJAW ABARAT

DKI JAKARAT A

DI YOGYAKARTA

JAW ATE NGAH

JAW ATIMUR

BALI

NUSATENGGARA BARAT

NUSATE NGGARA TIMUR

PA PU A

MALU KU

MALU KUUT ARASULAWESI

UTARAGORON TALO

SULAWE SITENGAH

SULAWESISE LAT AN

SULAW E SITENGGARA

KALIMANTANTIM UR

KALIMANTANSELATAN

KALIMAN TANBAR AT

KALIMANTANTEN GA H

P. We

IRIAN JAYA BARAT

REPUBLIC OF INDONESIAN

EW

S

L E G E N D

Coastl ine

Province Boundary

Country Boundary

Other Countries

Other Informations

IslandsP.

Abbreviation

Sca le 1 : 13.500 .00 0

Kilometers

0 100 200 300 400 500

Indonesia Location

30° N

60° N

60° S

30° S30° S

60° S

60° N

30° N

120° W 60° W 0° 60° E 120° E

7° N

95° E

PT. INERSIA, AE

Cooperation Between :

DIREKT ORATBANTUAN SOSIAL FAKIR MISKIN

DEPARTEMEN SOSIA L REPUBLIK IND ONESIA

11° S

141° E

7° N

141° E

11°

S

95° E

M a l a k a S t r a i

F l o r e s S e a

H I N D I A O C E A N

P A C I F I C O C E A NS u l a w e s

i S

e

a

M a l u k u S e a

B a n d a S e a

A r a f u r u S e a

S o

u t h

C h i n a S

e a

J a v a S e a

M a

k a

s s

a r

S

t r

a i

t

K a r i m a t a S t r a i t

Page 28: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Bila kemiskinan terjadi karena berbagai pola relasi yang asimetris, realitas itu

akan terus bertahan di dalam struktur masyarakat yang menindas, yang feodalistik dan yang kapitalistik. Terutama pada era Soeharto, dengan rezim teknokratisnya, pembangunan yang terjadi menyiratkan orientasi kapitalistik yang bermuara pada akumulasi kekayaan pada segelintir orang saja. Sementara itu pembangunan yang berorientasi ekonomi kerakyatan tidak terlalu dihiraukan.

Pembangunan pertanian misalnya, pada tahap dekade pertama, perhatian untuk sektor ini demikian nyata. Ada pembagian tanah bagi buruh tani dan petani gurem (kecuali berupa transmigrasi yang disia-siakan negara atau diperas oleh modal produksi Inti-plasma). Hasilnya, bangsa Indonesia sempat mengalami masa swasembada beras. Setelah dekade tersebut, sektor pertanian ini hampir tak ada sentuhan pembangunan lagi. Dan kini kita menyaksikan jutaan buruh tani dan petani gurem berada di pertanian yang semakin tak diurus oleh pemerintahan yang berkuasa, bahkan ironisnya sekarang mereka pun antri beras untuk bisa bertahan hidup.

Demikian juga di sektor-sektor lainnya, katakanlah di sektor industri, pemerintah memberlakukan mekanisme buruh kontrak dan ousourcing. Para buruh pun dihantui oleh ketidakpastian akan status kerjanya dan kemungkinan PHK cukup besar. Sedangkan di sektor perbankan, paket deregulasi dan dana segar BI membuat dana APBN tersedot ke sektor ini dan karena itu mengurangi jatah prosentase ke sektor-sektor yang bisa lebih membantu rakyat kebanyakan. Pasalnya, mekanisme perbankan tidak terlalu ramah untuk soal pijam-meminjam karena mensyaratkan hal-hal yang memang sulit dipenuhi oleh rakyat kecil, misalnya kredit dengan jaminan dan bunga yang besar. 3.1.3 Pokok-Pokok Pikiran GAPRI

• Pembangunan dan Dampaknya Terhadap Pemiskinan: Refleksi Realitas kemiskinan telah menemukan bentuk historisnya di negeri ini sejak

jaman kolonial, terutama ketika pemerintah kolonial Belanda menyediakan lahan di atas tanah jajahan untuk pengembangan perkebunan-perkebunan besar. Bentuk historis itu bercirikan kekuatan kuasa kapitalis Belanda menjajah negeri ini dan sekaligus memantapkan monopoli atas tanah dan tenaga kerjanya melalui politik agraria yang didasarkan pada Agrarisch Wet (1870). Belanda mengambil kekayaan

Tabel: Perkembangan Penduduk Miskin Indonesia 1999 - 2007

17,4723,43

19,14 18,41 18,20 17,42 16,66 15,97 17,75 16,68

34,01

47,87

38,70 37,90 38,40 37,30 36,10 35,1039,30

37,17

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

th 96 th 99 th 00 th 01 th 02 th 03 th 04 th 05 th 06 th 07% penduduk miskin jumlah penduduk miskin

Page 29: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

negeri ini melalui dan bersama kekuatan kapitalisme negara-negara Eropa lainnya atas perdagangan tanaman komoditi ekspor. Sejak saat itu sampai dengan kalahnya Belanda oleh kekuatan Jepang, perkebunan-perkebunan besar telah dikembangkan dengan konsentrasi di wilayah pulau Jawa dan Sumatera. Dan sejak saat itu pula, realitas kemiskinan semakin meluas ketika ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah terjadi, serta ribuan penduduk dipaksa dan terpaksa bekerja sebagai buruh tani, koeli kontrak ataupun sebagai petani penggarap di atas lahan lahan perkebunan-perkebunan besar itu.

Ketika proklamasi kemerdekaan terjadi, semestinya masalah-masalah di atas dapat diselesaikan. Namun karena kemerdekaan itu tidak hanya dicapai melaui perjuangan dengan senjata tetapi juga melalui perundingan-perundingan antara pemerintahan baru dengan Belanda dan sekutunya, maka segala upaya untuk lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan menjadi lambat. Belum lagi, pemerintah Belanda tetap berkeinginan mempertahankan dan memiliki kembali investasi modal besar dari kalangan pengusaha Eropa atas lahan-lahan perkebunan. Sementara itu, pemerintah baru di bawah Soekarno dan Hatta sendiri juga berkepentingan besar atas lahan-lahan perkebunan besar itu hingga munculnya kebijakan nasionalisasi. Akibatnya masalah ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian tetaplah bertahan. Dan itu berarti, formasi kemiskinan tetap juga bertahan. Ikhtiar menghapus situasi ini melalui UU Pokok Agraria dan kebijakan landreform justru berujung pada kenyataan pahit hingga klimaksnya pada tahun 1965, ketika realitas kemiskinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya dijadikan perang politik idiologi untuk perebutan kekuasaan.

Apa yang terjadi pada masa itu memberi pelajaran bahwa, realitas kemiskinan ternyata

sangat potensial menjadi “komoditi politik” bagi kekuatan politik strategis.

Pasca pertarungan politik idiologi itu, Soeharto muncul sebagai pengendali pemerintahan baru yang kemudian lebih dikenal sebagai rezim “Orde Baru”. Mengawali kekuasaannya, rezim Orde Baru tentu saja tidak bisa melepaskan kenyataan-kenyataan ekonomi politik yang “diwariskan” rezim sebelumnya. Respon rezim “Orde Baru” saat itu, dengan penuh keyakinan menyatukan dirinya dalam kampanye modernisasi untuk memulihkan kondisi ekonomi yang buruk, yang dipenuhi kemiskinan dan keterbelakangan di dalam negeri. Untuk mengawali proses modernisasi, rezim Orde Baru melihat bahwa masalah utama kemiskinan dan keterbelakangan negeri ini karena ketidakmampuannya dalam hal formasi modal. Diperlukan suatu cara tertentu untuk mengumpulkan sejumlah modal yang cukup agar dapat dicapainya suatu “titik tinggal landas”: suatu titik untuk dapat memulai pertumbuhan ekonomi secara cepat.

Di sinilah awal dari gagasan Soeharto untuk mengundang penanaman investasi modal besar, terutama dari luar negeri untuk membiayai “pembangunan”. Gagasan ini juga didukung oleh kekuatan lembaga keuangan internasional dan badan pembangunan multilateral untuk memberi bantuan dan pinjaman luar negeri. Di dalam negeri pengelolaan investasi modal besar asing dan dalam negeri disandarkan pada birokrasi pengelolaan sumber daya alam yang sektoral. Hal ini merupakan insentif—yang tetap dipertahankan sampai kini—demi kelancaran usaha dari investor besar dari luar negeri dan dalam negeri tersebut. Selain itu, sebagai jaminan keamanan bagi penanaman modal besar itu juga dijamin oleh rezim Orde

Page 30: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Baru dengan janji kestabilan politik4 dan pembangunan dijalankan semata untuk membebaskan negeri ini dari kemiskinan dan keterbelakangan.

Kebijakan pada masa awal pemerintahan Soeharto itu memberi fondasi bagi industrialisasi untuk berkembang cepat. Infrastruktur industri dan pelayanan umum yang dikelola negara dan swasta juga dibangun secara cepat. Namun, proses akumulasi modal ini juga mendesak penduduk desa dan adat terjebak dalam wilayah kemiskinan baru. Migrasi penduduk desa secara besar-besaran ke wilayah urban, karena daya tarik industri dan kota yang berkembang cepat, justru faktanya membuat mereka terjebak dalam situasi jaminan sosial yang sangat rapuh. Kondisi ini semakin buruk ketika mereka juga harus terjebak dalam wilayah pekerjaan pabrik yang membayar tenaga mereka secara murah. Transmigrasi antar pulau maupun transmigrasi lokal juga diabdikan pada pengerahan tenaga kerja murah untuk membangun kembali perkebunan-perkebunan besar dan pengusahaan hutan. Situasi ini sebenarnya memberi sinyal bahwa pembangunan juga berpotensi menghasilkan sejumlah besar penduduk miskin di wilayah-wilayah tertentu.

Tahun 70-an kegelisahan kelompok-kelompok strategis mulai terangkat ke permukaan ketika kesenjangan sosial nampak menguat bersamaan dengan laju pembangunan. Gelombang protes bermunculan, terutama yang dimotori kalangan mahasiswa dan kelompok-kelompok yang biasa disebut “Gerakan Pengacau Keamanan” oleh pemerintah. Menyadari bahwa gelombang protes ini akan memicu konflik sosial yang dapat membesar jika tidak dijawab cepat dan tepat secara politik, maka rezim Orde Baru semakin gencar mempromosikan pedoman baru dalam praktek pembangunan: pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi itu juga akan diikuti dengan pemerataan. Kampanye ini juga menerima dukungan modal besar yang berasal dari oil boom.

Sekali lagi, perkembangan situasi ekonomi politik pembangunan saat itu juga memberi

semacam “pengakuan”, bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi ternyata juga berkemampuan memperluas sebaran kemiskinan.

Sampai tahun 1990-an hingga jatuhnya rezim Soeharto, situasi kemiskinan lekat dengan gerak ekspansi modal yang luar biasa. Kebutuhan ketersediaan tanah yang luas untuk pembangunan infrastuktur industri tidak mempedulikan lagi hak-hak dasar rakyat atas pemilikan dan penguasaan tanah. Kasus yang sangat legendaris yang merupakan contoh nyata dari masalah ini adalah pembangunan bendungan besar Kedungombo di Jawa Tengah. Masalah penghormatan dan perlindungan hak-hak rakyat di sana belumlah selesai sampai sekarang. Wajah kemiskinan masih lekat di sekitar wilayah bendungan besar itu. Kasus yang sama dengan konteks dan korban yang berbeda juga banyak terjadi di wilayah lain. Kondisi ini lebih menyakitkan ketika kita mendapati watak politik otoritarianisme di 4 Praktek politik keamanan dalam mencapai kestabilan politik itu justru mengarah pada penciptaan kondisi yang buruk bagi penghormatan hak asasi manusia. Sebagian para teoritisi ilmu politik mengidentifikasi kondisi saat itu sebagai praktek politik korporatisme; di mana terjadi pelembagaan partisipasi politik berdasar kepentingan dan kebutuhan pemerintah yang berkuasa. Masyarakat sipil dilarang keras untuk berorganisasi diluar organisasi yang dibentuk dan direstui oleh pemerintah. Pelanggaran terhadap hal ini bisa mengarah kepada dakwaan subversive. Tidak hanya itu, di wilayah pedesaan dijalankan politik massa mengambang. Masyarakat desa dijauhkan dari haknya untuk berpolitik secara baik dan kesempatan berpolitik bagi mereka hanya dalam Pemilu. Akibat berikutnya, masyarakat sipil jadi terhambat aksesnya untuk berpartisipasi secara secara sejati dalam proses pembangunan, kecuali dalam posisinya sebagai obyek dalam politik pembangunan.

Page 31: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

barisan penguasa yang justeru memperburuk situasi yang ada. Tidak jarang protes kaum miskin justeru berujung pada penjara, dan bahkan kematian. Penyiksaan menjadi bagian dari opera pembangunan. Lihat saja kasus kematian Marsinah, seorang buruh perempuan. Pergantian rezim juga tidak banyak membantu penyelesaian masalah hak yang paling dasar dari rakyat ini. Memahami Pemiskinan dan Kemiskinan Rakyat

Kekeliruan dalam memahami masalah kemiskinan, tidak hanya mengakibatkan program penanggulangan kemiskinan kurang mendasar, tapi juga tidak tepat sasaran. Realitas kemiskinan saat ini jelas didominasi dan diakibatkan oleh relasi yang timpang dalam arena tatanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dalam relasi yang timpang itu, kelompok masyarakat yang kurang memiliki akses dan yang tidak memperoleh penghormatan atau perlindungan atas hak-hak dasarnya semakin terdesak dalam jebakan proses pemiskinan. Dalam kelompok masyarakat yang rentan ini, kelompok yang menerima kenyataan paling buruk dari proses pemiskinan adalah kaum perempuan dan anak-anak.

a. Meski wajah kemiskinan sangat kompleks, namun ia sangat nyata didominasi oleh masalah tekanan struktural yang mendukung proses pemiskinan; selain itu ia memiliki ciri kedalaman kemiskinan yang berbeda di tiap komunitas dan wilayah;

b. Kemiskinan juga semakin meluas pada sektor dan komunitas tertentu karena tekanan eksternal, terutama terjadinya krisis ekonomi politik, yang muncul ke permukaan melalui fakta-fakta: meningkatnya jumlah komunitas miskin kota yang hidup di daerah-daerah rawan kesehatan dan lingkungan, mahalnya akses pelayanan jaminan sosial di desa maupun kota, semakin lemahnya kontrol petani kecil atas tanah pertanian, swastanisasi pengelolaan hutan negara yang mendesak perumusan kembali hubungan petani sekitar hutan dengan “pengelola” hutan negara yang ternyata juga tidak menguntungkan petani, banyaknya kasus perdagangan manusia (perempuan dan anak perempuan sebagai tenaga kerja tanpa dokumen di negera lain, korban eksploitasi seksual di dalam dan di luar negeri);

c. Yang disebut terakhir ini, juga memperkuat fakta semakin meluasnya wilayah feminisasi kemiskinan. Pembangunan dan penanggulangan yang bias gender telah menghantar penanggulangan kemiskinan ke area yang semakin memburuk.

Dari keseluruhan proses yang dijalankan pemerintah dalam penanggulangan

kemiskinan dianggap sangat reduksionistik, tidak memadai lagi, dan untuk itu perlu ditinggalkan. Karena faktanya, proses pemiskinan dan kemiskinan adalah hasil atau akibat dari proses-proses perampasan sumberdaya dan hak, tidak hanya menyangkut ketiadaan pendapatan atau income yang rendah. Dari sisi dalam negeri misalnya, pemiskinan lebih banyak disebabkan oleh perkawinan kuasa dan kekayaan, dan secara ekstenal, pemiskinan dan kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakadilan dalam sistem keuangan, bantuan dan perdagangan internasional. (a) Sistem politik pemerintahan yang hegemonik.

Mulanya, operasi politik pemerintahan ini menerapkan politik “masa mengambang” di mana petani sebagai penduduk desa dilarang untuk berpolitik.

Page 32: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Untuk saat ini sekalipun rakyat diperbolehkan berorganisasi namun politik mengambang, dalam arti substansinya, masih dijalankan oleh aktivis organisasi politik dan massa juga tidak menerima pendidikan politik. (b) Politik hukum agraria yang tidak adil.

Politik hukum agraria yang terjadi tidak peka terhadap realitas ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah, tetapi sebaliknya justeru memfasilitasi kaum pemilik modal. Hal ini sangat tampak pada politik hukum Hak Guna Usaha (HGU) sebagai dasar hak untuk perluasan dan (perpanjangan) penguasaan tanah perkebunan dalam skala besar.

(c) Luasnya ekspansi modal dan berikut, permintaannya terhadap ketersediaan tanah

murah dalam skala besar. Gejala ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, ketika pemerintah Belanda

mengundang pemodal swasta Eropa untuk membuka lahan perkebunan di Jawa dan Sumatera. Dan gejala ini terus berlanjut sampai kini. Yakni dengan adanya fakta: berkurangnya secara drastis lahan pertanian di Jawa dan digantikan dengan kawasan industrial. Di sisi lain ada fakta: semakin meluasnya lahan perkebunan dan HPH(TI) di luar Jawa. Meluasnya ekspansi modal tersebut telah menyumbang masalah ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia, yang kemudian berujung pada semakin banyaknya petani miskin.

Kenyataan berkenaan dengan ketiga kecenderungan utama di atas jelas

menyumbang masalah meningkatnya jumlah petani gurem (petani dengan kepemilikan dan penguasaan tanah tidak lebih dari 0,2 hektar) dan petani tuna kisma (petani tanpa kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian), serta petani di luar Jawa yang tercabut dari akar budaya aslinya karena dicap oleh pemerintah sebagai perambah hutan dan kelompok terasing yang harus “dimodernkan” tapi dengan syarat bahwa mereka harus melepaskan tanah adatnya.

Roh dan gagasan strategi melawan proses pemiskinan yang dianut pemerintah

jelas tidak realistik. Oleh karena itu ikhtiar melawan kemiskinan dan pemiskinan harus dipandu oleh fakta obyektif dari realitas kemiskinan yang terjadi dan tafsir subyektif dari si miskin itu sendiri tentang realitas pemiskinan dan kemiskinan mereka. Dari beberapa proses penelitian dan konsultasi publik yang telah dilakukan, fakta obyektif itu lebih didominasi oleh realitas kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural tersebut sangat jelas sebagai perampasan daya kemampuan (capability deprivation) manusia atau kelompok manusia, yang terjadi secara sistematis sehingga membuat manusia dan kelompok manusia itu terjebak dalam kondisi yang memiskinkan. Lantas yang terjadi lebih merupakan proses pemiskinan, dan proses pemiskinan itu sebagian besar didominasi oleh tekanan eksternal. Ada kemungkinan akibat-akibat dari tekanan eksternal itu juga diinternalisasi, yang kemudian secara gegabah disebut kebudayaan kemiskinan.

Perampasan daya kemampuan ini mencakup : 1. Perampasan daya sosial Meliputi perampasan akses pada ‘basis’ produksi rumah tangga, seperti informasi, pengetahuan dan pengembangan keterampilan dan potensi kolektif, partisipasi dalam organisasi, dan sumber-sumber keuangan. Akses terhadap daya sosial ini juga disebabkan tekanan ekspansi modal (termasuk perilaku TNCs dan MNCs) dan globalisasi ekonomi.

Page 33: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

2. Perampasan daya politik Meliputi perampasan akses individu pada pengambilan keputusan politik, bukan saja pada kemampuan untuk memilih, tetapi juga untuk menyuarakan aspirasi dan bertindak secara kolektif. Tekanan ini lebih merupakan akibat dari operasi watak otoritarian dari rezim yang berkuasa dan para pendukung koersifnya. 3. Perampasan daya psikologis Yaitu tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi-dirinya, baik dalam kancah sosial maupun politik. Karena itu si individu ini tidak ada peluang untuk berpikir kritis. Tekanan eksternal itu diinternalisasi si miskin menjadi kesadaran palsu.

Melacak Sumber-Sumber Pemiskinan

Untuk bisa menarik pelajaran dari masa lalu, penting bagi kita mengidentifikasi secara ringkas sistem, kelembagaan dan proses-proses yang menghasilkan kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 3 dekade memang menghasilkan manfaat ekonomi yang luas dan menetes ke bawah, mengapa sebagian besar rakyat Indonesia masih miskin? Mengapa dalam masa puncak investasi dan pertumbuhan ekonomi 6%, upah riel pekerja, baik di industri maupun di pertanian, masih demikian rendah? Mengapa investasi kesehatan dan pendidikan Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara tetangganya? Mengapa sektor pertanian Indonesia tidak tangguh? Mengapa kaum petani kita masih terus hidup subsisten? Dan mengapa di masa Orde Baru, media massa, sistem politik dan rakyat secara umum tidak berhasil mengoreksi secara mendasar sistem dan kebijakan?

Pengalaman 32 tahun Orde Baru menunjukkan bahwa sistem, kelembagaan dan proses politik ekonomi dan sosial bermuara kepada konsentrasi kuasa, konsentrasi pengambilan keputusan, dan konsentrasi penguasaan atas aset-aset ekonomi negara dan sumber daya sosial lainnya oleh segelintir elit politik dan ekonomi. Di satu pihak terjadi konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi, di satu sisi, menghasilkan perampasan dan pelumpuhan ekonomi, politik dan sosial di pihak rakyat.

Sistem perusahaan negara dan pemilikan oleh negara telah dibajak dan diselewengkan menjadi kepemilikan elit di sekitar Soeharto dan kerabatnya. Ekonomi "pasar" lebih berpihak kepada kelompok Soeharto, kroninya dan para konglomerat. Tampak bahwa aspek "efisien" yang lebih diandalkan ketimbang aspek keadilan.

Kita melihat bahwa setidaknya empat unsur kebijakan, kelembagaan dan proses-proses sosial ekonomi yang langsung bertanggung jawab atas proses pemiskinan dan kemiskinan. Empat unsur itu adalah : (i) politik otoriter dan sentralisme, (ii) ekonomi pasar dan Washington Consensus, (iii) penanggulangan kemiskinan di masa lalu, (iv) Peranan donor dan lingkungan ekonomi global.

• Otoritarianisme dan Sentralisasi Kekuasaan Selama 32 tahun, politik otoritarianisme telah menghasilkan stabilitas politik,

dengan biaya sosial dan politik yang tinggi. Politik otoriter melihat rakyat sebagai obyek dan hamba sahaya, bukan warga negara, sebagai pembayar pajak dan konsumen yang tidak memiliki hak penuh dan bebas berpendapat. Politik otoriter lebih bertumpu pada pemaksaan dan kekerasan ketimbang supremasi hukum dan kompetisi ide-ide. Orde Baru Soeharto menolak pluralisme, multipartai, serta demokrasi

Page 34: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

karena yang demikian itu dianggap bukan Indonesia. Hal tersebut telah mematikan ide dan cara baru, yang sangat diperlukan bagi Indonesia untuk berubah ke arah yang lebih baik. Sistem hukum tidak jalan sama sekali karena militer dan birokrasi yang menjadi penentu. Aspirasi rakyat yang muncul akan dicap sebagai lawan politik dan akan dihukum sebagai subversif. DPR hanyalah hiasan demokrasi dan berguna untuk menjadi tukang stempel bagi rencana dan keputusan presiden. Media massa disensor, ketakutan dan tidak bisa berfungsi sebagai pengawas dan korektor.

Sementara itu, sentralisme ekonomi dan politik telah berakibat pada ketidakadilan dan ketimpangan di propinsi-propinsi. Hutan, tambang dan kekayaan alam lainnya menjadi monopoli Jakarta dengan kewenangan yang tak terkontrol. Akhirnya, politik otoriter telah meninggalkan luka-luka pelanggaran HAM di masa lalu. Dari Marsinah sampai mahasiwa Trisakti. Dari Aceh sampai Papua. Dari buruh sampai petani pernah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.

• Ekonomi Pasar, KKN dan Washington Consensus Di Indonesia, ekonomi pasar yang berjalan ternyata tidak efisien dan tidak

adil. Hal ini disebabkan karena tidak adanya regulasi dan institusi regulasi. Ekonomi Indonesia lebih banyak didominasi oleh konglomerasi dan usaha besar ketimbang usaha skala menengah dan kecil. Kesempatan ekonomi dan penguasaan aset produktif dikuasai oleh kaum kroni sang penguasa dan elit politik, ketimbang rakyat.

Tiga puluh tahun pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah merubah Indonesia, di mana sumbangan sektor industri dan jasa makin lama menjadi semakin besar. Industri yang berorientasi ekspor, sumberdaya alam yang melimpah dan tenaga kerja murah menjadi faktor-faktor andalan. Sektor pertanian dan pedesaan hanya menjadi pendukung industrialisasi yang bertumpu pada kota. Keberhasilan dalam hal pendidikan dasar dan kesehatan hanya berhasil dari segi kuantitas dan bukan kualitas. Ekonomi yang sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi terbukti hanya melahirkan ekonomi konglomerat. Kesempatan ekonomi dan kepemilikan modal hanya diberikan kepada pemain-pemain besar yang dekat dengan kekuasaan. Ekonomi ini ternyata rapuh dan tidak mampu menahan guncangan krisis. Liberalisasi keuangan akhir 80-an telah menambah kerawanan ekonomi.

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang meluas dan mengakar membuat ekonomi biaya tinggi dan membuat rakyat terus menerus dirugikan. Selama puluhan tahun rakyat Indonesia sebagai warga negara, konsumen, dan pembayar pajak, guru, buruh dan petani telah dirugikan oleh korupsi. Mulai dari kasus sistemik dan bersifat politik seperti pada kasus Soeharto (yang menurut majalah Time memiliki harta 16 milyar dolar) sampai kasus kecil dan sehari-hari seperti pembuatan KTP, SIM, paspor dan surat kelahiran, yang merupakan layanan umum, semuanya masuk dalam kubangan korupsi. Tanpa perang melawan korupsi, maka KKN jaman Orde Baru akan terus berlangsung. Dana-dana utang dan bantuan serta dana pembangunan hanya dinikmati oleh kaum elit dan politisi.

Korupsi juga tentu saja menyangkut dana-dana utang dari luar negeri,

termasuk dari Bank Dunia. Dana-dana utang inilah yang memberi andil keberhasilan Soeharto duduk di tampuk kekuasaan dalam 6 kali pemilu. Meskipun sejak awal 70-an Presiden Bank Dunia, Robert Mc Namara mengetahui bahwa Soeharto korup,

Page 35: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

nyatanya Bank Dunia terus-menerus memuji Soeharto dan mengobral pinjaman. Kini, sesudah masa reformasi, rakyat dan kalangan NGO telah mendesak agar Bank Dunia melakukan audit atas utang masa lalu. Namun sampai hari ini tidak dilakukan.

• Pembangunan Bertumpu Pada Utang Selama 32 tahun, utang ternyata tidak sekadar pelengkap dari dana

pembangunan, namun sudah menjadi sumber pokok dana pembangunan. Ketergantungan terhadap utang ini didorong oleh kedua belah pihak, dari dalam negeri dan dari kreditor luar negeri. Sebagian besar perjanjijan utang diketahui dan diteken oleh Soeharto. Krisis keuangan tahun 1997, dan akibat resep IMF atas penutupan bank-bank tanpa persiapan yang memadai, memaksa pemerintah meyuntikkan modal dalam rekapitalisasi dan penjaminan sektor keuangan senilai 600 trilliun. Pasca Orde Baru, pemerintah dan rakyat Indonesia dibebani warisan utang.

Sementara itu salah satu bentuk "bantuan" adalah bantuan pembangunan yang sering disebut sebagai ODA. Masalah ODA bagi Indonesia adalah bahwa banyak di antara status bantuan itu berbentuk pinjaman mengikat atau tied aid dan banyak diantaranya untuk 'dana' membeli barang dan jasa dari negara donor, seperti barang modal, peralatan berat dan juga jasa konsultan, yang umumnya dibayar dalam valuta asing, dolar, dm atau yen.

• Liberalisasi Keuangan dan Krisis Ekonomi

Paradigma ekonomi yang berlaku sepanjang 1980-an dan 1990-an adalah apa yang disebut sebagai Washington Consensus. Krisis Ekonomi 1997 memperlihatkan dengan gamblang bahwa liberalisasi dan globalisasi ekonomi pada tahun 1990-an telah melampaui kemampuan dan kapasitas kelembagaan suatu negara dan antar-negara untuk mengendalikannya secara

ampuh. Liberalisasi keuangan di Indonesia sejak akhir tahun 80-an, yang didorong oleh IMF dan Bank Dunia, telah menjadi sebab utama kehancuran ekonomi. Jumlah bank meningkat dari 100 bank menjadi lebih 200 bank, kecil dan besar, asing dan

Box 3.1: Status Indonesia dan Utangnya

Sejak krisis ekonomi tahun 1997, status ekonomi Indonesia jatuh merosot. Laporan utang tahunan Bank Dunia tahun 2000, Global Development Finance 2000, menggolongkan Indonesia sebagai negara kategori SILIC, atau berutang tinggi dan berpendapatan rendah (SILIC- severely indebted low income countries). Suatu kategori paling rendah.1 Sebelum krisis, Indonesia termasuk golongan negara berpedapatan menengah dan berutang sedang, sejajar dengan Thailand, Phlippines. Pada status SILIC ini, Indonesia satu kelompok dengan negara-negara seperti Mali, Nigeria, Afghanistan, Malawi dan juga Ethiopia. Negara Asia yang yang terkena krisis ekonomi seperti Malaysia, Thailand dan Korea tidak termasuk SILIC (sumber INFID 2001, Backgroundpaper CGI 2001).

Beban utang ternyata tidak hanya memelaratkan negara super-miskin, namun juga negara yang dianggap negara berkembang (Indonesia, Argentina, Pakistan, Turki, dll). Masalah beban utang negara miskin dan negara berkembang terus menghalangi pembangunan negara tersebut, dan mekanisme yang ada jauh dari mencukupi untuk memecahkan beban utang.

Box 3.2: Washington Consensus

Apa itu Washington Consensus : 1. Disiplin fiskal (pengetatan anggaran) 2. Pengalihan belanja publik ke infrastruktu, kesehatan dan pendidikan 3. Reformasi pajak, memperluas basis pajak 4. Suku bunga yang yang ditetapak oleh pasar dan positif (tapi moderate) 5. Tingkat nilai tukar yang kompetitif 6. Liberalisasi perdagangan 7. Keterbukaan atas investasi asing 8. Swastanisasi atas BUMN-BUMN 9. Deregulasi, penghapusan aturan/regulasi yang menghalangi

persaingan,kecuali untuk yang bertujuan melindungi keamanan, lingkungan dan konsumen

10. Kepastian/jaminan hukum- hak milik intelektual

Page 36: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

swasta. Lalulintas modal berjalan dengan cepat tanpa supervisi dan pembatasan. Liberalisasi tanpa regulasi inilah yang membuat Indonesia jatuh dihantan krisis. Krisis keuangan dan moneter yang dahsyat yang terjadi di Asia, Argentina, Turki dan juga Rusia gagal dideteksi dan disembuhkan oleh petugasnya (IMF dan Bank Dunia) serta oleh mekanisme pasar yang ada. Biaya ekonomi dan sosialnyanya sangat luas dan mendalam, serta menghancurkan hasil-hasil pertumbuhan ekonomi berpuluh-puluh tahun. Apakah krisis yang serupa akan terjadi lagi dan bagaimana mencegahnya, menjadi teki-teki yang segera harus dijawab dan dipecahkan. Apakah kapitalisme kasino dan IMF yang salah resep masih bisa dipertahankan.

• Peranan Donor dan Kreditor Intervensi IMF yang gagal di Asia, Rusia dan Argentina menimbulkan

keperluan mendesak reformasi lembaga tersebut. Apakah pemantauan IMF sudah tepat waktu dan apakah kualitas datanya sudah memadai? Mengapa resep-resepnya tidak manjur? Mengapa pada kenyataannya IMF justru menalangi (bailing out) utang sektor swasta dan bukannya membawa sektor swasta turut menanggung beban dari krisis (bailing in)?

Dua pokok soal diajukan oleh banyak pihak sebagai ukuran reformasi lembaga-lembaga Bretton woods ini. Pertama, adalah sejauh mana program SAP (Structural Adjustment Program) yang berakar pada Washington Consensus, sudah direvisi dan dirubah guna mencerminkan pengalaman kegagalan program pembangunan ala IMF dan Bank Dunia di negara-negara miskin dan berkembang. Program SAP, nama lain dari liberalisasi, stabilisasi dan privatisasi, terus menjadi pedoman kebijakan IMF dan Bank Dunia, tampak belum dikoreksi. Kedua, sejauh mana pengambilan keputusan di lembaga-lembaga tersebut sudah mencerminkan demokrasi, terutama suara dan aspirasi negara-negara berkembang. Seperti diketahui, pengambilan keputusan di IMF didasarkan pada besarnya iuran negara itu. AS (18%) Jerman (6%) dan Jepang (6%). Sementara seluruh negara Asia Timur, termasuk Cina dan Indonesia paling banter hanya 5%. Jadi bukan seperti keanggotaan pada PBB yang one country one vote. Hal ini terjadi karena vote/suara didasarkan dari besarnya iuran atau modal yang disetor oleh negara tersebut.

Dalam kasus WTO, soalnya adalah seberapa jauh perjanjian-perjanjian liberalisasi perdagangan tersebut mengakomodasi kepentingan dan tingkat ekonomi negara-negara miskin dan berkembang. Seperti diketahui, proteksi dagang negara maju yang berbiaya ratusan milyar dolar kepada pasar domestiknya telah merugikan negara-negara berkembang dan miskin. Selain itu, biaya-biaya bagi negara berkembang untuk menyesuaikan sistem hukumnya dengan perjanjian paten, hak milik intelektual dan perjanjian jasa ternyata sangat besar, sementara negara miskin harus mengutamakan layanan sosial dasar dan pendidikan.

Dengan kata lain, masuk ke dalam perjanjian-perjanjian WTO berisiko tinggi

hanya akan membuang dana dan mengalihkan prioritas pembangunan, namun keuntungan dan manfaatnya belum tentu sebesar yang dijanjikan. Pesan yang ingin disampaikan dari keseluruhan bagian ini adalah, bagaimana mungkin suatu negara menegakkan komitmen untuk penanggulangan kemiskinan jika negara tersebut telah kehilangan kemampuannya untuk menentukan prioritas bagi dirinya sendiri. Sekali lagi, upaya penanggulangan kemiskinan menjadi sangat tergantung pada rekomendasi para donor dan kreditor itu.

Page 37: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Langkah Strategis Melawan Pemiskinan dan Kemiskinan

Mengingat hal itulah maka sudah seharusnya penanggulangan kemiskinan haruslah mengagendakan hal hal berikut ini:

Restrukturisasi Politik Hak rakyat miskin hendaknya diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh

negara dengan bentuk undang-undang dan kewajiban hukum (legal obligation).

Hak rakyat miskin tersebut, meliputi partisipasi dalam menentukan masa depan negara bangsa dan memperoleh jaminan sosial seperti kesehatan, pendidikan dan informasi, jaminan untuk kesempatan bekerja dan berusaha, memperoleh akses terhadap sumber daya sehingga bisa hidup layak, serta hak-hak ekonomi sosial dan budaya lainnya.

Penegakan hukum khususnya terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan dan pembangunan (pelanggar HAM, arsitek rezim militer-birokratik dan KKN) harus segera direalisasikan sehingga kekayaan pelaku dan pendukungnya dari dunia bisnis diadili dan diredistribusikan untuk rakyat .

Redistribusi Kekayaan Agraria reform meliputi land reform bagi petani dan masyarakat tepian hutan (di

dalam hutan). Water reform bagi nelayan dan jaminan keamanan penguasaan/ pemilikan tanah untuk keberlangsungan hidup rakyat miskin.

Reformasi pajak dan anggaran dengan melakukan praktek pajak progresif dan pro poor budgeting pajak bagi saham.

Redistribusi kekayaan untuk kesehatan dan pendidikan, di samping kekayaan negara (pencabutan subsidi dan penjualan BUMN) dianggarkan ke bidang ini sehingga pendidikan menengah dan dasar dibuat GRATIS dan si miskin dapat ke Perguruan Tinggi melalui subsidi silang. Demikian pula dengan pelayanan kesehatan secara GRATIS bagi si miskin.

Reorientasi Pengelolaan Ekonomi. Pembangunan ekonomi harus dilakukan dengan titik tekan Ekonomi

Kerakyatan di mana seluruh potensi negara bangsa diinvestasikan bagi pertumbuhan ekonomi sejati karena dengan demikian secara otomatis akan mendongkrak ekonomi nasional.

Reformasi BUMN dan usaha besar yang ada sehingga efisien dan sehat, dan guna menghindari penjualan ke pihak asing.

Akses perbankan yang lebih besar bagi si miskin dalam skema kredit perbankan.

Reformasi Fundamental Peran Donor

Hubungan Donor/Investor dan pemerintah Indonesia harus dirubah sehingga setara. Indonesia menjadi penentu dalam pembangunan ekonomi baik itu dalam kerangka CGI maupun lembaga ekonomi internasional yang beroperasi di Indonesia.

Page 38: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Lembaga keuangan dan pembangunan Internasional, termasuk investor (MNCs/TNCs), harus menghormati dan melindungi hak dan kepentingan rakyat miskin atas sumber daya yang telah menghidupinya dengan baik. Dengan 4 kerangka itulah maka kita akan segera mampu mengejar ketertinggalan kita dalam menciptakan kualitas hidup bagi rakyat dan segera menyongsong kemakmuran, keadilan dan kedaulatan sebagai bangsa merdeka.

Sketsa kemiskinan Indonesia memperlihatkan bahwa keberhasilan yang selama ini diklaim oleh Orde Baru merupakan keberhasilan pada tataran mengentaskan kemiskinan absolut dan gagal memotong aspek struktural kemiskinan, karena Indonesia tidak hanya dililit oleh hutang luar negeri yang besar tetapi juga terperangkap dalam trap ketergantungan, keterbelakangan dan kebodohan.

Bila kita masih sepakat dengan negara proklamasi Republik Indonesia dan konstitusinya tak ada jalan lain kecuali dengan melakukan perubahan paradigma pembangunan. Secara teknis adalah bagaimana suara kaum miskin dapat menjadi formulasi strategi penanggulangan kemiskinan dan menjadi mainstreaming strategi serta implementasi pembangunan. 3.2 Politik Penanggulangan Kemiskinan

Semasa Rezim pra Soeharto, memang tidak memiliki pola khusus untuk penanggulangan kemiskinan. Akan tetapi secara politis nampak upaya teknokrat masa itu, melalui Program Banteng, untuk membentuk pengusaha nasional atau pribuminisasi ekonomi. Berhubung adanya pergantian rezim, program ini mandeg, termasuk apa yang dirancang Djuanda. Yang sukses adalah program nasionalisasi perusahaan asing, yang sayangnya dikuasai militer, yang kemudian justeru semakin menyeret militer, khususnya AD, semakin sibuk dengan politik dan ekonomi.

Namun satu hal yang penting dicatat adalah masa ini telah melahirkan UUPA. Seandainya UUPA diimplementasikan niscaya terjadi transformasi struktural dan mungkin keberadaan Indonesia lebih baik lagi. Di sini jelas dan tegas bagaimana perjuangan kaum tani secara politik diadopsi, bukan saja karena kaum miskin banyak di sektor ini namun juga sumbangan perjuangan mereka terhadap kemerdekaan yang signifikan belum dibalas apapun oleh negara-bangsa ini. Politik penataan agraria ini sayangnya terburu hilang dan secara pelahan dibonsai dan dilumpuhkan dengan berbagai program pembangunan masa Soeharto dan selanjutnya. Sehingga tidaklah mengherankan bila terjadi guremisasi petani dan proletarisasi kaum tani.

Orde Soeharto menyulap hasil puncak perjuangan petani berupa UUPA (land reform, bagi hasil dan lainnya) menjadi program BIMAS-INMAS-KUD yang disertai dengan sepatu laras dan agitasi-propaganda khas Orde Baru (the low propaganda and teror). Keberhasilan nyata ini, dilanjutkan dengan berbagai INPRES dan BANPRES mulai dari sapi, perikanan, kesehatan, pendidikan hingga IDT dan Keluarga Sejahtera (BKKBN). Dengan INPRES moralitas Soeharto terangkat citranya, bahwa dia memang bersungguh-sungguh dalam penanggulangan kemiskinan apalagi dia kemudian melancarkan 8 jalur pemerataan. Tentu saja itu

Page 39: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

juga terjadi setelah mahasiswa sebagai kekuatan politik memaksanya untuk merubah paradigma pembangunan. Penting juga dicatat akibat dari pendekatan pembangunan yang netral gender ini di mana pada periode selanjutnya dipenuhi oleh isu feminisasi kemiskinan, karena banyaknya perempuan yang drop-out dari sektor pertanian.

Namun seiring dengan melemahnya keuangan negara, maka tahun delapan puluhan pihak asing mulai mendikte dengan SAP, yang kemudian disadari juga oleh orde ini bahwa program tersebut telah menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan yang makin menganga bagi si miskin, sedangkan penikmatnya semakin terkonsentrasi di tangan elite termasuk anak-anak Soeharto sendiri. Kesadaran itu nampak ketika di Tapos Soeharto mengundang Konglomerat binaannya untuk membagikan saham pada Koperasi dan kemudian dilanjutkan dengan prakarsa Jimbaran. Di tahun sembilan puluhan inilah lahir program IDT dan Keluarga Sejahtera BKKBN, serta dana CSR BUMN yang besarnya 2% dari keuntungan.

Program-program tersebut memang mampu mengentaskan jumlah orang miskin yang cukup drastis seperti disajikan di depan, namun program ini tidak membawa banyak perubahan struktural. Kemiskinan hanyalah program bahkan mungkin hanya sub dari pembangunan. Jadi ia bukanlah gerakan utama dari pembangunan, melainkan sisa-sisa dari anggaran.

Secara konseptual memang IDT menjanjikan, karena sudah menyitir persoalan struktural dalam diagnosisnya. Celakanya, solusinya kemudian tak lebih hanya merupakan community development dengan basis perkreditan dan infrastruktur pedesaan dan ini tak lebih dari akal-akalan kaum developmentalisme/modernisme. Kemajuan lainnya adalah persoalan delivery sosistemnya yang langsung, sehingga tidak terganggu oleh korupsi yang merajalela. Konsep ini sebenarnya juga dikembangkan menjadi PPK, P2KP dan akan menjadi gerakan nasional dengan nama program nasional pemberdayaan masyarakat, bedanya pada luas cakupan dan pendampingannya.

Tentu kita menyadari bahwa, kemiskinan dengan sengaja ’dipelihara’ oleh pemerintah karena intervensi penanggulangan kemiskinan hanyalah program khusus baik berupa INPRES maupun program sektoral lainnya. Sedangkan pembangunan yang dilakukan mengacu pada produktivitas, yang tentu akan menyingkirkan kaum miskin karena dianggap tidak efisien dan tidak cepat berkembang atau bertumbuh sesuai asas teori pertumbuhan. Karena kebijakannya bersifat parsial dan karitatif, maka ia cenderung dimarginalisasi oleh kebijakan makro. Apalagi di tengah kebijakan SAP, tidak pernah ada intervensi kuat terhadap penduduk miskin. Di tahun 80-an hampir tidak ada program penanggulangan kemiskinan yang signifikan, paling-paling yang penting dicatat adalah adanya early warning system yang dikenal sebagai Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Di beberapa daerah, SKPG berfungsi untuk memantau kemiskinan musiman yang selalu terjadi di musim paceklik berupa kelaparan dan busung lapar.

Baru setelah dikejutkan oleh krisis multi dimensi para elite dan teknokrat mulai menyadari kelemahan pembangunan yang mereka yakini, namun solusinya masih dalam area paradigma pembangunanisme yang mendewakan pertumbuhan dan modernisasi. Maka muncullah apa yang kemudian dikenal dengan perlindungan sosial berupa JPS dan jaminan sosial. Sistem inilah yang kemudian

Page 40: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

digalakkan sekalipun tingkat keberhasilannya terbilang rendah dari sisi targeting. Seiring dengan upaya ini, bersamaan dengan tuntutan internasional, maka pemerintah menganggap penting adanya strategi nasional penanggulangan kemiskinan yang akan menjadi landasan bagi pembangunan dan aksi afirmatif untuk mempercepat terjadinya transfprmasi sosial. 3.3 Program Penanggulangan Kemiskinan

Secara nasional banyak program yang telah dan sedang berlangsung untuk

penanggulangan kemiskinan, ada yang merupakan program umum dan ada pula yang sektoral atau dikelolah khusus oleh suatu badan. Program Penanggulangan Kemiskinan yang bersifat umum ini menggunakan pendekatan wilayah, misalnya Progran Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Pengembangan Kota dan Pemukiman (P2KP). Sedangkan yang khusus sektoral seperti untuk petani, nelayan atau beasiswa pendidikan. Ada pun program yang dikelolah lembaga adalah beras miskin oleh Bulog dan program posyandu oleh BKKBN.

Program-program ini awalnya memang dikreasi oleh masing-masing sektor atau dinahkodai oleh Bappenas, namun tak sedikit yang merupakan intervensi dari donor, baik lembaga multilateral maupun bilateral atau lembaga donor yang bukan negara. Dilihat dari sumber keuangannya, ada yang dibiayai APBN, ada pula pinjaman atau hibah. Di samping itu ada yang pembiayaannya gabungan antara APBN dan dari donor. Bahkan terakhir ada yang merupakan pengalihan dari hutang (Debt Swap)

Selama pemerintahan SBY-JK terdapat 52 program yang tersebar pada 17 departemen dan lembaga negara non departemen, di mana anggarannya selalu meningkat sejak 2004 yakni 18 trilliun, dan tahun 2007 ini menjadi 51 triliun dengan tiga pengelolah terbesarnya yakni Depsos, Depdiknas, dan Bulog. Program tersebut ada yang sudah lama dan juga ada yang mulai zaman reformasi dan yang terbaru seperti BLT, yang kemudian berubah menjadi BLT bersyarat (sesuai kondisi).

Bermacam program penanggulangan kemiskinan yang ada mengalami perubahan. Bila Soeharto mengembangkannya dengan nama INPRES dan BANPRES, maka sejak era pasca reformasi memakai skema JPS. Dan kemudian melahirkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional sekalipun masih pekat dengan nuansa perasuransian, di mana UU belum mengakomodasi pengertian perlindungan sosial yang luas. Berikut ini serangkaian nama program penanggulangan kemiskinan dalam RKP 2008:

Tabel 3.2: Daftar (Klaim) Program Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2008

Nama Departemen Nama Program Kemiskinan Jumlah Dana

Departemen Dalam Negeri Program Pengembangan Kecamatan (PPK) 56.008 Pokmas (15,9 Juta); 101.491 Orang; kesempatan Kerja 16.485.254 Orang

1.192.171.248.000

Departemen Pekerjaan Umum 1. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) 1.190.095.000.000 2. Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan 597.500.000.000

Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal

1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal & Khusus (P2DTK) 224.093.000.000 2. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT) 28.210.000.000 3. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) 100.000.000.000

Kementrian Perumahan Rakyat 1. Stimulasi Perumahan Swadaya Bagi MBR melalui LKM /LKnB 33.000.000.000 2. Penyediaan Rumah Khusus 16.100.000.000 3. KPR / KPRS Mikro Bersubsidi 229.200.000.000

Departemen Pertanian 1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan 2.955.456.700.000 2. Program Pengembangan Agrobisnis 1.592.383.700.000

Departemen Perindustrian Pengembangan Industri Kecil & Menengah 305.866.189.000 Departemen Kelautan &

Perikanan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir 116.525.000.000

Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi

1. Program Pengembangan & Perluasan Kesempatan Kerja (PPKK) 759.100.000.000

2. Program Peningkatan Keterampilan & Produktivitas Tenaga Kerja (PKPTK)

Page 41: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

3. Program Penguatan Kelembagaan Tenaga Kerja 4. Program Pemberdayaan Masyarakat di Daerah Transmigrasi

Badan Usaha Logistik Beras Miskin (RASKIN) 6.460.700.000.000

Departemen Budaya & Pariwisata

1. Fasilitasi Pengembangan Destinasi Pariwisata Unggulan 16.201.400.000 2. Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat di Destinasi Pariwisata 4.000.000.000 3. Pendukungan Daya Tarik Pariwisata Daerah 16.362.686.000 4. Pengembangan Usaha & Investasi Pariwisata 2.200.000.000

Kementrian Lingkungan Hidup Debt for Nature Swap 70.000.000.000

Kementrian Pemberdayaan Perempuan

1. PPEP Program terpadu Peningkatan Peran Wanita Dalam Keluarga Sehat & Sejahtera (P2WKSS) 1.414.370.000.000 2. PPEP Program Desa PRIMA (Perempuan Indonesia Maju Mandiri)

3. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan & Anak (P2TP2A)

Departemen Sosial 1. Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) 140.000.000.000 2. Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) 126.287.300.000 3. Program Keluarga Harapan

Departemen Pendidikan Nasional

1. Wajar Pendidikan Dasar 9 Tahun 1.266.000.000.000 2. Pendidikan Menengah & Tinggi 1.058.700.000.000 3. Pendidikan Non Formal 346.100.000.000 4. Pendidikan Khusus 1.800.000.000.000

Departemen Perdagangan 1. Program Pembangunan & Pengembangan Sarana Distribusi

66.137.500.000 2. Peningkatan Ekspor Daerah Melalui Program Dekonsentrasi

Badan Pertanahan Nasional 1. Program Pengelolaan Pertanahan

316.801.563.000 2. Program Pemberdayaan Usaha Mikro & Kecil 3. Program Reforma Agraria

Departemen Kesehatan

1. Safeguarding JPKMM 41.659.605.000 2. Program Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin di Puskesmas 937.500. 000.000 3. Penyelenggaraan Askesin 1.700.000.000.000 4. Penyediaan Obat 306.000.000.000

Departemen Koperasi & UKM

1. Program Penciptaan Iklim Usaha Bagi UKM 8.000.000.000 2. Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha Bagi UKM 214.474.722.000 3. Program Pengembangan Kewirausahaan & Keunggulan Kompetitif UKM 367.185.576.000 4. Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro 500.000.000 5. Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan Koperasi 123.059.819.000 6. Program Penguatan Kelembagaan, Pengarustaaman Gender & Anak 742.500.000

Departemen Kehutanan 1. Peningkatan Usaha Masyarakat di Sekitar Hutan Produksi (PUMSHP), 2. PPEM KK, 3. KUP & SPKD, 4. PPHTR, 5. PPHR, 6. GERHAN, 7. PHKm, 8. PPMSA HTI 3.740.000.000.000

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

1. Program Keluarga Berencana, 2. Kesehatan Reproduksi Remaja, 3. Peningkatan & Pemberdayaan Keluarga, 4. Penguatan Kelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas 216.492.532.000

Sumber: Menkokesra, 2007

Selain meluasnya program penanggulangan kemiskinan seiring

membengkaknya jumlah orang miskin, pemerintah pun semakin giat meluncurkan agenda pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan, baik dalam perencanaan maupun anggarannya; demikian pula halnya untuk gender (pro poor planning and budgeting serta gender budgeting). Kerap kali usaha-usaha tersebut dikalahkan oleh kebijakan makro, misalnya liberalisasi tahun 80-an dan yang baru-baru ini adalah pencabutan serangkaian subsidi.

Adapun dana PK dan alokasinya sejak masa krisis terus mengalami peningkatan seperti yang disajikan dalam tabel, namun jumlah penduduk miskin tidak siginifikan turun, dimana posisinya relatif stabil baik dari sisi jumlah maupun prosentase.

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Miskin dan Alokasi Belanja 4 Kategori, 2005 - 2008 Jumlah Penduduk Miskin dan Alokasi Belanja 4

Kategori th 05 th 06 th 07 th 08 % 07/08

Jumlan Penduduk Miskin 15,97 17,75 16,58 15,00 Pelayanan Dasar, Kemiskinan dan Pemerataan 40,6 66,6 86,4 99,1 14,7 Pendorong Pertumbuhan 38,4 56,1 75,1 90,4 20,4 Pendukung Utama 38,3 63, 8 74,0 73,1 -1,2 Lainnya 10,2 17,7 22,4 24,2 8,0 Jumlah 127,5 204,2 257,9 286,8 11,2 Sumber: Bappenas dan Departemen Keuangan dalam RKP 2008 Pelayanan Dasar, Kemiskinan dan Pemerataan meliputi prioritas IV dan V RKP 2008 Pendorong Pertumbuhan adalah alokasi untuk prioritas I, II, III RKP 2008 Pendukung Utama adalah Prioritas VI, VII dan VIII RKP 2008

Page 42: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Bab IV

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi, di mana jumlah penduduk miskin

bertambah cukup drastis, pemerintah menyadari bahwa betapa rapuhnya pembangunan yang selama ini dijalankan. Dalam hal penanggulangan kemiskinan juga terdapat banyak kelemahan mendasar baik dari sisi paradigma, kebijakan maupun programnya. Berbagai kritik dilancarkan dengan perspektifnya masing-masing, seperti yang dilakukan GAPRI (dan juga kalangan internal pemerintah. Box 4.1 berikut ini adalah evaluasi kritis mengenai penanggulangan kemiskinan di Indonesia oleh Pokja Makro Komite Penanggulangan Kemiskinan di bawah koordinasi BAPPENAS: Box. 4.1 Evaluasi Kritis Penanggulangan Kemiskinan Kebijakan dan program pemerintah kurang efektif dalam memecahkan masalah kemiskinan dan mencegah proses pemiskinan dan pewarisan kemiskinan. Kelemahan tersebut antara lain: 1. Sistem dan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat 2. Kebijakan bersifat sektoral, terpusat seolah-olah kemiskinan hanya menjadi urusan pemerintah

pusat semata 3. Kurangnya kolaborasi dengan masyarakat madani 4. Memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek yang tidak berdaya 5. Masalah kemiskinan dipandang sama di semua wilayah 6. Ketergantungan pada pembiayaan dari donor Sumber: Presentase Pokja Makro Bappenas

Pandangan kritis inilah yang menjadi pijakan dalam proses penyusunan SNPK sehingga tidaklah mengherankan bila I-PRSP telah mendeklarasikan pentingnya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia. 4.1 Proses Penyusunan 4.1.1 Interim PRSP

Sebelum melakukan penyusunan SNPK, pemerintah membentuk tim penyusun I-PRSP yang akan digunakan sebagai arah pandu penyusunan PRSP (SNPK) dan Penanggulangan Kemiskinan sebelum SNPK diluncurkan dan diadopsi dalam RPJM. Tim penyusun PRSP ini dikoordinasi oleh BAPPENAS selaku Pokja Makro dan beranggotakan multistakeholder forum. I-PRSP banyak memuat pemikiran progresif sekalipun terjebak dalam pragmatisme yang akhirnya berpengaruh dalam penyusunan SNPK. Jebakan yang dimaksud adalah terteranya strategi dalam I-PRSP “Peningkatan Pendapatan dan Pengurangan Beban melalui empat pilar strategis yakni Penciptaan Akses, Pemberdayaan, Peningkatan Kapasitas dan Perlindungan Sosial”. Hal-hal yang progresif adalah diadopsikannya kemiskinan multidimensi, pentingnya suara si miskin dalam PRS, kajiulang kebijakan dan program, advokasi PK dan pentingnya multistakeholder dalam proses penyusunan untuk memperkuat ownership.

4.1.2 SNPK

Page 43: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Proses penyusunan SNPK dilakukan dalam dua tahap yakni tahap pertama yang dikoordinasi oleh TKP3KPK. Tugasnya berakhir pada akhir April 2004 berdasarkan target White Paper IMF (INPRES 5/2003). Namun karena dianggap belum memadai dan banyaknya kritikan dari kalangan NGO dan beberapa departemen, maka proses selanjutnya diserahkan pada tim penyusun yang dikoordinasi oleh BAPPENAS. Tugasnya adalah memformulasi SNPK tanpa mengabaikan hasil yang dilakukan dan memperkuat perspektif si miskin serta membuat rencana aksi dan mengintegrasikannya dalam RPJM. Setelah peyusunannya selesai dan kemudian diintegrasikan dalam RPJM, pada bulan oktober 2005 SNPK, sekalipun belum memiliki status hukum tersendiri, diluncurkan oleh ketua TKPK Menko Kesra Alwi Shihab di Bali. 4.2 Substansi SNPK

Sejak SNPK diadopsi dalam RPJM dan kemudian diluncurkan, maka saat itulah untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang meformulasikan cara pandang kemiskinan sebagai: ”kemiskinan merupakan kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.” SNPK juga mengadopsi pendekatan berbasis hak sebagai paradigma PK. Adapun hak dalam SNPK terdiri atas:

Box 4.2 Sepuluh (10) Hak Dasar dalam SNPK

• Hak atas kesempatan kerja dan berusaha • Hak atas pangan • Hak atas layanan kesehatan • Hak atas layanan pendidikan • Hak atas perumahan • Hak atas air yang bersih dan aman (serta sanitasi yang baik) • Hak atas pemilikan tanah • Hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang bersih • Hak atas rasa aman • Hak untuk berpartisipasi

Sumber: SNPK, 2005

Untuk mencapai hal tersebut diperlukan suatu upaya komprehensif

yang meliputi strategi sebagai berikut:

Box. 4.3 Lima Pilar Penanggulangan Kemiskinan 1) Perluasan Kesempatan Kerja : Perluasan kesempatan kerja adalah strategi yang dilakukan untuk

menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin baik lak-laki maupun perempuan dapat meningkatkan taraf hidup secara berkelanjutan

2) Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat; adalah strategi yang dilakukan untuk memperluas partisipasi dan memperkuat suara masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.

3) Peningkatan Kapasitas, merupakan strategi yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dasar dan kemampuan usaha masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan

4) Perlindungan Sosial, adalah strategi yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan (perempuan kepala rumah tangga, faskir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin yang disebabkan oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial

5) Penataan Kemitraan Global, strategi yang dilakukan untuk menata ulang relasi dan kebijakan antara Indonesia dengan lembaga internasional guna mendukung pelaksanaan keempat strategi di atas.

Sumber: SNPK, 2005

Page 44: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Untuk itu perlu diperhatikan kebijakan strategis agar tidak menciptakan distorsi yang kontra produktif terhadap program aksi. Kebijakan strategis yang dimaksudkan yakni: kebijakan ekonomi makro, kebijakan pemenuhan hak dasar, kebijakan peningkatan keadilan gender dan kebijakan pendukung pemenuhan hak dasar. Secara skematik kebijakan dan program aksi itu adalah sebagai berikut: Diagram 4.1 Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan

KebijakanKebijakan dandan Program Program AksiAksiPenanggulanganPenanggulangan KemiskinanKemiskinan

Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Kebijakan Ekonomi Makro

Kebijakan PemenuhanKebutuhan Dasar

Kebijakan Peningkatan Keadilandan Kesetaraan Gender

Kebijakan PendukungPemenuhan Hak Dasar

Sumber: Presentase Pokja Makro Bappenas

Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan sudah diadopsi dalam RPJM,

yakni dalam Bab XVI, dan karena itu menjadi bagian dari Keppres. Namun sebagai dokumen strategis jangka panjang, SNPK masih belum memiliki payung hukum tersendiri. 4.3 Pendekatan Informasi Dasar

Pendekatan yang digunakan dalam informasi dasar ini ditujukan untuk memahami kemiskinan secara lebih baik dan untuk memberdayakan masyarakat miskin agar memiliki kemauan dan kemampuan dalam menuntut dan menikmati hak-hak dasarnya. Dokumen kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) mengajukan ’cara pandang’ terhadap masalah kemiskinan bahwa, ”kemiskinan merupakan kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.” Cara pandang yang demikian itu beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Dengan begitu, SNPK berkeyakinan bahwa kemiskinan adalah suatu peristiwa

penolakan atau pelanggaran hak, dan tidak terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin. Cara pandang ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia.

Page 45: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Dalam konteks perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk

lebih berpihak pada kaum miskin, maka sudah saatnya sekarang memahami peristiwa kemiskinan bukan sekadar sebagai kasus pembangunan, tetapi sebagai masalah Hak Asasi Manusia. Hak-hak dasar kelompok miskin senyatanya adalah hak-hak hukum yang telah diakui dan dijamin oleh Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan (yang mengatur masalah HAM maupun bidang-bidang sektoral). Dengan demikian, cara pandang seperti yang telah disampaikan di atas: tidak hanya berikhtiar untuk memberdayakan komunitas miskin, tetapi juga menegaskan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar kaum miskin.

Sementara itu untuk mencapai kepentingan di atas dan sekaligus mendukung

proses pemberdayaan komunitas miskin maka: mengedepankan persepsi dan kepentingan kaum miskin itu sendiri dalam menilai situasi dan kondisi kemiskinan, serta dalam hal menentukan prioritas tindakan kebijakan menjadi teramat penting sebagai bagian utama dari proses penyusunan SPK di level manapun. Langkah-langkah untuk memahami fenomena kemiskinan yang sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat itu haruslah diperkuat dengan analisis gender yang memang mengakui adanya kenyataan: (i) pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki; serta (ii) pengaruh besar kemiskinan terhadap kondisi khusus perempuan miskin, terutama yang berkait dengan masalah kekerasan, perdagangan manusia, eksploitasi seksual, dan kesehatan reproduksi. Di sini diharapkan, penyusunan SPK Daerah dapat merespon seluruh perkembangan yang telah disampaikan di muka.

Box 4.4 Faktor-Faktor Kunci Penyusunan SPK

• Penyusunan SPK didasarkan pada strategi pengembangan kapasitas partisipasi dan pemberdayaan masyarakat miskin, serta penguatan tata-laksana pemerintahan yang lebih baik dan berpihak pada penghormatan dan pemajuan hak-hak dasar masyarakat miskin.

• Kemiskinan adalah fenomena yang bersifat multidimensi, memiliki karakter lokal yang kuat, serta menunjukkan pengalaman dan respon yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

• Peristiwa kemiskinan dipandang sebagai kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang, laki-laki maupun perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangakan kehidupan yang bermartabat. Cara pandang ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia.

• Peristiwa kemiskinan tidak dapat lagi dipahami sekedar sebagai kasus pembangunan, tetapi secara lebih luas sebagai masalah Hak Asasi Manusia.

• Pengakuan bahwa kemiskinan sebagai penolakan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia, sebagai hak-hak hukum yang telah diakui dan dijamin oleh Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan memberi konsekuensi penegasan tentang adanya kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar kaum miskin.

• Pengembangan kapasitas partisipasi dan pemberdayaan kelompok miskin menghendaki pengedepan persepsi kaum miskin sendiri dalam menilai situasi dan kondisi kemiskinan yang dialami, serta pelibatan mereka dalam memformulasi kebijakan penanggulangan kemiskinan.

• Secara keseluruhan kerangka kerja di atas dipandu oleh ”pendekatan berbasis hak” untuk advokasi perubahan kebijakan yang lebih tepat dan adil dalam penanggulangan kemiskinan.

4.4 Konsep dan Pengalaman Pendekatan Berbasis Hak

Page 46: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

4.4.1 Mengembangkan Perspektif Pendekatan Berbasis Hak

Pendekatan Berbasis Hak dalam memahami kemiskinan mengajukan pokok analisis sebagai berikut, bagaimana kita memahami dan mendiskusikan situasi yang dialami manusia atau keluarga-keluarga miskin itu, tidak terbatas pada masalah atau dampak aktivitas pembangunan, tetapi juga dilihat sebagai suatu situasi yang berkaitan dengan masalah Hak Asasi Manusia, di wilayah isu hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Dari banyak peristiwa kemiskinan, masalah yang dialami oleh manusia atau keluarga miskin itu tidak dapat sekadar diyakini sebagai akibat dari kondisi sumber daya alam atau bersumber dari takdir Tuhan. Ketidakberdayaan mereka untuk dapat mengakses atau menikmati hak-hak dasarnya juga tidak dapat secara otomatis meletakkan tudingan sebagai kesalahan atau karena malasnya manusia atau keluarga miskin tersebut. Pendekatan Berbasis Hak didasarkan pada pengakuan bahwa masing-masing dan setiap manusia adalah si pemilik hak. Hak itu melekat pada dirinya ketika ia dilahirkan. Di dalam hak tersebut juga melekat kewajiban dan tanggung jawab yang menjadi bagian dari tugas Pemerintah untuk menghormati, mempromosikan, melindungi, dan memenuhinya. Karakteristik normatif dan hukum (legal) yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab negara itu didasarkan pada peraturan perundang-undangan nasional (dari Konstitusi sampai Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak dasar secara sektoral dan masalah Hak Asasi Manusia), serta berbagai Konvensi maupun Kesepakatan Internasional berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.

Penggunaan Pendekatan Berbasis Hak dalam memahami peristiwa kemiskinan adalah untuk mendukung proses yang membuka berbagai kemungkinan, peluang atau akses untuk memberdayakan manusia dan keluarga miskin untuk dapat menuntut dan menikmati hak-hak yang asasi bagi mereka.

Box 4.5 Hak dan Kebutuhan Dasar

Pendekatan Berbasis Hak menegaskan adanya perbedaan antara Hak dan

Kebutuhan Dasar. Apa pendapat seorang miskin ketika didapati selalu menggunakan air kotor, yang tentu saja berpotensi membahayakan kesehatannya, untuk keperluan mandi dan masak? Lalu, apa pendapat anda ketika mendengar, membaca khabar, mencermati foto tentang seorang ibu yang memasak seekor kucing pada wilayah jalur rel kereta api hanya untuk memenuhi kebutuhan akan makanan atau bertahan hidup? Pengingkaran atau tidak adanya pemenuhan hak-hak dasar itu berakibat pada hilangnya martabatnya sebagai manusia.

Hak adalah sesuatu yang melekat pada seseorang karena ia terlahirkan sebagai manusia. Kepemilikan Hak itu akan membuka jalan pada seseorang untuk hidup lebih bermartabat sebagai manusia. Lebih dari itu, Hak itu ada dan akan tetap eksis meskipun Pemerintah masih merancang rencana kebijakan atau tidak berkemampuan untuk memenuhinya. Sementara itu, kebutuhan dasar lebih merupakan aspirasi yang kurang memiliki legitimasi untuk dituntut pemenuhannya berdasarkan kerangka pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab Negara. Hak memiliki konteks yang berkaitan langsung dengan martabat manusia, sedangkan kebutuhan dasar menunjuk pada makna pencapaian kesejahteraan.

Pendekatan Kapabilitas Dasar tidak melakukan pembelaan ataupun sebaliknya, menyerang bentuk atau sistem politik Negara. Fokus pendekatan ini langsung pada masalah Hak-Hak Dasar itu sendiri dan terus mempersoalkan bagaimana membangun kapabilitas dasar manusia warganegara untuk terciptanya tatanan sosial yang lebih baik dan adil.

4.4.2 Pendekatan Berbasis Hak dan Masalah Hak-Hak Dasar

Page 47: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Hak-hak dasar seperti, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas

perumahan yang layak telah sejak lama dipahami sebagai instrumen yang harus dicapai sebagai “tujuan akhir” dari serangkaian aktivitas dan kebijakan pembangunan, atau melalui pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam pemahaman seperti ini tampak adanya gagasan pokok, dan memang menjadi praktek politik pembangunan, bahwa Hak-Hak Dasar itu hanyalah aspirasi. Selanjutnya, melalui gagasan pokok ini telah banyak dikembangkan ilmu pengetahuan dan praktek ekonomi politik pembangunan yang mendukung upaya pemenuhan atau penikmatan hak-hak yang asasi itu secara bertahap, tergantung pada kemampuan dan ketersediaan sumber daya (yang dikelola oleh Pemerintah). Dalam konteks dan konsep HAM, gagasan di atas ternyata juga mempengaruhi terjadinya pemahaman adanya kategorisasi “negatif” dan “positif” dalam praktek HAM. Pemenuhan hak sipil dan politik menghendaki kondisi tidak adanya intervensi dari Negara, sedangkan untuk hak ekonomi, sosial dan budaya justru mendesak adanya intervensi dari Negara. Sementara itu pada kelompok strategis di lingkungan masyarakat sipil, gagasan ini juga diterima dan dijalankan melalui tradisi advokasi Hak Asasi Manusia yang lebih memobilisasi energi aksi yang mementingkan hak sipil dan politik.

Gagasan pokok yang berkaitan dengan paham dan pemenuhan Hak-Hak Dasar di atas secara dominan niscaya dipengaruhi dan dibangun dari perspektif kebijakan pembangunan atau kesejahteraan, dan bukannya dari perspektif hak. Pendekatan Berbasis Hak menegaskan adanya perbedaan nyata dalam memahami aktivitas pembangunan melalui pengembangan pelayanan atau dukungan untuk pemenuhan kebutuhan dasar; dengan kegiatan yang memastikan dapat dinikmatinya Hak-Hak Dasar.

Box 4.6 Pendekatan Kapabilitas dan Kemiskinan

Memahami Hak-Hak Dasar melalui panduan perspektif Hak memperoleh banyak inspirasi dan

kontribusi dari pokok pikiran peraih Nobel Prize Ekonomi, Amartya Sen tentang pendekatan kapabilitas. Menurut Sen, kapabilitas adalah satu hal yang sangat esensial dari kemerdekaan manusia ---yakni kerangka tentang pilihan dari manusia itu untuk memutuskan sendiri pilihan hidup yang dijalani. Terjadinya kemiskinan pendapatan (ekonomi) dan perampasan hak menunjuk adanya hubungan dengan kondisi yang membatasi kemerdekaan seseorang untuk menjalani hidup dan memegang teguh nilai-nilai kehidupan sosialnya.

Dengan begitu, memahami peristiwa kemiskinan sebagai masalah kegagalan kapabilitas mendesak dikonstruksikannya tatanan sosial menuju yang lebih adil melalui operasional kewajiban dan tanggung jawab Negara. Argumen ini memberi wahana untuk menilai strategi dan kebijakan Pemerintah: apakah kesejahteraan memberi dampak bagi perbaikan kapabilitas manusia warganegara? termasuk dalam hal terjadinya peningkatan kehidupan manusia warganegara sebagai dampak dari peningkatan penghasilan/pendapatan nyata.

Selanjutnya, pendekatan kapabilitas dapat didayagunakan sebagai sarana untuk menilai terjadinya diskriminasi dan dampak diskriminasi berdasarkan beragam faktor, seperti ras, agama, status sosial, warna kulit, perbedaan jenis kelamin. Diskriminasi memiliki potensi bahaya yang dapat menghacurkan kapabilitas manusia warganegara, seperti misalnya dalam kasus adanya halangan, hambatan atau penolakan terhadap manusia warganegara miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang baik.

Amartya Sen dalam studinya yang monumental, “Inequality Reexamined”, telah mencermati berbagai masalah rumit menyangkut perdebatan mengenai persamaan. Sen berpendapat bahwa yang perlu diperhatikan dalam membahas persamaan adalah memperhitungkan keberagaman manusia. Manusia berbeda satu sama lainnya dalam ciri-ciri eksternal menurut lingkungan sosial dan lingkungan alam dimana mereka hidup. Manusia juga berbeda menurut ciri-ciri personalnya sebagaimana terwujud dalam jenis kelamin, umur serta kemampuan fisik dan mentalnya. Penilaian atas klaim persamaan haruslah mempertimbangkan berbagai kondisi menyangkut eksistensi keberagaman manusia. Retorika

Page 48: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

ampuh mengenai “persamaan manusia” seringkali cenderung mengelak dari perhatian atas perbedaan-perbedaan ini. Pertimbangan persamaan bagi semua boleh jadi akan menghasilkan perlakuan yang sangat tidak adil bagi mereka yang tidak beruntung. Menjamin persamaan substantif bisa jadi mendesak perlunya diberikan kebutuhan khusus jika terdapat ketidakadilan yang cukup kentara dan harus cepat diatasi.

Pada umumnya, persamaan diukur dengan membandingkan aspek-aspek tertentu dari seseorang dengan orang lainnya. Aspek yang dilekatkan pada seseorang bisa jadi berupa pendapatan atau kekayaan ekonomi, atau kebahagiaan, atau kebebasan, atau kesempatan, atau hak, atau pemenuhan kebutuhan. Penilaian atas ketidakadilan tergantung pada pemilihan variabel seperti pendapatan, kekayaan, kebahagiaan dan seterusnya. Sen menyebut variabel-variabel ini sebagai “focal variables” — ‘variabel yang dipakai sebagai fokus analisis, dalam membandingkan orang per orang.’

Sen mengusulkan ‘pendekatan kapabilitas’ sebagai suatu ‘focal variable’ penting untuk mengkaji tatanan sosial. Hidup bisa bervariasi mulai dari hal-hal mendasar seperti cukup sandang-pangan, menghindari bencana atau kematian prematur yang seharusnya bisa dicegah, hingga pada kondisi pemenuhan kebutuhan hidup pada tingkat yang lebih tinggi seperti bahagia, memiliki harga diri, atau berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Kapabilitas di sini berarti kebebasan seseorang untuk mencapai kesejahteraan. Dalam artian ini, kapabilitas bisa dipahami sebagai pencerminan dari kebebasan substantif. Pendekatan kapabilitas memperhitungkan sejumlah cara di mana hidup bisa ‘diperkaya atau dimiskinkan’.

Pendekatan kapabilitas dapat menimbulkan implikasi kebijakan bagi mereka yang peduli dengan masalah persamaan. Kenyataan sekarang, suatu pendekatan yang menjadi arus utama dalam mengidentifikasi kemiskinan adalah berdasarkan garis kemiskinan. Di pihak lain, kemiskinan bukanlah masalah rendahnya kesejahteraan, namun merupakan masalah ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan. Memperoleh pendapatan yang tidak mencukupi bukanlah masalah memperoleh pendapatan yang ada di bawah garis kemiskinan, tapi masalahnya memperoleh pendapatan yang rendah itu dapat menghasilkan tingkat-tingkat kapabilitas tertentu bagi orang-orang yang mengalaminya.

4.4.3 Menegaskan Peran Negara

Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin banyak yang tidak dapat mengakses pendidikan dasar. Bagi keluarga-keluarga miskin itu, biaya sekolah (dasar) masih mahal. Satu gambaran yang mengenaskan. Pendidikan dasar sebenarnya menjadi hak bagi anak-anak tersebut dan di sisi lain, adalah kewajiban dan tanggung jawab negara untuk menjamin pemenuhan hak atas pendidikan dari anak-anak miskin itu. Masalah ini telah banyak menjadi perhatian media massa dan menjadi salah satu dari laporan-laporan utama sepanjang tahun ajaran baru. Sementara itu, sebagian dari mereka juga dilaporkan tidak dapat menikmati makanan yang layak dan tidak memiliki cukup gizi. Banyak kasus busung lapar juga menjadi bagian dari penderitaan anak-anak dari keluarga miskin tersebut.

Ilustrasi berdasarkan kenyataan di atas menjelaskan bahwa isu sosial dan ekonomi di dalam peristiwa kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari debat tentang peran negara. Banyak pihak mengajukan kritik dan terus mempersoalkan adanya dampak negatif dari perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan, begitu juga tentang peran dan kontribusi pemerintah hingga munculnya dampak negatif itu. Kendati begitu, pada waktu yang bersamaan, tuntutan yang ditujukan pada pemerintah untuk mengurangi peran dan intervensinya dalam aktivitas ekonomi dan pembangunan, termasuk juga dalam hal perannya dalam memformulasi kebijakan publik, juga semakin berkembang. Di sini, ’pasar’ (market) dikedepankan untuk menggantikan peran aktif negara. Pertanyaan penting diajukan: lalu bagaimana dengan kewajiban dan tanggung jawab negara—sesuai dengan perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan—untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar manusia warganegara, terutama dari kelompok miskin?

Page 49: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Cara pandang yang cukup maju ditunjukkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan SNPK yang mentransformasikan masalah kemiskinan dalam kerangka nilai dan hukum Hak Asasi Manusia. Peran negara dalam hal masalah kemiskinan tidak dapat lagi dipahami sebagai tindakan kedermawanan atau sebagai kewajiban moral. Peran strategis Negara telah menjadi ’kewajiban dan tanggung jawab hukum dari Negara’ (state obligation). Ini adalah satu bentuk penegasan dari kewajiban dan tanggung jawab negara untuk melaksanakan tindakan kebijakan yang jelas dan terukur dalam penanggulangan kemiskinan. Kewajiban dan tanggung jawab itu seharusnya tidak dapat atau tidak boleh dipengaruhi oleh sistem ekonomi ataupun sistem pemerintahan yang dianut dan yang dijalankan.

Box 4.7 Melihat masalah anak-anak miskin dari lensa ’kapabilitas’

Situasi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di mana mereka tidak dapat mengakses

haknya atas pendidikan dasar, menjadi korban dari penyakit kurang gizi dan kelaparan, patut diuji dengan pendekatan kapabilitas, yang faktanya jelas memberi dampak pada terus termarjinalisasinya status hak dasar dan martabatnya sebagai manusia:

• Tidak adanya akses terhadap hak atas pendidikan dasar dan hak atas makanan yang layak menjadikan anak-anak miskin itu kehilangan kesempatan untuk ’terdidik’ dalam sekolah formal, tidak ada peluang untuk hidup sehat, dan bahkan terancam kematian kerena kelaparan. Nilai instrinsic yang seharusnya dimilikinya dimusnahkan dan membuatnya tidak dapat mencapai kualitas hidup yang baik.

• Masalah di atas juga membuat anak-anak miskin kehilangan kesempatan untuk hidup secara normal sesuai dengan jaminan hukum hak asasi anak-anak, kehilangan kemampuan untuk mengorganisir potensi dan bakat dan juga kehilangan kesempatan menjadi manusia yang bernilai dan bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.

Pemerintah jelas telah melakukan kesalahan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan

menyangkut hak-hak dasar keluarga miskin untuk mengakses pendidikan, makanan yang layak dan pelayanan kesehatan yang baik. Kesalahan ini sebagai akibat dari pengambilan keputusan yang tidak melibatkan partisipasi keluarga-keluarga miskin itu, dan jelas menghilangkan dan/atau menolak suara, peran dan potensi anak-anak dan keluarga miskin yang berkaitan dengan masalah ini.

Menghadapi situasi ini, pendekatan berbasis hak mengajukan alternatif yang mendukung anak-anak dan keluarga miskin itu dalam menuntut hak-hak dasar mereka dan membebaskannya agar dapat mencapai hidup yang lebih berkualitas dan bermartabat sebagai manusia warganegara.

4.4.4 Analisis Gender

Telah luas diakui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman dan respon yang berbeda terhadap kemiskinan. Kesenjangan akses terhadap hak-hak dasar begitu nyata terjadi. Kendati begitu, berdasar kan temuan dari kegiatan PPA yang dilakukan KIKIS, perbedaan pengalaman dan respon itu sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan stereotype yang telah sekian lama terbangun: perbedaan itu terjebak dalam urusan publik (mengarah pada dominasi peran laki-laki) dan urusan domestik (mengarah pada dominasi peran perempuan). Dari keseluruhan hasil kegiatan PPA yang berkaitan dengan kehidupan petani pedesaan terlihat bahwa masalah utama dan prioritas kaum laki-laki adalah berkaitan dengan akses pada pemilikan tanah (sebagai asset) dan urusan modal. Sementara itu, masalah utama dan prioritas kaum perempuan lebih banyak berkaitan dengan perawatan dan sekolah anak-anak mereka. Hasil kegiatan PPA itu meyakinkan bahwa begitu kuat dan dalamnya masalah penindasan hak asasi perempuan, terjadinya diskriminasi dan terjangan subordinasi. Karena itu, analisis gender jelas menjadi satu kebutuhan bagi perancangan kebijakan penanggulangan kemisinan.

Page 50: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Di wilayah lain, kemiskinan secara faktual memberi pengaruh besar pada kondisi khusus perempuan miskin. Sederet masalah muncul dalam konteks ini yang ternyata tidak dapat dikategorikan sebagai masalah kesenjangan akses. Masalah-masalah itu adalah: terjadinya kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan, eksploitasi seksual, dan kesehatan reproduksi. Menghadapi kenyataan ini jelas menjadi kebutuhan strategis untuk mentransformasikan masalah-masalah yang dialami oleh kebanyakan perempuan miskin itu sebagai masalah hak asasi manusia. Di sini, sekali lagi, analisis gender menjadi suatu kebutuhan strategis yang harus dilaksanakan dalam proses penyusunan SPK.

Analisis gender dilakukan untuk mendukung proses perumusan kebijakan yang memberi andil bagi perwujudan keadilan dan kesetaraan gender. Analisis gender dalam kerangka pendekatan berbasis hak untuk penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk mendapatkan kerangka analisis dan kerja atau tindakan kebijakan yang sensitif gender. Ia juga dituntut untuk lebih peka dan peduli pada kondisi dan persoalan yang dihadapi oleh perempuan miskin. Tujuan utama dari seluruh proses ini adalah mencapai tindakan yang jelas untuk menghapus segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan (miskin) baik di arena domestik maupun publik, serta menjamin kesamaan hak perempuan dalam pengambilan keputusan, memperoleh pelayanan publik, dan mencapai kesejahteraan sosial. 4.4.5 Belajar dari Pengalaman penerapan pendekatan berbasis hak

Peran pemerintah dalam pemenuhan Hak atas Pendidikan Dasar Faktor-faktor apakah yang bisa menjadi pedoman pemerintah pusat, propinsi,

kabupaten dan kota untuk mencapai hasil terbaik dalam memastikan pemenuhan hak atas pendidikan bagi warga masyarakatnya. Kajian dokumen dari Sosial and Economic Rights Action Center (SiDAN) menunjuk enam tematik, yakni:

Komitmen politik. Dalam banyak kasus, mengupayakan pencapaian ‘pendidikan untuk semua’ dan pemenuhan hak atas pendidikan dasar adalah prioritas politik tertinggi dalam tata laksana kekuasaan pemerintahan.

Komitmen Keuangan. Komitmen politik sebagaimana dimaksud di atas ditunjukkan dalam kebijakan alokasi keuangan. Merujuk survei Tifa di Kabupaten Jembrana, dalam waktu 3 – 4 tahun sejak tahun 2001, kesejahteraan rakyat di Kabupaten Jembrana, Propinsi Bali meningkat tajam. Peningkatan kesejahteraan rakyat diupayakan oleh pemerintah Kabupaten Jembrana dengan memberi layanan dan program seperti: bebas SPP bagi seluruh siswa sekolah negeri; beasiswa bagi siswa sekolah swasta; bebas biaya obat dan dokter bagi semua warga; bebas biaya rumah sakit bagi keluarga miskin; dana talangan untuk menjaga harga hasil panen; dana bergulir untuk usaha bagi kelompok masyarakat. Pelaksanaan ‘sekolah gratis’ dilakukan melalui: penghematan dengan cara pengelompokan kembali sekolah-sekolah dasar yang jumlah siswanya di bawah standar. Hasil dari penghematan tersebut disalurkan melalui program subsidi, beasiswa, dan pemberian block grant untuk perbaikan sekolah. Penyaluran dana ini dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dengan dukungan atau sumbangan masyarakat (Yayasan Tifa:2005).

Page 51: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Peran utama sektor publik. Banyak negara dapat menjalani transformasi dalam mewujudkan hak rakyat atas pendidikan dasar terutama karena intervensi tindakan kebijakan publik daripada karena dukungan swasta. Kasus Indonesia, selama rentang waktu pemerintahan Soeharto, pendidikan dasar menjadi prioritas penting dalam kebijakan pembangunan dengan dominasi peran pemerintah pusat. Melewati masa pergantian kepemimpinan nasional, pendidikan dasar termasuk bagian dari kebijakan desentralisasi melalui UU Otonomi Daerah. Upaya pemenuhan hak rakyat atas pendidikan dasar menjadi sangat tergantung pada potensi dan inisiatif daerah, seperti yang dilakukan pemerintah Kabupaten Jembrana. Pertengahan tahun 2005, pemerintah pusat memberikan dukungan keuangan pada pemerintah kabupaten/kota melalui skenario Dana Alokasi Khusus (DAK) dan diintegrasikan dengan pembentukan kebijakan makro, yang dikenal dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). BOS adalah salah satu program subsidi dari kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak. Kebijakan semacam ini cukup rentan karena ketergantungan yang besar pada ‘mekanisme pasar’. Tetapi semua realitas ini menunjukkan peran penting pemerintah dalam pemenuhan hak rakyat atas pendidikan dasar; meski pada fakta akhirnya, banyak pemerintah kabupaten/kota sangat terbantu, atau kemudian tergantung, pada dukungan keuangan dari pemerintah pusat.

Keadilan dalam alokasi Anggaran Publik (APBN/D). Pemenuhan hak universal atas pendidikan dasar sangat dipengaruhi oleh kebijakan investasi sumber daya pendidikan. Dalam konteks ini, kita bisa belajar dari Korea Selatan di mana alokasi keuangan untuk sektor pendidikan dasar sejumlah 60 persen dari total jumlah Anggaran Publik. Pihak swasta banyak berkontribusi dan berperan penting pada tahap sekolah lanjutan dan pendidikan tinggi. Dokumen SNPK merekomendasikan tentang adanya ‘kewajiban negara” yang menegaskan peran dan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak rakyat atas pendidikan dasar dan menetapkan jumlah persentase tertentu dari total pengeluaran Anggaran Publik yang harus dipenuhi untuk sektor pendidikan dasar. Tercatat, pemerintah pusat mencanangkan tercapainya anggaran pendidikan minimal 20% pada tahun 2009.

Skenario subsidi melalui ‘BOS’ dan ‘Cash Transfer’ untuk orang miskin—

sebagai sesuatu hal di luar konteks rekomendasi SNPK—dapat dijadikan indikator untuk menilai apakah ‘kewajiban negara’ yang dijalankan oleh pemerintah pusat itu tepat atau tidak, dan apakah itu dapat mencapai tingkat keadilan dalam alokasi Anggaran Publik.

Mengurangi beban biaya pendidikan dari keluarga miskin. Peningkatan jumlah pengeluaran Anggaran Publik jelas dapat mengurangi beban pengeluaran setiap keluarga, terutama keluarga miskin, untuk mengakses pendidikan dasar. Inisiatif lokal seperti program ‘sekolah gratis’ untuk pendidikan dasar, beasiswa, dana pembangunan sarana dan prasana sekolah dasar merupakan beberapa wilayah contoh dalam konteks ini.

Mengintegrasikan reformasi pendidikan ke dalam strategi pembangunan manusia. Reformasi pendidikan haruslah menjadi bagian penting dari strategi penanggulangan kemiskinan. Orang dan/atau keluarga miskin seharusnya secara dan berdasarkan hukum dapat menerima manfaat dari pelaksanaan reformasi pendidikan. Reformasi pendidikan di Indonesia dipandu oleh peraturan perundang-undangan tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 52: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Strategi Advokasi Pemenuhan Hak Dasar

Terdapat beberapa pengalaman berbasis ragam inisiatif atau alternatif kebijakan yang dikembangkan sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak dasar kaum miskin.

Perencanaan Kebijakan dan Alokasi Anggaran. Penyusunan RPJM Nasional 2004-2009 sepatutnya didasarkan pada isi dokumen SNPK. Konsistensi isi dalam penyusunan Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) menunjukkan adanya upaya untuk mengintegrasikan sistem perencanaan kebijakan dengan alokasi Anggaran Publik. Definisi operasional Anggaran Publik yang berpihak pada hak kaum miskin dapat diwujudkan jika SNPK disusun berdasarkan ‘isu strategis dan prioritas si miskin’ di mana suara, perspektif dan potensi si miskin diperhatikan. Pelaksanaan Kajian Kemiskinan Partisipatif (Participatory Poverty Assessment) merupakan sarana untuk kepentingan tersebut, dan dalam SNPK disajikan dalam Bab “Diagnosis Kemiskinan.” Proses seperti ini dapat diadopsi oleh pemerintah kabupaten dan kota dalam penyusunan RKP. Karena dengan cara demikian dapat dikembangkan sistem perencanaan kebijakan dan alokasi anggaran yang dapat mencapai tujuan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.

Keadilan Gender. Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu masalah yang sering kali dialami kaum perempuan miskin karena kondisi kemiskinan yang dialaminya. 4.5 Masalah Hak-Hak Dasar; Kewajiban dan Tanggungjawab Negara

Di dalam dokumen SNPK, dengan mengadopsi prinsip-prinisp yang

dikembangkan melalui Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (atau ICESCR), ada suatu kesadaran bahwa ketersediaan (alokasi) sumber daya hanya terbatas untuk memenuhi seluruh hak-hak dasar kaum miskin, dan kemungkinan untuk realisasi pemenuhan hak-hak dasar tersebut secara bertahap (achieving progressively the full realization). Artinya, tindakan kebijakan penanggulangan kemiskinan itu merupakan implementasi suatu program pemerintah yang dilakukan secara bertahap dengan memperhitungkan sumber daya yang ada untuk mencapai realisasi penuh hak-hak dasar. Jika demikian, apakah keberadaan hak-hak dasar itu sekedar aspirasi atau dipahami sebagai hak?

Perlu ditegaskan kembali bahwa pokok argumen yang memahami hak-hak dasar itu sebagai aspirasi karena menilik keberadaaan dan pemenuhan hak-hak dasar tersebut tergantung pada kemampuan Negara. Argumen yang demikian ini sebenarnya juga mengingkari manusia sebagai si pemilik hak. Di sini yang perlu dimengerti adalah masalah dalam hal implementasi kebijakan tidaklah boleh membuat manusia warga negara (miskin) menjadi kehilangan hak-haknya. Merujuk kembali pada dokumen SNPK, yang menegaskan tentang prioritas masalah yang tercakup dalam sepuluh (10) Hak-Hak dasar, sebagai masalah nyata yang dialami oleh sekian banyak orang miskin dan orang yang rentan terhadap kemiskinan di negeri ini.

Sepuluh (10) Hak-Hak dasar yang termuat dalam SNPK tersebut di atas dihasilkan melalui proses kajian diagnosis kemiskinan berdasarkan temuan dan informasi yang disampaikan dari berbagai kegiatan Participatory Poverty Assessment

Page 53: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

atau PPA. Menjadi pertanyaan di sini: bagaimana jika Pemerintah gagal memenuhi Hak-Hak Dasar tersebut? Konsep ‘kewajiban dan tanggung jawab pemerintah’ yang diajukan oleh SNPK mengikuti perkem bangan hukum Hak Asasi Manusia—tentu saja sebagai konsekuensi didayagunakannya kerangka hukum Hak Asasi Manusia dalam memperkuat cara pandang tentang masalah kemiskinan—mengakui adanya ‘kewajiban minimum’ (minimum core obligation). Badan-badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengembangkan konsep ini untuk negara-negara anggotanya, sekaligus menjadi panduan bagi dukungan atau pinjaman luar negeri berkaitan dengan alokasi Anggaran Publik—yakni pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah—untuk pemenuhan pelayanan Hak-Hak Dasar tertentu, seperti Hak atas pendidikan dasar yang ditetapkan 20 persen dari total Anggaran Publik. Sementara itu, sesuai dengan Konvesi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, ketetapan tentang ‘kewajiban minimum’ ini digunakan untuk menyangkal alasan tidak adanya sumber daya sebagai faktor untuk pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab negara.

Box 4.8

Sepuluh (10) Hak Dasar dalam SNPK • Hak atas kesempatan kerja dan berusaha • Hak atas pangan • Hak atas layanan kesehatan • Hak atas layanan pendidikan • Hak atas perumahan • Hak atas air yang bersih dan aman (serta sanitasi yang baik) • Hak atas pemilikan tanah • Hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang bersih • Hak atas rasa aman • Hak untuk berpartisipasi

Dengan begitu, kerangka pikir untuk merumuskan indikator berkaitan dengan

gagal atau tidaknya pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dapat merujuk pada peristiwa-peristiwa, seperti: gejala adanya semacam trauma dari lapisan miskin terhadap pelayanan kesehatan (misalnya tidak ikut program imunisasi balita), kekurangan bahan makanan yang layak dan cukup gizi dalam berbagai kasus busung lapar, tidak adanya akses pada perumahan yang layak, semakin banyaknya petani tak bertanah atau hanya menguasai lahan sempit, semakin termarjinalisasinya status adat dan kearifan dari ‘rakyat’ yang tinggal di dalam kawasan hutan, lemahnya posisi dan relasi ekonomi dari petani-petani di sekitar hutan di hadapan pengelola hutan negara.

4.5.1 Perlu keterlibatan dan dukungan yudikatif

Hak-hak dasar yang diegaskan dalam SNPK atau nantinya dalam SPKD, dan dimuat dalam RPJM Nasional atau RPJM Daerah 2005 – 2009, yang dipastikan memiliki kejelasan status hukum karena ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan (seperti, Keputusan Presiden untuk RPJMN atau Keputusan Bupati untuk RPJMD), maka masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar tersebut dapat ditangani oleh pihak yudikatif serta organ-organ lainnya yang diberi wewenang penegakan hukum.

Dengan begitu, satu prasyarat utama dapat diajukan untuk masalah perumusan lebih lanjut tentang gagal atau tidaknya pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam rangka peran pihak yudikatif dalam penegakan

Page 54: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah: kejelasan status hukum SPK Nasional atau SPK Daerah. Kejelasan itu akan memperkuat penegasan jaminan hukum hak-hak dasar itu seperti yang termuat dalam konstitusi dan peraturan perundangan HAM dan bidang-bidang sektoral.

Peran aktif dari pihak yudikatif untuk bisa mengadili berbagai kegagalan yang mungkin muncul, seperti:

• gagal mengambil langkah seperti yang disyaratkan/ditetapkan oleh SPK Nasional atau SPK Daerah, maupun dalam RPJM Nasional atau RPJM Daerah 2005 – 2009.

• gagal menyingkirkan berbagai hambatan dengan segera di mana pemerintah diwajibkan untuk melakukanya demi pemenuhan hak-hak dasar.

• gagal untuk mengimplementasikan segera hak tertentu yang oleh SPK maupun RPJM dianggap mendesak untuk direalisasikan.

• dengan sengaja tidak mendukung pencapaian tujuan (goals) yang disepakati secara internasional melalui ketetapan badan-badan di bawah naungan PBB maupun yang ditetapkan melalui Millenium Development Goals (MDGs).

• menerapkan pembatasan atas hak yang diakui oleh SPK, RPJM, maupun konstitusi dan peraturan perundang-undangan dengan alasan politik (sistem pemerintahan), atau alasan ketiadaan sumber daya, atau disengaja sebagai praktek diskriminasi.

4.5.2 Prinsip Kesamaan Hak dan Tanpa Pembatasan (Non-Diskriminasi)

Konsep ‘realisasi bertahap’ dalam pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah tidak bisa diterapkan pada klausul non-diskriminasi dan pada kewajiban untuk menjamin hak yang sama bagi pria dan wanita. Kewajiban pemerintah di sini adalah menjamin dengan segera, dan bukan secara bertahap. SPKN –dan hal ini bisa dijadikan contoh yang baik bagi pemerintah daerah yang tertarik untuk menyusun SPK– menegaskan prinsip dan nilai ‘kesamaan hak dan tanpa pembatasan’.

Aspek non-diskriminatif ditujukan untuk mengatur agar hak-hak dasar yang tersaji sebagai prioritas masalah dalam SPK haruslah direalisasikan tanpa diskriminasi di mana diskrimanasi itu bisa saja terjadi karena ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, kewarganegaraan atau asal-usul sosial, kepemilikan, status kelahiran atau status lainnya. Prinsip ini juga menegaskan aturan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak dasar. Adalah kewajiban pemerintah untuk menjamin persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal tindakan afirmatif guna menghapuskan kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadinya diskriminasi.

Dalam perkembangan hukum Hak Asasi Manusia dianut kebiasaan bahwa diskriminasi tidak terbatas hanya pada hal-hal yang disebutkan di dalam ICESCR, tetapi juga meliputi diskriminasi yang berdasarkan pada perbedaan usia, status kesehatan atau kecacatan. Sementara itu, tema non-diskriminasi itu juga mencakup tindakan diskriminatif yang dilakukan baik oleh otoritas publik maupun perorangan. Untuk tujuan baik, tentu saja perkembangan ini juga dapat

Page 55: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

didayagunakan untuk kepentingan melawan kemiskinan. Prinsip ‘non-diskriminasi’ merupakan bagian dari konsep persamaan. Di sana ada semacam klaim yang memberi jaminan agar tak seorang pun diingkari haknya atas atau karena beberapa faktor eksternal.

4.5.3 Peran yang bisa dijalankan oleh badan Legislatif

Badan legislatif, selain ikut mengawasi konsistensi tindakan kebijakan pemerintah dengan apa yang telah ditegaskan dalam SPK maupun RPJM menyangkut penanggulangan kemiskinan dan apakah pemerintah telah melakukan langkah-langkah yang tepat dan berdasarkan hukum baik sendiri maupun dengan melibatkan kemitraan global, juga diharapkan terus menguji kapasitas kelembagaan dalam memandu implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Posisi, peran, dan kapasitas Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan SPK. Tetapi juga harus disadari bahwa penafsiran wewenang yang gegabah dan salah juga membuat KPK dapat berkontribusi pada kegagalan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.

Perkembangan yang terjadi, rumusan strategi dan rencana aksi penanggulangan kemiskinan tampaknya menuntut peran dan kapasitas KPK yang lebih kuat, baik dalam hal status hukum keberadaannya maupun tingkat kewenangannya. Revitalisasi KPK, baik di tingkat nasional maupun daerah, menjadi penting untuk didiskusikan untuk proses penguatan KPK itu sendiri. Peran KPK di masa depan amat diperlukan dalam hal aksi untuk memastikan terjadinya pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, melaporkan tidak adanya praktek pengingkaran dan penyingkiran hak, mendukung proses tercapainya tindakan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan

Box 4.9 Perkembangan Penerapan Prinsip Non-Diskriminasi

Prinsip non-diskriminasi diterapkan dalam beberapa bidang khusus dan berbagai

standar juga telah dikembangkan untuk mencegah terjadinya diskriminasi. Misalnya, Konvensi ILO No. 111 yang hanya berkenaaan dengan ‘Diskriminasi dalam Lapangan Kerja dan Pekerjaan’ (Discrimination in Respect of Employment and Occupation). Konvensi ini melarang setiap pembedaan, pengabaian, pembatasan atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan atau asal-usul sosial, kondisi ekonomi atau kelahiran, yang berdampak pada penghilangan atau pengurangan persamaan kesempatan atau perlakuan dalam lapangan kerja atau pekerjaan.

Konvensi Anti Diskriminasi dalam Pendidikan dari UNESCO (Convention Against Discrimination in Education) melarang pembedaan, pengabaian, pembatasan atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan atau asal-usul sosial, kondisi ekonomi atau kelahiran, yang bertujuan atau berdampak pada penghilangan atau pengurangan persamaan perlakuan dalam lapangan pendidikan.

Beberapa kriteria yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal telah dikembangkan lebih lanjut. Misalnya, diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah dikembangkan lebih jauh dalam Deklarasi dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Begitu pula, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) yang menyangkut masalah diskriminasi berdasar ras. Majelis Umum PBB juga telah mengadopsi Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan (Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief).

Page 56: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

secara bertahap hingga sepenuhnya hak-hak dasar itu terealisir, memastikan tidak terjadi proses regresif (mengalami kemunduran) dengan konsep-konsep baru di bawah panduan kerangka hukum Hak Asasi Manusia tersebut. Maka di sini, tindakan legislasi dari badan legislatif menjadi sangat diharapkan untuk merumuskan kembali peran dan kapasitas KPK dan memperkuatnya dengan peningkatan status hukum melalui undang-undang. 4.5.4 Aplikasi atas ’Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara’

Strategi utama penanggulangan kemiskinan yang termuat dalam SNPK, yakni: (1) Perluasan Kesempatan, (2) Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat, (3) Peningkatan Kapasitas, (4) Perlindungan Sosial dan (5) Penataan Kemitraan Global.

Sepatutnya dipahami dalam kerangka konsep yang dikembangkan dalam

klausula ‘kewajiban dan tanggung jawab pemerintah’. Pengungkapan kewajiban dalam rancangan tindakan tersebut adalah: berupaya mengambil langkah-langkah (ada kesamaan isi pesan dengan salah satu prinsip yang dikembangkan World Bank dalam penyusunan Poverty Reduction Strategic Papers (PRSP)), hingga batas maksimum dari penggunaan sumber daya yang tersedia (hitungan dan alasan yang sah bagi permintaan dukungan dan pinjaman luar negeri atau dalam hal merancang tindakan kemitraan global untuk penanggulangan kemiskinan), pencapaian secara bertahap untuk realisasi penuh hak-hak dasar (tidak boleh disalahartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban, sebaliknya ini adalah cara/tindakan yang tepat, fleksibel, dan terukur yang dikedepankan dalam realisasi penuh hak-hak dasar), dengan segala cara yang tepat, khususnya termasuk pengambilan langkah-langkah legislatif’ (hal ini berkait langsung dengan tindakan dan hasil dari kewajiban dan tanggung jawab pemerintah tersebut).

Kenyataan di lapangan berkaitan dengan peristiwa kemiskinan dan kelaparan, menegaskan bahwa dalam ‘kewajiban dan tanggung jawab pemerintah’ itu terdapat detail penegasan yang mengarah pada: (i) kewajiban untuk melakukan (obligation of conduct); dan (2) kewajiban untuk mencapai hasil (obligation of result). Tentu saja keduanya tidak dapat dipisahkan.

‘Kewajiban melakukan’ berarti bahwa pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang khusus, seperti: aksi atau pencegahan, misalnya melarang kerja yang berbahaya bagi anak-anak; atau dalam kasus khusus busung lapar atau kelumpuhan total. ‘Kewajiban hasil’ menunjuk pada kewajiban untuk mencapai hasil tertentu melalui implementasi aktif kebijakan dan program. Konsep ‘kewajiban melakukan dan hasil’ memberikan perangkat efektif bagi pemantauan implementasi hak-hak dasar. Konsep ini juga menunjukkan bahwa realisasi hak-hak dasar merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan baik intervensi jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 4.2

Kerangka Kerja Penegakan Hak, dan Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah (Contoh: Hak atas Layanan Kesehatan)

Konsep Definisi Contoh

Hak (substantive) Hak yang melekat dan dimiliki oleh seseorang (entitlement) berdasar hukum

Dalam arena ‘kesehatan’, hak untuk memperoleh imunisasi dapat mencegah serangan penyakit (tertentu) atau penularan penyakit.

Kewajiban dan Tanggung jawab pemerintah Pemerintah mengembangkan kebijakan

Page 57: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Tanggung Jawab Pemerintah

untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar kaum miskin

dan program yang sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam penanggulangan kemiskinan. Dalam kasus kesehatan, dapat berbentuk kebijakan dan program promosi, mencegah, mengobati, dan merehabilitasi.

Kewajiban Melakukan

Kewajiban untuk mengambil langkah-langkah tertentu atau khusus (misalnya, bertindak atau pencegahan)

Sebagai contoh: mengembangkan kampanye pentingnya imunisasi

Kewajiban Hasil Kewajiban untuk mencapai hasil seperti yang telah ditetapkan (misalnya dalam SPK atau RPJM)

Menurunnya kematian akibat dari epidemic atau endemic diseases

4.6 Penerapan Pendekatan Hak dalam SPK 4.6.1 Operasionalisasi Pendekatan Berbasis Hak

Penggunaan pendekatan kapabilitas untuk mendefinisikan kemiskinan dalam konteks komunitas/sektor dan penggunaan kerangka hukum Hak Asasi Manusia dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan, ternyata memberikan konsekuensi pada pilihan-pilihan metode untuk analisis dan aksi. Dalam konteks ini, kita dihadapkan pada pertanyaan kunci: (i) dalam kasus apa, tidak terpenuhinya hak asasi itu dapat dinilai sebagai fakta kemiskinan? (ii) bilamana fakta kemiskinan dapat dikaji dari perspektif hak asasi manusia? Jawaban atas persoalan ini penting untuk memastikan konteks pilihan metode dan aksi penanggulangan kemiskinan, yang sekaligus memberdayakan kelompok miskin untuk mencapai hidup yang lebih bermartabat.

Berdasar pengalaman para aktivis, masalah di atas dapat terjawab jika

terpenuhinya dua kondisi: (i) komunitas miskin (dan juga hukum Hak Asasi Manusia nasional) menyatakan: masalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar itu berkaitan langsung dengan gagalnya kapabilitas; (ii) tidak adanya kepemilikan asset memainkan peran penting dalam hal tidak terpenuhinya hak-hak dasar manusia. Melalui diskusi-refleksi dalam konteks kasus-kasus yang dialami kaum miskin (penggusuran, misalnya), ditemukan “tiga pintu” untuk memahami bahwa hak asasi memiliki relevansi dengan realitas kemiskinan: (i) relevansi hukum; (ii) relevansi instrumental; (iii) memperkuat pemahaman dan keterampilan komunitas miskin tentang hak.

Dalam banyak kasus penggusuran, sebagai contoh, di mana tempat yang

digusur itu dijadikan real estate, ada empat faktor yang bisa dinilai. Pertama, dari aspek sebab kemiskinan, Pemerintah, yang sebenarnya memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menyediakan papan atau tempat tinggal yang layak atau murah bagi penduduk sebagaimana itu dinyatakan berdasarkan hukum, justeru menjadi aktor utama penggusuran. Maka aksi penggusuran itu dapat semakin memperburuk kehidupan (termasuk dalam hal kepemilikan asset) kaum miskin kota. Ketika kaum miskin kota itu jatuh sakit karena ketiadaan tempat tinggal lagi, mulai menggelandang, memakai air tidak bersih untuk minum dan mandi, maka sebenarnya telah terjadi kegagalan kapabilitas dasar kaum miskin kota itu untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia.

Kedua, dari proses terjadinya penggusuran. Seharusnya sebelum terjadinya

penggusuran perlu ada proses konsultasi yang melibatkan kaum miskin kota itu secara sungguh-sungguh. Konsultasi itu akan menentukan dan menjelaskan: kenapa

Page 58: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

harus ada penggusuran? apa dasar hukum dari hak pemerintah untuk menggusur? apa saja yang menjadi hak dari mereka yang akan tergusur? dengan cara apa pemerintah menilai harga tanah? apakah harga tanah dinilai berdasar nilai dasar obyek pajak atau nilai strategis peruntukan tanahnya? Penilaian kita di sini adalah: apakah para pemilik tanah memiliki hak secara hukum untuk diajak konsultasi terlebih dahulu sebelum terjadinya tindakan pengambil-alihan tanah atau penggusuran itu? Jika dipastikan YA, maka: tindakan Pemerintah yang tidak mengadakan konsultasi yang memadai (atau bahkan menghindar) dapat dinilai sebagai tindakan nyata pejabat publik/pemerintah yang memberi andil dalam proses pemiskinan penduduk. Dan situasi itu bisa menggambarkan pelanggaran hak oleh pejabat publik.

Ketiga, dalam hal relevansi instrumental, ketika pengurangan angka kemiskinan

menjadi janji atau komitmen pemerintah yang tertulis jelas dalam dokumen resmi tentang perencanaaan pembangunan, dan bahkan janji itu telah teratifikasi dengan kesepakatan internasional MDGs, maka aksi penggusuran, yang kemudian memperluas kemiskinan dan memperdalam kondisi kemiskinan kaum miskin kota itu, jelas tidak memiliki nilai instrumental dalam tindakan pengurangan angka kemiskinan. Keempat, dengan memahami pentingnya wacana hak asasi dalam menilai dan menanggulangi kemiskinan, maka menjadi jelaslah makna dari penggunaan kerangka hukum Hak Asasi Manusia dan pendekatan berbasis hak. Pendekatan berbasis hak dalam memahami kemiskinan akan sangat bermanfaat untuk penyusunan SPK, seperti dalam hal memperkuat analisis situasi kemiskinan, mendesain strategi atau memformulasi kebijakan dan prioritas program penanggulangan kemiskinan yang memiliki target dan batasan.

Page 59: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Bab V

PENYUSUNAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH

(SPKD) 5.1 Posisi SPKD

Strategi PK merupakan dokumen baru dalam perencanaan pembangunan. Dokumen ini merupakan komitmen pemerintah untuk menjadikan penanggulangan kemiskinan menjadi dasar pembangunan. Jadi di tingkat nasional terdapat tiga dokumen perencanaan yakni RPJP, RPJM dan SNPK. Seperti dipaparkan dalam bab sebelumnya mengenai SNPK, maka untuk daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota, juga dipandang penting memiliki strategi penanggulangan kemiskinan yang jelas di samping dokumen RPJMD dan RPJPD

SPKD merupakan dokumen jangka panjang, setidaknya sesuai dengan target pemerintah dalam mendukung komitmen Millenium Development Goal (MDGs) yang jatuh tahun 2015, seperti halnya SNPK. Oleh karenanya SPKD idealnya disusun sebelum RPJMD atau setidaknya paralel, karena diharapkan mewarnai atau menjadi mainstream untuk rencana aksi yang bersifat menengah. Mengingat realitas yang ada dimana RPJMD dibuat setelah Kepala Daerah baru terpilih, maka ada kemungkinan SPKD dibuat setelah RPJMD ada. Jika demikian halnya maka diharapkan SPKD mewarnai RKPD dan RKA-SKPD. Baru pada pemerintahan berikutnya dokumen ini dapat secara penuh terintegrasi dalam RPJMD.

Mengingat pembuatan SPKD dilakukan oleh multistakeholder forum (Sesuai SE Mendagri, SNPK) yang merepresentasikan seluruh komponen warga dan aparat pemda, sehingga mencerminkan hasrat dan tekad bersama dalam PK, maka legitimasinya lebih signifikan ketimbang disusun oleh teknokrat atau konsultan. Karena itulah Posisi SPKD bukan sekedar strategis melainkan mendapat legitimasi. 5.1.1 Aspek Legal Operasional

Aspek legal dari SPKD ini merupakan turunan dari apa yang menjadi aspek legal SNPK, yang berupa penjabaran lebih lanjut dari Perpres mengenai Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Posisi SNPK merupakan bagian integral dalam RPJM nasional, oleh karena itu menjadi acuan daerah dalam menyusun RPJMD. Sedangkan secara khusus Inpres no 5 tahun 2003 menyebutkan agar SPKD diselesaikan pada bulan mei 2004. Namun pada tahun tersebut hanya baru ada sekitar 110 SPKD yang diselesaikan dari seharusnya 400-an SPKD propinsi, kabupaten/kota. Semasa SBY-JK, Komite Penanggulangan Kemiskinan dirubah namanya menjadi TKPK (Perpres 54/2005), di mana salah satu tupoksinya adalah melanjutkan apa yang telah dirintis semasa KPK, termasuk SPKD. Untuk hal ini terbitlah SK TKPK 05/KEP/MENKO/KESRA/II/2006 yang ditindaklanjuti dengan SE Mendagri 412.6/2179/SJ.

Page 60: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Ideologi dan Konstitusional

Pancasila sebagai ideologi bernegara-bangsa, yang tercermin dalam sila-silanya, memperlihatkan watak anti kemiskinan/pemiskinan. Dua dari lima silanya jelas menunjukkan landasan nilai dan aksi bagi anti kemiskinan/pemiskinan. Pandangan hidup bernegara-bangsa ini kemudian diuraikan dalam konstitusi UUD 1945 (amandemennya) terutama dalam pasal-pasal berikut: (1) Pasal 18 B

ayat 1: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

(2) Pasal 27 ayat 2: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan”. (3) Pasal 28 A :

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” (4) Pasal 28 B

ayat 2 : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

(5) Pasal 28 C : Ayat 1: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,

berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Ayat 2: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”

(6) Pasal 28 D: Ayat 1: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Ayat 2: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan

layak dalam hubungan kerja.” Ayat 3: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Ayat 4: “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.”

(7) Pasal 28 F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

(8) Pasal 28 G ayat 1: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan

harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

(9) Pasal 28 H: Ayat 1 : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ayat 2 : “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Ayat 3 : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya

secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Ayat 4 : “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. (10) Pasal 28 I:

Ayat 1: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Ayat 2: “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Ayat 4: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Ayat 5: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”

(11) Pasal 31

Page 61: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

ayat 1: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan” (12) Pasal 33:

Ayat 1 : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Ayat 2 : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh negara”. Ayat 3 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ayat 4 : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

(13) Pasal 34 : Ayat 1 : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Ayat 2 : ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Ayat 3 : ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan

umum”

Kesepakatan Internasional

Dalam pergaulan internasional, Indonesia sebagai negara-bangsa, yang menganut faham bebas-aktif dalam kerangka kedaulatan nasional, turut menyepakati berbagai deklarasi dan konvensi yang pada dasarnya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, baik yang berhubungan dengan HAM, lingkungan, kesejahteraan dan perdamaian. Secara Khusus yakni:

a. Deklarasi Milenium (Millenium Development Goal) b. Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang diratifikasi dengan UU

12/2005 c. Deklarasi dan Konvensi yang menyangkut isu Lingkungan, Perempuan,

Anak, Buruh dan sejenis lainnya 5.1.2 Aspek Afirmatif

Pembangunan secara umum memang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan warga, artinya strategi pembangunan bertujuan langsung dan tidak langsung untuk mengurangi kemiskinan. Demikian halnya visi dan misi presiden, termasuk kepala pemerintah daerah, akan selalu menekankan PK, bahkan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan. Namun karena sifat kemiskinan yang multidimensi dan banyak kendala strukturalnya, maka melalui pembangunan semata tidak cukup memadai. Masih diperlukan intervensi yang lebih khusus lagi dan bersifat langsung agar hambatan dalam meningkatkan kesejahteraan si miskin dapat diatasi dan agar mereka bisa keluar dari kemiskinannya. Tindakan inilah yang disebut affirmative action.

SPKD sebagai suatu dokumen strategis juga memiliki rencana aksi, oleh karena itu mempertegas komitmen pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan. SPKD juga mengkoordinasi seluruh komponen masyarakat untuk memperteguh gerakan penanggulangan kemiskinan. Tindakan afirmatif ini penting mengingat posisi si miskin dalam ketidakberdayaan, tersisihkan dan rentan. Tanpa tindakan nyata yang demikian maka penanggulangan kemiskinan hanyalah sia-sia, tidak memungkinkan terjadinya transformasi sosial seperti selama ini. 5.1.3 Aspek Mainstreaming

Page 62: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Sejak tahun 2002 pemerintah dengan tegas, dalam perencanaan pembangunan, mengupayakan pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan, koordinasi, sinkronisasi, dan konsistensi kebijakan dan program yang berorientasi pada PK. Hal ini dilakukan sesuai dengan evaluasi terhadap kebijakan dan program PK yang selama ini ada ternyata belum mampu melepaskan Indonesia dari bayang-bayang krisis dan rentan terhadap gejolak ekonomi-politik. Mengingat hal itu, SNPK tidak hanya menjadi bagian dari RPJM melainkan juga berupaya mendorong gerakan PK.

Untuk di daerah, SPKD menjadi acuan semua aktor pembangunan di daerah, baik pemerintah, swasta (asing) dan masyarakat, dalam aksi gerakan penanggulangan kemiskinan. Secara teknokratis, substansi SPKD mewarnai seluruh aspek perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Bila kebijakan dan program pembangunan diperkirakan berdampak buruk terhadap status si miskin maka hal tersebut perlu dipertimbangkan kelanjutannya, sekalipun secara ekonomis mungkin mendorong pertumbuhan. Dalam proses mainstreaming ini diperlukan suatu kajian kebijakan dan program di daerah dan untuk itu memerlukan perangkat seperti data kemiskinan dengan perspektif lokal, pro-poor planning and budgeting (gender), targeting and delivery system, yang sangat memerlukan koordinasi dan kepemimpinan yang kuat dan demokratis.

Bila SPKD tidak menjadi mainstream, maka dikhawatirkan PK hanya merupakan agenda sektoral dan juga seringkali tidak menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan yang justru menurunkan status si dan kaum miskin atau makin memperluas kemiskinan. Misalnya kebijakan harga BBM yang kemudian meningkatkan jumlah kaum miskin, jelas ini kebijakan yang tidak pro-poor. 5.2 Paradigma Baru Gerakan Penanggulangan Kemiskinan

Interim Poverty Reduction Strategic Paper, yang merupakan dokumen sementara penanggulangan kemiskinan dan panduan untuk menyusun SNPK, dengan tegas melakukan otokritik program dan paradigma PK seraya mencanangkan gerakan dengan suatu paradigma baru. Proses penyusunan SNPK yang cukup panjang dan penuh dinamika tersebut dalam beberapa hal menegaskan apa yang digariskan dalam I-PRSP. Dan beberapa lainnya meneguhkan paradigma baru gerakan PK, misalnya mengadopsi pendekatan hak dasar sebagai paradigmanya dan strategi implentasinya tidak lagi 4 pilar melankan menjadi 5 pilar, dengan tambahan kemitraan global. Kemiskinan dalam paradigma baru ini dilihat sebagai multidimensi bukan lagi parsial dan ekonomi sentris semata. 5.2.1 Prinsip dan Nilai Yang Dianut

Prinsip-prinsip dasar yang dianut dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dapat diadopsi SPKD. Adapun prinsip tersebut adalah: a. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan tujuan

(1) Kesamaan hak dan tanpa pembedaan. Penanggulangan kemiskinan menjamin adanya kesamaan hak tanpa membedakan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, usia, bahasa, keyakinan politik dan kemampuan berbeda.

Page 63: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

(2) Manfaat Bersama. Penanggulangan kemiskinan harus memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat miskin laki-laki dan perempuan.

(3) Tepat sasaran dan adil. Penanggulangan kemiskinan harus menjamin ketepatan sasaran dan berkeadilan.

(4) Kemandirian. Penanggulangan kemiskinan harus menjamin peningkatan kemandirian masyarakat miskin, bukan justru meningkatkan ketergantungannya pada pihak lain, termasuk pemerintah.

b. Prinsip-prinsip yang Berkenaan dengan Proses

(1) Kebersaamaan. Penanggulangan kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama, dilakukan dengan keterlibatan aktif semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat, termasuk orang miskin baik laki-laki maupun perempuan.

(2) Transparansi. Penanggulangan kemiskinan menekankan asas keterbukaan bagi semua pihak melalui pelayanan dan penyediaan informasi bagi semua pihak termasuk masyarakat miskin.

(3) Akuntabilitas. Adanya proses dan mekanisme pertanggungjawaban atas kemajuan, hambatan, capaian, hasil dan manfaat baik dari sudut pandang pemerintah dan apa yang dialami oleh masyarakat, terutama masyarakat miskin, laki-laki dan perempuan, kepada parlemen dan rakyat.

(4) Keterwakilan. Adanya keterwakilan kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari penanggulangan kemiskinan dengan mempertimbangkan keterwakilan kelompok minoritas dan kelompok rentan.

(5) Keberlanjutan. Penanggulangan kemiskinan harus menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

(6) Kemitraan. Adanya kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antar pelaku dalam penanggulangan kemiskinan.

(7) Keterpaduan. Adanya sinergi dan keterkaitan yang terpadu antar pelaku dalam penanggulangan kemiskinan.

5.2.2 Pendekatan Berdasar Hak

Pendekatan berdasar hak ini merupakan pengejawantahan dari hak azasi manusia, yang secara khusus dalam penanggulangan kemiskinan diatur dalam konvensi hak ekonomi, sosial dan budaya yang telah diratifikasi pemerintah. Dalam konsep ini, untuk penghapusan kemiskinan terdapat kewajiban negara membuat kebijakan, program yang mencerminkan dan mengarah pada penghormatan, perlindungan hingga pemenuhan hak dasar rakyat, yang dalam SNPK diformulasikan menjadi 10 hak.

Pendekatan berdasar hak ini merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang diamanatkan konstitusi, dimana negara harus menjamin hak warganya. Pendekatan ini dipakai mengingat secara ideologis saat ini negara-bangsa terancam oleh derasnya tekanan untuk masuk ke dalam arus neo-liberalisme-kapitalisme yang merupakan bentuk terkini kolonialisme dan imperialisme (neo-kolim). Di sini persoalan kemiskinan akan diserahkan pada persoalan pelayanan publik semata dan semua diarahkan dalam kerangka ekonomi pasar. Peran dan tanggungjawab negara

Page 64: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

dieliminir. Sistem negara-bangsa yang demikian secara jelas menentang pasal 33 UUD 1945.

SPKD jelas harus mengadopsi pendekatan ini, baik karena argumen dokumen di tingkat nasional maupun alasan konstitusional. Sedangkan prioritas dan formulasi hak tiap daerah dapat berbeda-beda. 5.2.3 Proses setara Substansi

Penyusunan SPKD juga menggunakan paradigma baru, di mana aspek proses dianggap sama pentingnya dengan substansi. Dianggap baru karena pada aspek proses ini diagnosa dan review kebijakan harus didasarkan pada suara si miskin; demikian juga strategi dan programnya berdasarkan rekomendasi komunitas miskin. Itu berarti bahan dasarnya adalah fakta menurut si miskin, bukan atas dasar teori atau analisis kemiskinan yang dominan saat ini, sedangkan data kemiskinan lainnya sebagai pendukung.

Secara garis besar proses dan substansi penyusunan SPKD, seperti yang direkomendasikan dalam PRSP, dimulai dengan pembentukan TKPKD, yang merupakan forum multistakeholder. TKPKD kemudian mendesain penyusunan SPKD, yang meliputi pelaksanaan PPA dan review kebijakan (secara akademis dan menurut kaum miskin) di mana hasil-hasilnya menjadi dasar rencana strategis, yang kemudian disusun antara lain berdasarkan skenario moderat dan radikal, termasuk monitoring dan evaluasi dan akuntabilitasnya.

Adapun gambaran proses penyusunan SPKD diilustrasikan pada diagram 5.1 berikut ini:

Page 65: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Diagram 5.1 Langkah Tahapan Proses Penyusunan Setrategi Penanggulangan Kemiskinan

5.2.4 Isu Perempuan, Anak dan Masyarakat dalam situasi Khusus

Pengalaman dan respon kemiskinan-pemiskinan antara laki-laki dan perempuan, baik anak-anak maupun orang tua (manula) serta kelompok masyarakat

Review Kebijakan PPA

Analisa Data Statistik

Analisa Kemiskinan Pada Tingkat Kabupaten

Isu/masalah Kemiskinan Tingkat Kabupaten

Perumusan Alternatif Strategi PK Tingkat Kabupaten

Pemilihan Strategi PK Tingkat Kabupaten

Perumusan Tujuan dan Sasaran yang ingin dicapai

Rekomendasi untuk Propinsi dan Pusat

Strategi PK Tingkat

Tujuan PK Nasional

Klsaifikasi strategi berdasarkan reformasi kebijakan dan pelayanan publik, jangka

pendek dan panjang

Rencana Tindak PK berdasarkan Strategi dan Kebijakan yang telah

disusun

Langkah 1

Langkah 3

Langkah 2

Langkah 4

Pengembangan Sistem Monev

Langkah 5

Page 66: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

dalam situasi khusus, akan berbeda. Menyamaratakan mereka adalah suatu kesalahan fatal. Pengalaman PPA telah membuktikan hal itu, misalnya perempuan yang karena kultur patriakhi telah menyebabkan ia terjebak dalam hegemoni pembagian peran laki-perempuan. Oleh karena itulah paradigma baru ini menekankan pentingnya memperhatikan gender analysis. Selain itu, perempuan juga berhadapan dengan persoalan perdagangan perempuan, kesehatan reproduksi, eksploitasi seksual dan ekonomi (pekerja seks, obyek entertainment atau menjadi pekerja rumah tangga dan sejenisnya).

Fenomena kemiskinan-pemiskinan ini juga memiliki karakteristik lokal, sehingga sering memuncul pula komunitas dalam situasi khusus baik karena kondisi geografis, sosial maupun dinamika kehidupan lain yang membuat mereka terperangkap dalam kemiskinan dan pemiskinan. Misalnya anak jermal, anak jalanan atau masyarakat adat atau terasing, masyarakat yang berada dalam konflik, pengungsian atau masyarakat yang mengalami diskriminasi.

Semua itu perlu penangan khusus secara afirmatif untuk mengembalikan mereka dalam kekuatan dan posisi tawar yang bermartabat. Gerakan PK mengadopsi pandangan yang demikian, pandangan yang memberdayakan. 5.3 Kelembagaan TKPK/D

TKPK merupakan penjelmaan dari lembaga yang sebelumnya bernama Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK), yang sebelumnya juga bernama Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Dari sisi nama, implikasinya luas secara kelembagaan. Bila awalnya TKPK merupakan suatu badan yang setingkat menteri dan langsung di bawah presiden, kemudian ia menjadi komite dan dikoordinasi salah satu Menteri Koordinador dalam hal Kesejahteraan Rakyat, dengan sekretaris yang sekaligus menjadi ketua pelaksana harian. Perkembangannya kemudian menjadi Tim Koordinasi dengan ketua yang sama, namun sekretarisnya adalah deputi kementerian tersebut yang membidangi PK. Jadi statusnya ex-officio.

Kemajuan TKPK dibanding KPK adalah kesertaan organisasi pengusaha (KADIN) dan NGO menjadi anggota TKPK dan Pokja. Memang dalam kenyataannya, kedua lembaga tersebut tidak diundang dalam acara rapat koordinasi anggota. Sedangkan untuk rapat Pokja kedua lembaga itu berpartisipasi aktif. Selama KPK, kedua organisasi hanya menjadi anggota Pokja.

Sedangkan TKPKD yang diatur melalui SE Mendagri, yang mengkoordinasi pokja kelembagaan, juga menyerukan agar TKPK Daerah seirama dengan TKPK tingkat nasional yakni forum multistakeholder. Tugas dan fungsinya yang utama adalah membuat strategi, mengkoordinasi dan memonitor pelaksanaannya 5.3.1 Multistakeholder Forum

TKPK merupakan forum multistakeholder yang melibatkan berbagai unsur pelaku pembangunan, baik dari pemerintah maupun swasta dan organ kemasyarakatan lainnya serta organisasi perempuan. Keanggotaannya bukan berdasarkan suka atau tidak suka, melainkan pada kiprah dan kapasitasnya dalam

Page 67: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

upaya PK. Bahkan jika mungkin ada representasi dari si miskin dalam TKPK sehingga kepentingannya dapat terwakili langsung, tidak seperti selama ini diwakili oleh ornop, ormas atau organisasi profesi seperti buruh dan tani.

Kebanyakan pemerintah daerah masih enggan melibatkan elemen kritis masyarakat, bahkan hanya mengakomodasi organ pemerintahan saja. Kondisi ini sangat merugikan gerakan yang dibangun terutama oleh ornop, padahal kalangan ornop ini bisa mengurangi beban dan membantu kinerja pemerintah daerah. Karena itu mereka hanya bisa melakukan advokasi pada tingkat pinggiran saja, di mana efeknya kurang kuat bagi perbaikan kondisi kaum miskin. 5.3.2 Representasi dan Konsultasi

Representasi kaum miskin (keseimbangan gender) dalam TKPK sangatlah penting terhadap legitimasi hasil-hasil TKPK. Representasinya bukan sekedar miniatur perwakilan warga di daerah itu saja melainkan juga si miskin. Bila saja representasi ini tak terpenuhi, maka TKPK hendaknya sering melakukan konsultasi pada si miskin dalam berbagai bentuk. Dalam hal-hal khusus TKPK harus melakukan konsultasi dengan perempuan miskin. 5.4 Kajian Kemiskinan Partisipatif (Participatory Poverty Assement)

PPA sebenarnya beragam, tidak memiliki bentuk dan metode baku. Namun demikian, instrumen yang relatif memadai adalah tools PRA dengan penekanan pada aspek kemiskinan dan oleh karenanya untuk mendesain PPA maka tema-tema kunci mengenai kemiskinan hendaknya ditemukan lebih dahulu. Ada sekitar 14 tools PRA untuk PPA yang dapat digunakan secara serempak dan bertahap sesuai dengan partisipasi si miskin. Jenis lain yang dapat digunakan adalah metode partisipasi lainnya yang dikenal, seperti ZOPP dan CLAP, atau dalam bentuk konsultasi publik.

GAPRI lebih memilih PRA sebagai tools, cuma persoalannya seringkali dalam proses belajar terjadi distorsi baik dalam pemilihan tema dan pengembangannya maupun metoda dan penggunaan tools. Saat ini kebanyakan PRA direduksi hanya pada demikian untuk FGD dengan waktu yang terbatas sekali (seminggu untuk tiap kelompok). Padahal untuk memperoleh kedalaman informasi dan check-recheck masing-masing statement masih perlu dilakukan agar semua titik atau satu statement selalu konsisiten ada dalam setia tools baik sebagai respon ataupun keterkaitannya.

Hal lain yang sering disalahpahami, PPA hanya merupakan instrumen untuk pengambilan data. Pandangan ini sudah lama ditinggalkan. Awalnya demikian adanya, tetapi sekarang PPA juga selalu di-update terus sehingga nantinya menjadi media refleksi bagi si miskin untuk memahami posisi dan sejarah hidupnya. Dari sini mereka kemudian bisa memformulasikan bagaimana melawan kemiskinan yang mengkungkungnya menurut strategi yang dipilihnya dan merekomendasikan hal-hal yang tidak mampu dilakukan pada pemerintah. Jadi, PPA generasi ini bersifat aktif dan terus berkembang seiring intensitas FGD yang dilakukan untuk tema tertentu.

Page 68: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

PPA generasi terakhir ini bisa digunakan untuk penyusunan dan implementasi SPKD. Namun bila waktunya terbatas maka sesuai dengan keterbatasan yang ada. Di Indonesia pelaksanaan PPA untuk penyusunan PRSP setidaknya dilakukan oleh KIKIS/GAPRI untuk SNPK. Lembaga lain juga melakukan kajian serupa dengan nama yang berbeda, misalnya SMERU, ILGR, dan lainnua. Saat ini untuk SPKD beberapa daerah GAPRI mendukung LSM daerah seperti YPSHK, YMM, FIK Ornop, JARI Celebes dan lainnya untuk kerjad advokasi SPKD melalui PPA.

Pengalaman KIKIS/GAPRI cukup panjang dan berliku untuk memastikan PPA dalam dokumen SNPK. Semula PPA yang dilakukan secara mandiri atas inisiatif GAPRI semata untuk menjadi media advokasi SNPK. Sekalipun inisiatif GAPRI, namun proses desainnya melibatkan multistakeholder mulai dari persiapan hingga desain akhir yang siap dipraktekkan. Berbekal PPA di tujuh lokasi inilah, GAPRI mendorong KPK, dalam hal ini TKP3KPK yang mengkoordinasi penyusunan SNPK, untuk melaksanakan PPA.

Awalnya tuntutan GAPRI untuk melaksanakan PPA tidak disetujui. Mereka menggunakan PPA berupa konsultasi publik yang lebih merupakan sosialisasi belaka dan studi antropologi oleh akademisi. Namun desakan itu sedikit menggeser kemauan pemerintah, kemudian atas bantuan JICA dilaksanakanlah konsolidasi berbagai PPA yang sudah ada (namun bukan untuk penyusunan PRSP) dilakukan oleh SMERU. GAPRI masih belum puas atas hal itu, terus mendesak pentingnya PPA untuk SNPK, akhirnya TKP3KPK kemudian menyetujui pelaksanaan PPA yang dikoordinasi KIKIS.

Secara umum PPA dengan menggunakan tools PRA akan menggambarkan situasi kemiskinan dan struktur sosial masyarakat, konjungtur kehidupan komunitas dan posisi si miskin, potensi, peluang dan ancaman yang ada dan strategi mereka untuk bertahan hidup serta aspek-aspek lokal dan khusus yang ada dalam diri dan komunitas. Juga digambarkan bagaimana pola relasi sosial yang ada berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan dan situasi yang mempengaruhinya, bagaimana program kemiskinan dan pembangunan yang ada (kebijakan lokal dan nasional serta intervensi asing) dalam persepsi kaum miskin.

Substansi gambaran-gambaran hasil tools tersebut memiliki keterkaitan, saling berhubungan dan berinteraksi, sehingga kelemahan pada pendalaman satu tools akan berakibat tidak utuhnya gambaran yang akan dipotret PPA. Bila kita melakukan tabulasi silang dan mengecek tracking setiap ungkapan yang muncul maka kita mendapatkannya berada dalam satu pola hubungan dengan tools lainnya. Di sini kita baru memperoleh suatu gambaran belum analisanya. Analisa dilakukan ketika berusaha mencari jawaban atas sebab-akibat dari pola hubungan, interaksi dan kontradiksi yang ada.

Setelah PPA disusun dalam bentuk laporan, biasanya bukan lagi dalam bentuk matriks tools beserta penjelasan di dalamnya dan pola hubungan yang ada antar tools itu, melainkan dalam bentuk hasil analisis. Di sini muncul isu-isu penting yang berkaitan dengan sektor pembangunan serta abstraksi persoalan dengan katagori-katagori teoritis tertentu mengenai kemiskinan sehingga mempermudah intervensi apa yang penting dilakukan. Dari sinilah masyarakat sipil yang melakukan advokasi membuat kertas posisi suara si miskin.

Page 69: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

5.4.1 Latar Belakang PPA

Sebagai negara miskin dengan hutang luar negeri yang sangat besar, Indonesia diwajibkan oleh donor untuk melaksanakan ‘poverty mainstreaming’ dalam semua kebijakan pembangunan, yaitu meletakkan perspektif yang benar tentang konsistensi antara strategi, kebijakan, program, penentuan sasaran, dan mekanisme penyampaian, dengan mengutamakan sinergi peran antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Alat yang digunakan dalam ‘poverty mainstreaming’ adalah merumuskan Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP) atau Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan.

PRSP pertama kali diperkenalkan sebagai persyaratan pengampunan utang di negara-negara HIPC (Highly Indebted Poor Countries). Mekanisme ini kemudian diperluas ke negara-negara miskin lainnya yang memperoleh utang dari IMF. Program nasional penanggulangan kemiskinan yang ada dalam PRSP inilah yang akan dijadikan landasan utama bagi IMF untuk menjalankan program bantuan dan pinjamannya ke negara-negara miskin.

Karena perumusan PRSP memerlukan waktu yang tidak sedikit, untuk jangka pendek dijembatani dengan pembentukan I-PRSP, yaitu dokumen ringkas mengenai rumusan strategi untuk mengarahkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan tahun 2003-2004 serta tahapan-tahapan kegiatan (road map) untuk menghasilkan PRSP yang akan berlaku jangka panjang (15 tahun). Dokumen sementara yakni, I-PRSP telah dirumuskan dan dipresentasikan oleh Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) pada rapat tahunan CGI di Bali Januari 2003.

Dokumen yang memuat langkah-langkah strategis penanggulangan kemiskinan jangka pendek (15 bulan) ini mempunyai dua pendekatan dan empat pilar utama pembangunan. Pendekatan menurut pemerintah ini adalah meningkatkan pendapatan atau daya beli penduduk miskin dan mengurangi beban biaya bagi penduduk miskin. Upaya tersebut ditempuh melalui 4 pilar, yaitu penciptaan kesempatan kerja dan berusaha, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia, serta peningkatan upaya perlindungan sosial.

Dalam rangka melanjutkan proses penyusunan PRSP seperti yang diagendakan dalam I-PRSP, maka Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (TKP3KPK) yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Ketua KPK Nomor 16/Kepmenko/Kesra/VI/2002 berkewajiban menyusun PRSP. Proses perumusan PRSP harus dilakukan melalui proses yang partisipatif dengan melibatkan berbagai stakeholders, baik dari pemerintah, NGO, unsur swasta dan berbagai stakeholders lainnya. Pelibatan seluruh stakeholders ini sangat penting untuk menghasilkan sebuah strategi yang menyeluruh dari berbagai sudut pandang serta dapat membangun konsensus dan komitmen dalam penanggulangan kemiskinan.

Tahapan proses penyusunan PRSP dilakukan melalui tahap-tahap: 1. Pengkajian Bersama Permasalahan Kemiskinan (Participatory Poverty

Assessment/ PPA). 2. Kaji ulang kebijakan dan program (bisa dengan metode PSIA)

Page 70: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

3. Perumusan kebijakan dan program 4. Pengembangan sistem pemantauan dan Evaluasi Penanggulangan

Kemiskinan 5. Membangun komitmen antara Pusat dan daerah dalam penyusunan

strategi penanggulangan kemiskinan daerah 6. Kegiatan penelitian kebijakan 7. Proses pendokumentasian SPK 8. Pemantauan proses penyusunan dokumen Interim SPK dan SPK

Langkah awal penyusunan PRSP dimulai dengan melakukan PPA, pengkajian

terhadap kondisi dan permasalahan kemiskinan, berbagai cara menanggulangi kemiskinan yang ada serta berbagai tindakan yang mungkin dilakukan serta indikator-indikator keberhasilan penangulangan kemiskinan. Pengkajian dilakukan dengan menggabungkan basis konseptual teoritis dengan basis kenyataan empiris yang ada di masyarakat. Proses yang dilakukan dalam melakukan pengkajian adalah pendekatan bottom up yang bersifat partisipatif, yaitu dengan mengagregasi permasalahan, pengalaman, dan keinginan masyarakat di tingkat komunitas lokal, daerah, lembaga-lembaga non-pemerintah dan dunia usaha dalam penanggulangan kemiskinan. Melihat hal tersebut Participatory Poverty Assessment (PPA) dilakukan dengan harapan : 1. Teridentifikasinya permasalahan dan penyebab terjadinya kemiskinan. 2. Teridentifikasinya alternatif tindakan dan indikator keberhasilan

penanggulangan kemiskinan. 3. Teridentifikasinya mekanisme pelembagaan jaringan informasi kemiskinan

secara partisipatif dan berkelanjutan. 5.4.2 Mengapa Harus PPA?

Participatory Poverty Assessment didefinisikan sebagai sebuah instrumen untuk memasukkan pandangan si miskin (voice of the poor) ke dalam analisis kemiskinan dan formulasi strategi untuk mengurangi kemiskinan melalui kebijakan publik. PPA bisa digagas oleh peneliti, NGO, pemerintah, atau lembaga donor.

PPA dapat menguatkan proses pengkajian terhadap kemiskinan melalui: meluaskan keterlibatan stakeholder yang akan meningkatkan dukungan dan legitimasi terhadap strategi anti kemiskinan; memperkaya analisis dan pengertian kemiskinan dengan memasukkan perspektif si miskin; menyediakan informasi beragam dan efektif serta menciptakan relasi baru diantara pembuat kebijakan, penyedia jasa, dan masyarakat miskin.

Tidak ada blue print mengenai isi dan metode PPA. Pada tahun 1992 staf Bank Dunia membuat pendekatan untuk memenuhi permintaan Dewan Bank Dunia agar kajian kemiskinan dilakukan semua negara pengutang. Pendekatan dominan dibangun dari ‘Poverty Reduction Handbook’ Bank Dunia (1992), dimana pendekatan tersebut lebih pada analisis kuantitatif yang diambil dari survei rumah tangga.

Kajian kemiskinan negara pengutang membentuk sebuah bagian penting dari analisis yang disponsori donor pada pertengahan 90-an. Metodologi dan pendekatan yang lebih kuantitatif ini kemudian diperluas karena analisis yang konvensional tidak mampu menangkap dimensi lain kemiskinan, yaitu sejumlah faktor selain

Page 71: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

pendapatan rendah dan kebutuhan materi, seperti kurangnya menyuarakan pendapat, status sosial rendah, dan terisolasi secara sosial dan fisik. Sementara survei melalui kuestioner dalam handbook Bank Dunia hanya pada level rumah tangga. Instrument yang ada tidak cukup kuat untuk menganalisis elemen kemiskinan berdasarkan gender, atau pada level komunitas seperti akses ke infrastruktur dan tanah.

PPA kemudian menangkap aspirasi dan kritikan yang berkembang. Inti dari perubahan orientasi adalah PPA berpengaruh pada anggaran, kebijakan, dan proses kelembagaan negara.

Tabel 5.1. Perbandingan PPA generasi pertama dan kedua

Generasi pertama PPA

Generasi Baru/Kedua PPA

Fokus Proses PPA

representasi tekstual kenyataan si miskin, kontribusi untuk rekomendasi kebijakan

Menciptakan hubungan baru dalam proses kebijakan-menjembatani kebijakan publik, masyarakat sipil, masyarakat miskin dalam komunitas, donor

Alat Mempengaruhi Perubahan Kebijakan

PPA mempengaruhi dokumen ‘country assessment’. PPA adalah produk untuk mencari produk lain.

PPA mempengaruhi proses pembuatan kebijakan negara: anggaran (alokasi pro poor terhadap sumber-sumber publik); kebijakan sektor; fungsi regulator (land reform, sektor informal); sistem monitoring kemiskinan; kebijakan pemerintah lokal dan proses anggaran

Lokasi Kelembagaan

Didisain/disupervisi oleh staf donor. Donor ‘mempublikasikan’ PPA. PPA dikelola dan dilakukan oleh NGO atau lembaga penelitian, dipilih oleh donor menurut kriteria teknis dan kompetensi logi untuk membuat laporan PPA

Dipilih untuk memaksimalkan kontribusi potensial terhadap proses kebijakan. Kelembagaan partnership dibuat untuk mengenalkan logistikal dan kapsitas teknis ( OXFAM melakukan proses pengelolaan dengan Mentri Keuangan Uganda)

Kerangka waktu

Kebutuhan periode untuk melengkapi satu putaran kerja lapangan nasional dan laporan

Pendekatan proses PPA bekerja dengan perencanaan dan anggaran pada tingkat lokal, sektor, dan nasional. Nasional bisa diproduksi atau tidak. Ditindaklanjuti dengan studi khusus .

Fokus substansi

Fokus:pengertian si miskin tentang kemiskinan dan deprivasi, hambatan dalam mengakses pelayanan publik, dan prioritas si miskin terhadap kebijakan

Sama, tapi meningkatkan : Akses ke informasi untuk aksi dalam komunitas, transparansi dan akuntabilitas pemerintah

Keahlian kunci

Untuk implementasi PPA : • Analisis sosial • Pelatihan keahlian dalam

metode riset • Disain riset • Dukungan logistik • Analisis kebijakan

Untuk implementasi PPA : • Analisis sosial • Pelatihan keahlian dalam metode riset • Disain riset • Dukungan logistik. • Analisis kebijakan

Untuk mainstreaming kebijakan:

• pengertian kebijakan makro kebijakan sektoral

• proses anggaran • keahlian advokasi • manajemen perubahan kelembagaan

Berbeda dengan metode pemahaman terhadap kemiskinan lainnya, PPA lebih

menekankan pada nilai participatory ketimbang metode penelitian lainnya. Artinya, PPA menempatkan orang-orang miskin sebagai subjek utama dalam proses pemahaman terhadap masalah kemiskinan dan memastikan suara masyarakat miskin masuk ke dalam perumusan (perencanaan) dan formulasi strategi-aksi (pelaksanaan dan pengawasan) yang termuat dalam suatu kebijakan publik.

Selain itu, berikut manfaat PPA sebagai langkah pertama perumusan PRSP: Meningkatkan kualitas informasi kemiskinan (menguatkan analisis) dan

memonitor kecenderungan kemiskinan yang terjadi di komunitas. Membuka ruang dan mendukung hak si miskin untuk terlibat menganalisis

kemiskinan.

Page 72: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Menyediakan data kualitatif lokal/komunitas untuk menguatkan posisi data kuantitatif yang dikeluarkan BPS dan BKKBN yang berperspektif nasional

Menguatkan legitimasi PRSP dan memberi arahan jelas bagi perencanaan alokasi anggaran publik melalui pro poor budget di tingkat propinsi maupun kota

Keempat hal tersebut akan menjadi input yang sangat penting bagi

penyusunan PRSP yang partisipatif. PPA bukan sekedar analisis terhadap kemiskinan, tetapi PPA juga merekomendasikan kebijakan angaran dan kebijakan publik lainnya.

Selama ini pemerintah memaknai anggaran negara sebagai anggaran

pemerintah semata, bukan anggaran untuk publik atau anggaran rakyat, sehingga pemerintah mengalokasikan dana seenaknya sendiri.

Sebagian besar anggaran dialokasikan untuk pengeluaran rutin, bukan pengeluaran pembangunan. Selain itu sistem anggaran di Indonesia lebih banyak untuk membayar utang sehingga masyarakat miskin langsung merasakan bebannya. Kecenderungan dalam penyusunan anggaran adalah menyamaratakan anggaran di daerah. Padahal pola kemiskinan di daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Artinya, persoalan tidak hanya ada pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi juga ada pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pendanaan yang pro si miskin (pro poor budget) adalah merubah pemaknaan, bukan penganggaran pemerintah semata, tapi penganggaran untuk publik. Anggaran publik dapat dilihat sebagai pemenuhan kewajiban negara dan menunjukkan yang menjadi prioritas kebijakan negara. Maka pro poor budget adalah wujud prioritas kewajiban negara melalui anggaran publik untuk mengalokasikan sumber daya negara bagi kebutuhan dasar si miskin. Dalam pro poor budget, penganggaran untuk masyarakat miskin tidak boleh menyeragamkan masyarakat. Seperti nelayan, pedagang, petani, komunitas miskin kota, komunitas buruh serta komunitas hutan dan perkebunan mempunyai pengalaman dan penampakan yang berbeda, kemiskinan yang berbeda-beda, sehingga perlu penanganan yang spesifik.

Sementara itu, kebijakan-kebijakan (policy) yang dikeluarkan pemeritah melalui berbagai peraturan perundang-undangan juga tidak berpihak kepada rakyat (miskin). Salah satunya adalah impor beras akibat kebijakan keamanan pangan (food security) mulai tahun 1977 yang dijalankan pemerintah. Pemerintah yang seharusnya mengembangkan pembangunan di bidang pertanian malah melakukan impor hasil pertanian. Yang diuntungkan dari hal ini adalah pihak yang punya akses dalam perdagangan, jasa, dan perbankan. Kejadian ini sangat tragis bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris.

Ruang bagi masyarakat miskin dan stakeholder lainnya untuk masuk dalam proses penyusunan anggaran dan perencanaan kebijakan bisa dilakukan melalui PPA. Hasil pengkajian kemiskinan melalui PPA akan digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan. Syarat agar hasil PPA bisa berimplikasi kebijakan adalah adanya komitmen pemerintah untuk memasukkan suara si miskin sebagai pertimbangan utama pembuatan kebijakan.

Page 73: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

5.4.3 Pelaksanaan PPA PPA sebagai suatu instrumen yang harus dijalankan mengedepankan

partisipasi masyarakat sehingga dalam setipa proses analisis kemiskinan kita selalu mengikutsertakan pandangan dari masyarakat guna mempengaruhi kebijakan yang berkaitan dengan strategi yang akan digunakan. Kita tidak boleh mengabaikan siapa pun yang terlibat di dalamnya, karena dari pandangan rakyat miskin itu sendiri persoalan dan masalahnya dapat terungkap. Agar PPA dilakukan dengan benar maka ada beberapa prinsip dan nilai yang harus diperjuangkan dalam pelaksanaan PPA.

Page 74: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Panduan pelaksanaan PPA ini disusun bukan dimaksudkan untuk memberikan satu bahan ajaran yang harus dilakukan oleh fasilitator PPA. Kami meyakini bahwa proses di lapangan tidak sesederhana seperti apa yang ada dan digambarkan dalam panduan ini. Namun setidaknya panduan ini dapat dijadikan sebagai satu pegangan agar proses PPA benar-benar didasarkan pada kepentingan masyarakat sebagai subyek dari semua proses PPA itu sendiri, sehingga apa yang menjadi kepentingan semua pihak terhadap proses PPA ini menjadi lebih terarah dan terpenuhi. Untuk mengenal PPA lebih lanjut, silahkan membaca buku Panduan Kajian Kemiskinan Partisipatif yang diterbitkan oleh GAPRI. 5.5 Kajiulang Kebijakan (Poverty and Sosial Impact Assesment)

Laporan dalam bentuk isu-isu sektoral pembangunan akan mempermudah pencarian tema dan desain PSIA (kajiulang kebijakan). Jadi hasil PPA menjadi dasar langkah berikutnya. Kajiulang kebijakan atau PSIA tidak dilakukan terhadap semua isu kemiskinan atau pembangunan yang berdampak terhadap kaum miskin melainkan isu tertentu yang direkomendasikan dari hasil PPA.

Kajiulang ini secara tekhnis dilakukan di dua level yakni melalui studi akademik untuk mencari jawaban problem di tingkat teori dan manajemen, serta dampak yang ditimbulkan dalam kerangka ilmiah. Tingkatan lain adalah review berdasarkan persepsi si dan komunitas miskin secara partisipatif, dengan persepsi dan pengalaman mereka ketika berhadapan secara diametral dengan kebijakan atau program pembangunan dan atau program penanggulangan kemiskinan.

Hal ini penting untuk melihat tingkat efisiensi dan efektivitas dari kebijakan dan program, kesalahan dan kebaikan pada dataran paradigma, implementasi, manajemen atau problem pada delivery dan targeting. Dengan melakukan PSIA atau kajiulang ini, maka rekomendasinya tidak serta merta, misalnya suatu kebijakan dapat saja bagus dari sisi paradigma atau konsepnya, namun implementasinya tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan, atau implementasinya baik namun manajemen pembangunan yang menyangkut birokrasi tidak mendukung bahkan menjadi penghambat sehingga menimbulkan persoalan bagi si miskin. Bisa saja di ketiga dataran tersebut sudah tepat, namun delivery sistem atau targeting tidak tepat, maka juga akan banyak menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektivan. Atau, dapat saja deliverynya baik namun paradigmanya yang memang lemah dan anti pro poor sehingga dalam pelaksanaanya justru menimbulkan beban bagi si dan komunitas miskin.

Pengalaman teknis mengenai hal ini di Indonesia masih miskin, hanya satu dua lembaga yang pernah melakukannya dalam bentuk studi khusus. Kebanyakan di kalangan NGO hanya melakukan melalui assessment singkat dan untuk advokasi. Bagi pembaca yang ingin mengenal Kajiulang Kebijakan Kemiskinan, silahkan baca Panduan Review Kebijakan Kemiskinan yang diterbitkan oleh GAPRI. 5.6 Rencana Strategis dan Aksi

Setelah kedua hal tersebut dilakukan dan hasilnya sudah final, maka TKPKD melakukan langkah berikutnya yakni mengolah hasil untuk mendesain rencana strategis dalam kerangka SPKD. Sintesa hasil akan menentukan strategi, kebijakan

Page 75: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

dan program, serta rencana aksi yang harus dilakukan. Strateginya harus sesuai dengan formulasi nasional, yakni berdasarkan 5 pilar. Sedangkan pendekatan hak bisa disesuaikan, kalau di tingkat nasional ada 10 hak, maka di daerah bisa kurang dan bisa juga lebih.

SPKD tentu lebih bersifat operasional karena akan langsung berhadapan dengan masyarakat. Karena itu SPKD seyogyanya disusun secara integratif dalam skala unit pemerintahan terkecilnya yakni desa. Tentu saja ini akan sampai pada pola atau model dalam satu ruang atau wilayah. Program dari pusat yang selama ini terpisah secara sektoral dengan target dan delivery system yang berbeda hendaknya dikoordinasi dalam skema yang jelas dan tidak tumpang tindih di suatu wilayah yang dianggap penting oleh daerah. Misalnya bagaimana program kredit dibangun dalam skema program lain sehingga nantinya ia menjadi lembaga keuangan yang mendorong penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak lainnya. Demikian juga skema sektor lainnya juga untuk memperkuat lembaga keuangan tersebut.

Proses ini tentu lebih sulit dibandingkan dengan SNPK yang bersifat umum. Tetapi SPKD juga mempunyai peluang yang cukup baik mengingat desa sekarang telah memiliki ADD dan renstra pedesaan. Mainstriming yang dapat diartikan sinkronisasi dan sinergisitas program PK dalam pembangunan menjadi realitas yang nyata. Dengan skema yang demikian, maka kedaulatan desa, yang berarti juga kedaulatan rakyat, tak lagi terpecah-pecah dalam area sektoral, tetapi berada dalam satu koridor melalui skema yang ada maka persoalan koordinasi dan tata kelola pemerintahan akan semakin baik karena akan dengan mudah melakukan monitoring proses evaluasinya.

Di samping itu, pengertian hak dasar tidak lagi akan mewarnai pengertian sektoral karena hak dasar tersebut adalah satu kesatuan yang utuh sebagaimana hak azasi manusia. Pengkategorian 10 hak tersebut lebih karena identifikasi hak-hak yang tidak atau belum terpenuhi, jadi bukan merupakan kerangka sektor seperti yang saat ini berkembang di mana itu dimasukkan dalam anggaran dan masih menjadi tanggung jawab departemen sektoral. Sudah saatnya melihat warga negara dari posisinya sebagai manusia, bukan karena ia seorang petani maka menjadi tanggung jawab pertanian semata sehingga aspek lainnya terabaikan.

Dalam renstra hendaknya dibuat dalam skenario menurut waktu dan anggaran. Hal ini penting agar para perencana pembangunan dan pembuat anggaran memahami tingkatan derajat intervensinya. Bila intervensinya moderat maka dampak terhadap biayanya akan bagaimana; sebaliknya dengan intervensi radikan akan berdampak seperti apa baik biaya, ruang dan waktu serta hasil-hasilnya (target). Skala ini sangat penting dalam rencana aksi. Jadi renstra ini terukur dalam hal kebijakan, program dan target, proses implementasi yang menyangkut ruang dan waktu, serta costing. Dengan demikian akan terlihat jelas skala prioritas dan penilaian akan tingkat keberhasilannya. Sudah saatnya rencana pembangunan (RPJM) dan SPKD sudah tersusun dalam satuan yang jelas sehingga tidak ada peluang untuk sekedar mencari proyek atau bereksperimen.

Renstra yang jelas dan tegas ini akan berbeda dengan yang selama ini ada berupa untaian kalimat abstrak yang ketika dipertanggungjawabkan sama sekali mengabaikan perencanaan ini, karena yang lebih dinilai adalah pelaksanaan APBN/APBD. Padahal perencanaan dibuat begitu mahal, tidak hanya uang

Page 76: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

melainkan juga waktu dan pikiran apalagi menyangkut orang miskin. Suatu kemewahan yang sia-sia. 5.7 Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan Evaluasi ini didesain untuk menilai implementasi SPKD dan tingkat penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak orang miskin. Hal ini penting karena yang terakhir ini akan dapat menilai turun atau naiknya derajat kemanusiaan si miskin: apakah itu karena dampak implementasi SPKD ataukah dampak pembangunan, atau bahkan mungkin adanya kejutan faktor eksternal. Dengan melihat kedua aspek tersebut, di satu sisi dapat menilai keseriusan pemerintah dalam PK, yang tercermin dari implementasi SPKD dan mainstreamingnya, juga dapat melihat efektivitas dan efisiensi dari strategi yang dilaksanakan yang akan terlihat dari dampaknya. Secara politik, monitoring dan evaluasi juga dapat menilai kepemimpinan kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan amanat konstitusi.

Monitoring dan evaluasi harus membuka peluang partisipasi bagi si dan kaum miskin, yang menjadi target kebijakan dan program, di samping partisipasi luas masyarakat. Untuk mendorong keterlibatan masyarakat secara luas, maka harus ada sosialisasi, publikasi, kebebasan memperoleh informasi, good governance, jaminan keamanan, dan respon yang cepat atas monitoring yang dilaporkan.

Monitoring dan evaluasi diadakan secara reguler dan insidental. Sedangkan hasil evaluasi dilemparkan ke dalam debat publik sebagai bentuk akuntabilitas. Monitoring yang regular, dalam kerangka perlindungan dan pemenuhan hak, hendaknya memperhitungkan musim. Dalam banyak kasus ada daerah yang pada musim tertentu atau bulan tertentu memperlihat wajah kemiskinan ekstrim karena faktor alam, wabah, konflik dan sebagainya Sedangkan evaluasi 5 tahunan (akhir) hendaknya dapat memperlihatkan perubahan, baik dari sisi jumlah maupun tingkat kesejahteraannya. Juga penting memperlihatkan proses transformasi sosial yang terjadi, sehingga diketahui bahwa SPKD ternyata tidak merubah struktur yang ada atau tingkat kesejahteraan meningkat namun tarnsformasi lamban, dan berbagai kemungkinan lainnya. 5.8 Penulisan Dokumen

Setelah seluruh tahapan di atas dilalui, berkaitan dengan penyusunan SPKD, langkah berikutnya adalah menuliskan apa yang diperolehnya dalam suatu dokumen strategis. Proses penulisan ini juga dilakukan secara bersama oleh para anggota (atau tim kecil yang ditunjuk dan harus representatif). Tidak dibenarkan kalau proses penulisan dilakukan oleh konsultan. Mereka hanya membantu dan turut mengedit bila mereka sudah terlibat sejak awal.

Out line dari dokuemen ini setidaknya terdiri dari hal-hal seperti: pentingnya SPKD, sifat kemiskinan yang multidimensi, diagnosis kemiskinan, review kebijakan, pendekatan dan strategi, prioritas kebijakan dan program (termasuk sektor dan wilayah), monitoring dan evaluasi, pembagian kerja (ini tidak berarti mengurangi kewajiban negara), proses penyusunan dokumen, dan rencana aksi (jangka menengah) yang menyangkut target, waktu dan biaya dan penanggung jawabnya.

Page 77: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Skenario-skenario yang mungkin dilakukan dapat menjadi lampiran dalam

dokumen ini, agar ia tetap merupakan bagian tak terpisah dari SPKD. Namun demikian, bila masih memungkinkan penulisannya dalam bentuk matriks dapat saja dimasukkan dalam rekomendasi dan rencana kerja kebijakan dan program SPKD.

Tentang pentingnya SPKD dan sifat kemiskinan hendaknya berdasarkan realitas yang ada di daerah, seberapa dalam dan luas insiden kemiskinan di daerah sehingga diperlukan penanganan yang komprehensif dan tekad politik seluruh warga dan stakeholder lainnya. Demikian juga dengan sifat kemiskinan yang multi dimensi, di mana karakteristik setiap lokasi dan komunitas memiliki respon dan pengalaman yang berbeda terhadap situasi yang melingkupinya. Maka menyamaratakan persoalan kemiskinan adalah suatu kesalahan besar dan akan mengakibatkan kontra produktif.

Sedangkan diagnosis kemiskinan dan kajiulang kebijakan didasarkan atas sintesa hasil PPA dan Review Kebijakan. Ini bisa dipahami mengingat keduanya saling berkaitan dan berhubungan. Kalau penulisannya dilakukan per bab seperti SNPK, maka dibutuhkan kehati-hatian agar konsisitensi dan sikronisasi terjaga. Penulisan diagnosis kemiskinan dan kajiulang kebijakan juga saling mendukung dengan penulisan tentang pentingnya SPKD dan sifat multidimensi kemiskinan. PPA haruslah menjadi pegangan dasar dalam penulisan, karena inilah suara si miskin yang harus diadvokasikan. Bila terjadi perbedaan data, terutama menyangkut data kuantitatif, maka masyarakat sipil harus segera melakukan konsultasi dengan rakyat miskin untuk meyakinkan bahwa advokasi suara si miskin bukan akibat kelalaian atau kesalahan metodologis. Dan bila benar, maka tidak ada kompromi untuk terus memperjuangkannya.

Dari hasil sintesa, maka strategi dan kebijakan yang dirumuskan dalam SPKD, selain harus selaras dengan SNPK, ia juga perlu derivasi yang lebih operasional dan mendefinisikannya secara konkrit sesuai dengan diagnosa dan review kebijakan yang dilakukan. Kebijakan dan program yang akan dikembangkan dapat merupakan pengembangan dari strategi untuk mempertahankan hidup dari kaum miskin, atau juga suatu terobosan baru berdasarkan hasil sintesa sehingga terjadi transformasi sosial. Prioritas kebijakan dan program juga ditentukan dari hasil PPA dan intensitas kemiskinan yang ada di daerah tersebut, baik isu, sektor maupun wilayah. Kebijakan dan program yang memungkinkan terjadinya transformasi (berdampak luas) hendaknya diperhatikan dan menjadi prioritas utama.

Instrumen PPA juga dapat digunakan untuk penulisan monitoring dan evaluasi. Oleh karenanya sistem dan mekanisme yang diadopsi hendaknya memperluas keterlibatan publik dan terutama si miskin. 5.9 Pengarusutamaan (Mainstreaming) Penanggulangan Kemiskinan

Pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan dalam pembangunan daerah adalah penting agar seluruh kebijakan dan program pembangunan sinergis, sinkron dan konsisten dengan tujuan PK. Karena dapat saja kebijakan dan program pembangunan kontra produktif dengan PK. Bila ini tak terhindarkan lagi maka skenario antisipasi terhadap dampak pembangunan yang merugikan si miskin harus

Page 78: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

dilakukan dengan intervensi yang kuat untuk peningkatan status mereka. Pelaksanaan proses mainstreaming ini demikian susah sebagai akibat keangkuhan sektoral (pada lingkup pemerintahan yang lebih tinggi: propinsi dan pusat) dan lemahnya koordinasi.

Bila PK menjadi mainstreaming, maka bobot penilaian indikatornya paling tinggi, baik pada proses hingga dampaknya terhadap pengurangan dan status kesejahteraan si miskin, baru disusul kemudian indikator lain. Proses dan bentuk seperti inilah yang merupakan pro poor planing and budgeting, termasuk gender budgeting. Pada skala khusus kemudian diterjemahkan menjadi pro poor growth (pertumbuhan yang pro kaum miskin). Terminologi ini harus dibedakan antara pertumbuhan kesejahteraan kaum miskin yang berdampak terhadap pertumbuhan pembangunan derah pada umumnya dengan pertumbuhan ekonomi yang membawa dampak terhadap kesejahteraan si miskin. Pengertian terakhir ini masih tetap ada dalam paradigma teori pertumbuhan dengan trickle down effect sebagai asumsinya.

Selain proses-proses teknokratis dalam perencanaan dan penganggaran, penting juga untuk dicermati dalam upaya pengarusutamaan PK adalah delivery system dan targeting. Hal ini tentu membutuhkan akurasi data si dan komunitas miskin serta pemetaan sosialnya. Dengan model targeting tertentu, maka delivery system yang baik adalah model tertentu pula. Keduanya dapat didesain dengan baik bila pemda memiliki data (perspektif lokal) yang legitimet. Data yang tepat menjadi penting mengingat begitu banyaknya terjadi distorsi dalam program JPS, terutama antara persepsi masyarakat, kepala daerah, BPS dan pengelola proyek. Misalnya, beras untuk orang miskin terpaksa dibagikan pada hampir semua penduduk desa. Hal ini terjadi karena tidak adanya data legitimate (legitimasi komunitas) menyangkut siapa si miskin yang berhak menerima bantuan. Bandingkan dengan zakat, di mana orang tidak berebutan untuk menjadi penerimanya. Diagram 5.2. Pengarusutamaan Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan Bagi Sektoral dan Daerah

Page 79: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

TUJUAN 1. Mengkonsistensikan Strategi-Kebijakan-Program

Pembiayaan Delevery System dan Targeting

2. Sinkronisasi antar Program PK 3. Pembagian peran antar stakeholders 4. Merumuskan delivery system dan targeting

PROSES

Identifikasi permasalahan

Kemiskinan dan cara pemecahannya

Review Kebijakan Dan Program

Sinkronisasi program

Pembagian peran antar

stakeholders

Pengembangan system

Monitoring dan evaluasi

OUTPUT YANG DIHARAPKAN

KEBIJAKAN Rumusan kebijakan makro dan mikro yang pro poor PROGRAM (Dekonsentrasi dan Pembantuan )

• Ketepatan Usulan Program dan Kegiatan • SInkronisasi antar Program / Kegiatan Sektoral

DELIVERY SYSTEM DAN TARGETING Delivery System : Mekanisme penyaluran bantuan program kepada Target Group dan Target Area secara tepat dan akurat. Targeting : Menentukan alokasi bantuan (program/proyek,dana) pada tingkat kabupaten/kota berdasarkan data agregat (makro) PEMBAGIAN PERAN (pemerintah pusat (Departemen/LPND),Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat SYSTEM MONITORING DAN EVALUASI (Pengembangan Indikator Pelaksanaan Kebijakan/Program PK. Indikator Input,Proses,Output dan Dampak (Maks.Pada Unit Analis Kab./kota

KEBIJAKAN Rumusan Kebijakan / Regulasi Daerah yang pro poor PROGRAM PROYEK PEMERINTAH DAERAH (Desentralisasi) : • Ketepatan Usulan Program dan Proyek/Kegiatan dan

alokasi anggaran • Sinkronisasi antar program / kegiatan DELIVERY SYSTEM DAN TARGETING : Delivery System : Mekanisme penyaluran bantuan program kepada Target Group dan Target Area secara tepat dan akurat.(sesuai sumberdaya local) Targeting : Menentukan alokasi bantuan (program/proyek,dana) pada kelompok sasaran berdasarkan data operasional (mikro) PEMBAGIAN PERAN ( Pemerintah Daerah,Swasta dan Masyarakat ) SYSTEM MONITORING DAN EVALUASI (Pengembangan Indikator Pelaksanaan Kebijakan/Program PK. Indikator Input,Proses,Output dan Dampak (Unit analisis terendah – desa.kelurahan)

DAERAH PUSAT/SEKTORAL

Page 80: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Diagram 5.3 Proses Penyelarasan Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan

Pada proses pengarusutamaan ini, yang paling menentukan adalah di aras desa atau kelurahan, bagaimana seluruh program dapat dikoordinasikan, disinergikan dengan konsisten sehingga tepat sasaran dan sesuai dengan target utama (si dan komunitas miskin baik laki maupun perempuan) dapat meningkat kualitas hidupnya.

Kendala utama untuk melakukan mainstreaming di samping ketersediaan data dan kajian, juga akibat egosektoral dan lemahnya kapasitas teknokratis, baik perencana atau tim anggaran dan juga mereka yang melakukan advokasi.

Dan untuk melakukan monitoring advokasi mainstreaming, maka diperlukan pemahaman mengenai siklus perencanaan dan penganggaran sehingga intervensi yang dilakukan dapat efektif. Intervensi dalam perencanaan dan penganggaran ini sangat signifikan agar suara-suara kamu miskin dapat menjadi bagian RKPD maupun APBD. Maka menjadi penting untuk mengetahui pada tahap mana

Proses Penyelarasan Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan

KEBIJAKAN PEMBANAGUNAN DAERAH : PROPEDA, RENSTRA , REPETADA

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

KEBIJAKAN SEKTORAL

Dinas–dinas & Instansi Pemda lainnya ( 2 )

SINKRONISASI REGULASI DAN

PROGRAM

REGULASI (PERDA)

PROGRAM PK

(1) K

ON

SIS

TENS

I STR

ATEG

I S/D

IMP

LEMEN

TASI

KEGIATAN/ PROYEK

SISTEM PENYAMPAIAN DAN PENENTUAN

KELOMPOK SASARAN

IMPLEMENTASI DI LAPANGAN

(3) MEMPERBAIKI

SISTEM PENYAMPAIAN DAN PENENTUAN KELOMPOK

SASARAN

Page 81: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

intervensi akan dilakukan, berikut ini diagram siklus perencanaan dan penganggaran yang saat ini berjalan. Diagram 5.4 Siklus perencanaan dan penganggaran

Penyus unan

RancanganAwal RKP

S E B PrioritasP rogram

dan Indikas iPagu

RE NS TRA-KL 1 )

RancanganRENJ A-KL

2)

RancanganRKPAkhir

KebijakanPemerinta

h

PerPrestentang

RKP

Pembahas an Pokok2 Kebijak-an Fis kal dan

RKP

KebijakanUmum danPrioritas

Anggaran

S E PaguS ementara

RKA-KL 3)

Pembahas an RKA-KL

Pembahas an RAPBN

NotaKeuangan

RAPBN danL ampiran

PenelaahanKons is tens i

denganRKP

L ampiranRAPBN

(himpunanRKA-KL )

PenelaahanKons is tens i

denganPrioritas

Anggaran

RPJ M Nas ional

Januari - April Mei - Agus tus

S IKLUS PE RE NCANAAN DAN PE NGANGGARAN

1 ). Rencana S trategi Kementerian/L embaga (lima tahunan)2). Rencana Kerja Kementerian/L embaga (tahunan)3). Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/L embaga (tahunan)

5.10 Konsultasi Publik

Konsultasi Publik penting dilakukan hampir di setiap tahapan prosedur penyusunan dan implementasi SPKD, baik dari awal pembentukan TKPKD maupun hingga penulisan SPKD atau integrasi dalam dokumen pembangunan lainnya (mainstreaming). Konsultasi publik dilakukan bukan saja untuk memperoleh masukan dan verifikasi melainkan juga sebagai proses legitimasi dan akuntabilitas. Maka menghadirkan berbagai stakeholder, terutama kaum miskin menjadi prioritas utama dan pertama disamping kelompok-kelompok lain. Titik rawan dari konsultasi ini biasanya hanya sekedar acara seremonial sosialisasi, sehingga minus partisipasi, tanpa dialog yang memadai dan waktunya sebentar yang menyebabkan pembahasan menjadi dangkal dan kurang berkualitas.

Page 82: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Bab VI

AGENDA ADVOKASI STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH

Bab-bab sebelumnya telah menyajikan suatu panorama peta kemiskinan-pemiskinan, bagaimana menyusun strategi penanggulangan kemiskinan daerah (SPKD) yang ideal, bagaimana masyarakat sipil (CSO) dapat berperan dalam penanggulangan kemiskinan (PK) mulai dari proses penyusunan hingga implementasinya. Dalam proses penyusunan SPKD, advokasi yang dilakukan hendaknya beraras pada yang ideal, baik proses, substansi dan tahapannya. Namun pada kenyataannya, kita berhadapan dengan dua hal yakni:

a. Pragmatisme Pemda b. SPKD sudah disusun tanpa prosedur yang benar

Pragmatisme Pemda. Birokrasi Pemda kebanyakan masih alergi dengan

masyarakat sipil yang kritis. Tidak mengherankan bila sedikit TKPKD yang melibatkan masyarakat sipil atau LSM kritis. Di samping itu, Pemda juga lebih banyak menggunakan jasa konsultan untuk penyusunan SPKD, atau dengan alasan lain bahwa proyek tersebut biayanya terbatas bila banyak melibatkan kelompok masyarakat. Hal ini karena kultur birokrasi adalah SK sebagai dasar pembiayaan.

SPKD sudah disusun tanpa prosedur yang benar. Banyak daerah membuat SPKD secara tertutup atau hanya disusun oleh kalangan birokrat, atau mempercayakannya kepada konsultan. Kebanyakan SPKD dibuat hanya dengan studi di belakang meja atau menggunakan data sekunder atau menggunakan program-program yang sudah ada.

Terhadap situasi yang demikian maka CSOs perlu melakukan advokasi di dua aras. Pertama dapat dilakukan dengan konfrontasi dan yang kedua melakukan tekanan untuk memperluas partisipasi dan bisa terlibat dalam proses penyusunan (advokasi terlibat). Tentu saja keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan, tetapi tidak berarti keduanya itu saling meniadakan. Karena itu perlu ada pembagian peran, yang satunya masuk ke dalam sistem dan melakukan advokasi engagement secara penuh dan yang lainnya terus melakukan pengawasan dari luar sistem. 6.1 Area Advokasi

Sesungguhnya area advokasi di kabupaten/kota jauh lebih luas dan rumit karena pasti akan berhadapan dengan kebijakan atau program propinsi dan nasional, atau bahkan yang berdimensi internasional menyangkut utang, investasi atau program/kegiatan lembaga internasional. Implikasinya akan mempengaruhi strategi advokasi yang akan dipilih. Sedangkan dari sisi subyek pelaku atau aktor, secara umum sasaran advokasi adalah pemerintah, kelompok usaha atau lembaga internasional dan negara lain. Khusus untuk si dan komunitas miskin, advokasi yang harus dilakukan adalah bagaimana memperkuat posisi tawarnya dalam representasi dan bagaimana memperkuat kapasitas partisipasinya. Semua ini berkaitan dengan hasil PPA dan kajiulang kebijakan (program). Sasaran advokasi

Page 83: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

penyusunan SPKD adalah TKPKD (tim penyusun), tetapi bisa juga meluas tergantung pada kepentingan apa yang menghambat si dan komunitas miskin dalam mengembangkan kapabilitasnya untuk mencapai kesejahteraan atau terpenuhinya hak dasar mereka.

Bila dipandang dari proses, maka advokasi yang dilakukan menyangkut prosedur penyusunan dan pelaksanaan, termasuk didalamnya adalah respon kelembagaan terhadap peristiwa pelanggaran hak serta implementasi monitoring dan evaluasi terhadap proses penentuan (pilihan skenario), kelembagaan (respond and representation), kebijakan dan program (SPKD, review, skema program inovasi) delivery dan targeting (data, dampak, model) dan penguatan masyarakat (CSO, CBO).

Menimbang besar dan luasnya cakupan area advokasi, maka perlu ada fokus area advokasi yang dapat saja berdasarkan isu atau yang beraspek sektoral, dimensi atau aras manajerial (planning, organizing, action, controlling and budgeting) maupun pardigmatik dan politik pembangunan (policy, desain model pembangunan, dan dampak sosialnya) serta yang bersifat watch dan yang bersifat legalistik. 6.2 Strategi Advokasi

Umumnya strategi dapat dibagi dalam dua kelompok atau gabungan keduanya yakni terlibat dengan kritis dan konfrontatif, atau menggunakan keduanya sesuai tuntutan aktual. Pemilihan strategi advokasi terlibat mengandaikan bahwa perubahan fundamental dapat dilakukan dengan mengandalkan setidaknya kekuatan argumentasi, opini dan keterampilan teknokrasi. Di sini CSO/CBO memainkan peranan penting untuk mempersiapkan kemampuan tersebut di arena forum multistakeholder. Di samping kemampuan menggodok substansi advokasi, aspek penting lain dalam strategi advokasi adalah keterampilan lobi sehingga misi advokasi berjalan mulus.

Strategi engagement (terlibat) ini seringkali dianggap lembut dan membatasi peran si dan komunitas miskin karena sifatnya yang kerap tertutup atau terbatas. Strategi terlibat ini sering dijalankan oleh lembaga penelitian atau ilmuwan dan jaringan lobi tertentu. CSO yang bergerak di area ini diasumsikan memiliki ideologi yang kokoh dan menjadi perunding yang handal (militan) sehingga tidak terpengaruh oleh tiga penyakit utama yakni tahta, harta dan sex. Namun harus tetap disadari bahwa ideologi yang dipikul bisa saja membawa serta kepentingan dari lembaga atau sponsor tertentu.

Strategi konfrontatif mengasumsikan bahwa tekanan massa dan opini yang meluas akan menyebabkan perubahan radikal, di mana tuntutan masa akan diikuti dengan perubahan strategi, kebijakan hingga implementasi program. Problem strategi ini adalah tingkat kesadaran massa yang seringkali lebih merupakan mobilisasi ketimbang partisipasi aktif, dengan risiko akan terjebak pada kooptasi dan hanya akan bersifat sementara.

Keunggulan strategi di atas adalah sifat kritisnya terhadap kelemahan-kelemahan, manipulasi dan kecurangan aparat pembangunan dan aparat politik. Pada dataran tertentu masa rakyat miskin (laki-laki, perempuan dan anak-anak) secara perlahan akan dapat mengekspresikan dan mengartikulasikan kepentingannya secara langsung dan terbuka. Di samping itu, strategi ini biasanya

Page 84: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

mendapat respon positif dari kalangan pers dengan mengulasnya secara atraktif dan bisa mengetuk kesadaran.

Namun ada juga strategi konfrontatif yang tidak melibatkan massa. Hal ini biasanya dilakukan oleh lembaga penelitian atau pemantauan yang memang tidak berbasis masa tetapi berbasis pengetahuan atau ideologi tertentu, sehingga seringkali dianggap elitis dan hanya berada di menara gading.

Strategi lain adalah gabungan dari kedua strategi yang ada. Hal ini dilakukan untuk saling menutupi kelemahan masing-masing strategi dan memperkuat kelebihan masing-masing dalam melakukan pembelajaran publik perihal perubahan atau transformasi sosial.

Dalam setiap strategi itu harus ada kekuatan pendukung, seperti sumber daya dan network yang memadai, pengorganisasian, kampanye dan lobby, dukungan media massa, pendanaan bersama, publikasi kertas posisi dan berbagai instrumen lainnya. 6.3 Langkah-langkah Advokasi

Langkah advokasi yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadi bagian dari tim penyusun atau anggota TKPKD. Proses ini dapat ditempuh di dua area yakni pertama, di tingkat kabupaten/kota dan kedua, melakukan tekanan dengan melibatkan TKPK propinsi atau nasional sebagai pembuka ruang. Bila keduanya gagal, maka advokasi yang dilakukan adalah dari luar dengan memantau perkembangan yang terjadi seraya melakukan intervensi, baik melalui lobi maupun dengan konfrontasi.

Belajar dari pengalaman GAPRI dalam melakukan advokasi SNPK, maka langkah-langkah advokasi SPKD yang harus dipersiapkan meliputi:

Desain Untuk Memformulasikan Strategi. CSO hendaknya mendesain strategi yang akan menjadi basis dari advokasinya. GAPRI merumuskan Grand Strategi Empat Pilar Demokratisasi Melawan Anti Pemiskinan.

Seperti dijelaskan sebelumnya, untuk merumuskan SPK dibutuhkan suatu studi untuk memastikan bahwa strategi yang akan disusun itu berdasarkan pada suara si miskin dan juga berdasarkan pada suatu review terhadap kebijakan yang ada. Karena itu kegiatan yang perlu dilakukan adalah PPA dan PSIA.

GAPRI melakukan PPA sendiri di tujuh lokasi (dalam hal ini KIKIS), sekalipun pada penyusunan desainnya juga melibatkan unsur multistakeholder. Ternyata hal ini menjadi penting dalam menentukan langkah berikutnya, yakni suatu keyakinan bahwa PPA bisa dilaksanakan dan juga dapat menjadi modal dasar bagi CSO dalam memandu proses penyusunan yang lebih mengartikulasikan kepentingan si miskin.

Selain itu, GAPRI juga melakukan riset budget sendiri (dalam hal ini JARI) di mana pengalaman mereka meyakinkan bahwa banyak peluang anggaran untuk lebih pro-poor. Dan persoalan yang timbul adalah proses perencanaan yang

Page 85: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

mengabaikan fakta dan data, serta indikator prioritas penentuan anggaran yang belum jelas.

Setelah memperoleh hasil studi, proses kegiatan selanjutnya adalah bagaimana

stakeholder mendiskusikan fakta, data dan fenomena sehingga kemudian diperolelah:

• Analisis Fakta, Akar, Trend Kemiskinan • Penetuan Isu Strategis • Pendekatan • Strategi dan Pilihan Skenario

Pada proses ini GAPRI melakukan intervensi melalui position paper dan hearing untuk isu yang dianggap krusial, yakni: land reform, Lembaga Keuangan mikro, infrastruktur, pasar fleksibel, buruh, kedaulatan pangan, dan peran donor serta sistem penganggaran.

Kemudian dalam proses selanjutnya adalah merumuskan Desain Monitoring

dan Evaluasi dan Action Plan dan Penganggaran. Pada dataran ini GAPRI belum mampu meyakinkan pentingnya anggaran yang benar-benar pro-poor karena waktunya yang terbatas untuk melakukan studi trade-off modeling. Tidaklah mengherankan bila SNPK kemudian gagal merumuskan cost budgeting akibat tarik-menarik hal tersebut. GAPRI menghendaki skenario radikal, misalnya pendidikan gratis, kesehatan gratis, pemukiman untuk rakyat miskin dengan sewa murah dan gratis, rehabilitasi lingkungan dan redistribusi tanah, serta isu-isu lainnya

Bila semuanya itu sudah tersusun maka kemudian dilakukan Konsultasi

Publik. Persiapan yang dilakukan menyangkut : Substansi. Substansi merupakan ruh dari advokasi, jadi subtansi tidak bisa

dirumuskan secara sembarangan kecuali ingin menjadi bahan tertawa dari mereka yang kita advokasi. Mempersiapkan substansi menjadi hal utama dan pertama yang harus dirumuskan. Rumusan substansi sebaiknya dirumusakan dengan jelas dan logis sehingga target adavokasi dapat memahami.

Prinsip. Prinsip yang dimaksud disini adalah nilai-nilai yang dijadikan dasar oleh seluruh bagian tim advokasi. Melalui prinsip-prinsip ini semua anggota tim bekerja dalam suasana terbuka dan bertanggung jawab antara satu dengan lainnya.

Paradigma. Yang dimaksudkan di sini bukanlah dalam konteks grand theory, melainkan bagaiamana kita melihat kemiskinan sebagai akibat bekerjanya struktur dalam sistem yang ada dan bagaimana dorongan faktor eksternal, baik berupa kebijakan, program atau interaksi, mempengaruhi berlangsungnya proses kemiskinan-pemiskinan. Kita juga perlu melihat peluang-peluang yang memungkinkan transformasi dilakukan agar bisa merubah struktur dan sistem (formasi sosial) menjadi lebih ramah terhadap si miskin, menghargai produksinya atau bahkan mendorongnya memiliki sumber daya.

Intinya, paradigma ini haruslah mencerminkan pandangan dari dalam, memihak kepentingan si miskin dan bersifat emansipatoris, yang nantinya berkontribusi bagi transformasi sosial.

Page 86: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

1. Indigenous. Inilah hakekat ownership karena pandangan itu berasal dari dalam (lokal) dan menjadi landasan afirmatif. Di sinilah letak pentingnya PPA, sekaligus menjadi jawaban dari kegagalan pandangan teknokratik dan elitis dalam PK yang mengabaikan suara si miskin

2. Berpihak. Keberpihakan merupakan konsekwensi dari orientasi terhadap si miskin baik melalui PPA, representasi maupun dalam konsultasi publik. Ini penting terutama berhubungan dengan kebijakan dan relasi kuasa dan ekonomi dalam dataran makro dan global, di mana kepentingan si miskin menjadi prioritas dan dampaknya dirasakan secara langsung serta mengarah pada entitlement.

3. Emansipatoris. Pandangan dan keberpihakan tersebut haruslah mampu membebaskan si miskin dari jeratan struktur yang mengkungkung kehidupannya baik dalam konteks lokal maupun global.

4. Transformasi sosial. Akhirnya segala upaya pembebasan haruslah dalam kerangka terjadinya perubahan struktur dan sistem yang selama ini telah menjebaknya dalam situasi kemiskinan dan pemiskinan.

Analisis dan keterkaitan antar isu strategis. Isu strategis diperoleh dari proses analisis tertentu berdasarkan perspektif tertentu untuk mempertajam substansi. Karena itu dalam merancang isu strategis diperlukan konsistensi logika bangunan pohon masalah (sebab dan akar masalah) sesuai paradigma.

Strategi penanggulangan kemiskinan dan prioritas. Dari isu strategis dilakukanlah suatu priorisasi dengan menyaring sesuai tingkat intensitas persoalan dan dampaknya. Maka kemudian muncullah strategi, di mana derajat pilihan skenarionya dapat berupa intervensi berderajat tinggi, menengah dan rendah yang tentu disertai dengan risiko atau ancaman pelaksanaannya. Analisis terhadap apa yang dihasilkan ini perlu dilakukan lagi berkaitan dengan isu-isu cross-cutting dan isu-isu khusus, misalnya gender analysis dan analisis masyarakat dalam situasi khusus.

Barulah kemudian diperkaya dengan dengan penajaman-penajaman bahan seperti 1) matrik kebijakan dan program, 2) mainstreaming, 3) instrumen dan indikator, dan 4) delivery dan targeting.

Untuk bahan pertimbangan, Andik Hardiyanto membuat navigasi advokasi

SPKD sebagai berikut: A. Memastikan Perspektif / Suara Kaum Miskin menjadi bagian dari proses

formulasi kebijakan PK Langkah #1: PPA Langkah #2: Diagnosis Kemiskinan Langkah #3: Mengkaji Kembali Hambatan Kebijakan (kajiulang kebijakan

berdasarkan prioritas masalah kaum miskin) Langkah #4: Identifikasi dan perumusan masalah Hak-Hak Dasar

B. Merancang Strategi Utama Penanggulangan Kemiskinan

Langkah#5: Konsultasi Publik (draft berdasarkan rumusan langkah #1-3) Langkah#6: Konsultasi Komunitas Langkah#7: Konsultasi dan adopsi tindakan legislatif

Page 87: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Langkah#8 :Perumusan Strategi Utama, Prinsip dan Nilai SPK

C. Merumuskan Kebijakan Makro Ekonomi dan Kebijakan Sosial Langkah#9 : Mengkaji dampak kebijakan makro ekonomi terhadap situasi

kemiskinan setempat (PSIA) Langkah#10: Merumuskan kebijakan pemenuhan Hak-Hak Dasar

D. Integrasi SPKD dengan RPJM Daerah dan Kebijakan Alokasi Anggaran

Publik (APBD) Langkah#11: Mainstreaming PK dalam RPJMD Langkah#12: Costing budget untuk minimum core content Langkah#13: Penyediaan alokasi anggaran untuk prioritas kebijakan (pro poor

budget) Langkah#14: Evaluasi Sensitif Gender dan promosi Hak Asasi Perempuan dalam

keseluruhan proses dan kebijakan alokasi anggaran (gender budget)

E. Mendesain Sistem Monitoring dan Evaluasi PK (yang dilengkapi dengan indikator lokal / kuantitatif) Langkah#15: Penyandingan model data kemiskinan BPS, BKKBN, dan indikator

lokal untuk bahan Sistem Monev Langkah#16: Desian Sistem Monev

F. Penguatan kelembagaan KPK dan mengkomprehensifkan dan

mempertajam visi kebijakan (konsensus bersama di tingkat pemerintah daerah, DPRD, dan aparat yudikatif, Ornop, serta organ lainnya) untuk kendali proses dan mutu pelaksanaan SPKD Langkah #17: Peningkatan status hukum dan kewenangan KPKD Langkah #18: Publikasi SPKD dan membangun kesepakatan bersama dan

pembagian peran untuk implementasi SPK

Sedangkan instrumen yang digunakan berkaitan dengan advokasi Implementasi SPKD di daerah untuk memonitor rencana aksi PK adalah:

1. Prasyarat Utama berupa kebijakan daerah mengenai: Pemberantasan KKN Penegakan Hukum Penghormatan dan Penghargaan hak–hak ekonomi, sosial dan

budaya Kerangka Makro ekonomi : (1) Harga, (2) Pajak, (3) Tarif, (4) Subsidi Partisipasi, Transparansi, dan Akuntabilitas Kesepakatan dan Konsensus Global : MDG, Lingkungan, Perempuan

dan Anak. 2. Strategi penanggulangan kemiskinan ( 5 pilar ) 3. Prioritas kebijakan dan program (10 hak dasar) 4. Tujuan : Lima Tahun ( 2005 – 2009 ) dan Tahunan 5. Sasaran : Lima Tahun ( 2005 – 2009 ) dan Tahunan 6. Indikator Kinerja yang jelas dan terukur (target dan sasaran) 7. Instrumen Kebijakan : (1) Regulasi, (2) Bugdet, (3) Pendampingan 8. Kelembagaan dan Pembagian Peran : (1) Pemerintah dan DPR/DPRD, (2)

LSM dan PT, (3) Pelaku Usaha, (4) Ormas dan Orpol , (5) Lembaga Internasional

9. Dampak

Page 88: Advokasi Strategi Pengurangan kemiskinan Daerah (SPKD). Panduan

Bahan Rujukan Arus, DM Johanes, Dkk, 2007. Panduan Kajiulang Kebijakan Kemiskinan. GAPRI. Jakarta Bappenas. 2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta Cagatay, Nilufer. Gender and Poverty. UNDP Working Paper Series. Mei. 1998 Ghofur Abdul, Dkk. Panduan Advokasi Anggaran Berbasis Hak. GAPRI. 2007. Jakarta Hall, Anthony dan James Midgley, (2004), Social Policy for Development, London : Sage

Publications Ltd. Irawan, B Puguh. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan. Materi Analisis dan

Diagnosis Kemiskinan di Indonesia. SMERU. Jakarta 9-13 Mei 2005 Friedmann, John (1979), Urban Poverty in Latin America, Some Theoritical Considerations,

dimuat dalam: Development Dialogue, Vol.1, Upsala, Dag Hammarskjold Foundation.

Kepmen Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim SE Mendagri No. Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No: 052/KEP/MENKO/KESRA/II/2006 tentang Pedoman Umum dan Kelompok Kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

Lewis, Oscar. 1988. Kisah Lima Keluarga Telaah Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Moser, Caroline O.N. 1998. The Asset Vulnerability Framework: Reassessing Urban Poverty Reduction, World Development, Vol.26, No.1, pp.1-19

Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) (2002), Draft Guidelines: A Human Rights Approach to Poverty Reduction Strategies. United Nations. Geneva, Switzerland.

PP No. 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004 – 2009 PP No. 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Rahayu, Sri Kusumastuti. Memahami Kemiskinan, Materi Analisis dan Diagnosis

Kemiskinan di Indonesia. SMERU. Jakarta 9-13 Mei 2005 SE Mendagri No. 412.6/3186/SJ perihal Tindak Lanjut PP No. 54 Tahun 2005 tentang Tim

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Surat keputusan ketua KPK nomor 16/Kepmenko/Kesra/VI/2002 berkewajiban menyusun

PRSP Supartono, Dkk. 2007. Panduan Kajian Kemiskinan Partisipatif. GAPRI. Jakarta Suryadarma, Daniel. Pengukuran Kemiskinan Secara Kuantitatif. Materi Analisis dan

Diagnosis Kemiskinan di Indonesia. SMERU. Jakarta 9-13 Mei. 2005 Syaifuddin, A Fedyani. Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan: Pendekatan Kualitatif

Mengenai Kemiskinan, Kertas Kerja dalam Workshop GAPRI, 2007 Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan,

Kantor Menko Kesra (2004). Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kemiskinan Nasional: Pilar III Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia Keluarga Miskin. Jakarta (unpublished document)

Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menko Kesra (2004). Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta. (unpublished document).

Triwibowo, Darmawan, Dkk. 2007. Panduan Monitoring dan Evaluasi Partisipatif Program Kemiskinan. GAPRI. Jakarta

UUD 1945 (amandemennya) Widjajanti I.S. dan Sudarno Sumarto, Konsep Kemiskinan: Sebuah Pengantar Materi Analisis

dan Diagnosis Kemiskinan di Indonesia. SMERU. Jakarta 9-13 Mei 2005