abstrak fakultas psikologi universitas gunadarma mei 2011...

26
ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Mei 2011-05-04 Dhini Wirasanti Rahadian. 10506056 Spiritualitas Pada Mahasiswa Lulusan Pesantren Spiritualitas merupakan hubungan personal seseorang terhadap sosok transendennya. Dalam arti bagaimana individu itu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Saat ini spiritualitas cenderung tercampur dengan ego, dimana hal tersebut berpengaruh pada hubungannya dengan orang lain. Ego-spiritual membuat seseorang menjadi terhambat dalam memiliki spiritualitas yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran spiritualitas pada mahasiswa lulusan pesantren, mengetahui apa saja yang dapat menyebabkan spiritualitas mahasiswa tersebut, dan mengetahui dampak dari spiritualitas itu sendiri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari satu orang subjek laki-laki berusia 22 tahun dan seorang significant other. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode observasi dan wawancara kepada subjek dan significant other. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki gambaran spiritualitas yang berdampak adanya sikap menjaga perilaku yang dimiliki, terutama dalam berhubungan sosial. Di dalam pencapaian prestasi akademik subjek juga mencapai hasil yang terbaik, dan dalam pencarian jati diri subjek menjadi tahu akan jati dirinya ke depannya. Keyword : spiritualitas, ego-spiritual, mahasiswa. i

Upload: doliem

Post on 02-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Mei 2011-05-04 Dhini Wirasanti Rahadian. 10506056 Spiritualitas Pada Mahasiswa Lulusan Pesantren

Spiritualitas merupakan hubungan personal seseorang terhadap sosok

transendennya. Dalam arti bagaimana individu itu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Saat ini spiritualitas cenderung tercampur dengan ego, dimana hal tersebut berpengaruh pada hubungannya dengan orang lain. Ego-spiritual membuat seseorang menjadi terhambat dalam memiliki spiritualitas yang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran spiritualitas pada mahasiswa lulusan pesantren, mengetahui apa saja yang dapat menyebabkan spiritualitas mahasiswa tersebut, dan mengetahui dampak dari spiritualitas itu sendiri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari satu orang subjek laki-laki berusia 22 tahun dan seorang significant other. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode observasi dan wawancara kepada subjek dan significant other.

Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki gambaran spiritualitas yang berdampak adanya sikap menjaga perilaku yang dimiliki, terutama dalam berhubungan sosial. Di dalam pencapaian prestasi akademik subjek juga mencapai hasil yang terbaik, dan dalam pencarian jati diri subjek menjadi tahu akan jati dirinya ke depannya.

Keyword : spiritualitas, ego-spiritual, mahasiswa.

i

PENDAHULUAN Perkembangan ilmu psikologi

modern pada akhirnya tidak lagi malu untuk membicarakan masalah spiritual, yang sebelumnya dunia spiritual dianggap sesuatu yang tidak bisa dinalar oleh logika karena dianggap ada hubungan dengan persoalan agama dan agama dianggap hal yang mustahil dimasukkan ke dalam ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak. Terdapat perbedaan antara spiritual yang dibahas oleh para ahli psikologi barat yang menitik beratkan pada aspek lahir. Sementara spiritual yang dimaksudkan orang-orang yang beragama adalah ruhani yang berkaitan dengan kehidupan berketuhanan. Kehidupan spiritual banyak memperhatikan aspek ruhani, yang didalam agama sangat menentukan nilai kebaikan dan keburukan sebuah perbuatan.

Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam perkembangannya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filosuf, mengonotasikan “spirit” dengan : kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos; kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi; makhluk immaterial; wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian).

Di lain pihak, pengembangan spiritualitas manusia menjadi sesuatu yang asing dalam proses pendidikan. Hal tersebut ternyata tidak berlaku di pesantren, terlebih spiritualitas merupakan aspek utama yang menjadi fokus dari pendidikan pondok pesantren tradisional. Pesantren hadir terbuka dengan semangat kesederhanaan,

kekeluargaan, dan kepedulian sosial. Konsepsi perilaku yang ditampilkan pesantren ini mempunyai daya rekat sosial yang tinggi dan sulit ditemukan pada institusi pendidikan lainnya.

Di sisi lain, tidak banyak yang menyadari bahwa mahasiswa yang telah lulus dari pesantren tidak sedikit yang mengalami ego-spiritual. Beberapa mahasiswa (alumni santri) mengaku bahwa dirinya mengalami ego-spiritual karena menganggap dirinya lebih saleh dibandingkan orang lain yang sebelumnya tidak pernah mengenyam pendidikan agama. Thobieb (dalam bimasislam.kemenag.go.id, 2010) mengatakan bahwa orang yang menyatakan dirinya ‘saleh’ cenderung memiliki ego sebagai orang baik yang merasa lebih unggul dibandingkan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas merupakan pembeda kualitas manusia (Frankl dalam Santrock, 2002). Spiritualitas juga dikatakan sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Dalam arti bagaimana individu itu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Spiritualitas tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang terlihat religius di dalam kesehariannya, seseorang dapat dikatakan memiliki spiritualitas apabila mampu untuk mentransendensikan yang fisik dan material, mampu untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, mampu untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, mampu untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah, dan mampu untuk berbuat baik.

ii

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Spiritualitas

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2001), spiritual berarti kejiwaan; rohani; batin; mental; atau moral. Istilah spiritual dimaknai sebagai kualitas kepribadian yang ditandai oleh kecenderungan untuk lebih memenuhi pemikirannya dengan isu-isu moral dan agama melebihi urusan duniawi atau pencapaian intelektual (Corsini, 2002). Frankl (dalam Santrock, 2002) mendefinisikan spiritualitas sebagai salah satu faktor yang dapat membedakan kualitas manusia. Spiritualitas menjadi inti dari keberagamaan dan kerap dianggap sebagai yang lebih penting dari agama itu sendiri (Zinnbauer & Pargament, 2005).

Pandangan lain dikemukakan oleh Schreurs (2002) yang merujuk spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Dalam arti bagaimana individu itu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut Elkins, dkk (1988) spiritualitas dilihat sebagai cara individu memahami keberadaan maupun pengalaman yang terjadi pada dirinya. Di sisi lain seseorang yang dikatakan cerdas secara spiritual adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai-nilai hidup. Bukan hanya dalam horison teoritis-spekulatif, melainkan dalam tataran perilaku konkrit, yaitu dalam hamparan tantangan nyata hidup sehari-hari. Hal itu misalnya ditunjukkan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis: Mengapa saya hidup? Apa makna hidup saya? Kepandaian saya? Keterampilan saya? Kesehatan

saya? Kegagahan atau kecantikan saya? Kedudukan saya? Kesuksesan saya? Penderitaan saya? Kegagalan saya? Apakah hidup saya sungguh-sungguh berharga?. Menurut Elkins, dkk (1988) spiritualitas memiliki sembilan komponen, antara lain: Dimensi transenden; Makna dan tujuan dalam hidup; Misi hidup; Kesakralan hidup; Nilai-nilai material; Altruisme; Idealisme; Kesadaran akan peristiwa tragis; Buah dari spiritualitas. Aspek-aspek Spiritualitas Sebagai Proses Perubahan Yang Terjadi Pada Diri Schreurs (2002) menjabarkan spiritualitas sebagai proses perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek, di antaranya : a. Aspek eksistensial Dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri pada tahap eksistensial. b. Aspek kognitif Yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut. Disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual. c. Aspek relasional

iii

Merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan (dan/atau bersatu dengan cinta-Nya). Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan. Komponen-komponen Spiritualitas Menurut Elkins, dkk (1988) spiritualitas memiliki sembilan komponen, antara lain: a. Dimensi transenden Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Konten aktual dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan konten yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora. Namun, pada intinya penggambaran tersebut akan menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu yang lebih dari sekedar hal-hal kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa perlunya menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut. Dapat dikatakan bahwa individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi transenden. Pengalaman semacam ini oleh Maslow disebut sebagai “peak-experiences”. b. Makna dan tujuan dalam hidup Individu yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Dasar dan konten dari komponen ini bervariasi namun memiliki kesamaan yaitu bahwa individu yang spiritual memenuhi

eksistensinya dengan keyakinan bahwa hidup memiliki makna yang dalam dan bahwa eksistensi individu di dunia memiliki tujuan. c. Misi hidup Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasa akan adanya takdir yang harus dipenuhi. Dalam komponen makna dan tujuan hidup, individu mengembangkan pandangan akan hidup yang didasari akan pemahaman akan adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut. d. Kesakralan hidup Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal dalam hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomis seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal keduniaan. e. Nilai-nilai material Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang, namun tidak mencari kepuasan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki.

iv

f. Altruisme Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab komunal dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya. Mereka meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini kerap dipicu oleh sensitivitas mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama. g. Idealisme Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa yang terlihat sekarang, namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya masing-masing. h. Kesadaran akan peristiwa tragis Individu yang spiritual menyadari akan perlunya tragedi dalam hidup seperti rasa sakit, penderitaan, atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka dapat lebih menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya sebagai alat yang akan membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya dalam hidup. i. Buah dari spiritualitas Komponen terakhir merupakan refleksi atas kedelapan komponen sebelumnya

dimana individu mengolah manfaat yang dia peroleh dari pandangan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam komponen ini individu menilai efek dari spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan relasinya dengan diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai sosok transenden. Definisi Mahasiswa Menurut Anwar (2001), mahasiswa adalah siswa yang belajar di akademi atau perguruan tinggi. Sedangkan menurut Supardan (1972) mahasiswa adalah setiap individu yang belajar di perguruan tinggi dan memiliki secarik kartu mahasiswa untuk mengikuti kuliah. Pengertian lain oleh Dit. Jen. Kemahasiswaan (dalam Indira, 1979) yaitu mahasiswa merupakan golongan pemuda (umur 18-30 tahun), yang secara resmi terdaftar pada salah satu perguruan tinggi dan aktif di perguruan tinggi yang bersangkutan. Para mahasiswa berusia sekitar 18-27 tahun adalah pribadi yang sedang berkembang dan tengah mencari jati dirinya atau identitas sendiri. Mereka sedang melewati masa puber, akan tetapi belum mencapai status kedewasaan penuh (Kartono, 2001). Yusuf (2002) mengatakan mahasiswa adalah yang berusia 18-25 tahun, mereka dapat digolongkan sebagai masa remaja akhir sampai dewasa awal atau dewasa madya dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa adalah pemantapan pendirian hidup. Mahasiswa mengalami masa transisi antara kehidupan sekolah dengan kehidupan perkuliahan. Berbagai perubahan terjadi seiring berjalannya

v

pemikiran sewaktu menjadi seorang mahasiswa (Prasetyo, 2009). Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian dari para tokoh di atas bahwa mahasiswa adalah golongan pemuda atau siswa yang berusia sekitar 18-30 tahun yang tengah berkembang mencari jati diri dan sedang belajar di perguruan tinggi serta memiliki kartu mahasiswa untuk mengikuti kuliah dan aktif di perguruan tinggi yang bersangkutan. Mahasiswa Termasuk Dewasa Awal Periode dewasa awal (early adulthood) secara umum berkisar antara usia 18-40 tahun. Bila masa-masa sebelumnya dapat dianggap sebagai umur-umur pembentukan, maka periode dewasa awal secara umum adalah umur-umur pemantapan diri terhadap pola hidup baru. Mereka mulai serius belajar demi karir dan masa yang akan datang, mulai memilih-milih pasangan yang lebih serius dan cita-citanya menjadi lebih realistis (Riyanti dkk, 1996). Masa dewasa dini (awal) adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif, yaitu suatu masa yang penuh masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas, dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Masa dewasa dini dari umur 18 hingga ± 40 tahun (Hartati dkk, 2004). Hurlock (1980) mengemukakan ciri-ciri dewasa awal yang di antaranya : a. Masa dewasa awal sebagai masa peraturan b. Masa dewasa awal sebagai usia reproduktif c. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah d. Masa dewasa awal sebagai masa ketegangan emosional e. Masa dewasa awal sebagai masa

keterasingan sosial f. Masa dewasa awal sebagai masa komitmen g. Masa dewasa awal sering merupakan masa ketergantungan h. Masa dewasa awal sebagai masa perubahan nilai i. Masa dewasa awal sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru j. Masa dewasa awal sebagai masa kreatif Pengertian Pesantren Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti “rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu”. Di samping itu, “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “fanduk” yang berarti “hotel atau asrama”. Ada beberapa istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia atau yang lebih terkenal dengan sebutan pesantren. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura, umumnya dipergunakan istilah pesantren atau pondok (Dhofier, 1990), di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkung atau meunasah, sedangkan di Minangkabau disebut surau. Kata pesantren berasal dari “santri” yang berarti orang yang mencari pengetahuan Islam, yang pada umumnya kata pesantren mengacu pada suatu tempat, di mana santri menghabiskan kebanyakan dari waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan (Nawawi, 2006). Poerbakawatja (dalam Sujari, 2007) mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti, tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren

vi

adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. Menurut Wahid (2001), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.” Shahir (dalam Taha, 1991) menurutnya, dilihat dari dimensi sejarah keberadaannya pesantren atau lazim disebut pondok pesantren, merupakan hasil rekayasa antisipatif para penuntut ilmu pengetahuan agama untuk mendapatkan sarana dan prasarana dalam menuntut ilmu. Istilah pondok pesantren biasanya dipakai untuk mengacu kepada suatu bentuk pendidikan ke-Islaman yang melembaga, tempat mendidik manusia “baik-baik” yang juga disebut “santri”. Pondok, gubuk, rumah, atau mungkin juga bangsal didirikan untuk para santri yang biasanya berada di sekitar masjid atau surau, dan yag berkaitan dengan kediaman seorang kiai. Lembaga pendidikan pesantren akan dilirik untuk memainkan peran sebagai lembaga pendidikan yang memadu pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, idealistik dan realistik. Pusat rehabilitasi sosial (banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi spiritual akan mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren), serta sebagai pencetak manusia yang punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ) (Sujari, 2007). Unsur-unsur Penting dari Pesantren Unsur-unsur penting dari pesantren (Mastuhu, 1994) adalah:

a. Pelaku: kyai, ustadz, santri, dan pengurus b. Sarana perangkat keras: mesjid, rumah kyai, rumah ustadz, pondok, gedung madrasah, tanah untuk berbagai keperluan kependidikan, gedung-gedung lain untuk keperluan perpustakaan, aula, kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi, perbengkelan, poskestren, dan keterampilan lainnya c. Sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, sumber belajar, cara belajar (metode), dan evaluasi. Nilai-nilai Dasar Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Mastuhu, nilai-nilai yang mendasari sistem pendidikan pesantren digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, yang dalam ini bercorak fikih-sufistik dan berorientasi kepada kehidupan ukhrawi. 2. Nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran relative, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari-hari menurut hukum agama. Spiritualitas Pada Mahasiswa Lulusan Pesantren Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, ia adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga unik dan punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga saat ini menunjukkan kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan pluralitas polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah banyak memberikan

vii

andil dan kontribusi yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf dengan sekolah gubernemen. Pesantren lebih diakui keberadaannya di dalam dunia pendidikan nasional, karena pesantren memiliki cakupan ‘nutrisi’ pembelajaran yang memang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Cakupan tersebut yaitu spiritualitas. Individu yang memiliki ciri-ciri spiritual yang tinggi adalah mampu bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif), memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan yang dihadapi, mampu untuk menghadapi dan melampaui rasa takut, memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, dan enggan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, memiliki kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik), serta mampu menjadi pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggungjawab.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Selman, dkk (2005) diketahui bahwa kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh seseorang akan membawa individu tersebut untuk menjadi lebih baik kepada dirinya sendiri dan mampu memilih alternatif pilihan terbaik dari sebuah pilihan yang sulit. Membuat kita lebih menyadari akan arti hidup, lebih terbuka terhadap pengalaman, serta mencari tahu sesuatu yang sebelumnya kita tidak tahu.

Salah satu dari hambatan untuk mencapai spiritualitas ialah adanya egosentrisme, yang berarti meruapakan

kebalikan dari orang yang memiliki orientasi keagamaan dan atau spiritual, mereka memiliki ketidakmampuan dalam mengambil keputusan etis, ketidakpedulian, dan bertindak tidak sesuai dengan keputusan tersebut untuk waktu lebih lama. Mereka pun memiliki keterbatasan untuk bergabung secara sosial.

Spiritualitas dikatakan penting dimana merupakan kapasitas inheren dalam diri manusia, seperti kapasitas untuk tumbuh, bereproduksi, berkomunikasi, berpikir, atau merasakan. Untuk lebih jelasnya, spiritualitas adalah sebagai: kapasitas untuk mempunyai hubungan dengan sesuatu di luar diri kita, yaitu Tuhan; perasaan yang sering melibatkan perasaan keterhubungan yang mendalam dengan semua makhluk; dan perasaan takjub serta kagum akan alam semesta yang sulit digambarkan. METODE PENELITIAN Untuk mendapatkan gambaran mengenai “Spiritualitas Pada Mahasiswa Lulusan Pesantren”, penelitian dijalankan dengan menggunakan metode kualitatif. Creswell (dalam Basuki, 2006) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah. Menurut Strauss dan Corbin (dalam Basrowi dan Suwandi, 2008) qualitative research adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur

viii

statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisme organisasi, gerakan sosial, atau hubungan kekerabatan. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (dalam Basrowi dan Suwandi, 2008) penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Subjek Penelitian 1. Karakteristik Subjek Subjek adalah mahasiswa/i yang tengah berkuliah di perguruan tinggi dan merupakan lulusan dari pesantren dengan rentang usia 18-25 tahun. 2. Jumlah Subjek Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998) tidak ada aturan pasti dalam jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui peneliti, tujuan penelitian dan konteks saat itu, apa yang dianggap bermanfaat dan apa yang dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Dalam penelitian ini jumlah subjek adalah 1 orang mahasiswa yang tengah belajar atau berkuliah di perguruan tinggi dan merupakan lulusan dari pesantren dengan data penunjang lain dari orang di sekitar subjek yang memiliki hubungan dekat (Significant Other) sebanyak 1 orang. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai pengumpulan data yang

akan dipergunakan dalam pelaksanaan penelitian, yaitu : 1. Metode Wawancara a. Definisi

Menurut Esterberg (dalam Sugiyono, 2008) wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Interview atau Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu (Kartono dalam Basuki, 2006). Menurut Kerlinger (dalam Basuki, 2006) wawancara adalah situasi peran antar-pribadi berhadapan muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian, kepada seseorang yang diwawancarai atau informan. Dalam penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semiterstruktur. Alasannya karena wawancara semiterstruktur dengan tidak melenceng dari permasalahan yang ada mampu untuk menggali data lebih dalam dengan masih berada di lingkup permasalahan yang ingin diteliti. 2. Metode Observasi a. Definisi Dalam penelitian ini, metode observasi merupakan merode pendukung. Bagi metode wawancara yang digunakan untuk melihat perilaku dalam setting alamiah. Menurut Kartono, pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “Studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Young (dalam Walgito, 2003) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu metode penelitian yang dijalankan secara sistematis dan dengan

ix

sengaja diadakan dengan menggunakan alat indera (terutama mata) sebagai alat untuk menangkap secara langsung kejadian-kejadian pada waktu kejadian itu terjadi. Alat Bantu Penelitian Menurut Poerwandari (2001), peneliti sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mengumpulkan data, analisis, interpretasi dan pengumpulan data. Dalam pengumpulan data dengan metode wawancara dan observasi diperlukan pula alat bantu untuk mempermudah peneliti dalam pengumpulan data, yaitu: 1. Pedoman wawancara Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pada saat wawancara berlangsung, pewawancara dapat memformulasikan pertanyaan dengan kata-katanya sendiri, serta dapat merubah urutan pertanyaan sesuai dengan subjek yang diwawancarainya, dengan demikian wawancara dapat berjalan alami karena mengikuti situasi saat wawancara berlangsung. Selain itu pewawancara dapat menambahkan pertanyaan baru yang dirasakan penting ketika kegiatan wawancara sedang berlangsung. Kegiatan wawancara harus menyesuaikan dengan subjek, sehingga menghasilkan jawaban yang mengikuti perspektif dan pengalaman subjek (Patton dalam Poerwandari, 1998). 2. Panduan Observasi Dibuat dalam bentuk catatan lapangan yang berfungsi untuk mencatat hal-hal yang relevan dalam permasalahan penelitian yang tidak

diperoleh melalui proses wawancara. Panduan observasi berisikan karakter perilaku yang diambil dari dimensi dan perilaku yang muncul selama proses wawancara. 3. Alat perekam Alat ini untuk memperoleh data yang utuh, peneliti menggunakan alat perekam selama wawancara. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan bias yang mungkin terjadi karena keterbatasan dan subjektifitas peneliti. Peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan subjek sebelum menggunakan alat perekam. 4. Alat tulis Dalam melakukan wawancara peneliti menggunakan alat tulis berupa buku catatan dan pulpen. Alat tulis ini berguna untuk mencatat hasil wawancara dan observasi. Keakuratan Penelitian Diperlukan untuk mengetahui apakah keakuratan penelitian harus menggunakan cara triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data yang diperoleh untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh. Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbarui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas). Keabsahan mempunyai fungsi melaksanakan inquiry sedemikian rupa, sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai dan mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil dengan jalan pembuktian oleh penelitian pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Patton (dalam Poerwandari, 1998), membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan,

x

yaitu: triangulasi data, triangulasi pengamat, triangulasi teori, dan triangulasi metode. 1. Triangulasi Data Peneliti menggunakan berbagai sumber data seperti hasil wawancara, hasil observasi, significant other, data sekunder atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang berbeda serta pelaksanaan wawancara lebih dari satu kali. Pada penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali wawancara. 2. Triangulasi Pengamat Adanya pengamat diluar peneliti yang turut serta memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data. 3. Triangulasi Teori Yaitu penggunaan teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. Pada penelitian ini berbagai teori telah dijelaskan pada bab II untuk digunakan dan menguji terkumpulnya data tersebut. 4. Triangulasi Metode Yaitu penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal seperti metode wawancara, metode observasi atau metode kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi. PELAKSANAAN DAN HASIL Pelaksanaan Penelitian Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti menghubungi subjek terlebih dahulu untuk membuat janji bertemu dan melakukan wawancara. Kegiatan wawancara dilaksanakan pada hari Minggu, 30

Januari 2011 dan 23 Februari 2011. Untuk wawancara awal, peneliti janji bertemu subjek di masjid di daerah Bekasi pada pukul 09.00 WIB dan sekitar pukul 10.00 WIB peneliti melakukan wawancara. Pada wawancara lanjutan, peneliti bertemu dengan subjek di sekolah tempat subjek mengajar 10.00 WIB dan melakukan wawancara sekitar pukul 10.45 WIB. Hasil Observasi dan Wawancara Hasil Observasi 1) Setting

Observasi dilakukan sebanyak tiga kali, observasi yang pertama dilakukan pada saat peneliti melakukan wawancara dengan subjek, yaitu di sebuah masjid yang berada di daerah Bekasi. Subjek sendiri yang memutuskan tempat tersebut, karena menurutnya apabila dilakukan di rumah subjek, saat itu keadaannya sedang tidak kondusif. Masjid tersebut memiliki warna bangunan dominan biru, di sekitar masjid terdapat areal parkir untuk mobil dan motor yang cukup luas, ada di depan maupun belakang masjid. Di belakang masjid tersebut terdapat tempat untuk duduk-duduk, di sampingnya ada pohon yang cukup rindang, sehingga suasananya menjadi nyaman.

Observasi kedua dilakukan di rumah subjek yang berada di Jalan K.H. Noer Ali, Ujung Harapan Bahagia, Babelan Bekasi. Saat itu subjek tengah menemani orang tuanya yang sedang sakit. Rumah subjek sederhana dengan bercat oranye, tembok depan rumah subjek memakai keramik berwarna hijau. Saatmasuk ke dalam rumah, terlihat ruang tamu dengan dinding yang diberi cat warna oranye dan krem. Kemudian saat menuju ke tengah ruangan, dindingnya diberi cat warna krem dan hijau. Rumah subjek memiliki

xi

empat kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur di belakang rumah.

Observasi ketiga dilakukan pada saat subjek melakukan wawancara tambahan, yaitu di sekolah tempat subjek mengajar, tepatnya di sebuah SMK di dekat daerah tempat tinggal subjek yang juga masih berada di sekitar pesantren yang dulunya tempat subjek bersekolah. Ruang kelas SMK tersebut dari arah depan dicat dengan warna hijau, sedangkan untuk atas dan bawah berwarna krem. Terdapat dua ruang kelas di lantai 2, yang hari itu subjek akan mengajar. Wawancara dilakukan di kantin yang terletak di antara SMK dan Tsanawiyah yang juga merupakan tempat subjek mengajar. Keadaan sekolah lumayan baik, meski belum ada internit untuk tiga kelas SMP dan dua kelas SMK. 2) Subjek

Subjek adalah seorang mahasiswa tingkat akhir di Universitas Islam Negeri di Jakarta, yang juga merupakan seorang pengajar di sebuah sekolah SMK dan Tsanawiyah di daerah Bekasi. Subjek merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara yang saat ini berusia 22 tahun. Subjek memiliki postur tubuh yang lumayan atletis, tinggi, dan berkulit putih. Analisis hasil wawancara 1. Bagaimana gambaran spiritualitas pada subjek ? Subjek memiliki kepercayaan kepada Tuhan, dilihat dari ibadah yang selalu subjek lakukan, seperti shalat dan mengerjakan setiap perintah Allah SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya. Karena subjek merasa itu merupakan perintah dari Tuhannya yang harus dilaksanakan. Subjek juga percaya bahwa Tuhan itu ada melalui setiap ciptaan dan juga kekuasaan-Nya yang

diperlihatkan di muka bumi, subjek berpikir bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ada yang membuatnya dan tidak mungkin terbentuk dengan sendirinya. Subjek memahami akan tujuan hidupnya, ia mengartikan hidup sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan, yang menurutnya tujuan tersebut adalah akhirat. Subjek juga beranggapan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut (akhirat) ada banyak jalan yang harus dilalui untuk mencapai kesana, tergantung dari jalan apa yang kita pilih selama di dunia. Subjek merasa memiliki tanggung jawab di dalam hidupnya, terutama untuk membahagiakan kedua orang tuanya, yaitu dengan mendapatkan pekerjaan yang baik, sehingga mampu memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya itu. Saat ini subjek berusaha untuk mengurus mereka dengan sebaik-baiknya, sampai akhirnya subjek tidak dapat lagi bersama mereka. Selain itu, subjek juga ingin nantinya dapat memilki pasangan hidup, sehingga mampu bertanggung jawab untuk keluarganya nanti dan juga sebagai ladang untuk menanam pahala di akhirat nanti. Hal ini ditujukan subjek agar dirinya mampu memiliki ladang untuk mendapat pahala, sehingga bisa masuk surga. Subjek menghargai setiap hal yang ada di dalam kehidupan melalui pengalaman yang subjek dapat selama hidup. Dari pengalaman tersebut, subjek menjadikannya sebagai ilmu di dalam kehidupan sehari-hari dan mampu untuk tidak mengotori hidupnya dengan hal-hal yang negatif. Subjek merasa bahwa setiap manusia pasti membutuhkan uang (materi), namun subjek menjadikan hal tersebut segabai faktor yang kesekian di dalam hidupnya dan menjadikan kepuasan batin sebagai hal yang paling utama.

xii

Subjek menganggap manusia sebagai makhluk sosial, sehingga orang lain bagi subjek memiliki ketergantungan satu sama lain, yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan adanya kehadiran atau bantuan dari orang lain. Subjek selalu berusaha untuk bersikap ramah pada orang lain, baik itu kenal ataupun tidak. Subjek juga akan membantu setiap orang yang membutuhkan bantuannya sesuai dengan kemampuan. Tindakan nyata yang subjek lakukan untuk sesama yaitu membantu mengajar di pesantren yang merupakan sekolahnya dulu, lalu juga mengadakan program pengajaran bagi remaja masjid di sekitar rumahnya. Subjek menganggap bahwa semua orang memiliki potensinya masing-masing. Potensi yang ia miliki terutama dalam bidang komputer akan menjadi ladang amal yang akan dibawa sampai mati disebabkan ilmu yang dimiliki di bidang tersebut. Subjek juga termasuk seseorang yang akan berusaha di dalam mencapai sesuatu yang subjek targetkan, seperti saat diharuskan untuk mencari materi dalam mengajar. Saat mengalami suatu peristiwa yang dirasa menyedihkan, subjek mengalami saat dimana ia tidak melakukan aktivitas, namun subjek merasa hal itu tidak akan mengubah kesedihannya semakin baik, karenanya subjek kembali melakukan aktivitas dan menganggap hidup harus terus berjalan. Dengan mengadu kepada Allah SWT di setiap subjek mengalami sesuatu, maka subjek dapat kembali bangkit menjalani hidup, dan subjek sadar bahwa Allah SWT lah yang menentukan hidup, sehingga subjek yakin semuanya yang terjadi adalah kebaikan bagi dirinya. Subjek merasakan banyak manfaat yang ia dapat dari ibadah yang selama ini dilakukan, di antaranya ketenangan hati dan usaha yang dilakukan akan lancar.

Menurut subjek, setiap melakukan sesuatu apabila kita dekat dengan Allah, maka semua itu dapat dilalui dengan mudah. Dalam kehidupan keseharian, terutama hubungan subjek dengan orang lain, subjek berusaha menjaga setiap perilakunya, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. 2. Hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan spiritualitas pada subjek? Dalam hal ego, subjek terlebih dahulu melihat seberapa layaknya kepentingan seseorang yang lebih patut untuk didahulukan. Apabila orang tersebut memang sangat butuh untuk didahulukan, maka subjek akan mementingkan orang tersebut terlebih dahulu dibandingkan dengan dirinya. Menurut subjek, setiap orang memiliki sifat egoisnya masing-masing. Cara subjek untuk tidak egois adalah dengan membayangkan seolah-olah dirinya yang sedang dihadapkan pada situasi orang lain atau mengingat-ingat segala kebaikan yang pernah dilakukan oleh orang lain pada subjek. Sehingga dari situ subjek dapat berpikir dahulu sebelum bertindak, sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Subjek menjadikan karate sebagai aktivitas yang menunujukkan jati dirinya. Subjek terkadang suka membaca buku keagamaan untuk memenuhi pengetahuannya. Biasanya subjek sehabis shalat Maghrib selalu membaca Al-Qur’an, dengan membaca kitab suci (Al-Qur’an) terlebih pada saat menghadapi suatu masalah, subjek akan merasa lebih mudah untuk memahami isi dari kitab suci tersebut, setelahnya subjek akan menyerapnya dan menjadikannya sebagai acuan bagi perilakunya di keseharian. Karena bagi

xiii

subjek Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang mencakup keseluruhan yang ada di dunia maupun akhirat. Subjek merasakan suatu ketenangan di saat ia beribadah (shalat), karena subjek menganggap ibadah adalah cara untuk berhubungan dengan Tuhan dan merupakan makanan batin yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan keji dan munkar, sehingga subjek merasakan kedekatan apabila sedang melaksanakan shalat dan menjadi lebih berhati-hati dalam setiap tindakan. Subjek tidak selalu dapat shalat tepat pada waktunya, terlebih saat mengajar. Subjek berusaha menjaga dan memperdalam hubungannya dengan Allah SWT dengan mengikuti pengajian dan kajian-kajian agama secara rutin setiap minggu. 3. Apa dampak yang dapat diperoleh subjek dari spiritualitas yang subjek miliki? Subjek merasakan banyak sekali dampak yang didapat di dalam hubungannya dengan Allah SWT, di antaranya subjek dapat menjaga setiap tindakan yang hendak dilakukan, menjaga hubungan baik dengan orang lain, dan menjaga akhlak yang dimiliki. Dampak yang didapatkan oleh subjek dalam hal prestasi pendidikan di antaranya; lebih terpacu untuk belajar dan menyerahkan setiap usaha dan doa hanya kepada Allah di saat meminta atau menginginkan prestasi yang baik. Subjek juga merasakan dampak dari pencarian jati dirinya, yaitu petunjuk dari Allah SWT yang membuat subjek menjadi tahu akan jati dirinya melalui shalat istikharah yang subjek lakukan, karena subjek merasa bahwa hanya Allah SWT saja yang tahu akan menjadi manusia yang seperti apa ia nantinya, subjek menggantungkan semua itu

karena subjek yakin bahwa hanya Allah SWT yang tahu apa yang terbaik bagi dirinya. Analisis hasil wawancara Significant Other 1. Bagaimanakah gambaran spiritualitas pada subjek ? Dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada significant other penelitian yaitu seorang mahasiswa yang sebelumnya pernah mengenyam pendidikan di pesantren, dapat disimpulkan bahwa gambaran spiritualitas subjek yaitu subjek yakin dan paham akan keberadaan sosok transendennya (Tuhan). Subjek mampu mengekspresikan atau membuktikan keyakinannya itu dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yang terutama subjek lakukan adalah shalat 5 waktu. Subjek mengartikan hidupnya untuk mementingkan keluarga dan setiap masalah yang terjadi di dalam hubungannya dengan orang lain, subjek akan mendahulukan keluarganya. Keinginan subjek dalam hidupnya yang terutama adalah untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Subjek menganggap hidup itu sebagai sesuatu yang sangat penting, yang menurutnya adalah ladang untuk menanam, sedangkan hasilnya akan subjek terima di akhirat kelak. Usaha yang subjek lakukan guna membahagiakan orang tuanya yaitu melalui usahanya dalam akademis dengan sungguh-sungguh subjek jalankan, yang akhirnya subjek membuktikannya dengan nilai-nilai subjek yang baik di setiap hasil belajarnya. Meski begitu, untuk mencapai keinginannya itu subjek masih melalui proses-proses yang saat ini tidak dapat diwujudkan secara utuh, walaupun di beberapa bidang sudah berhasil subjek

xiv

capai. Subjek sangat bersemangat menjalani hidup dikarenakan motivasi dari cita-cita yang ingin dicapainya. Untuk jangka pendeknya, subjek berupaya untuk lulus kuliah secepatnya dan dalam bidang olahraga karate, subjek ingin naik ke sabuk yang lebih tinggi. Subjek termasuk orang yang menghargai setiap hal dalam hidupnya, salah satu caranya adalah dengan memilih pergaulan yang positif dan menjalankan ibadah seperti shalat 5 waktu, yang dapat membuat subjek mampu menghindari hal-hal yang dapat mengotori hidupnya dengan hal-hal yang negatif. Subjek akan bahagia apabila tujuan-tujuan hidupnya telah berhasil diraih, baik itu tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Subjek tidak memungkiri bahwa nilai materi seperti uang juga dapat membuatnya bahagia, meski subjek merasa itu bukanlah suatu bentuk kebahagiaan yang mutlak. Orang lain menurut subjek adalah seperti berkaca pada diri sendiri, yaitu apabila dia menghargai orang lain sama seperti dia menghargai dirinya sendiri. Hubungan subjek dengan orang lain pun terbilang cukup baik, meski intensitasnya tidak selalu bisa berbaur dengan orang lain, karena subjek sendiri lebih sering berada di rumah. Namun untuk hubungannya dengan teman, subjek berhubungan baik dengan mereka. Apabila ada yang membutuhkan pertolongan pada subjek, subjek akan langsung meresponnya apabila waktu subjek memungkinkan. Dari situ dapat dilihat bahwa subjek memiliki teman dekat karena hubungan baiknya dengan orang lain, subjek memiliki banyak teman dekat salah satunya yaitu significant other. Di samping itu subjek juga suka memberi bantuan pada teman-temannya yang juga sering meminta

pertolongan padanya. Hal itu tidak sebatas pada teman-temannya saja, tetapi juga pada sesama, seperti bantuan untuk mengajar adik-adik remaja masjid di sekitar tempat tinggalnya. Kelebihan dan potensi yang subjek miliki adalah di dalam bidang komputer. Subjek juga termasuk orang yang mengembangkan potensinya tersebut, meski tidak begitu optimal. Terkadang apabila ditimpa suatu hal yang menyedihkan, subjek suka berlarut-larut sampai kembali seperti semula dan subjek juga suka memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu untuk dipikirkan. Dengan melalui proses berjalannya waktu, baru setelahnya subjek mampu bangkit kembali dari rasa sedihnya dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai salah satu tantangan dan pembelajaran diri. Dalam beribadah subjek mendapatkan ketenangan diri, terlebih di saat subjek sedang gelisah akan sesuatu hal. Dalam perubahan yang dirasamakin baik dari hari ke hari, subjek mengalamim fluktuasi, yaitu naik turun. Sedangkan dalam perubahan perilakunya, subjek bersifat konstan (tetap), tidak ada yang berubah dari sejak subjek kecil sampai sekarang. 2. Hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan spiritualitas pada subjek ? Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap significant other, dapat disimpulkan mengenai beberapa hal yang berpengaruh pada spiritualitas subjek. Di antaranya yaitu dalam hal ego, terutama dalam mementingkan diri sendiri. Subjek tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang suka mementingkan dirinya sendiri. Terlebih dalam situasi ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan subjek, subjek akan mendahulukan kepentingan orang

xv

tersebut. Di dalam melakukan sesuatu, subjek terlebih dahulu untuk memikirkan secara matang apa yang hendak dilakukan, sehingga nantinya apa yang subjek lakukan tidak akan berdampak buruk bagi dirinya maupun orang lain. Subjek juga bukanlah orang yang egois dan melakukan sesuatu yang harus dituruti sekehendaknya. Subjek suka membaca buku keagamaan, meski tidak begitu tertarik ketika membaca buku mengenai komputer. Subjek dalam membaca kitab suci Al-Qur’an biasanya setelah shalat maghrib, seperti saat masih berada di tempat kost. Dari membaca Al-Qur’an tersebut, subjek menjadikannya sebagai acuan atau pedoman untuk bertingkah laku sehari-hari. Karena menurut subjek, Al-Qur’an merupakan pedoman di dalam kehidupan kesehariannya. Subjek mengartikan ibadah sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan diri pada sang pencipta, sekaligus sebagai fitrah akan kebutuhan pada sang pencipta. Sehingga di saat menjalankan ibadah shalat, subjek merasakan suatu ketenangan karena merasakan kedekatan dengan sang pencipta. Karenanya subjek merasa ibadah itu sebagai hal yang amat penting yang tidak dapat dipisahkan. Meski kadangkala subjek tidak selalu dapat menjalankan ibadah shalatnya tepat waktu. Subjek berupaya mempertahankan hubungannya dengan Allah SWT melalui kajian-kajian keIslaman yang selama ini subjek ikuti, sehingga subjek tidak hanya memikirkan hal keduniawian saja. 3. Apa dampak yang dapat diperoleh subjek dari spiritualitas yang subjek miliki ? Dari hasil wawancara terhadap significant other, dapat disimpulkan bahwa dampak yang diperoleh subjek

dari spiritualitas yang dimiliki di antaranya adalah dalam hal berhubungan sosial, terhadap keluarga dan lingkungan. Sedangkan di dalam prestasi pendidikan, subjek memperoleh dampak spiritualitasnya melalui usaha, ikhtiar, dan doa yang subjek lakukan. Dengan hanya pasrah sepenuhnya pada Allah SWT dan memiliki kedekatan yang baik, subjek dapat memperoleh hasil yang terbaik di dalam bidang akademisnya. Begitu pula dalam hal pencarian jati diri. Subjek mampu memilih jati dirinya untuk menjadi seseorang yang baik. Analisis hasil wawancara subjek dan

significant other

Informasi atau data yang peneliti peroleh

dari wawancara subjek dan significant

other cukup banyak adanya kesesuaian.

Dari informasi atau data yang diperoleh

mengenai gambaran spiritualitas subjek

dapat disimpulkan bahwa subjek

meyakini keberadaan Tuhan. Subjek

meyakininya melalui kebesaran-Nya

yang ada di dunia dan paham mengenai

Allah SWT. Subjek membuktikan

kepercayaannya itu dengan menjalankan

perintah-Nya, yaitu shalat 5 waktu, baik

itu ada yang mengawasi atau tidak.

Subjek mengartikan hidup sebagai suatu

proses mencapai tujuan, dimana

tujuannya itu nantinya adalah akhirat.

Untuk mencapai tujuannya itu dilakukan

melalui usaha subjek membahagiakan

kedua orang tuanya, dengan berupaya

xvi

mendapat pekerjaan yang lebih baik dan

kuliah sungguh-sungguh, sehingga bisa

lulus dan memberi apa yang orang

tuanya butuhkan. Yang membuat subjek

bersemangat dalam menjalani hidup

adalah tujuan hidup dan motivasi akan

cita-cita. Surga merupakan target yang

ingin subjek capai selama ia hidup di

dunia, dan untuk mencapai target

tersebut subjek berupaya membawa

agama sebagai tuntunan hidupnya, baik

itu dalam kehidupan sehari-hari, dalam

beribadah, dan berhubungan sosial di

masyarakat. Untuk jangka pendek,

subjek berupaya lulus kuliah dan bidang

karatenya lebih baik. Subjek menghargai

setiap hal yang ada dalam kehidupan

berdasarkan dari pengalaman yang telah

subjek dapat selama hidupnya. Selain

belajar dari pengalaman, juga subjek

berusaha untuk tidak mengotori

hidupnya dengan hal-hal negatif melalui

pergaulan yang sehat dan ibadah

(shalat). Subjek bahagia apabila tujuan-

tujuan hidupnya bisa tercapai, meski

begitu subjek sudah merasa bahagia

dengan apa yang telah ia miliki

sekarang. Subjek menganggap bahwa

uang bisa menjadi salah satu sumber

kebahagiaan, namun menurutnya

kepuasan batin lebih utama dan lebih

penting. Subjek mengartikan orang lain

seperti melihat dirinya sendiri, yang

saling membutuhkan satu sama lain dan

tidak mampu hidup seorang diri,

sehingga memiliki ketergantungan

antara yang satu dengan yang lain.

Subjek akan langsung merespon apabila

ada yang membutuhkan bantuannya.

Subjek berusaha membantu orang lain

yang membutuhkan dengan

semampunya. Salah satu tindakan untuk

sesama yang subjek lakukan adalah

menolong teman di saat kesulitan, selain

itu membantu mengajar adik-adik remaja

masjid di sekitar tempat tinggalnya.

Subjek memiliki kelebihan di bidang

yang subjek tekuni, yaitu mengenai

komputer. Subjek terkadang berusaha

dan bekerja keras untuk mencapai

sesuatu yang subjek harapkan, meski

hasilnya belum tentu seperti keinginan

subjek. Subjek bangkit dari pengalaman

yang menyedihkan tidak hanya karena

proses waktu, tetapi juga karena subjek

kembali kepada Tuhan dalam mengatasi

setiap masalahnya. Selain menjadikan

pengalaman sebagai ilmu dalam

menjalani hidup, hal itu juga dijadikan

sebagai tantangan dan pembelajaran diri

bagi subjek.

xvii

Pembahasan 1. Gambaran spiritualitas pada subjek Menurut Elkins, dkk (1988) sembilan komponen spiritualitas dari individu yang spiritual adalah sebagai berikut : a. Dimensi transenden Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Konten aktual dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap Tuhan atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan konten yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora. Namun, pada intinya penggambaran tersebut akan menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu yang lebih dari sekedar hal-hal kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa perlunya menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut : Subjek memiliki kepercayaan kepada Tuhan, dilihat dari ibadah yang selalu subjek lakukan, seperti shalat dan mengerjakan setiap perintah Allah SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya. Karena subjek merasa itu merupakan perintah dari Tuhannya yang harus dilaksanakan. Salah satu bentuk pembuktian subjek akan kepercayaannya itu yang terutama adalah shalat 5 waktu, baik itu ada yang mengawasi ataupun tidak. Subjek juga percaya bahwa Tuhan itu ada melalui setiap ciptaan dan juga kekuasaan-Nya yang diperlihatkan di muka bumi, subjek berpikir bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi

ada yang membuatnya dan tidak mungkin terbentuk dengan sendirinya. b. Makna dan tujuan dalam hidup Individu yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Dasar dan konten dari komponen ini bervariasi namun memiliki kesamaan yaitu bahwa individu yang spiritual memenuhi eksistensinya dengan keyakinan bahwa hidup memiliki makna yang dalam dan bahwa eksistensi individu di dunia memiliki tujuan. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut : Subjek memahami akan tujuan hidupnya, ia mengartikan hidup sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan, yang menurutnya tujuan tersebut adalah akhirat. Subjek juga beranggapan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut (akhirat) ada banyak jalan yang harus dilalui untuk mencapai kesana, tergantung dari jalan apa yang kita pilih selama di dunia. c. Misi hidup Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasa akan adanya takdir yang harus dipenuhi. Dalam komponen makna dan tujuan hidup, individu mengembangkan pandangan akan hidup yang didasari akan pemahaman akan adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan

xviii

tergerak untuk memenuhi misi tersebut. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut : Subjek merasa memiliki tanggung jawab di dalam hidupnya, terutama untuk membahagiakan kedua orang tuanya, yaitu dengan mendapatkan pekerjaan yang baik, sehingga mampu memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya itu. Setiap masalah yang terjadi di dalam hubungannya dengan orang lain, subjek akan mendahulukan keluarganya. Keinginan subjek dalam hidupnya yang terutama adalah untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Saat ini subjek berusaha untuk mengurus mereka dengan sebaik-baiknya, sampai akhirnya subjek tidak dapat lagi bersama mereka. Selain itu, subjek juga ingin nantinya dapat memiliki pasangan hidup, sehingga mampu bertanggung jawab untuk keluarganya nanti. Subjek menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sangat penting, yang menurutnya adalah ladang untuk menanam, sedangkan hasilnya akan subjek terima di akhirat kelak. d. Kesakralan hidup Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal dalam hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomis seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal keduniaan. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai

berikut : Subjek menghargai setiap hal yang ada di dalam kehidupan melalui pengalaman yang subjek dapat selama hidup. Dari pengalaman tersebut, subjek menjadikannya sebagai ilmu di dalam kehidupan sehari-hari dan mampu untuk tidak mengotori hidupnya dengan hal-hal yang negatif. Salah satu caranya adalah dengan memilih pergaulan yang positif dan menjalankan ibadah seperti shalat 5 waktu yang dapat membuat subjek mampu menghindari hal-hal yang dapat mengotori hidupnya dengan hal-hal yang negatif. Hal itu subjek tunjukkan melalui perilakunya pada saat mengajar, subjek tidak mau menghukum siswanya seenaknya, namun subjek berusaha untuk sabar atau bersikap tegas apabila ada siswa yang melakukan kenakalan. Karena menurutnya, perilaku yang buruk tidak seharusnya untuk dibalas dengan keburukan pula. e. Nilai-nilai material Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang, namun tidak mencari kepuasan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut : Subjek akan bahagia apabila tujuan-tujuan hidupnya telah berhasil diraih, baik itu tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Subjek tidak

xix

memungkiri bahwa nilai materi seperti uang juga dapat membuatnya bahagia, meski subjek merasa itu bukanlah suatu bentuk kebahagiaan yang mutlak. Subjek merasa bahwa setiap manusia pasti membutuhkan uang (materi), namun subjek menjadikan hal tersebut segabai faktor yang kesekian di dalam hidupnya dan menjadikan kepuasan batin sebagai hal yang paling utama. Maksud dari kepuasan batin itu menurut subjek adalah ibadah yang dilakukan kepada Allah, meskipun tidak memiliki materi subjek tidak merasa gelisah karena Allah akan memberikan rezeki-Nya melalui jalan apapun. Karenanya subjek merasa cukup dengan apa yang subjek miliki meski hidup seadanya. f. Altruisme Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab komunal dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya. Mereka meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini kerap dipicu oleh sensitivitas mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut : Subjek menganggap manusia sebagai makhluk sosial, sehingga orang lain bagi subjek memiliki ketergantungan satu sama lain, yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan adanya kehadiran atau bantuan dari orang lain. Subjek selalu berusaha untuk bersikap ramah pada orang lain, baik itu kenal ataupun

tidak. Orang lain menurut subjek adalah seperti berkaca pada diri sendiri, yaitu apabila dia menghargai orang lain sama seperti dia menghargai dirinya sendiri. Hubungan subjek dengan orang lain pun terbilang cukup baik, meski intensitasnya tidak selalu bisa berbaur dengan orang lain, karena subjek sendiri lebih sering berada di rumah. Namun untuk hubungannya dengan teman, subjek berhubungan baik dengan mereka. Apabila ada yang membutuhkan pertolongan pada subjek, subjek akan langsung meresponnya apabila waktu subjek memungkinkan. Subjek juga akan membantu setiap orang yang membutuhkan bantuannya sesuai dengan kemampuan. Tindakan nyata yang pernah subjek lakukan untuk sesama yaitu membantu mengajar di pesantren yang merupakan sekolahnya dulu, lalu juga mengadakan program pengajaran bagi remaja masjid di sekitar rumahnya. g. Idealisme Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa yang terlihat sekarang, namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya masing-masing. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut : Subjek menganggap bahwa semua orang memiliki potensinya masing-masing.

xx

Potensi yang ia miliki terutama dalam bidang komputer akan menjadi ladang amal yang akan dibawa sampai mati disebabkan ilmu yang dimiliki di bidang tersebut. Subjek juga termasuk seseorang yang akan berusaha di dalam mencapai sesuatu yang subjek targetkan, seperti saat diharuskan untuk mencari materi dalam mengajar. h. Kesadaran akan peristiwa tragis Individu yang spiritual menyadari akan perlunya tragedi dalam hidup seperti rasa sakit, penderitaan, atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka dapat lebih menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya sebagai alat yang akan membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya dalam hidup. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut : Saat mengalami suatu peristiwa yang dirasa menyedihkan, subjek mengalami saat dimana ia tidak melakukan aktivitas, namun subjek merasa hal itu tidak akan mengubah kesedihannya semakin baik, karenanya subjek kembali melakukan aktivitas dan menganggap hidup harus terus berjalan. Dengan melalui proses berjalannya waktu, baru setelahnya subjek mampu bangkit kembali dari rasa sedihnya dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai salah satu tantangan dan pembelajaran diri. Juga dengan mengadu kepada Allah SWT di setiap subjek mengalami sesuatu, maka subjek dapat kembali bangkit menjalani hidup, dan subjek sadar bahwa Allah SWT lah yang menentukan hidup, sehingga subjek yakin semuanya yang terjadi adalah kebaikan bagi dirinya.

i. Buah dari spiritualitas Komponen terakhir merupakan refleksi atas kedelapan komponen sebelumnya dimana individu mengolah manfaat yang dia peroleh dari pandangan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam komponen ini individu menilai efek dari spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan relasinya dengan diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai sosok transenden. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek dan significant other, maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut : Subjek merasakan banyak manfaat yang ia dapat dari ibadah yang selama ini dilakukan, di antaranya ketenangan hati dan usaha yang dilakukan akan lancar. Menurut subjek, setiap melakukan sesuatu apabila kita dekat dengan Allah, maka semua itu dapat dilalui dengan mudah. Dalam kehidupan keseharian, terutama hubungan subjek dengan orang lain, subjek berusaha menjaga setiap perilakunya, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. 2. Hal-hal yang dapat menyebabkan spiritualitas pada subjek Schreurs (2002) menjabarkan spiritualitas sebagai proses perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek, di antaranya : a. Aspek eksistensial Dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri pada tahap eksistensial.

xxi

Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut: Dalam hal ego, subjek terlebih dahulu melihat seberapa layaknya kepentingan seseorang yang lebih patut untuk didahulukan. Apabila orang tersebut memang sangat butuh untuk didahulukan, maka subjek akan mementingkan orang tersebut terlebih dahulu dibandingkan dengan dirinya. Menurut subjek, setiap orang memiliki sifat egoisnya masing-masing. Cara subjek untuk tidak egois adalah dengan membayangkan seolah-olah dirinya yang sedang dihadapkan pada situasi orang lain atau mengingat-ingat segala kebaikan yang pernah dilakukan oleh orang lain pada subjek. Sehingga dari situ subjek dapat berpikir dahulu sebelum bertindak, sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Subjek menjadikan karate sebagai aktivitas yang menunujukkan jati dirinya. b. Aspek kognitif Yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut. Disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut:

Subjek terkadang suka membaca buku keagamaan untuk memenuhi pengetahuannya. Biasanya subjek sehabis shalat Maghrib selalu membaca Al-Qur’an, seperti saat masih berada di tempat kost. Dari membaca Al-Qur’an tersebut, subjek menjadikannya sebagai acuan atau pedoman untuk bertingkah laku sehari-hari. Karena menurut subjek, Al-Qur’an merupakan pedoman di dalam kehidupan kesehariannya.dengan membaca kitab suci (Al-Qur’an) terlebih pada saat menghadapi suatu masalah, subjek akan merasa lebih mudah untuk memahami isi dari kitab suci tersebut, setelahnya subjek akan menyerapnya dan menjadikannya sebagai acuan bagi perilakunya di keseharian. Karena bagi subjek Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang mencakup keseluruhan yang ada di dunia maupun akhirat. c. Aspek relasional Merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan (dan/atau bersatu dengan cinta-Nya). Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan. Berdasarkan data dan teori, juga berdasarkan hasil wawancara dengan subjek maka di peroleh hasil penelitiannya sebagai berikut: Subjek mengartikan ibadah sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan diri pada sang pencipta, sekaligus sebagai fitrah akan kebutuhan pada sang pencipta. Sehingga di saat menjalankan ibadah shalat, subjek merasakan suatu ketenangan karena merasakan kedekatan dengan sang pencipta, karena subjek menganggap ibadah adalah cara untuk berhubungan dengan Tuhan dan merupakan makanan batin yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan keji dan munkar, sehingga subjek merasakan

xxii

kedekatan apabila sedang melaksanakan shalat dan menjadi lebih berhati-hati dalam setiap tindakan. Karenanya subjek merasa ibadah itu sebagai hal yang amat penting yang tidak dapat dipisahkan. Meski kadangkala subjek tidak selalu dapat menjalankan ibadah shalatnya tepat waktu. Subjek berupaya mempertahankan hubungannya dengan Allah SWT melalui kajian-kajian keIslaman yang selama ini subjek ikuti, sehingga subjek tidak hanya memikirkan hal keduniawian saja. 3. Dampak yang diperoleh subjek dari spiritualitas yang subjek miliki 1. Subjek merasakan banyak sekali dampak yang didapat di dalam hubungannya dengan Allah SWT, di antaranya subjek dapat menjaga setiap tindakan yang hendak dilakukan, menjaga hubungan baik dengan orang lain, dan menjaga akhlak yang dimiliki. 2. Dampak yang didapatkan oleh subjek dalam hal prestasi pendidikan di antaranya; lebih terpacu untuk belajar dan menyerahkan setiap usaha dan doa hanya kepada Allah di saat meminta atau menginginkan prestasi yang baik. Jadi subjek memperoleh dampak spiritualitasnya melalui usaha, ikhtiar, dan doa yang subjek lakukan. Dengan hanya pasrah sepenuhnya pada Allah SWT dan memiliki kedekatan yang baik, subjek dapat memperoleh hasil yang terbaik di dalam bidang akademisnya. 3. Subjek juga merasakan dampak dari pencarian jati dirinya, yaitu petunjuk dari Allah SWT yang membuat subjek menjadi tahu akan jati dirinya melalui shalat istikharah yang subjek lakukan, karena subjek merasa bahwa hanya Allah SWT saja yang tahu akan menjadi manusia yang seperti apa ia nantinya, subjek menggantungkan semua itu karena subjek yakin bahwa hanya Allah SWT yang tahu apa yang terbaik

bagi dirinya. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan mengenai gambaran spiritualitas pada subjek yang merupakan lulusan dari pesantren yang terlihat dari pembuktian akan keyakinan subjek terhadap keberadaan Tuhan melalui ibadah yang dilakukan sebagai bagian dari bentuk keyakinannya. Subjek mengartikan hidup sebagai suatu proses mencapai tujuan, dimana dari hal tersebut menjadikan subjek bersemangat dalam menjalani hidup. Untuk mencapai misi hidupnya subjek berupaya membawa agama sebagai tuntunan hidupnya, baik itu dalam kehidupan sehari-hari, dalam beribadah, dan berhubungan sosial di masyarakat, serta yang terutama ialah dalam berhubungan dengan Tuhan.

Hal-hal yang mempengaruhi spiritualitas pada subjek yaitu di antaranya, aspek eksistensial, dimana subjek mampu mengendalikan ego yang dimiliki dengan lebih mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan dirinya. Di dalam proses pencarian jati dirinya, subjek mampu memilih mana yang baik untuk ke depannya. Sedangkan dalam aspek kognitif yang ditandai melalui usaha subjek untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta yaitu dengan membaca kitab suci Al-Qur’an dan memahaminya, sehingga menjadi acuan subjek dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Lalu untuk aspek relasional, subjek berupaya mengembangkan, mempertahankan, dan memperdalam hubungannya dengan Tuhan dengan meluapkan semua masalah yang dihadapinya dan menjalani hidup dengan baik.

Dampak yang diperoleh subjek

xxiii

dari spiritualitas yang subjek miliki dilihat dari hasil wawancara dan hasil observasi, dapat disimpulkan bahwa subjek memperoleh dampak di antaranya mampu menjaga semua perilaku yang subjek lakukan, terutama dalam berhubungan sosial. Lalu subjek juga mampu mencapai hasil yang terbaik di bidang akademisnya melalui motivasi yang dimiliki dengan berusaha, ikhtiar, dan berdoa. Hal tersebut jsecara tidak langsung membuat subjek mampu untuk memiliki jati diri yang baik. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: a. Untuk Subjek Setelah didapatkan gambaran spiritualitas pada subjek yang merupakan mahasiswa lulusan dari pesantren, diharapkan agar subjek mampu meningkatkan ibadahnya dalam upaya mendekatkan diri dan menjaga hubungannya dengan Allah SWT. Dalam berhubungan dengan lingkup sosial menjadi lebih baik lagi, begitu pula dalam hal pertemanan. Diharapkan juga subjek dapat terus berusaha mencapai tujuan hidupnya dalam membahagiakan orang tuanya, yang nantinya jika subjek berhasil lulus kuliah dan mampu menyeimbangkan dengan waktu mengajar, sehingga apa yang sudah subjek angankan dapat terwujud. Selain itu, selalu jaga perilaku yang baik yang sudah tetap terjaga dari subjek kecil, jangan sampai berubah yang nantinya justru tidak hanya mengecewakan dan merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain di sekitar subjek. Serta pertahankan kualitas hubungan yang sudah baik dengan Allah SWT agar nantinya target untuk ke depannya dapat terwujud. b. Untuk Keluarga Subjek

Diharapkan orangtua subjek tidak hanya membimbing subjek dalam kualitas spiritualnya, tetapi juga bersama-sama membangun spiritualitas dalam lingkungan keluarga, agar dapat terbentuk suatu keluarga spiritual yang dapat menjadi contoh bagi setiap orang. c. Untuk Penelitian Selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi kepribadian untuk menambah kajian spiritualitas pada mahasiswa lulusan pesantren dan diharapkan dapat dipakai sebagai pedoman dan rujukan dalam melakukan penelitian secara lebih lanjut. Untuk selanjutnya, penulis mengajukan usulan penelitian yaitu mengenai spiritualitas pada penderita stress pascatrauma. DAFTAR PUSTAKA Anwar, D. (2001). Kampus lengkap

Bahasa Indonesia. Surabaya: Putra Harsa

Arifin H.M., M. Ed. (2000). Kapita

selekta pendidikan Islam dan umum. Jakarta: Bumi Aksara.

Basrowi, M. & Suwandi. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Jakarta : Rineka Cipta

Castles, L. (1966) Notes on the Islamic

School at Gontor, Indonesia, Vol. 1, No. 1, hl.30-45.

Dhofier, Z. (1994). Tradisi pesantren:

suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren. Jakarta: INIS

Dwiastoro, A . (2006). Artikel :

spiritualitas perkotaan. www.kompas.com

Elkins, D. N., Hendstrom, L. J., Hughes,

xxiv

L. L. (1988). Toward a humanistic-phenomenological spirituality : definition, description, and measurement. Journal of humanistic Psychology

Faizin. Artikel : Agama dan fenomena

kemajemukan sosial. Edisi 34 Th. XIX 2009. Justisia

Friel, J.C., Ph.D & Friel, L.D., M.A.

(2003). Tujuh kesalahan terbesar orang tua dan cara-cara memperbaikinya. Bandung : Kaifa

Hakim, L. (2008): Arah pengembangan

pendidikan pesantren dalam bingkai sistem pendidikannasional http://www.tajdid-iaid.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=33&Itemid=1

Halim, A. (2010). Apa itu santri?.

www.imtaq.com/apa-itu-santri/ Hamruni. (2010). Mengembangkan

dimensi spiritual. Jurnal Online http://uin-suka.info/ejurnal

Hartati, N. dkk. (2004). Islam dan

psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Heru Basuki, Dr. A. M. (2006).

Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta : Universitas Gunadarma

Hill, P. C. et al. (2000). Conceptualizing

religion and spirituality : points of commonality, points of departure. Journal for The Theory of Social Behaviour

Hurlock, E. B. (1980). Developmental psychology (5th. ed). Jakarta : New Delhi. Mc Graw-Hill

Indira, P. (1979). Aspirasi karir pada

mahasiswa. Depok : Fakultas Psikologi UI

Inspirasi Kampus Islami. (2010). Cerdas

spiritual http://www.matimsyazone.co.cc/2010/01/cerdas-spirtual.html

Kartono, K. (2001). Pemimpin dan

kepemimpinan. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.

Maksum, M. (1999). Madrasah, sejarah

dan perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Malini, H. dkk. (2009). ARTIKEL

ILMIAH : Hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat di RS. DR. M. Djamil Padang. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas : Padang

Mastuhu. (1994), Dinamika sistem

pendidikan pesantren. Jakarta: INIS, hal.58.

Muhlis, I. (2005). Jangan

mengkambinghitamkam pesantren. Jawa Pos. Senin 5 Desember 2005.

Nawawi. (2006). Sejarah dan

perkembangan pesantren. Jurnal Studi Islam dan Budaya (Ibda`) Vol. 4 | No. 1 | Jan-Jun 2006 |4-19. P3M STAIN : Purwokerto

Prasetyo, F. (2009). Mahasiswa ideal

dan idealisme mahasiswa

xxv

http://firmanadiprasetyo.com/2009/07/mahasiswa-ideal-dan-idealisme-mahasiswa.html

Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan

kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Rankin, P. (2005). Buried spirituality : a

report on the findings of the fellowship in the spirituality of young people based at sarum college, Salisbury. Salisbury : Sarum College Press

Riyanti, dkk. (1996). Psikologi umum 1.

Jakarta : Penerbit Gunadarma. Sangkan, A. (2008). Ensiklopedia Islam

“ indahnya shalat “. Kajian METRO TV.

Schreurs, A. (2002). Psychoterapy and

spirituality : integrating the spiritual dimension into therapeutic practice. London : Jessica Kingsley Publishers

Selman, V. et al. (2005). Spiritual-

Intelligence/-Quotient. College Teaching Methods & Styles Journal. Amerika

Sujari. (2007). Pendidikan pondok

pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia. Jember : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember

Supardan. (1972). Mahasiswa dan

kemahasiswaan. Jakarta : Bpk

Gunung Mulya Supriyono, I. (2006). FSQ, memahami,

mengukur, dan melenjitkan financial spiritual quotient untuk keunggulan diri, perusahaan & masyarakat. Surabaya: Lutfansh

Taha, Z. (1991). Keberadaan pesantren dalam system pendidikan nasional. Alumni : Jurnal Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni. Volume 1 No.2, Agustus 2002 halaman 63-72

Thobieb. (2010). Ego spiritual orang

saleh http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2093:ego-spiritual-orang-saleh&catid=49:artikel&Itemid=79

Wahid, A. (2001). Menggerakkan

tradisi: esai-esai pesantren. LkiS : Yogyakarta.

Yusuf, S. (2002). Psikologi

perkembangan remaja. Jakarta : Pustaka Utama.

Zohar, D. & Marshall, I. (2000). SQ:

Spiritual intelligence, the ultimate intelligence. Bloomsbury Press : New York. http://www.kumpulberita.com/2010/06/3-penyakit-spiritual-yang-menular-must.html

xxvi