absess leher dalam

Upload: mutiarasartikasuhardi

Post on 06-Jan-2016

262 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Abses ronggo leher dalam

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangSejak di temukan dan berkembangnya antibiotika maka penyakit infeksi pada ruang leher, angka morbiditas dan mortalitasnya menjadi menurun. Namun infeksi pada ruang leher atau infeksi pada leher dalam ini masih kerap terjadi. Hal ini didukung dengan penyalahgunaan obat (drug abuser) yang sering menyuntikkan langsung ke pembuluh darah leher. Selain karena penyalahgunaan obat , infeksi faringotonsilar dan odontogenik juga sering menjadi penyebabnya. Namun, sekitar 22-50% pasien dengan infeksi leher dalam penyebabnya masih belum dapat diketahui pasti. Pengetahuan tentang infeksi leher dalam perlu diketahui dengan baik karena abses yang terjadi akibat infeksi leher dalam ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang bahkan bersifat mengancam nyawa penderita. Komplikasi dari infeksi leher dalam tersebut antara lain seperti perdarahan, asfiksia, disfagia, serta mediastinitis bahkan dapat sampai kanker leher. Selain itu komplikasi yang paling berbahaya dari abses akibat infeksi leher dalam ini adalah tersumbatnya saluran pernafasan akibat tertutup oleh massa abses tersebut, apabila pecah, abses akibat infeksi leher dalam ini juga dapat menyebabkan aspirasi pus pada pasien. Bakteri penyebab dari infeksi leher dalam paling sering masuk melalui infeksi di gigi atau odontogenik , infeksi tonsil dan melalui faring. Dalam angka insidensi yang lebih jarang, sumber infeksi lain adalah infeksi pada kelenjar ludah dan infeksi saluran nafas atas lain.Pemberian antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur bakteri penyebab abses pada rongga dalam leher merupakan terapi utama untuk pasien yang menderita abses leher bagian dalam. Namun penggunaan antibiotika dalam jangka panjang atau lama dapat menyebabkan pembentukan abses yang tersembunyi, dimana keadaan ini tidak ditemukan adanya gejala-gejala sistemik serta pemeriksaan kultur darah maupun pus abses akan menjadi negatif.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Leher

Leher dikelilingi oleh kulit yang melekat pada jaringan di bawahnya yaitu fascia profunda melalui fibrofatty tissue atau fascia superfisialis. Selain jaringan lemak subkutan pada fasia superfisialis juga terdapat pembuluh darah dan saraf superfisialis. Semua fascia yang berada dibawah fascia superfisialis adalah fascia profunda. Sebagian fascia profunda tanpa jaringan lemak. Hal ini menyebabkan tingkat ketebalan fascia dalam berbeda pada setiap area. Dibawah fascia superfisial dan fascia profunda terdapat ruang potensial yang memisahkan fascia servikalis superfisial dengan fascia servikalis profunda sehingga memungkinkan terjadinya pergerakan bebas dari kulit dan fascia superfisial dan struktur dibawahnyaFascia profunda dibagi menjadi 3 sub bagian :1. Lapisan superfisialis fasia profunda leherLapisan superfisialis ini berbeda dengan fascia superfisialis yang telah dijelaskan sebelumnya. Lapisan ini, yang merupakan bagian dari fascia leher dalam, adalah berupa jaringan fibrosa pada leher yang meliputi 2 kelenjar yaitu kelenjar parotis dan kelenjar submandibular, 2 otot yaitu m. Trapezius dan m. Strenocleidomastoideus.

2. Lapisan media fasia profunda leherLapisan media dibagi menjadi dua bagian :a. Lapisan ototLapisan ini melekat pada bagian superior os hyoid dan tulang rawan tiroid serta ke bagian inferior sternum, klavikula dan scapula.

b. Lapisan viseralBagian viseralnya mengelilingi trakea, esophagus dan kelenjar tiroid. Bagian ini juga meluas sampai ke thorax di sekitar trakea dan esophagus dan menyatu dengan pericardium. Oleh karena itu, infeksi antara bagian otot dan visera pada fasia profunda dapat meluas sampai ke mediastinum.3. Lapisan dalam fasia profunda leherTerdiri atas:a. Fascia prevertebraTerletak di sebelah anterior dari vertebra dan meluas ke arah lateral sampai ke otot prevertebra. Merupakan pembentuk dinding posterior danger space .b. Fascia alarTerletak diantara fascia prevertebra dan bagian visceral dari lapisan media fascia leher profunda. Fascia alar merupakan pembentuk dinding posterior rongga retrofaring dan dinding anterior danger space.

Gambar 2. Potongan melintang leher setinggi thiroid

Gambar 3. Potongan midsagital pada leher

Ruang Ruang Yang Meliputi Sepanjang Ruas Leher :1. Ruang RetrofaringealRuang retrofaringeal merupakan ruang yang terdapat tepat di sebelah posterior faring yang dibatas oleh fascia otot dan facial alar. Ruang ini terbagi dua, kiri dan kanan yang di pisahkan oleh garis tengah raphe tempat melekatnya otot konstriktor.

2. Danger spaceRuang ini terletak diantara ruang retrofaringal dan ruang prevertebra dan dipisahkan oleh lapisan dalam fasia profunda leher yaitu fascia alar dan fascia prevertebra. Abses pada ruang ini berisiko menyebar ke bagian dasar tengkorak maupun mediastinum posterior.

3. Ruang prevertebraRuang ini merupakan ruang yang terdapat tepar pada bagian anterior vertebra dan posterior dari lapisan prevertebra pada fascia profunda leher.

4. Ruang vaskular dalamRuang vaskular dalam terletak di dalam selubung karotis yang terdiri dari arteri karotis, vena jugular interna,nervus vagus.

Gambar 4. Potongan melintang leher setinggi orofaring.1. Ruang faringomaksila; 2. Ruang vascular dalam; 3. Ruang retrofaringal; 4. Danger space; 5. Ruang prevertebra; AD Alar Division PD Prevertebral Division

Ruang Diatas Tulang Hyoid1. Ruang parafaringRuang ini disebut juga ruang pharyngeal lateralis, parapharyngeal atau perypharyngeal. Bentuk anatomis ruangan parafaring ini analog dengan bentuk pyramid terbalik yang terletak di dinding lateral leher kiri dan kanan. Batas anatomis dari ruang parafaring ini adalah dasar dari ruang ini terletak pada dasar tengkorak, bagian apeks atau puncak piramid dari ruang ini terletak pada kornu mayor tulang hyoid. Sedangkan bagian medial dari ruang ini dibatasi oleh fasia visceralis dari fasia profunda leher dan bagian lateralnya dibatasi oleh fasia superfisial dari fasia profunda leher. Ruang parafaring dibagi dua : ruang prestyloid dan poststyloid yang berbeda secara patologi. Bila terjadi infeksi pada ruang ini maka gejala klinis yang sering kali ditimbulkan adalah trismus.2. Ruang SubmandibularRuang ini terletak diantara mukosa dasar mulut dan lapisan superfisialis dari fasia profunda leher. Bagian inferior dari ruang submandibular dibatas oleh os hyoid dan os mandibula sebagai batas anterior dan lateral. Bagian posteriornya terdiri atas otot lidah. Ruang ini dipisahkan oleh m. Mylohyoid menjadi ruang sublingual di superior dan ruang submaksilaris di inferior. Seluruh kompartemen terletak antara dasar mukosa mulut dan fascia servikalis profunda lapis superfisial.Ruang Submandibular dibagi 2 oleh m. Mylohyoid menjadi:a. Ruang sublingual (superior) berisi kelenjar sublingual.Pada ruang sublingual terdapat duktus Wharton yang terdiri dari kelenjar saliva sublingual dan nervus hypoglosus. Hal ini menjelaskan gejala klinis pada Ludwig angina menyebabkan naiknya dasar mulut dan pembengkakkan pada area submandibula dan submental. Infeksi odontogenik juga meluas sampai ke ruang ini.b. Ruang submaksila (inferior) berisi kelenjar submandibular dan kelenjar getah bening

3. Ruang mastikatorRuang ini terletak di anterior dan lateral dari pharyngomaxillary space dan di inferior dari ruang temporal. Lapis superfisial dari fascia servikalis dalam terpecah untuk mengelilingi mandibula sehingga membentuk ruang potensial ini dan menutupi otot mastikator. Ruang ini berisi : M. Masster, M. Pterygoid internal dan eksternal, Ramus dan corpus mandibula, Tendo m. Temporalis, N. Alveolaris inferior, A.Alveolaris inferior

4. Ruang peritonsilarRuang ini terletak di lateral kapsul tonsil hingga bagian medial dari otot konstriktor superior. Palatoglosus dan Palatopharingeus yang merupakan pilar faring anterior dan posterior, merupakan batas anterior dan posterior ruang peritonsilar ini. Inflamasi dari ruang ini disebut peritonsilitis dan dapat membentuk abses atau quinsy. Pus juga dapat menyebar dari ruangan ini ke ruang parafaring yang akan menimbulkan gejala berupa trismus.

5. Ruang ParotisFascia servikalis profunda lapis superficial terpecah untuk membungkus kelenjar parotis dan kelenjar-kelenjar limfe di sekitarnya membentuk ruang parotis. Ruang ini berisi : A. Carotis eksterna, V. Fasialis posterior, N. Fasialis, Limfonodus

6. Ruang temporalRuang ini terletak diantara fascia temporalis di lateral dan di medial dengan periosteum os. Temporal. M. temporalis membagi ruang ini menjadi superficial, profunda dan arteri maksilari interna terletak di dalamnya.Ruang Ruang di bawah Os Hyoid1. Anterior Visceral SpaceRuang viseral anterior ini juga disebut ruang pretrakea dan terletak di anterior leher dari kartilago tiroid turun sampai ke mediastinum superior setinggi vertebra torakal 4, dekat arkus aorta. Ruang ini mengelilingi trakea dan berisi kelenjar tiroid dan paratiroid.

2. Ruang suprastrenalRuang suprasternal terletak di atas sternal notch diantara klavikula dimana lapisan superficial dari fascia leher profunda terpisah di lapisan ini.

Gambar 5. Potongan oblik daerah leher yang menunukkan rongga-rongga di leher di atas tulang hyoid.2.2. Abses Leher Dalam2.2.1 EtiologiSumber infeksi dan gambaran klinis abses leher dalam berbeda pada anak dan dewasa. Pada era pre-antibiotik, 70% infeksi berasal dari faring dan tonsil. Pada anak infeksi faring dan tonsil masih sering terjadi. Intervensi dengan menggunakan antibiotik telah menurunkan angka kejadian infeksi pada saluran napas atas yang merupakan sumber utama infeksi leher dalam pada dewasa. Akibatnya, pada pasien dewasa, sumber infeksi lebih sering merupakan suatu penyebaran infeksi secara langsung dari infeksi odontogenik ataupun infeksi kelenjar liur daripada infeksi dari faring. Penyalahgunaan obat intravena dan injeksi vena jugular pada tempat yang terkontaminasi, termasuk dalam risiko yang mungkin menyebabkan infeksi leher dalam. Bakteri penyebab infeksi maupun abses leher dalam dapat merupakan bakteri aerobic maupun bakteri anaerobic. Diantara organisme aerobic, Streptococcus viridians dan beta hemolitik streptokokus dan stafilokokus sering ditemukan di abses dengan predisposisi penggunaan obat-obatan terlarang. Pada pasien anak dengan usia kurang dari 9 bulan, Staphylococcus aureus merupakan organisme yang paling banyak ditemukan pada abses berada di segitiga leher anterior dan posterior. Bakteri tersebut ditemukan pada 80% kasus ini.2.2.2. Jenis Abses Leher Dalam 2.2.2.1 Abses RetrofaringealDefinisiAbses retrofaring merupakan abses leher dalam yang paling sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 5 tahun. Abses retrofaring merupakan abses yang terbentuk di rongga retrofaring yaitu rongga yang terletak persis di belakang faring, mulai dari basis cranii hingga sepanjang faring. Rongga ini sebenarnya terdiri dari dua sisi yaitu kanan dan kiri yang dipisahkan oleh raphe, tempat melekatnya otot konstriktor superior faring. Abses pada rongga retrofaringeal sering terjadi pada anak-anak karena adanya kelenjar limfe yang akan mengalami atrofi pada saat anak berumur 5 tahun, sehingga setelah kelenjar limfe tersebut mengalami atrofi, penyebaran infeksi ke ruang retrofaringeal ini akan berkurang insidensinya. Sebelah anterior dari rongga retrofaring dibatasi oleh fasia buccopharyngeal, yaitu fascia yang membungkus faring, trakea, esofagus, dan tiroid. Sebelah posterior rongga ini dibatasi oleh fascia alaris yang membatasi rongga ini dari danger space. Sebelah lateral dibatasi oleh rongga parafaring dan selubung arteri carotis. Superior dibatasi oleh basis cranii, dan inferior dibatasi oleh mediastinum pada tingkat bifurkasi trakea.EtiologiInfeksi saluran pernapasan atas yang menyebar hingga ke kelenjar limfe di rongga retrofaring merupakan penyebab paling sering terjadinya abses retrofaring. Infeksi ini dapat berasal dari infeksi di faring, tonsil, adenoid, sinus paranasal dan kelenjar limfe servikal. Penyebab lain selain infeksi adalah terjadinya trauma, benda asing pada daerah nasofaring maupun tindakan-tindakan medis yang bersifat invasif seperti intubasi endotrakeal, operasi, laringoskopi, dan endoskopi. Pada orang dewasa, abses disebabkan oleh adanya infeksi tuberkulosis. Bakteri yang paling sering ditemukan adalah dari golongan gram positif yaitu Streptococcus viridians, Stretococcus beta hemolitikus, dan Staphylococcus aureus. Manifestasi KlinisPasien yang menderita abses retrofaring, terutama pada pasien anak, akan memberikan gambaran gejala-gejala yang tidak spesifik seperti demam, malaise, berkurangnya nafsu makan dan menjadi lebih rewel. Pasien sering kali juga mengeluhkan adanya nyeri tenggorokan, sulit menelan dan sakit, serta kaku pada leher. Dapat juga terjadi sumbatan jalan nafas yang dapat membahayakan nyawa pasien.Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya febris, adanya disfonia berupa hot potato voices, leher yang kaku, limfadenopati servikal. Pada inspeksi cavum oral akan didapatkan adanya penonjolan di dinding posterior faring. Penonjolan ini biasanya terletak agak ke lateral, tidak di garis tengah, karena kelenjar limfe terletak di sebelah lateral.

Gambar 6. Penonjolan dari dinding posterior orofaring.

Tabel 1. Gejala dan Tanda Abses Retrofaring

Gejala dan tandaInsiden (%)Lebih sering pada anak 7mm pada vertebra servikal 2, dan pada vertebra servikal 6 penebalannya >14mm pada anak dan >22mm pada dewasa, dianggap sebagai suatu keadaan abnormal, yang menimbulkan kecurigaan adanya abses. Gambaran lain yang dapat ditemukan ialah berkurangnya kelengkungan lordosis fisiologis dari vertebra. Pemeriksaan radiologi lainnya yaitu CT Scan dengan menggunakan kontras merupakan modalitas pemeriksaan penunjang yang sensitif untuk menemukan suatu infeksi maupun abses pada leher dalam. Abses pada CT Scan akan memberikan gambaran area hipodens homogen, dengan daerah menyengat kontras berupa cincin. Sedangkan selulitis akan memberikan gambaran pembengkakan jaringan lunak dengan tepi rata tidak beraturan.

Gambar 7. CT scan leher potongan axial : abses retrofaringKomplikasiKomplikasi dari abses retrofaring ini jarang terjadi, namun biasanya cukup serius dan memberikan morbiditas yang tinggi. Komplikasi dari abses ini dapat terjadi karena efek massa, pecahnya abses, maupun penyebaran dari infeksi. Efek massa dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas yang terletak tepat di anterior dari rongga ini. Obstruksi saluran nafas merupakan komplikasi paling darurat sehingga harus diperhatikan. Adanya bunyi nafas stridor, air liur menggumpal di rongga mulut, merupakan tanda-tanda awal terobstruksinya saluran. Pecahnya abses dapat menyebabkan terjadinya asfiksia maupun pneumonia aspirasi. Abses ini dapat pecah secara spontan ataupun akibat tindakan seperti pemeriksaan fisik, atau intubasi.

2.2.2.2 Abses PeritonsilDefinisiAbses peritonsil merupakan abses yang terbentuk di ruang peritonsil. Ruang peritonsil ini terletak di lateral dari kapsul dari tonsila palatina dan medial muskulus konstriktor superior dari faring. Ruangan ini dibatasi oleh muskulu.

Etiologi dan PatofisiologiMikroorganisme penyebab abses peritonsil biasanya lebih dari satu jenis. Mikroorganisme ini mirip dengan mikroorganisme penyebab tonsillitis akut maupun kronis. Mikroorganisme penyebab abses peritonsil ini paling sering berasal dari golongan bakteri aerob gram positif. Bakteri gram negative dan anaerob juga ditemukan sebagai penyebab abses peritonsil. Bakteri gram positif yang paling sering ditemukan sebagai penyebab tonsiliti maupun abses peritonsil adalah Group A beta-hemolytic streptococci. Bakteri gram negatif yang sering ditemukan antara lain pseudomonas, enterobacter, haemophilus, dan klebsiella. Mikroorganisme anaerob yang ditemukan sebagai penyebab abses peritonsil antara lain dari gologan bacteroides dan pepstosreptococcus.

Manifestasi klinisManifestasi klinis pasien dengan abses peritonsil yaitu demam, malaise, nyeri tenggorokan, sulit atau sakit ketika menelan, nyeri telinga atau otalgia. Nyeri tenggorokan terutama dirasakan pada sisi yang mengalami abses diikuti dengan nyeri telinga pada sisi ipsilateral.Pada pemeriksaan fisik akan sering ditemukan adanya trismus yakni pasien mengalami kesulitan dalam membuka mulutnya. Trismus menandakan adanya peradangan dan spasme dari otot masticator, serta adanya peradangan di daerah dinding faring lateral dan muskulus pterygoid. Terdapatnya pembengkakan unilateral di daerah peritonsil dan palatum molle disertai dengan edema uvula yang menyebabkan tonsil terdorong ke arah medial dan inferior serta uvula terdorong ke sisi kontralateral merupakan penemuan klasik pada abses peritonsilar. Pasien juga biasanya akan berbicara seperti bergumam atau yang disebut sebagai hot potato voices.

.

Gambar 8. Abses Peritonsilar kanan

DiagnosisDiagnosis abses peritonsil biasanya dapat ditegakkan cukup dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan konfirmasi dengan aspirasi pus.Anamnesa dapat didapatkan keluhan yang sudah disebutkan di atas yaitu demam, malaise, nyeri tenggorokan, nyeri telinga, kesulitan menelan, dan kesulitan membuka mulut, riwayat infeksi faring dan atau tonsil berulang dan juga infeksi dari gigi, riwayat pengobatan sebelumnya dan riwayat tindakan operasi di rongga mulut.Pembengkakan unilateral daerah peritonsil dan daerah palatum molle disertai terdorongnya tonsil ke arah medial inferior dan uvula ke sisi kontralateral merupakan penemuan klasik yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan peritonsilar abses. Untuk memastikan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan pus melalui aspirasi.Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain pemeriksaan darah lengkap, kultur darah atau pus, dan elektrolit, untuk mencari adanya tanda infeksi maupun dehidrasi Foto polos leher lateral dapat membantu dalam menyingkirkan kemungkinan abses retrofaring, foro dari anteroposterior mungkin dapat memberikan gambaran jaringan lunak yang berubah namun tidak bisa menentukan lokasi abses. USG dan CT Scan merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif dan spesifik dalam menegakkan diagnosis abses peritonsil. USG dapat digunakan untuk membedakan antara selulitis atau infiltrat peritonsil dengan abses peritonsil.

Gambar 9 . Ct Scan leher potongan axial : Abses peritonsil kanan.KomplikasiKomplikasi paling sering adalah ke daerah parafaring menyebabkan abses parafaring. Dari parafaring infeksi dapat menyebar hampir ke seluruh bagian di daerah leher dalam. Penyebaran ke mediastinum dapat menyebabkan terjadinya mediastinitis, penjalaran infeksi ke daerah intrakranial dapat menyebabkan terjadinya abses otak dan meningitis. Pecahnya abses dapat menyebabkan terjadinya perdarahan, dan pnemonitis aspirasi.

2.2.2.3 Abses Parafaring

Disebut juga dengan faringomaksilaris atau peripharyngeal space. Parafaring berbentuk pyramid terbalik, yang dapat terletak pada salah satu dari sisi faring (kiri maupun kanan). Dasar dari parafaring terletak pada basis kranii sedangkan puncak dari parafaring terletak pada kornu dari os hyoid. Batas medial dari parafaring terletak pada lapisan viscera dari lapisan dalam yang merupakan bagian dari fascia servikalis dalam, yang terletak pada lateral dari dinding faring, sedangkan batas lateralnya adalah lapisan superfisial dari fascia servikalis dalam. Bagian anterior dibatasi oleh pterygomandibular raphe dan bagian posterior dibatasi oleh fascia prevertebralis. Rongga ini berhubungan dengan rongga retrofaringeal.

Gambar 10. Abses parafaringEtiologi

Ruang parafaring memiliki hubungan dengan ruang dalam daerah leher serta ruang karotis. Hal ini memungkinkan infeksi dari ruang mastikator, parotid, submandibular dan sublingual, serta retrofaring dan peritonsil berisiko menyebar ke ruang parafaring. Kelainan pada salah satu ruang diatas harus menimbulkan kecurigaan adanya penyebaran ke ruang parafaring. Keterlibatan kompartemen prestyloid dapat menyebabkan gejala trismus, sedangkan keterlibatan ruang retro- atau poststyloid, yaitu bagian neurovaskular, dapat menimbulkan komplikasi lebih serius. Etiologi lain yang juga memberikan komplikasi berupa abses parafaring adalah abses Bezold, yang merupakan komplikasi dari Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK).Bakteri penyebab infeksi pada abses parafaring cukup beragam. Ditemukan adanya bakteri anaerob seperti Prevotella, Porphyromonas dan Fusobacterium. sedangkan bakteri aerob yang dapat ditemukan pada kasus abses parafaring meliputi Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenza.

Manifestasi Klinis dan DiagnosisManifestasi klinis dari abses parafaring dapat berupa demam, rasa serak pada tenggorokan, pembengkakan pada daerah faring, serta adanya rasa tidak enak saat menelan (dysphagia), yang dapat menyebabkan adanya hipersalivasi dan keluarnya saliva dari mulut (drooling), serta rasa nyeri pada menelan (odynophagia). Dapat juga terjadi trismus sebagai akibat dari keterlibatan m. pterygoid interna dalam proses inflamasi. Pasien juga cenderung untuk menahan leher pada suatu posisi tetap dengan keadaan sedikit fleksi, serta memutar kepala kearah berlawanan untuk mengurangi tekanan. Pasien juga dapat datang dengan keluhan adanya massa pada leher yang terasa nyeri, serta adanya riwayat infeksi sebelumnya.

Tabel 2. Gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien dengan abses parafaring

Diagnosa dari abses parafaring ditegakkan dengan cara anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, dapat ditanyakan riwayat infeksi saluran nafas atas (ISPA), adanya riwayat tonsillitis serta adanya gejala infeksi seperti faringitis. Dapat juga ditanyakan tentang kondisi-kondisi yang dapat memperberat infeksi seperti adanya imunodefisiensi atau adanya diabetes mellitus. Keluarnya cairan dari telinga tanpa rasa nyeri juga penting untuk ditanyakan, dimana OMSK merupakan predileksi terjadinya abses parafaring melalui penyebaran hematogen dari vena jugularis interna.Pada anamnesa, pasien dapat mengeluhkan adanya gejala demam, rasa serak pada tenggorokan, pembengkakan pada daerah faring, serta adanya rasa tidak enak saat menelan (dysphagia), yang dapat menyebabkan adanya hipersalivasi dan keluarnya saliva dari mulut (drooling), serta rasa nyeri pada menelan (odynophagia). Dapat ditanyakan juga usia (8-30 tahun sering terjadi abses)Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan asimetri pada orofaring, dimana tonsil terdorong kearah medial namun terlihat normal. Dapat juga ditemukan massa yang nyeri pada leher serta adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pasien juga dapat mengeluh kesulitan membuka mulut pada pemeriksaan, yang diakibatkan oleh trismus, dimana gejala ini khas pada abses parafaring. Adanya serak pada tenggorokan, asimetri dari orofaring serta massa dari leher disertai rasa nyeri dapat menegakkan diagnosa abses parafaring, khususnya jika ditemukan adanya riwayat infeksi seperti faringitis atau tonsilitis.Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang berupa CT-scan dengan kontras apabila kecurigaan mengarah kepada abses parafaring. Dapat terlihat gambaran hipodens, baik tunggal maupun multipel, dengan adanya air/fluid center dengan enhancement kontras pada dinding abses. Dapat juga ditemukan adanya edema pada jaringan, serta adanya trombosis pada vena jugularis interna.

Gambar 11. Gambaran abses parafaring pada CT-scanPemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk memastikan adanya proses infeksi, dan menentukan bakteri penyebab infeksi.

KomplikasiKomplikasi dari abses parafaring dapat terjadi karena efek massa, penyebaran dari infeksi ke ruang di sekitarnya. Penyebaran ke daerah faring melalui ekspansi abses dapat menyebabkan sumbatan pada jalan nafas yang dapat membahayakan nyawa. Dapat juga terjadi mediastinitis sebagai akibat dari perluasan infeksi melalui selubung karotis. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah thrombophlebitis dari vena jugularis interna.

2.2.2.4Infeksi ruang submandibulaRuang submandibula terletak diantara mukosa dari dasar mulut dan lapisan superfisial dari fascia servikal dalam. Bagian inferior dibatasi oleh os hyoid dan bagian anterior dan latera dibatasi oleh mandibula. Pada bagian posterior, ruang submandibula dibatasi oleh otot-otot dari lidah. Ruang submandibula dibatasi oleh diafragma dari otot mylohyoid ke ruang sublingual diatasnya, dan ke ruang submandibula serta submental dibawah dari diafragma tersebut. Ruang submandibula dan submental dibatasi oleh otot digastrik, namun masih terdapat hubungan antara keduanya.Dapat juga ditemukan duktus Wharton pada ruang sublingual, kelenjar saliva serta nervus hipoglossus. Garis oblikus dari mandibula juga berperan sebagai pembatas pada infeksi gigi. Infeksi yang dimulai superior dari garis ini, yaitu dari incisivus sampai dengan molar pertama akan bermanifestasi ke ruang sublingual, sedangkan infeksi yang dimulai dari molar akan menjalar ke ruang submandibula terlebih dahulu.EtiologiSebagian besar infeksi pada ruang submandibula berasal dari infeksi odontogen. Namun, infeksi ruang submandibula juga dapat berasal dari adanya trauma, riwayat tindakan pembedahan pada daerah mandibula sebelumnya, maupun adanya limfadenitis. Infeksi ruang submandibula juga dapat berasal dari infeksi ruang leher lainnya.

Gambar 12. Infeksi ruang submandibula

Secara mikrobiologi, infeksi pada leher dalam bersifat polimikrobial, dan tidak ada predileksi antara anatomi dengan bakteri penyebab. Bakteri yang dapat ditemui antara lain Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium dan Peptostreptococcus spp untuk bakteri anaerob, dan group A streptococcus, viridians streptococcus, serta Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenzae untuk bakteri aerob.

Manifestasi klinisGejala klinis yang umum dirasakan oleh pasien adalah adanya massa pada daerah leher disertai dengan rasa sulit menelan. Pasien juga dapat merasakan adanya demam sebagai akibat dari proses infeksi, serta elevasi lidah yang dapat menyebabkan blokade dari saluran nafas. Dapat juga terjadi trismus, dan nyeri gigi.Diagnosa dari infeksi submandibula dibuat dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa, dapat ditanyakan gejala-gejala penyakit gigi ataupun faktor-faktor yang memperberat penyakit, seperti adanya kondisi-kondisi imunosupresi maupun penyakit diabetes mellitus. Dapat juga ditanyakan gejala-gejala dari infeksi itu sendiri, yaitu adanya benjolan pada leher, biasa berkonsistensi keras, lalu adanya kekakuan pada rahang (trismus), adanya nyeri menelan, perubahan pada suara.Tabel 3. Gambaran klinis pada infeksi submandibula

Anamnesa juga dapat diarahkan kepada faktor predisposisi. dapat ditanyakan riwayat sakit gigi maupun adanya riwayat gigi berlubang dan tidak terawat.Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan benjolan pada daerah mandibula yang bersifat nyeri. Pada gigi geligi juga dapat ditemukan karang gigi maupun gigi berlubang.Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan radiologis. Pada laboratorium dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin, yang dapat menunjukkan adanya leukositosis, meskipun tidak selalu ada.Penunjang lain yang dapat dilakukan adalah CT-scan dengan kontras, dimana pemeriksaan ini memiliki sensitivas dan spesifisitas yang tinggi. CT-scan dengan kontras berfungsi untuk mendeteksi adanya lesi pada ruang submandibula, serta membedakan selulitis dengan adanya abses.Selain pada ruang submandibula, CT-scan juga dapat dilakukan pada bagian rahang dan sekitarnya dengan potongan aksial, guna mendeteksi adanya fokus infeksi yang merupakan etiologi utama.

Gambar 13. Gambaran lesi pada CT-scan pasien dengan infeksi submandibula

KomplikasiKomplikasi pada infeksi ruang submandibula yang tersering adalah sumbatan jalan nafas, yang dapat berujung pada asfiksia. Dapat juga terjadi sepsis, adanya perluasan infeksi ke mediastinum berupa mediastinitis, yang dapat berlanjut menjadi pneumothoraks. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah adanya pneumonia.

2.2.3. Tata LaksanaLangkah pertama dan terpenting dalam tatalaksana infeksi leher dalam ialah menjaga jalan nafas tetap terbuka. Intubasi dengan pipa endotrakeal dapat dilakukan namun harus diwaspadai resiko spasme laringeal dan ruptur abses yang dapat berakibat terjadi aspirasi pus dan kontaminasi pada jalan nafas bagian atas dan bawah. Bila intubasi tidak dapat dilakukan maka tindakan krikotirotomi atau trakeostomi dapat dipertimbangkan. Jika tindakan krikotirotomi dilakukan, maka sebaiknya dalam 24 jam diganti dengan trakeostomi untuk mencegah komplikasi laringeal.1Setelah jalan nafas dijaga, langkah selanjutnya adalah melakukan kultur darah (dilakukan ketika pasien febris) dan kultur dari abses. Sambil menunggu hasil kultur dapat diberikan antibiotik yang efektif untuk streptococcus, bakteri anaerob dan bakteri penghasil beta laktamase. Jika hasil kultur telah didapatkan, maka direkomendasikan penggunaan antibiotik sesuai bakteri penyebab.Jenis antibiotik yang dapat digunakan: 1. Ampisilin-sulbaktam 1,5-3 g IV setiap 6 jam Ampisilin merupakan antibiotik spektrum luas yang efektif terutama terhadap bakteri gram positif namun juga efektif terhadap bakteri gram negatif dan bakteri anaerob. Bakteri gram positif yang sensitif terhadap ampisilin adalah Streptococcus pneumoniae, jenis Streptococci lain,dan L monocytogenes. Bakteri gram negatif yang sensitif terhadap ampisilin ialah M. catarrhalis, N. gonorrhoea, N. meningitidis, E. coli, P. mirabilis, Salmonella, Shigella, dan H. influenzae.

2. Klindamisin 600-900 mg IV setiap 8 jam Merupakan pengobatan alternatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Klindamisin terutama berguna untuk infeksi bakteri anaerob terutama B. fragilis dan bermanfaat juga untuk beberapa bakteri gram positif.

3. Sefoksitin 1-2 g IV setiap 6 jam Merupakan sefalosporin generasi kedua dimana lebih aktif pada bakteri gram negatif dibandingkan gram positif. Sefoksitin lebih aktif dari sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua yang lain terhadap bakteri anaerob, seperti B. fragilis.

4. Seftriakson 1-2 g IV setiap 12 jamObat ini termasuk golongan sefalosporin generasi ketiga yang lebih aktif terhadap bakteri gram positif. Efek samping obat ini berupa superinfeksi, reaksi anafilaksis, diare, reaksi lokal, diskrasia darah, rash, pruritus, demam, peningkatan kadar transaminase dan alkali fosfatase, leukopenia, neutropenia, kolitis pseudomembran, nefrotoksisitas.

Pada infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dapat digunakan:1. Tikarsilin-klavulanat 3-0,1 g IV setiap 4-6 jamTikarsilin merupakan kelompok penisilin anti-pseudomonas, termasuk golongan karboksi penisilin. Tikarsilin berspektrum lebih luas dibanding ampisilin, termasuk P. aeruginosa dan kokus gram negatif. Aktif terhadap bakteri gram positif kecuali enterokokus dan stafilokokus. Tambahan klavulanat memperluas spektrum tikarsilin. 2. Piperasilin-tazobaktam 3-0,375 g IV setiap 4-6 jamPiperasilin merupakan kelompok penisilin anti-pseudomonas dan termasuk golongan ureidopenisilin. Obat ini berspektrum luas yang mencakup aerob gram positif, enterobacteriae, gram negatif, dan bakteri anaerob. Tazobaktam melindungi piperasilin dari hidrolisis oleh betalaktamase. 3. Imipenem-silastatin 250-250 sampai 500-500 mg IV setiap 6 jamImipenem merupakan suatu turunan tienamisin yang merupakan karbapenem (betalaktam) pertama yang digunakan dalam pengobatan. Diberikan bersama silastatin yang bekerja sebagai penghambat enzim dehidropeptidase yang dapat meningkatkan kadar imipenem aktif dalam urin dan mencegah efek toksik terhadap ginjal. Obat ini berspektrum sangat luas (gram positif, negatif, aerob dan anaerob. Terhadap P. aeruginosa aktivitasnya sebanding dengan seftazidim. 4. Klidamisin 600-900 mg IV setiap 8 jam ditambah siprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam atau ditambah seftazidim 1-2 g IV setiap 8 jamSifrofloksasin termasuk kedalam golongan fluorokuinolon yang aktif terhadap P. aeruginosa. Seftazidim merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang aktifitas paling menonjolnya kepada P. aeruginosa.

Infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus Aureus dapat ditangani dengan menggunakan antibiotik vankomisin 1 g IV setiap 12 jam. Obat ini hanya aktif terhadap bakteri gram positif khususnya golongan kokus, merupakan obat terpilih untuk kuman MRSA (methicilin-resistant S. aureus).

Ketika abses telah terbentuk maka tindakan operasi drainase sebaiknya dilakukan. Intervensi operasi diindikasikan pada semua abses dalam terutama bila muncul keluhan obstruksi jalan nafas, sindrom sepsis, dan tidak ada respon terhadap antibiotik yang diberikan dalam 48 jam. Pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda abses maka dapat dilakukan monitoring sambil diberikan antibiotik sistemik. Bila tidak terdapat tanda-tanda perbaikan selama 48 jam dengan pemberian antibiotik adekuat dan hidrasi, maka dilakukan operasi. Tanda-tanda progresi berupa demam, nyeri yang bertambah, pembengkakan, eritema, fluktuasi, dan leukositosis dengan pergeseran ke kiri.Operasi dilakukan dengan menginsisi dan mendrainase abses pada lokasi primer maupun lokasi penyebaran abses. Semua tempat lokulasi dihancurkan dan rongga abses dibersihkan serta dipasang kasa yang mengandung iodoform kedalam luka operasi, dan dipasang drain.

Gambar14. Algoritma penatalaksanaan infeksi leher dalam1

1. Abses peritonsilProsedur operatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi abses peritonsil terdiri dari aspirasi, insisi dan drainase, dan tonsilektomi. Pada aspirasi abses sering dibutuhkan tindakan aspirasi berulang sehingga insisi dan drainase lebih efektif dibandingkan aspirasi (tingkat keberhasilannya sebesar 90%).Pada insisi dan drainase abses diberikan anestesi topikal dan infiltratif dengan pasien dalam kondisi sadar. Insisi dan drainase dilakukan pada daerah abses yang paling menonjol yang biasanya berada pada palatum molle, superior dari pole atas tonsil. Bila area yang paling menonjol tidak terlihat maka dibuat garis imajiner dari dasar uvula sampai geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah dilakukan drainase, diberikan penisilin atau klindamisin. Drainase juga dapat dilakukan dengan tambahan tonsilektomi.

Gambar 15. Daerah untuk melakukan insisi pada abses peritonsiler.

2. Abses retrofaringPembedahan pada abses retrofaring dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu insisi transoral dan insisi eksternal. Insisi transoral lebih banyak digunakan, dimana pasien diposisikan dalam rose position yaitu leher diekstensikan bersama dengan ekstensi sendi atlanto-occipital sehingga membuat nasofaring menjadi bagian yang paling menonjol. Insisi eskternal dilakukan bila abses tidak dapat dijangkau peroral atau ada keterlibatan rongga leher lain. Insisi dibuat di sepanjang tepi anterior m. stenocleidomasoideus antara level os. hyoid dan clavikula.Gambar16. Pembedahan pada abses retrofaringeal (external approach). Tarikan pada bagian posterior m. stemocleidomastoideus dan carotid sheath memperlihatkan daerah antara faring dan vertebra.

3. Abses parafaringPada kasus abses parafaring, dapat dilakukan pendekatan eksternal (submaksilaris) yaitu dengan teknik Mosher. Teknik mosher dilakukan dengen teknis insisi bentuk huruf T, dimana insisi horizontal dibuat sepanjang kira-kira dua jari diukur dari batas bawah mandibula dan insisi vertikal dibuat pada bagian anterior dari m. Sternocleidomastoideus.

Gambar17. Insisi pada abses parafaring

4. Abses submandibulaPada pasien dengan infeksi submandibula, dapat dilakukan tindakan pembedahan untuk insisi dan drainase abses. Indikasi dari pembedahan meliputi abses berukuran besar, Ludwigs Angina, serta pasien tidak merespon kepada terapi antibiotik, serta keterlibatan lebih dari satu ruang leher.13 Pada pasien dengan sumbatan jalan nafas, gold standard tindakan yang dilakukan adalah trakeostomi dengan anestesi lokal.

BAB IIIKESIMPULAN

Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial diantara fascia leher yang terdiri dari fascia superfisialis dan profunda. Ruang potensial ini terdiri dari ruang peritonsilar, retrofaring, parafaring, parotis, prevertebra, vaskular dalam, danger space, submandibularis, karotis, mastikator, temporal, suprasternal, dan anterior visceral space. Penyebab abses leher dalam adalah penjalaran infeksi dari berbagai sumber. Pada anak sering disebabkan oleh infeksi tonsil dan faring sedangkan pada orang dewasa disebabkan oleh infeksi odontogenik dan kelenjar air liur. Bakteri penyebab abses leher dalam biasanya polimikroba yang terdiri dari bakteri aerob (Streptococcus viridians, hemolitik stretokokus, stafilokokus, diphteroids, Neisseria, Klebsiella dan Haemophilus sp.) dan bakteri anaerob (Bacteroides melaninogenicus, Peptostreptococcus, Bacteroides fragilis). Manifestasi abses leher dalam antara lain adalah nyeri tenggorokan, kesulitan dalam menelan (dysphagia), rasa sakit ketika menelan (odynophagia), trismus, demam, dan malaese. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan terdiri dari pemeriksaan labolatorium, kultur dan uji resistensi, dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan berupa foto polos, USG, CT scan dan MRI.Tatalaksana abses leher dalam terdiri dari pembebasan jalan nafas yang dapat dilakukan dengan intubasi, krikotirotomi atau trakeostomi, pemberian antibiotik dan operasi. Pemberian antibiotik dipilih yang berspektrum luas yang efektif baik untuk bakteri aerob, anaerob, gram positif dan negatif. Antibiotik yang sering digunakan ialah ampilisin-sulbaktam, klindamisin, sefoksitin dan seftriakson. Operasi dilakukan bila terlah terbentuk abses, bila absesnya kecil dapat dilakukan monitoring selama 48 jam dan bila kondisi memburuk maka dilakukan operasi. Pada abses besar, abses yang telah menekan jalan napas dan yang tidak efektif dengan pemberian antibiotik maka segera dilakukan operasi.Abses leher dalam ini jika tidak ditangani dengan adekuat akan menimbulkan berbagai macam komplikasi yang tidak jarang merupakan komplikasi yang mengancam nyawa. Komplikasi yang dapat muncul berupa penyebaran abses ke ruang leher lain, obstruksi jalan nafas, mediastinitis, pneumonitis aspirasi dan abses otak.DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi tujuh, FK UI, 2012. 2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi edisi 5. 2007. Jakarta:Gaya Baru.3. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Neck Surgery Otolaryngology 4thed. 2006. Luppincot Williams & Wilkins.4. Nicholas JG. Peritonsillar Abscess. Broadlawns Medical Center, Des Moines, Iowa. 2008. American Academy of Family Physicians.5. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery 2nd edition, McGraw-Hills AccessMedicine, 2007.6. Jason LA. Pediatric Retropharyngeal Abscess. 2011. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/995851-overview [1 Oktober 2015]7. Mutunayagam et al. Parapharyngeal and Retropharyngeal Abscess: Anatomical Complexity and Etiology. Med J Malaysia. 2007; 62(5). Diunduh dari: http://www.e-mjm.org/2007/v62n5/Abscess.pdf [1 Oktober 2015] 28