abses peritonsil

52
BAB I PENDAHULUAN Nyeri tenggorokan dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinana disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infesi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibular, dan angina ludovici (Ludwig’s angina). 1 Abses peritonsil merupakan infeksi yang paling sering ditemukan di region peritonsiler. Di Amerika Serikat, insidensinya mencapai 30 kasus per 100.000 penduduk pertahun dan ditemukan hingga 45.000 kasus pertahunnya. Menurut laporan, tingginya kasus abses peritonsil karena adanya infeksi rekuren (berulang) dan resistensi terhadap antibiotik. Angka kematian yang diakibatkan oleh abses peritonsil belum diketahui secara pasti, sedangkan morbiditas yang disebabkan abses ini paling banyak dihubungkan dengan nyeri. Tidak ada predileksi ras tertentu untuk penyakit ini, laki- laki dan perempuan mempunyai rasio resiko yang sama 1

Upload: princess-charming

Post on 22-Dec-2015

57 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

abses

TRANSCRIPT

Page 1: Abses Peritonsil

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri tenggorokan dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan

membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinana disebabkan oleh abses

leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia

leher dalam sebagai akibat penjalaran infesi dari berbagai sumber, seperti gigi,

mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Abses leher dalam

dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses

submandibular, dan angina ludovici (Ludwig’s angina).1

Abses peritonsil merupakan infeksi yang paling sering ditemukan di

region peritonsiler. Di Amerika Serikat, insidensinya mencapai 30 kasus per

100.000 penduduk pertahun dan ditemukan hingga 45.000 kasus pertahunnya.

Menurut laporan, tingginya kasus abses peritonsil karena adanya infeksi rekuren

(berulang) dan resistensi terhadap antibiotik. Angka kematian yang diakibatkan

oleh abses peritonsil belum diketahui secara pasti, sedangkan morbiditas yang

disebabkan abses ini paling banyak dihubungkan dengan nyeri. Tidak ada

predileksi ras tertentu untuk penyakit ini, laki-laki dan perempuan mempunyai

rasio resiko yang sama untuk mendertia abses peritonsiler. Penyakit ini ditemukan

pada umur 20-40 tahun. Apabila ditemukan pada pasien anak-anak seringnya

adalah pada pasien immunocompromised.3

Abses peritonsilar (PTA) banyak ditemukan pada praktek klinik yang

merupakan salah satu kegawatdaruratan dan mudah terjadi kekambuhan. Abses

peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala

dan leher akibat kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler.

Tempat yang menjadi potensi terjadinya abses adalah di daerah pilar tonsil

anteroposterior, fossa piriform inferior dan palatum superior.

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut atau

infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus weber di kutub atas tonsil. Biasanya

1

Page 2: Abses Peritonsil

kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsillitis. Organisme

penyebab abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme

aerob dan anaerob.

Tonsillitis adalah Peradangan pada tonsil palatina, merupakan bagian dari

cicin waldeyer (terdiri atas susunan kelenjar limfe yang terdapat dalam rongga

mulut, yaitu : Tonsil faringeal (adenoid), Tonsil palatina (tonsil faucial), Tonsil

lingual (tonsil pangkal lidah), Tonsil tuba eustachius). Penyebaran infeksi melalui

udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,

terutama pada anak.

2

Page 3: Abses Peritonsil

BAB II

LAPORAN KASUS

I.1. Identitas Pasien

Nama : Tn.A

Umur : 26 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jarakan Sambak, Kajoran, Magelang

Pekerjaan : wiraswasta

I.2. Anamnesis

Keluhan Utama

Sakit menelan

Keluhan tambahan

Pasien sulit untuk membuka mulut dan mengalami kesulitan berbicara

dengan jelas/ berbicara bergumam

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RST Soedjono dengan keluhan rasa sakit saat

menelan makanan, mengalami kesulitan dalam menelan makanan

(padat/lunak) dan minum. sulit berbicara dengan jelas/ berbicara gumam

sejak 4 hari. Pasien sulit membuka mulut. Pasien tidak mual dan muntah.

Karena rasa sakit saat menelan, pasien mengaku tidak bisa makan dan hanya

minum sedikit. terjadi penurunan berat badan pada pasien. Sakit tenggorokan

juga dirasakan sejak 4 hari, sakit tenggorokan dirasakan terus menerus. Pasien

mengeluhkan tenggorokan terasa mengganjal. Pasien tidak mengeluhkan terasa

ada dahak di dalam tenggorokan. Pasien tidak merasakan mulutnya bau. Pasien

mengalami demam. Demam dirasakan sejak 3 hari, demam terus menerus.

Demam muncul dirasakan oleh pasien sejak timbulnya keluhan nyeri menelan dan

3

Page 4: Abses Peritonsil

nyeri tenggorokan tersebut. Pasien mengeluhkan badannya terasa lemas. Pasien

tidak mengeluhkan batuk dan pilek. Pasien tidak mengeluhkan suaranya serak,

tidur tidak mendengkur. Pasien tidak sesak nafas.

Pasien tidak mengeluhkan nyeri di kedua telinga yang hilang timbul, tidak

mengeluhkan adanya gangguan pendengaran, berdenging dan keluarnya cairan

dari telinga. pasien juga tidak mengeluhkan hidung tersumbat, sering bersin dipagi

hari dan keluar darah dari hidung.

Riwayat Penyakit Dahulu

◦ Riwayat ISPA : disangkal

◦ Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

◦ Riwayat tonsillitis : pasien mengakui memiliki amandel kecil

sejak lama, namun pasien membiarkan dan tidak melakukan

pengobatan

◦ Riwayat sakit gigi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat pribadi

pasien mengaku sering memakan makanan yang pedas dan perokok(1hari 1-

2bungkus)

Riwayat Pengobatan

Pasien pergi ke puskesmas untuk melakukan pengobatan, namun keluhan

yang dialami pasien tidak sembuh dan akhhirnya pasien di rujuk ke RST

soedjono magelang.

Riwayat Ekonomi

Kesan keadaan ekonomi pasien cukup, biaya kesehatan pasien di tanggung

oleh pasien sendiri

4

Page 5: Abses Peritonsil

I.3. Pemeriksaan fisik

1. Status generalis

Kondisi umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Vital Sign: TD: 110/60 mmHg rr: 20x/menit

Suhu: 380C Nadi: 80x/menit

2. Status lokalis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan)

2.1. Kepala dan Leher

Kepala : mesocephale

Wajah : simetris

Leher : pembesaran kelenjar limfe submandibular (-), nyeri tekan (-)

2.2. Gigi dan mulut

Gigi geligi : caries gigi

Lidah : normal, kotor (-), tremor (-)

Pipi : bengkak (-)

2.3. Pemeriksaan Telinga

Bagian Auricula Dextra Sinistra

Auricula

Bentuk normal,

nyeri tarik (-)

nyeri tragus (-)

Bentuk normal

nyeri tarik (-)

nyeri tragus (-)

Pre auricular

Bengkak (-)

nyeri tekan (-)

fistula (-)

Bengkak (-)

nyeri tekan (-)

fistula (-)

Retro auricularBengkak (-)

Nyeri tekan (-)

Bengkak (-)

Nyeri tekan (-)

MastoidBengkak (-)

Nyeri tekan (-)

Bengkak (-),

Nyeri tekan (-)

CAE

Serumen (-)

hiperemis (-)

Sekret (-)

Serumen (-)

hiperemis (-)

Sekret (-)

5

Page 6: Abses Peritonsil

Membran timpani

Intak

putih mengkilat

refleks cahaya (+)

Intak

putih mengkilat

refleks cahaya (+)

2.4. Pemeriksaan Hidung

Bagian Hidung Luar

Dextra Sinistra

Bentuk Normal Normal

Inflamasi atau tumor - -

Nyeri tekan sinus - -

Deformitas atau septum

deviasi- -

Rhinoskopi anterior

Vestibulum nasi Normal Normal

Dasar cavum nasi Normal

Sekret - -

Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Benda asing - -

Perdarahan

Adenoid

-

-

-

-

Konka nasi mediaHipertrofi (+)

Hiperemis (-)

Hipertrofi (+)

Hiperemis (-)

Konka nasi inferior.Hipertrofi (-)

Hiperemis (-)

Hipertrofi (-)

Hiperemis (-)

Septum Deviasi (-)

2.5. Pemeriksaan tenggorokan

Lidah Ulcus (-), Stomatitis (-)

Palatum mole Ulcus (-), hiperemis (-)

Tonsil

Uvula Bentuk normal, posisi di tengah

6

Page 7: Abses Peritonsil

Tonsil Dextra Sinistra

Ukuran T3 T3

Permukaan Tidak Rata Tidak Rata

Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)

Kripte Melebar (+) Melebar (+)

Detritus (+) (+)

Faring Mukosa hiperemis (+), dinding tidak rata, granular (+)

Hasil pemeriksaan laboratorium

WBC 14.3x103/ul 4.0-10.0

RBC 5.08x106/ul 3.50-5.50

HGB 14.4 g/dl 11.0-15.0

HCT 46.8% 36.0-48.0

MCV 80.8 fL 80.0-99.0

MCH 26.5 Pg 26.0-32.0

MCHC 32.9 g/dl 32.0-36.0

RDW_CV 11.2% 11.5-14.5

RDW_SD 34.3fL 39.0-46.0

PLT 349x103/ul 150-450

MPV 10.2 fL 7.4-10.4

PCT 0.26% 0.10-0.28

Lym% 5.6% 20.0-40.0

MID% 3.5% 1.0-15.0

GRAN% 60.9% 50.0-70.0

CT/BT 3’/1’30”

7

Page 8: Abses Peritonsil

Glucose 113mg/dl 70.0-115.0

Ureum 29 mg/dl 0.000-50.00

Creatinine 1.2mg/dl 0.000-1.300

SGOT 24 U/I 3.000-35.00

SGPT 40U/I 8.000-41.00

I.4. Pemeriksaan Penunjang

● Usulan Pemeriksaan Penunjang

• Swab tenggorok à kultur

Foto thorak

Darah rutin

Ringkasan

Anamnesis

- Rasa sakit saat menelan makanan, mengalami kesulitan dalam menelan

makanan (padat/lunak) dan minum

- Sulit berbicara / berbicara gumam (hot potato voice)

- Kesulitan dalam membuka mulut

- Sakit tenggorokan

- Tenggorokan terasa mengganjal

- Tidak mengeluhkan terasa ada dahak di dalam tenggorokan

- Demam dirasakan sejak 3 hari, demam terus menerus

- Badannya terasa lemas

- Tidak mengeluhkan suaranya serak, tidur tidak mendengkur

- Tidak sesak nafas.

- Tidak mengeluhkan nyeri di kedua telinga yang hilang timbul, tidak

mengeluhkan adanya gangguan pendengaran, berdenging dan

keluarnya cairan dari telinga

- Tidak mengeluhkan hidung tersumbat, sering bersin dipagi hari dan

keluar darah dari hidung.

8

Page 9: Abses Peritonsil

Pemeriksaan Tenggorokan

1. Usulan Pemeriksaan Penunjang

Swab tenggorok à kultur

Foto thorak

Darah rutin

I.7. Diagnosis banding

• Abses peritonsil bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

• Abses retrofaring bilateral akut Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

• Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

• Adenotonsilitis kronis eksaserbasi akut

I.8. Diagnosis sementara

- Abses peritonsil bilateral akut e.c tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

I.9. Terapi

1. Non medikamentosa

Bedrest

Diet lunak 9

Page 10: Abses Peritonsil

kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher

2. Medikamentosa

Infus RL 20 tpm

Antibiotic à

Inj. Amoxcillin 3x 500mg

inj. Metronidazol 3x500mg

Antiinflamasi à

Inj dexamethasone 3x1 gr

Antipiretik à

Parasetamol 3x500mg

Analgetik à

Injeksi pronalges 3x50mg

3. Operasi à dilakukan tonsilektomi.

4. Edukasi

minum obat secara teratur sesuai petunjuk dokter.

menjaga higiene mulut dengan baik (sikat gigi pagi hari dan

sebelum tidur).

jangan makan makanan atau minuman yang mengiritasi

I.10. Prognosa

- Qou ad vitam : dubia ad bonam

- Qou ad sanam : dubia ad bonam

- Quo ad functionam : dubia ad bonam

10

Page 11: Abses Peritonsil

I.11 Follow up

Tanggal 16/10/2014

Subjektif

Demam (+), tidak dapat makan dan minum karena nyeri untuk

menelan, sulit berbicara karena tenggorokan terasa nyeri, berbicara hanya

bergumam, tidak ada keluhan batuk, pilek, hidung tersumbat. Tidak ada

keluhan nyeri pada kedua telinga, tidak mengeluhkan adanya gangguan

pendengaran Riwayat pengobatan

◦ Saat demam hari pertama pergi ke dokter, diberi obat. Namun dari

keterangan pasien tidak mengetahui nama obatnya tersebut. Satu hari

kemudian pasien mengeluhkan mendadak nyeri menelan dan sakit

tenggorokan.

Objektif

Vital sign :

- Tekanan darah : 110/60 mmHg

- Nadi : 80 x/menit

- Rr : 20 x/menit

- Suhu : 38.20C

Status generalis : dalam batas normal

Status lokalis :

11

Page 12: Abses Peritonsil

Tenggorokan :

Tonsil : ukuran T3/T3, kripte melebar (+), hiperemis (+),

detritus(+)

Faring : hiperemis (+), granular (+)

Hidung :

Secret (-/-), konka media hipertrofi (+/+) dan hiperemis (-/-), konka

inferior hipertrofi (-/-) dan hiperemis (-/-), deviasi septum (-)

Telinga :

Secret (-/-), serumen (-/-), membrane timpani intak (+/+)

Assessment

• Abses peritonsil bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis

eksaserbasi akut

• Abses retrofaring bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis

eksaserbasi akut

• Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

• Adenotonsilitis kronis eksaserbasi akut

Planning

◦ Rencana operasi TE

◦ Cito lab darah à CT/BT,darah lengkap

◦ Cito foto thoraks

◦ Medikamentosa

◦ Infus RL 20 tpm

◦ Inj dexamethasone 3x1 gr

◦ Inj. Metronidazole 3x500mg

12

Page 13: Abses Peritonsil

◦ Parasetamol 3x500mg

◦ Konsul dokter anastesi, dokter paru, dan penyakit dalam

Tanggal 17/10/2014

Subjektif

Pasien mengeluhkan terasa gatal pada tenggorokan, sudah bisa makan

bentuk lunak yaitu bubur, sudah bisa minum. Pasien sudah bisa berbicara,

demam sudah turun, tidak ada keluhan batuk dan pilek, hidung tidak

tersumbat, tidak mengeluhkan ada gangguan pendengaran.

Objektif

Vital sign :

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 80x/menit

Rr : 20 x/menit

Suhu : 37 0C

Status generalis : dalam batas normal

Status lokalis

Tenggorokan :

Tonsil : uvula ditengah, ukuran tonsil T3/T3, kripte melebar (+),

detritus (+), mukosa hiperemis

Faring : hiperemis (+), granular (+)

Hidung :

13

Page 14: Abses Peritonsil

Secret (-/-), konka media hipertrofi (+/+), konka media hiperemis

(-/-), deviasi septum (-)

Telinga

Secret (-/-), serumen (-/-), membrane timpani intak (+/+)

Assessment

• Abses peritonsil bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis

eksaserbasi akut

• Abses retrofaring bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis

eksaserbasi akut

• Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut

• Adenotonsilitis kronis eksaserbasi akut

Planning

◦ Pasien dan keluarga menyetujui dilakukan operasi à pasien

disuruh puasa dari semalam

Medikamentosa post op

Inf. RL 20 tpm

Inj. Metronidazole 3x500mg

Inj dexamethasone 3x1 gr

Inj tramadol 2x10mg

Diet makanan lunak dan minum yang banyak

Tanggal 20/10/2014

14

Page 15: Abses Peritonsil

Subjektif

Pasien masih terasa nyeri pada tengorokan setelah operasi. Belum berani

untuk makan, tp pasien bisa minum. Demam (-), pusing (-), lemas (-),

pasien tidak merasa mual dan tidak muntah. Pasien mampu berbicara

seperti biasa dan membuka mulutnya, suara serak (-), sesak (-).

Objektif

Vital sign

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Rr : 20 x/menit

Suhu : 36.70C

Status generalis : dalam batas normal

Status lokalis :

Tenggorokan

Tonsil T0/T0, uvula di tengah (+), kripte (-), hiperemis (-),

granular(-)

Hidung

Secret (-/-), deviasi septum (-), konka hipertrofi media (+/+) dan

hiperemis (-/-)

Telinga

Secret (-/-), serumen (-/-), membrane timpani intak (+/+), CAE

hiperemis (-/-)

Assessment

15

Page 16: Abses Peritonsil

• Post operasi abses peritonsil bilateral akut e.c Tonsilofaringitis

kronis eksaserbasi akut Hari III

Planning à BLPL

16

Page 17: Abses Peritonsil

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI

I.1. FARING

Faring adalah suatu kantung fibromuskular yang berbentuk seperti corong

dibagian atas dan sempit dibagian bawah, dari dasar tengkorak menyambung ke

esofagus setinggi S-6. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar): selaput

lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, sebagian besar bukofaringeal.

Batas-batas faring :6

O Atas : rongga hidung melalui koana

O Bawah : esofagus melalui aditus laring

O Depan : rongga mulut melalui ismus orofaring

O Belakang : vertebra servikalis

Secara histologis faring terdiri dari :

- Mukosa

- Nasofaring : mukosa bersilia, epitel torak berlapis yang

mengandung sel goblet

- Orofaring & laringofaring : epitel gepeng berlapis dan tidak

bersilia

- Palut lendir (Mukous blanket) :

Daerah nasofaring dilalui udara respirasi yang temperaturnya

berbeda-beda (bagian atas nasofaring ditutupi oleh palut lender yang

terletak di atas silia dan bergerak kea rah belakang. Berfungsi menangkap

partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap, dan sebagai proteksi

(enzim lyzozyme).

- Muskularis : sirkular (melingkar) & longitudinal (memanjang)

OTOT-OTOT

a.Otot sirkular faring (terletak di sebelah luar). Terdiri dari :

m. konstriktor faring superior

m. konstriktor faring media

17

Page 18: Abses Peritonsil

m. konstriktor faring inferior

Berfungsi untuk mengecilkan lumen faring. Dipersyarafi oleh n.vagus (n.x).

Pada bagian belakang bertemu jaringan ikat: rafe faring (raphe pharyngis).

b. Otot Longitudinal (terletak di sebelah dalam). Terdiri dari :

M. Stilofaring

• untuk melebarkan faring dan menarik laring

• dipersyarafi oleh n.glossofaring (n.ix)

M. Palatofaring sebagai otot elevator penting waktu menelan

• mempertemukan istmus orofaring dan menaikkan bagian bawah

faring dan laring (n.vagus)/n.x

Otot Palatum Mole:

1. m. levator veli palatine: sebagian besar palatum mole mempersempit

isthmus faring dan memperlebar ostium tuba eustachius, n.x

2. m. tensor veli palatine: membentuk tenda palatum mole dan mengencangkan

bagian anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius, n.x

3. m.palatoglossus: membentuk arcus anterior faring dan mempersempit isthmus

faring,n.x

4. m. palatofaring: bentuk arkus posterior faring,n.x

5. m.origo-origo orofaring: memperpendek dan menaikkan uvula ke atas, n.x

Vaskularisasi

- Cabang a. karotis eksterna (cabang faring ascendens dan cabang fausial)

- Cabang a.maksila interna (cabang palatine superior)

Inervasi

- Persarafan motorik dan sensorik berasal dari pleksus faring yang dibentuk

oleh: cabang faring dari n.vagus (n.x), cabang n,glosofaring(n.ix), serabut

simpatis

Sistem limfatik

Superior : mengalir ke KGB retrofaring dan KGB servikal dalam atas

Media : mengalir ke KGB jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam

atas

18

Page 19: Abses Peritonsil

Inferior : mengalir ke KGB servikal dalam bawah

PEMBAGIAN FARING

1.Nasofaring,

Batas atas : sinus sphenoid

Batas bawah : palatum mole

Batas depan : rongga hidung

Batas belakang : vertebra servikal I

Bangunan penting yang terdapat didalamnya adalah :

Adenoid

Fossa Rosenmuler

Kantong Rathke

Torus tubarius

Koana

Foramen jugulare

Bagian petrosus os temporalis

Foramen laserum

Muara tuba eustachius

2.Orofaring

Batas atas : palatum mole

Batas bawah : tepi atas epiglotis

Batas depan : rongga mulut

Batas belakang : vertebra cervical

Struktur yang terdapat dalam orofaring adalah :

Dinding posterior faring

Tonsil palatina

Fosa tonsil

Fossa Tonsil

- dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior

- batas lateral: m. konstriktor faring superior

- batas atas: kutub atas (upper pole) terdapat fosa supratonsil

Uvula

19

Page 20: Abses Peritonsil

Tonsil lingual

Foramen sekum

3. LARINGOFARING (HIPOFARING)

-Batas:

Superior: tepi atas epiglottis

Anterior: laring

Inferior: bagian anterior: cartilage krikoidea dan bagian posterior: porta

esophagus

Posterior: vertebra servikalis IV-VI

- Struktur:

Epiglottis

Valekula (2 buah cekungan yang dibentuk oleh lig.glosoepiglotika

medial dan lateral)

Sinus piriformis (bagian lateral laringofaring dan di bawah

dasarnya berjalan n.laring superior dan a.carotis)

I.2. TONSIL

tonsil adalah massa yang terdiri jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan

ikat dengan kriptus di dalamnya terdapat 3 macam tonsil, yaitu :

1. Tonsil faringal (adenoid)

2. Tonsil palatine membentuk cincing Waldeyer

3. Tonsil lingual

20

Page 21: Abses Peritonsil

Permukaan tonsil palatine (“tonsil”) bentuknya beraneka ragam dan

mempunyai celah disebut “kriptus”. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel

skuamosa. Di dalam kriptus ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,

bakteri dan sisa makanan disebut dengan detritus. Permukaan lateral melekat pada

fasia faring “kapsul tonsil” .

- Vaskularisasi diperoleh dari:

a. a. palatina minor

b. a.palatina asendens

c. cabang tonsil a.maksila eksterna

d. a.faring ascendens

e. a.lingualis dorsal

- a.maksilaris eksterna (a.fasialis): a.tonsilaris dan a.palatina ascenden

- a.maksilaris interna: a. palatine descendes

- a.lingualis: a.lingualis dorsal

- a.pharyngeal ascendes

Tonsil Lingua terletak di dasar lidah dibagi menjadi 2 oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di anterior massa foramen sekum pada

apeks sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

bawah: dorsal: a.palatina ascendens

anterior: a.lingualis dorsal

atas: a.faringeal ascendens dan a.palatina descenden

21

Page 22: Abses Peritonsil

II. ABSES PERITONSIL

II.1 Definisi

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan / timbunan

(accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan

peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.5

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada

bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di

daerah peritonsiler. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah di daerah

pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior dan palatum superior.1

II.2 Etiologi

Abses peritonsiler terjadi sebagai akibat sebagai komplikasi tonsillitis akut

atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.

Kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis. Biasanya unilateral dan lebih

sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.1

Tonsilitis merupakan sebuah infkesi yang seringkali melibatkan kedua tonsil, keadaan ini yang

menyebabkan bahwa abses peritonsilar yang terjadi dapat bersifat bilateral, dengan tingkat

perkembangan yang berbeda pada masing-masin sisinya.5

Mikrobiologi yang sering ditemukan pada abses paling banyak adalah

infeksi campuran. Terdapat bakteri aerob dan anaerob. Apabila diisolasi paling

22

Page 23: Abses Peritonsil

sering ditemukan adalah streptococcus grup A atau grup B. staphylococcus

aureus, Fusobacterium dan bakteri gram negative anaerob juga sering ditemukan.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler

adalah streptococcus pyogenes (grup A beta-hemolitik streptococcus),

staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza. Sedangkan organisme

anaerob yang berperan adalah fusobacterium, provotella, porphyromonas, dan

peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan

karena kombinasi antara organisme aerobic dan anaerobic.5

II.3 Epidemiologi

Abses peritonsilar unilateral merupakan komplikasi yang sering terjadi dari tonsillitis

bakterial akut, akan tetapi abses peritonsilar bilateral sangat jarang terjadi. Insiden abses

peritonsiler bilateral secara keseluruhan dilaporkan mencapai 4,9%.

Abses peritonsilar (PTA) merupakan kumpulan dari material purulen yang biasanya

terbentuk dari bagian luar kapsul tonsilar dekat dengan kutub superior. Material tersebut

terbentuk paling sering sebagai komplikasi dari tonsilitis akut, ketika infeksi menyebar dari kripta

hingga jaringan ikat longgar peritonsilar alveolar. Sebagian besar berada di daerah kutub bagian

atas dan melibatkan palatum mole, material ini akan mendorong tonsil ke arah depan

dan melewati garis tengah. Kondisi ini biasanya terjadi unilateral dan sebagian besar menyerang

laki-laki muda dengan perbandingan 2:1. Selama 10 tahun ( 1999-2009), rasio laki-laki dengan

perempuan mencapai 100: 63, dengan mayoritas kasus yang berhasil didiagnosa berada di usia

antara 20 hingga 40 tahun.5

II.4 Anatomi

Secara klinis dinding posterior faring penting karena ikut terlibat radang

akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di

bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot

palatum mole berhubungan dengan gangguan nervus vagus.1

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas

lateralnya adalah m. konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut

kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra

23

Page 24: Abses Peritonsil

tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah

memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan

bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang sebenar-benarnya1

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil

faringeal (adenoid), tonsil palatine, tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk

lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatine yang biasanya disebut

tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali

ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring kedua. Kutub

bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil

bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus.1

Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi

kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel terlepas,

dan bakteri sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang

sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring,

sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1

Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang

tonsil a.maksilla eksterna, a.faring asendens dan a. lingual dorsalis. Tonsil lingual

terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika.

Di garis tengah, sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks

yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.1

Abses peritonsil terbentuk di area antara tonsil palatine dan kapsulnya.

Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarya meliputi muscullus

masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi

penetrasi melalui pembulu darah karotis.

II.5 Patologi

Cavitas oral, uvula, anterior pillar, posterior pillar dan tonsil adalah

tempat-tempat yang paling sering terbentuk abses. Diantara anterior pillar dan

posterior pillar terdapat ruang peritonsiler, ruang retropharyngeal, ruang

24

Page 25: Abses Peritonsil

parapharyngeal dan banyak pembuluh darah. Kebanyakan peritonsiler didahului

adanya gangguan atau penyakit sebelumnya di tonsil. Apabila terjadi infeksi akut

di tonsil maka infeksi akan menyebar ke ruang peritonsiler sehingga

menyebabkan selulitis peritonsiler atau bisa juga terjadi obstruksi di kelenjar

weber. Kelenjar weber adalah kelenjar saliva yang terletak di pole tonsil, pole

superior tonsil dan duktusnya menuju fossa tonsilaris.

Apabila terdapat penyakit di tonsil, tonsillitis kronis dan lain-lain maka

akan menyebabkan obstruksi di duktus tersebut dan menyebabkan stasis yaitu

adanya kolonisasi bakteri sehingga terjadi infeksi bakteri berlanjut menjadi

selullitis. Jika selullitis ini tidak diterapi dengan baik maka akan berlanjut

menjadi abses peritonsiler. Abses dapat pecah sendiri, sembuh sendiri atau

menyebar ke ruang retropharyngeal. Gangguan ini juga bisa berkembang menjadi

mediastinitis melalui pembuluh darah carotis dan bisa sampai terjadi sepsis dan

menyebabkan kematian.6

Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling

banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif

pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang

sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris

merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang

potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum

mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di

bagian inferior.1

Infiltrasi supuratifa dari jaringan peritonsilaris terjadi paling sering pada

fosa supratonsilaris (70%). Hal ini menyebabkan oedem palatum mole pada sisi

yang terkena dan pendorongan uvula melewati garis tengah. Pembengkakan

meluas ke jaringan lunak sekitarnya, menyebabkan rasa nyeri menelan dan

trismus.4 Pada stadium permulaan (stadium infiltrate), selain pembengkakan

tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga

daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan

uvula ke arah kontralateral.

25

Page 26: Abses Peritonsil

Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan disekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses

dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.

II.6 Gejala dan Tanda

Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri

menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga

(otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore),

banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang

sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula

dengan nyeri tekan.1

Pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang nyata.

Pembengkakan mengganggu artikulasi dan membuat bicara menjadi sulit. Demam

sekitar 100oF, meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi. Inspeksi terperinci

daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien

membuka mulut. Pemeriksaan menyebabkan pasien merasa tidak enak. Diagnosis

jarang sangsi jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsiler yang luas,

mendorong uvula melewati garis tengah dengan oedem dari palatum mole dan

penonjolan dari jaringan ini ke arah garis tengah.4

26

Page 27: Abses Peritonsil

Diagnosis

Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, Karena trismus. Palatum

mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula

bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin

banyak detritus dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah.1

1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit

(electrolyte level measurement)

2. Aspiration nanah, dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan

epinephrine dan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel

pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent)

merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.5

3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk

identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk

pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya

resistensi antibiotik. 

4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue

views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam

menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. 

5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan

hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil).2

II.7 Diagnosa banding

Peritonsillar cellulitis, Retropharyngeal abscess, Mononucleosis, Pharyngitis,

Tonsillitis.

II.8 Terapi

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penilisin atau

klindamisin, dan obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan

hangat dan kompres dingin pada leher.1

27

Page 28: Abses Peritonsil

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian

diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling

menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar

uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.1

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan

bersama-sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila

tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’

tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut

tonsilektomi “a’ froid”.1

Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk

mencegah kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Di masa lalu

operasi sebaiknya dilakukan 2 – 3 minggu setelah resolusi infeksi akut, tetapi

setelah 2 – 3 minggu jaringan parut akan terbentuk di capsul tonsiler yang akan

menyulitkan diseksi dan menyebabkan banyak perdarahan dan meninggalkan sisa

jaringan. Tonsilektomi tidak hanya meringankan infeksi tetapi juga mengeliminasi

abses karena antibiotic dapat mengontrol inflamasi secara efektif. Tonsilektomi

pada stadium abses, jaringan lebih bengkak dan rapuh karena operasi dilakukan di

stadium infeksi akut, kemungkinan akan meninggalkan sisa jaringan bila tidak

dilakukan dengan hati-hati, operasi lebih sulit.3

Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck

Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :

1. Indikasi absolut

a. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia

berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal

b. abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan

drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.

c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

d. Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

28

Page 29: Abses Peritonsil

2. Indikasi relatif

a. Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan

pengobatan medik yang adekuat

b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap

pengobatan medik

c. Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak

membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-

laktamase.

Perawatan prehospital untuk abses peritonsiler meliputi transport dengan oksigen

yang adekuat. Managemen kegawat daruratan: 2

Airway, Breathing, Circulation, beri perhatian pada jalan nafas pasien.

Jika jalan nafas terdapat gangguan segera pasang intubasi endotrakheal.

Jika dengan pemasangan ini masih belum dapat untuk menjaga patensi

jalan nafas diperlukan cricothyroidotomy atau tracheotomy.

Pasien dengan dehidrasi sering ditemukan karena kesulitan dalam makan

dan minum sehingga memerlukan cairan intravena sampai masalah

peradangan (inflammation) terpecahkan, sehingga tubuh pasien dapat

memperoleh kembali intake cairan per oral yang cukup (adequate oral

fluid intake).

29

Page 30: Abses Peritonsil

Antipyretics diberikan apabila terdapat kenaikan suhu dan analgesics dapat

digunakan untuk mengurangi nyeri

Aspirasi dengan jarum sebaiknya dilakukan untuk drainase abses dan

harus tersedia pereda nyeri sedang. Abses yang lebih luas kadang

membutuhkan insisi dan drainase.

Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik

dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase.

Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah berhubungan dengan

selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi. Jika

ragu-ragu jarum ukuran 17 dapat dimasukkan (setelah aplikasi dengan

anestesi spray) ke dalam tiga lokasi yang tampaknya paling mungkin

untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika pus ditemukan secara kebetulan,

metode ini mungkin cukup untuk drainase dengan diikuti antibiotic.

Jika jumlah pus banyak ditemukan dan tidak cukup didrainase

dengan metode ini, insisi yang lebih jauh dan drainase dapat dilakukan.

Jika tidak ditemukan pus, tampaknya ini masih berhubungan dengan

selulitis dibandingkan abses. Mereka yang menolak teknik ini berpatokan

pada kenyataan bahwa 30% dari abses terdapat pada sisi inferior dari fosa

tonsilaris dan tidak dapat dicapai dengan menggunakan teknik jarum.4

Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi local. Pertama

faring disemprot dengan anestesi topical. Kemudian 2 cc Xilokain dengan

Adrenalin 1/ 100.000 disuntikkan. Pisau tonsil no. 12 atau no. 11 dengan

plester untuk mencegah penestrasi yang dalam yang digunakan untuk

membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa

tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan

lembut direntangkan.

Pemberian steroid terbukti menurunkan waktu rawat inap.

Pasien dapat dirawat jalan kecuali terdapat tanda-tanda sepsis, gagal nafas

dan terdapat komplikasi. 

30

Page 31: Abses Peritonsil

Antibiotic termasuk dalam komponen utama terapi. Selain dengan

drainase abses antibiotic biasanya mencukupi dalam kesembuhan abses.

Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah biakan (culture) diperoleh dari

abses. Karena resistensi streptococcus mencapai 30% dan infeksi biasanya

bercampur dengan flora normal banyak dokter merekomendasikan

penggunaan kombinasi penisilin dan metronidazole (sensivitasnya 98%).

Berikut antibiotic yang sering diberikan pada penderita abses peritonsiler:2

Clindamycin 

Antibiotic semisintetik yang dihasilkan dari kelompok lincomycin 7(S)-chloro-

substitution of 7(R)-hydroxyl menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan

dengan memblok pemisahan peptid tRNA dari ribosom yang menyebabkan

sintesis RNA behenti. Pemberian secara luas tidak masuk ke CNS. Protein diikat

dan diekskresi melalui ginjal dan hepar. Pemberian oral dan intravena

diindikasikan untuk infeksi dengan suspect bakteri streptococcal, pneumococcal

atau spesies staphylococcus. Antibiotic ini diabsorpsi baik di saluran pencernaan

maupun secara parental. Dosis dewasa: 150 – 450 mg PO per 8 jam dan 1.2 – 2.7

gram IV/ IM per 8 jam.. Dosis anak : 15 – 25 mg/ kg/ hari PO ; 25 – 40 mg/

kg/hari(IV/IM).

Penisilin G Benzathine

Pemberian biasanya dikombinasikan dengan metronidazole. Efektif pemberiannya

pada 98% pasien. Obat ini mengganggu multiplikasi sintesis sel dinding

mukopeptida. Dosis dewasa: 600 mg (~1 juta unit) IV, untuk 12 – 24 jam. Dosis

anak:12.500–25.000U/kg(IV).

Metronidazole

Pemberian dengan kombinasi penisilin. Efektif pada 98% pasien. Cincin imiazole

aktif melawan berbagai bakteri anaerob dan protozoa. Obat ini diabsorbsi di sel

mikroorganisme yang mengandung nitroreductase. Komponen yang tidak stabil

dibentuk untuk mengikat DNA dan menghambat sintesis sehingga menyebabkan

kematian sel. 

31

Page 32: Abses Peritonsil

Dosis dewasa: loading dose : 15mg/ kg atau 1 gr untuk berat 70 kg IV.

Maintenance dose: 6 h following loading dose, infuse 7.5 mg/kg or 500 mg for

70-kg adult over 1 h. Dosis anak: sama dengan dewasa.

Nafcillin

Terapi inisial untuk streptococcus yang resisten dengan penisilin G atau

untuk infeksi staphylococcus. Terapi inisial parenteral sering digunakan untuk

infeksi yang berat. Terapi dilanjutkan per oral apabila kondisinya membaik.

Karena trombophlebitis, seringnya pada orang dewasa pemberian parenteral

hanya untuk jangka pendek (1 – 2 hari); terapi dirubah menjadi terapi per oral bila

secara klinik diindikasikan. Dosis untuk dewasa 1 – 2 gram IV. Dosis untuk anak

50 mg/kg/hari IV.

Erythromycin

Obat ini bekerja menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinaan dengan

memblok pemecahan peptidyl tRNA dari ribosom, sehingga menyebabkan

sintesis protein tergantung RNA berhenti. Obat ini digunakan untuk terapi curiga

infeksi Staphylococcus (meliputi Staphylococcus aureus) dan infeksi

Streptococcus. Obat ini juga sering diberikan pada pasien-pasien yang alergi

terhadap penisilin. Dosis dewasa: 15 – 20 mg/kg/ hari PO/IV, dosis double pada

infeksi yang berat. Dosis anak: 30 – 50 mg/ kg/ hari (15 – 25 mg/lb/ hari) PO/ IV.

II.9 Komplikasi1

1) Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau

piema.

2) Penjalaran infeksi dan abes ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses

parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga

terjadi mediastinitis.

3) Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan

thrombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.

32

Page 33: Abses Peritonsil

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan.

Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk itulah

diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini. Komplikasi lain yang pernah

dilaporkan diantaranya:

• Infeksi jaringan dinding dada dan leher

• Kekambuhan abses peritonsiler

• Aspirasi yang bisa berlanjut menjadi pneumonia atau penumonitis

• Abses cervical

• Mediastinitis 

• Meningitis

• Sepsis

• Abses serebral

• Thrombosis vena jugular

• Rupture/ nekrosis arteri carotis

• Cedera arteri carotis (dari insisi dan drainase atau aspirasi jarum

II.10 Prognosis

Abses peritonsiler yang tidak berkomplikasi dan mendapat perawatan yang baik

akan sembuh 94%.

33

Page 34: Abses Peritonsil

BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1 PATOFISIOLOGI PENYAKIT

Radang berulang yang dipicu oleh faktor predisposisi (rangsangan kronis rokok,

makanan tertentu, higiene mulut yang buruk, pasien yang biasa bernapas melalui

mulut karena hidungnya tersumbat, pengaruh cuaca dan pengobatan

tonsilofaringitis sebelumnya yang tidak adekuat)

Epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis

Jaringan limfoid akan menjadi jaringan parut

Kripti melebar

34

Page 35: Abses Peritonsil

Kripti diisi oleh detritus

Menembus kapsul tonsil

Perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris dan dapat disertai pembesaran

kelenjar submandibula

Reaksi Inflamasi pada Tonsil dan ada karies gigi

menyebar ke daerah peritonsil

jaringan ikat longgar à infiltrasi supurasi

Abses Peritonsil

IV.2 TERAPI

Operatif

Dilakukan tindakan pembedahan berupa tonsilektomi dengan metode Diseksi.

Dengan langkah-langkah sebagai berikut :

- Pasien tidur terlentang dengan general anastesi

- Disinfeksi daerah operasi dan daerah sekitarnya

- Tutup dengan doex steril, kecuali daerah operasi

- Pasang mouth gag à metode davis boyle

- Tonsil diangkat dengan metode diseksi à pus 1 cc

- Fossa tonsil dijahit 4/4

- Jahit fossa nasofaring

- Evaluasi perdarahan à sampai berhenti

- Operasi selesai

35

Page 36: Abses Peritonsil

Medikamentosa post op

Inf. RL 20 tpm

Inj. Metronidazole 3x500mg

Inj dexamethasone 3x1 gr

Inj tramadol 2x10mg

Diet makanan lunak dan minum yang banyak

36

Page 37: Abses Peritonsil

Daftar Pustaka

1. Soepardi, EA et al. 2008. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Uniersitas Indonesia.

Jakarta

2. http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview

3. http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview

http://www.cjmed.net/html/2006712_43.html?

PHPSESSID=28d51ad055ae04f2529d1241b27c0187 Cheng Fang Ming.

2006. Efficacy of three therapeutic methods for peritonsillar abscess.

Journal of Chinese Clinical Medicine;2006,7;Vol.1,No.2.

4. Adams et al. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta

5. http://kireihimee.blogspot.com/2009/10/abses-peritonsiler.html

6. Snell, Richard, 2006, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi

6, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

37