abses parafaring

15
REFERAT ABSES PARAFARING Pembimbing : dr. Swasono R. Sp.THT-KL, M.Kes Oleh : Yohanes Danang Prasetyo

Upload: lazyguguk

Post on 21-Jul-2016

77 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Abses Parafaring

REFERAT ABSES PARAFARING

Pembimbing : dr. Swasono R. Sp.THT-KL, M.Kes

Oleh : Yohanes Danang Prasetyo

Kepaniteraan Klinik Universitas Trisakti

Bagian Ilmu Penyakit THT

Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa

30 Januari 2012 s/d 3 Maret 2012

Page 2: Abses Parafaring

PENDAHULUAN

Abses leher dalam adalah terbentuknya pus pada salah satu atau lebih ruang potensial

diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,

mulut, tenggorok, sinus paranasal serta telinga tengah dan leher.

Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring.

Sebelum era antibiotika, 70% dari abses leher dalam merupakan penjalaran infeksi dari tonsil

dan faring. Akan tetapi saat ini penyebab abses leher dalam yang sering ditemukan adalah infeksi

gigi dan sekitar 20% kasus abses leher dalam dengan sumber infeksi yang tidak ditemukan.

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat

tonsilektomi, limfogen dan hematogen.Berdasarkan bakteri penyebab sebagian besar abses leher

dalam disebabkan oleh campuran berbagai jenis kuman baik aerob maupun anaerob. Abses

parafaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Gejala klinis berupa demam, nyeri tenggorok dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

trismus, pembengkakan disekitar angulus mandibula, pembengkakan dinding lateral faring

hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher

dan tomografi komputer. Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan

drainase. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman aerob maupun

anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinis yang timbul. Drainase abses dapat

dilakukan dengan dua pendekatan yaitu insisi eksterna dan intra oral.

Page 3: Abses Parafaring

PEMBAHASAN

Anatomi

Secara anatomi leher terdiri dari beberapa fasia dan ruang potensial. Fasia servikal terdiri

atas lapisan jaringan fibrosa yang meliputi organ, otot, saraf dan pembuluh darah yang

memisahkan area leher menjadi rangkaian ruang-ruang potensial. Fasia ini dibagi atas fasia

servikal superfisial dan fasia servikal profunda yang dipisahkan oleh m. platisma. Fasia servikal

superfisial meluas dari perlekatan superiornya di prosesus zygomatikus turun ke area toraks dan

aksila yang terdiri atas jaringan subkutan berlemak. Ruang antara fasia servikal superfisial dan

profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis

eksterna.

Fasia servikal profunda terbagi menjadi 3 bagian yaitu lapisan luar/superfisial,

tengah/media dan dalam/profunda. Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda membungkus

seluruh leher meluas dari insersinya di linea nuchae tengkorak ke dada dan area aksila. Anterior

ke daerah wajah dan melekat ke klavikula. Lapisan jaringan fibrosa ini membungkus otot

sternokleidomastoideus dan masseter serta membungkus kelenjar parotis dan submaksila.

Lapisan media dari fasia servikal profunda dibagi atas divisi muskuler dan viseral. Divisi

muskuler berada di bawah lapisan superfisial dan membungkus sternohyoid, sternotyroid,

tyrohyoid dan omohyoid. Fasia ini melekat di os hyoid, kartilago tyroid, sternum, klavikula dan

skapula. Divisi viseral melingkupi area visera anterior leher termasuk kelenjar tiroid, trakea dan

esofagus. Lapisan profunda dari fasia servikal profunda membentuk cincin dengan pembuluh-

pembuluh darah besar di luar cincin tersebut serta saraf frenikus didalamnya.

Dari berbagai lapisan fasia servikal dan sepanjang perjalanannya mengadakan perlekatan

ke berbagai struktur di leher akan membentuk beberapa ruang potensial. Tulang hyoid

merupakan struktur penting yang membatasi penyebaran infeksi daerah leher dan merupakan

landmark yang reliabel saat melakukan tindakan pembedahan dalam mengatasi abses leher

dalam.

Page 4: Abses Parafaring

Ruang potensial di leher dibagi menjadi 3 yaitu :

1. ruang yang melibatkan seluruh panjang leher yang terdiri dari ruang retrofaring, ruang bahaya

(danger space) dan ruang prevertebra;

2. ruang di atas tulang hyoid (ruang suprahyoid) terdiri dari ruang submandibula, ruang

parafaring, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang temporal dan ruang parotis;

3. ruang dibawah tulang hyoid (ruang infrahyoid) mencakup ruang visera anterior.

Gambar 1.1

Ruang parafaring

Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang faringeal lateral atau

ruang perifaring. Ruang ini berbentuk kerucut terbalik dengan dasarnya pada bagian superior di

dasar tengkorak dan puncaknya pada inferior tulang hyoid. Batas ruang ini adalah dasar

tengkorak di bagian superior (pars petrosus os temporal dan os sphenoid), os hyoid di inferior,

rafe pterygomandibular di anterior, fasia prevertebra di posterior, fasia bukofaringeal di medial

dan lapisan superfisial fasia servikal profunda yang meliputi mandibula, pterygoid medial dan

parotis di lateral. Ruang parafaring berhubungan dengan beberapa ruang leher dalam termasuk

Page 5: Abses Parafaring

ruang submandibula, ruang retrofaring, ruang parotis dan ruang mastikator. Ruang parafaring

dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya oleh prosesus styloid menjadi kompartemen

anterior atau muskuler atau prestyloid dan komponen posterior atau neurovaskuler atau

poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan konektif serta

dibatasi oleh fossa tonsilar di medial dan pterygoid medial di sebelah lateral. Ruang poststyloid

berisi a. karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang

disebut selubung karotis dan saraf kranialis IX, X, XII. Bagian ini dipisahkan dari ruang

retrofaring oleh suatu lapisan yang tipis.

Gambar 2.1

ETIOLOGI

Sebelum ditemukan antibiotika, tujuh puluh persen dari kasus abses dalam disebabkan oleh

penyebaran infeksi yang berasal dari faring dan tonsil. Setelah ditemukan antibiotika, infeksi gigi

merupakan sumber terbanyak yang menyebabkan abses leher dalam. Pada 20% kasus tidak

ditemukan sumber infeksinya. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara :

Page 6: Abses Parafaring

1. langsung akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan anastesi lokal;

2. proses supurasi kelenjar limfe bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,

mastoid dan vertebra servikalis;

3. penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibular.

BAKTERIOLOGI

Berdasarkan bakteri penyebab sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh

campuran berbagai jenis kuman baik aerob maupun anaerob. Golongan aerob penyebab

terbanyak adalah kuman Streptokokus, Stapilokokus, Dipteroides dan Neisseria. Golongan

anaerob penyebab tersering adalah Bakteroides, Peptostreptokokus, Eubakterium, Fusobakterium

dan Pseudomonas.

EPIDEMIOLOGI

Fachruddin melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991- Desember 1993

di bagian THT FK-UI/RSUPN-CM, usia berkisar antara 15-35 tahun terdiri dari 20 pasien laki-

laki dan 13 wanita.2 Parhiscar dan Har-El (2001) melakukan penelititan retrospektif pada 210

kasus abses leher dalam dari tahun 1991-1998. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan

jumlah kasus abses parafaring menempati urutan pertama (43%) diikuti abses submandibula

Page 7: Abses Parafaring

(28%), Ludwig’s Angina (17%) dan abses retrofaring (12%).4 Di Departemen KTHT-KL RSMH

periode 1 Januari 2008-31 Desember 2010 didapatkan 8 infeksi leher dalam yang terdiri dari 1

abses parafaring (12,5%), 1 abses peritonsil (12,5%), 2 abses retrofaring (25%) dan 4 abses

submandibula (50%). Periode 1 Januari-31 Agustus 2011 terdapat 7 infeksi leher dalam yaitu 1

Ludwig’s Angina (14,3%) dan 7 abses sumbandibula (85,7%).

Page 8: Abses Parafaring

DIAGNOSIS

Diagnosis abses parafaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Gejala klinis berupa demam, nyeri pembengkakan di sekitar angulus

mandibula, pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan

penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi komputer. Foto jaringan lunak

leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada

pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran

deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan

daerah jaringan lunak leher. Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat

membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan

untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran

kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi

dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran

kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. Pemeriksaan kultur dan tes

resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian anitbiotika yang sesuai.

PENATALAKSANAAN

Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan drainase. Barakate

dkk secara lebih terinci mengatakan bahwa penatalaksanaan yang adekuat suatu abses leher

dalam tergantung pada pengenalan proses sedini mungkin, mencegah dan mengatasi sumbatan

saluran nafas dan perawatan yang intensif. Huang dkk memilih untuk melakukan tindakan

drainase pada kasus abses leher dalam dengan gambaran radiologi yang jelas, kemungkinan

komplikasi dan pada pemberian antibiotikadengan respon yang buruk. Terapi medikamentosa

meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai

keluhan serta gejala klinik yang timbul.

Pemberian antibiotika

Antibiotika parenteral diberikan terhadap kuman aerob dan anaerob. Penentuan

antibiotika apa yang digunakan tergantung hasil biakan kuman dan tes kepekaan terhadap bakteri

penyebab infeksi. Menurut Abdulrachman yang menjadi persoalan adalah lamanya menunggu

Page 9: Abses Parafaring

hasil pemeriksaan laboratorium sementara pengobatan harus segera dilakukan. Demikian juga

persoalan mengenai isolasi kuman anaerob dimana penting cara mendapatkan bahan

pemeriksaan yang baik dan cara mengirimkan bahan tersebut dalam kondisi baik supaya kuman

tidak mati. Sementara menunggu hasil kultur dapat diberikan ampisilin sulbaktam, amoksisilin

asam klavulanat, klindamisin atau sefalosporin generasi kedua atau ketiga. Untuk mengatasi

kuman anaerob diberikan metronidazol. Penggantian antibiotika dilakukan bila tidak ada

perbaikan klinis dalam waktu 2-3 hari dan antibiotika dihentikan sesudah 2-3 hari gejala dan

tanda klinis reda.

Drainase abses

Sebagian besar abses leher dalam perlu dilakukan drainase untuk penyembuhan dan

mencegah komplikasi. Pada abses yang tidak terlalu besar dengan keadaan umum pasien masih

baik tanpa komplikasi dan faktor resiko, tindakan drainase dapat ditunda 24-48 jam asalkan

dalam perawatan dan observasi yang ketat. Tindakan drainase pada abses parafaring dilakukan

dengan anestesi general dengan pendekatan eksterna dan intra oral. Drainase eksterna dilakukan

secara teknik Mosher yaitu insisi seperti huruf “T” yang dilakukan pada 2 jari di bawah dan

sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari anterior m. sternokleidomastoideus

ke arah kranio-posterior menyusuri medial mandibula dan m. pterygoid internus mencapai ruang

parafaring dengan meraba prosesus styloideus. Bila nanah terdapat di selubung karotis, insisi

dilanjutkan secara vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan m.

sternokleiodomastoideus. Insisi intra oral dilakukan pada dinding lateral faring harus dilakukan

dengan memakai klem arteri, eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring

Page 10: Abses Parafaring

superior ke ruang parafaring. Insisi intra oral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan

dari insisi eksternal.

KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi dapat terjadi sebagai akibat keterlambatan diagnosis,

penatalaksanan yang tidak tepat dan tidak adekuat. Proses infeksi menjalar secara hematogen,

limfogen dan langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke superior bisa

menyebabkan komplikasi intrakranial, ke bawah menyebabkan nekrosis pembuluh karotis yang

bisa menyebabkan ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Mediastinis terjadi jika infeksi

sampai ke mediastinum yang bisa berlanjut menjadi sepsis.

Page 11: Abses Parafaring

DAFTAR PUSTAKA

1. Alaani A, Griffiths H, et all: Parapharyngeal abscess: diagnosis, complications and

management in adults. Eur Arch Otorhinolaryngol (2005) 262 : 345–350.

2. Adams GL. Penyakit – penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies LR, Adams GL,

Higler PA, Ed. Buku ajar penyakit THT, Edisi ke – 6, Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 1997, h. 347 – 8.

3. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu

penyakit THT. Edisi ke – 3. Jakarta : FK UI , 1997.h. 185-6.

4. Berger TJ, Shahidi H. retropharyngeal abscess. eMedicine Journal. February 14 2012,

Volume 2, Number 8 : http://author.emedicine.com/PED/topic2682.htm.