76 bab iii kriteria, objek dan subjek tanah terlantar

35
76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 3.1. Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundang-undangan Dalam ketentuan UUPA terkandung suatu amanah yaitu bahwa pemilik dan atau pemegang hak atas tanah tidak boleh menelantarkan tanahnya. Hal tersebut berarti setiap pemberian hak oleh negara kepada perorangan atatu badan hukum haruslah bersama-sama dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. Secara filosofis tanah terlantar sangat bertentangan dengan asas yang menentukan bahwa tanah merupakan aset atau modal, bahkan tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang tidak akan habis. Tanah berfungsi untuk menyejahterakan manusia sehingga tanah harus digunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Itu sebabnya mengabaikan kewajiban menggunakan dan mengelola tanah sesuai dengan hak yang dimiliki merupakan tindakan pelanggaran terhadap fungsi sosial tanah. Pada dasarnya hak atas tanah dilindungi terhadap pengambilan/pembebasan tanah untuk kepentingan umum oleh siapapun. Prinsip dasar hak asasi manusia telah memberikan jaminan atas kedamaian dan kenikmatan dari apa yang dimilikinya. Negara harus memberikan jaminan terhadap hak-hak atas tanah dari berbagai pengurangan nilai-nilai dari tanah atau

Upload: duongthu

Post on 30-Dec-2016

240 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

76

BAB III

KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

3.1. Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundang-undangan

Dalam ketentuan UUPA terkandung suatu amanah yaitu bahwa pemilik

dan atau pemegang hak atas tanah tidak boleh menelantarkan tanahnya. Hal

tersebut berarti setiap pemberian hak oleh negara kepada perorangan atatu badan

hukum haruslah bersama-sama dengan kewajiban-kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh pemegang hak sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana

ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.

Secara filosofis tanah terlantar sangat bertentangan dengan asas yang

menentukan bahwa tanah merupakan aset atau modal, bahkan tanah merupakan

sumber kehidupan manusia yang tidak akan habis. Tanah berfungsi untuk

menyejahterakan manusia sehingga tanah harus digunakan untuk meningkatkan

kemakmuran rakyat. Itu sebabnya mengabaikan kewajiban menggunakan dan

mengelola tanah sesuai dengan hak yang dimiliki merupakan tindakan

pelanggaran terhadap fungsi sosial tanah.

Pada dasarnya hak atas tanah dilindungi terhadap

pengambilan/pembebasan tanah untuk kepentingan umum oleh siapapun. Prinsip

dasar hak asasi manusia telah memberikan jaminan atas kedamaian dan

kenikmatan dari apa yang dimilikinya. Negara harus memberikan jaminan

terhadap hak-hak atas tanah dari berbagai pengurangan nilai-nilai dari tanah atau

Page 2: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

77

benda lain yang dimilikinya.1 Hak-hak kenikmatan dan kebahagiaan manusia

yang alami itulah yang telah menempatkannya untuk melakukan kehendaknya

atas tanah yang dimilikinya.2

Apabila nantinya diketahui pemegang hak mengabaikan kewajiban

terhadap tanah sehingga keadaan tanah menjadi terlantar atau tidak produktif,

tidak memberi manfaat bagi pemegang hak maupun masyarakat sekitarnya,

mengalami penurunan kualitas kesuburan dalam waktu tertentu, maka pemerintah

harus segera bertindak, dan menyatakan suatu bidang tanah dalam keadaan

terlantar. secara yuridis hal ini harus diikuti dengan tindakan pemerintah untuk

melakukan pembatalan terhadap hak atas tanah tersebut. Kemudian tanah kembali

kepada negara yang selanjutnya akan diserahkan kepada subjek hukum lainnya

untuk dimanfaatkan kembali. Realitas seperti itu menunjukkan bahwa secara

administrasi tertib hukum pertanahan perlu ditegakkan secara tegas.

Untuk dapat menertibkan tanah terlantar selain diperlukan peraturan yang

tegas, peraturan tersebut juga harus jelas. Peraturan yang jelas dalam pembuatan

norma harus memenuhi syarat terpenuhinya asas hukum yaitu pikiran dasar yang

bersifat abstrak dan ini tercermin dalam Pasal-Pasal Peraturan Perundang-

undangan yang ada.

Asas hukum penting untuk diketahui, karena asas hukum berperan sebagai

pembentuk sistem tentang check and balances, yang pada dasarnya mempunyai

landasan :

1Deborah Rook, 2001, Property Law & Human Rights, First Published, Blackstone Press

Limited, London, h. 60 2L.B. Curzon, 1999, Land Law, Seventh Edition, First Published, Pearson Education

Limited, London, h. 45

Page 3: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

78

a. Berakar dalam kenyataan masyarakat, dan

b. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama

Asas hukum mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu :

1. Asas dalam hukum mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh

pembentuk Undang-Undang dan hakim.

2. Fungsi dalam ilmu hukum hanya bersifat mengatur dan menjelaskan.

Tujuannya memberi ikhtisar, sifatnya tidak normatif dan tidak termasuk

hukum.3

Untuk menentukan kriteria suatu hak atas tanah dapat dikatakan tanah

terlantar adalah dengan cara mensistematisasi unsur-unsur yang ada dalam

pengertian mengenai tanah terlantar. Dalam Hukum Adat Tanah terlantar dapat

dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau

penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3 s.d. 15 tahun) sampai tanah

sawah atau ladang itu menjadi semak belukar, maka tanah tersebut kembali

kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat.

Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan tanah terlantar menurut hukum

Adat lebih mengarah pada keadaan fisik tanah yang sudah tidak produktif dan

tidak bertuan (karena ditinggalkan oleh pemegang haknya), namun secara yuridis

tidak jelas kedudukannya karena tidak disebutkan siapa yang berwenang untuk

menetapkan suatu bidang tanah adalah terlantar. Melihat adanya konsekuensi

berupa kembalinya tanah kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat, maka pada

umumnya dalam masyarakat Hukum Adat yang berhak menyatakan tanah

3Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

h. 36

Page 4: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

79

terlantar adalah ketua masyarakat adatnya. Salah satu contohnya adalah

kedudukan tanah adat marga di Sumatera Selatan yang pelaksanaannya dilakukan

oleh Pasirah selaku kepala marga yang memberikan “pacung alas” (izin tebang)

dengan syarat yaitu apabila izin yang diberikan tidak digarap lagi selama 3 (tiga)

tahun terus menerus, maka izin tebang tersebut tidak berlaku lagi dan tanahnya

kembali kepada marga.4

Dalam penjelasan Pasal 27 UUPA menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan tanah terlantar adalah kalau hak atas tanah tersebut dengan sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Menurut R.

Soeprapto UUPA mengenal hal tersebut oleh karena dalam hukum adat terdapat

yang disebut asas efisiensi dalam pemanfaatan tanah, yaitu bahwa seseorang tidak

boleh menelantarkan tanah. Dan kalau tanah ditelantarkan dalam jangka waktu

tertentu, tanah kembali kedalam penguasaan masyarakat hukum Adat.

Boedi Harsono menegaskan secara lebih luas pengertian tersebut dari segi

sosial hak-hak atas tanah yaitu : “mewajibkan yang mempunyai hak untuk

memanfaatkannya sesuai dengan peruntukannya, apabila kewajiban itu diabaikan

dapat mengakibatkan hapus atau batalnya hak yang bersangkutan”. Dalam hal

yang demikian tanah tersebut termasuk golongan yang ditelantarkan menurut

penjelasan Pasal 27 UUPA. Jika tanah Hak Milik, tanah Hak Guna Usaha dan

tanah Hak Guna Bangunan ditelantarkan maka haknya hapus dan tanah yang

bersangkutan jatuh kepada negara, artinya tanah tersebut kembali menjadi tanah

negara.

4Abdul Malik, Op.Cit, h. 62

Page 5: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

80

Sifat dan tujuan pemberian Hak Guna Bangunan adalah yang memiliki hak

akan membangun rumah atau bangunan lain diatasnya. Kalau tanahnya dibiarkan

kosong tanpa alasan, maka yang demikian itu termasuk dalam pengertian

ditelantarkan. Namun tidak semua tanah yang dibiarkan dalam keadaan kosong

atau tidak tertanami termasuk dalam pengertian ditelantarkan. Seringkali untuk

mengembalikan atau mempertahankan kesuburan tanah pengusahaannya perlu

dilakukan sistem rotasi.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 PP No. 36 Tahun 1998 yang dimaksud

dengan tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas

tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak-pihak yang telah memperoleh dasar

penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh dasar penguasaan atas tanah

tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dengan pertimbangan bahwa PP No. 36 Tahun 1998 tidak dapat lagi dijadikan

acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sehingga perlu

dilakukan penggantian peraturan maka diterbitkan PP No. 11 Tahun 2010. PP No.

11 Tahun 2010 tersebut mencabut PP No. 36 Tahun 1998 dan dinyatakan tidak

berlaku lagi. Salah satu yang menjadi kelemahan dalam PP. No. 36 Tahun 1998

adalah tidak ditentukannya berapa lama tanah yang tidak digunakan sesuai dengan

peruntukannya dapat dikatakan tanah terlantar.

Dalam Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 menggolongkan suatu tanah adalah

terlantar dari segi status tanah dan dari segi penggunaan tanahnya :5

5Rusmadi Murad, 2013, Administrasi Pertanahan : Pelaksanaan Hukum Pertanahan

Dalam Praktek, Mandar Maju, Bandung, h. 401

Page 6: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

81

1. Dari segi status tanahnya, yaitu meliputi hak penguasaan atas tanah yang

sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau

Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak

diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan

keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Serta hak penguasaan atas tanah

yang sudah ada dasar penguasaannya, dinyatakan sebagai tanah terlantar

apabila tanahnya tidak dimohonkan hak, tidak diusahakan, tidak

dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau

ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian

hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam

izin/keputusan /surat lainnya dari pejabat yang berwenang.

2. Dari segi penggunaan tanahnya, yaitu kondisi-kondisi yang dimaksud

dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat

dan tujuan pemberian haknya adalah karena pemegang hak perseorangan

dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk

mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan

keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Selain itu yang

dimaksud dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan

atau sifat dan tujuan pemberian haknya yaitu pemegang hak instansi

Pemerintah/BUMN/BUMD dimaksud karena keterbatasan anggaran

negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan

sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Serta

yang dimaksud dengan tanah yang terindikasi terlantar adalah tanah hak

dan atau dengan dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak

dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat

dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum

dilakukan identifikasi dan penelitian. Untuk memperoleh data tanah

terindikasi tanah terlantar dilaksanakan kegiatan inventarisasi oleh kepala

wilayah BPN kepada kepala BPN RI.

Unsur-unsur yang esensial terjadinya tanah telantar maka kriteria atau

ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah penguasaan instansi

pemerintah sebagai tanah telantar yaitu dengan cara kembali menjelaskan dengan

melakukan penafsiran-penafsiran terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap

tujuan pemberian hak atas tanah. Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah

tidak terawat atau tidak terpelihara, itu berarti tidak sesuai dengan tujuan

pemberian haknya. Sehingga kriteria tanah telantar yaitu :

1). Harus ada tanah hak (Objek)

Page 7: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

82

Tanah merupakan objek dari penertiban dari tanah terlantar. Negara

memberikan berbagai macam hak atas tanah untuk dipergunakan oleh

pemegang hak atas tanah. Mengenai tanah hak apa saja yang menjadi tanah

objek tanah terlantar akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.

2). Harus ada pemilik/pemegang hak atas tanah (subjek).

Selain harus ada objek yaitu tanah hak, kriteria untuk menentukan sebuah

tanah tersebut dikatakan telantar juga harus adanya pemilik/pemegang hak

baik perseorangan, badan hukum perdata, ataupun instansi pemerintahan.

Mengenai pemilik/pemegang hak atas tanah yang mana saja dapat dikatakan

sebagai subyek tanah terlantar akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.

3). Harus ada perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.

Dalam penjelasan Pasal 27 UUPA menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan tanah terlantar adalah kalau hak atas tanah tersebut dengan sengaja

tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.

Hal yang sama juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010

dan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4

Tahun 2010 bahwa unsur yang terpenting adalah harus dapat dibuktikan

bahwa pemegang hak telah dengan sengaja telah menelantarkan tanah

miliknya.

Sengaja dapat ditafsirkan sebagai keadaan mampu dari segi ekonomi

pemegang hak untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan hak

atas tanahnya sesuai dengan kewajibannya namun tanah tersebut tidak dirawat

dan dibiarkan menjadi semak belukar oleh pemegang hak. Selain itu pemegang

Page 8: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

83

hak tidak melaksanakan kewajibannya misalkan tidak membayarkan pajak

bumi dan bangunan atas tanah tersebut. Apabila pemegang hak memang tidak

dengan sengaja menelantarkan tanahnya karena ketidakmampuan secara

ekonomi, maka tanah tersebut dapat dikecualikan sebagai tanah terlantar.

4). Harus ada perbuatan mengabaikan kewajibannya

Kewajiban-kewajiban itu secara umum dapat dikemukakan sebagai

berikut. Pasal 6 UUPA, semua hak atas tanah berfungsi sosial. Artinya hak

atas Tanah apapun yang ada pada seorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa

tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk

kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi

masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan, sifat dan tujuan dari

hak atas tanah tersebut, sehingga bermanfaat bagi yang mempunyai hak atas

tanah maupun bagi masyarakat dan negara. Tidak memelihara tanda-tanda

batas, tanah dibiarkan kosong dapat dikategorikan sebagai bentuk

penyangkalan terhadap fungsi sosial atau tidak mengindahkan fungsi sosial

hak atas tanah.

Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah

pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya

sendiri secara aktif dengan mencegah cara pemerasan. Dengan demikian,

terkandung asas bahwa pada dasarnya tiap orang tidak boleh menyerahkan

tanahnya dikerjakan orang lain. Terkandung pula asas larangan eksploitasi

tanah agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan. Berarti ada tanggung

Page 9: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

84

jawab setiap orang untuk menjaga produktivitas tanah, sehingga tidak

dibenarkan tanah tidak diusahakan secara optimal.

Pasal 15 UUPA, memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya

serta mencegah kerusakannya merupakan kewajiban tiap-tiap orang, badan

hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu,

dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah. Asas hukum yang

terkandung adalah larangan tidak memelihara tanah, hal tersebut berarti ada

kewajiban menambah kesuburan tanah serta mencegah kerusakan tanah. Jadi

asas ini mewajibkan setiap orang, badan hukum atau instansi untuk

memelihara tanah, menambah kesuburan serta mencegah kerusakannya.

Adapun melaksanakan kewajiban, harus dengan baik dan benar. Hukum

menghendaki adanya itikad baik dalam melaksanakan kewajiban antar orang-

orang yang mempunyai hubungan dengan tanah di satu pihak (hubungan

subjek dan objek hak) demikian juga hubungan antar subjek hak (penerima)

dengan subjek (pemberi). Apabila itu diabaikan maka kepada pemegang hak

atas tanah dapat diberi sanksi pencabutan hak karena tidak memelihara

kesuburan tanah atau tidak menggunakan tanah sesuai kondisi lingkungan

hidup.

Kewajiban yang bersifat khusus dimaksimalkan sesuai dengan tiap-tiap

hak yang diperoleh instansi pemerintah yaitu, Hak Pakai dan Hak

Pengelolaan. Selanjutnya kewajiban-kewajiban yang khusus itu dijelaskan

dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Page 10: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

85

Kewajiban yang bersifat khusus pada hak pakai yaitu menggunakan tanah

sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan pemberiannya; memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang

ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup, sedangkan pada

hak pengelolaan yaitu menggunakan tanah sesuai keperluan usahanya.

Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah

telantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak

dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan

atauketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, dan/atau dalam

izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.

5). Harus ada jangka waktu tertentu dimana pemegang hak mengabaikan

kewajibannya.

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 sebagai pengganti Peraturan

Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Telantar, menyatakan bahwa panitia yang susunan keanggotaannya terdiri dari

unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh

Kepala Badan Pertanahan Nasional melakukan identifikasi dan penelitian

terhadap tanah yang terindikasi telantar tersebut. Hal ini dilaksanakan

terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak ditertibkan Hak Pakai, Hak Pengelolaan

tersebut; atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas

tanah dari Pejabat yang berwenang.

Page 11: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

86

3.2. Objek dan Subjek Penertiban Tanah Terlantar

3.2.1. Objek Penertiban Tanah Terlantar

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa “Atas dasar

hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan

adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Pemberian hak-hak

atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan lain-lain)

kepada perorangan atau badan hukum oleh negara untuk diusahakan, dikelola dan

dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,

merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus dikerjakan dengan

sebaik-baiknya.

Fungsi sosial tanah sering dihubungkan dengan peraturan lingkungan,

sebagai contoh, penguasaan hak milik harus dikaitkan dengan fungsi sosial tanah,

oleh karena itu kepemilikan dibatasi oleh kepentingan umum yang lebih besar.6

Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk

mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya

keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Jika kewajiban itu

sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang

bersangkutan, dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada maksud agar tidak

menelantarkan tanah.

6 Peter P. Houtzager, 2003, Social Function Of Preperty, Movement Of Landless And the

Judicial Field in Brazil, Institute Of Development Studies, United Kingdom, Page 4.

Page 12: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

87

Dalam Teori Negara Hukum yang dikemukakan oleh A.V. Dicey bahwa

setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum sehingga dapat terwujudnya

supremasi hukum, kedudukan yang sama dihadapan hukum serta terjaminnya hak-

hak manusia oleh Undang-undang. Berikut beberapa ketentuan dalam Peraturan

Perundang-undangan yang berkaitan dengan objek tanah terlantar dapat

dikemukakan sebagai berikut :

1. Dalam UUPA Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada negara

karena ditelantarkan (Pasal 27 poin a. 3). Penjelasan Pasal 27 menyatakan :

“Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai

dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”. Hak Guna

Usaha hapus karena ditelantarkan (Pasal 34 e). Hak Guna Bangunan hapus

karena ditelantarkan (Pasal 40 e)

2. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 secara rinci dan jelas

mengatur mengenai pemberian hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai), objek hak, serta jangka waktu dan lamanya

suatu hak diberikan oleh negara kepada subjek hak. Apabila pemegang hak

tidak melaksanakan kewajibannya, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal

17 ayat (1) huruf e, Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan.

Demikian juga tentang hapusnya Hak Guna Bangunan dalam Pasal 35 ayat

(1) huruf e yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena

ditelantarkan. Dalam pemberian Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan

tentang hapusnya Hak Pakai. Pasal 55 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa

Page 13: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

88

Hak Pakai hapus karena ditelantarkan. Meskipun khusus dalam hal Hak

Pakai tidak terdapat ketentuan hapusnya Hak Pakai dalam UUPA.

3. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1998 menyatakan bahwa

“tanah terlantar yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang

sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas

tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Mengenai ruang lingkup tanah terlantar dalam PP No. 36 Tahun 1998 dibagi

menjadi tiga bagian.

Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai meliputi :

Pasal 3 yang menyatakan bahwa :

“Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai

dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan

sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan

keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”

Pasal 4 yang menyatakan bahwa :

“Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak

dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka

penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan

tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut

tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata

Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau

pembangunan fisik di atas tanah tersebut”.

Pasal 5 yang menyatakan bahwa :

(1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya

atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,

apabila tanah itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan

tanah pertanian yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Page 14: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

89

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya

bagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Pasal 6 menyatakan bahwa :

(1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk

dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya

tidak diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan

haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut

tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana

kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak

Pakaisebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar,

maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan

terlantar.

Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan diatur dalam Pasal 7 yang

menyatakan bahwa :

(1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar,

apabila kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut

tidakdilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan

pemberian pelimpahan kewenangan tersebut.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya

bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Bagian Ketiga mengenai Tanah Yang Belum Dimohon Hak diatur dalam

Pasal 8 yang menyatakan bahwa :

(1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh

hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut

oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon

haknya atau tidak dipelihara dengan baik.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan

dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria

tanah terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat

dinyatakan terlantar.

4. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 dan Pasal 1 Angka

6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010

Page 15: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

90

menyebutkan bahwa objek tanah terlantar adalah tanah yang sudah Hak

Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak

Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak

diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan

keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar

penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak

dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak

dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan

dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan

kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat

yang berwenang.

Berdasarkan penjelasan dari berbagai peraturan perundang-undangan di

atas maka dapat disimpulkan ruang lingkup objek penertiban tanah terlantar

meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak

Pengelolaan dan atau dasar penguasaan atas tanah.

1). Hak Milik

Pasal 20 ayat (1) UUPA menyatakan : Hak milik adalah hak yang turun

temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan

mengingat ketentuan Pasal 6. Pada dasarnya hak milik mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut :7

1. Turun temurun;

2. Terkuat dan Terpenuh;

7Urip Santoso, Op.Cit., h. 90

Page 16: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

91

3. Hak milik dapat beralih dan dialihkan;

4. Hak milik mempunyai fungsi sosial;

5. Hak milik juga hak yang wajib daftar menunjuk pada jangka waktu hak

milik yang tidak dibatasi.

Adapun subjek Hak Milik atau yang dapat menjadi pemegang hak milik adalah :

Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI), dan Badan Hukum

Tertentu.8

Menurut penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto mengenai

WNI pada Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa “Hanya Warga Negara

Indonesia dapat mempunyai hak milik”.9 Karena yang dapat mempunyai hak

milik hanyalah WNI tunggal, maka apabila seorang Warga Negara Asing

(selanjutnya disingkat WNA) memperoleh hak milik karena percampuran harta

yang disebabkan adanya perkawinan maka yang bersangkutan dalam waktu 1

(satu) tahun setelah diperolehnya hak milik tersebut harus melepaskan hak milik

tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik

(hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA). Oleh karena itu semua perbuatan

hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak milik kepada orang asing atau

seseorang yang mempunyai kewarganegaraan asing, adalah batal demi hukum dan

tanahnya jatuh kepada negara (diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA).

Kemudian selanjutnya penjelasan Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto

mengenai Badan Hukum Tertentu pada Pasal 21 ayat (2) UUPA menyatakan

8Ibid., h. 91

9Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, 2013. Hak Atas Tanah Dan Peralihannya,

Liberty, Yogyakarta, h. 56

Page 17: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

92

“oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak

milik dengan syarat-syarat”. Pemilikan tanah hak milik oleh badan keagamaan

dan badan sosial diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa

“hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan

untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-

badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan

dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial”. Pemerintah kemudian

mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Th 1963 yang memuat badan-badan

hukum apa saja yang dapat mempunyai hak milik, yaitu :

- Bank - bank yang didirikan oleh Pemerintah

- Perkumpulan - perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan

berdasarkan UU No. 79 Th 1958 tentang Perkumpulan Koperasi;

- Badan - badan keagamaan yang ditunjuk menteri agama;

- Badan - badan sosial yang ditunjuk menteri dalam negeri yang telah

mendapat persetujuan menteri sosial.

Sedangkan menurut Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Th 1999 Tentang Tata Cara

Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tentang Negara dan Hak Pengelolaan,

disebutkan bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik

adalah Bank Pemerintah, Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh

pemerintah. Alasan untuk tidak diperbolehkannya badan hukum mempunyai tanah

dengan hak milik adalah agar terhindar dari penyelundupan-penyelundupan

terhadap batas maksimum pemilikan tanah yang ditentukan dalam Pasal 17

Page 18: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

93

UUPA. Disamping itu alasan lainnya adalah bahwa badan-badan hukum tidak

perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan

yang cukup bagi keperluannya yang khusus. Terjadinya Hak milik ada tiga

yaitu:10

a. Menurut hukum adat;

b. Terjadinya hak milik karena Penetapan Pemerintah;

c. Terjadinya hak milik karena ketentuan Undang-Undang;

Menurut Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto penjelasan mengenai

terjadinya hak milik menurut hukum adat ini berhubungan dengan hak ulayat.

Dalam hukum adat, terjadinya hak milik tersebut diawali dengan hak seorang

warga untuk membuka hutan dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat

dengan persetujuan Kepala Adat. Pembukaan hutan adalah pembukaan tanah

(pembukaan hutan) yang dilakukan bersama-sama ketua adat melalui 3 (tiga)

sistem penggarapan, yaitu matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan

sistem bluburan.11

Menurut Maria SW Soemardjono perolehan hak milik menurut hukum

adat tidak dengan cara sertamerta, melainkan diawali dengan pembukaan hutan

oleh anggota persekutuan dengan sepengetahuan kepala persekutuan. Tetapi hal

tersebut dilanjutkan dengan pemasangan tanda batas dan pengolahan tanahnya

menjadi tanah pekarangan atau pertanian. Jika hubungan antara yang

bersangkutan dengan tanahnya sudah bersifat menetap (terus-menerus) maka

10

Urip Santoso. Op.Cit. h.56 11

Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.Cit. h.62

Page 19: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

94

lambat laun hubungan tersebut menjadi hubungan milik.12

Bahwa menurut hukum

adat, hak milik tidak dapat diperoleh secara serta merta terdapat tata cara yang

harus dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama.

Selanjutnya mengenai terjadinya hak milik, Erna Sri Wibawanti dan R.

Murjiyanto menjelaskan karena penetapan pemerintah ini diatur dalam

PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan

Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak milik karena

penetapan ini dimulai dengan suatu permohonan hak kepada pejabat yang

berwenang. Sedangkan mengenai siapa yang wenang memberikan keputusan

pemberian haknya hal ini diatur dalam PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1999 tentang

Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah

Negara.

Terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang adalah terjadinya

hak milik karena konversi, sebagaimana diatur dalam ketentuan konversi.

Konversi disini adalah perubahan hak-hak atas tanah yang sebelum UUPA lahir

(hak lama) menjadi salah satu hak atas tanah yang ada dalam UUPA. Hak lama

adalah hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA lahir, yaitu baik hak barat

maupun hak adat.

Hak barat adalah hak atas tanah yang tunduk pada hukum perdata barat

misalnya hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, yang akan dikonversi menjadi

hak milik apabila pemegang haknya memenuhi syarat sebagai pemegang hak

milik. Sedangkan hak adat adalah hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat

12

Maria SW soemardjono III, Op.Cit., h.144

Page 20: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

95

seperti hak milik, yayasan, andarbeni, hak atas druwe atau hak golongan, pekulen

atau sanggan yang bersifat tetap inilah yang akan dikonversi menjadi hak milik

apabila pemegangnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik.

Dalam Pasal 27 UUPA terdapat beberapa alasan hak milik atas tanah dapat

hapus dan jatuh kepada negara yaitu : apabila adanya pencabutan hak berdasarkan

Pasal 18 UUPA, karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, karena

ditelantarkan, karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA

serta karena tanah hak miliknya musnah. Dari ketentuan Pasal 27 UUPA ini dapat

disimpulkan bahwa hak milik juga merupakan salah satu objek penertiban tanah

terlantar.

2). Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha (selanjutnya disingkat HGU) diatur dalam Pasal 28-34

UUPA dan Pasal 2-18 PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dalam Pasal 28 UUPA, yang dimaksud dengan

“Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung

oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan,

dan peternakan”.

Meskipun disebut Hak Guna Usaha, akan tetapi tidak semua bentuk usaha

dapat diberikan tanah HGU. Usaha yang akan diberikan dengan HGU adalah

usaha di bidang pertanian (dalam arti luas termasuk perkebunan), perikanan dan

peternakan, sehingga HGU peruntukannya terbatas.13

Luas HGU hanya diberikan

untuk usaha yang memerlukan tanah yang luas, maka HGU diberikan untuk tanah

13

Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, Op.Cit. h. 64

Page 21: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

96

luas minimum 5 hektar dan jika luasnya 25 hektar atau lebih harus disertai

investasi modal yang layak dan teknis perusahaan yang baik, sesuai dengan

perkembangan zaman. Luas maksimum HGU perorangan adalah 25 hektar,

sedangkan luas maksimum untuk badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan

memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang

bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu

satuan usaha yang paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan.

Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur mengenai

tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah yang dapat diberikan dengan HGU

adalah tanah negara. Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan HGU itu adalah

tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat

dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan statusnya sebagai kawasan

hutan. Pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai

ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan HGU tersebut baru dapat

dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata

cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Meskipun HGU hanya dapat di atas tanah negara, akan tetapi dari

ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 40 Th 1996 tersebut maka HGU

dapat berasal dari tanah kepunyaan orang lain, atau tanah hak. Hanya saja tanah

tersebut oleh pemiliknya harus dilepas dahulu kepada negara, dengan memberikan

ganti kerugian kepada bekas pemiliknya, sehingga statusnya menjadi tanah

negara. Selanjutnya pemegang HGU mengajukan permohonan hak kepada negara

(Badan Pertanahan Nasional).

Page 22: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

97

Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999

Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,

dimungkinkan HGU diberikan oleh Negara di atas tanah ulayat setelah tanah

tersebut dilepas oleh masyarakat hukum adat. Meskipun diberikan di atas tanah

hak ulayat, tetap saja HGU tersebut harus dengan proses pemberian hak melalui

penetapan pemerintah, dalam hal ini sesuai ketentuan dalam PMNA/KBPN No. 3

Tahun 1999 dan PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999.

Jangka waktu HGU dapat dirasa cukup dengan 25 tahun atau maksimum

35 tahun dan kemungkinan untuk diperpanjang 25 tahun, bahkan dapat

diperbaharui (25 tahun).14

Perpanjangan dan pembaharuan HGU dapat dilakukan

jika memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana termuat dalam Pasal 9 PP No.

40 Tahun 1996, yaitu :

a) Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan

tujuan pemberian hak tersebut;

b) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang

hak;

c) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Subjek HGU adalah WNI dan Badan Hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dalam hal pemegang HGU

tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang HGU, maka dalam jangka waktu

satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGU tersebut kepada pihak lain

yang memenuhi syarat. Apabila jangka waktu tersebut HGU tidak dilepas atau

14

Sudargo Gautama, 1990. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Citra aditya bakti,

bandung. h.139

Page 23: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

98

dialihkan maka HGU tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada

negara. Selain itu pemegang HGU yang melanggar atau tidak mematuhi syarat

yang telah ditentukan maka HGU tersebut juga akan hapus dan tanah akan jatuh

kepada negara.

Seperti juga hak milik, maka HGU juga dapat beralih dan dialihkan, dalam

arti bahwa HGU dapat juga diwariskan maupun dialihkan kepada pihak lain

dengan suatu perbuatan hukum tertentu. Peralihan HGU diatur dalam Pasal 16

UUPA :

1. HGU dapat beralih dan dialihkan;

2. Peralihan HGU dapat terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan

dalam modal, hibah, pewarisan;

3. Peralihan HGU harus didaftar di Kantor Pertanahan;

4. Peralihan HGU karena jual beli kecuali melalui lelang, tukar menukar,

penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuatoleh

Pejabat Pembuat Akta Tanah;

5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan beritaacara

lelang;

6. Peralihan HGU karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau

surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

Ada beberapa cara hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No.

4 Tahun 1996, yaitu :

a. Jangka waktu berakhir, dan tidak diperpanjang atau diperbaharui oleh

pemegang haknya;

b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktu berakhir,

karena :

1. Tidak dipenuhinya kewajiban pemegang hak

2. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu

berakhir;

d. Hak Guna Usahanya dicabut untuk kepentingan umum;

e. Tanah ditelantarkan;

f. Tanahnya musnah;

g. Pemegang HGU tidak mememnuhi syarat sebagai pemegang HGU.

Page 24: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

99

Hapusnya HGU sesuai dengan penjelasan di atas mengandung beberapa

konsekwensi yang diatur dalam Pasal 18 PP No. 40 Tahun 1996, yaitu :

1. Apabila HGU hapus dan tidak diperpanjang atau diperbarui, bekas

pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda

yang ada diatasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada di atas

tanah bekas HGU tersebut kepada negara dalam batas waktu yang

ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN.

2. Apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut di atas diperlukan

untuk melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanahnya, maka

kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan

jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda di atas tanah HGU

dilaksanakan atas biaya bekas pemegang HGU;

4. Jika bekas pemegang HGU lalai dalam memenuhi kewajiban tersebut,

maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas HGU itu

dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang HGU.

Dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 34 UUPA dan juga Pasal 17 PP

No. 40 Tahun 1996 HGU merupakan salah satu dari objek tanah terlantar.

Konsekwensinya yaitu HGU atas tanah negara yang ditelantarkan mengakibatkan

tanahnya menjadi tanah negara.

3). Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan (selanjutnya disingkat HGB) diatur dalam Pasal 35-

40 UUPA dan Pasal 19-38 PP No. 40 Tahun 1999. Pasal 35 ayat (1) UUPA

menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah “hak untuk mendirikan dan

mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam

jangka waktu paling lama 30 tahun”.

Objek HGB adalah hak atas tanahnya bukan bangunannya, seseorang

diberi hak untuk menggunakan tanah pihak lain guna mendirikan dan mempunyai

bangunan. HGB adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk

Page 25: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

100

mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah tersebut, jadi bukan hak untuk

menggunakan bangunan milik orang lain.

Perbedaan antara HGB dengan Hak “Menggunakan Bangunan”, yaitu

apabila seseorang diberi ijin untuk menggunakan bangunan orang lain yang sudah

berdiri di atas suatu bidang tanah maka dia memperoleh Hak Menggunakan

Bangunan, sedangkan apabila seseorang memperoleh suatu hak atas tanah yang

penggunaannya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan, maka dia

memperoleh suatu Hak Atas Tanah. Jangka waktu HGB paling lama 30 tahun

dapat diperpanjang 20 tahun serta dapat diperbaharui. Ciri-ciri HGB yaitu

peruntukannya hanya untuk bangunan (mendirikan dan mempunyai bangunan),

serta di atas tanah yang bukan miliknya.

Ada beberapa cara terjadinya HGB yakni :

a. HGB Di atas tanah Negara dengan Keputusan pemberian hak oleh pejabat

yang berwenang. Kewenangan pemberian hak diatur dalam PMNA/KBPN

No. 3 Tahun 1999, sedangkan prosedur pemberian haknya diatur dalam

PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999.

b. HGB Di atas tanah hak pengelolaan dengan keputusan pemberian hak oleh

pejabat yang berwenang berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan.

Mengenai prosedur pemberian HGB di atas tanah Hak Pengelolaan ini

mengacu pada PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999

c. HGB Di atas tanah milik : dengan akta pemberian HGB di atas tanah hak

milik yang dibuat oleh PPAT.

Page 26: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

101

Disamping dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan,

HGB juga dapat dilaihkan kepada pihak lain. Pasal 34 PP No. 40 Tahun 1996

menyatakan :

1. HGB dapat beralih dan dialihkan;

2. Peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam

modal, hibah, pewarisan;

3. Peralihan HGB harus didaftar di Kantor Pertanahan;

4. Peralihan HGB karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar

menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta

yangdibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah;

5. Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita

acara lelang;

6. Peralihan HBG karena warisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau

surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang;

7. Peralihan HGB atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan

tertulis dari pemegang hak pengelolaan;

8. Peralihan HGB atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis dari

pemegang hak milik yang bersangkutan.

Sedangkan hapusnya HGB diatur dalam Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 PP No. 40

Tahun 1996 yang menyatakan, HGB hapus karena :

1) jangka waktunya berakhir

2) dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi;

3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;

4) dicabut untuk kepentingan umum;

5) ditelantarkan;

6) tanahnya musnah;

7) ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).

Pasal 37 dan Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi bagi

bekas pemegang HGB atas hapusnya HGB, yaitu :

1. Apabila HBG atas tanah negara hapus dan tidak diperpanjang atau

diperbarui, maka bekas pemegang HBG wajib membongkar bangunan dan

benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada

negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun

sejak hapusnya HGB;

Page 27: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

102

2. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka

kepada bekas pemegang HGB diberikan ganti rugi yang bentuk dan

jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;

3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas

biaya bekas pemegang HGB;

4. Jika bekas pemegang HGB lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka

bangunan dan benda-benda yang ada di atas bekas HGB itu dibongkar oleh

pemerintah atas biaya bekas pemegang HGB;

5. Apabila HGB atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik

Hapus, maka bekas pemegang HGB wajib menyerahkan tanahnya kepada

pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dan memenuhi

ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak

Pengelolaan atau pemberian HGB atas tanah Hak Milik.

Dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 40 UUPA dan juga Pasal 35 PP No. 40

Tahun 1996 HGB merupakan salah satu dari objek tanah terlantar.

Konsekwensinya yaitu HGB atas tanah negara yang ditelantarkan mengakibatkan

tanahnya menjadi tanah negara. HGB atas tanah Hak Pengelolaan yang

ditelantarkan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang

Hak Pengelolaan dan HGB atas tanah Hak Milik yang ditelantarkan

mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemilik tanah.

4). Hak Pakai

Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA dan Pasal 39-58 PP No. 40

Tahun 1996. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil

dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang

memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam

perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau

perjanjian pengolahan tanah, asal tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-

Undang.

Page 28: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

103

Adapun ciri-ciri Hak Pakai :

1. Peruntukannya Hak Pakai dapat digunakan untuk keperluan mendirikan

bangunan dan dapat untuk pertanian hak ini dapat dilihat dari kata

menggunakan dapat diartikan bahwa hak pakai bisa untuk bangunan

sedangkan dari kata memungut hasil diartikan hak pakai bisa untuk

pertanian.

2. Hak Pakai diberikan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri Dapat

digunakan di atas tanah Negara, di atas tanah hak pengelolaan dan tanah

hak milik. Adapun cara terjadi Hak Pakai adalah :

a. Hak pakai di atas tanah negara terjadinya dengan keputusan pemberian

hak oleh pejabat yang berwenang (PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1999 jo

PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999);

b. Hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan

pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang berwenang berdasarkan

usulan dari pemegang hak pengelolaan, yang selanjutnya prosesnya

seperti pemberian hak pakai di atas tanah negara;

c. Hak pakai di atas tanah hak milik terjadi dengan pemberian Hak Pakai

oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT

Jangka waktu Hak Pakai dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: hak pakai yang

jangka waktunya ditentukan/dibatasi yaitu 25 tahun dapat diperpanjang 20 tahun

serta dapat diperbaharui, dan hak pakai yang jangka waktunya tidak ditentukan

yaitu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Bahwa terdapat

pembedaan mengenai jangka waktu hak pakai yaitu yang ditentukan/dibatasi dan

Page 29: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

104

tidak ditentukan sepanjang tanahnya dipergunakan untuk keperluan itu. Subjek

Hak Pakai diatur dalam Pasal 42 UUPA :

a. Warga Negara Indonesia;

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

c. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia;

d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Hak Pakai yang dapat dialihkan adalah hak pakai yang jangka waktunya

ditentukan. Sedangkan hak pakai atas tanah negara yang waktunya tidak terbatas

atau tidak ditentukan yang diberikan kepada departemen, lembaga pemerintah non

departemen dan pemda, perwakilan negara asing dan perwakilan badan

internasional, badan keagamaan dan badan sosial adalah hak pakai yang bersifat

publikrechtelijk, yang tanpa right of disposal (tidak dapat dijual ataupun dijadikan

jaminan hutang). Pasal 54 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur mengenai peralihan

hak pakai :

1) Hak pakai yang diberikan di atas tanah negara untuk jangka waktu tertentu

dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada

pihak lain;

2) Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut

dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik

yang bersangkutan;

3) Peralihan hak pakai dapat terjadi karena: jual beli, tukar menukar,

penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan;

4) Peralihan hak pakai harus didaftar di Kantor Pertanahan;

5) Peralihan hak pakai karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar

menukar, penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta yang

dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah;

6) Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan berita

acara lelang;

Page 30: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

105

7) Peralihan hak pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat

wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang

berwenang;

8) Peralihan hak pakai di atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari

pejabat yang berwenang;

9) Peralihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dengan persetujuan

tertulis dari pemegang hak pengelolaan;

10) Peralihan hak pakai atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis

dari pemegang hak milik yang bersangkutan.

Mengenai hapusnya hak pakai dalam UUPA tidak diatur. Hapusnya hak

pakai ini dapat dilihat dalam Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996, yang menyebutkan

beberapa sebab hapusnya hak pakai, yaitu :

a. Berakhirnya jangka waktu hak pakai sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian

pemberiannya

b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau

pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir, karena :

1. tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai dan atau

dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai.

2. tidak dipenuhinya syarat-syarat dalam kewajiban-kewajiban yang

tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak

pakai dengan pemegang hak milik atau perjanjian penggunaan hak

pengelolaan

3. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c. Dilepas secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu

berakhir

d. Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961

e. Ditelantarkan

f. tanahnya musnah

g. pemegang haknya tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak

pakai.

Pasal 57 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi hapusnya Hak

Pakai bagi bekas pemegang Hak Pakai, yaitu :

1. Apabila Hak Pakai atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang dan

diperbarui, maka bekas pemegang Hak Pakai wajib membongkar

bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya

kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu

satu tahun sejak hapusnya Hak Pakai;

Page 31: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

106

2. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan kepada

bekas pemegang Hak Pakai diberikan ganti rugi;

3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas

biaya bekas pemegang Hak Pakai;

4. Jika bekas pemegang Hak Pakai lalai dalam memenuhi kewajiban

membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dibongkar

oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Pakai.

5. Apabila Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan atau Hak Pakai atas tanah

Hak Milik Hapus, maka bekas pemegang Hak Pakai tersebut wajib

menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik

tanah dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian

penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai

atas tanah Hak Milik.

Dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996 Hak

pakai merupakan salah satu dari objek penertiban tanah terlantar. merupakan salah

satu dari objek tanah terlantar. Konsekwensinya yaitu Hak Pakai atas tanah negara

yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. Hak Pakai atas

tanah Hak Pengelolaan yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya kembali ke

dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan dan Hak Pakai atas tanah Hak

Milik yang ditelantarkan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan

pemilik tanah.

5). Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan adalah Hak Penguasaan atas tanah Negara, dengan

maksud disamping untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang Hak, juga oleh

pihak Pemegang Hak dapat memberikan sesuatu Hak kepada pihak ketiga. Istilah

Hak Pengelolaan dari kalangan para ahli, sering dilihat dari segi makna dan

substansi yang diberikan Peraturan Perundang-undangan atas keberadaan Hak

Pengelolaan. Maria S.W. Sumardjono memaknai Hak Pengelolaan adalah hak

menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan

Page 32: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

107

kepada pemegang Hak Pengelolaan. Sedangkan menurut A.P. Parlindungan Hak

Pengelolaan adalah Hak atas tanah yang pengaturannya diluar UUPA.15

Kepada

Pemegang Hak diberikan wewenang untuk :

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;

b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;

c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga,

dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberian hak

atas bagian-bagian tanah tetap dilakukan oleh Pejabat yang berwenang.

d. Menerima uang pemasukan / ganti rugi dan / atau wajib tahunan.

Dengan demikian sifat-sifat Hak Pengelolaan adalah :

1. Hak penguasaan atas tanah Negara;

2. Untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang dan sebagian atas tanah

tersebut diberikan kepada pihak ketiga sesuatu Hak;

3. Kepada si Pemegang Hak diberikan beberapa wewenang termasuk dapat

menerima uang pemasukan dan / atau wajib tahunan;

4. Setelah jangka waktu Hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga

berakhir maka tanah dimaksud kembali kedalam penguasaan sepenuhnya

dari Pemegang Hak Pengelolaan yang bebas dari Hak tanggungan;

5. Apabila sebagian dari Hak Pengelolaan itu diberikan dengan Hak Milik

kepada pihak ketiga, maka dengan sendirinya Hak Milik tersebut lepas

dari Hak Pengelolaan dan / atau hapus, sejak Hak Milik tersebut

didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten setempat.

Dalam UUPA terjadi perbedaan Subjek Hak Pengelolaan antara Pasal dan

Penjelasan. Dalam Pasal 2 ayat (4) menyatakan “Subjek Hak Pengelolaan yaitu

daerah Swatantra dan masyarakat Hukum Adat. Sedangkan dalam penjelasannya

masyarakat hukum adat sebagai subjek Hak Pengelolaan hilang tetapi diganti

15

A.P. Parlindungan, 1994, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Manda Maju,

Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan II) h. 10

Page 33: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

108

dengan departemen.16

Namun dalam Pasal 67 Peraturan Menteri Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 dijelaskan yang dapat menjadi

pemegang/subjek Hak Pengelolaan adalah : Instansi Pemerintah termasuk

Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik

daerah (BUMD), PT. Persero, Badan Otorita, serta Badan-badan hukum

pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.

3.2.2. Subjek Penertiban Tanah Terlantar

Terkait dengan tanah terlantar apabila disimak ketentuan Pasal 3 PP No.

11 Tahun 2010 maka tanah Hak Guna Usaha, tanah Hak Guna Bangunan, ataupun

Hak Pakai yang dimiliki oleh subjek badan hukum atau perusahaan yang

diberikan di atas tanah negara merupakan sasaran utama objek penertiban tanah

terlantar. Dalam Pasal 3 PP No. 11 Tahun 2010 dijelaskan bahwa Tanah Hak

Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja

tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya

dikecualikan sebagai tanah terlantar. Begitu juga tanah yang dikuasai pemerintah

baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum

berstatus Barang Milik Negara / Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan

sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dikecualikan atau

tidak termasuk objek penertiban tanah terlantar.

Dikecualikan dari objek penertiban tanah terlantar didasarkan pada alasan

karena Pemegang Hak perseorangan tidak memiliki kemampuan dari segi

ekonomi, untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai

16

Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah (Menemukan Keadilan,

Kemanfaatan, dan Kepastian Atas Eksistensi Tanah Aset Daerah), Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 13

Page 34: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

109

dengan keadaan atau sifat dari pemberian haknya. Begitu juga karena keterbatasan

anggaran Negara/Daerah untuk mengusahakan, mempergunakan atau

memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian haknya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan subjek penertiban tanah terlantar

adalah Perseorangan, Badan Hukum dan Pemerintah. Namun subjek perseorangan

dan pemerintah masih mendapat pengecualian apabila tidak sengaja tidak

menggunakan tanah haknya dalam artian tidak mampu secara ekonomi bagi

perorangan ataupun karena keterbatasan anggaran bagi pemerintah. Terkait

dengan perseorangan yang tidak sengaja karena alasan ekonomi ataupun

pemerintah yang mempunyai keterbatasan anggaran belum ada aturan yang secara

jelas mengatur bagaimana orang tersebut dapat dikatakan tidak mampu secara

ekonomi ataupun pemerintah mempunyai keterbatasan anggaran sehingga

dikecualikan tanahnya sebagai tanah terlantar.

Menurut teori kepastian hukum Peraturan Perundang-undangan yang

dibuat haruslah jelas. Jelas dalam hal ini berarti isi dari peraturan tersebut tidak

multitafsir antara pembuat peraturan dengan masyarakat sehingga dapat menjamin

kepastian hukum. Dalam penelitian ini dapat dijelaskan yang menjadi objek

penertiban tanah terlantar menurut peraturan perundang-undangan adalah Hak

Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan

atau dasar yang dapat dijadikan bukti penguasaan atas tanah. Sedangkan yang

menjadi kriteria tanah terlantar menurut peraturan perundang-undangan adalah

pemegang hak atas tanah dengan sengaja tidak memelihara hak atas tanah tersebut

dengan baik dalam jangka waktu tertentu sehingga kualitas kesuburan tanahnya

Page 35: 76 BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR

110

menjadi menurun dan tidak produktif lagi dan subjek subjek penertiban tanah

terlantar adalah Perseorangan, Badan Hukum Privat dan Badan Hukum Publik

(Pemerintah).