64126711 komunikasi kimia cacing tanah
TRANSCRIPT
-
Komunikasi kimiawi pada cacing tanah
Cacing tanah termasuk dalam Filum Annelida kelas Oligochaeta yang memiliki ciri-ciri tubuh
bersegmen, simetri bilateral, tubuh berongga (memiliki selom) yang berisi cairan yang membantu
pergerakan. Cacing tanah sudah memiliki saluran pencernaan yang lengkap, system peredaran darah
tertutup, dan system saraf tangga tali (Riyanto, 2005). Permukaan tubuh cacing tanah berwarna merah
sampai biru kehijauan. Bentuk tubuh panjang silindris, dengan 2/3 bagian posteriornya sedikit memipih
kearah dorsoventral. Permukaan bagian bawah berwarna lebih pucat, umumnya berwarna merah jambu
dan kadang-kadang putih (Kastawi, 2003).
Cacing tanah memiliki organ sensorik yang berkembang baik dan memiliki struktur sederhana. Struktur
organ tersebut terdiri dari sel tunggal atau kelompok yang khusus terdapat pada sel ektodermal.
Terdapat 3 tipe organ sensorik pada cacing tanah, yaitu reseptor epidermal, reseptor buccal yang
terdapat pada rongga mulut dan reseptor cahaya (Susilowati dan Rahayu, 2007: 1).
Reseptor epidermal dan reseptor buccal merupakan organ yang merespon stimulus kimiawi. Reseptor
epidermal terdistribusi pada bagian epidermis, terutama pada sisi lateral dan pemukaan ventral tubuh.
Sedangkan reseptor buccal terletak dirongga mulut, organ ini berfungsi untuk merespon stimulus kimia
yang berasal dari makanan (Koptal, dkk., dalam Susilowati dan Rahayu, 2007: 1).
Cacing tanah menghasilkan cairan mukus yang dihasilkan oleh kelenjar mucus epidermal. Cairan
mucus memiliki banyak fungsi, fungsi yang utama yaitu untuk menjaga kelembaban tubuh. Pertukaran
gas O2 dan CO2 pada cacing tanah terjadi melalui difusi pada permukaan tubuhnya, kondisi
permukaan tubuh yang lembab membantu cacing tanah untuk lebih mudah mengikat oksigen dari
lingkungan dan berdifusi masuk ke dalam tubuh, sedangkan karbondioksida diikat untuk dikeluarkan
dari tubuh. Selain itu, cairan mucus juga berfungsi untuk membantu pergerakan cacing tanah. Karena
kondisi tanah yang lembab dan licin menyebabkan cacing tanah lebih mudah untuk bergerak dan
mendeteksi keadaan sekitar, misalnya kondisi pH lingkungan. Cairan mucus pada cacing tanah juga
berfungsi sebagai sarana komunikasi cacing tanah, misalnya digunakan untuk menunjukkan suatu
tempat dan berperan ketika cacing tanah mencari pasangan untuk melakukan proses reproduksi
(Riyanto, 2005).
Alat komunikasi lain dari cacing tanah adalah cairan selom yang dihasilkan oleh korpuskula selom.
Cairan selom bersifat alkaline, tidak berwarna, mengandung air, garam, dan beberapa protein (Koptal,
dkk., 1980 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007: 1). Diduga cairan selom ini dihasilkan oleh sel
kloragogen yang berfungsi mengekskresikan produk dari cairan selom. Senyawa kimia ini berfungsi
sebagai alat komunikasi dan dapat bertahan aktif pada suatu tempat dalam waktu yang lama. Selain itu,
-
sifat dari senyawa tersebut sangat spesifik dan karena setiap cacing memiliki kemoreseptor yang sangat
sensitif, maka senyawa tersebut dapat dideteksi oleh cacing tanah jenis lain dengan mudah (Price, 1975
dalam Susilowati dan Rahayu, 2007: 1).
PEMBAHASAN
1. Respon cacing tanah terhadap larutan garam dapur 5% dan 10%
Berdasarkan data hasil pengamatan, pada larutan garam 5% semua spesies cacing tanah (cacing merah
dan cacing hitam) memberikan respon positif, yaitu terus melewati kertas tissue yang dibasahi dengan
larutan garam 5%. Sedangkan respon sebaliknya terjadi pada larutan 10%, yaitu semua spesies cacing
tanah memberikan respon negative yang berarti bahwa ketika bagian anterior cacing tanah menyentuh
kertas tissue yang dibasahi dengan larutan garam 10% cacing tanah langsung berbalik arah menjauhi
kertas tissue tersebut.
Stimulus berupa larutan garam tersebut diterima oleh organ sensorik cacing tanah melalui reseptor
epidermal yang terletak pada sisi ventral maupun sisi lateral tubuh cacing. Reseptor epidermal tersebut
merupakan bagian dari system saraf tepi. Stimulus yang diterima oleh reseptor epidermal pada cacing
tanah akan diteruskan ke seluruh bagian tubuh. Jadi, jika ada stimulus yang mengenai bagian tertentu
dari cacing tanah, maka respon akan dilakukan oleh semua bagian tubuh.
Pada larutan garam dengan konsentrasi 5%, cacing memberikan respon yang positif, yaitu terus
bergerak melewati stimulus. Hal ini menandakan bahwa pada konsentrasi 5% larutan garam, tidak
mempengaruhi kondisi cairan dalam tubuh cacing tanah, sehingga tidak terjadi respon kimiawi di
dalam tubuh cacing yang dapat memicu timbulnya mekanisme homeostatis. Berbeda dengan respon
yang terjadi pada larutan garam dengan konsentrasi 10%, cacing tanah memberikan respon negative
dengan cara menarik bagian anterior dan bergerak menjauhi kertas tissue yang dibasahi larutan garam
10%. Hal ini terjadi karena cairan di luar tubuh cacing lebih pekat dari pada cairan intrasel cacing.
Sehingga, dapat mengakibatkan cairan intrasel berdifusi keluar tubuh. Oleh karena itu, ketika reseptor
epidermal menangkap stimulus tersebut, maka langsung terjadi respon kimiawi negative dari seluruh
bagian tubuh cacing. Jadi, dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan garam, maka
semakin kecil juga kemungkinan cacing tanah untuk memberikan respon, dan hal itu berlaku untuk
semua jenis cacing (cacing merah dan cacing hitam).
Berdasarkan uji Chi Square (X2), pada larutan garam dengan konsentrasi 5%, baik cacing tanah spesies
A maupun cacing tanah spesies B semuanya memberikan respon yang positif dan mampu melewati
kertas tissue yang dibasahi dengan larutan garam tersebut. Sedangkan pada larutan garam konsentrasi
10%, cacing tanah spesies A maupun spesies B memberikan respon negative dan tidak mampu
-
melewati kertas tissue yang dibasahi dengan larutan garam konsentrasi 10%. Hal ini membuktikan
bahwa komunikasi kimiawi cacing tanah terhadap larutan garam bergantung pada tingkat konsentrasi
dari larutan garam.
2. Respon cacing tanah terhadap cairan mucus
Berdasarkan data hasil pengamatan respon cacing terhadap cairan mucus, diketahui bahwa kedua jenis
cacing tanah (cacing merah dan cacing hitam) memberikan respon yang positif terhadap cairan mucus
cacing B.
Cairan mukus pada cacing tanah dihasilkan oleh kelenjar mucus epidermal yang berfungsi untuk
menjaga kelembaban tubuh. Pertukaran gas O2 dan CO2 didalam tubuh cacing tanah terjadi melalui
difusi pada permukaan tubuhnya, kondisi permukaan tubuh yang lembab membantu cacing tanah untuk
lebih mudah mengikat oksigen dari lingkungan dan berdifusi masuk ke dalam tubuh, sedangkan
karbondioksida diikat untuk dikeluarkan dari tubuh. Selain itu, cairan mucus juga berfungsi untuk
membantu pergerakan cacing tanah. Karena kondisi tanah yang lembab dan licin menyebabkan cacing
tanah lebih mudah untuk bergerak dan mendeteksi keadaan sekitar, misalnya kondisi pH lingkungan.
Cairan mucus pada cacing tanah juga berfungsi sebagai sarana komunikasi cacing tanah, misalnya
digunakan untuk menunjukkan suatu tempat dan berperan ketika cacing tanah mencari pasangan untuk
melakukan proses reproduksi.
Cairan mucus yang dikeluarkan oleh cacing tanah memiliki sifat yang spesifik. Namun, karena setiap
cacing memiliki kemoreseptor yang sangat sensitive, maka senyawa yang dihasilkan oleh cacing lain
dapat dideteksi dengan mudah. Sehingga, cacing yang sama spesies maupun yang berbeda spesies
dapat mengikuti arah pergerakan yang ditandai dengan cairan mucus. Akan tetapi, pada saat cacing
tanah mencari pasangan untuk reproduksi, cairan mucus yang dikeluarkan memiliki komposisi senyawa
kimia yang lebih spesifik dan berbeda dengan komposisi cairan mucus sebagai penanda suatu tempat,
sehingga hanya cacing tanah sejenis yang akan tertarik dan mengikutinya.
Berdasarkan uji Chi Square (X2), membuktikan bahwa pada kedua jenis cacing tanah A maupun cacing
tanah B memberikan respon yang positif. Jadi, respon kimiawi melalui cairan mucus juga terjadi antar
spesies cacing tanah.
3. Respon cacing tanah terhadap cairan selom
Berdasarkan data pengamatan, cacing tanah spesies A memberikan respon yang positif terhadap cairan
selom cacing A, sedangkan cacing B memberikan respon yang negative terhadap cairan selom cacing
A, hanya 1 ekor cacing B yang memberikan respon positif.
-
Cairan selom dihasilkan korpuskula selom yang didistribusikan oleh sel-sel Kloragogen. Cairan selom
ini bersifat alkali, tidak berwarna mengandung air, garam dan beberapa protein. Sifat alkali yang
terdapat pada cairan selom ini berfungsi sebagai racun yang berfungsi untuk perlindungan diri cacing
tanah ketika merasa terancam. Sehingga, cairan selom dikeluarkan hanya pada saat cacing tanah
merasa terancam atau ada gangguan yang mengenai permukaan tubuh cacing, misalnya pada perlakuan
dengan kejutan listrik. Kejutan listrik yang diberikan tersebut merupakan stimulus yang kemudian
ditangkap oleh reseptor epidermal sebagai suatu bentuk ancaman, sehingga sel Kloragogen dengan
cepat mendistribusikan cairan selom untuk melindungi permukaan tubuh. Ketika cairan selom
dikeluarkan dari tubuh cacing tanah, cairan ini berfungsi sebagai penanda adanya bahaya. Cairan ini
dapat bertahan aktif pada suatu tempat dalam waktu yang lama, sehingga semua jenis cacing dapat
mendeteksi adanya bahaya dari senyawa aktif tersebut karena memiliki kemoreseptor yang sangat
sensitive di seluruh permukaan tubuh.
Jadi, seharusnya dari percobaan dengan cairan selom ini, semua jenis cacing tanah baik cacing tanah
spesies A maupun cacing tanah spesies B memberikan respon yang negative terhadap cairan selom.
Kemungkinan pada pengamatan yang dilakukan oleh praktikan terjadi kesalahan, misalnya cairan
selom tidak tersebar merata pada permukaan kertas lilin, sehingga cacing melewati bagian yang tidak
terkena cairan tersebut dan dilihat praktikan bahwa hal tersebut merupakan bentuk cacing memberikan
respon yang positif. Bisa juga disebabkan kurangnya waktu untuk mengistirahatkan cacing tanah
setelah diberi perlakuan, sehingga system saraf pada cacing tanah mengalami kelelahan yang berakibat
pada system saraf tidak mampu lagi memberikan atau merespon stimulus yang mengenai reseptor.
Berdasarkan uji Chi Square (X2), cacing tanah spesies A menunjukkan respon yang positif, jadi tidak
terjadi komunikasi kimiawi pada cacing tanah spesies A jika terdapat cairan selom disekitar mereka.
Sedangkan pada cacing tanah spesies B, menunjukkan respon yang negative, jadi terjadi interaksi
kimiawi terhadap cairan selom yang ada disekitarnya.
DAFTAR RUJUKAN
Susilowati, Rahayu Sofia Ery. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang:
FMIPA UM
Kastawi, Yusuf. 2003. Zoologi Avertebrata. Malang: FMIPA UM
Riyanto, Sugeng. 2005. Filum Annelida. (Online), (http://www.ziddu.com/download/3144228/ filum
Annelida.doc.html, diakses tanggal 23 Oktober 2009)
Komunikasi kimiawi pada cacing tanah