2.1.2 prosedur yang tertulis file9 pedoman prosedur) atau formulir lepas tersebut dimuat...

26
8 2.1.2 Prosedur yang tertulis Menurut Nuraida (2014:44) prosedur kerja dalam setiap kantor hendaknya, adalah: 1. Formal, artinya diakui oleh semua orang dalam organisasi; 2. Sebaiknya tertulis, dan 3. Selalu terbarui, artinya selalu up to date dengan perkembangan organisasi yang aktif dan dinamis. Pada kenyataannya, masih ada beberapa kantor yang hanya membuat prosedur kerja secara lisan dan belum atau tidak menganggap perlu membuatnya dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat memudahkan terjadinya misscomumunication atau misunderstanding yang disebabkan oleh perbedaan persepsi antara perancang prosedur dengan pelaksana, atau antarpara pelaksana itu sendiri. Koordinasi kerja akan menjadi lebih sulit sehingga pencapaian tujuan akan terhambat. Oleh karena itu, prosedur kerja sebaiknya dibuat secara tertulis agar tercipta komunikasi yang sebahasa, terutama bagi level bawah yang lebih sering memerlukan pedoman tertulis sebagai patokan bertindak. Dalam suatu organisasi supaya kinerja individu yang bekerja sama dalam suatu kelompok efektif maka tugas yang paling penting bagi atasan adalah mengetahui bahwa individu-individu tersebut mengerti tujuan yang akan dicapai serta mengerti cara-cara untuk mencapainya. Semakin jelas prosedur kerja, bawahan semakin mengerti apa yang diharapkan untuk dikerjakan dan dicapai. Menurut Moekijat dalam Nuraida (2014:44) “Kadang-kadang prosedur perkantoran ditulis dalm “buku pedoman kantor” atau “daftar tugas” atau dapat juga disusun dalam formulis lepas. Di dalam buku pedoman kantor (buku

Upload: vuongdiep

Post on 09-Apr-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

2.1.2 Prosedur yang tertulis

Menurut Nuraida (2014:44) prosedur kerja dalam setiap kantor hendaknya,

adalah:

1. Formal, artinya diakui oleh semua orang dalam organisasi;

2. Sebaiknya tertulis, dan

3. Selalu terbarui, artinya selalu up to date dengan perkembangan organisasi yang

aktif dan dinamis.

Pada kenyataannya, masih ada beberapa kantor yang hanya membuat

prosedur kerja secara lisan dan belum atau tidak menganggap perlu membuatnya

dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat memudahkan terjadinya misscomumunication

atau misunderstanding yang disebabkan oleh perbedaan persepsi antara perancang

prosedur dengan pelaksana, atau antarpara pelaksana itu sendiri. Koordinasi kerja

akan menjadi lebih sulit sehingga pencapaian tujuan akan terhambat. Oleh karena

itu, prosedur kerja sebaiknya dibuat secara tertulis agar tercipta komunikasi yang

sebahasa, terutama bagi level bawah yang lebih sering memerlukan pedoman

tertulis sebagai patokan bertindak.

Dalam suatu organisasi supaya kinerja individu yang bekerja sama dalam

suatu kelompok efektif maka tugas yang paling penting bagi atasan adalah

mengetahui bahwa individu-individu tersebut mengerti tujuan yang akan dicapai

serta mengerti cara-cara untuk mencapainya. Semakin jelas prosedur kerja,

bawahan semakin mengerti apa yang diharapkan untuk dikerjakan dan dicapai.

Menurut Moekijat dalam Nuraida (2014:44) “Kadang-kadang prosedur

perkantoran ditulis dalm “buku pedoman kantor” atau “daftar tugas” atau dapat

juga disusun dalam formulis lepas. Di dalam buku pedoman kantor (buku

9

pedoman prosedur) atau formulir lepas tersebut dimuat instruksi-intruksi tertulis

mengenai apa yang harus dilakukan, bilamana, dan di mana, serta memberi

informasi tentang sistem yang membantu organisasi.

2.1.3 Manfaat Prosedur Tertulis

Menurut Nuraida (2014:44-46) Prosedur yang tertulis sangat bermanfaat

bagi level manajerial maupun level non majerial dalam melaksanakan fungsi

manajemendi baginya masing-masing di antaranya sebagai berikut:

1. Planning-controlling

a. Mempermudah pencapain tujuan

b. Merencanakan dengan seksama tentang besarnya beban kerja yang optimal

bagi masing-masing pegawai.

c. Menghindari pemborosan atau memudahkan penghematan biaya.

d. Mempermudah pengawasan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan

sudah dilakukan, apakah pelaksanaan pekerjaan sudah sesuai dengan

prosedur atau belum. Apabila belum, perlu diketahui penyebabnya sebagai

bahan masukan untuk mempertimbangkan apakah perlu dilakukan tindakan

koreksi terhadap pelaksanaan atau revisi terhadap prosedur. Dengan adanya

prosedur yang telah dibakukan, kita dapat menyampaikan proses umpan baik

yang konstruktif.

2. Organizing

a. Mendapatkan instruksi kerja yang dapat dimengerti oleh bawahan, mengenai

hal-hal berikut:

1. Tanggung jawab setiap prosedur pada masing-masing bagian, terutama

sekali pada saat pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan bagian-

10

bagian lain. Misalnya, bagian yang terlibat dalam inventarisasi barang-

barang kantor suatu perusahaan adalah bagian sara dan prasarana serta

bagian keuangan.

2. Proses penyelesaian suatu pekerjaan.

b. Dihubungkan dengan alat-alat yang mendukung pekerjaan kantor sert

dokumen-dokumen kantor yang diperlukan.

c. Mengakibatkan arus pekerjaan kantor menjadi lebih lancer dan baik, serta

menciptakan konsistensi kerja.

3. Staffing-leading

a. Membantu atasan dalam memberikan pelatihan atau dasar-dasar instruksi

kerja bagi pegawai baru dan pegawai lama. Prosedur mempermudah

orientasi bagi pegawai baru. Sementara bagi pegawai lama, pelatihanjuga

diperlukan apabila pegawai lama harus menyesuaikan diri dengan metode-

metode dan teknologi baru atau mendapat tugas baru yang masih asing sama

sekali sehingga dapat terbiasa dengan prosedur-prosedur yang baku dalam

suatu pekerjaan yang rutin dikantor, yang berisi tentang cara kerja dan

kaitannya dengan tugas lain.

b. Atasan perlu mengadakan penyuluhan bagi bawahan yang bekerja tidak

sesuai dengan prosedur. Penyebabnya harus diketahui dan atasan dapat

memberikan pengarahan yang dapat memotivasi pegawai agar dapat

memberikan konstribusi yang maksimal bagi kantor.

c. Mempermudah pemberian penilaian terhadap bawahan.

11

4. Coordination

a. Menciptakan koordinasi yang harmonis bagi tiap departemen dan antar

departemen.

b. Menetapkan dan membedakan prosedur-prosedur yang rutinn dan prosedur

yang independen.

2.1.4 Informasi dalam Membuat Prosedur

Menurut Nuraida (2014:47) Sebelum membuat prosedur kerja baru, kantor

perlu merevisi dan memperbaharui prosedur kerja yang sudah ada sebelumnya.

Sebaiknya kita perlu mengetahui informasi-informasi penting di bawah ini.

1. Tujuan

Sebelum membuat prosedur, kita perlu mengetahui tujuan utama penulisan

prosedur yang akan kita buat. Misalnya: tujuan untuk pengendalian, tujuan

untuk efesiensi.

2. Dokumen (surat/formulir /laporan) yang diperlukan.

a. Nama dan jumlah

b. Sumber/asal

c. Tembusan/rangkap

d. Penanggung jawab

e. Waktu untuk memperoleh data dan melengkapi dokumen

3. Alat/mesin/fasilitas yang diperlukan.

a. Apa dan berapa?

b. Di mana dapat diperoleh?

c. Siapa penanggung jawab penggunaannya?

4. Orang/bagian/departemen yang diperlukan

12

a. Siapa dan berapa orang/bagian/departemen yang melaksanakan suatu

prosedur?

b. Siapa dan berapa orang/bagian/departemen yang mengawasi pelaksanaan

suatu prosedur dan pengendaliannya?

c. Siapa dan berapa orang/bagian/departemen yang terlibat dalam aliran barang

atau aliran dokumen?

d. Perlukah pemberian pelatihan atau pengarahan tentang prosedur baru?

5. Tata ruang kantor yang diperlukan

a. Bagaimana dengan tata ruang kantor yang ada, apakah sudah cukup

mendukung pelaksanaan prosedur?

b. Perlukan dibenahi lagi?

2.2 Pelayanan

2.2.1 Pengertian Pelayanan

Menurut Daryanto (2014:135) mengatakan bahwa “pelayanan adalah suatu

aktivitas atau serangkaian aktifitas yang bersifat tak kasat mata (tidak dapat

diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interkasi antara konsumen dengan

karyawan atau hal-hal yang disediakan oleh perusahaan pemberian pelayanan

yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.

Menurut Kotler (2008:8) “Pelayanan adalah setiap kegiatan yang

menguntungkan dalam suatu kumpulan atau suatu kesatuan, dan menawarkan

kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk yang secara fisik”.

13

Dari berbagai definisi tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa

pelayanan adalah suatu kegiatan timbal balik yang saling menguntungkan antara

yang melayani dan dilayani.

2.2.2 Pengertian Pelayanan Publik

Menurut Hayat (2017:21) “Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian

kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,

dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan

publik”.

Menurut Lewis dalam Hayat (2017:21), bahwa “Pelayanan publik adalah

kepercayaan publik”. Pelayanan publik dilaksanakan secara bertanggung jawab

dan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ada. Nilai akuntabilitasi

pelayanan yang diberikan dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat

tentang pelayanan yang diberikan. Pertanggungjawaban terhadap aspek yang

dilayani adalah bagian dari pemenuhan terhadap pelayanan publik untuk

menjunjung tinggi kepercayaan kepada masyarakat. Kepercayaan masyarakat

yang adalah sebagian besar untuk mewujudkan tercapainya pemerintahan yang

baik.

Jika dianalisis secara spesifik, bahwa pelayanan adalah pemberian hak dasar

kepada warga negara atau masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan

kepentingannya yang diatur oleh peraturan perundang-perundangan. Pelayanan

mempunyai maksa melayani orang yang dilayani. Jika melayani, maka sejatinya

adalah memberikan pelayanan/pengabdian secara professional dan proposional.

Bentuk dan cara pelayanan juga merupakan bagian dari makna yang tidak

14

terpisahkan dari pelayanan itu sendiri. Pelayanan berarti melayani dengan

sungguh-sungguh kepada orang yang dilayani untuk memenuhi kebutuhan dan

kepentingannya dalam rangka memberikan kepuasan dan kemanfaatan.

Sementara itu, dalam konteks pelayanan publik adalah melayani kebutuhan

yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pelayanan publik adalah melayani

secara keseluruhan aspek pelayanan dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk

dipenuhi sesuai ketentuannya. Pelayanan publik menjadi suatu sistem yang

dibangun dalam pemerintahan untuk memenuhi unsur kepentingan rakyat.

Pelayanan publik merupakan pemberian layanan yang diberikan kepada warga

negara secara baik dan professional baik jasa, barang atau administrative sebagai

bagian dari keperluan masyarakat Pelayanan publik yang baik memberikan

kepuasan terhadap masyarakat atas pelayaan tersebut. dalam pemberian

pelayanan, menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan

secara professional, akuntabel, dan optimal. Pelayanan yang optimal adalah

harapan semua masyarakat agar tercipta kualitas pelayanan yang baik.

Optimalisasi pelayanan publik menurut pendapat Indri dalam Hayat

(2017:22) adalah memberikan pelayanan secara profesionaldan berkualitas yang

mempunyai implikasi positif terhadap kepuasan masyarakat. Profesionalitas

pelayanan ditunjang oleh sikap dan perilaku dalam pemberian layanan. Sumber

daya manusia menjadi indicator penting dalam pelayanan publik.

Keberadaan sumber daya aparatur adalah unsur utama dalam pemberian

pelayanan. Aparaturlah yang bersentuhan secara lansgung dengan masyarakat

sebagai penerima layanan. Oleh karena itu, kompetensi dan akuntabilitas yang

komprehensif menjadi keniscayaan, karena hal itu terkait dengan tugas dan fungsi

15

yang melekat dalam dirinya. Aparatur kompeten, maka pelayanan dapat

dijalankan sebagaimana mestinya, tentunya kualitas layanan yang diberikan juga

berpengaruh terhadap aspek yang dilayaninya. Artinya bahwa, kualitas pelayanan

publik ditentukan oleh siapa yang memberikan pelayanan.

2.2.3 Fungsi Pelayanan Publik

Menurut Hayat (2017:50) Setiap instasi pemerintah yang menerapkan

pelayanan publik secara baik dan berkualitas dipengaruhi oleh konsepsi dasar

yang dibangun dengan reformasi brokasi menuju tatanan dan sistem pengelolaan

yang professional. Profesionalitas kinerja dengan memaksimalkan potensi sumber

daya manusia yang kompeten dan berdaya saing mempunyai implikasi yang

positif terhadap kualitas kinerja. Kualitas kinerja dengan kemouan dan soft skill

yang dimilki setiap aparatur, berpengaruh secara komprehensif terhadap kualitas

pelayanan yang diberikan.

Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang

pelayanan publik pada pasal 2 disebutkan bahwa dalam hubungan antara

masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Kepastian hukum

terhadap hak dan kewajiban warna negara penerimaan pelayanan publik.

Masyarakat mempunyai hak untuk menerima pelayanan secara baik dan

berkualitas, dengan pelayanan yang cepat, mudah, murah, tepat waktu, dan baik.

Kepastian hukum dimaksudkan untuk menjamin kebutuhan masyarakat akan

terpenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam

pelayanan publik. Pelayanan publik sesungguhnya untuk masyarakat, apa yang

dibutuhkan oleh masyarakat dalam hal pelayanan publik menjadi kewajiban bagi

aparatur untuk melayaninya. Tetapi, harus diperhatikan pula oleh masyarakat,

16

sistem dan cara menerima pelayanan publik. Prinsipnya adalah saling mematuhi

ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam penerapan pelayanan publik.

Misalnya pembuatan KTP, masyarakat harus tahu syarat dan ketentuan pembuatan

KTP. Begitu pula aparatur juga harus mengetahui tentang ketentuan penyelesaian

maupun aspek biayanya. Sehingga jika ini dipenuhi secara baik, pelayanan publik

akan berjalan dengan baik sesuai dengan asas-asas pelayanan publik (Hayat

2017:50).

2.2.4 Tujuan Pelayanan Publik

Menurut Hayat (2017:52) Aspek yang menjadi dasar dalam pelayanan

publik adalah melayani masyarakat sebaik-baiknya dalam rangka membantu

terkait dengan urusan administrasi kepemerintahan dan/atau kebutuhan barang

atau jasa publik. Pelayanan publik yang baik tentunya menjadi harapan penting

bagi masyarakat, mulai dari sikap aparatur yang memberikan pelayanan, bentuk

pelayanan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sampai

kepada perilaku aparaturnya. Tujuan pelayanan publik semata-mata untuk

kepentingan masyarakat yang menerima pelayanan. Jika pelayanan baik,

masyarakat akan merasa puas atas diterimanya pelayanan yang diberikan.

Kepuasan masyarakat menjadi acuan atau buruknya pelayanan publik.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 menyebutkan bahwa tujuan

pelananan publik antara lain (Hayat, 2017:52):

a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak dan tanggung

jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan

penyelenggaraan pelayanan publik.

17

b. Terwujudnya sistem penyelenggara pelayanan publik yang layak sesuai dengan

asas-asas umum pemerintahan dan koperasi yang baik.

c. Terpenuhnya penyelenggara pelayanan publik sesuai denga peraturan-peraturan

perundang-undangan, dan

d. Terwujudnya perlindunga dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam

penyelenggara pelayanan publik.

Penekanan dalam pasal ini adalah memberikan kepastian hukum kepada

masyarakat yang merima pelayanan. Dengan mewujudkan prinsip-prinsip

pelayanan publik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, memberikan,

konsekuensi hukum kepada siapa yang memberikan pelayanan kepada siapa yang

merima pelayanan. Hak dan kewajiban masyarakat dan aparatur dalam

penyelenggaraan pelayanan publik menjadi koridor yang membatasi dan mengatur

jalannya pelayanan publik tersebut.

Namun demikian, tujuan pelayanan publik di Indonesia masih mengalami

berbagai kendala dan tantangannya. Sofian dalam Safroni (2012) mengemukakan

4 (empat) kendala yang dihadapi oleh Indonesia dalam pembangunan pelayanan

publik. yaitu: Pertama, politik. Persoalan politik menjadi bagian tak terpisahkan

dalam menjalankan proses pemerintahan. Sistem politik Indonesia dengan

demokratisasinya memberikan ruang yang luas bagi elemen politik untu

berkompetensi dalam jabatan politik. Bentuk koalisi dalam perpolitikan,

menimbillkan ketidakstabilan dalam ruang-ruang publik. Hal itu berdampak pada

jalannya pemerintahan, Koalisi politik yang tidak permanen mengakibatkan

proses dalam administrasi pelayanan publik terkendala dengan banyaknya

kepentingan publik.

18

2.2.5 Pelayanan Prima

Menurut Daryanto (2014:107) “Pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan

orang lain”. Pada dasarnya pelayanan adalah kegiatan yang ditawarkan kepada

konsumen atau pelanggan yang dilayani, yang bersifat tidak terwujudnya dan

tidak dapat dimiliki.

Dari definisi diatas maka penulis menyimpulkan bahwa pelayanan adalah

tindakan social yang bertujuan melayani konsumen aau pelanggan.

Menurut Daryanto (2014:14) karakteristik pelayanan sebagai berikut:

1. Pelayanan bersifat tidak diraba, dan sangat berlawanan sifatnya dengan barang

jadi.

2. Pelayanan pada kenyataanya terdiri dari tindakan nyata merupakan pengaruh

yang bersifat tindakan sosial.

3. Kegiatan produksi dan konsumsi dalam pelayanan tidak dapat dipisahkan

secara nyata, Karena pada umumnya terjadi dalam waktu dan tempat

bersamaan

2.2.6 Manfaat, Tujuan dan Fungsi Pelayanan Prima

Menurut Daryanto (2014:108) tujuan pelayanan prima adalah memberikan

pelayanan yang dapat memenuhi dan memuaskan pelanggan atau masyarakat serta

memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan. Pemerintah perlu menjamin

stabilitasi harga kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga ketersediannya di

pasar maupun digudang dalam bentuk cadangan atau persediaan. Lonjakan harga

kebutuhan pokok yang terlalu tinggi akan memberikan dampak negative bagi

perekonomian makro (memicu terjadinya inflasi).

19

Pelayanan prima dalam sektor publik didasarkan aksioma bahwa pelayanan

adalah pemberdayaan. Dan bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat secara

terbaik. Bagi perusahaan pelayanan prima bertujuan terhadap kelangsungan hidup

perusahaan apabila pelayanan yang diberikan perusahaan tidak memuaskan tentu

saja mengecewakan pelanggannya.

Pelayanan prima akan bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas

pelayanan pemerintah kepada masyarakat sebagai pelanggan dan sebagai acuan

pengembangan penyusunan standart pelayanan.

Menurut Daryanto (2014:1) Tujuan pelayanan prima antara lain sebagai

berikut:

1. Untuk memberikan pelayanan bermutu tunggi kepada pelanggan.

2. Untuk menimbulkan keputusan dari pihak pelanggan agar segera membeli

barang/jasa yang ditawarkan pada saat itu juga.

3. Untuk menumbuhkan rasa kepercayaan pelanggan terhadap barang/jasa yang

ditawarkan.

2.3 Pajak

2.3.1 Pengertian Pajak

Menurut Sumitro dalam Marsyahrul (2005:2) “Pajak adalah iuran rakyat

kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan

tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan

dan yang digunakan untuk menggunakan pengeluaran umum.

Menurut Smeets dalam Sukirso (2009:4) “Pajak adalah prestasi kepada

pemerintah yang terhutang melalui norma-norma dapat dipaksakan, tanpa adanya

20

kontraprestasi yang dapat ditujukan secara individual, maksudnya adalah untuk

membiayai pengeluaran pemerintah.”

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan pajak adalah iuran

rakyat atau pungutan wajib pajak biasanya berupa uang yang harus dibayar ke kas

negara, yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang

memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut

peraturan yang ditetapkan serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal

balikdari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.

2.3.2 Fungsi Pajak

Fungsi artinya kegunaan sesuatu, Jadi fungsi pajak adalah kegunaan pajak.

Menurut Resmi (2008:3-4) mengemukakan:

Terdapat dua fungsi yaitu:

1. fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber

penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun

pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya

memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya yang ditempuh

dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui

penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak.

2. Fungsi Reguralend (Pengatur)

Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang social dan ekonomi, serta

mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Contoh penerapan pajak

sebagai fungsi pengatur adalah:

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah

b. Tariff pajak progresif dikenakan atas penghasilan.

c. Tarif pajak ekspor sebesar 0%.

d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu

seperti industri semen, industri rokok, industri baja, dan lain-lain.

e. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi

f. Pemberlakuan atas holiday.

2.3.3 Penggolangan Pajak

Penggolongan pajak dapat dilihat dari beberapa sudut padang. Menurut

Sikirso. Dkk (2009:5) mengemukakan:

21

1. Menurut golongannya, pajak dikelompokan menjadi dua, yaitu:

a. Pajak Langsung, adalah pajak yang harus ditanggung sendiri oleh Wajib

Pajak (WP) dan pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak

lain. Contohnya: PPh.

b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat

dilimpahkan kepada pihak lain. Contohnya adalah Pajak Pertambahan

Nilai untuk Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

2. Menurut sifatnya, pajak dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:

a. Pajak subjektif, adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan

pribadi WP. Contohnya PPh.

b. Pajak objektif, adalah pajak yang pengenannya memperhatikan pada

objeknya, baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang

mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa

memperhatikan keadaan pribadi WP. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai

untuk Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas Barang Mewah , dan Pajak

Bumi dan Bangunan.

3. Menurut pemungutannya, pajak dikelompokan menjadi dua, yaitu:

a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya, adalah

PPh, Pajak Pertambahan Nilai untuk Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas

Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya, adalah

Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Tanah, Pajak Reklame, serta

Pajak Hotel dan Pajak Restoran.

Berdasarkan uraian tersebut di atas jenis pajak dapat ditinjau dari golongan

dibedakan menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung, dari

sasaran/obyeknya dibedakan menjadi pajak objektif dan pajak subjektif, dan dari

lembaga pemungutannya dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah.

Salah satu pajak pusat adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB). Pada awalnya, BPHTB dipungut oleh pemerintah pusat, tetapi sesuai

dengan amanat Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah (PDRD), mulai 1 Januari 2011, BPHTB dialihkan menjadi pajak

daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota,

22

2.3.4 Pengertian Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Menurut Siahaan (2013:9) “Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan

oleh orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang kepada

daerah, yang dapat dipaksakan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku dan

digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan

pembangunan daerah”. Dengan demikian pajak daerah merupakan pajak yang

ditetapkan oleh Pemerintah daerah dengan peraturan daerah (perda) yang

wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya

digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan

penyelenggaraan pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggara

pemerintah dan pembangunan didaerahnya. Karena Pemerintah daerah di

Indonesia terbagi dua yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

yang diberi kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah.

Menurut Siahaan (2013:6:) Retribusi adalah pungutan daerah sebagai

pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan

atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau

badan. Jasa adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang

menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya, dapat dinikmati oleh

orang atau badan. Sama halnya, dengan penjelasan di atas, bila seseorang ingin

menikmati jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah, ia harus membayar

retribusi yang ditetapkan sesuai kekuatan yang berlaku.

Beberapa ciri yang melekat pada retribusi daerah yang saat ini di pungut di

Indonesia adalah sebagai berikut:

23

a. Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan undang-undang

dan peraturan daerah yang berkenan,

b. Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah.

c. Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontra prestasi (balas jasa)

secara langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang dilakukannya.

d. Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah

daerah yang dinikmati oleh orang atau badan

e. Sanksi yang dikenakan pada retribusi daerah sanski secara ekonomis, yaitu

jika tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang

diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

2.3.5 Jenis-Jenis Pajak Daerah

Pembagian Pajak Daerah Menurut Siahaan (2013:40) yaitu:

1. Jenis Pajak Provinsi terdiri dari

a. Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan diatas air.

b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air.

c. Pajak pengalihan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

d. Pajak Rokok

2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari:

a. Pajak Hotel

b. Pajak Restoran

c. Pajak Hiburan

d. Pajak Reklame

e. Pajak Penerangan Jalan

f. Pajak Mineral bukan Logam Batuan

24

g. Pajak Parkir

h. Pajak Air Tanah

i. Pajak Sarang Burung Walet

j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan

k. Pajak Bea Perolehan Hak atas Bumi dan Bangunan

2.4 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Agar lebih jelas dalam memahami tentang bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan (BPHTB) disampaikan pengertian BPHTB, objek BPHTB, subjek

BPHTB, dasar pengenaan BPHTB, Tarif pajak, Saat terutangnya BPHTB, Cara

perhitungan BPHTB dan Wilayah pemungutan BPHTB.

2.4.1 Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Menurut Siahaan (2013:579) “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan”. Yang

dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan

atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau

bangunan oleh orang pribadi atau badan. Adapun yang dimaksud dengan hak atas

tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak perolehan, beserta

bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang

pertanahan dan bangunan. BPHTB merupakan jenis pajak kabupaten/ kota yang

baru diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Sebagaimana halnya PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB dewasa ini

pada dasarnya merupakan suatu jenis pajak pusat, yang dipungut oleh pemerintah

pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak, Kementrian Keuangan, di mana hasilnya

sebagaian besar diserahkan kepada daerah. Walaupun telah ditetapkan menjadi

25

salah satu jenis pajak kabupaten/kota, tetapi sepanjang pada suatu kabupaten/kota

belum ada peraturan daerah tentang BPHTB, pemungutan BPHTB tetap menjadi

kewenangan pemerintah pusat sampai dengan tahun 2010.

Pengenaan BPHTB tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten/kota

yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan

kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan

suatu jenis pajak kabupaten/kota. Kerena itu untuk dapat dipungut pada suatu

daerah, pemerintah kabupaten /kota harus terlebih dahulu menerbitkan Peraturan

Daerah tentang BPHTB yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam

teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan BPHTB di daerah kabupaten/kota

yang bersangkutan.

2.4.2 Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi hal-hal dibawah ini menurut

Siahaan (2013:581):

1. Perolehan hak atas tanah dan bangunan akibat pemindahan hak, karena hal-hal

di bawah ini:

a. Jual beli

b. Tukar menukar

c. Hibah

d. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat khusus mengenai pemberian hak

atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum

tertentu, yang berlaku setelah pemberian hibah wasiat meninggal dunia.

e. Waris

26

f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, yaitu pengalihan hak

atas tanah dan bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan

terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan

terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.

g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagai

hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan

kepada sesame pemegang hak bersama.

h. Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemegang lelang oleh

pejabat lelang sebagaimana tercantum dalam risalah lelang.

i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sebagaimana pelaksana dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum

sebagai salah satu pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.

j. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih

dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan

melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.

k. Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha

dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan

usaha yang bergabung tersebut.

l. Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan

usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan

sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan

tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.

27

m. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan

atau bangunan yang telah dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum

kepada penerima hadiah. Akta yang dibuat dapat berupa akta hibah.

2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan akibat pemberian hak baru, karena

hal-hal dibawah ini.

a. Perolehan hak baru atas tanah dan atau bangunan sebagai kelanjutan

pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan

hukum dari Negara atas tanah-tanah yang berasal dari pelepasan hak.

b. Perolahan hak baru atas tanah dan atau bangunan di luar pelepasan hak, yaitu

pemberian baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari

Negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pengenaan BPHTB dengan tegas dinyatakan bahwa yang menjadi

objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Hal ini

membuat tiga kemungkinan perolehan hak atas tanah termasuk tanaman di

atasnya, perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan perolehan hak atas

bangunan. Perolehan hak atas tanah sangat umum ditemui dalam praktik sehari-

hari yaitu perolehan hak atas tanah sawah, ladang, kavling siap bangun, dan tanah

kosong lainnya.

2.4.3 Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Menurut Siahaan (2013:587) Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi

atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Sementara itu,

yang ditetapkan menjadi wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan

yang memperoleh hak atas bangunan. Hal ini berarti pada pengenaan BPHTB,

subjek pajak dan wajib pajak berada pada diri orang atau badan yang sama.

28

Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili

oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan Peraturan Derah

tentang BPHTB. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau

secara langsung rentang atas pembayaran pajak terutang. Selain itu wajib pajak

dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak

dan memenuhi kewajiban perpajakannya.

2.4.4 Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai

Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan Objek Pajak dapat diperoleh dalam hal

sebagai berikut menurut Siahaan (2013:588):

1. Jual beli adalah harga transaksi

2. Tukar menukar adalah nilai pasar

3. Hibah adalah nilai pasar

4. Hibah wasiat adalah nilai pasar

5. Waris adalah nilai pasar

6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah pasar

7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar

8. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap adalah nilai pasar.

9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah

nilai pasar.

10. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar.

11. Penggabungan usaha adalah nilai pasar

12. peleburan usaha adalah nilai pasar.

29

13. Pemekaran usaha adalah nilai pasar.

14. Hadiah adalah nilai pasar, dan atau

15. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum

dalam risalah lelang.

Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada poin 1

sampai dengan poin 14 tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang

digunakan dalam pengenaan pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya

perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP pajak Bumi dan

Bangunan.

Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling

rendah sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib

pajak.

Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima

orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi

hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak

ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2.4.5 Tarif Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Menurut Siahaan (2013:591) Tarif pajak BPHTB ditetapkan paling tinggi

sebesar lima persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kebupaten/kota yang

bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada

pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai

dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap

daerah kota/kabupaten diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak

30

yang mungkin berbeda dengan kota/kabupaten lainnya, asalkan tidak lebih dari

lima persen.

2.4.6 Saat Terutang Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Saat terutangnya BPHTB ditetapkan berdasarkan transaksi perolehan hak

atas tanah dan bangunan yang diperoleh wajib pajak, sebagaimana dibawah ini

menurut Siahaan (2013:594):

1. Saat terutang BPHTB karena jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta.

2. Saat terutangnya BPHTB karena tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat

dan ditandatanganinya akta.

3. Saat terutangnya BPHTB karena hibah adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta.

4. Saat terutangnya BPHTB karena hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta.

5. Saat terutangnya BPHTB karena waris adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta.

6. Saat terutangnya BPHTB karena waris adalah sejak tanggal yang

bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan.

7. Saat terutangnya BPHTB karena pemasukan dalam perseroan atau badan

hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

8. Saat terutangnya BPHTB karena pemisahan hak yang mengakibatkan

peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

9. Saat terutangnya BPHTB karena putusan hakim adalah sejak tanggal putusan

peradilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

31

10. Saat terutangnya BPHTB karena pemberian hak baru atas tanah sebagai

kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat

keputusan pemberian hak.

11. Saat terutangnya BPHTB karena pemberian hak baru diluar pelepasan hak

adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

12. Saat terutangnya BPHTB karena penggabungan usaha adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya akta.

13. Saat terutangnya BPHTB karena peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat

dan ditandatanganinya akta.

14. Saat terutangnya BPHTB karena pemekaran usaha adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya akta.

15. Saat terutangnya BPHTB karena hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta.

16. Saat terutangnya BPHTB karena lelang adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta.

2.4.7 Perhitungan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Menurut Siahaan (2013:591), Besaran pokok pajak BPHTB yang terutang

dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak

setelah dikurangi NPOPTKP. Secara umum perhitungan BPHTB adalah sesuai

dengan rumus berikut:

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif Pajak x (NPOP - NPOPTKP)

Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih kecil daripada NJOP maka perhitungan

BPHTB adalah sebagai berikut:

32

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif Pajak x (NPOP - NPOPTKP)

Perhitungan jumlah pokok BPHTB yang terutang dapat dilihat pada contoh

berikut ini. Seorang wajib pajak A membeli tanah dan bangunan dengan harga

transaksi sebesar Rp. 65.000.000,00. Diketahui NJOP PBB Perdesaan dan

Perkotaan untuk objek pajak tersebut adalah sebsar Rp. 55.000.000,00 dan

besarnya NPOPTKP yang ditetapkan pada kota di mana objek pajak berada adalah

sebesar Rp. 60.000.000,00. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung jumlah

BPHTB terutang, sebagaimana di bawah ini:

Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp. 65.000.000,00

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp. 60.000.000,00

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp. 5.000.000,00

Pajak Yang Terutang = 5% x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 250.000,00

2.4.8 Wilayah Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Menurut Siahaan (2013:595) BPHTB yang terutang dipungut di wilayah

kabupaten/kota tempat tanah dan atau bangunan berada. Karena BPHTB

merupakan jenis pajak kabupaten/kota, maka BPHTB yang terutang dipungut

diwilayah kabupaten/kota tempat tanah dan atau bangunan berada. Hal ini terkait

dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang hanya terbatas atas tanah

dan atau bangunan yang berada dalam lingkup wilayah administrasinya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan Wajib pajak BPHTB wajib

membayar sendiri pajak yang terhutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak

33

Daerah yang dipaksakan dipungut oleh pemerintah daerah sebagai pemasukan

daerah untuk keperluan daerah yang dimiliki orang pribadi ataupun badan.