1makalah urtikaria

28
KASUS : Tn W 45 th datang ke RS dengan keluhan gatal-gatal dan bentol (urtikaria) seluruh tubuh setelah mengkonsumsi rujak kuah pindang ditempat pasien biasa membeli makan siang. Pasien mengkonsumsi rujak ini bukan untuk pertama kalinya tetapi sudah sering. Urtikaria terjadi pada seluruh badan pasien dan pasien mengeluh badannya terasa berat. Saat ini pasien sudah mendapat antihistamin dan kortikosteroid dan mengatakan gatalnya berkurang tetapi masih ingin menggaruk, terdapat keluhan rasa panas dan nyeri pada lokasi pemasangan infuse. PEMBAHASAN : 1. Pathway respon alergi yang muncul pada pasien yang berasal dari makanan sampai munculnya urtikaria : Urtikaria sering terjadi dan merupakan akibat dari degranulasi sel mast (reaksi imunolpgis tipe 1) sebagai respons terhadap antigen, dengan pelepasan histamin dan mediator vasoaktif lainnya, yang menyebabkan timbulnya eritema dan edema. Proses urtikaria akut dimulai dari ikatan antigen pada reseptor IgE yang saling berhubungan dan kemudian menempel pada sel mast atau basofil. Selanjutnya, aktivasi dari sel mast dan basofil akan memperantarai keluarnya berbagai mediator peradangan. Sel mast menghasilkan histamine, triptase, kimase, dan sitokin. Peristiwa ini memicu peningkatan permeabilitas vascular dan menyebabkan terjadinya edema lokal yang dikenal sebagai bintul (wheal). Pasien merasa gatal dan bengkak pada lapisan dermal

Upload: ayuu-yuni-maryastuti

Post on 26-Sep-2015

40 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bagus

TRANSCRIPT

KASUS :Tn W 45 th datang ke RS dengan keluhan gatal-gatal dan bentol (urtikaria) seluruh tubuh setelah mengkonsumsi rujak kuah pindang ditempat pasien biasa membeli makan siang. Pasien mengkonsumsi rujak ini bukan untuk pertama kalinya tetapi sudah sering. Urtikaria terjadi pada seluruh badan pasien dan pasien mengeluh badannya terasa berat. Saat ini pasien sudah mendapat antihistamin dan kortikosteroid dan mengatakan gatalnya berkurang tetapi masih ingin menggaruk, terdapat keluhan rasa panas dan nyeri pada lokasi pemasangan infuse.

PEMBAHASAN :

1. Pathway respon alergi yang muncul pada pasien yang berasal dari makanan sampai munculnya urtikaria :Urtikaria sering terjadi dan merupakan akibat dari degranulasi sel mast (reaksi imunolpgis tipe 1) sebagai respons terhadap antigen, dengan pelepasan histamin dan mediator vasoaktif lainnya, yang menyebabkan timbulnya eritema dan edema. Proses urtikaria akut dimulai dari ikatan antigen pada reseptor IgE yang saling berhubungan dan kemudian menempel pada sel mast atau basofil. Selanjutnya, aktivasi dari sel mast dan basofil akan memperantarai keluarnya berbagai mediator peradangan. Sel mast menghasilkan histamine, triptase, kimase, dan sitokin.

Peristiwa ini memicu peningkatan permeabilitas vascular dan menyebabkan terjadinya edema lokal yang dikenal sebagai bintul (wheal). Pasien merasa gatal dan bengkak pada lapisan dermal kulit. Urtikaria akut bisa terjadi secara sistemik jika allergen diserap kulit lebih dalam dan mencapai sirkulasi. Faktor imunologik maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivate amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotic berperan pada keadaan ini.

Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas (Djuanda, 2008).

Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik, biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan.Pathway terlampir.2. Terapi farmakologi dan nonfarmakologi yang bisa digunakan untuk mengatasi kondisi pasien, farmakologi, farmakokinetik dan farmakodinamik serta interaksi dan efek samping terapi yang diberikan :

Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi pada urtikaria dapat diuraikan menjadi 2 yaitu terapi antihistamin dan terapi antiinflamasi golongan kortikosteroid.

a. Antihistamin

Antihistamin (AH1) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histmanin pada reseptornya. Pada akhir tahun 1980 hingga tahun 1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari AH1 yang tidak menembus sawar otak sehingga mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu. Antihistamin golongan ini sering disebut AH1 generasi II. Salah satu contoh AH1 generasi II yaitu terfenadin, astemisol, cetrizin, loratadin, dan mizolastin.

1) Farmakologi

Antihistamin tipe AH1 non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada reseptor AH1, Antihistamin tipe AH1 adalah inhibitor yang kompetitif - reversibel terhadap histamin pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan serta mengaktivasi reseptornya dan tidak mudah diganti oleh histamin, dilepaskan secara perlahan, masa kerjanya lebih lama. Antihistamin AH1 non sedatif ini kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih mengikat reseptor AH1 di perifer secara lebih spesifik. Walaupun golongan ini sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin AH1 klasik, demikian pula efek antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistamin AH1 klasik. Salah satu penelitian yang membandingkan efek sedasi dari 4 macam antihistamin nonsedatif yang berbeda, yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan feksofenadin, didapatkan hasil loratadin paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian secara berurutan diikuti oleh feksofenadin, akrivastin dan setirisin. Setirisin memiliki efek anti inflamasi seperti hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan kemotaksis dengan jalan menghambat adhesi leukosit ke endotel, efek kemotaksis sehingga terjadi migrasi melalui jaringan ke tempat radang, aktivasi sel radang/ pelepasan mediator, dan ekspresi adhesi molekul oleh endotel/sel target.

2) Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Antihistamin tipe H1 non sedatif diabsorbsi dari saluran cerna dan mencapai puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut dapat menghilangkan urtikaria dan reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin, astemisol, loratadin, aktivastin, mizolastin, ebastin dan oksatomid dimetabolisme di hepar melalui sistem enzim sitokrom P450 3A4 dalam hepar. Setirisin, feksofenadin, dan desloratadin tidak dimetabolisme dalam hepar. Astemisol mempunyai efek jangka panjang dibandingkan dengan AH-1 yang lain. Astemisol mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor H1 sehingga khasiat anti urtikaria masih dapat berlangsung 4 minggu setelah obat dihentikan. Waktu paruh eliminasi setirisin dan feksofenadin pada anak-anak sama dengan dewasa yaitu 7-8 jam.

3) Efek Samping

Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang sedikit, sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan antihistamin tipe AH1 klasik.

Sistem saraf pusat

Dalam beberapa penelitian dikatakan tefenadin, astemizol dan loratadin memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan antihistamin H1 klasik.

Kardiovaskular

Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan interval QT serta aritmia ventrikular torsades de pointes yang berhubungan dengan pemakaian astemizol dan terfenadin. Kelainan ini dapat terjadi terutama pada wanita dan penderita dengan kelainan jantung organik yang sebelumnya telah ada (seperti iskemia, kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita dengan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia)

Hepar

Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus hepatitis yang berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5 bulan. Peningkatan serum transaminase dengan kadar ringan sampai sedang dapat terjadi.

Kulit

Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta pengelupasan kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya reaksi fotoalergi dan alopesia yang diduga berhubungan dengan penggunaan terfenadin. Dilaporkan juga suatu kasus psoriasis yang mengalami eksaserbasi selama menggunakan terfenadin.

Efek samping lainnya

Dilaporkan adanya sakit kepala, mual, kekeringan pada mukosa mulut dan beberapa efek antikolinergik lainnya, namun insidensinya sangat rendah.

4) Interaksi Obat

Perpanjangan interval QT dapat terjadi pada penderita yang mengkonsumsi terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan itrakonazol, antibiotik makrolid, seperti eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, protease inhibitor dan flavonoid, seperti naringin dalam grapefruit juice. Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar antihistamin serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) antidepresant, seperti quinin, zileuton.b. Kortikosteroid

1) Prednison

Farmakologi

Prednison merupakan kortikosteroid sintetik yang umum dikonsumsi oral dan dapat pula melalui injeksi intra muskular, intra rektal dan juga topikal seperti untuk obat tetes mata atau obat tetes telinga serta digunakan untuk mencegah pelepasan mediator dari dalam tubuh yang dapat menyebabkan inflamasi. Prednison efektif digunakan sebagai imunosupresan dan dapat mempengaruhi sistem imun tubuh. Karena itu dapar diberikan pada penyakit autoimun, penyakit inflamasi (asma, alergi berat, LSE, artritis reumatoid dan sebagainya), uvetitis, serta untuk mencegah reaksi penolakan pada transplantasi organ.

Farmakokinetik

Pemberian prednison oral akan diabsorpsi oleh tubuh dengan cukup baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivat sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama kortikol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga dipengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.

FarmakodinamikEfek prednison kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Prednison diperlukan supaya terjadi suatu efek hormonal lain, diduga mekanismenya adalah melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan hormonal lain. Efek SampingEfek samping jangka pendek yang dapat terjadi pada penggunaan prednison yang tidak sesuai dosis seperti peningkatan kadar glukosa darah terutama pada pasien penderita diabetes mellitus, retensi cairan, insomnia, serta eu[horia. Efek jangka panjang diantaranya sindroma cushing, osteoporosis yang diinduksi steroid, glaucoma, diabetes mellitus tipe 2, migrain serta peningkatan berat badan.

2) Methylprednisolonea) Farmakologi, Farmakoterapi dan Farmakodinamik

Methylprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. Sebagain adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati membran dan membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat mempengaruhi efek antiinflamasi. Sedangkan Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara lengkap tetapi kemungkinan dengan pencegahan atau penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda) reaksi imun seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi respon imun, Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit timus (T-limfosit), monosit, dan eosinofil. Metilprednisolon juga menurunkan ikatan immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan menghambat sintesis dan atau pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan mengurangi perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran, konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.

b) Efek Samping

Insufisiensi adrenokortikal:Dosis tinggi untuk periode lama dapat terjadi penurunan sekresi endogeneous kortikosteroid dengan menekan pelepasan kortikotropin pituitary insufisiensi adrenokortikal sekunder.

Efek muskuloskeletal:Nyeri atau lemah otot, penyembuhan luka yang tertunda, dan atropi matriks protein tulang yang menyebabkan osteoporosis, retak tulang belakang karena tekanan, nekrosis aseptik pangkal humerat atau femorat, atau retak patologi tulang panjang.

Gangguan cairan dan elektrolit:Retensi sodium yang menimbulkan edema, kekurangan kalium, hipokalemik alkalosis, hipertensi, serangan jantung kongestif.

Efek pada mata:Katarak subkapsular posterior, peningkatan tekanan intra okular, glaukoma, eksoftalmus.

Efek endokrin:Menstruasi yang tidak teratur, timbulnya keadaan cushingoid, hambatan pertumbuhan pada anak, toleransi glukosa menurun, hiperglikemia, bahaya diabetes mellitus.

Efek pada saluran cerna:Mual, muntah, anoreksia yang berakibat turunnya berat badan, peningkatan selera makan yang berakibat naiknya berat badan, diare atau konstipasi, distensi abdominal, pankreatitis, iritasi lambung, ulceratif esofagitis.

Efek sistem syaraf:Sakit kepala, vertigo, insomnia, peningkatan aktivitas motor, iskemik neuropati, abnormalitas EEG, konvulsi.

Efek dermatologi:Atropi kulit, jerawat, peningkatan keringat, hirsutisme, eritema fasial, striae, alergi dermatitis, urtikaria, angiodema.

Efek samping lain:Penghentian pemakaian glukokortikoid secara tiba-tiba akan menimbulkan efek mual, muntah, kehilangan nafsu makan, letargi, sakit kepala, demam, nyeri sendi, deskuamasi, mialgia, kehilangan berat badan, dan atau hipotensi.

c) Interaksi Obat Enzim penginduksi mikrosom hepatik

Obat seperti barbiturat, fenitoin dan rifampin yang menginduksi enzim hepatik dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid, sehingga mungkin diperlukan dosis tambahan atau obat tersebut tidak diberikan bersamaan.

Anti inflamasi nonsteroidalPemberian bersamaan dengan obat ulcerogenik seperti indometasin dapat meningkatkan resiko ulcerasi saluran pencernaan. Aspirin harus diberikan secara hati-hati pada pasien hipotrombinernia. Meskipun pemberian bersamaan dengan salisilat tidak tampak meningkatkan terjadinya ulcerasi saluran pencernaan, kemungkinan efek ini harus dipertimbangkan. Obat yang mengurangi kalium

Diuretik yang mengurangi kadar kalium (contoh: thiazida, furosemida, asam etakrinat) dan obat lainnya yang mengurangi kalium oleh glukokortikoid. Serum kalium harus dimonitor secara seksama bila pasien diberikan obat bersamaan dengan obat yang mengurangi kalium.

Bahan antikolinesterase

Interaksi antara glukokortikoid dan antikolinesterase seperti ambenonium, neostigmin, atau pyridostigmin dapat menimbulkan kelemahan pada pasien dengan myasthenia gravis. Jika mungkin, pengobatan antikolinesterase harus dihentikan 24 jam sebelum pemberian awal terapi glukokortikoid.

Vaksin dan toksoid

Karena kortikosteroid menghambat respon antibodi, obat dapat menyebabkan pengurangan respon toksoid dan vaksin inaktivasi atau hidup.3) Triamcinolonea) Farmakologi

Triamcinolone bekerja terutama sebagai glukokortikoid dan mempunyai daya antiinflamasi yang kuat, mempunyai efek hormonal dan metabolik seperti kortison. Aktivitas glukokortikoid menyebabkan peningkatan glukoneogenesis dan penurunan penggunaan glukosa secara efektif di dalam jaringan. Katabolisme protein dipercepat dan sintesis dari protein makanan diturunkan meskipun efek keseluruhan pada keseimbangan nitrogen tergantung pada faktor lain termasuk diet, dosis dan lama pengobatan. Glukokortikoid alami (hidrokortison dan kortison), yang juga bersifat meretensi garam, digunakan sebagai terapi pengganti pada kondisi defisiensi adrenokortikal. Triamcinolone berbeda dengan glukokortikoid alami, yaitu dalam hal efek antiinflamasi dan glukoneogenesis yang lebih besar dan sifat meretensi garamnya yang lebih sedikit.

b) Farmakokinetik

Triamcinolone diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian dosis oral. Konsentrasi puncak setelah pemberian oral dicapai dalam waktu 1-2 jam. Triamcinolone terikat albumin plasma lebih sedikit dari pada hidrokortison. Triamcinolone dapat melewati plasenta. Waktu paruh plasma sekitar 5 jam dan waktu paruh biologis adalah 18-36 jam.

c) Efek Samping

Pasien yang mendapat kortikosteroid harus diamati secara ketat terhadap efek samping di bawah ini yang mungkin berhubungan dengan terapi kortikosteroid:

Gangguan cairan dan elektrolit

Retensi natrium, retensi cairan, gagal jantung kongestif pada pasien yang rentan, kehilangan kalium, alkalosis hipokalemia, dan hipertensi.

Muskuloskeletal

Kelemahan otot, fatigue, miopati steroid, kehilangan massa otot, osteoporosis, vertebral compression fracture, nekrosis aseptik kaput tulang paha dan humerus, fraktur patologi dari tulang panjang dan fraktur spontan.

Gastrointestinal

Ulkus peptikum dengan kemungkinan diikuti perforasi dan perdarahan, pankreatitis, distensi abdomen dan ulcerative esophagitis.

Dermatologi

Gangguan penyembuhan luka, kulit yang rapuh dan tipis, ptechiae dan ekimosis, eritema wajah, berkeringat berlebihan, atrofi lemak subkutan, purpura, striae, hiperpigmentasi, hirsutisme, erupsi jerawat, dan ditekannya reaksi terhadap tes alergi.

Neurologi

Konvulsi, peningkatan tekanan intrakranial dengan papiledema (pseudotumor cerebri) biasanya setelah pengobatan, vertigo, sakit kepala dan memburuknya kondisi psikiatrik yang sudah ada. Endokrin

Ketidakteraturan menstruasi, timbulnya keadaan chusingoid, supresi pertumbuhan pada anak, tidak beresponnya adrenokortikal dan pituitari sekunder, khususnya pada waktu stres (contohnya trauma, pembedahan atau kondisi sakit), penurunan toleransi karbohidrat, manifestasi diabetes melitus laten dan peningkatan kebutuhan insulin atau obat hipoglikemik oral pada keadaan diabetes.

Mata

Posterior subcapsular cataract, peningkatan tekanan intraokular, glaukoma dan exophthalmos.

Metabolik

Hiperglikemia, glikosuria dan keseimbangan nitrogen negatif disebabkan oleh katabolisme protein.

d) Interaksi Obat

Kombinasi kortikosteroid dengan obat anti-inflamasi nonsteroid meningkatkan risiko terjadinya ulkus peptikum dan perdarahan gastrointestinal. Kortikosteroid dilaporkan menimbulkan antagonis pada blokade neuromuskular yang disebabkan oleh pancuronium. Risiko hipokalemia dapat meningkat jika triamcinolone diberikan secara bersamaan dengan simpatomimetik dan teofilin yang dapat menurunkan kalium plasma dan dengan diuretik yang tidak hemat kalium, hipokalemia juga dapat memperkuat efek glikosida jantung. Efek diabetogenik kortikosteroid akan mengganggu kontrol glukosa darah dengan insulin dan obat hipoglikemik oral.

Terapi Nonfarmakologia. Yang bisa dilakukan untuk pengobatan secara non farmakologi pada pasien urtikaria adalah dengan menghindari alergen yang diperkirakan sebagai penyebab dari urtikaria.b. Jika pasien juga merasakan nyeri, maka penatalaksanaan non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu teknik distraksi dan relaksasi. Teknik distraksi merupakan metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang dialami, seperti mendengarkan musik maupun melihat hal yang indah. Sedangkan teknik relaksasi yang dapat dilakukan adalah teknik bernafas dalam3. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya urtikaria dan reaksi alergi pada pasien :

Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya alergi makanan, yaitu faktor genetik, pajanan alergen dan faktor pencetus.

a. Faktor GenetikAlergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita . Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala alergi maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 17 40%,. Bila ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak meningkat menjadi 53 - 70%. Untuk mengetahui resiko alergi pada anak kita harus mengetahui bagaimana gejala alergi pada orang dewasa. Gejala alergi pada orang dewasa juga bisa mengenai semua organ tubuh dan sistem fungsi tubuh.

b. Pajanan Alergen

Penyebab alergi makanan adalah alergen, merupakan bagian dari makanan yang menimbulkan stimulasi sistem imun pada individu yang alergi makanan. Sensitisasi terhadap alergen makanan terjadi pada traktus gastrointestinal, namun juga dapat terjadi melalui sensitisasi melalui alergen inhalan. Sebagian besar alergen makanan dikenal sebagai alergen klas I, berupa glikoprotein dengan berat molekul antara 10 sampai 70 kilodalton, tahan terhadap panas, asam, dan enzim proteolitik. Dengan semakin banyaknya alergen yang teridentifikasi, diisolasi, dan dikenali, telah jelas bahwa protein hewan dan tumbuhan merupakan tipe yang sama dengan protein yang menyusun alergen makanan.Alergen makanan lain adalah alergen klas II, yang berupa bentuk epitope, sangat labil pada suhu tinggi, rentan terhadap enzim degradasi, dan sulit untuk diisolasi. Alergen klas II ini mungkin yang berperan dalam sensitisasi melalui inhalan. Karena sifatnya yang labil dan sulit di isolasi, belum banyak penelitian yang mengungkap alergen jenis ini, dan pembuatan ekstrak alergen ini untuk diagnosis masih belum memuaskan. Pada pemurnian kacang tanah ditemukan alergen yang disebut sebagai Peanut-1,suatu glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton.

Protein kacang tanah sebagaialergen lainnya adalah arachin dan conarachi. Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton.Pada pemurnian alergen pada ikan diketahui allergen-M sebagai determinan walau jumlahnya tidak banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai alergen utama pada telur. Padasusu sapi yang merupakan alergen utama adalah Betalaktoglobulin (BLG), Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin, dan euglobulin adalah alergen utama pada gandum.Diantara alergen tersebut di atas, B LG adalah alergen yang paling kuat sebagai penyebab alergi makanan. Kebiasaan diet di suatu daerah dan cara memasak atau menyiapkan makanan berhubungan dengan prevalensi alergi makanan tertentu pada beberapa makanan. Sebagaicontoh, konsumsi kacang tanah per kapita di Cina dan Amerika Serikat secara umum sama, namun hampir tidak ada laporan alergi kacang tanah di Cina. Orang Cina biasanya merebus atau menggoreng kacang tanah, sedangkan orang Amerika memakan kacang. tanah yang dipanggang kering. Panas yang lebih tinggi pada pemanggangan,dan proses pemasakan dan pemanggangan telah meningkatkan sifat alergenik dari proteinkacang tanah.Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa urtikaria, kacangtanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu.Meskipun demikian ada beberapa pakar alergi makanan yang berpendapat bahwa jenismakanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu.c. Faktor PencetusTimbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi.Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panasatau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress atau ketakutan. Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparanalergi maka faktor pencetus tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang imbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan,kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu dansebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih berat.4. Pendidikan kesehatan yang diperlukan untuk mencegah munculnya respon alergi berikutnya, atau paparan pada allergen lain :a. Edukasi pertama adalah mencegah paparan allergen. Mencegah paparan allergen menjadi lini pertama untuk mencegah munculnya gejala berulang. Dalam kasus ini adalah menghindari mengonsumsi rujak kuah pindang. Penyebab umum adanya urtikaria yang disebabkan karena makanan adalah berasal dari kandungan protein pada makanan tersebut. Pada kasus pasien sebelumnya sering mengonsumsi rujak kuah pindang, tetapi baru menimbulkan respon alergi. Respon alergi akan muncul jika sensitisasi di dalam tubuh cukup untuk menimbulkan gejala. Lebih lanjut juga diberikan edukasi untuk berhati-hati mengonsumsi makanan laut karena berpotensi besar akan menyebabkan gejala yang sama.

b. Menyarankan kepada pasien untuk membuat catatan kecil tentang waktu terakhir kali alergi tersebut muncul disertai dengan lokasi alergi dan apa yang dikonsumsi pada saat tersebut. Catatan ini dapat membantu tenaga medis untuk menentukan penyebab utama alergi dan dapat memberikan informasi yang tepat tentang apa saja yang perlu dihindari.

c. Menghindari mengonsumsi obat antibiotic golongan penisilin dan aspirin karena golongan obat tersebut dapat memicu timbulnya gejala berulang.

d. Memberikan edukasi terkait menjaga kebersihan diri , kesehatan psikologis, dan lingkungan, terutama suhu lingkungan karena hal-hal tersebut dapat memicu timbulnya alergi berulang.5. Pengkajian dengan 11 pola fungsional Gordon pada kondisi pasien :a. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatanSebelum sakit:

Bagaimana pasien menjaga kesehatan?

Apakah pasien mengetahui bagaimana hidup sehat?

Apakah pasien sering olah raga?Saat sakit:

Apakah pasien tahu tentang penyakit yang diderita, penyebab, dan gejalanya? Apakah pasien mengetahui cara mengatasi, merawat, mengobati penyakit yang diderita? Apakah pasien tahu penyebab dari rasa sakitnya? Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?b. Nutrisi dan metabolikSebelum sakit: Makan dan minum: frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi? Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan seperti vitamin?Saat sakit:

Apakah klien merasa mual atau muntah atau sulit menelan? Apakah klien mengalami anoreksia? Makan dan minum: frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?c. EliminasiSebelum sakit: Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, warna, konsistensi, keluhan nyeri? Apakah mengejan saat buang air besar atau buang air kecil sehingga berpengaruh pada pernapasan?Saat sakit: Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, waktu, warna, konsistensi, keluhan nyeri, bau, sejak kapan?d. Aktivitas dan latihanSebelum sakit Apakah bisa melakukan aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari? Apakah mengalami kelelahan saat aktivitas? Apakah mengalami sesak napas saat beraktivitas?Saat sakit: Apakah memerlukan bantuan saat beraktivitas (pendidikan kesehatan, sebagian, total)? Apakah ada keluhan saat beraktivitas (sesak, batuk)?e. Tidur dan istirahatSebelum sakit: Apakah tidur klien terganggu? Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/atau malam ? Kebiasaan sebelum tidur? Apakah mengkonsumsi obat sebelum tidur?Saat sakit: Apakah tidur klien terganggu, penyebab? Berapa lama, kualitas tidur (siang dan/ atau malam)?

Kebiasaan sebelum tidur?Kemungkinan data: pasien dengan urtikaria akan mengalami gejala klinis gatal- gatal pada seluruh tubuh yang terjadi terus menerus yang diakibatkan karena pada pasien urtikaria adanya gatal yang berkepanjangan, menimbulkan gangguan kenyamanan sehingga pada pola tidur pasien terganggu karena sensasi gatal yang dirasakan.

f. Kognitif dan persepsi sensori Sebelum sakit: Bagaimana menghindari rasa sakit? Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera dan daya ingat, apa saja? Apakah menggunakan alat bantu (kacamata, dll)?Saat sakit: Bagaimana menghindari rasa sakit? Apakah mengalami nyeri (P: penyebab rasa nyeri, Q: kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: terdapat didaerah mana, S: skala 0-10, T: waktu kejadiannya kapan)? Apakah mengalami penurunan fugsi pancaindera, apa saja? Apakah merasa pusing?Kemungkinan data: pada pasien urtikaria adanya nyeri akut yang dirasakan pasien yang disebabkan karena reaksi inflamasi yang terjadi akibat garukan yang dilakukan pasien yang disebabkan karena rasa gatal yang berkepanjangan

g. Persepsi dan konsep diriSebelum sakit: Bagaimana klien menggambarkan dirinya?Saat sakit: Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya terkait dengan penyakitnya? Bagaimana harapan klien terkait dengan penyakitnya?Kemungkinan data: pasien dengan urtikaria mengalami gangguan pada konsep dirinya (Citra diri, Identitas, Peran, Ideal diri, Harga diri). Pasien mengalami gangguan karena adanya kemerahan pada kulit pasien yang diakibatkan karena reaksi urtikaria.h. Peran dan hubungan dengan sesamaSebelum sakit: Bagaimana hubungan klien dengan sesama?Saat sakit: Bagaimana hubungan dengan orang lain (teman, keluarga, perawat, dan dokter)? Apakah peran/pekerjaan terganggu, siapa yang menggantikan?i. Reproduksi dan seksualitasSebelum sakit: Apakah ada gangguan hubungan seksual pasien? Apakah waktu menstruasi tepat waktu atau tidak?Saat sakit: Apakah ada gangguan hubungan seksual pasien?j. Mekanisme koping dan toleransi terhadap stresSebelum sakit: Bagaimana menghadapi masalah? Apakah klien stres dengan penyakitnya? Bagaimana klien mengatasinya? Siapa yang biasa membantu mengatasi/mencari solusi?Saat sakit: Bagaimana menghadapi masalah? Apakah klien stres dengan penyakitnya? Bagaimana klien mengatasinya? Siapa yang biasa membantu mengatasi/mencari solusi?k. Nilai dan kepercayaanSebelum sakit: Bagaimana kebiasaan dalam menjalankan ajaran Agama?Saat sakit: Apakah ada tindakan medis yang bertentangan kepercayaan? Apakah penyakit yang dialami mengganggu dalam menjalankan ajaran Agama yang dianut? Bagaimana persepsi terkait dengan penyakit yang dialami dilihat dari sudut pandang nilai dan kepercayaan?6. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien :

a. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit ditandai dengan pasien mengeluh gatalb. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal, masker wajah meringis, sikap melindungi area nyeri.7. Outcome (tujuan dan kriteria hasil) yang bisa dibuat perawat :

Outcome terlampir.8. Intervensi yang bisa dilakukan perawat :

Intervensi terlampir.DAFTAR PUSTAKADjuanda. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: FKUI.Joanne & Gloria. 2004. Nursing Intervension Classification Fourth Edition, USA : Mosby Elsevier.Katzung GB, Julius DJ. 1995. Histamine, Serotonin, and the Ergot Alkaloids. Dalam: Katzung BG, penyunting. Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-6. San Fransisco: Prentice-Hall International Incorporation.

MIMS INDONESIA. Volume 32 No. 3; 2003Sue, Marion, Meridean, Elizabeth. 2008. Nursing Outcomes Classification Fourth Edition. USA : Mosby Elsevier.T. Heather Herdman. 2011. NANDA Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2014. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.