140401492 draft proposal

58
ESTIMASI DISTRIBUSI SPASIAL KEKERINGAN LAHAN DI KABUPATEN TUBAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PROPOSAL PENELITIAN Oleh : IKHSAN JAELANI 110155201054 UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

Upload: ikhsan-dromanceboy

Post on 27-Dec-2015

82 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 140401492 Draft Proposal

ESTIMASI DISTRIBUSI SPASIAL KEKERINGAN LAHAN DI

KABUPATEN TUBAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN

JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :

IKHSAN JAELANI

110155201054

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

TANJUNGPINANG

2014

Page 2: 140401492 Draft Proposal

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

DAFTAR TABEL..................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii

I. PENDAHULUAN...........................................................................................11.1. Latar belakang Penelitian..........................................................................11.2. Rumusan Masalah.....................................................................................31.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................31.4. Hipotesis....................................................................................................31.5. Manfaat Penelitian.....................................................................................3

II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................52.1 Kekeringan Lahan.....................................................................................52.2 Evapotranspirasi........................................................................................72.3 Metode Neraca Energi...............................................................................72.4 Kelengasan Lahan.....................................................................................82.5 Metode Pengukuran Lengas Lahan...........................................................92.6 Penginderaan Jauh.....................................................................................92.7 Citra Satelit Landsat 7 ETM+.................................................................112.8 Penginderaan Jauh dalam Estimasi Kekeringan lahan............................12

III. METODOLOGI........................................................................................143.1 Tempat dan Waktu..................................................................................143.2 Alat dan Bahan........................................................................................14

3.2.1 Alat...................................................................................................143.2.2 Bahan...............................................................................................14

3.3 Metode Penelitian....................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31

Page 3: 140401492 Draft Proposal

ii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Spektral Citra Satelit Landsat 7 ETM+..............................12

Tabel 2. Nilai ESUNλ Citra Landsat 7 ETM+ (USGS,2002)..................................19

Page 4: 140401492 Draft Proposal

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Alir Latar Belakang Penelitian................................................4

Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian..........................................................30

Page 5: 140401492 Draft Proposal

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Penelitian

Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan

manusia setiap tahunnya secara tidak langsung akan menyebabkan terjadinya

perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunan lahan tersebut akan memicu

terjadinya kekeringan lahan. Di Indonesia, tingkat perubahan penggunaan lahan

terjadi sangat signifikan, hutan di Indonesia telah menyusut. Penyusutan hutan di

Jawa sampai tahun 2001 seluas 90,5 %, Sumatera 59 %, Nusa Tenggara 74,5 %,

Kalimantan 38,8 %, Sulawesi 49,6 %, dan rata-rata untuk Indonesia adalah 54,4

% (Chandrawidjaja, 2006).

Faktor lain yang menyebabkan kekeringan adalah terjadinya perubahan

iklim global. Syahbudin et al, 2004 (dalam syahbudin, 2004) melaporkan bahwa

perubahan iklim global telah terjadi di Indonesia, hal ini berkaitan dengan

terjadinya peningkatan jumlah curah hujan tahunan di wilayah timur Indonesia,

berkisar antara 490 mm/tahun (Sulawesi Selatan) hingga 1.400 mm/tahun (Jawa

Timur). Diikuti oleh peningkatan suhu siang dan malam hari antara 0,5-1,1 0C dan

0,6-2,3 0C. Sedangkan di wilayah barat Indonesia terjadi sebaliknya, dimana

terdapat tendensi penurunan curah hujan tahunan sekitar 135-860 mm/tahun,

dengan peningkatan suhu siang dan malam hari antara 0,2-0,7 0C. Sesuai dengan

data-data di atas, tanda-tanda terjadinya perubahan iklim global tersebut juga

terlihat dari makin cepatnya periode El-Nino menerpa Indonesia, yang semula

terjadi untuk 5-6 tahun sekali, menjadi 2-3 tahun sekali. El Nino adalah

penyimpangan cuaca di lautan Pasifik dimana kondisi lautan sedang memanas,

sehingga mempengaruhi cuaca wilayah sekitarnya termasuk Indonesia

(Nurmayati, 2003). Fenomena El-Nino akan menyebabkan terjadinya kemarau

panjang dan kondisi ini akan lebih parah jika suatu daerah secara alamiah

mempunyai tingkat ketersediaan air yang kurang.

Semakin tinggi laju perubahan penggunaan lahan, maka keseimbangan

iklim akan terganggu. Ketidakseimbangan iklim akan menyebabkan tidak

seimbangnya fungsi hidrologis. Fungsi hidrologis yang terkait dalam siklus

hidrologi mempunyai peranan penting dalam penyediaan dan kebutuhan air untuk

Page 6: 140401492 Draft Proposal

pertanian. Oleh karena itu, apabila siklus tersebut terganggu maka penyediaan dan

kebutuhan air untuk pertanian juga akan terganggu.

Salah satu upaya untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan

akibat bencana kekeringan yaitu dengan tersedianya peta kekeringan lahan, yang

dapat digunakan untuk perencanaan pengendalian dini. Pemetaan kekeringan

lahan dapat dilakukan dengan pendekatan Penginderaan Jauh dan Sistem

Infromasi Geografi (SIG). Wilayah yang berpotensi terhadap kekeringan dapat

diidentifikasi dengan mengaitkan berbagai parameter yang memicu terjadinya

bencana kekeringan tersebut.

Penginderaan jauh atau inderaja (remote sensing) adalah seni dan ilmu

untuk mendapatkan informasi tentang obyek, area atau fenomena melalui analisa

terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung

dengan obyek, daerah ataupun fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979),

sedangkan Sistem Informasi Geografi ialah teknologi yang menjadi alat bantu

(tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis,

menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan

spasial secara terintegasi (Prahasta, 2002). Teknologi penginderaan jauh meliputi

pengukuran dan analisa pantulan radiasi gelombang elektromagnetik dari obyek

dengan sistem pasif maupun aktif. Respon radiasi dari masing-masing spektrum

gelombang elektromagnetik atau yang biasa disebut nilai spektral menunjukkan

tipe atau jenis material obyek. Respon masing-masing spektrum gelombang

elektromagnetik dikumpulkan dalam bentuk citra multispektral (Wolf, 1993).

Penelitian ini dilakukan untuk mengestimasi distribusi kekeringan lahan

secara spasial dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Informasi dari faktor-faktor tersebut diekstraksi dari Band Citra Multispektral

Landsat 7 ETM. Diharapkan informasi dari Band Citra Multispektral Landsat 7

ETM tersebut dapat dipakai sebagai metode untuk menduga faktor-faktor

kekeringan lahan. Diagram alir latar belakang penelitian disajikan pada Gambar 1.

Page 7: 140401492 Draft Proposal

3

1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini meliputi:

1. Apakah teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk

memperkirakan kelengasan lahan?

2. Apakah teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dapat

digunakan untuk memperkirakan sebaran daerah rawan kekeringan lahan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Memprediksi secara spasial distribusi kekeringan lahan berdasarkan kajian

evapotranspirasi dan kelengasan lahan,

2. Mengetahui sebaran dan luas kekeringan lahan

1.4. Hipotesis

Nilai NDSI, NDVI dan NDWI mempunyai korelasi yang positif terhadap

tingkat kelengasan lahan.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat mengestimasi distribusi

secara spasial kekeringan lahan dengan menggunakan penginderaan jauh dan

sistem informasi geografi dalam rangka pengembangan pertanian dan pengelolaan

sumberdaya lahan & air serta upaya menyediakan informasi dalam mitigasi

bencana.

Page 8: 140401492 Draft Proposal

Alih Guna Lahan Perubahan Iklim Global

Kekeringan Lahan

Fungsi Hidrologis tidak Seimbang

Ketersediaan Air untuk Pertanian Berkurang

Penginderaan Jauh & Sistem Informasi Geografi

Bertambahnya Jumlah

Penduduk

Meningkatnya Kebutuhan Manusia

Estimasi Distribusi Spasial Kekeringan Lahan

Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air

Keterangan :

: Proses

: Faktor yang Mempengaruhi

Gambar 1. Diagram Alir Latar Belakang Penelitian

Page 9: 140401492 Draft Proposal

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kekeringan Lahan

Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya

persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di

bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus.

Kekeringan dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan

air, dalam hal ini biasanya dikonotasikan dengan kekurangan air hujan. Pengertian

lain adalah kekurangan sejumlah air yang diperlukan, dimana keperluan air ini

ditentukan oleh kegiatan ekonomi masyarakat maupun tingkat sosial ekonominya.

Dengan demikian kekeringan adalah interaksi antara dua fenomena yaitu kondisi

sosial ekonomi dan kondisi alam. Karena kekeringan terjadi hampir di semua

daerah dunia dan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, definisi yang

berlaku harus secara regional bersifat khusus dan terfokus pada dampak

dampaknya (Utomo et al., 2009).

Dampak dari kekeringan muncul sebagai akibat dari kurangnya air, atau

perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Kekeringan paling sering

dihubungkan dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara

kekeringan juga terjadi pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang

biasanya besar. Manusia cenderung mematok aktivitas-aktivitas mereka di sekitar

keadaan kelembaban yang sudah biasa. Dengan demikian, setelah bertahun-tahun

hidup dengan curah hujan di atas rata-rata, manusia bisa menganggap tahun

pertama sewaktu curah hujan rata-rata kering terjadi kekeringan. Lebih jauh lagi,

tingkat curah hujan yang bisa memenuhi kebutuhan seorang peladang mungkin

merupakan kekeringan yang serius bagi seorang petani yang menanam jagung.

Untuk mendefinisikan kekeringan di suatu daerah, perlu dipahami dengan baik

karakteristik meteorologi dan juga persepsi manusia tentang kondisi-kondisi

kekeringan.

Pada dasarnya kekeringan adalah kondisi kekurangan air pada daerah yang

biasanya tidak mengalami kekurangan air, sedangkan daerah yang kering adalah

daerah yang memang mempunyai curah hujan yang kecil atau bulan keringnya

dalam setahun lebih besar atau sama dengan delapan bulan. Sebenarnya

Page 10: 140401492 Draft Proposal

kekeringan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu (a) kekeringan

meteorologis, (b) kekeringan hidrologis, (c) kekeringan pertanian (Utomo et al.,

2009).

Menurut BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2010)

kekeringan diklasifikasikan menjadi kekeringan meteorologis, kekeringan

hidrologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan

Meteorologis merupakan kekeringan yang berkaitan dengan tingkat curah hujan di

bawah normal dalam satu musim, sedangkan Kekeringan Hidrologis berkaitan

dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah, sedangkan Kekeringan

Pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah

sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu

tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan

kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat

kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.

Kekeringan pada lahan pertanian biasanya merupakan suatu keadaan

berkurangnya kelembaban tanah dan berakibat pada kegagalan panen karena tidak

ada sumber air permukaan. Berkurangnya kelembaban tanah tergantung dari

beberapa faktor yang juga dipengaruhi oleh kekeringan meteorologi dan

kekeringan hidrologi disertai dengan perbedaan evapotranspirasi aktual dan

evapotranspirasi potensial. Kebutuhan air tanaman tergantung dari kondisi cuaca

secara umum, karakteristik biologi dari tanaman dan tempatnya tumbuh, dan

kondisi tanah secara fisik dan biologi. Beberapa indeks kekeringan, berdasarkan

kombinasi dari penyerapan, temperatur dan kelembaban tanah, digunakan untuk

mempelajari kekeringan pertanian (Ashok and Vijay, 2010).

Dalam setiap kasus, sebab pokok dari kekeringan adalah curah hujan,

meskipun faktor peningkatan kebutuhan air cenderung meningkatkan penyebab

kekeringan. Kelembaban nisbi rendah, angin kencang, dan suhu tinggi merupakan

faktor pendukung kekeringan karena faktor ini meningkatkan evapotranspirasi.

Tanah yang kehilangan air secara cepat oleh penguapan atau pembuangan air juga

meningkatkan kekeringan.

Page 11: 140401492 Draft Proposal

II.2 Evapotranspirasi

Uap air yang hilang dari tanah melalui permukaan tanah dan permukaan

daun disebut dengan evapotranspirasi (Soepardi, 1983). Evapotranspirasi

merupakan gabungan dari dua istilah, yaitu evaporasi dan transpirasi. Evaporasi

menurut Koorevaar et al. (1983) merupakan proses dimana hilangnya uap air dari

permukaan tanah ke atmosfir. Sedangkan transpirasi adalah air yang diserap oleh

akar tumbuhan untuk pembentukan jaringan tubuh tumbuhan dan sisanya

dikembalikan ke udara. Jumlahnya dinyatakan dalam meter kubik per hektar atau

milimeter air (Arsyad, 2000). Evapotranspirasi berpengaruh terhadap jumlah

ketersediaan air. Jumlah ketersediaan air ini sangat ditentukan oleh proporsi curah

hujan yang masuk ke dalam daerah aliran sungai, dan dipengaruhi oleh keadaan

hutan, lokasi, dan praktek manajemen pertanian yang dapat merubah kondisi

vegetasi (Brooks et al., 2003).

II.3 Metode Neraca Energi

Metode neraca keseimbangan energi (disebut juga metode energy budget)

didasarkan atas pendekatan bahwa untuk evaporasi dibutuhkan sejumlah energi

tertentu sekitar 2,45 MJ kg-1 pada suhu 20 0C. Energi ini dikenal sebagai fluks

energi laten penguapan. Radiasi yang diterima oleh tajuk tanaman diserap menjadi

radiasi kembali (reradiasi), konveksi dan transpirasi. Seluruh energi pancaran

yang diserap oleh vegetasi pasti bisa dijelaskan, dan karenanya neraca energi

untuk vegetasi akan seimbang (Rosenberg, 1974 dalam Firdaus; 2004).

Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan

sebagian dipantulkan/ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi

gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto (Rn) yang

diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk

memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi

untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux) (H),

energi untuk evapotranspirasi (λE) dan sisanya digunakan untuk metabolisme

mahluk hidup. inilah yang sering disebut sebagai konsep neraca energi

permukaan. Secara notasi matematis dapat di tulis dengan persamaan :

Page 12: 140401492 Draft Proposal

λE = Rn – G – H ………………………….......................................................... (1)

Keterangan :

λE = Energi untuk melakukan evapotranspirasi (MJ m-2 hari-1)

Rn = Radiasi netto (MJ m-2 hari-1)

G = Fluks pemanasan tanah (MJ m-2 hari-1)

H = Perpindahan panas terasa (MJ m-2 hari-1)

II.4 Kelengasan Lahan

Menurut Notohadiprawiro (1998) dalam Rahmawati (2005) simpanan

lengas tanah merupakan air yang terdapat dalam tanah yang terikat oleh berbagai

gaya, gaya ikat matrik, osmotik, dan kapiler. Lengas tanah bisa berupa sebagai air

gravitasi (gravity water) yang terdapat pada pori makro, sebagai air kapiler

(capillary water) pada pori mikro sebagai lengas higroskopis yang melekat pada

agregat tanah, dan sebagai uap air (Lindsey, 1986). Titik keseimbangan untuk

lengas tanah yaitu kapasitas lapang dan titik layu.

Kapasitas lapang (field capacity) didefinisikan sebagai kadar lengas tanah

setelah selesainya drainase secara alamiah oleh gaya gravitasi. Titik layu (wilting

point) adalah lengas yang terkandung pada suatu tegangan yang ekivalen dengan

tekanan osmotik pada akar-akar tanaman. Titik layu tersebut menunjukkan kadar

lengas tanah saat tanaman tak mampu menghisap air dari tanah (Lindsey, 1986).

Kondisi kadar air yang menghalangi pertumbuhan tanaman, biasanya

disebut titik layu permulaan yang merupakan standar kadar air minimum yang

diperlukan tanaman. Harga pF kadar air pada kondisi layu permulaan adalah 3,0

sampai 3,6. Jika air dalam tanah itu diredusir kurang dari titik layu permulaan,

maka tanaman akan mati, karena tidak mungkin mengabsorpsi air. Kadar air ini

disebut titik layu permanen. Titik layu permanen ini adalah kira-kira tetap, tidak

tergantung dari jenis tanaman dan sesuai dengan kapasitas menahan air dari pF =

4,0 sampai 4,3. Interval kadar air yang memungkinkan akan mengabsorbsi air

adalah antara titik layu permanen sampai kapasitas lapang (harga pF = 2,0) dan

disebut kadar air/kelembaban efektif. Tetapi interval yang menjamin pertumbuhan

tanaman yang normal adalah dari titik permulaan layu sampai kapasitas lapang.

Page 13: 140401492 Draft Proposal

Kadar air dalam interval ini disebut juga kadar air efektif untuk pertumbuhan atau

kadar air optimum yang berbeda dengan kadar air efektif tersebut di atas,

Umumnya kadar air optimum adalah kira-kira 50 sampai 70% dari kadar air

efektif (Sosrodarsono dan Takeda, 1985).

II.5 Metode Pengukuran Lengas Lahan

Secara umum metode yang sering dipakai dalam pengukuran lengas tanah

adalah metode Gravimetri (Soepardi, 1983). Dengan cara ini kadar air ditetapkan

secara langsung dengan mengukur penurunan bobot karena air hilang melalui

pengeringan tanah. Metode ini melibatkan pengumpulan contoh tanah,

menimbangnya sebelum dan setelah pengeringan dan menghitung kandungan air

semula. Metode ini satu-satunya metode pengukuran langsung lengas tanah dan

yang paling teliti. Namun, metode ini membutuhkan waktu dan memerlukan

contoh yang diambil dari lokasi (contoh tanah terganggu). Pemindahan contoh

tanah ini harus dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kehilangan air.

Pengukuran ini tidak dapat diulang pada titik yang sama dimana contoh semula

diambil. Peralatan sederhana yang digunakan untuk mengambil contoh lengas

tanah adalah bor tanah (Seyhan, 1977).

Pendugaan kelengasan lahan menggunakan penginderaan jauh adalah

dengan menggunakan tiga indeks lahan dari data satelit. Ketiga indeks tersebut

adalah indeks tanah (NDSI = Normalized Difference Soil Index), indeks vegetasi

(NDVI = Normalized Difference Vegetation Index), dan indeks air (NDWI =

Normalized Difference Water Index). Ketiga indeks tersebut kemudian

dikorelasikan dengan data kelengasan lahan dan dianalisis secara statistika

(Dirgahayu, 2006).

II.6 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

tentang suatu obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer,

1979). Menurut Lo (1996), penginderaan jauh adalah suatu teknik untuk

mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh

tanpa sentuhan fisik. Pengambilan data penginderaan jauh dilakukan dengan

Page 14: 140401492 Draft Proposal

menggunakan suatu alat yang disebut sensor. Berbagai macam sensor telah

dipasang pada wahana pengumpul data penginderaan jauh seperti balon udara,

pesawat terbang, satelit, dan wahana lainnya.

Teknologi penginderaan jauh meliputi pengukuran dan analisa pantulan

radiasi gelombang elektromagnetik dari obyek dengan sistem pasif maupun aktif.

Respon radiasi dari masing-masing spektrum gelombang elektromagnetik

menunjukkan tipe atau jenis material obyek dan respon masing-masing spektrum

gelombang elektromagnetik dikumpulkan dalam bentuk citra multispektral (Wolf,

1993). Obyek yang diindera adalah obyek permukaan bumi, di atmosfer dan di

antariksa. Data penginderaan jauh dapat berupa citra (imagery), grafik, dan data

numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang

obyek, daerah, atau fenomena diteliti. Proses penerjemahan data menjadi

informasi dan dilakukan secara digital dengan bantuan komputer yang disebut

interpretasi digital.

Data hasil perekaman penginderaan jauh lazim disebut citra. Sebuah citra

adalah representasi dua dimensi dari permukaan bumi yang dilihat dari luar

angkasa. Dalam hal ini, terdapat dua macam citra yaitu citra analog dan digital.

Salah satu contoh citra analog ialah foto udara, sedangkan citra digital adalah citra

satelit. Citra satelit dibangun oleh struktur dua dimensi dari elemen gambar yang

disebut piksel. Setiap piksel memuat informasi tentang warna, ukuran dan lokasi

dari sebagian/sebuah obyek. Informasi warna pada piksel disebut angka digital

(digital number-DN). DN menggambarkan ukuran atau intensitas cahaya atau

gelombang mikro yang ditangkap oleh sensor. Informasi lokasi didapatkan dari

kolom dan lajur piksel yang dihubungkan dengan posisi geografis sebenarnya

(Ekadinata et al., 2008).

Citra yang dihasilkan oleh sebuah satelit akan memperlihatkan

keseluruhan penampakan tutupan lahan di bumi sehingga dapat dimanfaatkan

dalam berbagai bidang untuk mendeteksi suatu obyek. Dalam bidang pertanian,

umumnya obyek yang diamati adalah vegetasi, air, dan tanah. Obyek tersebut

dapat dideteksi menggunakan citra hasil pengolahan yang dapat menunjukkan

indeks tanah (Normalize Difference Soil Index, NDSI), indeks air (Normalize

Difference Water Index, NDWI), dan indeks vegetasi (Normalize Difference

Page 15: 140401492 Draft Proposal

Vegetation Index, NDVI). Hal tersebut dilakukan untuk meminimalikan ragam ciri

spektral tutupan lahan di atasnya sehingga diperoleh pantulan dari tanah, air, dan

vegetasi saja.

2.7 Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Citra multispektral Landsat 7 ETM+ merupakan generasi selanjutnya dari

Landsat Thematic Mapper yang memiliki resolusi temporal 16 hari, resolusi

spektral 8 band, resolusi spasial 30 m x 30 m, mempunyai saluran pankromatik

yang mempunyai resolusi spasial 15 m x 15 m serta resolusi radiometrik 8 bit.

Citra ini merupakan citra multispektral, maka di dalam interpretasinya perlu

dipilih saluran yang paling sesuai dengan bidang kajian agar mendapat interpretasi

yang tepat.

Setiap band memiliki panjang gelombang yang berlainan yang nantinya

berhubungan dengan fungsi dan kegunaannya masing-masing. Band 1 yang

memiliki panjang gelombang 0,45-0,52 μm memiliki kegunaan untuk

membuahkan peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air dan juga untuk

mendukung analisa sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Band 2 yang

memiliki panjang gelombang 0,52-0,60 μm memiliki kegunaan untuk

menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan. Band 3 yang memiliki

panjang gelombang 0,63-0,60 μm memiliki kegunaan untuk memisahkan vegetasi,

memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi juga

menajamkan kelas vegetasi. Band 4 yang memiliki panjang gelombang 0,76-1,90

μm tanggap terhadap sejumalah biomassa vegetasi dan memperkuat kontras antara

tanaman-tanah dan lahan air. Band 5 yang memiliki panjang gelombang 1,55-1,75

μm memiliki kegunaan untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada

tanaman, dan kondisi kelembapan tanah. Band 6 yang memiliki panjang

gelombang 2,08-2,35 μm memiliki kegunaan untuk estimasi suhu dan memisah

formasi batuan. Band 7 yang memiliki panjang gelombang 10,40-12,50 μm

memiliki kegunaan untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi,

pemisahan kelembapan tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan

panas (Puntodewo et al., 2003). Karakteristik spektral citra satelit Landsat 7

ETM+ dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 16: 140401492 Draft Proposal

Tabel 1. Karakteristik Spektral Citra Satelit Landsat 7 ETM+.

Band Panjang Gelombang

(μm)

Resolusi spasial

(m)

Daerah spektrum

Kegunaan

1 0.45-0.52 30 Visible warna biru

Membedakan kejernihan air dan juga membedakan antara

tanah dengan tanaman.

2 0.52-0.60 30 Visible warna hijau

Mendeteksi tanaman.

3 0.63-0.60 30 Visible warna merah

Band yang paling berguna untuk membedakan tipe

tanaman, lebih daripada band 1 dan 2.

4 0.76-1.90 30 Infra merah dekat

Meneliti biomas tanaman, dan juga membedakan batas tanah-

tanaman dan daratan-air.

5 1.55-1.75 30 Infra merah tengah

Menunjukkan kandungan air tanaman dan tanah,

membedakan tipe tanaman dan kesehatan tanaman. Juga

digunakan untuk membedakan antara awan, salju dan es.

6 10.40-12.50 60 Infra merah termal

Mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan

kelembaban tanah.7 2.08-12.35 30 Infra merah

jauhBerhubungan dengan mineral;

ration antara band 5 dan 7 berguna untuk mendeteksi batuan dan deposit mineral.

8 0,52-0,90 15 Pankromatik -Sumber: Sabins 1986; Jensen 1986 dalam Puntodewo, et.al. (2003)

II.8 Penginderaan Jauh dalam Estimasi Kekeringan lahan

Pada saat ini, penginderaan jauh satelit telah mulai digunakan untuk

mengukur tingkat kekeringan berdasarkan faktor-faktornya seperti curah hujan,

temperatur, kelengasan tanah, dan kondisi vegetasi. Observasi bumi dengan satelit

sangat bermanfaat sekali terhadap data-data yang diperlukan untuk pemantauan

Page 17: 140401492 Draft Proposal

tingkat kekeringan, hal ini disebabkan oleh banyaknya kendala memperoleh data

secara langsung di lapangan. Data penginderaan jauh dapat menyediakan

informasi spasial dalam suatu cakupan wilayah yang luas sehingga mempunyai

dampak positif terhadap waktu dan biaya yang dibutuhkan (Jeyaseelan, 2007).

Aplikasi penginderaan jauh telah dilakukan Sun et al. (2004) untuk

identifikasi suhu udara berdasarkan termodinamika di wilayah dataran Cina

dengan menggunakan citra infra merah sistem termal Modis. Suhu udara

diturunkan dari rumus radiasi netto, evapotranspirasi, hilangnya panas ke udara

karena konveksi dan konduksi, serta fraksi vegetasi dan indeks stress tanaman

terhadap air untuk menduga hubungan antara suhu permukaan lahan dan suhu

udara. Suhu permukaan lahan dihitung dari citra Modis berdasarkan algoritma

suhu permukaan lahan pada siang dan malam hari. Pengukuran di validasi dengan

data meteorologi pada 33 stasiun cuaca pada wilayah studi tersebut. Hasil yang

diperoleh mempunyai tingkat akurasi lebih dari 80%.

Firdaus (2004) menggunakan citra termal Landsat dalam menaksir

evapotranspirasi. Pendekatannya adalah dengan cara mengekstraksi informasi

temperatur permukaan atau disebut juga suhu kinetik objek. Model yang disusun

untuk mengeksploitasi datanya adalah model neraca energi berdasarkan suhu

kinetik dari permukaan yang dapat diterjemahkan dari radian temperatur objek.

Setiyadi (2008) menggunakan penginderaan jauh untuk pendugaan

kelengasan lahan di DAS Ngasinan Trenggalek dengan menggunakan tiga indeks

lahan dari data Citra Satelit Aster. Ketiga indeks tersebut adalah indeks tanah

(NDSI = Normalized Difference Soil Index), indeks vegetasi (NDVI = Normalized

Difference Vegetation Index), dan indeks air (NDWI = Normalized Difference

Water Index). Pengolahan data dilakukan dengan cara mengekstraksi informasi

reflektansi terkoreksi dan ekstraksi informasi kondisi lahan kemudian dilakukan

analisis statistika regresi nonlinier. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

hubungan indeks lahan Modis dengan kelengasan tanah memiliki respon positif

terhadap kenaikan lengas lahan.

Page 18: 140401492 Draft Proposal

III. METODOLOGI

III.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur

Analisa lengas tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, sedangkan analisis

spasial dan pemetaan dilaksanakan di Laboratorium Pedologi dan Inventarisasi

Sumberdaya Lahan (PISDL) Jurusan Tanah Universitas Brawijaya. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Juli 2012 - November 2012.

III.2 Alat dan Bahan

III.2.1 AlatAlat yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas perangkat keras dan

perangkat lunak. Perangkat keras antara lain adalah: Notebook HP Qompaq C150

(Intel(R) Core(TM)2 Duo CPU T5870 @ 2.00GHz (2 CPUs), 2.0GHz), Printer

EPSON Stylus T11, GPS Garmin 76 CSX, Bor Tanah, dan Kompas. Perangkat

lunak antara lain adalah: Frame And Fill Win32, PCI Geomatica 9.0, ER Mapper

7.0, ArcView 3.2, ArcGIS 9.3, Map Source 8.0, SPSS 16, Minitab 14 dan

Microsoft Office 2007.

III.2.2 BahanBahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat 7

ETM+ path/row 119/65 liputan tanggal 25 Agustus 2012 pukul 14.30 WIB, Peta

RBI digital Bakosurtanal tahun 2002 skala 1:25.000, Peta Geologi lembar Tuban

dan Tulungagung skala 1 : 100.000 Tahun 1992, Aster G-DEM S08E112 dan

S07E112, Peta Analog Jenis Tanah BBSDLB skala 1 :50.000 Tahun 1995, Peta

Kemiringan Lereng BBSDLB skala 1 :50.000 Tahun 1995, Data Iklim (Curah

Hujan) dan data lengas lahan pengukuran lapang.

III.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 19: 140401492 Draft Proposal

3.3.1 PersiapanTahap persiapan dimulai dari studi pustaka yang terkait dengan penelitian yang

didapat dari buku-buku yang mendukung, jurnal penelitian sebelumnya, maupun

dari artikel-artikel yang diakses dari situs internet dan perpustakaan. Penyiapan

alat dan bahan juga dilakukan pada tahapan ini antara lain berupa notebook,

printer, Global Positioning System (GPS), citra satelit dan peta RBI digital yang

didapat dari laboratorium Pedologi dan Inventarisasi Sumberdaya Lahan (PISDL)

Jurusan Tanah Universitas Brawijaya. Data sekunder didapat dari hasil

pengolahan citra satelit ETM 7+. Data primer didapatkan dari hasil survei lapang

yang meliputi pengambilan sampel tanah di beberapa lokasi penelitian.

3.3.2 Pre-Processing Citra Satelit Digital Landsat 7 ETM+

Perbaikan Landsat 7 ETM+ SLC OFF dengan Mosaicking

Semenjak tanggal 31 Mei 2003, citra landsat mengalami kerusakan pada kanal

SLC (Scan Line Corrector). Akibatnya citra mengalami strip atau garis-garis pada

hasil pemotretannya. Garis – garis tersebut merupakan area yang tidak terpotret

oleh satelit, namun hal ini dapat diperbaiki menggunakan software frame_and_fill

yang direkomendasikan oleh NASA (National Aeronautics and Space

Administration). Mosaicking citra landsat yaitu penampalan dua atau lebih citra

landsat 7 ETM+ SLC OFF (Anonymous, 2010).

Proses mosaik yang ideal adalah dengan menggunakan data - data citra lain

namun masih dalam musim yang sama, karena orbit satelit yang tidak selalu

terbang melewati tempat yang sama, sangat memungkinkan sekali dari dua

tanggal liputan yang berbeda terdapat gapp (bagian yang kosong) yang berbeda

pula.

a. Koreksi Radiometrik

Pada tahapan ini dilakukan proses koreksi radiometrik yang bertujuan untuk

meminimalkan kesalahan yang disebabkan pengaruh detektor satelit atau

pengaruh gangguan atmosfer (Jensen, 1996). Atmosfer sebagai media penghantar

gelombang elektromagnetik dari matahari mempunyai pengaruh cukup besar

terhadap citra satelit, yaitu berupa hamburan. Akibat adanya efek atmosfer

tersebut, nilai kecerahan pada citra digital tidak menggambarkan keadaan obyek

sebenarnya. Oleh sebab itu, untuk analisis lebih lanjut, efek hamburan tersebut

Page 20: 140401492 Draft Proposal

harus dihilangkan atau dikurangi terlebih dahulu, proses ini disebut koreksi

radiometrik. Proses koreksi radiometrik pada citra disebut juga dengan kalibrasi

spektral radian. Setiap dataset Tiff Landsat ETM+ mempunyai faktor skala

koefisien tersendiri dalam mengkonversi nilai DN (digital number) ke dalam

spektral radian. Faktor koefisien tersebut adalah nilai Lmax dan Lmin serta nilai

QCALmax QCALmin. faktor koefisien tersebut dapat dilihat pada file MTL citra

satelit landsat 7 ETM+. Kalibrasi radian ini menggunakan persamaan :

Lλ = ( Lmax - Lmin / QCALmax- QCALmin) x (QCAL- QCALmin) + Lmin……………...….(2)

Dimana,

Lλ = Spectral Radiance kanal ke-i

Lmax = Nilai maksimum Spectral Radiance kanal ke-i

Lmin = Nilai minimum spektral radian kanal ke-i

QCAL = Nilai Digital Number kanal ke-i

QCALmin = Nilai minimum Pixel Value (1)

QCALmax = Nilai maksimum Pixel Value (255)

b. Koreksi Geometrik

Bertujuan untuk memperbaiki kesalahan geometrik agar berada pada koordinat

dan posisi yang benar. Prosedur dalam koreksi geometrik ini menggunakan

analisis titik kontrol tanah (Ground Control Point/GCP) dan menggunakan

software PCI Geomatica 9.1. GCP didapatkan dari peta rupabumi atau dari data

vektor peta digital lain yang sesuai dengan daerah liputan citra. Kenampakan yang

baik sebagai titik ikat adalah perpotongan jalan raya, batas garis pantai, sungai,

dan kenampakan lainnya yang mudah dilihat. Pada proses koreksi diletakkan

sejumlah titik ikat medan secara tersebar dan merata, hal ini dilakukan agar

koreksi geometrik tersebut mempunyai hasil yang optimal dan berkualitas baik.

Setelah itu dilakukan metode resampling nearest neighborhood, yaitu metode

transfer atau pengalihan dengan menggunakan nilai digital pixel yang terdekat

(Lillesand & Kiefer, 2000).

c. Penajaman Citra

Penajaman citra dilakukan agar kenampakan citra yang akan dianalisis lebih

terlihat jelas dan memudahkan dalam proses interpretasi. Penajaman citra

Page 21: 140401492 Draft Proposal

dilakukan dengan mengubah-ubah nilai kecerahan piksel citra. Teknik penajaman

citra dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas transformasi otomatis pada

perangkat lunak penginderaan jauh seperti histogram equalize, gaussian equalize,

level-slice transform, autoclip transform, default logaritmic transform, default

exponential transform, autoclip transform 99%, linear, root, adaptive,

equalization, dan infrequency.

3.3.3 Klasifikasi Citra Menggunakan analisis citra Aster dengan teknik Unsupervised Classification.

Unsupervised Classification adalah suatu proses operasi numerik yang digunakan

komputer untuk mengkelaskan nilai spektral dari pixel-pixel yang sama dan

bertujuan untuk mengkelaskan suatu penggunaan lahan (Jensen, 1996).

3.3.4 Pengukuran EvapotranspirasiPengukuran dilakukan dengan cara estimasi Radiasi Netto (Rn), Fluks Pemanasan

Tanah (G), Fluks Pemanasan Udara (H) dan Fluks Energi Laten (LE) pada citra

Landsat 7 ETM+. Metode ini dinamakan dengan metode neraca keseimbangan

energi permukaan lahan.

Radiasi Netto (Rn)

Radiasi netto (Rn) adalah perbedaan antara radiasi yang masuk dan keluar dari

panjang gelombang pendek dan panjang gelombang jauh (Allen et al., 1998).

Untuk menghitung radiasi netto menggunakan persamaan berikut (Guzman,

2007):

Rn = (1−α) ⋅ Rswd + ε ⋅ Rtwd – ε ⋅σ⋅To4…………………...………………..……. (3)

Dimana,

α = albedo

Rswd = radiasi matahari ke bumi (MJ m-2 hari-1)

ε = emisivitas permukaan

Rtwd = radiasi gelombang panjang ke bumi (MJ m-2 hari-1)

σ = konstanta Stefan-Bolztmann (4,90 . 10-9 MJ m-2 K-4 hari-1)

To = temperatur permukaan lahan (oK)

Page 22: 140401492 Draft Proposal

α, ε, dan To dapat diekstrak dari data penginderaan jauh menggunakan saluran

pada karakteristik spektral gelombang terlihat (visible) sampai panas (thermal).

Albedo (α)

Sebagian jumlah radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dipantulkan.

Fraksi radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi disebut albedo

(Allen et al., 1998). Perhitungan albedo pada citra Aster terdiri dari 2 tahap.

Tahap pertama adalah merubah spektral radian citra Aster ke reflektan, tahap

kedua adalah menghitung nilai albedo dengan input reflektan tersebut. Adapun

persamaan yang dipakai adalah (Liang, 2002) :

αETM+ = 0,356α1 + 0,130α3 + 0,373α4 + 0,085α5 + 0,072α7 - 0,0018…………..(4)

Dimana,

αETM+ = Albedo Citra Landsat 7 ETM+

αi = Nilai reflektan dengan i adalah band 1-7

Perhitungan Reflektan (α)

Reflektan adalah rasio panjang gelombang antara energi yang dipantulkan dan

energi yang datang ke permukaan bumi. Persamaannya adalah (Abrams dan

Hook, 2001):

Dimana,

α = Reflektan

Lλ = Spektral radian (Wm-2 sr-1 μm-1)

π = 3,14

dr = Invers jarak relatif bumi – matahari

θ = Sudut zenit matahari (derajat)

ESUNλ = Rata-rata nilai solar spectral Irradiance (Wm-2μm-1)

Lλ . π . dr2

ESUNλ . cos θzα = ………………………………….………………………. (5)

Page 23: 140401492 Draft Proposal

Tabel 2. Nilai ESUNλ Citra Landsat 7 ETM+ (USGS,2002)

Band Wm-2μm-1

1 1969

2 1840

3 1551

4 1044

5 225,7

7 82,07

8 1368

Perhitungan Sudut Zenith Matahari (θZ)

Untuk menentukan sudut zenith matahari (θZ) persamaan :

cosθZ = sinδ . sinφ + cosδ .cosφ . cosω……………………….………………..(6)

Dimana,

φ = lintang

δ = sudut dekliniasi matahari

ω = sudut waktu

Perhitungan ω

Sudut waktu dihitung berdasarkan waktu matahari lokal (LAT), dengan

persamaan:

ω = 15(LAT −12)(π /180)………………………………………………………(7)

Perhitungan LAT

LAT = UTC + 4 ⋅ Lc / 60 + Et / 60 ………………………………………..……(8)

Dimana,

UTC = waktu/jam pengambilan citra

Lc = meridian wilayah

Et = posisi matahari pada musim berbeda

Perhitungan Et

Et dihitung dengan persamaan:

Page 24: 140401492 Draft Proposal

Et = 0,000075 + 0,001868cos(Γ) – 0,032077sin(Γ) – 0,014615cos(2Γ) -

0,04089sin(2Γ) * 229,18……………………………………………….(9)

Dimana,

Γ = sudut hari

Perhitungan Γ

Sudut hari dihitung dengan persamaan:

Γ = 2π (J −1)/ 365 ……………………………………………………………...(10)

Dimana,

J = Julian Date, jumlah hari didalam tahun antara 1 (1 Januari) sampai 365 atau

366 (31 Desember)

Radiasi Matahari (Rswd)

Proses evapotranspirasi ditentukan oleh jumlah energi tersedia untuk menguapkan

air. Radiasi matahari adalah sumber energi yang paling besar dalam mengubah air

untuk menguap. Jumlah potensial radiasi di setiap wilayah berbeda-beda,

ditentukan oleh lokasi dan waktu berdasarkan tahun. Dikarenakan perbedaan

posisi matahari, maka radiasi potensial pada setiap lintang dan musim akan

berbeda juga. Radiasi matahari dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

Angstrom (Allen et al., 1998), yaitu:

Rswd = as + bs .

Dimana,

Rswd = radiasi matahari (MJ m-2 hari-1)

as = fraksi radiasi (0,25)

bs = fraksi radiasi (0,5)

n = lama matahari bersinar dalam satu hari (jam)

N = maksimum lama matahari bersinar dalam satu hari (jam)

Ra = ekstraterestrial radiasi (MJ m-2 hari-1)

Perhitungan N

N dihitung dengan persamaan:

N = 24/π . ωs …………………………………………………………………..(12)

Dimana,

(N) Ra …………………………………………………………..(11)n

Page 25: 140401492 Draft Proposal

ωs = sudut terbenam matahari (radian)

Perhitungan ωs

Sudut matahari terbenam dihitung dengan persamaan :

ωs = arc cos[− tan(ϕ ).tan(δ )]………………………………………………….(13)

Dimana,

ϕ = lintang (radian)

δ = deklinasi matahari (radian)

Perhitungan ϕ

Satuan lintang masih dalam bentuk desimal, untuk merubahnya ke dalam satuan

radian digunakan persamaan:

Radian =

Perhitungan δ

Deklinasi matahari (δ) dihitung dengan persamaan:

Dimana,

J = Julian Date, jumlah hari didalam tahun antara 1 (1 Januari) sampai 365 atau

366 (31 Desember)

Perhitungan Ra

Ekstraterestrial radiasi dihitung dengan menggunakan persamaan (Allen et al.,

1998) :

Ra = Gsc . dr . [ωs sin(ϕ) . sin(δ) . cos(ϕ) . cos(δ) . sin(ωs) …………...(16)

Dimana,

Gsc = konstanta matahari (0,0820 MJ m-2 day-1)

dr = invers jarak relatif bumi – matahari

Perhitungan dr

Invers jarak relatif bumi-matahari dihitung dengan persamaan:

dr = 1 + 0,033cos

180[lintang] ………………………………………………….… (14)

π

δ = 0,4102sin 2π365

(J–80)( )………………………………………………… (15)

π24(60)

J( 2π365 )…………………………………………………… .(17)

Page 26: 140401492 Draft Proposal

Dimana,

J = Julian Date, jumlah hari didalam tahun antara 1 (1 Januari) sampai 365 atau

366 (31 Desember)

Emisivitas Permukaan (ε)

Emisivitas permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan (Vallor dan

Caselles, 1996) :

ε = εv ⋅ Pv + εs ⋅ (1− Pv) .......................................................................................(18)

Dimana,

εv = emisivitas permukaan dengan vegetasi penuh (0,99)

Pv = fraksi tutupan vegetasi

εs = emisivitas tanah (0,96)

Perhitungan Pv

Fraksi vegetasi dihitung dengan menggunakan persamaan (Carlson dan Ripley,

1997):

Pv =

Dimana,

NDVI = indeks kehijauan vegetasi (-1 sampai 1)

NDVImax , NDVImin = nilai maksimum dan minimum NDVI

Perhitungan NDVI

Indikator aktivitas fotosintesis pada permukaan bumi dapat dilihat dengan NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index). Hal ini disebabkan oleh kuatnya

karakteristik spektral penyerapan terhadap klorofil pada saluran terlihat (0,475

sampai 0,65 μm) dan tingginya pantulan dari vegetasi pada saluran inframerah

dekat. NDVI berkisar antara -1 dan +1. Semakin tinggi nilai indeks, menunjukkan

tingginya tingkat kehijauan vegetasi. NDVI dihitung dengan persamaan:

NDVI = (ρnir – ρvis)/( ρnir + ρvis) ………………………………………………..(20)

[ NDVI - NDVImin

NDVImax - NDVImin]………………………………………………... (19)

2

Page 27: 140401492 Draft Proposal

Dimana,

ρnir = reflektan permukaan pada saluran inframerah dekat

ρvis = reflektan permukaan pada saluran tampak warna merah

Pada citra landsat ρnir adalah band 4, dan ρvis adalah band 3

Perhitungan Rtwd

Radiasi gelombang panjang ke bumi dihitung menggunakan persamaan :

Rtwd = εa ⋅σ ⋅Ta4………………………………………………………………. (21)

Dimana,

εa = emisivitas atmosfer

σ = konstanta Stefan-Bolztmann (4,90 . 10-9 MJ m-2 K-4 hari-1)

Ta = temperatur udara (oC)

Perhitungan εa

Emisivitas atmosfer dihitung dengan persamaan Swinbank (Campbell dan

Norman, 1998):

εa = 9,2⋅10−6⋅( Ta + 273,15)2 …………………………………………………. (22)

Dimana,

Ta= temperatur udara (0C)

Perhitungan Ta

Temperatur udara dihitung dengan menggunakan persamaan (Braak, 1928 dalam

Ritung et al.; 2007) :

Ta = 26,3 − (0,01⋅ DEM ⋅ 0,6) ……………………………………………….. (23)

Dimana,

DEM = Digital Elevation Model

Perhitungan To

Temperatur permukaan lahan dihitung dengan menggunakan band 6 thermal

(10.40-12.50 μm) pada citra Landsat 7 ETM+. Ada dua tahap dalam penghitungan

temperatur permukaan lahan, pertama adalah merubah spektral radian band 6 ke

Page 28: 140401492 Draft Proposal

lnελTk∂

TkTo =1 +

dalam temperatur kecerahan (temperatur benda hitam), yang kedua adalah

melakukan koreksi terhadap temperatur benda hitam tersebut dengan emisivitas

permukaan lahan (ε). Adapun persamaan yang digunakan untuk merubah spektral

radian ke temperatur benda hitam adalah (Khomarudin,2005) :

Dimana,

T(K) = Suhu kecerahan (K)

K1 = (Konstanta kalibrasi 1) 666,09 W m-2 sr-1 μm-1

K2 = (Konstanta kalibrasi 2) 1282,71 W m-2 sr-1 μm-1

Lλ = Nilai spectral radiance band 6

Untuk merubah temperatur benda hitam ke temperatur permukaan (To) , maka

digunakan persamaan:

Dimana,

To = Suhu permukaan yang terkoreksi (K)

Tk = Suhu kecerahan

∂ = 1,438 x 10-2 m K

λ = Panjang gelombang radiasi emisi (11,5 μm)

ε = Nilai emisivitas permukaan

Fluks Pemanasan Tanah (G)

Fluks pemanasan tanah adalah energi yang digunakan untuk memanaskan tanah

(Allen et al., 1998). Persamaan yang digunakan untuk menghitung G adalah

(Bastiaanseen et al., 1998):

G = Rn . . (0,32 . α + 0,62 . α2) . (1-0,98 . NDVI4) …………..(26)

Dimana,

G = fluks pemanasan tanah (MJ m-2 hari-1)

Rn = radiasi netto (MJ m-2 hari-1)

To = temperatur permukaan lahan (K)

…………………………………………………………………(24)+ 1K1

K2 T(K) = = ln

+( )

…………………………………………………………………(25)

To – 273,15100 . α

( )

Page 29: 140401492 Draft Proposal

α = albedo citra Landsat 7 ETM+

NDVI = indeks kehijauan vegetasi (-1 sampai 1)

Fluks Pemanasan Udara (H)

Fluks pemanasan udara (H) adalah aliran energi melalui udara sebagai temperatur

gradien. Persamaan dari fluks pemanasan udara adalah (Weligepolage, 2005):

H = ρa . cp .

Dimana,

H = fluks pemanasan udara (Wm-2)

ρa = kerapatan jenis udara (Kg m-3)

Cp = panas udara spesifik pada saat tekanan konstan (1.013 J Kg-1 K-1)

To = temperatur permukaan lahan (K)

Ta = temperatur udara (K)

ra = ketahanan aerodinamik (s m-1)

Pada penelitian ini satuan yang digunakan adalah MJ m-2 hari-1. Pada fluks

pemanasan udara satuannya adalah Wm-2. Oleh karena itu satuan dari fluks

pemanasan udara harus dirubah ke dalam satuan MJ m-2 hari-1 (1 Wm-2 = 0,0864

MJ m-2 hari-1).

Perhitungan ρa

Kerapatan jenis udara dihitung dengan persamaan:

Dimana,

ρa = kerapatan jenis udara (Kg m-3)

P = tekanan atmosfer (kPa)

R = konstanta gas spesifik (287 J Kg-1 K-1)

TKv = temperatur virtual (K) ≈ 1,01(Ta + 273)

Ta = temperatur udara (oC)

Perhitungan P

Tekanan atmosfer dihitung dengan persamaan:

P = 101,3

To – Ta

ra

………………………………………………………..…(26)

ρa =1.000PTKvR

=P

TKv

3,468 …………………………………………………….…(27)

293 – 0,0065 . z293

( ) …………………………………………………...(28)5,26

Page 30: 140401492 Draft Proposal

Dimana,

Z = ketinggian dari data DEM

Perhitungan ra

Transfer panas dan uap air dari permukaan yang terevaporasi ke udara di atas

kanopi vegetasi ditentukan oleh ketahanan aerodinamik, dengan persamaan:

ra = ………………………………………….(29)

Dimana,

ra = ketahanan aerodinamik (s m-1)

zm = ketinggian alat pengukur angin (m)

zh = ketinggian alat pengukur alat kelembaban (m)

d = jarak tinggi vegetasi (m)

zom = panjang kekasaran yang mengatur pindahan momentum (m)

zoh = panjang kekasaran yang mengatur pindahan panas dan uap (m)

k = konstanta von Karman (0,41)

uz = kecepatan angin pada ketinggian z (m s-1)

Pada penelitian ini kecepatan angin tidak diukur, maka diambil kecepatan angin

normal, yaitu 2 m s-1 pada ketinggian 1-2 m.

Perhitungan d

Jarak tinggi vegetasi dihitung dengan persamaan:

d = h ………………………………………………………………………...(30)

Dimana,

h = ketinggian vegetasi (m)

Perhitungan h

Ketinggian vegetasi dihitung dengan persamaan:

h = ……………………………………………………………………….(31)

ln[ Zm - d

Zom]ln[ Zh - d

Zoh]

k2uz

23

Zom

0,13

Page 31: 140401492 Draft Proposal

Dimana,

Zom = panjang kekasaran yang mengatur pindahan momentum (m)

Perhitungan Zom

Zom = exp (-7,13 + 9,33 . NDVI) ……………………………………………….(32)

Dimana,

NDVI = indeks kehijauan vegetasi (-1 sampai 1)

Perhitungan Zoh

Zoh = 0,1⋅ Z

om ....................................................................................................

(33)

Dimana,

Zoh = panjang kekasaran yang mengatur pindahan panas dan

uap (m)

Zom = panjang kekasaran yang mengatur pindahan momentum

(m)

3.3.5 Fluks Energi Laten (LE)Fluks energi laten (LE) dihitung setelah semua komponen neraca keseimbangan

energi permukaan lahan terpenuhi. Persamaan untuk menghitung fluks energilaten

adalah (Weligepolage, 2005):

LE = Rn - G - H ………………………………………………………………(34)

Dimana,

Rn = radiasi netto

G = fluks pemanasan tanah

H = fluks pemanasan udara

Semua komponen pada persamaan diatas dihitung berdasarkan satuan MJ m-2 hari-

1. Faktor konversi yang dipakai untuk mengubah fluks energi laten (LE) menjadi

banyaknya uap air yaitu 1 MJ m-2 hari-1 = 0,408 mm hari-1.

Page 32: 140401492 Draft Proposal

3.3.6 Identifikasi Kekeringan dengan EF (Evaporative Fraction)Identifiksi kekeringan pada penelitian ini menggunakan metode fraksi evaporasi.

Fraksi evaporasi adalah perbandingan antara fluks energi laten, radiasi netto, dan

fluks pemanasan tanah. Nilai EF semakin rendah maka potensi kekeringan pada

daerah yang diteliti akan semakin tinggi. Persamaannya adalah sebagai berikut

(Niemeyer dan Vogt,1999):

EF = …………………………………………………………………(35)

Dimana,

LE = fluks energi laten

Rn = radiasi netto

G = fluks pemanasan tanah

3.3.7 Survey LapangDilakukan untuk verifikasi data penggunaan lahan, landform serta pengambilan

sampel kadar lengas tanah. Survey lapang dilakukan dengan bantuan GPS (Global

Positioning System), bor tanah, kompas, dan peta dasar sebagai acuan. GPS

digunakan untuk menentukan koordinat posisi dari setiap titik pengamatan baik

penggunaan lahan, landform dan sampel lengas tanah. Sampel lengas tanah

diambil pada kedalaman tanah 0-20 cm dengan menggunakan bor tanah. Kompas

digunakan untuk menentukan acuan arah pada saat survey dilakukan.

3.3.8 Analisis Kadar Lengas TanahAnalisis kadar lengas tanah dilakukan di Laboratorium Fisika, Jurusan Tanah,

Universitas Brawijaya menggunakan metode Gravimetri. Metode Gravimetri

bertujuan untuk mengetahui nilai kadar air tanah, yaitu perbandingan antara berat

air dalam tanah terhadap berat kering tanah tersebut dan dinyatakan dalam persen.

Peralatan yang digunakan adalah cawan kedap udara dan tidak berkarat,

timbangan analitik, dan oven. Prosedur yang dilakukan adalah penyiapan cawan

kosong, penyiapan benda uji, penimbangan, penempatan cawan dalam oven

selama 24 jam dengan suhu (110±5) oC atau sampai berat tetap, pendinginan

dalam desikator, kemudian penimbangan kembali. Persamaan yang digunakan

untuk menghitung kadar air adalah:

LE

Rn - G

W1 - W2

Page 33: 140401492 Draft Proposal

KA = x 100 % ……………………………………………………(36)

Dimana,

W1 = berat cawan (g) + tanah basah (g)

W2 = berat cawan (g) + tanah kering (g)

W3 = berat cawan kosong (g)

3.3.9 Pengukuran Kadar Lengas pada Citra Landsat 7 ETM+

Pengukuran dengan cara analisis beberapa indeks, yaitu indeks tanah (NDSI =

Normalize Difference Soil Index), indeks vegetasi (NDVI = Normalize Difference

Vegetation Index), dan indeks air (NDWI = Normalize Difference Water Index).

Adapaun persamaan ketiga indeks tersebut adalah (Anonymous2, 2012):

NDSI = (SWIR(B5) – NIR(B4))/(SWIR(B5) + NIR(B4)) ……………………….(37)

NDVI = (NIR(B4) – VIS(B3))/(NIR(B4) + VIS(B3)) ……………………………(38)

NDWI = (NIR(B4) – SWIR(B5))/(NIR(B4) + SWIR(B5)) ………………………(39)

Dimana,

NIR = near infra red

VIS = visible

SWIR = shortwave infrared

Bi = band ke i (1-8)

3.3.10 Analisis StatistikaDilakukan analisis korelasi regresi nonlinier antara NDSI, NDVI, dan NDWI

dengan kadar lengas tanah untuk mendapatkan model estimasi kelengasan lahan.

3.3.11 Pendugaan Distribusi Spasial Kekeringan Lahan dengan EF dan Lengas Tanah

Pendugaan dilakukan dengan analisis SIG yaitu dengan melakukan tumpang

tindih (Overlay) pada citra EF dan lengas lahan. Metode ini memanfaatkan

fasilitas tumpang tindih pembobotan (Weighted Overlay) pada Spatial Analyst

Tools. Hasil pembobotan ini kemudian dibagi menjadi tiga kelas potensi

kekeringan, yaitu kelas Rendah (daerah yang tidak berpotensi mengalami

kekeringan), kelas Sedang (daerah yang berpotensi mengalami kekeringan

sedang), dan kelas Tinggi (daerah yang berpotensi tinggi untuk mengalami

kekeringan).

W2 – W3

Page 34: 140401492 Draft Proposal
Page 35: 140401492 Draft Proposal

Perbaikan SLC OFF

Koreksi Radiometrik

Survey Lapang (Penggunan lahan, Landform & Lengas Tanah)

Koreksi Geometrik

Peta Lereng Analog BBSDLB skala 1 :50.000 Tahun 1995 Peta Digital RBI Tahun 2002Citra Landsat 7 ETM+ 119/65

Rektifikasi

Scanning

Digitasi

Peta digital Kelerengan

Aster GDEM Resolusi 30 mPeta Geologi Analog Skala 1 : 100.000 Tahun 1992

Transformasi Digital Elevation Mode

Peta digital Relief

Citra Terkoreksi

Peta digital Geologi

Editing

Peta Landform Digital Skala 1 : 50.000

Peta Tanah Analog BBSDLB skala 1 :50.000 Tahun 1995

Peta digital Kelas Butir Tekstur Skala 1 : 50.000

NDSI NDVINDWI

Unsupervised Classification

Citra Tentativ Penggunaan Lahan Albedo, Emisivitas, NDVI, Suhu Permukaan

Analisis Statistika

Editing

Model Estimasi Kelengasan Lahan

Citra Penggunaan Lahan 2012Peta Landform Tahun 2012 Skala 1 : 50.000

Citra Sebaran Kelengasan Lahan

Transformasi Radiasi Netto (Rn)

TransformasiFluks Tanah (G)

TransformasiFluks Udara (H)

Model EstimasiLE = Rn – G - H

Citra SebaranEvapotranspirasi

Model EstimasiEF = LE / Rn - G

Citra Sebaran EF

Analisis Tumpang Tindih Pembobotan

Citra Rawan Kekeringan Lahan

Analisis dan Penulisan Laporan

31

Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian

Page 36: 140401492 Draft Proposal

32

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2012. Landsat 7 ETM+ SLC OFF. Available on:

http://reganleonardus.wordpress.com/2010/06/03/tutorial-gap-filling-

untuk-citra-landsat-slc-off. Dikutip tanggal 6 Oktober 2012

Anonymous2, 2012. SMEX02 Iowa Satellite Vegetation and Water Index (NDVI

and NDWI). Available on :

http://nsidc.org/data/docs/daac/nsidc0184_smex_ndvi_ndwi.gd.html.

Dikutip tanggal 6 Oktober 2012

Abrams, M., and S. Hook. 2001. Aster User Handbook Version 2. Jet Populsion

Laboratory. Pasadena.

Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith.1998. Crop Evapotranspirastion

Guidelines for Computing Crop Water Requirements. FAO. Rome.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah Dan Air. IPB PRESS. Bogor.

Ashok K.M, Vijay P.S. 2010. A review of drought concept. Journal of Hydrology

391:202-216.

Bastiaansenn, W.G.M., M. Menenti, R.A. Feddes, and A.A.M. Holtslag. 1998. A

Remote Sensing Surface Energy Balance Algorithm for Land (SEBAL): 1.

Formulation. Journal Of Hydrology, 212-213 (1-4), 198-212.

Brooks, K.N., P.F. Ffolliot, H.M. Gregersen, and L.F. DeBano. 2003. Hydrology

and The Management Of Watersheds. Third edition. Blackwell Publishing.

USA.

[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah. 2010. Kekeringan. Nusa

Tenggara Timur. BPBD Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Campbell, G.S., and J.M. Norman. 1998. An Introduction to Environmental

Biophysics. Springer.

Page 37: 140401492 Draft Proposal

33

Carlson, T.N., and D.A. Ripley. 1997. On The Relation Between NDVI,

Fractional Vegetation Cover, and Leaf Area Index. Remote Sensing of

Environment, 62, pp. 241 -252.

Chandrawidjaja, R. 2006. Banjir Dan Kekeringan, Apakah Salahku?. Ketua Pusat

Kajian Sistem Sumberdaya Daerah Rawa-UNLAM.

http://groups.google.co.id/group/mahasiswas/browse_thread/thread/da3fe6

36a1a7aca6/621251bcbb37f003%23621251bcbb37f003. Dikutip tanggal 4

Oktober 2012.

Dirgahayu, D.D. 2006. Pengembangan Model Pendugaan Kelengasan Lahan

Menggunakan Data Modis. jurnal penginderaan jauh dan pengolahan data

citra digital (Journal of Remote Sensing and Digital Image Processing)

Vol. 3 No. 1 juni 2006.

Ekadinata, A., Dewi, S., Hadi, D. P., Nugroho, D. K., Johana, F. 2008. Sistem

Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber

Daya Alam. Buku 1: Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh

Menggunakan ILWIS Open Source. World Agroforestry Centre. Bogor

Firdaus, B. 2004. Estimasi Distribusi Spasial Evapotranspirasi Menggunakan

Analisa Data Digital Citra Satelit Sistem Termal. Skripsi. Jurusan

Geofisika dan Meteorologi, FMIPA. IPB. Bogor.

Guzman, J.A.A. 2007. Effects of Land Cover Changes On The Water Balance of

The Valo Perde Wetland Costa Rica. Thesis. ITC. Netherlands.

Jensen, J.R.1996. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing

Perspective. Second Edition. Prentice Hall. New Jersey.

Jeyaseelan, A.T. 2007. Droughts & Floods Assessment and Monitoring Using

Remote Sensing and Gis. Crop Inventory and Drought Assessment

Division, National Remote Sensing Agency, Department of Space, Govt.

of India, Hyderabad. http://www.wamis.org/agm/pubs/agm8/Paper-14.pdf.

Dikutip tanggal 5 Oktober 2012.

Page 38: 140401492 Draft Proposal

34

Khomarudin, MR, 2005. Identifikasi Neraca Energi Di Beberapa Penggunaan

Lahan Untuk Deteksi Daerah Potensi Kekeringan Di Surabaya, Gresik,

Dan Sidoarjo.

Koorevaar, P.G., G. Menelik, and C. Dirksen. 1983. Elements of Soil Physics.

Developments in Soil Sciences 13. Elsevier. Newyork.

Liang, S. 2002. Narrowband to Broadband Conversions of Land Surface Albedo:

II. Validation. Remote Sensing of Environment 84 (2002) 25-41.

Lillesand, T.M, Kiefer, R.W., 2000. Remote Sensing & Image Interpretation. 4 th

Edition. John Willey & Sons, Inc,. New York.

Lindsey, R.K. 1986. Hidrologi Untuk Insinyur. Erlangga. Jakarta

Lo, C.P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Bambang Purbowaeso, penerjemah.

Jakarta: UI Press.

Niemeyer, S., and J.V. Vogt. 1999. Monitoring the Moisture Status of The Land

Surface in Sicily Using an Energy Balance Approach. Space Application

Institute. Italy: Joint Research Centre of The European Commision TP 41,

I-21020.

Nurmayati, T. 2003. Analisis Tingkat Kekeringan dan Periode Musim Kemarau

Pada Saat Normal dan El nino di Provinsi Riau. Skripsi. Jurusan GFM,

FMIPA, IPB. Bogor.

Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografi. Tutorial ArcView. Informatika.

Bandung.

Puntodewo, A., Dewi, S., Tarigan, J. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk

Pengelolaan Sumberdaya Alam. CIFOR, Bogor

Rahmawati, I.Y. 2005. Studi Simpanan Lengas Tanah pada Berbagai Penggunaan

Lahan di DAS Sumpil Malang. Skripsi. Jurusan Tanah, FP, Universitas

Brawijaya. Malang.

Page 39: 140401492 Draft Proposal

35

Ritung, S., Wahyunto, F. Agus, dan H. Hidayat. 2007. Panduan Evaluasi

Kesesuaian Lahan: dengan contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan

Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry

Center. Bogor.

Setiyadi, Yadi. 2008. Pemanfaatan Citra Satelit Aster dalam Estimasi Distribusi

Spasial Potensi Kekeringan Lahan di DAS Ngasinan, Trenggalek, Jawa

Timur, Skripsi, Jurusan Tanah, FP, universitas Brawijaya. Malang.

Seyhan, E. 1977. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Faperta, Dept. Ilmu Tanah, IPB. Bogor.

Sosrodarsono, S., dan K. Takeda. 1985. Hidrologi Untuk Pengairan. PT Pradnya.

Jakarta.

Sun, Y.J., J.F. Wang, R.H. Zhang, R.R. Gillies, Y. Xue, and Y.C. Bo. 2004. Air

Temperature Retrieval from Remote Sensing Data Based on

Thermodynamics. Theor. Appl.Climatol. 80, 37-48 (2005).

http://www.slrss.cn/download/05_SCI/Air%20temperature%20retrieval

%20from%20remote%20sensing%20data%20based%20on

%20thermodynamics.pdf. Dikutip Tanggal 4 Oktober 2012.

Syahbuddin, H. 2004. Zonasi Wilayah Kekeringan Tanaman Pangan. Inovasi

online. ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.2/XVI/November 2004 – IPTEK.

http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=39. Dikutip tanggal 4 Oktober

2012.

U.S. Geological Survey (USGS), 2002. Landsat 7 Science Data Users

Handbook.United States Of America.

http://ltpwww.gsfc.nasa.gov/IAS/handbook/handbook_html. Dikutip

tanggal 4 Oktober 2012.

Page 40: 140401492 Draft Proposal

36

Utomo et al. 2009. Pendidikan Lingkungan Hidup Untuk Sekolah Menengah Atas

Kelas XI Jilid 2. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian

Universitas Negeri Malang. Malang. Jawa Timur.

Vallor, E., and V. Caselles. 1996. Mapping Land Surface Emissivity from NDVI:

Application to European, African and South American Areas. Remote

Sensing of Environment, 57 (3), 167 – 184.

Weligepolage, K. 2005. Estimation of Spatial and Temporal Distribution of

Evapotranspiration by Satellite Remote Sensing: A Case Study in

Hupselse Beek, The Netherlands. Thesis. ITC. Netherlands.

Wolf, P.R. 1993. Element of Photogrammetry with Air Photo Interpretation and

Remote Sensing. McGraw-Hill, Inc. New York.