140401492 draft proposal
TRANSCRIPT
ESTIMASI DISTRIBUSI SPASIAL KEKERINGAN LAHAN DI
KABUPATEN TUBAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN
JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
PROPOSAL PENELITIAN
Oleh :
IKHSAN JAELANI
110155201054
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA
TANJUNGPINANG
2014
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................i
DAFTAR TABEL..................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
I. PENDAHULUAN...........................................................................................11.1. Latar belakang Penelitian..........................................................................11.2. Rumusan Masalah.....................................................................................31.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................31.4. Hipotesis....................................................................................................31.5. Manfaat Penelitian.....................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................52.1 Kekeringan Lahan.....................................................................................52.2 Evapotranspirasi........................................................................................72.3 Metode Neraca Energi...............................................................................72.4 Kelengasan Lahan.....................................................................................82.5 Metode Pengukuran Lengas Lahan...........................................................92.6 Penginderaan Jauh.....................................................................................92.7 Citra Satelit Landsat 7 ETM+.................................................................112.8 Penginderaan Jauh dalam Estimasi Kekeringan lahan............................12
III. METODOLOGI........................................................................................143.1 Tempat dan Waktu..................................................................................143.2 Alat dan Bahan........................................................................................14
3.2.1 Alat...................................................................................................143.2.2 Bahan...............................................................................................14
3.3 Metode Penelitian....................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik Spektral Citra Satelit Landsat 7 ETM+..............................12
Tabel 2. Nilai ESUNλ Citra Landsat 7 ETM+ (USGS,2002)..................................19
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Alir Latar Belakang Penelitian................................................4
Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian..........................................................30
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Penelitian
Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan
manusia setiap tahunnya secara tidak langsung akan menyebabkan terjadinya
perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunan lahan tersebut akan memicu
terjadinya kekeringan lahan. Di Indonesia, tingkat perubahan penggunaan lahan
terjadi sangat signifikan, hutan di Indonesia telah menyusut. Penyusutan hutan di
Jawa sampai tahun 2001 seluas 90,5 %, Sumatera 59 %, Nusa Tenggara 74,5 %,
Kalimantan 38,8 %, Sulawesi 49,6 %, dan rata-rata untuk Indonesia adalah 54,4
% (Chandrawidjaja, 2006).
Faktor lain yang menyebabkan kekeringan adalah terjadinya perubahan
iklim global. Syahbudin et al, 2004 (dalam syahbudin, 2004) melaporkan bahwa
perubahan iklim global telah terjadi di Indonesia, hal ini berkaitan dengan
terjadinya peningkatan jumlah curah hujan tahunan di wilayah timur Indonesia,
berkisar antara 490 mm/tahun (Sulawesi Selatan) hingga 1.400 mm/tahun (Jawa
Timur). Diikuti oleh peningkatan suhu siang dan malam hari antara 0,5-1,1 0C dan
0,6-2,3 0C. Sedangkan di wilayah barat Indonesia terjadi sebaliknya, dimana
terdapat tendensi penurunan curah hujan tahunan sekitar 135-860 mm/tahun,
dengan peningkatan suhu siang dan malam hari antara 0,2-0,7 0C. Sesuai dengan
data-data di atas, tanda-tanda terjadinya perubahan iklim global tersebut juga
terlihat dari makin cepatnya periode El-Nino menerpa Indonesia, yang semula
terjadi untuk 5-6 tahun sekali, menjadi 2-3 tahun sekali. El Nino adalah
penyimpangan cuaca di lautan Pasifik dimana kondisi lautan sedang memanas,
sehingga mempengaruhi cuaca wilayah sekitarnya termasuk Indonesia
(Nurmayati, 2003). Fenomena El-Nino akan menyebabkan terjadinya kemarau
panjang dan kondisi ini akan lebih parah jika suatu daerah secara alamiah
mempunyai tingkat ketersediaan air yang kurang.
Semakin tinggi laju perubahan penggunaan lahan, maka keseimbangan
iklim akan terganggu. Ketidakseimbangan iklim akan menyebabkan tidak
seimbangnya fungsi hidrologis. Fungsi hidrologis yang terkait dalam siklus
hidrologi mempunyai peranan penting dalam penyediaan dan kebutuhan air untuk
pertanian. Oleh karena itu, apabila siklus tersebut terganggu maka penyediaan dan
kebutuhan air untuk pertanian juga akan terganggu.
Salah satu upaya untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan
akibat bencana kekeringan yaitu dengan tersedianya peta kekeringan lahan, yang
dapat digunakan untuk perencanaan pengendalian dini. Pemetaan kekeringan
lahan dapat dilakukan dengan pendekatan Penginderaan Jauh dan Sistem
Infromasi Geografi (SIG). Wilayah yang berpotensi terhadap kekeringan dapat
diidentifikasi dengan mengaitkan berbagai parameter yang memicu terjadinya
bencana kekeringan tersebut.
Penginderaan jauh atau inderaja (remote sensing) adalah seni dan ilmu
untuk mendapatkan informasi tentang obyek, area atau fenomena melalui analisa
terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung
dengan obyek, daerah ataupun fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979),
sedangkan Sistem Informasi Geografi ialah teknologi yang menjadi alat bantu
(tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis,
menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan
spasial secara terintegasi (Prahasta, 2002). Teknologi penginderaan jauh meliputi
pengukuran dan analisa pantulan radiasi gelombang elektromagnetik dari obyek
dengan sistem pasif maupun aktif. Respon radiasi dari masing-masing spektrum
gelombang elektromagnetik atau yang biasa disebut nilai spektral menunjukkan
tipe atau jenis material obyek. Respon masing-masing spektrum gelombang
elektromagnetik dikumpulkan dalam bentuk citra multispektral (Wolf, 1993).
Penelitian ini dilakukan untuk mengestimasi distribusi kekeringan lahan
secara spasial dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Informasi dari faktor-faktor tersebut diekstraksi dari Band Citra Multispektral
Landsat 7 ETM. Diharapkan informasi dari Band Citra Multispektral Landsat 7
ETM tersebut dapat dipakai sebagai metode untuk menduga faktor-faktor
kekeringan lahan. Diagram alir latar belakang penelitian disajikan pada Gambar 1.
3
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini meliputi:
1. Apakah teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk
memperkirakan kelengasan lahan?
2. Apakah teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dapat
digunakan untuk memperkirakan sebaran daerah rawan kekeringan lahan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Memprediksi secara spasial distribusi kekeringan lahan berdasarkan kajian
evapotranspirasi dan kelengasan lahan,
2. Mengetahui sebaran dan luas kekeringan lahan
1.4. Hipotesis
Nilai NDSI, NDVI dan NDWI mempunyai korelasi yang positif terhadap
tingkat kelengasan lahan.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat mengestimasi distribusi
secara spasial kekeringan lahan dengan menggunakan penginderaan jauh dan
sistem informasi geografi dalam rangka pengembangan pertanian dan pengelolaan
sumberdaya lahan & air serta upaya menyediakan informasi dalam mitigasi
bencana.
Alih Guna Lahan Perubahan Iklim Global
Kekeringan Lahan
Fungsi Hidrologis tidak Seimbang
Ketersediaan Air untuk Pertanian Berkurang
Penginderaan Jauh & Sistem Informasi Geografi
Bertambahnya Jumlah
Penduduk
Meningkatnya Kebutuhan Manusia
Estimasi Distribusi Spasial Kekeringan Lahan
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air
Keterangan :
: Proses
: Faktor yang Mempengaruhi
Gambar 1. Diagram Alir Latar Belakang Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Kekeringan Lahan
Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya
persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di
bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus.
Kekeringan dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan
air, dalam hal ini biasanya dikonotasikan dengan kekurangan air hujan. Pengertian
lain adalah kekurangan sejumlah air yang diperlukan, dimana keperluan air ini
ditentukan oleh kegiatan ekonomi masyarakat maupun tingkat sosial ekonominya.
Dengan demikian kekeringan adalah interaksi antara dua fenomena yaitu kondisi
sosial ekonomi dan kondisi alam. Karena kekeringan terjadi hampir di semua
daerah dunia dan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, definisi yang
berlaku harus secara regional bersifat khusus dan terfokus pada dampak
dampaknya (Utomo et al., 2009).
Dampak dari kekeringan muncul sebagai akibat dari kurangnya air, atau
perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Kekeringan paling sering
dihubungkan dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara
kekeringan juga terjadi pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang
biasanya besar. Manusia cenderung mematok aktivitas-aktivitas mereka di sekitar
keadaan kelembaban yang sudah biasa. Dengan demikian, setelah bertahun-tahun
hidup dengan curah hujan di atas rata-rata, manusia bisa menganggap tahun
pertama sewaktu curah hujan rata-rata kering terjadi kekeringan. Lebih jauh lagi,
tingkat curah hujan yang bisa memenuhi kebutuhan seorang peladang mungkin
merupakan kekeringan yang serius bagi seorang petani yang menanam jagung.
Untuk mendefinisikan kekeringan di suatu daerah, perlu dipahami dengan baik
karakteristik meteorologi dan juga persepsi manusia tentang kondisi-kondisi
kekeringan.
Pada dasarnya kekeringan adalah kondisi kekurangan air pada daerah yang
biasanya tidak mengalami kekurangan air, sedangkan daerah yang kering adalah
daerah yang memang mempunyai curah hujan yang kecil atau bulan keringnya
dalam setahun lebih besar atau sama dengan delapan bulan. Sebenarnya
kekeringan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu (a) kekeringan
meteorologis, (b) kekeringan hidrologis, (c) kekeringan pertanian (Utomo et al.,
2009).
Menurut BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2010)
kekeringan diklasifikasikan menjadi kekeringan meteorologis, kekeringan
hidrologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan
Meteorologis merupakan kekeringan yang berkaitan dengan tingkat curah hujan di
bawah normal dalam satu musim, sedangkan Kekeringan Hidrologis berkaitan
dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah, sedangkan Kekeringan
Pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu
tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan
kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat
kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.
Kekeringan pada lahan pertanian biasanya merupakan suatu keadaan
berkurangnya kelembaban tanah dan berakibat pada kegagalan panen karena tidak
ada sumber air permukaan. Berkurangnya kelembaban tanah tergantung dari
beberapa faktor yang juga dipengaruhi oleh kekeringan meteorologi dan
kekeringan hidrologi disertai dengan perbedaan evapotranspirasi aktual dan
evapotranspirasi potensial. Kebutuhan air tanaman tergantung dari kondisi cuaca
secara umum, karakteristik biologi dari tanaman dan tempatnya tumbuh, dan
kondisi tanah secara fisik dan biologi. Beberapa indeks kekeringan, berdasarkan
kombinasi dari penyerapan, temperatur dan kelembaban tanah, digunakan untuk
mempelajari kekeringan pertanian (Ashok and Vijay, 2010).
Dalam setiap kasus, sebab pokok dari kekeringan adalah curah hujan,
meskipun faktor peningkatan kebutuhan air cenderung meningkatkan penyebab
kekeringan. Kelembaban nisbi rendah, angin kencang, dan suhu tinggi merupakan
faktor pendukung kekeringan karena faktor ini meningkatkan evapotranspirasi.
Tanah yang kehilangan air secara cepat oleh penguapan atau pembuangan air juga
meningkatkan kekeringan.
II.2 Evapotranspirasi
Uap air yang hilang dari tanah melalui permukaan tanah dan permukaan
daun disebut dengan evapotranspirasi (Soepardi, 1983). Evapotranspirasi
merupakan gabungan dari dua istilah, yaitu evaporasi dan transpirasi. Evaporasi
menurut Koorevaar et al. (1983) merupakan proses dimana hilangnya uap air dari
permukaan tanah ke atmosfir. Sedangkan transpirasi adalah air yang diserap oleh
akar tumbuhan untuk pembentukan jaringan tubuh tumbuhan dan sisanya
dikembalikan ke udara. Jumlahnya dinyatakan dalam meter kubik per hektar atau
milimeter air (Arsyad, 2000). Evapotranspirasi berpengaruh terhadap jumlah
ketersediaan air. Jumlah ketersediaan air ini sangat ditentukan oleh proporsi curah
hujan yang masuk ke dalam daerah aliran sungai, dan dipengaruhi oleh keadaan
hutan, lokasi, dan praktek manajemen pertanian yang dapat merubah kondisi
vegetasi (Brooks et al., 2003).
II.3 Metode Neraca Energi
Metode neraca keseimbangan energi (disebut juga metode energy budget)
didasarkan atas pendekatan bahwa untuk evaporasi dibutuhkan sejumlah energi
tertentu sekitar 2,45 MJ kg-1 pada suhu 20 0C. Energi ini dikenal sebagai fluks
energi laten penguapan. Radiasi yang diterima oleh tajuk tanaman diserap menjadi
radiasi kembali (reradiasi), konveksi dan transpirasi. Seluruh energi pancaran
yang diserap oleh vegetasi pasti bisa dijelaskan, dan karenanya neraca energi
untuk vegetasi akan seimbang (Rosenberg, 1974 dalam Firdaus; 2004).
Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan
sebagian dipantulkan/ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi
gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto (Rn) yang
diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk
memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi
untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux) (H),
energi untuk evapotranspirasi (λE) dan sisanya digunakan untuk metabolisme
mahluk hidup. inilah yang sering disebut sebagai konsep neraca energi
permukaan. Secara notasi matematis dapat di tulis dengan persamaan :
λE = Rn – G – H ………………………….......................................................... (1)
Keterangan :
λE = Energi untuk melakukan evapotranspirasi (MJ m-2 hari-1)
Rn = Radiasi netto (MJ m-2 hari-1)
G = Fluks pemanasan tanah (MJ m-2 hari-1)
H = Perpindahan panas terasa (MJ m-2 hari-1)
II.4 Kelengasan Lahan
Menurut Notohadiprawiro (1998) dalam Rahmawati (2005) simpanan
lengas tanah merupakan air yang terdapat dalam tanah yang terikat oleh berbagai
gaya, gaya ikat matrik, osmotik, dan kapiler. Lengas tanah bisa berupa sebagai air
gravitasi (gravity water) yang terdapat pada pori makro, sebagai air kapiler
(capillary water) pada pori mikro sebagai lengas higroskopis yang melekat pada
agregat tanah, dan sebagai uap air (Lindsey, 1986). Titik keseimbangan untuk
lengas tanah yaitu kapasitas lapang dan titik layu.
Kapasitas lapang (field capacity) didefinisikan sebagai kadar lengas tanah
setelah selesainya drainase secara alamiah oleh gaya gravitasi. Titik layu (wilting
point) adalah lengas yang terkandung pada suatu tegangan yang ekivalen dengan
tekanan osmotik pada akar-akar tanaman. Titik layu tersebut menunjukkan kadar
lengas tanah saat tanaman tak mampu menghisap air dari tanah (Lindsey, 1986).
Kondisi kadar air yang menghalangi pertumbuhan tanaman, biasanya
disebut titik layu permulaan yang merupakan standar kadar air minimum yang
diperlukan tanaman. Harga pF kadar air pada kondisi layu permulaan adalah 3,0
sampai 3,6. Jika air dalam tanah itu diredusir kurang dari titik layu permulaan,
maka tanaman akan mati, karena tidak mungkin mengabsorpsi air. Kadar air ini
disebut titik layu permanen. Titik layu permanen ini adalah kira-kira tetap, tidak
tergantung dari jenis tanaman dan sesuai dengan kapasitas menahan air dari pF =
4,0 sampai 4,3. Interval kadar air yang memungkinkan akan mengabsorbsi air
adalah antara titik layu permanen sampai kapasitas lapang (harga pF = 2,0) dan
disebut kadar air/kelembaban efektif. Tetapi interval yang menjamin pertumbuhan
tanaman yang normal adalah dari titik permulaan layu sampai kapasitas lapang.
Kadar air dalam interval ini disebut juga kadar air efektif untuk pertumbuhan atau
kadar air optimum yang berbeda dengan kadar air efektif tersebut di atas,
Umumnya kadar air optimum adalah kira-kira 50 sampai 70% dari kadar air
efektif (Sosrodarsono dan Takeda, 1985).
II.5 Metode Pengukuran Lengas Lahan
Secara umum metode yang sering dipakai dalam pengukuran lengas tanah
adalah metode Gravimetri (Soepardi, 1983). Dengan cara ini kadar air ditetapkan
secara langsung dengan mengukur penurunan bobot karena air hilang melalui
pengeringan tanah. Metode ini melibatkan pengumpulan contoh tanah,
menimbangnya sebelum dan setelah pengeringan dan menghitung kandungan air
semula. Metode ini satu-satunya metode pengukuran langsung lengas tanah dan
yang paling teliti. Namun, metode ini membutuhkan waktu dan memerlukan
contoh yang diambil dari lokasi (contoh tanah terganggu). Pemindahan contoh
tanah ini harus dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kehilangan air.
Pengukuran ini tidak dapat diulang pada titik yang sama dimana contoh semula
diambil. Peralatan sederhana yang digunakan untuk mengambil contoh lengas
tanah adalah bor tanah (Seyhan, 1977).
Pendugaan kelengasan lahan menggunakan penginderaan jauh adalah
dengan menggunakan tiga indeks lahan dari data satelit. Ketiga indeks tersebut
adalah indeks tanah (NDSI = Normalized Difference Soil Index), indeks vegetasi
(NDVI = Normalized Difference Vegetation Index), dan indeks air (NDWI =
Normalized Difference Water Index). Ketiga indeks tersebut kemudian
dikorelasikan dengan data kelengasan lahan dan dianalisis secara statistika
(Dirgahayu, 2006).
II.6 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer,
1979). Menurut Lo (1996), penginderaan jauh adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh
tanpa sentuhan fisik. Pengambilan data penginderaan jauh dilakukan dengan
menggunakan suatu alat yang disebut sensor. Berbagai macam sensor telah
dipasang pada wahana pengumpul data penginderaan jauh seperti balon udara,
pesawat terbang, satelit, dan wahana lainnya.
Teknologi penginderaan jauh meliputi pengukuran dan analisa pantulan
radiasi gelombang elektromagnetik dari obyek dengan sistem pasif maupun aktif.
Respon radiasi dari masing-masing spektrum gelombang elektromagnetik
menunjukkan tipe atau jenis material obyek dan respon masing-masing spektrum
gelombang elektromagnetik dikumpulkan dalam bentuk citra multispektral (Wolf,
1993). Obyek yang diindera adalah obyek permukaan bumi, di atmosfer dan di
antariksa. Data penginderaan jauh dapat berupa citra (imagery), grafik, dan data
numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang
obyek, daerah, atau fenomena diteliti. Proses penerjemahan data menjadi
informasi dan dilakukan secara digital dengan bantuan komputer yang disebut
interpretasi digital.
Data hasil perekaman penginderaan jauh lazim disebut citra. Sebuah citra
adalah representasi dua dimensi dari permukaan bumi yang dilihat dari luar
angkasa. Dalam hal ini, terdapat dua macam citra yaitu citra analog dan digital.
Salah satu contoh citra analog ialah foto udara, sedangkan citra digital adalah citra
satelit. Citra satelit dibangun oleh struktur dua dimensi dari elemen gambar yang
disebut piksel. Setiap piksel memuat informasi tentang warna, ukuran dan lokasi
dari sebagian/sebuah obyek. Informasi warna pada piksel disebut angka digital
(digital number-DN). DN menggambarkan ukuran atau intensitas cahaya atau
gelombang mikro yang ditangkap oleh sensor. Informasi lokasi didapatkan dari
kolom dan lajur piksel yang dihubungkan dengan posisi geografis sebenarnya
(Ekadinata et al., 2008).
Citra yang dihasilkan oleh sebuah satelit akan memperlihatkan
keseluruhan penampakan tutupan lahan di bumi sehingga dapat dimanfaatkan
dalam berbagai bidang untuk mendeteksi suatu obyek. Dalam bidang pertanian,
umumnya obyek yang diamati adalah vegetasi, air, dan tanah. Obyek tersebut
dapat dideteksi menggunakan citra hasil pengolahan yang dapat menunjukkan
indeks tanah (Normalize Difference Soil Index, NDSI), indeks air (Normalize
Difference Water Index, NDWI), dan indeks vegetasi (Normalize Difference
Vegetation Index, NDVI). Hal tersebut dilakukan untuk meminimalikan ragam ciri
spektral tutupan lahan di atasnya sehingga diperoleh pantulan dari tanah, air, dan
vegetasi saja.
2.7 Citra Satelit Landsat 7 ETM+
Citra multispektral Landsat 7 ETM+ merupakan generasi selanjutnya dari
Landsat Thematic Mapper yang memiliki resolusi temporal 16 hari, resolusi
spektral 8 band, resolusi spasial 30 m x 30 m, mempunyai saluran pankromatik
yang mempunyai resolusi spasial 15 m x 15 m serta resolusi radiometrik 8 bit.
Citra ini merupakan citra multispektral, maka di dalam interpretasinya perlu
dipilih saluran yang paling sesuai dengan bidang kajian agar mendapat interpretasi
yang tepat.
Setiap band memiliki panjang gelombang yang berlainan yang nantinya
berhubungan dengan fungsi dan kegunaannya masing-masing. Band 1 yang
memiliki panjang gelombang 0,45-0,52 μm memiliki kegunaan untuk
membuahkan peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air dan juga untuk
mendukung analisa sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Band 2 yang
memiliki panjang gelombang 0,52-0,60 μm memiliki kegunaan untuk
menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan. Band 3 yang memiliki
panjang gelombang 0,63-0,60 μm memiliki kegunaan untuk memisahkan vegetasi,
memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi juga
menajamkan kelas vegetasi. Band 4 yang memiliki panjang gelombang 0,76-1,90
μm tanggap terhadap sejumalah biomassa vegetasi dan memperkuat kontras antara
tanaman-tanah dan lahan air. Band 5 yang memiliki panjang gelombang 1,55-1,75
μm memiliki kegunaan untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada
tanaman, dan kondisi kelembapan tanah. Band 6 yang memiliki panjang
gelombang 2,08-2,35 μm memiliki kegunaan untuk estimasi suhu dan memisah
formasi batuan. Band 7 yang memiliki panjang gelombang 10,40-12,50 μm
memiliki kegunaan untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi,
pemisahan kelembapan tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan
panas (Puntodewo et al., 2003). Karakteristik spektral citra satelit Landsat 7
ETM+ dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Spektral Citra Satelit Landsat 7 ETM+.
Band Panjang Gelombang
(μm)
Resolusi spasial
(m)
Daerah spektrum
Kegunaan
1 0.45-0.52 30 Visible warna biru
Membedakan kejernihan air dan juga membedakan antara
tanah dengan tanaman.
2 0.52-0.60 30 Visible warna hijau
Mendeteksi tanaman.
3 0.63-0.60 30 Visible warna merah
Band yang paling berguna untuk membedakan tipe
tanaman, lebih daripada band 1 dan 2.
4 0.76-1.90 30 Infra merah dekat
Meneliti biomas tanaman, dan juga membedakan batas tanah-
tanaman dan daratan-air.
5 1.55-1.75 30 Infra merah tengah
Menunjukkan kandungan air tanaman dan tanah,
membedakan tipe tanaman dan kesehatan tanaman. Juga
digunakan untuk membedakan antara awan, salju dan es.
6 10.40-12.50 60 Infra merah termal
Mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan
kelembaban tanah.7 2.08-12.35 30 Infra merah
jauhBerhubungan dengan mineral;
ration antara band 5 dan 7 berguna untuk mendeteksi batuan dan deposit mineral.
8 0,52-0,90 15 Pankromatik -Sumber: Sabins 1986; Jensen 1986 dalam Puntodewo, et.al. (2003)
II.8 Penginderaan Jauh dalam Estimasi Kekeringan lahan
Pada saat ini, penginderaan jauh satelit telah mulai digunakan untuk
mengukur tingkat kekeringan berdasarkan faktor-faktornya seperti curah hujan,
temperatur, kelengasan tanah, dan kondisi vegetasi. Observasi bumi dengan satelit
sangat bermanfaat sekali terhadap data-data yang diperlukan untuk pemantauan
tingkat kekeringan, hal ini disebabkan oleh banyaknya kendala memperoleh data
secara langsung di lapangan. Data penginderaan jauh dapat menyediakan
informasi spasial dalam suatu cakupan wilayah yang luas sehingga mempunyai
dampak positif terhadap waktu dan biaya yang dibutuhkan (Jeyaseelan, 2007).
Aplikasi penginderaan jauh telah dilakukan Sun et al. (2004) untuk
identifikasi suhu udara berdasarkan termodinamika di wilayah dataran Cina
dengan menggunakan citra infra merah sistem termal Modis. Suhu udara
diturunkan dari rumus radiasi netto, evapotranspirasi, hilangnya panas ke udara
karena konveksi dan konduksi, serta fraksi vegetasi dan indeks stress tanaman
terhadap air untuk menduga hubungan antara suhu permukaan lahan dan suhu
udara. Suhu permukaan lahan dihitung dari citra Modis berdasarkan algoritma
suhu permukaan lahan pada siang dan malam hari. Pengukuran di validasi dengan
data meteorologi pada 33 stasiun cuaca pada wilayah studi tersebut. Hasil yang
diperoleh mempunyai tingkat akurasi lebih dari 80%.
Firdaus (2004) menggunakan citra termal Landsat dalam menaksir
evapotranspirasi. Pendekatannya adalah dengan cara mengekstraksi informasi
temperatur permukaan atau disebut juga suhu kinetik objek. Model yang disusun
untuk mengeksploitasi datanya adalah model neraca energi berdasarkan suhu
kinetik dari permukaan yang dapat diterjemahkan dari radian temperatur objek.
Setiyadi (2008) menggunakan penginderaan jauh untuk pendugaan
kelengasan lahan di DAS Ngasinan Trenggalek dengan menggunakan tiga indeks
lahan dari data Citra Satelit Aster. Ketiga indeks tersebut adalah indeks tanah
(NDSI = Normalized Difference Soil Index), indeks vegetasi (NDVI = Normalized
Difference Vegetation Index), dan indeks air (NDWI = Normalized Difference
Water Index). Pengolahan data dilakukan dengan cara mengekstraksi informasi
reflektansi terkoreksi dan ekstraksi informasi kondisi lahan kemudian dilakukan
analisis statistika regresi nonlinier. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
hubungan indeks lahan Modis dengan kelengasan tanah memiliki respon positif
terhadap kenaikan lengas lahan.
III. METODOLOGI
III.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur
Analisa lengas tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, sedangkan analisis
spasial dan pemetaan dilaksanakan di Laboratorium Pedologi dan Inventarisasi
Sumberdaya Lahan (PISDL) Jurusan Tanah Universitas Brawijaya. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Juli 2012 - November 2012.
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 AlatAlat yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas perangkat keras dan
perangkat lunak. Perangkat keras antara lain adalah: Notebook HP Qompaq C150
(Intel(R) Core(TM)2 Duo CPU T5870 @ 2.00GHz (2 CPUs), 2.0GHz), Printer
EPSON Stylus T11, GPS Garmin 76 CSX, Bor Tanah, dan Kompas. Perangkat
lunak antara lain adalah: Frame And Fill Win32, PCI Geomatica 9.0, ER Mapper
7.0, ArcView 3.2, ArcGIS 9.3, Map Source 8.0, SPSS 16, Minitab 14 dan
Microsoft Office 2007.
III.2.2 BahanBahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat 7
ETM+ path/row 119/65 liputan tanggal 25 Agustus 2012 pukul 14.30 WIB, Peta
RBI digital Bakosurtanal tahun 2002 skala 1:25.000, Peta Geologi lembar Tuban
dan Tulungagung skala 1 : 100.000 Tahun 1992, Aster G-DEM S08E112 dan
S07E112, Peta Analog Jenis Tanah BBSDLB skala 1 :50.000 Tahun 1995, Peta
Kemiringan Lereng BBSDLB skala 1 :50.000 Tahun 1995, Data Iklim (Curah
Hujan) dan data lengas lahan pengukuran lapang.
III.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
3.3.1 PersiapanTahap persiapan dimulai dari studi pustaka yang terkait dengan penelitian yang
didapat dari buku-buku yang mendukung, jurnal penelitian sebelumnya, maupun
dari artikel-artikel yang diakses dari situs internet dan perpustakaan. Penyiapan
alat dan bahan juga dilakukan pada tahapan ini antara lain berupa notebook,
printer, Global Positioning System (GPS), citra satelit dan peta RBI digital yang
didapat dari laboratorium Pedologi dan Inventarisasi Sumberdaya Lahan (PISDL)
Jurusan Tanah Universitas Brawijaya. Data sekunder didapat dari hasil
pengolahan citra satelit ETM 7+. Data primer didapatkan dari hasil survei lapang
yang meliputi pengambilan sampel tanah di beberapa lokasi penelitian.
3.3.2 Pre-Processing Citra Satelit Digital Landsat 7 ETM+
Perbaikan Landsat 7 ETM+ SLC OFF dengan Mosaicking
Semenjak tanggal 31 Mei 2003, citra landsat mengalami kerusakan pada kanal
SLC (Scan Line Corrector). Akibatnya citra mengalami strip atau garis-garis pada
hasil pemotretannya. Garis – garis tersebut merupakan area yang tidak terpotret
oleh satelit, namun hal ini dapat diperbaiki menggunakan software frame_and_fill
yang direkomendasikan oleh NASA (National Aeronautics and Space
Administration). Mosaicking citra landsat yaitu penampalan dua atau lebih citra
landsat 7 ETM+ SLC OFF (Anonymous, 2010).
Proses mosaik yang ideal adalah dengan menggunakan data - data citra lain
namun masih dalam musim yang sama, karena orbit satelit yang tidak selalu
terbang melewati tempat yang sama, sangat memungkinkan sekali dari dua
tanggal liputan yang berbeda terdapat gapp (bagian yang kosong) yang berbeda
pula.
a. Koreksi Radiometrik
Pada tahapan ini dilakukan proses koreksi radiometrik yang bertujuan untuk
meminimalkan kesalahan yang disebabkan pengaruh detektor satelit atau
pengaruh gangguan atmosfer (Jensen, 1996). Atmosfer sebagai media penghantar
gelombang elektromagnetik dari matahari mempunyai pengaruh cukup besar
terhadap citra satelit, yaitu berupa hamburan. Akibat adanya efek atmosfer
tersebut, nilai kecerahan pada citra digital tidak menggambarkan keadaan obyek
sebenarnya. Oleh sebab itu, untuk analisis lebih lanjut, efek hamburan tersebut
harus dihilangkan atau dikurangi terlebih dahulu, proses ini disebut koreksi
radiometrik. Proses koreksi radiometrik pada citra disebut juga dengan kalibrasi
spektral radian. Setiap dataset Tiff Landsat ETM+ mempunyai faktor skala
koefisien tersendiri dalam mengkonversi nilai DN (digital number) ke dalam
spektral radian. Faktor koefisien tersebut adalah nilai Lmax dan Lmin serta nilai
QCALmax QCALmin. faktor koefisien tersebut dapat dilihat pada file MTL citra
satelit landsat 7 ETM+. Kalibrasi radian ini menggunakan persamaan :
Lλ = ( Lmax - Lmin / QCALmax- QCALmin) x (QCAL- QCALmin) + Lmin……………...….(2)
Dimana,
Lλ = Spectral Radiance kanal ke-i
Lmax = Nilai maksimum Spectral Radiance kanal ke-i
Lmin = Nilai minimum spektral radian kanal ke-i
QCAL = Nilai Digital Number kanal ke-i
QCALmin = Nilai minimum Pixel Value (1)
QCALmax = Nilai maksimum Pixel Value (255)
b. Koreksi Geometrik
Bertujuan untuk memperbaiki kesalahan geometrik agar berada pada koordinat
dan posisi yang benar. Prosedur dalam koreksi geometrik ini menggunakan
analisis titik kontrol tanah (Ground Control Point/GCP) dan menggunakan
software PCI Geomatica 9.1. GCP didapatkan dari peta rupabumi atau dari data
vektor peta digital lain yang sesuai dengan daerah liputan citra. Kenampakan yang
baik sebagai titik ikat adalah perpotongan jalan raya, batas garis pantai, sungai,
dan kenampakan lainnya yang mudah dilihat. Pada proses koreksi diletakkan
sejumlah titik ikat medan secara tersebar dan merata, hal ini dilakukan agar
koreksi geometrik tersebut mempunyai hasil yang optimal dan berkualitas baik.
Setelah itu dilakukan metode resampling nearest neighborhood, yaitu metode
transfer atau pengalihan dengan menggunakan nilai digital pixel yang terdekat
(Lillesand & Kiefer, 2000).
c. Penajaman Citra
Penajaman citra dilakukan agar kenampakan citra yang akan dianalisis lebih
terlihat jelas dan memudahkan dalam proses interpretasi. Penajaman citra
dilakukan dengan mengubah-ubah nilai kecerahan piksel citra. Teknik penajaman
citra dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas transformasi otomatis pada
perangkat lunak penginderaan jauh seperti histogram equalize, gaussian equalize,
level-slice transform, autoclip transform, default logaritmic transform, default
exponential transform, autoclip transform 99%, linear, root, adaptive,
equalization, dan infrequency.
3.3.3 Klasifikasi Citra Menggunakan analisis citra Aster dengan teknik Unsupervised Classification.
Unsupervised Classification adalah suatu proses operasi numerik yang digunakan
komputer untuk mengkelaskan nilai spektral dari pixel-pixel yang sama dan
bertujuan untuk mengkelaskan suatu penggunaan lahan (Jensen, 1996).
3.3.4 Pengukuran EvapotranspirasiPengukuran dilakukan dengan cara estimasi Radiasi Netto (Rn), Fluks Pemanasan
Tanah (G), Fluks Pemanasan Udara (H) dan Fluks Energi Laten (LE) pada citra
Landsat 7 ETM+. Metode ini dinamakan dengan metode neraca keseimbangan
energi permukaan lahan.
Radiasi Netto (Rn)
Radiasi netto (Rn) adalah perbedaan antara radiasi yang masuk dan keluar dari
panjang gelombang pendek dan panjang gelombang jauh (Allen et al., 1998).
Untuk menghitung radiasi netto menggunakan persamaan berikut (Guzman,
2007):
Rn = (1−α) ⋅ Rswd + ε ⋅ Rtwd – ε ⋅σ⋅To4…………………...………………..……. (3)
Dimana,
α = albedo
Rswd = radiasi matahari ke bumi (MJ m-2 hari-1)
ε = emisivitas permukaan
Rtwd = radiasi gelombang panjang ke bumi (MJ m-2 hari-1)
σ = konstanta Stefan-Bolztmann (4,90 . 10-9 MJ m-2 K-4 hari-1)
To = temperatur permukaan lahan (oK)
α, ε, dan To dapat diekstrak dari data penginderaan jauh menggunakan saluran
pada karakteristik spektral gelombang terlihat (visible) sampai panas (thermal).
Albedo (α)
Sebagian jumlah radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dipantulkan.
Fraksi radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi disebut albedo
(Allen et al., 1998). Perhitungan albedo pada citra Aster terdiri dari 2 tahap.
Tahap pertama adalah merubah spektral radian citra Aster ke reflektan, tahap
kedua adalah menghitung nilai albedo dengan input reflektan tersebut. Adapun
persamaan yang dipakai adalah (Liang, 2002) :
αETM+ = 0,356α1 + 0,130α3 + 0,373α4 + 0,085α5 + 0,072α7 - 0,0018…………..(4)
Dimana,
αETM+ = Albedo Citra Landsat 7 ETM+
αi = Nilai reflektan dengan i adalah band 1-7
Perhitungan Reflektan (α)
Reflektan adalah rasio panjang gelombang antara energi yang dipantulkan dan
energi yang datang ke permukaan bumi. Persamaannya adalah (Abrams dan
Hook, 2001):
Dimana,
α = Reflektan
Lλ = Spektral radian (Wm-2 sr-1 μm-1)
π = 3,14
dr = Invers jarak relatif bumi – matahari
θ = Sudut zenit matahari (derajat)
ESUNλ = Rata-rata nilai solar spectral Irradiance (Wm-2μm-1)
Lλ . π . dr2
ESUNλ . cos θzα = ………………………………….………………………. (5)
Tabel 2. Nilai ESUNλ Citra Landsat 7 ETM+ (USGS,2002)
Band Wm-2μm-1
1 1969
2 1840
3 1551
4 1044
5 225,7
7 82,07
8 1368
Perhitungan Sudut Zenith Matahari (θZ)
Untuk menentukan sudut zenith matahari (θZ) persamaan :
cosθZ = sinδ . sinφ + cosδ .cosφ . cosω……………………….………………..(6)
Dimana,
φ = lintang
δ = sudut dekliniasi matahari
ω = sudut waktu
Perhitungan ω
Sudut waktu dihitung berdasarkan waktu matahari lokal (LAT), dengan
persamaan:
ω = 15(LAT −12)(π /180)………………………………………………………(7)
Perhitungan LAT
LAT = UTC + 4 ⋅ Lc / 60 + Et / 60 ………………………………………..……(8)
Dimana,
UTC = waktu/jam pengambilan citra
Lc = meridian wilayah
Et = posisi matahari pada musim berbeda
Perhitungan Et
Et dihitung dengan persamaan:
Et = 0,000075 + 0,001868cos(Γ) – 0,032077sin(Γ) – 0,014615cos(2Γ) -
0,04089sin(2Γ) * 229,18……………………………………………….(9)
Dimana,
Γ = sudut hari
Perhitungan Γ
Sudut hari dihitung dengan persamaan:
Γ = 2π (J −1)/ 365 ……………………………………………………………...(10)
Dimana,
J = Julian Date, jumlah hari didalam tahun antara 1 (1 Januari) sampai 365 atau
366 (31 Desember)
Radiasi Matahari (Rswd)
Proses evapotranspirasi ditentukan oleh jumlah energi tersedia untuk menguapkan
air. Radiasi matahari adalah sumber energi yang paling besar dalam mengubah air
untuk menguap. Jumlah potensial radiasi di setiap wilayah berbeda-beda,
ditentukan oleh lokasi dan waktu berdasarkan tahun. Dikarenakan perbedaan
posisi matahari, maka radiasi potensial pada setiap lintang dan musim akan
berbeda juga. Radiasi matahari dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
Angstrom (Allen et al., 1998), yaitu:
Rswd = as + bs .
Dimana,
Rswd = radiasi matahari (MJ m-2 hari-1)
as = fraksi radiasi (0,25)
bs = fraksi radiasi (0,5)
n = lama matahari bersinar dalam satu hari (jam)
N = maksimum lama matahari bersinar dalam satu hari (jam)
Ra = ekstraterestrial radiasi (MJ m-2 hari-1)
Perhitungan N
N dihitung dengan persamaan:
N = 24/π . ωs …………………………………………………………………..(12)
Dimana,
(N) Ra …………………………………………………………..(11)n
ωs = sudut terbenam matahari (radian)
Perhitungan ωs
Sudut matahari terbenam dihitung dengan persamaan :
ωs = arc cos[− tan(ϕ ).tan(δ )]………………………………………………….(13)
Dimana,
ϕ = lintang (radian)
δ = deklinasi matahari (radian)
Perhitungan ϕ
Satuan lintang masih dalam bentuk desimal, untuk merubahnya ke dalam satuan
radian digunakan persamaan:
Radian =
Perhitungan δ
Deklinasi matahari (δ) dihitung dengan persamaan:
Dimana,
J = Julian Date, jumlah hari didalam tahun antara 1 (1 Januari) sampai 365 atau
366 (31 Desember)
Perhitungan Ra
Ekstraterestrial radiasi dihitung dengan menggunakan persamaan (Allen et al.,
1998) :
Ra = Gsc . dr . [ωs sin(ϕ) . sin(δ) . cos(ϕ) . cos(δ) . sin(ωs) …………...(16)
Dimana,
Gsc = konstanta matahari (0,0820 MJ m-2 day-1)
dr = invers jarak relatif bumi – matahari
Perhitungan dr
Invers jarak relatif bumi-matahari dihitung dengan persamaan:
dr = 1 + 0,033cos
180[lintang] ………………………………………………….… (14)
π
δ = 0,4102sin 2π365
(J–80)( )………………………………………………… (15)
π24(60)
J( 2π365 )…………………………………………………… .(17)
Dimana,
J = Julian Date, jumlah hari didalam tahun antara 1 (1 Januari) sampai 365 atau
366 (31 Desember)
Emisivitas Permukaan (ε)
Emisivitas permukaan dihitung dengan menggunakan persamaan (Vallor dan
Caselles, 1996) :
ε = εv ⋅ Pv + εs ⋅ (1− Pv) .......................................................................................(18)
Dimana,
εv = emisivitas permukaan dengan vegetasi penuh (0,99)
Pv = fraksi tutupan vegetasi
εs = emisivitas tanah (0,96)
Perhitungan Pv
Fraksi vegetasi dihitung dengan menggunakan persamaan (Carlson dan Ripley,
1997):
Pv =
Dimana,
NDVI = indeks kehijauan vegetasi (-1 sampai 1)
NDVImax , NDVImin = nilai maksimum dan minimum NDVI
Perhitungan NDVI
Indikator aktivitas fotosintesis pada permukaan bumi dapat dilihat dengan NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index). Hal ini disebabkan oleh kuatnya
karakteristik spektral penyerapan terhadap klorofil pada saluran terlihat (0,475
sampai 0,65 μm) dan tingginya pantulan dari vegetasi pada saluran inframerah
dekat. NDVI berkisar antara -1 dan +1. Semakin tinggi nilai indeks, menunjukkan
tingginya tingkat kehijauan vegetasi. NDVI dihitung dengan persamaan:
NDVI = (ρnir – ρvis)/( ρnir + ρvis) ………………………………………………..(20)
[ NDVI - NDVImin
NDVImax - NDVImin]………………………………………………... (19)
2
Dimana,
ρnir = reflektan permukaan pada saluran inframerah dekat
ρvis = reflektan permukaan pada saluran tampak warna merah
Pada citra landsat ρnir adalah band 4, dan ρvis adalah band 3
Perhitungan Rtwd
Radiasi gelombang panjang ke bumi dihitung menggunakan persamaan :
Rtwd = εa ⋅σ ⋅Ta4………………………………………………………………. (21)
Dimana,
εa = emisivitas atmosfer
σ = konstanta Stefan-Bolztmann (4,90 . 10-9 MJ m-2 K-4 hari-1)
Ta = temperatur udara (oC)
Perhitungan εa
Emisivitas atmosfer dihitung dengan persamaan Swinbank (Campbell dan
Norman, 1998):
εa = 9,2⋅10−6⋅( Ta + 273,15)2 …………………………………………………. (22)
Dimana,
Ta= temperatur udara (0C)
Perhitungan Ta
Temperatur udara dihitung dengan menggunakan persamaan (Braak, 1928 dalam
Ritung et al.; 2007) :
Ta = 26,3 − (0,01⋅ DEM ⋅ 0,6) ……………………………………………….. (23)
Dimana,
DEM = Digital Elevation Model
Perhitungan To
Temperatur permukaan lahan dihitung dengan menggunakan band 6 thermal
(10.40-12.50 μm) pada citra Landsat 7 ETM+. Ada dua tahap dalam penghitungan
temperatur permukaan lahan, pertama adalah merubah spektral radian band 6 ke
lnελTk∂
TkTo =1 +
dalam temperatur kecerahan (temperatur benda hitam), yang kedua adalah
melakukan koreksi terhadap temperatur benda hitam tersebut dengan emisivitas
permukaan lahan (ε). Adapun persamaan yang digunakan untuk merubah spektral
radian ke temperatur benda hitam adalah (Khomarudin,2005) :
Dimana,
T(K) = Suhu kecerahan (K)
K1 = (Konstanta kalibrasi 1) 666,09 W m-2 sr-1 μm-1
K2 = (Konstanta kalibrasi 2) 1282,71 W m-2 sr-1 μm-1
Lλ = Nilai spectral radiance band 6
Untuk merubah temperatur benda hitam ke temperatur permukaan (To) , maka
digunakan persamaan:
Dimana,
To = Suhu permukaan yang terkoreksi (K)
Tk = Suhu kecerahan
∂ = 1,438 x 10-2 m K
λ = Panjang gelombang radiasi emisi (11,5 μm)
ε = Nilai emisivitas permukaan
Fluks Pemanasan Tanah (G)
Fluks pemanasan tanah adalah energi yang digunakan untuk memanaskan tanah
(Allen et al., 1998). Persamaan yang digunakan untuk menghitung G adalah
(Bastiaanseen et al., 1998):
G = Rn . . (0,32 . α + 0,62 . α2) . (1-0,98 . NDVI4) …………..(26)
Dimana,
G = fluks pemanasan tanah (MJ m-2 hari-1)
Rn = radiasi netto (MJ m-2 hari-1)
To = temperatur permukaan lahan (K)
…………………………………………………………………(24)+ 1K1
Lλ
K2 T(K) = = ln
+( )
…………………………………………………………………(25)
To – 273,15100 . α
( )
α = albedo citra Landsat 7 ETM+
NDVI = indeks kehijauan vegetasi (-1 sampai 1)
Fluks Pemanasan Udara (H)
Fluks pemanasan udara (H) adalah aliran energi melalui udara sebagai temperatur
gradien. Persamaan dari fluks pemanasan udara adalah (Weligepolage, 2005):
H = ρa . cp .
Dimana,
H = fluks pemanasan udara (Wm-2)
ρa = kerapatan jenis udara (Kg m-3)
Cp = panas udara spesifik pada saat tekanan konstan (1.013 J Kg-1 K-1)
To = temperatur permukaan lahan (K)
Ta = temperatur udara (K)
ra = ketahanan aerodinamik (s m-1)
Pada penelitian ini satuan yang digunakan adalah MJ m-2 hari-1. Pada fluks
pemanasan udara satuannya adalah Wm-2. Oleh karena itu satuan dari fluks
pemanasan udara harus dirubah ke dalam satuan MJ m-2 hari-1 (1 Wm-2 = 0,0864
MJ m-2 hari-1).
Perhitungan ρa
Kerapatan jenis udara dihitung dengan persamaan:
Dimana,
ρa = kerapatan jenis udara (Kg m-3)
P = tekanan atmosfer (kPa)
R = konstanta gas spesifik (287 J Kg-1 K-1)
TKv = temperatur virtual (K) ≈ 1,01(Ta + 273)
Ta = temperatur udara (oC)
Perhitungan P
Tekanan atmosfer dihitung dengan persamaan:
P = 101,3
To – Ta
ra
………………………………………………………..…(26)
ρa =1.000PTKvR
=P
TKv
3,468 …………………………………………………….…(27)
293 – 0,0065 . z293
( ) …………………………………………………...(28)5,26
Dimana,
Z = ketinggian dari data DEM
Perhitungan ra
Transfer panas dan uap air dari permukaan yang terevaporasi ke udara di atas
kanopi vegetasi ditentukan oleh ketahanan aerodinamik, dengan persamaan:
ra = ………………………………………….(29)
Dimana,
ra = ketahanan aerodinamik (s m-1)
zm = ketinggian alat pengukur angin (m)
zh = ketinggian alat pengukur alat kelembaban (m)
d = jarak tinggi vegetasi (m)
zom = panjang kekasaran yang mengatur pindahan momentum (m)
zoh = panjang kekasaran yang mengatur pindahan panas dan uap (m)
k = konstanta von Karman (0,41)
uz = kecepatan angin pada ketinggian z (m s-1)
Pada penelitian ini kecepatan angin tidak diukur, maka diambil kecepatan angin
normal, yaitu 2 m s-1 pada ketinggian 1-2 m.
Perhitungan d
Jarak tinggi vegetasi dihitung dengan persamaan:
d = h ………………………………………………………………………...(30)
Dimana,
h = ketinggian vegetasi (m)
Perhitungan h
Ketinggian vegetasi dihitung dengan persamaan:
h = ……………………………………………………………………….(31)
ln[ Zm - d
Zom]ln[ Zh - d
Zoh]
k2uz
23
Zom
0,13
Dimana,
Zom = panjang kekasaran yang mengatur pindahan momentum (m)
Perhitungan Zom
Zom = exp (-7,13 + 9,33 . NDVI) ……………………………………………….(32)
Dimana,
NDVI = indeks kehijauan vegetasi (-1 sampai 1)
Perhitungan Zoh
Zoh = 0,1⋅ Z
om ....................................................................................................
(33)
Dimana,
Zoh = panjang kekasaran yang mengatur pindahan panas dan
uap (m)
Zom = panjang kekasaran yang mengatur pindahan momentum
(m)
3.3.5 Fluks Energi Laten (LE)Fluks energi laten (LE) dihitung setelah semua komponen neraca keseimbangan
energi permukaan lahan terpenuhi. Persamaan untuk menghitung fluks energilaten
adalah (Weligepolage, 2005):
LE = Rn - G - H ………………………………………………………………(34)
Dimana,
Rn = radiasi netto
G = fluks pemanasan tanah
H = fluks pemanasan udara
Semua komponen pada persamaan diatas dihitung berdasarkan satuan MJ m-2 hari-
1. Faktor konversi yang dipakai untuk mengubah fluks energi laten (LE) menjadi
banyaknya uap air yaitu 1 MJ m-2 hari-1 = 0,408 mm hari-1.
3.3.6 Identifikasi Kekeringan dengan EF (Evaporative Fraction)Identifiksi kekeringan pada penelitian ini menggunakan metode fraksi evaporasi.
Fraksi evaporasi adalah perbandingan antara fluks energi laten, radiasi netto, dan
fluks pemanasan tanah. Nilai EF semakin rendah maka potensi kekeringan pada
daerah yang diteliti akan semakin tinggi. Persamaannya adalah sebagai berikut
(Niemeyer dan Vogt,1999):
EF = …………………………………………………………………(35)
Dimana,
LE = fluks energi laten
Rn = radiasi netto
G = fluks pemanasan tanah
3.3.7 Survey LapangDilakukan untuk verifikasi data penggunaan lahan, landform serta pengambilan
sampel kadar lengas tanah. Survey lapang dilakukan dengan bantuan GPS (Global
Positioning System), bor tanah, kompas, dan peta dasar sebagai acuan. GPS
digunakan untuk menentukan koordinat posisi dari setiap titik pengamatan baik
penggunaan lahan, landform dan sampel lengas tanah. Sampel lengas tanah
diambil pada kedalaman tanah 0-20 cm dengan menggunakan bor tanah. Kompas
digunakan untuk menentukan acuan arah pada saat survey dilakukan.
3.3.8 Analisis Kadar Lengas TanahAnalisis kadar lengas tanah dilakukan di Laboratorium Fisika, Jurusan Tanah,
Universitas Brawijaya menggunakan metode Gravimetri. Metode Gravimetri
bertujuan untuk mengetahui nilai kadar air tanah, yaitu perbandingan antara berat
air dalam tanah terhadap berat kering tanah tersebut dan dinyatakan dalam persen.
Peralatan yang digunakan adalah cawan kedap udara dan tidak berkarat,
timbangan analitik, dan oven. Prosedur yang dilakukan adalah penyiapan cawan
kosong, penyiapan benda uji, penimbangan, penempatan cawan dalam oven
selama 24 jam dengan suhu (110±5) oC atau sampai berat tetap, pendinginan
dalam desikator, kemudian penimbangan kembali. Persamaan yang digunakan
untuk menghitung kadar air adalah:
LE
Rn - G
W1 - W2
KA = x 100 % ……………………………………………………(36)
Dimana,
W1 = berat cawan (g) + tanah basah (g)
W2 = berat cawan (g) + tanah kering (g)
W3 = berat cawan kosong (g)
3.3.9 Pengukuran Kadar Lengas pada Citra Landsat 7 ETM+
Pengukuran dengan cara analisis beberapa indeks, yaitu indeks tanah (NDSI =
Normalize Difference Soil Index), indeks vegetasi (NDVI = Normalize Difference
Vegetation Index), dan indeks air (NDWI = Normalize Difference Water Index).
Adapaun persamaan ketiga indeks tersebut adalah (Anonymous2, 2012):
NDSI = (SWIR(B5) – NIR(B4))/(SWIR(B5) + NIR(B4)) ……………………….(37)
NDVI = (NIR(B4) – VIS(B3))/(NIR(B4) + VIS(B3)) ……………………………(38)
NDWI = (NIR(B4) – SWIR(B5))/(NIR(B4) + SWIR(B5)) ………………………(39)
Dimana,
NIR = near infra red
VIS = visible
SWIR = shortwave infrared
Bi = band ke i (1-8)
3.3.10 Analisis StatistikaDilakukan analisis korelasi regresi nonlinier antara NDSI, NDVI, dan NDWI
dengan kadar lengas tanah untuk mendapatkan model estimasi kelengasan lahan.
3.3.11 Pendugaan Distribusi Spasial Kekeringan Lahan dengan EF dan Lengas Tanah
Pendugaan dilakukan dengan analisis SIG yaitu dengan melakukan tumpang
tindih (Overlay) pada citra EF dan lengas lahan. Metode ini memanfaatkan
fasilitas tumpang tindih pembobotan (Weighted Overlay) pada Spatial Analyst
Tools. Hasil pembobotan ini kemudian dibagi menjadi tiga kelas potensi
kekeringan, yaitu kelas Rendah (daerah yang tidak berpotensi mengalami
kekeringan), kelas Sedang (daerah yang berpotensi mengalami kekeringan
sedang), dan kelas Tinggi (daerah yang berpotensi tinggi untuk mengalami
kekeringan).
W2 – W3
Perbaikan SLC OFF
Koreksi Radiometrik
Survey Lapang (Penggunan lahan, Landform & Lengas Tanah)
Koreksi Geometrik
Peta Lereng Analog BBSDLB skala 1 :50.000 Tahun 1995 Peta Digital RBI Tahun 2002Citra Landsat 7 ETM+ 119/65
Rektifikasi
Scanning
Digitasi
Peta digital Kelerengan
Aster GDEM Resolusi 30 mPeta Geologi Analog Skala 1 : 100.000 Tahun 1992
Transformasi Digital Elevation Mode
Peta digital Relief
Citra Terkoreksi
Peta digital Geologi
Editing
Peta Landform Digital Skala 1 : 50.000
Peta Tanah Analog BBSDLB skala 1 :50.000 Tahun 1995
Peta digital Kelas Butir Tekstur Skala 1 : 50.000
NDSI NDVINDWI
Unsupervised Classification
Citra Tentativ Penggunaan Lahan Albedo, Emisivitas, NDVI, Suhu Permukaan
Analisis Statistika
Editing
Model Estimasi Kelengasan Lahan
Citra Penggunaan Lahan 2012Peta Landform Tahun 2012 Skala 1 : 50.000
Citra Sebaran Kelengasan Lahan
Transformasi Radiasi Netto (Rn)
TransformasiFluks Tanah (G)
TransformasiFluks Udara (H)
Model EstimasiLE = Rn – G - H
Citra SebaranEvapotranspirasi
Model EstimasiEF = LE / Rn - G
Citra Sebaran EF
Analisis Tumpang Tindih Pembobotan
Citra Rawan Kekeringan Lahan
Analisis dan Penulisan Laporan
31
Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian
32
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. Landsat 7 ETM+ SLC OFF. Available on:
http://reganleonardus.wordpress.com/2010/06/03/tutorial-gap-filling-
untuk-citra-landsat-slc-off. Dikutip tanggal 6 Oktober 2012
Anonymous2, 2012. SMEX02 Iowa Satellite Vegetation and Water Index (NDVI
and NDWI). Available on :
http://nsidc.org/data/docs/daac/nsidc0184_smex_ndvi_ndwi.gd.html.
Dikutip tanggal 6 Oktober 2012
Abrams, M., and S. Hook. 2001. Aster User Handbook Version 2. Jet Populsion
Laboratory. Pasadena.
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith.1998. Crop Evapotranspirastion
Guidelines for Computing Crop Water Requirements. FAO. Rome.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah Dan Air. IPB PRESS. Bogor.
Ashok K.M, Vijay P.S. 2010. A review of drought concept. Journal of Hydrology
391:202-216.
Bastiaansenn, W.G.M., M. Menenti, R.A. Feddes, and A.A.M. Holtslag. 1998. A
Remote Sensing Surface Energy Balance Algorithm for Land (SEBAL): 1.
Formulation. Journal Of Hydrology, 212-213 (1-4), 198-212.
Brooks, K.N., P.F. Ffolliot, H.M. Gregersen, and L.F. DeBano. 2003. Hydrology
and The Management Of Watersheds. Third edition. Blackwell Publishing.
USA.
[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah. 2010. Kekeringan. Nusa
Tenggara Timur. BPBD Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Campbell, G.S., and J.M. Norman. 1998. An Introduction to Environmental
Biophysics. Springer.
33
Carlson, T.N., and D.A. Ripley. 1997. On The Relation Between NDVI,
Fractional Vegetation Cover, and Leaf Area Index. Remote Sensing of
Environment, 62, pp. 241 -252.
Chandrawidjaja, R. 2006. Banjir Dan Kekeringan, Apakah Salahku?. Ketua Pusat
Kajian Sistem Sumberdaya Daerah Rawa-UNLAM.
http://groups.google.co.id/group/mahasiswas/browse_thread/thread/da3fe6
36a1a7aca6/621251bcbb37f003%23621251bcbb37f003. Dikutip tanggal 4
Oktober 2012.
Dirgahayu, D.D. 2006. Pengembangan Model Pendugaan Kelengasan Lahan
Menggunakan Data Modis. jurnal penginderaan jauh dan pengolahan data
citra digital (Journal of Remote Sensing and Digital Image Processing)
Vol. 3 No. 1 juni 2006.
Ekadinata, A., Dewi, S., Hadi, D. P., Nugroho, D. K., Johana, F. 2008. Sistem
Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber
Daya Alam. Buku 1: Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh
Menggunakan ILWIS Open Source. World Agroforestry Centre. Bogor
Firdaus, B. 2004. Estimasi Distribusi Spasial Evapotranspirasi Menggunakan
Analisa Data Digital Citra Satelit Sistem Termal. Skripsi. Jurusan
Geofisika dan Meteorologi, FMIPA. IPB. Bogor.
Guzman, J.A.A. 2007. Effects of Land Cover Changes On The Water Balance of
The Valo Perde Wetland Costa Rica. Thesis. ITC. Netherlands.
Jensen, J.R.1996. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing
Perspective. Second Edition. Prentice Hall. New Jersey.
Jeyaseelan, A.T. 2007. Droughts & Floods Assessment and Monitoring Using
Remote Sensing and Gis. Crop Inventory and Drought Assessment
Division, National Remote Sensing Agency, Department of Space, Govt.
of India, Hyderabad. http://www.wamis.org/agm/pubs/agm8/Paper-14.pdf.
Dikutip tanggal 5 Oktober 2012.
34
Khomarudin, MR, 2005. Identifikasi Neraca Energi Di Beberapa Penggunaan
Lahan Untuk Deteksi Daerah Potensi Kekeringan Di Surabaya, Gresik,
Dan Sidoarjo.
Koorevaar, P.G., G. Menelik, and C. Dirksen. 1983. Elements of Soil Physics.
Developments in Soil Sciences 13. Elsevier. Newyork.
Liang, S. 2002. Narrowband to Broadband Conversions of Land Surface Albedo:
II. Validation. Remote Sensing of Environment 84 (2002) 25-41.
Lillesand, T.M, Kiefer, R.W., 2000. Remote Sensing & Image Interpretation. 4 th
Edition. John Willey & Sons, Inc,. New York.
Lindsey, R.K. 1986. Hidrologi Untuk Insinyur. Erlangga. Jakarta
Lo, C.P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Bambang Purbowaeso, penerjemah.
Jakarta: UI Press.
Niemeyer, S., and J.V. Vogt. 1999. Monitoring the Moisture Status of The Land
Surface in Sicily Using an Energy Balance Approach. Space Application
Institute. Italy: Joint Research Centre of The European Commision TP 41,
I-21020.
Nurmayati, T. 2003. Analisis Tingkat Kekeringan dan Periode Musim Kemarau
Pada Saat Normal dan El nino di Provinsi Riau. Skripsi. Jurusan GFM,
FMIPA, IPB. Bogor.
Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografi. Tutorial ArcView. Informatika.
Bandung.
Puntodewo, A., Dewi, S., Tarigan, J. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam. CIFOR, Bogor
Rahmawati, I.Y. 2005. Studi Simpanan Lengas Tanah pada Berbagai Penggunaan
Lahan di DAS Sumpil Malang. Skripsi. Jurusan Tanah, FP, Universitas
Brawijaya. Malang.
35
Ritung, S., Wahyunto, F. Agus, dan H. Hidayat. 2007. Panduan Evaluasi
Kesesuaian Lahan: dengan contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan
Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry
Center. Bogor.
Setiyadi, Yadi. 2008. Pemanfaatan Citra Satelit Aster dalam Estimasi Distribusi
Spasial Potensi Kekeringan Lahan di DAS Ngasinan, Trenggalek, Jawa
Timur, Skripsi, Jurusan Tanah, FP, universitas Brawijaya. Malang.
Seyhan, E. 1977. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Faperta, Dept. Ilmu Tanah, IPB. Bogor.
Sosrodarsono, S., dan K. Takeda. 1985. Hidrologi Untuk Pengairan. PT Pradnya.
Jakarta.
Sun, Y.J., J.F. Wang, R.H. Zhang, R.R. Gillies, Y. Xue, and Y.C. Bo. 2004. Air
Temperature Retrieval from Remote Sensing Data Based on
Thermodynamics. Theor. Appl.Climatol. 80, 37-48 (2005).
http://www.slrss.cn/download/05_SCI/Air%20temperature%20retrieval
%20from%20remote%20sensing%20data%20based%20on
%20thermodynamics.pdf. Dikutip Tanggal 4 Oktober 2012.
Syahbuddin, H. 2004. Zonasi Wilayah Kekeringan Tanaman Pangan. Inovasi
online. ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.2/XVI/November 2004 – IPTEK.
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=39. Dikutip tanggal 4 Oktober
2012.
U.S. Geological Survey (USGS), 2002. Landsat 7 Science Data Users
Handbook.United States Of America.
http://ltpwww.gsfc.nasa.gov/IAS/handbook/handbook_html. Dikutip
tanggal 4 Oktober 2012.
36
Utomo et al. 2009. Pendidikan Lingkungan Hidup Untuk Sekolah Menengah Atas
Kelas XI Jilid 2. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Malang. Malang. Jawa Timur.
Vallor, E., and V. Caselles. 1996. Mapping Land Surface Emissivity from NDVI:
Application to European, African and South American Areas. Remote
Sensing of Environment, 57 (3), 167 – 184.
Weligepolage, K. 2005. Estimation of Spatial and Temporal Distribution of
Evapotranspiration by Satellite Remote Sensing: A Case Study in
Hupselse Beek, The Netherlands. Thesis. ITC. Netherlands.
Wolf, P.R. 1993. Element of Photogrammetry with Air Photo Interpretation and
Remote Sensing. McGraw-Hill, Inc. New York.