100876123 blighted ovum pa

41
BAB I PENDAHULUAN Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim, tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang ditandai dengan adanya kantung gestasi. Kegagalan telur biasanya terjadi saat usia 6 minggu, sehingga dapat diabsorbsi kembali oleh uterus. Kasus ini terjadi ditandai dengan ancaman keguguran atau abortus sebelumnya. 1,2,3 Abortus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat hasil konsepsi kurang dari 500 gram. Abortus merupakan komplikasi paling sering dari kehamilan dan dapat menjadi stress emosional bagi pasangan yang mengharapkan anak. Pada kehamilan yang secara klinis diketahui, angka gagalnya kehamilan sebesar 15% untuk usia gestasi 20 minggu dihitung dari haid pertama haid terakhir. Blighted ovum dianggap merupakan kejadian kromosomal random yang

Upload: milyasari

Post on 14-Sep-2015

41 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

n

TRANSCRIPT

ABORTUS HABITUALIS

PAGE 24

BAB I

PENDAHULUAN

Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim, tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang ditandai dengan adanya kantung gestasi. Kegagalan telur biasanya terjadi saat usia 6 minggu, sehingga dapat diabsorbsi kembali oleh uterus. Kasus ini terjadi ditandai dengan ancaman keguguran atau abortus sebelumnya.1,2,3Abortus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat hasil konsepsi kurang dari 500 gram. Abortus merupakan komplikasi paling sering dari kehamilan dan dapat menjadi stress emosional bagi pasangan yang mengharapkan anak. Pada kehamilan yang secara klinis diketahui, angka gagalnya kehamilan sebesar 15% untuk usia gestasi 20 minggu dihitung dari haid pertama haid terakhir. Blighted ovum dianggap merupakan kejadian kromosomal random yang terjadi pada sekitar 1:5 hingga 1:10 kasus abortus. 1,2Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma. Perkembangan kehamilan dimulai dengan tumbuhnya villi korionik pada permukaan luar blastokist dan berimplantasi ke dinding rahim. Villi memproduksi gonadotropin yang merangsang pituitary melepaskan lutenizing hormone (LH), yang berperan memicu corpus luteum di ovarium membentuk progesterone dalam jumlah banyak. Normalnya, pada tingkat ini, massa inner cell mulai membelah dan berdiferensiasi menjadi organ-organ. Sekitar usia 6 minggu, fetus mulai mengembangkan sirkulasinya, dan setelah 8 minggu villi chorialis mengatur sirkulasi dan membentuk plasenta. Namun pada blighted ovum, kantung amnion tidak berisi fetus yang disebabkan berbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan. Meskipun demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam rahim.5,6,7 Plasenta menghasilkan hormon hCG (human chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon hCG yang menyebabkan munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, dan menyebabkan tes kehamilan menjadi positif.2,3BAB IILAPORAN KASUSKeterangan UmumNama

: Ny. FUmur

: 30 tahun

Jenis Kelamin

: PerempuanPekerjaan

: Ibu rumah tanggaAlamat

: Napal PutihAgama

: Islam

Bangsa

: Indonesia

Status Marital

: Menikah

No. Rekam Medis: 20.22.21Tanggal Masuk RS: 26 September 2014A. ANAMNESIS (Autoanamnesis)Keluhan Utama :

Hamil muda dengan perdarahanRiwayat Penyakit Sekarang :

Lebih kurang 2 bulan yang lalu, pasien terlambat haid, plano test (+)

Perdarahan dari kemaluan sejak 1 minggu yang lalu, hilang timbul, jumlah sedikit berupa bercak, tidak menggumpal, berwarna agak kehitaman, tidak disertai lendir.

Nyeri perut (+) dirasakan seperti kram.

Mual(++) muntah (++)

HPHT: 28 Juli 2014

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti iniRiwayat Pernikahan:

Pernikahan pertama, sudah menikah selama 13 tahun

Riwayat menstruasi:

Menarche usia 15 tahun Haid teratur 6 hari dengan siklus 28 hari Terkadang dirasakan nyeriRiwayat Kehamilan:

2003 / ditolong bidan / laki-laki / cukup bulan / normal / 2800gr / langsung menangis 2004 / ditolong bidan / laki-laki / cukup bulan / normal / 3000gr / langsung menangis 2012 / ditolong dokter spesialis obgyn / cukup bulan / SC / 3400gr / langsung menangis Sekarang

Riwayat Kontrasepsi:

Suntikan 1 bulan dan 3 bulan pada tahun 2004-2011 Pasien mengaku dipasang IUD setelah melahirkan anak ketigaRiwayat Sosial dan Kebiasaan: pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol

pasien memelihara kucing di rumah

B. PEMERIKSAAN FISIK

I. Status GeneralisataKeadaan Umum : Sakit sedangKesadaran

: CMCTekanan Darah : 120/70 mmHg

Nadi

: 86x/menit

Nafas

: 18x/menit

Suhu

: 36,8C

Rambut

: Hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Leher

: JVP (5-2) cmH2O

Paru

:

Inspeksi : Simetris kiri = kanan

Palpasi

: Fremitus sukar dinilai

Perkusi

: Sonor

Auskultasi : Vesikuler, wheezing tidak ada, rhonki tidak ada

Jantung

:

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Irama murni, bising tidak ada

Status Obstetrikus:

Abdomen

: Datar, lemas, simetris, Massa (-), fundus uteri tidak teraba

Inspekulo: Portio livide, ostium tertutup, fluksus (+) tampak perdarahan dari muara OUE berwarna kehitaman, erosi (-), laserasi (-), polip (-), sondage tidak dilakukanII.) Pemeriksaan Penunjang :

USG:

Uterus lebih besar dari ukuran normal

Hamil 9-10 minggu

Gestasional sac intrauterine 3,3 cm, fetal echo (-)

Kesan: blighted ovum

Pbemeriksaan Laboratorium PemeriksaanHasilNilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hemaglobin (Hb)11,4gr/dl14,0-16,0 gr/dl

Leukosit (L)12.400/mm4,5-10,0 rb/mm

Hematokrit (Ht)38%35-48 %

Trombosit265.000/mm150-450 rb/mm

Hitung Jenis0/0/0/56/38/6 %0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8 %

HbSag (-)

III.) Diagnosis dan Diagnosis Banding :

G4P3A0 gravid 9-10 minggu dengan blighted ovum pro curretageIV.) Terapi :

Currretage dengan dilatasi 27 September 2014 07.25 WIB

Pasien dalam posisi litothomy, dilakukan tindakan aseptik antiseptik Portio diperlhatkan secara avoe Dilakukan sondage, didapatkan uterus anterofleksi 8cm

Dilakukan curretage secara sistematis, didapatkan darah dan jaringan 50cc, perdarahan aktif (-)

07.38 WIB

Tindakan selesai

Follow up

28 september 2014

S/ Perdarahan (-) nyeri (-)

O/ Genitalia: perdarahan (-)

A/ Post curretage

Th/ Pulang

Cefadroxil tab 2x500mg

Asam mefenamat tab 3x500mg

V) Prognosis :

-Quo ad vitam

: bonam-Quo ad sanam

: bonam-Quo ad functional: bonamBAB IITINJAUAN PUSTAKAI. DEFINISI

Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim, tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang ditandai dengan adanya kantung gestasi. Kegagalan telur biasanya terjadi saat usia 6 minggu, sehingga dapat diabsorbsi kembali oleh uterus. Kasus ini terjadi ditandai dengan ancaman keguguran atau abortus sebelumnya.1,2,3II. ETIOLOGI

Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan streptokokus, penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya kadar beta-hCG serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin juga dapat menyebabkan blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena kualitas sperma atau ovum menjadi turun. Teori lain menunjukkan bahwa blighted ovum disebabkan sel telur yang normal dibuahi sperma yang abnormal. Penyebab terjadinya blighted ovum ini sulit dipisahkan dengan penyebab abortus pada umumnya, karena faktor-faktor penyebab gagalnya perkembangan hasil konsepsi ini dapat mengarah ke gagalnya mempertahankan kehamilan.3,4A. Faktor Genetik

Abnormalitas kromosom orang tua dan beberapa faktor imunologi berhubungan dengan blighted ovum dan abortus secara umum telah diteliti. Pada tahun 1981 Granat dkk mendeskripsikan adanya translokasi 22/22 pada pria yang istrinya mengalami 6 kali abortus secara berurutan,. Pada tahun 1990, Smith dan Gaha menemukan insiden yang cukup besar dari carrier translokasi kromosom pada suatu penelitian terhadap keluarga abortus habitualis dan didapatkan 15 balanced reciprocal translocations dan 9 fusi robertsonian pada populasi ini. Kelainan kromosom yang paling banyak menyebabkan abortus habitualis adalah balanced translocation yang menyebabkan konsepsi trisomi. Kelainan struktural kromosom yang lain adalah mosaicism, single gene disorder dan inverse dapat menyebabkan abortus habitualis. Single gene disorder dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan yang seksama terhadap riwayat keluarga atau dengan mengidentifikasi pola dari kelainan yang dikenal dengan pola keturunan.2,3,4,7,8B. Kelainan Anatomi

Kelainan anatomi mungkin berupa kelainan kongenital atau kelainan yang didapat. Kelainan kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit atau defek resorpsi septum, paparan diethylstilbestrol (DES) dan kelainan servik uterus. Wanitawanita dengan septum intrauterin memiliki risiko abortus spontan sebesar 60%, kebanyakan abortus pada trimester dua, tetapi dapat juga terjadi pada trimester pertama. Apabila embrio berimplantasi pada septum karena endometrium pada septum berkembang buruk dapat menyebabkan kelainan plasenta. Pada paparan diethylstilbestrol (DES) intra uterine dapat menyebabkan kelainan uterus, yang paling sering adalah hipoplasia yang dapat menyebabkan abortus pada trimester pertama dan kedua, serviks inkompeten dan persalinan prematurus. Kelainan anatomi didapat yang potensial menyebabkan abortus seperti adhesi intra uterine (Sindroma Asherman) yang disebabkan oleh kuretase endometrium atau evakuasi hasil konsepsi yang terperangkap terlalu dalam dan berulang, leiomioma yang mempengaruhi arah dari kavum uteri dan endometriosis. Hubungan keadaan ini dengan adanya keguguran berulang secara teori ialah bahwa pada kasus adesi dan leiomioma terjadi adanya gangguan suplai darah, sementara pada endometriosis berhubungan dengan faktor imunologi.2,5C. Kelainan Hormonal

Faktorfaktor endokrinologi yang berhubungan dengan abortus dan blighted ovum termasuk insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa kelainan dimana luteinizing hormone (LH) hipersekresi, diabetes mellitus, dan penyakit tiroid. Perkembangan pada kehamilan awal tergantung pada produksi estrogen yang dihasilkan oleh korpus luteum sampai kecukupannya terpenuhi diproduksi oleh perkembangan trofoblast, yang terjadi pada usia kehamilan 79 minggu. Abortus spontan terjadi pada kehamilan kurang dari 10 minggu jika korpus luteum gagal untuk memproduksi progesteron yang cukup, adanya gangguan distribusi progesteron ke uterus, atau bila pemakaian hormon progesteron pada endometrium dan desidua terganggu. Keguguran juga dapat terjadi apabila trofoblas tidak dapat menghasilkan progesteron yang seharusnya menggantikan progesteron dari korpus luteum ketika korpus luteum menghilang.2,9

Sekresi LH yang abnormal juga memiliki akibat langsung pada perkembangan oosit, menyebabkan penuaan yang prematur, dan pada endometrium menyebabkan maturasi yang tidak sinkron. Dipihak lain, sekresi luteinizing hormone yang abnormal dapat menimbulkan keguguran secara tidak langsung dengan cara meningkatkan kadar hormon testosteron. Keadaan gangguan sekresi luteinizing hormone biasanya berhubungan dengan adanya polikistik ovarium.4

Mekanisme yang mungkin menyebabkan terjadinya keguguran pada penderita diabetes mellitus ialah gangguan aliran darah pada uterus terutama sekali pada kasus-kasus dengan diabetes mellitus tahap lanjut. 4Hipotiroid merupakan gangguan endokrin lain yang dihubungkan dengan adanya abortus berulang, terutama sekali sebagai akibat disfungsi korpus luteum dan ovulasi yang sering menyertai penyakit tiroid. Antitiroid antibodi juga dihubungkan dengan abortus berulang. Karena pada awal kehamilan tubuh membutuhkan kadar hormon tiroid yang lebih tinggi, adanya antitiroid antibodi dapat menjadi suatu petanda bagi seseorang untuk terjadi peningkatan risiko terjadinya abnormalitas tiroid yang dapat berakhir pada keguguran. Kelainan-kelainan regulasi hormonal tersebut juga mampu menyebabkan kegagalan perkembangan atau pembentukan janin.2,4 D. Infeksi Saluran Reproduksi

Walaupun keguguran telah dihubungkan dengan organisme seperti Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Chlamydia trachomatis, dan Toxoplasma gondii, namun tidak ada hubungan yang meyakinkan dengan abortus berulang. Adanya organisme tersebut pada saat terjadinya keguguran tidak dapat dianggap sebagai bukti organisme tersebut sebagai penyebab dari keguguran. Organisme-organisme tersebut dapat menjadi penyebab keguguran apabila4:

Telah ada dalam waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala pada ibu secara nyata sehingga keadaan ini menjadi tidak terdiagnosis dan tidak diobati

Memiliki jalur untuk masuk ke lingkungan intrauteri sehingga menginfeksi jaringan fetus dan/atau menstimulasi terjadinya proses radang.

Terdapat bukti bahwa vaginosis bakterialis berhubungan dengan keguguran dan juga menjadi faktor risiko terjadinya persalinan preterm. Bakterial vaginosis disebabkan karena terganggunya flora normal dari vagina. Terjadi pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob dan lactobacilli yang normal tidak ada atau tidak banyak terdapat. Tidak didapatkan adanya hubungan yang nyata dengan keguguran dan hubungan ini masih perlu dibuktikan. Terdapat teori yang menyatakan bahwa keguguran merupakan akibat dari aktifasi imunologi sebagai respon dari adanya organisme patologis.4E. Imunologik

Respon imunologi diatur oleh gen-gen dari major histocompability complex (MHC) yang berlokasi pada kromosom G. Antigen MHC golongan I (human leucocyte antigens (HLA)-A, HLA-B dan HLA-C) dan antigen MHC golongan II (HLA-DF, HLA-DP dan HLA-DQ) menentukan kompatibilitas imunologik jaringan. Golongan I antigen MHC penting utnuk mengenali struktur dalam menolak respon mediator dengan limposit T sitotoksik.3,4Golongan II antigen MHC menunjukkan antigen untuk limposit T dan memulai imunitas. Golongan II gen-gen MHC desebut gen-gen respon imun, secara genetik diatur dan dipercaya untuk menyebabkan penyakit. Akhir-akhir ini, antigen golongan I MHC nonclassical truncated yang dikenal HLA-G telah dipaparkan dalam sitotrofoblas manusia dan sel trofoblas JEG-3, tatapi kemaknaan HLA-G masih spekulasi karena ia merupakan trofoblas yang unik dan ada hipotasis yang mengatakan bahwa HLA-G penting untuk gestasi yang berhasil dan respon terhadap HLA-G yang menyimpang akan mengakibatkan abortus. Faktor-faktor imunologi terbagi dua, yaitu:2,4

1. Kelainan imunitas seluler

Endometrium dan desisua manusia penuh dengan sel-sel imun dan inflamasi yang mampu mensekresi sitokin. Respon imun seluler T helper 1 yang abnormal melibatkan sitokin interferon-( (IFN-() dan tumor nekrosis factor (TNF) merupakan hipotesis yang paling sering dikemukakan untuk kegagalan imunologi reproduksi. Hipotesis ini menyatakan bahwa konseptur merupakan target local dan respon cell mediate imun yang akan menyebabkan abortus. Pada wanita-wanita yang mengalami abortus, antigen trofoblas mengaktivasi makrofag dan limfosit, mengakibatkan respon imun seluler oleh sitokin T helper 1, IFN-( dan TNF yang ditunjukkan dengan menghambat pertumbuhan embrio in vitro dan perkembangan serta fungsi dari trofoblast. Kadar TNF dan interleukin 2 yang tinggi didapatkan di serum perifer pada wanita-wanita yang mengalami abortus dibandingkan dengan wanita hamil normal, tetapi mekanisme dari hubungan ini belum dapat dijelaskan.2,4

Mekanisme imun seluler lain yang berperan dalam abortus seperti defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag berhubungan dengan kematian janin, meskipun mekanismenya belum bisa dipaparkan. Ekspresi antigen golongan II MHC yang abnormal atau ekspresi Golingan I MHC yang tinggi pada sitotrofoblas menimbulkan respon dari IFN-( yang mengakibatkan abortus melalui serangan sitotoksik sel T yang tinggi.2,4

2. Kelainan imunitas humoral

Antifosfolipid antibodi adalah autoantibodi yang ditujukan melawan fosfolipid yang bermuatan negatif, yang merupakan komponen esensial dari membran sel yang memiliki peranan penting dalam fusi sel-membran sel. Antifosfolipid antibodi termasuk juga lupus antikoagulan (walaupun tidak terdapat sistemik lupus eritematosus) dan antibodi terhadap kardiolipin dan phospatydilgliserin. Secara klinis antifosfolipid antibodi dihubungkan dengan trombositopenia, trombosis dan keguguran berulang. Juga dihubungkan sebagai penyebab dari komplikasi kehamilan yang lain apabila kehamilan berlanjut hingga trimester ketiga, seperti persalinan prematur, ketuban pecah sebelum waktunya, kematian janin dalam rahim, pertumbuhan janin terhambat dan juga preeklampsia. Uteroplasental trombosis dianggap sebagai penyebab utama dari berakhirnya kehamilan.4,7

Lupus antikoagulan menyebabkan tes koagulasi yang bergantung dengan phospholipid seperti activated partial thromboplastin time (APTT) menjadi memanjang dan dan tetap demikian walaupun telah ditambah dengan plasma yang normal. Anti kardiolipin IgG atau IgM dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ELISA. Hasil pemeriksaan yang positif sebaiknya dulangi kembali setelah beberapa minggu untuk memastikan kebenaran hasil positif ini. 4Prevalensi dari antifosfolipid antibodi ini pada populasi antenatal secara umum adalah sekitar 2% dibandingkan dengan ibu-ibu yang mengalami keguguran berulang yaitu sekitar 15%. Tingkat keberhasilan kehamilan pada keadaan yang tidak diobati ialah sekitar 10-15% dan keguguran berulang seringkali merupakan manifestasi awal penyakit. Mekanisme untuk terjadinya keguguran akibat dari antifosfolipid antibodi adalah peningkatan tromboksan dan penurunan sintesis prostasiklin sehingga menimbulkan adesi platelet pada pembuluh darah di plasenta.4,7Keadaan immunologik lain yang mungkin juga menyebabkan terjadinya keguguran ialah antibodi antisperma, antibodi antitrofoblas, dan defisiensi blocking antibody. Namun keadaan ini masih belum dapat dibuktikan. 2F. Faktor Lain

Faktor lain yang berhubungan dengan keguguran berulang termasuk juga zat-zat racun pada lingkungan, terutama logam berat dan paparan yang lama terhadap pelarut organik, obat-obatan seperti antiprogestogen, obat antineoplasma, anestesi, nikotin dan alkohol, demikian juga radiasi. Latihan yang berat juga belum dapat dibuktikan secara pasti menyebabkan terjadinya keguguran berulang. Koitus dihubungkan dengan adanya persalinan preterm tetapi untuk terjadinya keguguran belum dapat dipastikan.2,7,10III. GEJALA KLINIKBlighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil tetapi tidak ada bayi di dalam kandungan. Seorang wanita yang mengalaminya juga merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan muntah pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta terjadi pembesaran perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik planotest maupun laboratorium hasilnya pun positif.

Gejala penderita dengan blighted ovum menyerupai keguguran pada umumnya. Keluhan antara lain berupa keluar bercak darah akibat berkurangya kadar hormon, dan keluhan kehamilan akan berkurang. Jika mulai terjadi proses keguguran atau sirkulasi fetus dan villi korialis mulai tidak stabil, sekitar usia 10 minggu, dapat terjadi perdarahan intermiten atau kontinu, yang diikuti nyeri dan abortus komplit. Pada pemeriksaan dengan inspekulo, ostium uteri bias tertutup (yang didiagnosis dengan abortus imminens) atau terbuka (abortus inkomplit). 5Pada beberapa kasus, dapat terjadi resorpsi kehamilan kosong, sehingga tanda-tanda hamil dapat menghilang dan akhirnya pada pemeriksaan, pasien dianggap tidak hamil. Hal ini dapat membingungkan bagi penderita karena terjadi perubahan dari kondisi hamil menjadi tidak hamil.5,6IV. DIAGNOSISBlighted ovum dapat segera terdeteksi segera pada pemeriksaan ultrasonografi pada minggu 6, karena tidak tampaknya fetus. Pada usia 7 minggu dipastikan tidak ada fetus. Pencitraan USG dapat dilakukan transabdominal maupun transvaginal, namun cara yang kedua lebih akurat pada usia kehamilan yang sangat dini.

Pada usia 8 dan 9 minggu, jika perhitungan HPHT tepat, detak jantung bayi atau pulsasi sudah dapat terdeteksi. Kantung gestasi mulai tampak pada pertengahan minggu ke 4, dan yolk sac normalnya tampak pada minggu 5. Sehingga, embrio dapat terlihat jelas mulai pertengahan minggu 5 pada pemeriksaan USG tranvaginal.

Gambar 1. Gambaran USG Blighted Ovum Dibandingkan dengan Kehamilan NormalTidak ditemukan fetal pole, dengan kantung gestasi (ges sac) diameter lebih dari 10 mm tanpa yolk sac, diameter 15 mm tanpa mudigah pada USG transvaginal atau lebih dari 25 mm pada USG transabdominal. Sedangkan pada gambar di sebelah kanan tampak gambaran hiperechoic berupa fetal pole di dalam ges sac.Dikutip dari Williams Gynecology

Gambar 2. Blighted ovum pada uterus bicornu unicolis

Pemeriksaan kadar hormon pada kehamilan dapat juga membantu pemeriksaan dimana beta-hCG dibentuk oleh plasenta. Normalnya, pada pemeriksaan darah hormon ini dapat dideteksi pada hari 11 setelah konsepsi, dan pada tes urin pada hari ke 12-14 hari. Produksi hormone ini akan menjadi 2 kali lipat tiap 72 jam. Kadarnya akan mencapai jumlah tertinggi pada kehamilan usia 8-11 minggu lalu menurun. Jika penurunan kadar beta-hCG ini terjadi lebih dini, dapat dicurigai terjadinya blighted ovum. V. PENATALAKSANAAN

Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil kuretase akan dianalisis untuk memastikan apa penyebab blighted ovum lalu mengatasi penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat diobati sehingga kejadian ini tidak berulang. Jika penyebabnya antibodi maka dapat dilakukan program imunoterapi sehingga kelak dapat hamil sungguhan.

Untuk mencegah terjadinya blighted ovum, maka dapat dilakukan beberapa tindakan pencegahan seperti pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada wanita yang hendak hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu, dikontrol gula darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia di atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas sperma/ovum baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan membiasakan pola hidup sehat.

Penderita keguguran akan memiliki pertanyaan menyangkut risiko berulangnya keguguran atau blighted ovum. Beberapa peneliti menyatakan riwayat blighted ovum tidak memberikan risiko keguguran selanjutnya, dan 80-85% kehamilan selanjutnya pada berlangsung hingga aterm. Namun, berbagai penelitian menggambarkan 25-50% wanita dengan riwayat keguguran dapat mengalami keguguran ulang. Hal ini sangat berhubungan dengan etiologi dari keguguran, sehingga deteksi penyebab dan penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan. Apabila, tindakan evakuasi dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi, penting untuk untuk diperiksa apakah terdapat kelainan pada uterus seperti uterus bikornus, adanya septum uterus. Pada terhentinya kehamilan pada trimester pertama, hasil konsepsi sebaiknya dikirim ke bagian histologi untuk konfirmasi diagnosis dan untuk kariotiping. Pada keguguran dimana fetus telah terbentuk maka kariotipe fetus harus diperiksa dan pasangan tersebut disarankan agar bersedia dilakukan pemeriksaan autopsi. Kemudian harus dilakukan follow up dan konseling pada pasien.4Pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan rutin apabila menemukan adanya abortus dan blighted ovum ialah sebagai berikut. 2,4 Periksa kariotipe kedua pasangan

Lakukan histerosalfingografi atau apabila terdapat ahlinya lakukan ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk melihat kelainan bentuk uterus, panjang serviks, ataupun adanya adhesi intrauterus

Pemeriksaan luteinizing hormon pada hari 3-6 siklus, pemeriksaan Follicle Stimulating hormone serta testosteron untuk memeriks adanya hipersekresi Luteinizing hormone atau adanya sindroma polikistik ovarium. Selain itu ultrasonografi transvaginal juga berperan dalam menentukan adanya polikistik ovarium selain untuk memeriksa kelainan pada uterus atau rongga uterus. Pemeriksaan Glycosylated hemoglobin (HbA1c) apabila pasien diketahui mengidap diabetes mellitus atau memiliki riwayat keluarga dengan diabetes mellitus Penapisan antifosfolipid antibodi untuk Lupus antikoagulan, IgG dan IgM anticardiolipin antibodi dan antinuclear faktor. Hal ini juga berarti dilakukannya pemeriksaan VDRL dan APTT Uji fungsi tiroid, termasuk hormone stimulasi tiroid dan antibodi antitiroid Pemeriksaan platelet Pemeriksaan spermaHal-hal yang perlu diperiksa pada sediaan sperma antara lain volume, waktu mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan sperma, PH, jumlah sel darah putih dan kadar fruktosanya. Sebelum dilakukan pengambilan sampel sperma (semen) harus melakukan abstinen/tidak mengeluarkan sperma/ ejakulasi 2 - 5 hari sebelumnya. Hal ini bertujuan agar sperma dalam kondisi paling baik. Tabel 1. Komponen Analisis SpermaVolume

Normal : minimal 2 mL - 6,5 mL per ejakulasi

Abnormal : Volume yang rendah atau bahkan yang berlebih dapat menyebabkan masalah kesuburan

Waktu mencair

Normal : Kurang dari 60 menit

Abnormal: Masa mencair yang lama bisa merupakan tanda infeksi

Jumlah sperma

Normal : 20150 juta per mL

Abnormal : Jumlah yang rendah kadang masih bisa menghasilkan keturunan secara normal.

Bentuk sperma

Normal : Minimal 70% memiliki bentuk dan struktur normal.

Abnormal : Sperma yang abnormal bentuknya kurang dari 15 % disebut teratozoopsermia.

Gerakan sperma

Normal : Minimal 60% sperma bergerak maju ke depan atau minimal 8 juta sperma per-mL bergerak normal maju ke depan.

Abnormal : Jika sebagian besar geraknya tidak normal akan menyebabkan masalah fertilitas.

pH

Normal : pH of 7.18.0

Abnormal : pH yang tinggi atau lebih rendah dapat mengganggu penetrasi

Sel darah putih

Normal : Tidak ada sel darah putih atau bakteri.

Abnormal : Bakteri dan sel darah putih yg banyak menunjukkan adanya infeksi.

Kadar fruktosa

Normal : 300 mg per 100 mL ejakulat

Abnormal :Tidak adanya fruktosa memperlihatkan tidak adanya vesikula seminalis atau blokade pada organ ini.

Jika ditemukan jumlah sperma yang rendah atau tingginya abnormalitas, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti pengukuran kadar hormon: testosteron, luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone (FSH), atau hormon prolaktin. Juga dilakukan biopsi testis (zakar) dalam kondisi yang sangat ekstrim (steril misalnya).

Kultur serviks untuk mikoplasma, ureaplasma dan klamidia.Pemeriksaan lain dilakukan setelah pemeriksaan rutin ini didapatkan penemuan yang positif, yaitu :

A. Faktor Genetik

Bila ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas dari genetik maka perlu dilakukan konsultasi terhadap ahli genetik. Perlu dilakukan konseling terhadap pasangan karena pemeriksaan dari keadaan ini memerlukan biaya yang besar, selain itu kemungkinan untuk terjadinya kehamilan yang normal kecil. 7B. Kelainan Anatomi

Bentuk dari kavum uteri harus diperiksa pada setiap wanita yang mengalami keguguran tiga kali atau lebih secara berturut-turut untuk mengeluarkan kemungkinan penyebab berupa kelainan bentuk dari uterus.

Metode pemeriksaan yang dapat digunakan ialah histerosalfingografi, tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk memeriksa kelainan tersebut .4,7

Defek yang kecil tidak berarti harus dilakukan operasi. Tindakan metroplasti abdominal dilakukan pada keadaan terdapatnya septum uterus, tetapi tindakan ini belum pernah dilakukan evaluasi prospektif secara baik dan dikatakan memiliki hubungan dengan keadaan infertilitas postperatif. Tindakan operatif untuk menghilangkan septum uterus ataupun perlengketan dapat dilakukan dengan cara reseksi transervikal histeroskopi, dikatakan bahwa tindakan ini memiliki hasil yang cukup memuaskan, namun tindakan operatif ini hanya dapat dilakukan oleh klinisi yang telah mendapatkan pelatihan yang memadai serta memiliki pengalaman dalam tindakan operatif dengan histeroskopi. 4Ada peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm dan juga abortus pada wanita dengan kelainan uterus walaupun telah dilakukan perawatan antenatal yang intensif. Hal ini sering dihubungkan dengan adanya inkompeten serviks. Pemberian tokolitik oral sebagai profilaksis tidak disarankan, tetapi evaluasi rutin mengenai pendataran dan dilatasi serviks perlu dilakukan setiap kunjungan antenatal, dan lebih baik bila dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal.

Pada keadaan adhesi intrauterin (Sindroma Asherman), diagnosis didapatkan dari histerosalfingografi atau dari histeroskopi. Perlengketan dapat dilepaskan dengan menggunakan histeroskopi kemudian dialkukan pemasangan IUD selama 6 minggu untuk mencegah terjadinya perlengketan kembali. Antibiotik berspektrum luas perlu diberikan sampai 1 minggu postoperasi. Perkembangan janin pada kehamilan setelah tindakan harus diawasi secara hati-hati karena adanya kemungkinan implantasi pada tempat yang kurang ideal.2,4

Mengenai leiomyoma maka perlu dilakukan tindakan operatif bila mioma tersebut berupa mioma submukosa. Tindakan operatif tersebut berupa miomektomi. Pemberian GnRH selama tiga bulan juga dapat mengurangi ukuran dari mioma tersebut.2,4C. Abnormalitas Hormonal

Gangguan fase luteal ditegakkan dengan cara pemeriksaan suhu basal dimana fase luteal berlangsung selama kurang dari 10 hari, atau kadar progesteron serum kurang dari 15 nmol/L selama lima siklus berturut-turut. Namun pada penelitian ternyata didapatkan bahwa tidak adanya bukti yang mendukung secara nyata bahwa pemberian hormon progesteron tidak mengurangi risiko terjadinya keguguran .4

Hipersekresi luteinizing hormon ditegakkan apabila kadar hormon tersebut pada pemeriksaan darah meningkat 10 IU/L atau lebih, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah secara serial. Sebagai alternatif dapat dilakukan pemeriksaan kadar luteinizing hormon pada urine dimana hipersekresi lutinizing hormon ditegakkan bila konsentrasi dala urin sebesar 100IU/L atau lebih. Pengobatan keadaan ini dadalah dengan pemberian GNRH analog yang akan menekan luteinizing hormone.2,4Pemeriksaan bagi wanita tanpa adanya gejala atau riwayat diabetes mellitus tidak perlu dilakukan. Pengendalian kadar gula darah yang optimal sebelum kehamilan merupakan cara untuk keberhasilan kehamilan. Pemeriksaan tiroid secara rutin juga belum dapat mendeteksi gangguan fungsi tiroid. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan apabila telah ditemukan adanya gejala gangguan tiroid.4D. Infeksi Saluran Reproduksi

Mengenai penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi ini tentusaja disesuaikan dengan jenis organisme yang menginfeksi. Belum ditemukan perlunya dilakukan imunisasi kecuali pada kasus penyakit rubella.7E. Imunologik

Pemeriksaan anticardiolipin harus dilakukan pada semua wanita dengan riwayat abortus berulang. Tanpa pengobatan hanya didapatkan 10-15% kehamilan yang berhasil. Pengobatan dengan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) atau heparin dosis rendah (5000-10000 unit tiap 12 jam) telah dilakukan dan menunjukkan adanya perbaikan pada kehamilan baik itu dipergunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi. Tetapi pemakaian obat-obatan ini memiliki risiko. Heparin jangka panjang diketahui dapat menyebabkan osteoporosis, dan aspirin dapat menimbulkan perdarahan gastrointestinal.4,7VI. GAMBARAN HISTOPATOLOGIPada penelitian awal didapatkan adanya gambaran infark yang luas dan nekrosis pada plasenta wanita yang mengalami abortus yang disebabkan antifosfolipid antibodi. Berdasarkan dari penelitian ini dan adanya hubungan antara antifosfolipid antibodi (aPL) dengan adanya trombosis plasenta pada abortus habitualis, para penemu sepakat mengatakan bahwa adanya trombosis pada plasenta menyebabkan infark dan menimbulkan kematian fetus. Pada penelitian De Wolf dkk, didapatkan adanya gambaran vaskulopati desidua yang nekrotik pada pasien dengan aPL. Ciri-cirinya adalah nekrosis fibrinoid, atherosis pembuluh desidua (infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel dengan sitoplasma yang jernih atau foamy cytoplasm) dan inti yang menebal. Ia juga menemukan bukti adanya vaskulopati desidua pada suatu model murine dengan kehamilan antifosfolipid. Pada penelitian ini didapatkan administrasi sistemik pada fraksi IgG pada wanita dengan aPL menyebabkan abortus. Pada pemeriksaan histologik didapatkan deposit IgG dan fibrin di dalam atau disekeliling desidua.5-8Pada penelitian kasus-kontrol yang lain didapatkan mengenai hubungan antara patologi plasenta dan aPL dan didapatkan bahwa 47 kehamilan menghasilkan janin mati. Plasenta dari wanita yang menderita aPL memiliki plasenta yang lebih fibrosis, villi hipovaskular, trombosis dan membran yang infark dan sedikit memiliki vaskulosinsitial dibandingkan dengan wanita tanpa aPL. Kenyataannya pada wanita dengan aPL didapatkan plasentanya trombosis atau infark. Penelitian ini memberikan bukti yang kuat untuk penyebab trombosis pada janin mati pada wanita dengan aPL.5-8Penelitian lain menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan kadar MSAFP dan keguguran dengan wanita dengan aPL. Peningkatan kadar ini tidak bias dijelaskan dan ditemukan pada 13 dari 60 kehamilan dengan aPL. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa dengan peningkatan kadar MSAFP menyebabka peningkatan insiden kematian janin (63% berbanding6%) dan kematian perinatal (77% berbanding 15%) dibandingkan dengan kadar yang normal. Pada aPL peningkatan kadar MSAFP pada trimester dua bisa merupakan marker untuk kerusakan palsenta pada trimester dua.3-5Plasenta dari embrio dengan kromosom trisomi jarang memiliki gambaran yang bervariasi bila dilihat dengan mata telanjang meskipun ada yang tampak mikrositik, perubahan vesikuler yang fokal tetapi hampir 50% secara makroskopik normal. Pada pemeriksaan histologi sebagaian dari plasenta ini menunjukkan perubahan fokal villi-villi yang hidrofili dan difus, tampak villi trofoblas hipoplastik dan tampak sel sitotrofoblastik dalams troma villi, sel-sel ini ditemukan oleh Phillippe dan Bou pada tahun 1969 dan 1970, Cohen pada tahun 1972 dan Honor, Dill dan Poland pada tahun 1976. Adanya sel-sel tersebut merupakan gambaran khas dari plasenta trisomi dan adanya deskuamasi dari lapisan trofoblastik. Phillippe dan Bou pada tahun 1969 menyatakan bahwa banyak sel-sel tampak pada kasus-kasus trisomi C, D atau E, tetapi Honor. Dill dan Poland pada tahun 1976 menyatakan bahwa sel-sel tersebut dapat tampak pada seluruh jenis sindroma trisomi. Adanya intra stroma bukan merupakan gambaran yang spesifik pada plasenta trisomi karena mungkin sel-sel ini didapatkan pada kromosom normal. Hampir 50% pada plasenta trisomi, villinya tidak menunjukkan perubahan villi tetapi ada juga yang menunjukkan sel-sel stroma immatur yang persisten dari sel-sel sitotrofoblastik intra stroma.4-8

Gambar 3. Perbandingan Gambaran Histologi Kehamilan Normal dengan Abnormal

Pada gambar A tampak ovum normal berimplantasi pada usia 11-12 hari, sedangkan pada gambar B tampak konsepsi abnormal, dengan tropoblas defektif dengan lacuna yang membesar dan kantung korion yang kosong, dan akan meluruhDikutip dari Williams GynecologyDAFTAR PUSTAKA1. Wibowo B, Wiknjosastro H: Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1994; 302-312

2. Hill JA: Recurrent spontaneous early pregnancy loss. In: Berekj JS, Adashi EY, Hillard PA: Novaks gynecology 12th edition. Pennsylvania: Williams & Wilkins Co, 1996;963-979

3. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG. First trimester abortion. In: Williams Gynecology 22nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008:298-325

4. Porter FT, Branch DW, Scott JR. Early pregnancy loss. In: Danforths Obstetric and Gynecology 10th ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins; 2009:61-70

5. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H: Gangguan bersangkutan dengan konsepsi. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kandungan. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997; 246-250

6. Hatasaka HH: Recurrent miscarriage: epidemiologic factors, definitions and incidence. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 625-634

7. Byrne JLB, Ward K: Genetic factors in recurrent abortion. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 693-704

8. Hunt JS, Roby KF: Implantation factors. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 635-645

9. Brent RL, Beckman DA: The contributional of environmental teratogens to embryonic and fetal loss. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 646-664