1. perkawinan menurut undang-undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/chapter...10...

46
9 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Perkawinan 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pengertian perkawinan yang terdapat di dalam tiap-tiap peraturan perundang- undangan yang berlaku di berbagai negara berbeda-beda. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 :Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Berdasarkan pengertian perkawinan di atas, dapat dimengerti bahwa dengan melakukan perkawinan, masing- masing pihak telah mempunyai maksud untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara, agama dan kepercayaan masing-masing untuk mencapai keluarga yang bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga mencantumkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini berartibahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk selamanya dan tidak boleh diputus begitu saja. 7 7 Wantjik Saleh dikutip dari Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas HukumPerdata, Bandung: Alumni, 2000, hal. 67. Universitas Sumatera Utara

Upload: dinhdung

Post on 02-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

9

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perkawinan

1. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Pengertian perkawinan yang terdapat di dalam tiap-tiap peraturan perundang-

undangan yang berlaku di berbagai negara berbeda-beda. Perkawinan menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 :Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan berbunyi :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Berdasarkan pengertian

perkawinan di atas, dapat dimengerti bahwa dengan melakukan perkawinan, masing-

masing pihak telah mempunyai maksud

untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara, agama dan kepercayaan masing-masing

untuk mencapai keluarga yang bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan juga mencantumkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini berartibahwa perkawinan

dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang

direncanakan, akan tetapi untuk selamanya dan tidak boleh diputus begitu saja.7

7 Wantjik Saleh dikutip dari Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas HukumPerdata, Bandung: Alumni, 2000, hal. 67.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

10

Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

berbunyi:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu”.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan lebih tegas lagi

menyebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaanya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar1945.Maksud dari

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk juga ketentuan

perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya tersebut sepanjang tidak

bertentangan dengan isi dari Undang-Undang Perkawinan, termasuk hukum adat.Dari

definisi di atas, maka terdapatlah lima unsur di dalamnya yangmeliputi :

a. Ikatan lahir batin Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin adalah suatu perkawinan itu tidak cukup

hanya dengan ikatan lahir batin saja, melainkan juga harus ada suatu ikatan batin,

yang kemudian keduanya dipadukan menjadi satu ikatan perkawinan.Ikatan lahir

batin merupakan suatu ikatan yang dapat dilihat, karena merupakan suatu ikatan

yang nyata dan formal, yang merupakan suatu ikatan yang menunjukkan adanya

hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup

bersama sebagai suami istri. Sebaliknya ikatan lahir batin merupakan hubungan

yang tidak nyata, tetapi ikatan ini dapat dirasakan oleh seorang laki-laki dan

seorang perempuan di dalam melangsungkan kehidupan perkawinannya, didalam

mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dan dasar cinta dan kasih sayang guna

mewujudkan suatu keluargayang bahagia dan damai. Oleh karena itu, perkawinan

tidak hanya menyangkut unsur lahir saja, tetapi juga diperlukan suatu ikatan

batin.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

11

b. Antara seorang pria dan seorang wanita

Ikatan perkawinan hanya boleh dilakukan oleh seorang pria dengan seorang

wanita, hal tersebut memang sudah menjadi kehendak Allah Yang Maha

Kuasa, yang telah menciptakan manusia dengan perasaan saling

membutuhkan satu dcngan yang lainnya. Perasaan saling membutuhkan

tersebut merupakan tanda-tanda kekuasaannya didalarn pengaturan alam

semesta ini.

c. Sebagai suami isteri

Dijadikannya manusia berpasang-pasangan adalah untuk menjadikan manusia

itu sebagai suami isteri. Seorang pria dan wanita dinyatakan sah sebagai

suami istri apabila perkawinan tersebut telah memenuhi syarat-syarat

perkawinan yang ada, baik yang diatur didalam agama atau kepercayaannya,

maupun yang diatur didalam Undang- Undang.

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Yang dimaksud disini adalah perkawinan dilangsungkan dengan maksud

untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan dilandasi rasa cinta dan

kasihsayang, serta rasa saling membutuhkan satu sama lain, didalam

melangsungkan suatu perkawinan, untuk memperoleh keturunan yang sah

dalam masyarakatuntuk dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah

diatur dalam syariah,serta kekal selamanya sampai suatu kematian yang

memisahkannya.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Hal ini sesuai dengan ketentuan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa,maka

perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama atau

Universitas Sumatera Utara

Page 4: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

12

keyakinan,sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir dan

jasmani, akan tetapiunsur batin yang mempunyai peranan penting.

2. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Salah satu fase yang dilewati oleh manusia dalam siklus hidupnya adalah perkawinan,

oleh karena itu pengaturan mengenai perkawinan sudah ada sejak manusia itu turun

ke bumi. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk berketurunan guna

kelangsungan hidup serta menumbuhkan dan memupukrasa kasih sayang antara

suami dan istri. 8

maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”

Al-Qur’an banyak mengatur mengenai perkawinan dalam ayat-

ayatnya sebagaimana dalam Surat Yassin ayat 36 yang

artinya sebaga berikut :

“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan

semuanya, baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka,

9

kepada-Nya dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang diantara kamu”.

Perkawinan menimbulkan ketenangan hidup manusia dan menumbuhkan rasa kasih

sayang sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Arrum ayat 21 yang

artinya:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Ia menciptakan kamu isteri-

isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

10

Perkawinan berasal dari kata dasar kawin yang berarti hubungan seksual.11

Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan berpasang-pasangan, adanya pria dan wanita

memang sudah menjadi kehendak Allah yang maha kuasa, yang telah Menciptakan

8 Ahmad Ashar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 1999. hal. 12. 9 Q. S. Yassin ayat 36. 10 Q. S. Arrum ayat 21 11 Undang-undang Perkawinan, Semarang : Beringin Jaya. hal. 26.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

13

manusia dengan perasaan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya untuk hidup

bersama dalam suatu ikatan perkawinan.Menurut Ahmad Anshar Basyir, perkawinan

menurut hukum Islam adalah:

“Suatu akad atau pernikahan untuk menghalalkan hubungan kelamin

antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan

hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan

cara yang diridhoi Allah”.12

Pada dasarnya, istilah perkawinan disamakan dengan arti pernikahan yaitu akad untuk

menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara

laki-laki dan perempuan, dimana diantara keduanya bukan muhrim. Pengertian

tersebut juga dijumpai dalam pengertian perkawinan menurut istilah hukum, ialah

akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara

seorang pria dan seorang wanita.

Akan tetapi perkawinan tidak hanya merupakan ikatan untuk menghalalkan

hubungan kelamin lawan jenis ada yang mengikuti hubungan itu, yaitu tanggung

jawab terhadap isteri, suami, dan anak, ada hubungan hukum yang timbul dari

perkawinan itu. Perkawinan dalam istilah agama Islam disebut "nikah", adalah

melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki

danseorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak

untuk mewujudkan suatu kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang

dan ketenteraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa.

13

12 Azhari Ahmad Toriqon, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis PerkembanganHukum

Islamdari Fiqih Undang- Undang No 1 Tahun 1974 sampai KHI. Jakarta : Kencana, 2004) hal 38

13 Mohd. Idris Ramulya, Hukum Perkawinan Islam (suatu analisis dari UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta : Bumi Aksara, 1996, hal.1.

Atau lebih tegasnya, perkawinan adalah suatu akad

suci dan luhur antara anak laki-laki dan perempuanyang menjadi sebab keabsahan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

14

status sebagai suami istri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai

keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.14

perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak

keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka amatlah tepat jika

Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat atau

miitsaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.Hal tersebut diatur pada Pasal (2) Kompilasi Hukum Islam.Guna memahami

Mengenai pengertian perkawinan ini, banyak pendapat satu dengan lainnya

berbeda.Tetapi perbedaan ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan

yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lainnya, tetapi

perbedaan ini hanya terdapat pada keinginan perumus untuk memasukkan unsur-

unsur sebanyak-banyaknya dalam rumusan pengertian-pengertian itu di satu pihak,

dan pembatasan banyaknya unsur didalam perumusan pengertian perkawinan di pihak

lain.

Walaupun terdapat banyak perbedaan pendapat tentang rumusan pengertian

perkawinan, tetapi ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat,

yaitu bahwa "nikah" itu merupakan suatu perjanjian ikatan lahir batin antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan. Perjanjian ini adalah merupakan perjanjian suci

untuk membentuk keluarga antara seorang laki-iaki dan seorang perempuan.Menurut

Hukum Islam Perkawinan adalah akad antar calon suami-isteri untuk memenuhi hajad

menurut yang diatur oleh syariat, yang dimaksud denganakad adalah ijab dari pihak

wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari pihak calon suami yang dilaksanakan di

hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.

14 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hal. 188.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

15

perkawinan yang mempunyai nilai ibadah sebagaimana di sebut di atas, Ahmad Rofiq

menjelaskan bahwa perkawinan merupakan salahsatu perintah agama kepada yang

mampu untuk segera melaksanakannya.Karenadengan perkawinan dapat mengurangi

maksiat penglihatan, memelihara diri dariperbuatan zina.Oleh karena itu, bagi mereka

yang berkeinginan untuk menikah,sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan

belum siap, dianjurkan berpuasa.Dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi

diri dari perbuatantercela yaitu perzinahan.

Berkaitan dengan makna miitsaqan ghaliidhan Rusli dan R. Tamamenjelaskan bahwa

agama Islam juga mengangap tidak sah perkawinan antaraseorang Islam sipil saja,

karena dalam pernikahan tersebut terdapat suatuketiadaan prinsip yang justru

dijadikan sebagai kunci penghalalnya Faraj (tubuh)bagi seorang laki-laki, yaitu

kalimatullah yang diucapkan oleh wali dan diterimaoleh calon suami dihadapkan dua

suku yang adil.15

15 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung :

SantikaDharma,1984. hal. 38.

Adapun pentingnya suatu perkawinan bagi kelangsungan kehidupan umatmanusia,

khususnya bagi orang Islam, adalah sebagai berikut:

a) Melaksanakan suatu perkawinan adalah merupakan suatu ibadah bagi umat Islam,

karena perintah untuk melaksanakan perkawinan telah diatur dalam Al-Qur'an dan

Sunah Rasul.

b) Dengan melangsungkan perkawinan maka terciptanya suatu keluarga yang bahagia

didasari dengan cinta dan kasih sayang sehingga terciptalah kehidupan yang kekal

dan tenteram.

c) Dengan melangsungkan perkawinan maka terpenuhinya tabiat dari fitrah manusia

yang diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa secara berpasang-pasangan,sehingga

manusia terhindar dari kejahatan dan kesesatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

16

d) Dengan perkawinan yang sah, maka diharapkan dapat lahirlah keturunan yang sah

dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya

dapat berlangsung secara jelas dan bersih.

Adapun pengertian dari perkawinan menurut pendapat para sarjana adalah sebagai

berikut ini :

1) Menurut Mahmud Junus

Perkawinan adalah aqad antara calon suami dan calon istri untuk memenuhi hasrat

jenisnya, menurut ketentuan yang diatur didalam agama Islam.16

Perkawinan adalah pernikahan yaitu suatu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon

gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2) Menurut Kompilasi Hukum Islam

17

Perkawinan adalah suatu perjanjian-perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan.

3) Menurut Suyuti Thalib

18

Perkawinan adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan

kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan yang antara keduanya bukanmuhrim.

4) Menurut Sulaiman Rasyid

19

16 Mahmud Junus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Mahmedia, 1960,hal. 21

17 Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam

18 Sayuti Thalib.Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam.Jakarta :

Universitas Indonesia, 1982.hal. 47 19 Sulaiman Rasyid.Fikih Islam. Bandung : Sinar Baru,1990. hal. 360.

5) Menurut Wila Chandrawila Supriadi

Universitas Sumatera Utara

Page 9: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

17

Perkawinan merupakan suatu ikatan batin maupun ikatan lahir selama hidup antara

suatni dan istri untuk hidup bersama menurut syariat Islamdan memperoleh

keturunan.20

Dari bermacam-macam definisi pengertian perkawinan di atas, dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa pengertian perkawinan pada umumnya adalah sama yaitu

perkawinan merupakan suatu perjanjian dalam masyarakat antara laki-laki dan

perempuan untuk membentuk keluarga, yang bahagia kekal dan sejahtera berdasarkan

peraturan yang berlaku bagi masyarakat di suatu negaranya.

20 Wila Chandrawila Supriyadi.Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda Bandung :

Mandar Maju 2002. hal. 67.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

18

B. Tujuan Perkawinan

1. Tujuan Melakukan Perkawinan Menurut Undang-undang No

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan, baik materil maupun

spirituil. Kebahagian yang ingin dicapai bukanlah kebahagian yang

sifatnya sementara saja, tetapi kebahagian yang kekal, karenanya

perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal, yang

hanya dapat berakhir dengan kematian salah satu pasangan tersebut.

Pemutusan karena sebab-sebab yang lain dari pada kematian, diberikan

suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang

berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah

jalan lain tidak dapat ditempuh lagi. 21Pembentukan keluarga yang

bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan

dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut

perundangan adalah untuk kebahagian suami isteri, untuk mendapatkan

keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang

bersifat parental (ke-orangtua-an). 22Selanjutnya dinyatakan dengan

tegas bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu,

haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama

dalam Pancasila. 23

21 Asmin SH, Op.Cit.,hlm.19-20 22 K.Wantjik Saleh SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan keempat, Ghalia Indonesia,

1976, Jakarta, hlm.15 23 Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, Op,Cit., hlm.21

Tujuan perkawinan menurut hukum agama, juga

berbeda antara agama yang satu dengan yang lain. Menurut hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 11: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

19

Islam tujuan perkawinan ialah24 menurut perintah Allah untuk

memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan

rumah tangga yang damai dan teratur.Selain itu pula ada pendapat yang

mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk

memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga

sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta

meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga

mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa

bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.25

Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut :

26

Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati

perintah Allah SAW bertujuan untuk membentuk dan membina

tercapainya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai

suami isteri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan syariat hukum Islam.

27

24 Wantlijk Saleh SH, Loc.Cit. 25 Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, Op.Cit.,hlm.24

26 Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.26-27 27 Mardani, Op.Cit.,hlm.11 Universitas Sumatera Utara

a. Menghalalkan hubungan

kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan b.

Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa c. Memperoleh keturunan

yang sah d. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki

penghidupan yang halal, memperbesar rasa tanggungjawab e.

Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah

(Keluarga yag tentram, penuh cinta, kasih, dan kasih sayang) (QS. ar-

Rum ayat 21)

Universitas Sumatera Utara

Page 12: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

20

Perkawinan bertujuan untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan

mencegah maksiat, untuk membina rumah tangga yang damai

danteratur.28Menurut R Soetojo Prawirohamidjojo “perkawinan bertujuan untuk

memperoleh keturunan memenuhi nalurinya sebagai manusia, memelihara

manusia dari kejahatan dan kerusakan, membentuk dan mengatur serta

menumbuhkan aktifitas dalam mencari rezeki yang halal dengan memperbesar

rasa tanggung jawab.29

“Memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusian, berhubungan antara lakilakidan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yangbahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperolehketurunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuanyang diatur oleh Syari’ah”.

Tujuan dari perkawinan menurut ajaran Agama Islam adalah :

30

halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.

Lebih lengkap tujuan dan manfaat perkawinan dibagi menjadi lima hal,

antara lain:

1) Memperoleh keturunan yang sah untuk melangsungkan keturunan serta

perkembangan suku-suku bangsa manusia.

2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia.

3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari

masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.

5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang

28 Hilman Hadikusuma, Op. cit, hal. 24.

29 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan

Indonesia, Airlangga University Press, 1990. hal. 28.

30 Soermiyati, 1999, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,

Yogyakarta: Liberty, 1999. hal.12.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

21

Berdasarkan uraian di atas tujuan dan manfaat perkawinan di atas dapat

lebih dijelaskan satu persatu.31

31 Ibid, hal. 13

Ad. 1. Tujuan yang pertama ialah memperoleh keturunan, ini merupakan

pokok dari tujuan perkawinan, setiap orang yang telah melansungkan

perkawinan tentu ingin memiliki keturunan, tanpa keturunan kehidupan

rumah tangga akan terasa hambar walau dari segi materi berkecukupan.

Keinginan memiliki anak sangatlah wajar karena nantinya anak akan

melanjutkan kehidupan keluarga ke depan dan membantu orang tua dimasa

tuanya, tentu dengan harapan anak-anak yang soleh dan berbakti kepada

orang tua dan lingkungannya.

Ad. 2. Tujuan kedua, memenuhi tuntutan naluriah, Tuhan menciptakan

manusia

berbeda-beda jenis kelaminnya, maka keduanya memiliki daya tarik untuk

memikat lain jenisnya, melahirkan gairah baik laki-laki maupun perempuan

untuk melakukan hubungan, dengan perkawinan hubungan tersebut akan

menjadi sah dan halal.

Ad.3. Tujuan ketiga, menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan, salah

satu yang membuat manusia terjerumus dalam kejahatan dan kerusakan

adalah hawa nafsu dengan tidak adanya penyaluran yang sah, maka baik

laki-laki maupun perempuan akan mencari jalan yang tidak halal,

sedemikian buruknya pengaruh hawa nafsu ini sehingga manusia lupa mana

yang baik dan yang buruk. Manusia adalah makhluk lemah yang sulit

mengendalikan hawa nafsunya.

Ad.4. Tujuan Keempat, membentuk dan mengatur rumah tangga yang

Universitas Sumatera Utara

Page 14: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

22

merupakan basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar cinta dan

kasih sayang, salah satu alat untuk memperkokoh perkawinan adalah

dengan cinta dan kasih sayang, dasar ini akan membuat keluarga bahagia,

sehingga akan terus berlanjut dari keluarga yang bahagia akan menjadi

masyarakat yang harmonis pada tatanan yang lebih tingginya.

Ad.5. Tujuan kelima menumbuhkan aktifitas dalam mencari rezeki yang

halal dan memperbesar tanggung jawab, sebelum perkawinan biasanya baik

laki-laki dan perempuan tidak memikirkan soal kehidupan karena masih

bertumpu pada orang tua, tetapi setelah perkawinan mereka mulai berfikir

bagaimana bertanggung jawab dalam mengemudikan rumah tangga, suami

sebagai kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana mencari rejeki yang

halal untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Isteri akan lebih giat

membantu dan mencari jalan untuk menyelenggarakan keluarga yang damai

dan bahagia, terutama setelah keluarga tersebut telah dikaruniai anak,

sehingga aktifitas dan tanggung jawab suami isteri semakin besar.

Tujuan perkawinan adalah merupakan suatu lembaga yang dibentuk untuk

melindungi masyarakat agar umat manusia menjaga dirinya dari kejahatan

dan

zina untuk melancarkan penghidupan kekeluargaan dan pengesahan

keturunan.32

32 Fikri, Perkawinan, Sex dan Hukum (Pekalongan: TB Bahagia, 1984). hal 162

a. Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agama,

manusiamanusia

Universitas Sumatera Utara

Page 15: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

23

normal baik pria atau wanita yang memiliki agama tertentu dengan taat

pasti berusaha menjunjung tinggi ajaran agamanya untuk menjaga kesucian

agamanya.

b. Untuk menghalalkan hubungan biologis antara pria dengan wanita yang

bukan muhrimnya sehingga menjadi hubungan biologis yang tidak berdosa

melainkan pahala.

c. Untuk melahirkan keturunan yang sah menurut hukum sehingga anak-

anak yang dilahirkan olehnya yang sudah diikat perkawinan yaitu anak

yang mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tuanya yang dalam

hal ini berhak mewarisi atau mendapatkan warisan.

d. Untuk menjaga fitrah manusia sebagai makhluk Allah yang dikaruniai

cipta, rasa dan karya serta dengan petunjuk agama yang merupakan

penyaluran secara sah naluri seksual manusia.

e. Untuk menjaga ketentraman hidup karunia perkawinan merupakan

lembaga yang secara umum membuat hidup manusia menjadi baik sebagai

makhluk pribadi maupun makhluk sosial.

f. Untuk mempererat hubungan persaudaraan baik untuk ruang lingkup

sempit maupun luas.

Tujuan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dalam hal ini Undang-undang telah

meletakkan

agar dalam Pengaturan Hukum Keluarga dan Indonesia bahwa perkawinan

bukan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

24

semata mata pemenuhan kebutuhan jasmani seorang pria dan wanita,

namun perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat erat hubungan

dengan agama dan kerohanian.

2. Tujuan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah, yaitu

dijelaskan

sebagai berikut :

a) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan

penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga

dibentuk umat ialah umat Nabi Muhammad SAW sebagai umat Islam.

b) Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah

mengerjakannya.

c) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri, menimbulkan rasa

kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya rasa kasih

sayang antara sesama anggota-anggota keluarga.

d) Untuk menghormati Sunnah Rasullah SAW. Beliau mencela orang-orang

yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadah setiap

malam dan tidak akan kawin-kawin.

e) Untuk membersihkan keturunan. Dengan demikian akan jelas pula orang-

orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara

dan mendidiknya, sehingga menjadilah ia seorang muslim yang

dicitacitakan. Karena itu Agama Islam mengharamkan zina, tidak

mensyariatkan poliandri (seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu),

Universitas Sumatera Utara

Page 17: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

25

menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak di luar perkawinan

yang tidak jelas.33

C. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

1. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-undang No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan

Syarat sahnya suatu perkawinan adalah sebagai berikut:

1) Didasarkan atas persetujuan antara calon suami dan calon isteri tidak ada

paksaan di dalam perkawinan.Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan: ”Perkawinan harus didasarkan atas

persetujuan kedua calon mempelai”.Syarat perkawinan ini memberikan

jaminan agar tidak terjadi lagi.perkawinan paksa. Hal ini disebabkan karena

perkawinan merupakan urusan pribadi seseorang dan merupakan bagian dari

hak asasi manusia.

2) Adanya ijin dari kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum

berusia 21 tahun.Walaupun perkawinan dipandang sebagai urusan pribadi,

namun masyarakat Indonesia memiliki rasa kekeluargaan yang sangat besar

terutama hubungan antara anak dengan orang tuanya. Oleh karena

itu,perkawinan juga dianggap sebagai urusan keluarga, terutama jika

yangakan melangsungkan perkawinan adalah anak yang belum berusia

21tahun. Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan harus ada

ijin/restu dari kedua orang tua.

3) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai

wanita sudah mencapai usia 16 tahun.Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor

33 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Bandung : Alumni .hal. 38.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

26

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: ”Perkawinan hanya diijinkan jika pihak

pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur

16tahun”.Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan

anak-anak yang masih di bawah umur.Oleh karena itu, perkawinan gantung

yang dikenal dalam masyarakat adat tidak diperkenankan lagi. Ketentuan

pembatasan umur juga dimaksudkan agar calon suami isteri yang akan

melangsungkan perkawinan sudah matang jira raganya.

4) Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan

darah/keluarga yang tidak boleh kawin.Pada dasarnya, larangan untuk

melangsungkan perkawinan karena hubungan darah/keluarga dekat terdapat

juga dalam sistem hukum yang lain, seperti hukum agama Islam atau

peraturan lainnya (termasuk hokum adat)

5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :”Seseorang yang masih

terikat tali perkawinan dengan orang laintidak dapat kawin lagi, kecuali

dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang

ini”.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :

1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai

seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari

seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, poligami hanya

diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamnya mengijinkan seorang

suami beristeri lebih dari seorang. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1

Universitas Sumatera Utara

Page 19: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

27

Tahun 1974 Tentang Perkawinan angka 4c menyatakan :”Undang-Undang ini

menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,

karena hukum dan agama dariyang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami

dapat beristerilebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami

dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak

yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan

tertentu dan diputuskan oleh pengadilan”.Hukum disini maksudnya adalah

hukum perkawinan positif dari orangyang hendak melakukan poligami.

Sedangkan agama harus ditafsirkan dengan agama dan kepercayaan dari calon

suami yang akan melakukan poligami. Penafsiran ini untuk mencegah

kekosongan hukum bagimereka yang hingga saat ini belum memeluk suatu

agama tetapi masih menganut suatu kepercayaan.dengan demikian, Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan masih menganut asas

monogami.

3) Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai

lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka

kawin untuk ketiga kalinya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :”Perkawinan

mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal,

maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-

benar dipertimbangkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali

sehingga suami dan istri benar-benar saling menghargai”.Menurut Islam, suami

isteri yang telah bercerai dua kali masih diperbolehkan untuk kawin ketiga

kalinya. Tetapi jika mereka telah bercerai untuk ketiga kalinya maka mereka

Universitas Sumatera Utara

Page 20: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

28

tidak boleh kawin lagi kecualibekas istri yang telah bercerai tiga kali tersebut

kawin dengan lelaki lain kemudian bercerai maka dia boleh kawin dengan bekas

suaminya yang pernah bercerai tiga kali tersebut.

4) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang

janda.Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

:”Wanita yang telah putus perkawinannya tidak boleh begitu saja kawin dengan

lelaki lain, akan tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis”.

Menurut Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975, waktu tunggu diatur sebagai berikut :

1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal11 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan sebagai berikut:

a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggubagi yang masih

berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi

yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.

2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan

kelamin.

3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung

sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap

sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu

dihitung sejak kematian suami Rasio dari peraturan ini adalah untuk menentukan

dengan pasti siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu tunggu

tersebut.34

34 Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.34

Universitas Sumatera Utara

Page 21: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

29

Undang-undang No 1 Tahun 1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut

KUH Perdata, jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan. Adapun syarat-syarat yang

harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No 1

Tahun 1974 adalah sebagai berikut :

Syarat perkawinan ini diatur secara jelas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974

Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.

Syarat perkawinan ini diatur secara tegas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974

Pasal 6 ayat (2),(3),(4),(5) dan (6) yaitu :

(1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(2) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) Pasal

ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu

menyatakan kehendaknya.

(3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang

memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan

lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan

kehendaknya.

(4) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut ayat (2),(3),

dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan

pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin

Universitas Sumatera Utara

Page 22: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

30

351. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

362. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21

tahun.37

1. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita

sudah mencapai 16 tahun.

Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain. Syarat perkawinan tersebut diatur dalam Undang-undang No 1

Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Perkawinan hanya diizinkan

jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita

sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”. Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh

kawin menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 adalah sebagai

berikut:

38

2. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan

darah/keluarga yang tidak boleh kawin.

39

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang

dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek.

c. Berhubungan samenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.

d. Berhubungan susunan yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara

susunan, dan bibi/paman susunan.

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

35 F. X Suhardana,SH, Hukum Perdata I, PT Prenhallindo, 1990, Jakarta, hlm.91-92 36 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni, 2004, Bandung, 37 Ibid, hlm.65-66 Universitas Sumatera Utara 38 Ibid, hlm.67 39 Ibid, hlm.69

Universitas Sumatera Utara

Page 23: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

31

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,

dilarang kawin.

3. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.40

40 Ibid, hlm.70-71

Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-undang No

1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : “Seorang yang masih terikat tali perkawinan

dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal

3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa :

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari

seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Syarat perkawinan yang keenam ini disebutkan dalam Undang-undang No 1 Tahun

1974 Pasal 10 yang menyatakan bahwa : “Apabila suami dan isteri yang telah

bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,

maka diantra mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain”.

Dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa :

“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk

keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu

perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,

sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain”.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

32

6. Bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai

lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka

kawin kembali untuk ketiga kalinya.41

7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.

42

41 Ibid, hlm.74

42 Ibid, hlm.75

Dalam Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa wanita yang

putus perkawinannya, tidak boleh bagitu saja kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi

harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis.

Sejak berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka

sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama di Indonesia sangat menentukan.

Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing

berarti perkawinan tersebut tidak sah.Perkawinan yang dilakukan di Kantor Catatan

Sipil atau di Pengadilan apabila tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum

agama tertentu berarti tidak sah.

Menurut hukum Islam, suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi

syarat dan rukun perkawinan, yaitu :

Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam

1. Calon suami, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam b. Laki-laki c. Jelas orangnya d.

Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan

2. Calon isteri, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai pesetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan

3. Wali nikah, syarat-syaratnya : a. Laki-laki b. Dewasa c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwalian

Universitas Sumatera Utara

Page 25: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

33

4. Saksi nikah, syarat-syaratnya : a. Minimal dua orang laki-laki b. Hadir dalam ijab

qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam e. Dewasa

5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya : a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali b.

Adanya pernyataan permintaan dari calon mempelai c. Memakai kata-kata nikah,

tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut d. Antara ijab dan qabul

bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya f. Orang yang terkaid dengan

ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah Universitas Sumatera Utara g.

Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal oleh empat orang yaitu calon

mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.43

Di dalam QS An-Nisa’: 4, Allah SWT berfiman, yang berbunyi :

Di samping rukun dan syarat tersebut diatas, menurut para ulama, mahar itu

hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan

berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini berdasarkan QS An-Nisa’ ayat 4 dan 24.

44

Pada QS An-Nisa’: 24, Allah SWT berfirman, yang berbunyi :

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu

sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)

pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

45

“Diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak

yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas

kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari istri-istri yang

telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya

(dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu

43 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit.,hlm.62-63 44 Al-Jumanatul Ali, Op.Cit., hlm.77 45 Ibid, hlm.82

Universitas Sumatera Utara

Page 26: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

34

terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar

itu”.

Sementara berkaitan dengan masalah wali, menurut Imam Hanafi wali bukanlah

syarat dalam perkawinan, oleh karena itu wanita yang sudah dewasa dan berakal

sehat boleh mengawinkan dirinya asalkan perkawinannya dihadiri oleh dua orang

saksi.Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali bahwa perkawinan yang

dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi

dalam akad nikah adalah harus orang yang beragama Islam, dewasa (baligh), berakal

sehat, dapat melihat, mendengar, dan memahami tentang akad nikah. Tidak ada

ketentuan yang menjadi saksi apakah orang yang masih mempunyai hubungan darah

atau tidak dengan kedua mempelai.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai rukun dan syarat-syarat

perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 KHI yaitu untuk melaksanakan perkawinan

harus ada :

Mengenai Calon Mempelai baik calon suami dan calon isteri diatur dalam Kompilasi

Hukum Islam, sebagai berikut :46

Pasal 16 KHI yaitu :

Pasal 15 KHI yaitu :

47

3) Wali nikah

2.Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

1) “Calon suami

2) Calon isteri

46 Hilman Hadikusuma SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

Hukum Agama, Mandar Maju, 1990, Bandung, hlm.28-30

47 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Op.Cit.,hlm.5

Universitas Sumatera Utara

Page 27: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

35

4) Dua orang saksi, dan

5) Ijab dan Kabul”48

48 Ibid, hlm.5-9

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan

hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah

ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur

16 tahun (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5)

Undang-undang No 1 Tahun 1974

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan

nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama

tidak ada penolakan yang tegas Pasal 17 KHI yaitu :

Pasal 18 KHI yaitu :

“Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak

terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”.

Mengenai Wali Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :

Pasal 19 KHI yaitu :

“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.

Pasal 20 KHI yaitu :

Pasal 21 KHI yaitu :

Pertama : kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak

ayah dan seterusnya

Universitas Sumatera Utara

Page 28: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

36

Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,

dan keturunan laki-laki mereka (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai

Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua

saksi nikah (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon

mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan (3) Bila calon mempelai

yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan

tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah

seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh

(2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab b. Wali hakim (1) Wali nasab terdiri dari

empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan

kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai

wanita.

Ketiga : kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara

seayah dan keturunan laki-laki mereka

Keempat : kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan

keturunan laki-laki mereka

Pasal 22 KHI yaitu :

“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai

wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau

sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut

derajat berikutnya”.

Pasal 23 KHI yaitu :

Mengenai Saksi Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :

Pasal 24 KHI yaitu :

Pasal 25 KHI yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 29: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

37

“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim,

adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”.

Pasal 26 KHI yaitu : (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa

orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali

ialah yang lenih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita (3)

Apabila dalam satu kelompok, sama derajat kekerabatannya yakni sama-sama derajat

kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama barhak menjadi

wali nikah, dengan mengutamakan yang lenih tua dan memenuhi syarat-syarat wali

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada

atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau

gaib atau adlal atau enggan (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim

baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan pengadilan Agama

tentang wali tersebut (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad

nikah (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. “Saksi harus

hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akad

Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”.

Mengenai Ijab Kabul diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :

Pasal 27 KHI yaitu :

“Ijab Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntut dan tidak

berselang waktu”.

Pasal 28 KHI yaitu :

“Akad Nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan

atau wali nikah mewakilkan kepada orang lain”.

Pasal 29 KHI yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 30: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

38

A. Tujuan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, kita masih berpegangan kepada rumusan Pasal 1, yaitu pada

anak kalimat kedua yang berbunyi : “Dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Rumusan tersebut mengandung harapan, bahwa dengan

melangsungkan (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai

pria secara pribadi (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat

diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi

kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu

adalah untuk mempelai pria (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali

keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh

dilangsungkan.

B. Syarat Sahnya Perkawinan

Syarat-syarat sahnya perkawinan dalam hukum Islam memenuhi syarat dan

rukun-rukunnya. Menurut Soemiyati, SH, yang dimaksud dengan

suaturukundalam suatu perkawinan adalah :

“Hukum perkawinan adalah hakekat dari suatu perkawinan itu sendiri,

jaditanpa adanya salah satu rukun perkawinan tidak mungkin dilaksanakan

sedangkan yang dimaksud dengan syarat adalah suatu yang harus ada dalam

perkawinan itu sendiri”. 49

a) Calon mempelai laki dan mempelai perempuan.Adanya calon pengantin laki-

laki dan calon pengantin perempuan ini adalah merupakan syarat mutlak,

absolut, tidak dapat dimungkinkan bahwa logis dan rasional kiranya, karena

Menurut Kompilasi Hukum Islam syarat sahnya

perkawinan adalah sebagai berikut :

49 Soemiyati; 1982, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,Yogyakarti :

Liberti. hal 7

Universitas Sumatera Utara

Page 31: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

39

tanpa calon pengantin laki dan perempuan tentunya tidak akan ada

perkawinan di atur50

Wali Nikah, adalah orang yang dianggap memenuhi syarat untuk menjadi

wakil dari calon mempelai perempuan, hal ini dilakukan karena menurut

sebagian ulama, seorang perempuan yang masih gadis, sehat dan berakal tidak

dalam Kompilasi Hukum Islam. Suka sama suka antara

kedua calon mempelaiadalah sebuah keharusan, karena mereka berdua yang

akan menjalani hidup berumah tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara

keduanya.

b) Kedua calon pengantin beragama Islam. Kedua calon mempelai haruslah

beragama Islam, akil baliqh (dewasa,berakal) sehat baik jasmani dan

rohani.Baligh dan beralakal maksudnya ialah dewasa dan dapat

dipertanggung jawabkan terhadap suatu perbuatan apalagi terhadap akibat-

akibat perkawinan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah

tangga, jadi bukan orang yang dibawah pengampunan (Pasal 15 Kompilasi

Hukum Islam).

c) Persetujuan batas antara kedua calon mempelai.Persetujuan batas antara kedua

calon mempelai menunjukkan perkawinanitu tidak dapat dipaksakan dari Ibnu

Abas, bahwa seorang perempuan perawan datang pada Nabi Muhammahad

SAW. Dan memberitahukan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan

laki-laki, sedangkan iatidak mau (tidak suka) maka Nabi menyerahkan

keputusan itu kepadagadis itu apakah mau meneruskan perkawinan itu atau

minta cerai, di aturdalam Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam.

d) Wali Nikah.

50 Muh Idris Romulya, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1986), hal : 45

Universitas Sumatera Utara

Page 32: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

40

mempunyai hak dalam persetujuan nikahnya, melainkan dipindahalihkan

kepada wali. Namun tidak sedikit hadits-hadits yang menerangkan bahwa

wali tidak mewakili hak atas perkawinan anak perempuan dan hak wali dalam

pernikahan itu sunah, maka dalam pernikahan seorang perempuan boleh

memakai wali atau tidak memakai wali, diatas lebih rinci dalam Pasal 19 – 23

Kompilasi Hukum Islam.

e) Dua orang saksi Islam, Dewasa dan Adil.

Untuk membuktikan telah diadakan perkawinan antara seorang pria dan

wanita disamping ada wali harus pula ada saksi.Hal ini penting untuk

kemaslahatan kedua belah pihak dan kepastian hak bagi masyarakat.

Demikian juga baik suami / istri tidak dapat menghindarkan ikatan perjanjian

perkawinan tersebut (Pasal 24 – 26 Kompilasi Hukum Islam).

f) Mas Kawin/Mahar

Salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita adalah pemberian

Mas Kawin/Mahar saat menikahinya.Mas Kawin adalah pemberian dari calon

suami kepada calon istri baik berbentuk uang/barang atau jasa tidak

bertentangan dengan hukum Islam.Mas kawin ini hukumnya wajib, yang

merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia merumuskan dalam Pasal 30, yaitu : calon mempelai pria wajib

membayar mas kawin kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk

dan jenisnya disepakati oleh kedua belahpihak, kemudian Pasal 31,

menyatukan bahwa penetapan besarnya maskawin di dasarkan atas

kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran agama, (Pasal 30-

38 Kompilasi Hukum Islam). Disebutkan dalam beberapa hadist bahwa mahar

atau mas kawin wajib dibayarkan sekali pun hanya sebuah cincin besi,

Universitas Sumatera Utara

Page 33: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

41

setanggkai kurma atau berupa ayat Al-Qu’ran yang dihafal asal pemberian

mahar itu disepekati oleh kedua belah pihak.51

“Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepadakamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, makamakanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya”

Dahulu di zaman jahiliah

wanita tidak memiliki hak untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat

bergantung kepada walinya.Walinya itulah yang kemudian menentukan

mahar, menerimanya dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri.

Sedangkan pengantin wanita tidak punya hak sedikit pun atas mahar itu dan

tidak bias membelanjakannya. Maka datanglah Islam menyelesaikan

permasalahan ini dan melepaskan beban serta mewajibkan untuk memberikan

mahar kepada wanita.Islam menjadikan mahar itu menjadi kewajiban kepada

wanita dan bukan kepada ayahnya. Sebagaimana yang disebutkan dalamAl-

Qur’an Surat An-Nisa : 4 yang artinya :

52

Sebagai proses terakhir dan lanjutan dari Akad Nikah ialah pernyataan Ijab dan

Kabul. Ijab ialah suatu pernyataan kehendak dari calon mempelai wanita yang

lazimnya diwakili oleh wali. Suatu pernyataan kehendak dari pihak perempuan

untuk mengikatkan diri kepada laki-laki sebagai suaminya secara formil,

sedangkan Kabul artinya secara letterlijk adalah suatu pernyataan penerimaan dari

pihak laki-laki atas ijab dari pihak perempuan.Diatur dalam Pasal 27 sampai 29

Kompilasi Hukum Islam. Akad nikah dengan sebuah ijab kabul itu harus

dilakukan di dalam sebuah majelis yang sama. Dimana keduanya sama-sama

g) Ijab dan Kabul

51 Syamsudin Nur Mutia Mutmainah, Perkawinan Yang Diidamkan, Jakarta : Annur. hal.99. 52 QS.An – Nisa ayat 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

42

hadir secara utuh dengan ruh dan jasadnya. Termasuk juga didalamnya adalah

kesinambungan antara ijab dan kabul tanpa ada jeda dengan perkataan lain yang

bias membuat keduanya tidak terkait. Sedangkan syarat bahwa antara ijab

danqabul itu harus bersambung tanpa jeda waktu sedikitpun adalah pendapat

syafi'i dalam mazhabnya.Namun yang lainnya tidak mengharuskan keduanya

harus langsung bersambut.Rukun nikah adalah merupakan hal-hal yang harus

dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan. Jadi dapat digolongkan

kedalam syarat formil, yaitu

terdiri atas :53

4. Akad nikah, yaitu ijab dari wali mempelai perempuan atau wakilnya, dan

qobul dari mempelai laki-laki atau wakilnya.Seorang wali menurut ajaran

Syafii dan Maliki merupakan sesuatu yang penting, menurut pendapatnya

tidak ada nikah tanpa adanya seorang wali, sedangkan ada lagi pendapat

yang berbeda yaitu pendapat atau ajaran Hanafi dan Hambali walaupun

tidak ada wali pernikahan tetap sah.

1. Adanya calon mempelai pria dan wanita.

2. Harus adanya wali bagi calon mempelai perempuan.

3. Harus disaksikan dua orang saksi.

54

Sejalan dengan pendapat diatas Sayuti Talib dan Rof’i Hazairin mengatakan

bahwa dari segi hukum seorang wali bagi perempuan yang sudah dewasa

tidak menjadi syarat sahnya pengikatan diri dalam perkawinan, tetapi ada

baiknya wanita memakai wali di dalam akad nikah.

55

53 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-undang Perkawinan Nomor

1Tahun 1974.Jakarta :PT. Dian Rakyat Cetakan Pertama. 1981. hal. 29. 54 K.H. Hasbullah Bakery. Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan PeraturanPerkawinan Di

Indonesia.Jakarta :Jembatan. 9181. hal166. 55 Sayuti Tholib.Op.cit hal 64.Hukum Kekeluargaan Indonesia (Belaku bagi Umat

Islam).Jakarta : UI Press. Hal 64.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

43

Syarat nikah menurut agama Islam diperinci ke dalam syarat-syarat untuk

mempelai wanita dan mempelai laki-laki. Adapun bagi syarat laki-laki

adalah:

1. Beragama Islam.

2. Terang laki-lakinya (tidak banci).

3. Tidak dipaksa

4. Tidak beristri lebih dari 4 orang.

5. Bukan mahromnya bakal isteri.

6. Tidak mempunyai istri yang hawam di madu dengan bakal istrinya.

7. Mengetahui bakal istri.

8. Tidak sedang ihrom haji atau umroh.56

7. Tidak sedang ihrom haji atau umroh.

Yang menjadi syarat bagi calon mempelai wanita adalah:

1. Beragama Islam.

2. Terang wanitanya.

3. Telah memberi ijin kepada wali untuk menikahinya.

4. Tidak bersuami dan tidak dalam masa idah.

5. Bukan mahromnya bakal suami.

6. Belum pernah di lian (sumpah lian) oleh calon suaminya.

57

56 Departemen Agama.Op.cit. hal.38-39. 57 Ibid, hlm.255-256

Universitas Sumatera Utara

Page 36: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

44

D. Asas-Asas Hukum Perkawinan

1. Asas-asas Hukum Perkawinan Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan

Pada dasarnya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah

mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dan

sudah menampung segala kenyataanya yang hidup dalam masyarakat dewasa ini,

sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman58

, baik menurut kenyataan sosial maupun kenyataan dalam pelaksanaan hukum adat

atau hukum agama dan kepercayaan. Jadi walaupun misalnya menurut hukum Islam

dibolehkan melakukan perkawinan poligami namun karena Undang-undang No 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami (yang terbuka), maka

perkawinan banyak isteri yang bebas melakukan sebelumnya sudah tidak dibolehkan

lagi.Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah ditentukan

prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkawinan yang disesuaikan dengan perkembangan dan

tuntutan zaman.

59Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Penjelasan

Umum Undang-undang Perkawinan tersebut, adalah sebagai berikut :60

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan materil

58 Prof. H. Hilman Hadikusuma,SH, Op.Cit., hlm.6 59 Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.56 60 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 37: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

45

2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,

dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan

pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya

kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi

yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

3. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh

yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkan

seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan

seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki oleh

pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai

persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami itu harus telah masak

jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang

baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri

yang msih dibawah umur. Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan masalah

kependudukan.Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita

untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi dari pada jika

dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.Berhubungan dengan itu maka

Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin bagi pria maupun bagi

wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi

wanita.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

46

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal

dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk Universitas Sumatera

Utara mempersukar terjadinya perceraian. Untuk barcerai harus ada alasan tertentu

serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik

dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam dalam pergaulan masyarakat, sehingga

dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama oleh suami isteri. Asas dan pinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhana

adalah sebagai berikut :61Dalam perspektif hukum Islam, Dr. Musdah Mulia

menjelaskan bahwa prinsip perkawinan tersebut ada 4 (empat) yang didasarkan pada

ayat-ayat al- Qur’an yaitu :62

61 Madani, Op.Cit., hlm.6 62 Ibid, hlm.7-8

Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa

Arab yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya

sendiri saja ia 1. Asas sukarela 2.Partisipasi keluarga 3.Perceraian dipersulit

4.Poligami dibatasi secara ketat 5.Kematangan calon mempelai 6. Memperbaiki

derajat kaum wanita.

Asas-asas Hukum Perkawinan Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan Asas-Asas hukum perkawinan dalam Undang-

Undang Nomor I Tahun 1974 yaitu antara lain :

1. Asas suka rela

Menurut Pasal 6 ayat 1 menentukan bahwa perkawinan harus didasari

persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan disini mempunyai maksud

Universitas Sumatera Utara

Page 39: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

47

bahwa dalam suatu perkawinan harus mendapat persetujuan dari kedua

calon suami - isteri atau dengan kata lain tidak ada pihak yang memaksa

dari manapun.

2. Partisipan Keluarga

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan

seseorang untuk membentuk keluarga yang bahagia, maka peran orang

tuaatau partisipasi keluarga sangat dibutuhkan terutama dalam hal

pemberian ijinuntuk melaksanakan perkawinan.

3. Perceraian dipersulit

Ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang perceraian terdapat

dalam Pasal 39 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disini

dijelaskan bahwa pasangan suami - isteri yang hendak bercerai tidak

begitusaja dilakukan karena ada akibat-akibat yang harus dipertimbangkan

baik bagi diri masing-masing dan juga bagi anak-anaknya, bagi yang sudah

mempunyai anak.

4. Asas Monogami

Penegasan asas monogami ini terdapat pada Pasal 27 yang berbunyi :

“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya boleh mempunyai

seorang isteri,dan seorang perempuan hanya seorang suami”. Dengan

demikian bahwa perkawinan menurut Undang-Undang mempunyai asas

monogami, namun demikian tidak menutup tidak menutup kemungkinan

bagi suami untuk mempunyai lebih dari satu isteri, hal ini harus mendapat

persetujuan dahulu dari pihak-pihak yang bersangkutan terutama pihak

isteri

Universitas Sumatera Utara

Page 40: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

48

5. Kematangan calon suami

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menetapkan batas umur suatu

perkawinan yaitu 19 Tahun untuk laki-laki dan 16 Tahun untuk wanita,

maka dari itu perkawinan yang masih di bawah umur tidak diperbolehkan,

karena perkawinan memerlukan kematangan dari kedua calon mempelai

tersebut baik jiwa dan raga agar tercipta suatu keluarga yang bahagia.

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan sesuai suami baik dalam pergaulan masyarakat maupun rumah

tangga.

2. Asas-Asas Hukum Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum

Islam

Menurut Kompilasi Hukum Islam Asas-asas dalam

hukumperkawinan adalah :

a) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang akan

melakukan perkawinan.

b) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh laki-laki sebab ada ketentuan

larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang harus

diindahkan.

c) Perkawinan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang tentram

dan kekal.

d) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan tertentu,

baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan

dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

49

e) Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga

tanggung jawab keluarga ada pada suami.

f) Asas perkawinan dalam Hukum Islam adalah monogami namun Hukum

Islam tidak menutup rapat kemungkinan untuk berpoligami sepanjang

persyaratan keadilan diantara isteri dapat terpenuhi dengan baik.

AdapunAsas-Asas Hukum Perkawinan Dalam Hukum Islam

1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh tidak memilih kebebasan untuk

menentukan apa yang terbaik pada dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh

adalah hak dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan

dengan syari’at Islam.

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS. Ar-Rum: 21. Mawaddah wa rahmah

adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Jika binatang

melakukan hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks itu sendiri juga

dimaksudkan untuk berkembang biak. Sedangkan perkawinan manusia bertujuan

untuk mencapai ridha Allah disamping tujuan yang bersifat biologis.

Prinsip ini didasrkan pada firman Allah SWT yang terdapat pada surah al- Baqarah:

187 yang menjelaskan isteri-isteri adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-

laki juga sebagai pakaian untuk wanita. Perkawinan laki-laki dan perempuan

dimaksudkan unntuk saling membantu dan melengkapi, karena setiap orang memiliki

kelebihan dan kekurangan.

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah yang terdapat pada surah an-Nisa: 19 yang

memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk memperlakukan isterinya dengan cara

yang ma’ruf. Di dalam prinsip ini sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman

dan penghargaan kepada wanita. 2. Prinsip mawaddah wa rahmah 3. Prinsip saling

Universitas Sumatera Utara

Page 42: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

50

melengkapi dan melindungi 4. Prinsip muasyarah bi al-ma’ruf Menurut Muhammad

Idris Ramulyo, asas perkawinan manurut hukum Islam, ada 3 (tiga) asas yang harus

diperhatikan yaitu :63

Perkawinan adalah persetujuan kekeluargaan, yang menghendaki adanya asas

kebebasan kata sepakat antara calon suami isteri. Hal ini menunjukkan bahwa adanya

sifat tidak dipaksakan, bahwa persetujuan perkawinan harus lahir oleh karena adanya

persamaan kehendak.

Ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami isteri

itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia yang

bersangkutan.

Ialah suatu asas dalam suatu perkawinan di mana seseorang yang hendak menikah itu

harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia

dilarangnya.

Ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.

64

Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan telah menimbulkan berbagai

akibat hukum berkaitan dengan hak dan kewajiban suami isteri, harta benda

dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua

dan anak serta perwalian.Hak, berarti sesuatu yang benar, kewenangan,

kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-

Kekuatan mengikat dari persetujuan perkawinan adalah lebih

luas jika dibandingkan persetujuan umumnya sebab perkawinan harus diindahkan

oleh setiap orang.Sifat perkawinan menurut 1.Asas absolut abstrak 2.Asas selektivitas

3. Asas legalitas

E. Akibat Hukum Perkawinan

63 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung : Santika

Dharma,1984, hal. 40 64 Ibid,

Universitas Sumatera Utara

Page 43: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

51

undang atau peraturanlain.65Hak ialah sesuatu yang merupakan milik atau

dapat dimiliki oleh suamiisteri yang timbul karena perkawinan. Sedangkan

yang dimaksud dengan kewajiban ialah sesuatu yang harus dilakukan atau

diadakan oleh suami atau isteri untuk memenuhi hak dari pihak lain. 66

1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan

rumahtangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat;

Hak

dan Kewajiban suami isteri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974

diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 34 ditentukan sebagai berikut :

2. Suami isteri wajib saling cinta menyintai, hormat menghormati,

setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;

3. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban

suamidalam rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat;

4. Suami isteri sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum

5. Suami adalah kepada rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya,

dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya;

6. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,

yangditentukan secara bersama.Perkawinan yang dilakukan oleh

suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat di

bidang hukum. Akibat hukum tersebut adalah antara lain

a. Timbulnya hubungan antara suami isteri. 65 Sudarsono, Op.cit, hal.154. 66 Riduan Syaharani, Op. cit, hal.90, dikutip dari Sumarti, 1980, Hukum Perkawinan

Dalam Islam, tanpa penerbit, Yogyakarta, hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

52

Dalam hubungannya sebagai suami isteri dalam perkawinan yang sah, maka

mereka mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk

menegakkan rumah tangganya.

b. Timbulnya harta benda dalam perkawinan.

Suami isteri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai

harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama

perkawinan. Pengaturan terhadap harta kekayaan perkawinan tersebut

selanjutnya diatur pada Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang – Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

c. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak

Akibat hukum terakhir dari perkawinan yang sah adalah adanya hubungan

antara orang tua dan anak. Pengaturan selanjutnya terhadap hal ini diatur

dalam Pasal 45 sampai Pasal 49 Undang – Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974.Apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara agama saja,

dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang dalam hal ini KUA

Kecamatan, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut.

Untuk itu Pasal 2 ayat 1 dan 2Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat

sahnya suatu perkawinan. Selanjutnya akibat hukum dilangsungkan nya

perkawinan tersebut adalah berkaitan dengan kedudukan anak. Pasal 42

Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 menyebutkan, anak yang sah adalah

anak yang dilahirkan dalam atau akibatperkawinan yang sah. Hal ini berarti,

anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah.

Hal ini nantinya akan berakibat pada masalah pewarisan, sebab anak yang

Universitas Sumatera Utara

Page 45: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

53

dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya.67

pejabat yang berwenang.

Untuk mengetahuhi status hukum seorang anak, dapat dilihat dari asal usul

seorang anak yang dapat dibuktikan dengan akta otentik yang dikeluarkan

oleh

68Bila akta kelahiran anak tersebut tidak ada, maka

pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak

setelah diadakan pemeriksaan yang teliti. Jika dalam suatu perkawinan

diperoleh anak, maka hal ini menimbulkan hak dan kewajiban lain seorang

tua kepada anaknya. Kewajiban orangtua adalah memelihara dan mendidik

anak-anak sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri

sendiri.69Orang tua juga berkuasa untuk mewakili anak yang belum dewasa

itu dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan diluar

pengadilan.70Meskipun demikian, kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu

tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap

milik anaknya yangbelum berumur 18 tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, kecualiapabila kepentingan anak itu

menghendakinya.71

67 Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 68Ibid, Pasal 55 ayat 1. 69 Ibid, Pasal 45 70 Ibid , Pasal 47 71 Ibid , Pasal 48

Anak berkewajiban menghormati dan menaati

kehendak yang baik dari orang tuannya. Bilamana seorang anak telah

dewasa, ia wajib memelihara orangtuannya dengan sebaik-baiknya menurut

kemampuannya. Bahkan anak juga wajib memelihara keluarga dalam garis

Universitas Sumatera Utara

Page 46: 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46572/3/Chapter...10 Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berbunyi:

54

lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuan. 72Kekuasaan satu orang tua

dapat dicabut dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang

lain. Perwalian hanya ada jika seorang anak tidak berada dalam kekuasaan

orang tuanya sama sekali. 73

72 Ibid, Pasal 46 73 Ibid , Pasal 50 ayat 1

Perwalian tidak hanya mengenai diri pribadi

anak yang bersangkutan, tetapi juga mengenai harta bendanya. Wali dapat

ditunjuk oleh salah seorang dari kedua orang tua yang menjalankan

kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, baik dengan surat wasiat,

maupun secara lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi, yang sedap mungkin

diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa,

berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. Kekuasaan sebagai

perwalian dapat dicabut dengan keputusan pengadilan. Jika hal ini terjadi,

pengadilan menunjuk orang lain sebagai penggantianya. Selain itu

perwalian juga dapat berakhir bilamana anak yang berada dalam perwalian

tersebut telah dewasa (berumur 18tahun)

Universitas Sumatera Utara