05_226cme-penatalaksanaan farmakologis nyeri pada lanjut usia

6
 167 CONTINUING MEDICAL EDUCATION CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015  167 CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015 ABSTRAK Sejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini. Penggunaan analgetik pada lansia perlu pertimbangan khusus. Secara umum, asetaminofen/parasetamol merupakan pilihan pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal dengan pemantauan dosis dan efek samping. Jika perlu, COX 2 inhibitor  lebih diutamakan untuk menghindari efek gastrointestinal, dan pemberian aspirin bersama PPI ( Proton Pump Inhibitor ) untuk mengurangi risiko kardiovaskuler. Penggunaan OAINS (Obat Anti-inamasi Nonsteroid) sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal dan peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler. OAINS harus dihindari pada gangguan ginjal. Opioid secara umum dianggap lebih aman, tetapi efek samping harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan yang dianjurkan adalah antikonvulsan golongan gabapentin dan pregabalin, dan antidepresan golongan SNRI ( Serotonin Norepinephrin Reuptake Inhibitor ). Kata kunci:  Nyeri, lanjut usia, penatalaksanaan farmakologis ABSTRACT  The increase of elderly population resulted in increasing problem of pain connected to degenerative diseases and disabilities. The use of analgetics among elderly needs special consideration. Acetaminophen/paracetamol is still the rst choice for musculoskeletal pain with dose and side eect monitoring. COX2 inhibitor is preferred to avoid gastrointestinal eect, and aspirin in combination with PPI is used to minimize cardiovascular risk. NSAID (Nonsteroidal Anti-inammatory Drug) use is limited as much as possible, because it is associated with gastrointestina l side eects and increased risk of cardiovascular disorders . NSAID should be avoided in renal insuciency. Opioid is relatively safe but needs monitoring of side eect. Adjuvant analgesics that can be considered are anticonvulsants: gabapentin and pregabalin, and SNRI antidepressant.  Jimmy Barus. Pharmacological Management of Pain in the Elderly. Keywords:  Pain, elderly, pharmacological management  Alamat korespondensi email: jimmybarusmd@yah oo.com  Akreditasi PB IDI–3 SKP Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri pada Lanjut Usia Jimmy Barus Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, Jakarta, Indonesia PENDAHULUAN Sejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini. Dokter umum sebagai tenaga pelayanan kesehatan lini pertama mendapat tantangan cukup signikan terkait penatalaksanaan nyeri pada lansia. 1  Prevalensi kasus nyeri terutama nyeri persisten (kronis) pada lansia berkisar antara 25 – 80%. Prevalensi nyeri pada lansia di komunitas adalah 25 – 50%, sementara yang berada di sarana perawatan khusus 45 – 80%. 2 Nyeri muskuloskeletal merupakan kelompok kasus nyeri yang paling sering dialami oleh kelompok lansia di komunitas. Osteoartritis, penyakit degeneratif diskus, osteoporosis dan fraktur, serta gout  merupakan kasus nyeri muskuloskeletal yang sering terjadi; kelompok kasus lainnya berupa sindrom nyeri neuropatik, seperti neuropati diabetika, neuralgia pasca-herpes, neuralgia trigeminal, nyeri sentral pasca-stroke, dan nyeri radikuler akibat penyakit degeneratif tulang belakang. Selain itu, kasus reumatologik seperti arthritis rheumatoid , polimialgia reumatika, dan bromialgia sering juga dikeluhkan. 2 Sebelum menentukan tatalaksana yang tepat, assessment  yang komprehensif harus dilakukan. Evaluasi klinis sindrom nyeri, termasuk anamnesis, pemeriksaan sik adekuat, pemeriksaan penunjang relevan perlu dilakukan sebelum menentukan pe- natalaksanaan yang paling tepat. Riwayat penyakit penyerta, seperti gangguan hati, ginjal, faktor risiko vaskuler, status sik dan mental, penting diperhatikan karena akan sangat berkaitan dengan pilihan analgetik. Makalah ini akan menitikberatkan mengenai pembahasan penatalaksanaan nyeri pada lansia dari segi farmakologis. Perubahan Fisiologis pada Lansia yang Mempengaruhi Pilihan Terapi Obat Secara siologis, fungsi organ tubuh pada lansia akan mengalami perubahan. Hal ini penting dipertimbangkan sebelum me- nentukan pengobatan farmakologis yang tepat. Perubahan siologis pada lansia yang dapat mempengaruhi pilihan terapi obat dapat dilihat pada tabel 1. 3  CONTINUING MEDICAL EDUCATION  CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Upload: dewi-sandra

Post on 05-Nov-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal farmakologi

TRANSCRIPT

  • 167

    CONTINUING MEDICAL EDUCATION

    CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015 167CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

    ABSTRAKSejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini. Penggunaan analgetik pada lansia perlu pertimbangan khusus. Secara umum, asetaminofen/parasetamol merupakan pilihan pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal dengan pemantauan dosis dan efek samping. Jika perlu, COX 2 inhibitor lebih diutamakan untuk menghindari efek gastrointestinal, dan pemberian aspirin bersama PPI (Proton Pump Inhibitor) untuk mengurangi risiko kardiovaskuler. Penggunaan OAINS (Obat Anti-infl amasi Nonsteroid) sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal dan peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler. OAINS harus dihindari pada gangguan ginjal. Opioid secara umum dianggap lebih aman, tetapi efek samping harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan yang dianjurkan adalah antikonvulsan golongan gabapentin dan pregabalin, dan antidepresan golongan SNRI (Serotonin Norepinephrin Reuptake Inhibitor).

    Kata kunci: Nyeri, lanjut usia, penatalaksanaan farmakologis

    ABSTRACTThe increase of elderly population resulted in increasing problem of pain connected to degenerative diseases and disabilities. The use of analgetics among elderly needs special consideration. Acetaminophen/paracetamol is still the fi rst choice for musculoskeletal pain with dose and side eff ect monitoring. COX2 inhibitor is preferred to avoid gastrointestinal eff ect, and aspirin in combination with PPI is used to minimize cardiovascular risk. NSAID (Nonsteroidal Anti-infl ammatory Drug) use is limited as much as possible, because it is associated with gastrointestinal side eff ects and increased risk of cardiovascular disorders. NSAID should be avoided in renal insuffi ciency. Opioid is relatively safe but needs monitoring of side eff ect. Adjuvant analgesics that can be considered are anticonvulsants: gabapentin and pregabalin, and SNRI antidepressant. Jimmy Barus. Pharmacological Management of Pain in the Elderly.

    Keywords: Pain, elderly, pharmacological management

    Alamat korespondensi email: [email protected]

    Akreditasi PB IDI3 SKP

    Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri pada Lanjut Usia

    Jimmy BarusDepartemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, Jakarta, Indonesia

    PENDAHULUANSejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini. Dokter umum sebagai tenaga pelayanan kesehatan lini pertama mendapat tantangan cukup signifi kan terkait penatalaksanaan nyeri pada lansia.1 Prevalensi kasus nyeri terutama nyeri persisten (kronis) pada lansia berkisar antara 25 80%. Prevalensi nyeri pada lansia di komunitas adalah 25 50%, sementara yang berada di sarana perawatan khusus 45 80%.2

    Nyeri muskuloskeletal merupakan kelompok kasus nyeri yang paling sering dialami oleh kelompok lansia di komunitas. Osteoartritis,

    penyakit degeneratif diskus, osteoporosis dan fraktur, serta gout merupakan kasus nyeri muskuloskeletal yang sering terjadi; kelompok kasus lainnya berupa sindrom nyeri neuropatik, seperti neuropati diabetika, neuralgia pasca-herpes, neuralgia trigeminal, nyeri sentral pasca-stroke, dan nyeri radikuler akibat penyakit degeneratif tulang belakang. Selain itu, kasus reumatologik seperti arthritis rheumatoid, polimialgia reumatika, dan fi bromialgia sering juga dikeluhkan.2

    Sebelum menentukan tatalaksana yang tepat, assessment yang komprehensif harus dilakukan. Evaluasi klinis sindrom nyeri, termasuk anamnesis, pemeriksaan fi sik adekuat, pemeriksaan penunjang relevan perlu dilakukan sebelum menentukan pe-

    natalaksanaan yang paling tepat. Riwayat penyakit penyerta, seperti gangguan hati, ginjal, faktor risiko vaskuler, status fi sik dan mental, penting diperhatikan karena akan sangat berkaitan dengan pilihan analgetik. Makalah ini akan menitikberatkan mengenai pembahasan penatalaksanaan nyeri pada lansia dari segi farmakologis.

    Perubahan Fisiologis pada Lansia yang Mempengaruhi Pilihan Terapi ObatSecara fi siologis, fungsi organ tubuh pada lansia akan mengalami perubahan. Hal ini penting dipertimbangkan sebelum me-nentukan pengobatan farmakologis yang tepat. Perubahan fi siologis pada lansia yang dapat mempengaruhi pilihan terapi obat dapat dilihat pada tabel 1.3

    CONTINUING MEDICAL EDUCATIONCONTINUING MEDICAL EDUCATION

  • 168

    CONTINUING MEDICAL EDUCATION

    CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

    Pertimbangan Pemilihan Analgetik pada LansiaPrinsip penanganan nyeri adalah meng-identifi kasi dan mengeliminasi kausa yang mendasari nyeri, misalnya tumor, infeksi, dll. Hal ini tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, sehingga pilihan masuk akal yang biasa dilakukan oleh klinisi adalah menangani keluhan/gejala dengan tujuan mengurangi nyeri. Meskipun nyeri tidak dapat dihilang-kan, tetapi usaha maksimal dapat dilakukan dengan penilaian yang teliti tanpa melupa-kan evaluasi respons terapi.

    Penanganan nyeri pada lansia, sebagaimana penanganan nyeri pada umumnya, sebaiknya berdasarkan tipe, sifat, dan keparahan nyeri. Terapi farmakologis tetap memainkan peranan penting untuk mengatasi nyeri pada lansia. Penting untuk diingat bahwa pada lansia terdapat peningkatan sensitivitas terhadap kerja obat. Oleh karena itu, setiap pilihan analgetik perlu dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan bertahap sesuai dengan toleransi pasien dan sasaran terapi. Titrasi

    Tabel 1. Perubahan fi siologis pada lansia3

    Fungsi FisiologisPerubahan Sejalan

    dengan Proses PenuaanKonsekuensi Klinis

    Fungsi Absorbsi dan Traktus Gastrointestinal

    Pemanjangan waktu pengosongan lambung dan penurunan fungsi peristaltik usus

    Penurunan aliran darah di saluran cerna

    Peningkatan efek samping saluran cerna terkait penggunaan obat yang dapat mengurangi gerakan peristaltik, misalnya opioid

    Distribusi Berkurangnya kandungan air tubuh Meningkatnya proporsi lemak tubuh

    yang mengakibatkan obat yang larut dalam lemak akan terakumulasi

    Konsentrasi protein plasma yang lebih rendah dan meningkatnya fraksi bebas obat yang akan cenderung berikatan dengan protein

    Berkurangnya distribusi obat yang larut dalam air

    Obat yang larut dalam lemak akan cenderung mengalami penambahan waktu paruh

    Meningkatnya potensi interaksi obat

    Metabolisme Hepar Berkurangnya aliran darah hepatik Berkurangnya massa hepar dan jumlah

    sel hepatosit yang fungsional

    Berkurangnya metabolisme obat yang efektif

    Proses oksidasi obat menurun, akibatnya waktu paruh akan meningkat

    Proses konjugasi biasanya tetap, efek individual sulit diprediksi

    Ekskresi Renal Menurunnya aliran darah renal Menurunnya fi ltrasi glomerulus Menurunnya sekresi tubulus

    Menurunnya ekskresi renal pada obat yang metabolitnya secara alami diekskresikan melalui renal, berakibat akumulasi dan efek memanjang

    Perubahan Farmakodinamik

    Berkurangnya densitas reseptor Meningkatnya afi nitas reseptor

    Peningkatan sensitivitas terhadap obat dan potensi efek samping

    Tabel 2. Beers Criteria untuk kelas analgetik7

    Obat Rasional Rekomendasi Kualitas Bukti Ilmiah Kekuatan Rekomendasi

    Meperidine Bukan analgetik oral yang efektif; dapat mengakibatkan neurotoksisitas

    Hindari Tinggi Kuat

    OAINS non-selektif (oral) Aspirin >325 mg Diklofenak Difl unisal Etodolak Fenoprofen Ibuprofen Ketoprofen Meklofenamat Asam mefenamat Meloksikam Nabumeton Naproksen Oksaprozin Piroksikam Sulindak Tolmetin

    Meningkatkan risiko perdarahan traktus gastrointestinal dan ulkus peptikum pada kelompok risiko tinggi, yaitu usia >75 tahun, yang mendapat terapi kortikosteroid, antikoagulan, antiplatelet

    Penggunaan bersama PPI (proton pump inhibitor) dan misoprostol dapat menurunkan, namun tidak menghilang-kan risiko

    Perforasi, perdarahan saluran cerna atas, ulserasi terjadi pada 1% pasien yang menjalani pengobatan kontinu dalam 3-6 bulan dan 2-4% pada pengobatan 1 tahun

    Hindari penggunaan kronik, kecuali pilihan obat lain tidak efektif

    Berikan agen proteksi lambung (PPI + / misoprostol) jika harus menggunakan obat-obat ini

    Moderat Kuat

    Indometasin, ketorolak (termasuk parenteral)

    Meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna dan ulkus peptikum pada kelompok risiko tinggi (sda)

    Dari keseluruhan OAINS, indometasin memiliki efek samping yang paling berat

    Hindari Indometasin: moderatKetorolak: Tinggi

    Kuat

    Pentazosin Analgetik opioid yang menyebabkan konfusi, halusinasi; lebih sering dibanding opioid lainnya

    Hindari Rendah Kuat

    Relaksan otot Carisoprodol Siklobenzaprin Klorzoksazon Metoksalon Metokarbamol Orphenadrin

    Kebanyakan relaksan otot tidak ditoleransi baik pada lansia, karena efek samping antikolinergik, sedasi, risiko fraktur

    Dosis terapeutik efektif, mungkin tidak dapat ditolerir oleh lansia

    Hindari Moderat Kuat

  • 169

    CONTINUING MEDICAL EDUCATION

    CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

    dosis sering tidak mengikuti ketentuan umum, karena pada umumnya lansia akan berespons berbeda dibanding populasi dewasa pada umumnya. Sedapat mungkin, pilihan analgetik didasari oleh mekanisme terjadinya nyeri. Sebagai contoh, nyeri infl amasi sebaiknya diterapi dengan anti-infl amasi dan nyeri neuropatik diterapi dengan menggunakan analgetik adjuvan. Hal ini untuk menjaga agar terapi tepat sasaran. Kombinasi analgetik tidak diharamkan selama perhitungan efektivitas dan efek samping di-lakukan dengan seksama. Sebagai contoh, pasien dapat diterapi dengan analgetik non-opioid, opioid, dan adjuvan selama memang dibutuhkan. Hindari kombinasi analgetik yang berasal dari golongan yang sama.4,5,6

    Beers Criteria untuk AnalgetikDengan mempertimbangkan perubahan fi siologis yang terjadi pada lansia, efektivitas obat sesuai bukti ilmiah, dan potensi pe-nyalahgunaannya, maka American Geriatrics Society menerbitkan Beers criteria. Beers criteria berisi obat-obatan yang berpotensi terjadi penyalahgunaan atau penggunaan tidak sesuai pada lansia, khususnya lansia di komunitas. Beers Criteria khusus untuk analgetik dapat dilihat pada tabel 2.

    Tambahan Beers Criteria 2012: Penggunaan tramadol harus secara hati-hati, karena dapat menurunkan ambang batas kejang. Dapat diberikan jika kejang sudah terkontrol baik. Dapat juga digunakan sebagai alternatif pada pasien lansia dengan osteoartritis yang memiliki kontraindikasi ter-hadap obat anti-infl amasi nonsteroid (OAINS). Alternatif untuk nyeri ringan dan sedang adalah kodein, asetaminofen, OAINS jangka pendek, obat topikal (kapsaisin atau OAINS), khususnya pada osteoartritis. Alternatif untuk nyeri sedang atau berat adalah hidrokodon atau oksikodon. Alternatif untuk nyeri neuropatik adalah duloksetin, venlafaksin, pregabalin, gabapentin, lidokain topikal, kapsaisin, desipramin, nortriptilin. Penggunaan OAINS selektif COX-2 sebaiknya dihindari pada pasien gagal jantung, karena dapat memperberat edema sehingga memperburuk keadaan. OAINS berhubungan dengan per-burukan derajat gagal ginjal, oleh karena itu tidak dianjurkan pada pasien lansia dengan gagal ginjal.

    berhubungan dengan kerusakan fungsi hati pada orang dewasa. Sesuai rekomendasi Food and Drugs Administration USA (FDA-USA), penggunaan asetaminofen untuk kasus nyeri kronis pada lansia sebaiknya dibatasi sampai 2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS, maka pilihan utama adalah OAINS yang selektif bekerja menghambat COX 2 karena efek gastrointestinal yang minimal (Argoff , 2005).

    Yang dimaksud dengan analgetik adjuvan pada gambar 1 adalah obat-obat golongan antikonvulsan dan antidepresan yang dapat dipergunakan pada nyeri persisten. Secara umum, pilihan terapi adjuvan untuk nyeri per-sisten pada lansia dapat dilihat pada tabel 3.

    Opioid pada LansiaPenggunaan opioid untuk kasus nyeri persisten pada lansia, tidak hanya pada kasus nyeri kanker, dewasa ini semakin dapat diterima. Opioid terutama digunakan pada kasus nyeri sedang atau berat. Meskipun demikian, sediaan opioid juga dapat dipertimbangkan jika didapatkan kontraindikasi terhadap penggunaan obat lain, terutama OAINS. Adiksi pada lansia jarang terjadi. Meskipun potensi itu ada, tidak boleh dijadikan alasan kurang teratasinya nyeri pada lansia.1

    Kodein dapat digunakan pada nyeri ringan. Untuk nyeri sedang dan berat dapat digunakan morfi n, hidromorfon, oksikodon, bahkan fentanil. Morfi n terutama dikeluarkan melalui ginjal, sehingga perlu hati-hati pada pasien lansia dengan gangguan fungsi ginjal. Hidromorfon, oksikodon, dan fentanil lebih

    Modifi kasi WHO Step Ladder pada LansiaDengan mempertimbangkan perubahan fi siologis pada lansia, maka WHO Step Ladder juga perlu disesuaikan (gambar 1).

    Penggunaan WHO analgesics step ladder pada awalnya dikhususkan untuk pendekatan tatalaksana nyeri kanker. Tetapi dewasa ini, pendekatan ini juga dapat diterapkan untuk penatalaksanaan nyeri kronis non-kanker dengan perhatian khusus. Modifi kasi WHO analgesics step ladder pada lansia menunjuk-kan bahwa OAINS non-spesifi k, termasuk aspirin dan propoksifen sebaiknya dihindari.

    Asetaminofen (parasetamol) merupakan obat pilihan pertama untuk tatalaksana nyeri kronik pada lansia, tetapi penting diingat bahwa penggunaannya sebaiknya di minimalisir karena efek samping kerusakan hati. Penggunaan asetaminofen sampai 4000 mg per hari dalam jangka panjang

    Tabel 3. Terapi adjuvan nyeri persisten pada lansia1,8

    Golongan obat Rekomendasi

    Antidepresan Golongan trisiklik, seperti amitriptilin dan imipramin, tidak dianjurkan untuk digunakan pada lansia sehubungan dengan efek retensi urin, hipotensi postural, sedasi, glaukoma, dan aritmia

    Nortriptilin, mempunyai efek samping lebih sedikit dibanding antidepresan trisiklik lainnya, dapat dipergunakan dengan pengawasan

    Golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) tidak efektif dalam penanganan nyeri persisten meskipun tolerabilitasnya lebih baik dibanding antidepresan trisiklik

    Golongan SNRI (serotonin norepinephrine reuptake inhibitor), seperti duloksetin, cukup efektif untuk nyeri persisten, dengan tingkat tolerabilitas yang lebih baik dibanding antidepresan trisiklik

    Antikonvulsan Antikonvulsan untuk nyeri persisten golongan gabapentin dan pregabalin lebih ditoleransi baik oleh lansia dibanding karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat. Obat ini digunakan pada kasus nyeri neuropatik (postherpetik neuralgia, neuropati DM, dll). Gabapentin dan pregabalin juga lebih ditoleransi baik dibanding antidepresan trisiklik

    Titrasi dosis diperlukan untuk meminimalisir efek samping

    Analgetik topikal Lidokain : Sediaan lidokain 5% efektif untuk neuralgia postherpetika OAINS : Efektif mengurangi nyeri dan menghindari efek samping sistemik Kapsaisin : Dapat dipertimbangkan untuk kasus neuralgia postherpetika

    Gambar 1. Modifi kasi WHO Analgesics Step Ladder pada

    penatalaksanaan nyeri pada lansia (Argoff , 2005)

    Level 1 (mild to moderate pain):

    Acetaminophen plus opioid [hydrocodone, oxycodone,

    codeine; tramadoladjuvants, propxyophene

    WHO ladder (adapted for the elderly)

    Level 2 (moderate to severe pain):

    Acetaminophe, aspirin, nonspecific NSAIDs,

    COX-2specific NSAIDsadjuvants

    Level 3 (sever pain):

    Strong opioidsmorphine, hydromorphone,

    fentanyl, oxycodoneadjuvants

  • 170

    CONTINUING MEDICAL EDUCATION

    CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

    aman pada kondisi ini. Meskipun demikian, potensi sedasi, dizziness, gangguan gait, risiko jatuh, dan gangguan motilitas usus perlu dipertimbangkan setiap kali memberikan opioid pada lansia. Efek samping tersebut akan hilang bersamaan dengan timbulnya toleransi terhadap opioid, kecuali gangguan motilitas usus. Pemberian laksansia harus selalu dipertimbangkan bersamaan dengan opioid.

    Obat golongan opioid yang sebaiknya dihindari pada lansia adalah: Propoksifen, karena efek gangguan susunan saraf pusat Metadon, karena efek long acting se-hingga respons pada lansia sulit diperkirakan Meperidine, karena efek gangguan susunan saraf pusat, bahkan banyak referensi menganggapnya tidak efektif sebagai analgetik Penggunaan fentanil patch diutamakan pada nyeri stabil, tanpa eksaserbasi atau breakthrough (pada nyeri kanker). Penggunaan pada lansia perlu pemantauan khusus, karena absorbsinya terlalu bervariasi, dan saat dilepaskan dari kulit efek terapeutiknya tidak langsung berhenti. Selain itu, obat ini membutuhkan lebih kurang 48 jam untuk mencapai efek terapeutik maksimal setelah ditempelkan di kulit. Fentanil patch tidak dianjurkan pada pasien yang opioid nave. Tramadol dapat memicu kejang pada pasien epilepsi, karena menurunkan ambang batas kejang. Efek ini akan minimal jika kejang sudah terkontrol baik.9

    Obat Anti-Infl amasi Non-Steroid (OAINS) dan Hubungannya dengan Gangguan KardiovaskulerObat anti-infl amasi non-steroid konvensional (non-selektif ) yang menghambat siklo-oksigenase (COX) 1 dan 2, seperti ibuprofen, diklofenak, mefenamat, diketahui mempunyai efek samping gangguan gastrointestinal. Hal ini terutama dimediasi oleh efek terhadap COX 1. Untuk itu, dikembangkanlah OAINS yang selektif menghambat COX 2 dengan harapan tidak mengakibatkan gangguan gastrointestinal. Tetapi dalam perjalanannya, banyak penelitian telah membuktikan bahwa OAINS non-selektif maupun selektif dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Hal ini telah terbukti sejalan dengan penarikan rofekoksib dari peredaran, karena berkaitan dengan peningkatan risiko kardiovaskuler.

    Inhibitor COX 2 selektif dan OAINS non-selektif menghambat produksi prostasiklin dalam derajat yang sama. Prostasiklin adalah zat vaskuloprotektif yang secara fi siologis menghambat agregasi platelet dan proses aterogenesis. Aspirin berperan dalam proteksi terhadap gangguan kardiovaskuler dengan cara menghambat COX 1 di platelet secara ireversibel. Meskipun OAINS non-selektif juga menghambat COX 1, tetapi tampaknya tidak cukup untuk memberikan efek yang sama bila dibanding dengan aspirin. Kecuali naproksen, sebagian besar OAINS non-selektif dianggap berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler. Risiko ini dapat dikurangi dengan menambahkan aspirin pada pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskuler yang mendapat terapi OAINS non-selektif, tetapi efek gastrointestinalnya akan meningkat signifi kan.10 Tabel 4 menunjuk-kan potensi risiko gangguan kardiovaskuler

    terkait penggunaan beberapa OAINS. Simpulannya, baik penggunaan OAINS non-selektif maupun selektif pada pasien yang mempunyai faktor risiko vaskuler dan pasien lansia harus dilakukan secara hati-hati. Rekomendasi penggunaan analgetik pada pasien yang diketahui berisiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskuler menurut American Heart Association (AHA) dapat di-lihat pada gambar 2.

    SIMPULANPenggunaan analgetik pada lansia perlu pertimbangan khusus. Secara umum, parasetamol tetap merupakan pilihan pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal dengan pemantauan dosis dan efek samping. Penggunaan OAINS sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal dan peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler. Jika perlu, diutamakan pemberian COX 2 inhibitor

    Gambar 2. Rekomendasi AHA tentang penggunaan analgetik pada kasus nyeri muskuloskeletal pada pasien risiko tinggi

    penyakit kardiovaskuler12

    Tabel 4. Risiko gangguan kardiovaskuler terkait penggunaan OAINS11

    NSAIDMajor Vascular

    Events: Rate Ratio (95% Cl)

    P valueMajor Coronary

    Events: Rate Ratio (95% Cl)

    P value

    Coxib 1,37 (1,14 - 1,66) .0009 1,76 (1,31 - 2,37) .0001

    Diclofenac 1,41 (1,12 - 1,78) .0036 1,70 (1,19 - 2,41) .0032

    Ibuprofen 1,44 (0,89 - 2,33) NS 2,22 (1,10 - 4,48) .0253

    High-dose naproxen 0,93 (0,69 - 1,27) NS 0,84 (0,52 - 1,35) NS

  • 171

    CONTINUING MEDICAL EDUCATION

    CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Cavalieri TA. Management of pain in older adults. JAOA 2005;105(3):S12-S17.

    2. Bruckenthal P. Assessment of pain in the elderly adult. Clin Geriatr Med. 2008;24:213-36.

    3. Abdulla A, Adams N, Bone M, Gaffi n J, Jones D, Elliott AM, et al..Guidance on the management of pain in older people. Age and Aging 2013:42;i1-i57.

    4. Katz B. Pharmacological management of pain in older people. J Pharm Pract Res. 2007;37:63-6.

    5. Strassels SA, McNicol E, Suleman R. Pharmacotherapy of pain in older adults. Clin Geriatr Med. 2008;24:275-98.

    6. Gordon DB. Pain management in the elderly. J Perianesthesia Nurs. 1999;14(6):367-72.

    7. The American Geriatrics Society. American geriatrics society updated beers criteria for potentially inappropriate medication use in older adults. J Am Geriatr Soc. 2012.

    8. Argoff CE. Pharmacoterapeutics options in pain management. In: Chronic Pain Management in the Elderly. Supplement for Geriatrics, Advanstar Communication Inc USA; 2005

    9. Ginsburg M, Silver S, Berman H. Prescribing opioids to older adults: A guide to choosing and switching among them. Geriatrics and Aging 2009;12(1):4-52.

    10. British Heart Foundation. Non steroidal anti-infl ammatory drugs and cardiovascular disease [Internet]. 2007. Available from: http://www/bhf.org.uk/factfi les.

    11. Jeff rey S., Risk for CVD events with NSAIDs can be predicted [Internet]. 2013 May 30. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/804976#2

    12. Antman EM, Bennet JS, Daugherty A, Furberg C, Roberts H, Taubert KA. Use of nonsteroidal antiinfl ammatory drugs: An update for clinicians: A scientifi c statement from the American

    Heart Association. Circulation 2007;115:1634-42.

    untuk menghindari efek gastrointestinal, dan aspirin bersama PPI untuk mengurangi risiko kardiovaskuler. OAINS harus dihindari

    pada gangguan ginjal. Opioid secara umum dianggap lebih aman tetapi efek samping harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan

    yang dianjurkan adalah antikonvulsan golongan gabapentin dan pregabalin, serta antidepresan golongan SNRI.